Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

LITERASI BUDAYA

DISUSUN OLEH:

Nama : Wildani Putri Sagala

NIM : 2221111019

Mata Kuliah : Literasi Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Mohammad Joharis, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Literasi Budaya.”

Saya juga turut mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.
Mohammad Joharis, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Literasi Bahasa Indonesia yang telah
memberikan kepercayaan kepada saya untuk menyelesaikan tugas ini guna menambah wawasan
dan meningkatkan ilmu pengetahuan.
Makalah ini saya susun guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Literasi
Bahasa Indonesia. Saya menyusun makalah ini berdasarkan dari sumber-sumber tertulis yang
saya kutip dari berbagai sumber yang berkaitan dengan makalah ini.
Saya menyadari dalam penulisan makalah ini, tentu saja tidak akan dapat terselesaikan
tanpa bantuan dari pihak lain. Saya juga sangat menyadari masih banyak kekurangan dalam
makalah yang saya susun, dan tentu sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari semua orang, khususnya para pembaca, guna menambah
wawasan dan memperbaiki cara penulisan saya pada tugas yang akan datang. Mengingat tidak
ada suatu keberhasilan tanpa saran yang membangun.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak, sehingga dapat terselesaikan
tepat waktu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca,
dan saya mohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Lubuk Pakam, Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................... i

Daftar Isi........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1

1.1Latar Belakang............................................................... 1
1.2Rumusan Masalah ......................................................... 1
1.3Tujuan Penulisan ........................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................. 3

2.1 Literasi Budaya ............................................................. 3


2.2 Komponen Literasi Budaya .......................................... 4
2.3 Tujuan Umum Gerakan Literasi Budaya ...................... 6
2.4 Prinsip-prinsip Gerakan Literasi Budaya .................... 6
2.5 Implementasi Literasi Budaya dan Kewarganegaraan . 7
2.6 Permasalahan dan Solusi Budaya Membaca ................ 9
BAB III PENUTUP .................................................................... 14

3.1 Simpulan ................................................................... 14


3.2 Saran ........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Literasi dapat dipahami sebagai suatu kemampuan berbahasa seseorang atau


menyampaikan sesuatu (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk melakukan
interaksi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya (Sari & Pujiono, 2017).
Berjalannya dengan seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, definisi
literasi juga mengalami perkembangan lanjutan yakni literasi dalam generasi kelima. Istilah
literasi dalam generasi kelima dikenal pula dengan istilah multiliterasi. Istilah multiliterasi
mengandung pengertian sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan
dan memahami ide-ide dan informasi, dengan menggunakan bentuk-bentuk teks
konvensional maupun teks inovatif, simbol, dan multimedia (Kusuma, 2019).

Literasi budaya merupakan salah satu gerakan literasi nasional yang penting untuk
dikuasai oleh peserta didik di abad ke-21 di Indonesia karena bukan hanya bisa
menanamkan rasa cinta tanah air namun juga dapat menyelamatkan dan mengembangkan
budaya nasional dan membangun identitas bangsa di tengah masyarakat era global. Konten
lietrasi budaya dalam pembelajaran disekolah dasar yaitu mencakup materi dan juga
kegiatan yang berkaitan dengan literasi budaya di sekolah yang dilaksanakan pada waktu
pembelajaran.

Kemampuan untuk memahami keberagaman dan tanggung jawab sebagai warga negara dari
suatu bangsa merupakan kecakapan yang harus dimiliki setiap individu di abad ke-21. Oleh
karena itu, literasi budaya dan kewargaan penting diberikan di tingkat keluarga, sekolah, dan
masyarakat pada masyarakat terutama generasi millennial, agar tetap mencintai dan bisa
melestarikan kebudayaan di Indonesia baik secara nasional maupun internasional. Literasi
budaya dan kewargaan tidak hanya menyelamatkan dan mengembangkan budaya lokal dan
nasional, tetapi juga membangun identitas bangsa Indonesia di tengah masyarakat global,
agar tetap mencintai dan bisamelestarikan kebudayaan tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis berkeinginan untuk mengkaji tentang
literasi budaya.

1.2 Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan


masalah didalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian literasi budaya ?


2. Apa komponen literasi?

1
3. Apa tujuan umum literasi budaya disekolah ?
4. Apa jenis-jenis literasi?
5. Bagaimana pembelajaran berbasis budaya literasi?
6. Bagaimana Implementasi literasi budaya dan kewarganegaraan?
7. Apa permasalan dan solusi literasi budaya ?

1.3 Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan


masalah didalam makalah ini adalah :

1. Mengetahui pengertian literasi budaya .


2. Mengetahui komponen literasi
3. Mengetahui tujuan umum literasi budaya disekolah
4. Mengetahui jenis-jenis literasi
5. Mengetahui pembelajaran berbasis budaya literasi
6. Mengetahui Implementasi literasi budaya dan kewarganegaraan
7. Mengetahui permasalan dan solusi literasi budaya

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Literasi Budaya


Menurut Asra (Azra, 1998), Budaya Literasi: Kegiatan Ilmiah yang Tereduksi Tak dapat
dipungkiri bahwa ada kaitan antara lembaga pendidikan dan dunia intelektual. Keduanya sangat
interaktif (saling mempengaruhi) dan interdependen (saling tergantung dan membutuhkan) Salah
satu cara untuk membangun tradisi ilmiah di lingkungan perguruan tinggi adalah
mengoptimalkan budaya literasi di kalangan mahasiswa (Volume 1, Desember 2010, 72)
Kemajuan sebuah bangsa tercermin dari giat atau tidaknya budaya literasi masyarakatnya. Lebih
jauh, salah satu indicator penilaian kualitas sains dalam suatu negara adalah jumlah artikel ilmiah
yang dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Menurut data Science and Engineering
Indicators, jumlah publikasi bangsa Indonesia pada 03 hanya 178 artikel, tertinggal jauh di
bawah negara-negara ASEAN, seperti Malaysia yang mempunyai publikasi 520 artikel,
Vietnam206, Filipina 179, Thailand 1072, dan Singapura 3122. Sementara itu, Korea Selatan
memiliki 13.746 publikasi, dan Jepang sejumlah 60.067 artikel. Kalau dihitung jumlah artikel
perkapita, posisi Indonesia semakin mengenaskan:berada pada urutan 134 dunia, dengan indeks
0,88 artikel per 1 juta penduduk (Ma’mur, 2010: 32).Gambaran serupa juga terjadi pada
penerbitan buku. Di wilayah ASEAN, jumlah penerbitan buku di Indonesia tertinggal jauh, yaitu
sebanyak 6000 judul buku per tahun, sementara Malaysia sejumlah 10.000 judul buku,dan
Singapura 12.000 judul buku. Lebih lanjut lagi, di level Asia Pasifik, Cina dan Jepang
menerbitkan masing-masing 60.000 judul buku. Sementara itu, Kompas mencatat bahwa pada
2009, Indonesia baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama
dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa
mencapai 15.000 judul buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

Dari paparan di atas, jelas bahwa menggiatkan budaya literasi dirasa penting di lingkungan
kampus. Mempublikasikan tulisan kepadakhalayak tentu saja bukan hanya tugas seorang
akademisi, seperti dosen,tetapi juga harus dimulai dari kalangan mahasiswa sehingga
kemajuanbangsa dapat mengalami percepatan. Penguasaan menulis juga harus diiringi dengan
kegiatan membaca yang kontinu serta penguasaan bahasa asing yang mumpuni, khususnya
Bahasa Inggris. Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada
masyarakat maka mahasiswa juga berkewajiban menularkan kesadaran membaca itu kepada
masyarakat sekitar. Bagaimanapun, masyarakat Indonesia secara umum belum memiliki
kesadaran tinggi dalam membaca. Karena globalisasi telah menciptakan ruang aktualisasi yang
luas, dunia akan memandang sebuah bangsa dari karya yang dihasilkannya. Robert A.Day
mengatakan: “Scientist are measured primarily not by their dexterity in laboratory manipulations,
not by their innate knowledge of their board or narrow scientific subjects, and certainly not by

3
their wit or charm; they are measured,and become known (or remained unknown) by their
publications.”

Dari paparan di atas, jelas bahwa budaya literasi merupakan kegiatan ilmiah yang perlu
dioptimalkan (Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora73). Namun semangat
membangun budaya literasi belum berjalan secara optimal. Sementara mahasiswa saat ini tengah
mengalami kecenderungan delitenisme dan bahkan pendangkalan berpikir. Mereka hanya cukup
tahu tema umum tanpa mengetahui detail-detail informasi yang masuk. Kemampuan literasi juga
berbanding lurus dengan kemampuan daya nalar.

Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo,sejarawan UGM menyatakan bahwakemacetan seminar-seminar


intern yang dilakukan oleh mahasiswapascasarjana bukan karena mahasiswa tidak mempunyai
data, namun mereka kesulitan menyampaikan gagasan pemikiran secara logis, analitis, dan kritis.
Artinya, kemampuan seseorang dalam berbahasa tulis juga dipengaruhi kemampuan bernalarnya
(Suroso, 2007: 32).

2.2 Komponen Literasi


Komponen literasitersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay,2001)], yaitu kemampuan untukmenyimak, memahami


bahasa lisan,dan berkomunikasi melalui gambardan lisan yang dibentuk olehpengalamannya
berinteraksi denganlingkungan sosialnya di rumah.Pengalaman peserta didik
dalamberkomunikasi dengan bahasa ibumenjadi fondasi perkembangan literasidasar.

2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitukemampuan untuk mendengarkan,berbicara, membaca,


menulis, danmenghitung (counting) berkaitandengan kemampuan analisis
untukmemperhitungkan (calculating),mempersepsikan informasi(perceiving),
mengomunikasikan, sertamenggambarkan informasi (drawing)berdasarkan pemahaman
danpengambilan kesimpulan pribadi.

3. Literasi Perpustakaan (LibraryLiteracy), antara lain, memberikanpemahaman cara


membedakanbacaan fiksi dan nonfiksi,memanfaatkan koleksi referensi danperiodikal,
memahami DeweyDecimal System sebagai klasifikasipengetahuan yang memudahkandalam
menggunakan perpustakaan,memahami penggunaan katalog danpengindeksan, hingga
memilikipengetahuan dalam memahamiinformasi ketika sedang menyelesaikansebuah tulisan,
penelitian, pekerjaan,atau mengatasi masalah.

4. Literasi Media (Media Literacy), yaitukemampuan untuk mengetahuiberbagai bentuk media


yang berbeda,seperti media cetak, media elektronik(media radio, media televisi), mediadigital
(media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

4
5. Literasi Teknologi (TechnologyLiteracy), yaitu kemampuanmemahami kelengkapan yang
mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak(software), serta etika dan
etikel dalam memanfaatkan teknologi.

6. Literasi Visual (Visual Literacy), adalahpemahaman tingkat lanjut antaraliterasi media dan
literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap
materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital
(perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik.

Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar benar perlu disaring
berdasarkan etika dan kepatutan. Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang
menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa
yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga
sekolah maupun perguruan tinggi. Namun disinyalir bahwa tingkat literasi khususnya dikalangan
sekolah semakin tidak diminati, hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan dalam
mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah sudah
saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan
bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.Terobosan penting dalam melaksanakan praktik
pendidikan di sekolah agar semua warganya tumbuh sebagai pembelajar sepanjang hayat,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan suatu gerakanyang disebut Gerakan
Literasi Sekolah(GLS).Literasi adalah keberaksaraan, yaitukemampuan membaca dan menulis.
Budayaliterasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diawali dengan kegiatan
membaca dan menulis hingga tercipta sebuah karya bahkan terjadinya perubahan tingkah laku
dan budi pekerti yang baik.Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah sebuah upaya yang dilakukan
secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran
yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik mulai dari semua pemangku
kepentingan di bidang pendidikan, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah) juga
melibatkan Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media
massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha,
dll.) Gerakan Literasi Sekolah (GLS) memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti
sebagaimana dituangkan dalam Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam
gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar
dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta
meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik.

Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupakearifan lokal, nasional, dan global yang
disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk

5
bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting
dalam kehidupan. Mengacu pada metode pembelajaran

Kurikulum 2013 yang menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai
fasilitator, kegiatan literasi tidak lagi berfokus pada peserta didik semata. Guru, selain sebagai
fasilitator, juga menjadi subjek pembelajaran. Akses yang luas pada sumber informasi, baik di
dunia nyata maupun dunia maya dapat menjadikan peserta didik lebih tahu daripada guru. Oleh
sebab itu, kegiatan peserta dalam berliterasi semestinya tidak lepas dari kontribusi guru, dan guru
sebaiknya berupaya menjadi fasilitator yang berkualitas. Guru dan pemangku kebijakan sekolah
merupakan figurteladan literasi di sekolah.

2.3 Tujuan Umum Gerakan Literasi Sekolah


(GLS) adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka
menjadi pembelajar sepanjang hayat.Tujuan Khusus Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah: (a)
menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah. (b) Meningkatkan kapasitas warga dan
lingkungan sekolah agar literat. (c) menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang
menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. (d) menjaga
keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai
strategi membaca. Adapun

2.4 Prinsip-prinsip gerakan literasi sekolah

prinsip-prinsip gerakan literasi sekolah yakni :

1. Sesuai dengan tahapan perkembanganpeserta didik berdasarkan karakteristiknya

2. Dilaksanakan secara berimbang;menggunakan berbagai ragam teks dan memperhatikan


kebutuhan peserta didik

3. Berlangsung secara terintegrasi dan holistik di semua area kurikulum

4. Kegiatan literasi dilakukan secara berkelanjutan

5. Melibatkan kecakapan berkomunikasilisan

6. Mempertimbangkan keberagaman Merujuk pada kedua tujuan diatas bahwa Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) harus dilaksanakan secara kolaboratif oleh seluruh komponen yang ada di
sekolah maupun masyarakat diluar sekolah. Artinya GLS harus mampu menggerakan seluruh
komponen internal maupun eksternal sekolah. Seiring kemajuan teknologi gerakan literasi ini
tidak sekadar kegiatan membaca dan menulis saja, namun mencakup kepada kemampuan
seseorang mengadopsi informasi dari berbagai sumber baik audio, video, cetak ataupun
elektronik.

6
2.4 Pembelajaran berbasis budaya literasi

Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengondisikan peserta didik untukmenjadi seorang
literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar sejalan dengan tujuanpendidikan, yaitu
berkembangnya potensipeserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertaqwa kepada
Tuhan YangMaha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pemerolehan
tujuanini dapat dilakukan siswa jika mereka telahmenjadi sosok literat. Para siswa memiliki
bekalliterasi dalam dirinya sehingga mampu melengkapi diri dengan kemampuan yang
diharapkan.Dalam rangka mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maka sekolah
bisa mengukur dan merencanakan tentang kegiatan literasi seperti apa yang bisa diterapkan. Hal
ini tentu tergantung kepada sarana dan prasarana pendukung disebuah
sekolah

2.5 Implementasi literasi budaya dan kewarganegaraan

kemampuan membaca dan menulis, tetapi literasi bisa berarti melek teknologi,politik, berpikir
kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar (Irianto & Febrianti,2017). Pentingnya kesadaran
literasi sangat mendukung keberhasilan seseorang dalam menangani berbagai permasalahan.
Seseorang apabila memiliki kemampuan literasi akan memperoleh ilmu pengetahuan dan
mendokumentasikan sepenggal pengalaman yang akan menjadi rujukan di masa mendatang.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) menyatakan bahwa, “Kemampuan literasi


budaya dan kewargaan adalah keterampilan perilaku dalam kebudayaan nasional sebagai
identitas bangsa serta memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.” Literasi budaya dan
kewargaan merupakan kemampuan seseorang dalam bersikap sebagai bagian dari suatu budaya
dan bangsa dalam lingkungan sosialnya. Pemerintah memanfaatkan pendidikan literasi sebagai
media penanaman nilai nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat di era millennial melalui
program Gerakan Literasi Nasional di Indonesia. Literasi budaya merupakan, “Kemampuan
dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa,
sementara literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai
warga negara. Dengan demikian, literasi budaya dan kewargaan merupakan kemampuan individu
dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya
dan bangsa”(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

Literasi budaya dan kewargaan menjadi hal yang penting untuk dikuasai di abad ke-21 oleh
setiap orang terutama generasi millennial, agar mereka dapat tetap mencintai dan ikut
melestarikan kebudayaan Indonesia.Negara ini memiliki beragam suku bangsa,
bahasa,kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial. Negara Indonesia sebagai bagian
dari dunia, turut terlibat dalam kancah perkembangan dan perubahan global. Oleh karena itu,
kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana dan cerdas atas
keberagaman tersebut menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan di abad 21 ini.Literasi

7
selalu dimaksudkan sebagai kemampuan dasar dalam hal membaca, menghitung, dan menulis.
Literasi mulai diperkenalkan sejak dini pada anak untuk membentuk sikap yang baik. Namun
seiring perkembangannya konsep literasi berubah menjadi rangkaian keterampilan dalam
berbagai macam kelompok dilihat dari perspektif berbagai bidang seperti munculnya literasi
informasi, literasi kesehatan, literasi teknologi, literasi ekonomi, literasi budaya dan lain-lain.
Literasi tidak lagi hanya dipandang sebagai kemampuan dasar atau alat yang mendukung proses
pembelajaran akademik tetapi sudah menjadi faktor pendukung kebutuhan masyarakat akan
akses informasi yang akurat dan terpercaya, kemampuan berpikir seorang individu dalam
menyelesaikan permasalahan, serta etika sikap sosial dalam berinteraksi antar kelompok dalam
masyarakatYusup & Saepudin (2017)menambahkan bahwa, “Literasi bukanlah sebuah
karakteristik manusia sejak lahir, bukan juga unsur dasar kemampuan manusia, namun
merupakan sebuah kemampuan yang dipelajari demi peningkatan kualitas hidup yang didapatkan
dan digunakan dari di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.” Bahkan dalam
perkembangan terakhir, ada kecenderungan kemampuan literasi yang digunakan sebagai
complementray skill pada kegiatan komunikasi sosial seseorang dengan kelompok di masyarakat
dalam interaksi sosial, arus budaya modern, perkembangan bisnis, dan opini dalam politik.
Keahlian dalam literasi tidak hanya dapat menjadi kompetensi dalam satu konteks bidang
kehidupan tetapi bersingungan sebagai multidimensi yang dapat memengaruhi berbagai bidang
secara bersamaan. Pemahaman mengenai

literasi juga dapat dilihat dari jenis kegunaannya yaitu literasi dasar dan literasi fungsional.
Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi hal yang penting untuk
kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya
mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan
tinggi (Permatasari, 2015). Namun disinyalir bahwa tingkat literasi khususnya di kalangan
sekolah semakin tidak diminati. Hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan dalam
mengelola system pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, sudah saatnya
budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan
menguasai dunia tulismenulis. Hal ini dilakukan juga sebagai langkah dalam pembentukan
generasi millennial yang lebih cerdas dan terpelajar (literate) ke depannya.Literasi budaya dan
kewargaan merupakan kemampuan yang harusdimiliki individu dan masyarakat untuk dapat
bersikap di lingkungan sosial, sebagian bagian dari suatu budaya bangsa Indonesia. Kemampuan
literasi budaya dan kewargaan harus dimiliki masyarakatterutama generasi millennial agar tetap
mencintai serta dan bisa melestarikan kebudayaan lokal yang ada sebagai bagian dari identitas
bangsa Indonesia. Selain itu, implementasi literasi budaya dan kewargaan juga dapat digunakan
untuk mengatasi disinformasi yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa ini terutama pada
generasi millennial agar bisa mengolah informasi dengan lebih baik serta bisa tetap mencintai
dan melestarikan budaya lokal (lokal konten) yang dimiliki Indonesia.

Implementasi literasi budaya dan kewargaan dalam mengatasi disinformasi pada generasi
millennial dapat dilakukan melalui, pertama, pelaksanaan program kegiatan yang berisi tentang

8
pengolahan informasi yang baik, dan kedua melalui penerapan literasi budaya dan kewargaan
pada ranah sekolah, keluarga dan masyarakat. Adapun cara yang dapat dilakukan dalam
penerapan literasi budaya dan kewargaan dalam mengatasi disinformasi pada generasi millennial
di abad 21 ini, di antaranya pertama,penerapan tujuh pilar literasi informasi SCONUL, di
antaranya “Identify, scope, manage dan present” (Cahyadi, 2018).

Generasi Millennial harus mampu mengidentifikasi kebutuhan informasi yang dibutuhkan. Lalu
mereka dapat merumuskan pertanyaan mengenai informasi yang dibutuhkan atau mempersempit
kajian. Terakhir, mereka dapat menggunakan informasi yang diperoleh sesuai etika dan legalitas.

2.6 Permasalahan dan solusi budaya membaca

Standar Asessmen Internasional Dalam Mengukur Kemampuan MembacaSebuah analisa tentang


pengukuran kemampuan membaca dilakukan oleh Gufran A. Ibrahim selaku Ketua Pokja
Literasi Membaca Menulis, Gerakan Literasi Nasional, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan
(Ibrahim, 2017), yaitu:

Pertama, teks bacaan dalam uji PISA adalah multiteks yang sajiannya begitu canggih. Isi dan
struktur teksnya dalam tampilan beragam genre wacana dengan memadukan kata, kalimat,
grafik, peta, dan ragaan yang dibentuk dalam tautan lintas-teks dengan siasat rujuk silang (cross-
reference). Untuk menukik ke kedalaman makna multiteks seperti ini, sedikitnya dibutuhkan dua
kecakapan penting: (1) terampil menangkap makna yang tersaji dalam paragraf; dan (2)
kecepatan mengemas tautan makna antarteks, antarteks dengan grafik, antarteks dan simbol,
serta relasi makna antargrafik.

Kedua, jika hanya terbiasa berhadapan dengan teks tunggal di sekolah, yaitu teks hanya
rangkaian paragraf, siswa kita akan kesulitan luar biasa menghadapi teks ragam genre dalam
kemasan multimedia. Siswa yang hanya terbiasa membaca sebagai ”cara menyandikan kembali
lambanglambang ortografi secara diam atau nyaring” akan ”kewalahan” menghadapi teks
kompleks yang disodorkan uji PISA. Apabila siswa kita tak menjadikan membaca sebagai
aktivitas harian, di sekolah ataupun di rumah, kepayahan akan menghadang saat menghadapi
rumitnya struktur fisik dan kedalaman makna multiteks dalam kemasan multimedia. Apalagi jika
siswa membaca hanya kalau ada tugas sekolah. Belum lagi pembelajaran di kelas yang tidak
mendorong strategi membaca yang variatif dan eksploratif serta inovasi model membaca yang
mengenalkan keragaman genre teks. Kalau benar siswa yang jadi sasaran uji PISA tak terbiasa
mengenali dan membaca teks kompleks, maka gagal paham atas ”rimba” semantik multiteks
sebenarnya bersumber dari persoalan yang sederhana tapi mendasar dalam belajar, yaitu ihwal
”kebiasaan” dan ”kebisaan”. Kalau saja belajar didefinsikan secara sederhana sebagai aktivitas
psikokognitif siswa ”membiasakan” tindakan pemerolehan pengetahuan-kecakapanketerampilan,
maka kepandaian dan kesuksesan menukik ke kedalaman teks-teks multigenremultimedia dan
menangkap spektrum maknanya hanya akan bisa dibentuk melalui ”pembiasaan” mengenali dan
membaca teks-teks tersebut. Jika kelas di sekolah hanya bisa dan biasa membelajarkan membaca

9
teks-teks tunggal dan sederhana yang nir-inovasi, siswa hanya akan bisa mencapai kepandaian
setingkat itu: kemampuan baca paling dasar. Studi lain tentang instrumen PISA dilakukan oleh
Harsiati yang bertujuan menelaah karakteristik soal membaca instrumen PISA tahun 2000-2009
(Harsiati, 2018), dimana hasil analisisnya adalah sebagai berikut:1) Soal literasi membaca PISA
didominasi keterampilan berpikir tingkat tinggi berupa kemampuan interpretasi, refleksi, dan
evaluasi. 2) Kemampuan membaca yang diujikan adalah mengungkapkan kembali informasi,
mengembangkan interpretasi dan mengintegrasikan, sertamerefleksikan dan mengevaluasi teks.
3) Soal cenderung menggunakan wacana panjang (135-630 kata) dan kalimat pertanyaan
cenderung kompleks. 4) Ragam tes yang digunakan meliputi pilihan ganda, pilihan ganda
kompleks, jawaban singkat, esai tertutup, dan esai terbuka. 5) Karakteristik konteks
diklasifikasikan empat kategori, yaitu pendidikan, pekerjaan, personal, dan masyarakat. 6) Isi
kutipan bertema keselamatan keamanan diri, bermasyarakat, cara menyelesaikan pendidikan dan
IPTEK, cerita personal berisi nilai moral untuk meningkatkan kualitas hidup.

Berdasarkan dua studi yang pada intinya menyimpulkan hal yang sama, maka dapat disimak
bahwa untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang ada pada instrumen PISA membutuhkan
kemampuan dan keterampilan membaca pemahaman yang tidak hanya sekedar mampu membaca
teks soal dan wacana yang disediakan. Persoalan yang dihadapi oleh para siswa Indonesia adalah
mereka terbiasa dengan wacana yang sederhana dengan penilaian atau bentuk soal yang
sederhana pula atau sering diistilahkan dengan low order thinking. Dalam hal ini kemampuan
para penulis buku ajar, penyusun soal dan juga guru dalam memfasilitasi dan membiasakan
siswa dengan bacaan dan soal yang high order thinking sangat dibutuhkan. Dalam hal ini
Widiningsih menjelaskan bahwa wacana dan penilaian yang berorientasi high order thinking
akan mengarahkan pada proses pembentukan keterampilan dalam hal : 1) transfer satu konsep ke
konsep lainnya, 2) memproses dan mengintegrasikan informasi, 3) mencari kaitan dari berbagai
informasi yang berbeda-beda, 4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan 5)
menelaah ide dan informasi secara kritis (Widiningsih, 2019). Dengan demikian soal-soal HOTS
menguji keterampilan berpikir menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.Untuk membiasakan
maka perlu waktu sehingga membiasakannya sejak usia dini atau sekolah dasar menjadi sebuah
keharusan. Artinya peningkatan kemampuan membaca haruslah dididukung oleh budaya
membaca yang baik.

2. Faktor Pendorong Rendahnya Kemampuan & Budaya Baca Siswa di Indonesia

a. Salah persepsi tentang konsep kemampuan membaca pada sebagian besar masyarakat
termasuk siswa dan guru.Hal ini menjadi salah satu faktor yang masih saja terjadi, misalnya
pembelajaran membaca pada tingkat Sekolah Dasar yang seharusnya menjadi pondasi awal
membangun kemampuan membaca yang cenderung abai terutama setelah siswa menginjak kelas
tinggi. Faktor yang melatarbelakangi karena anggapan yang salah baik pada orang tua maupun
guru terhadap kemampuan membaca itu sendiri. Orang tua, guru dan masyarakat pada umumnya,
menganggap bahwa pengajaran membaca telah berakhir ketika seorang siswa Sekolah Dasar
telah mampu membaca dan menulis permulaan yang biasanya dilaksanakan di kelas I dan II

10
Sekolah Dasar. Sementara pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu kelas III sampai kelas VI,
pengajaran membaca lanjut (membaca pemahaman) belum mendapat perhatian yang serius
dalam arti belum dimulai ditanamkan secara kontinyu, sehingga membaca di kelas tinggi
tersebut seolah-olah masih menekankan pada kegiatan membaca nyaring dan lancar yang
merupakan lanjutan dari membaca dan menulis permulaan di kelas I dan II Sekolah Dasar
(Krismanto, Halik, & Sayidiman, 2015).

b. Pengembangan kemampuan membaca masih dipersepsikan sebagai bagian dari tanggung


jawab mata pelajaran bahasa saja. Berdasar perspektif kurikulum memang benar bahwa
membaca adalah salah satu kompetensi yang harus diajarkan dalam mapel bahasa, sehingga guru
mata pelajaran lain merasa tidak perlu ikut serta mengembangkan kemampuan membaca
pemahaman. Padahal pada semua mata pelajaran siswa harus membaca materi dan disitulah
semua guru mata pelajaran hendaknya ikut berperan. Misal guru mapel matematika sangat
berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa membaca grafik, tabel dan diagram, guru
mapel IPS mengembangkan kemampuan siswa membaca denah, peta, guru mapel IPA
mengembangkan kemampuan membaca prosedur, dsb.

c. Proses pembelajaran sekolah dasar masih belum memanfaatkan model, metode, strategi dan
media pembelajaran yang beragam dan sesuai untuk pembelajaran membaca pemahamanSecara
metode pembelajaran maupun bahan ajar yang digunakan di sekolah masih belum memfasilitasi
pengajaran membaca pemahaman. Model pembelajaran masih monoton pada kegiatan membaca
bacaan lalu menjawab soal dibawah bacaan atau LKS, sehingga aktivitas pembelajaran membaca
menjadi membosankan dan cenderung tidak menarik. Padahal begitu banyak model, metode
strategi dan media pembelajaran membaca pemahaman yang sebenarnya bisa digunakan oleh
guru dalam mengajarkan kemampuan membaca pemahaman dan banyak yang telah mengkaji
dan mengujinya seperti SQ3R (Krismanto et al., 2015), Latihan Terbimbing (Boliti, 2017),
Model Reciprocal Teaching (Noriasih, 2013), Pendekatan SAVI (Sari, Winarni, & Daryanto,
2014), Model CIRC (Tristiantari & Sumantri, 2017), strategi KWL (Aryani, Samadhy, &
Sismulyasih, 2012), pengunaan media Big Book (Setiyaningsih & Syamsudin, 2019) dll.

d. Bahan bacaan, kegiatan pembelajaran dan soal-soal latihan/evaluasi yang ada pada bahan ajar
di sekolah cenderung masih berkutat pada keterampilan berpikir tingkat rendah (low order
thinking) Salah satu elemen perubahan pada kurikulum 2013 adalah penguatan proses
pembelajaran dan berpikir tingkat tinggi, namun pada kenyataannya masih banyak guru yang
kurang paham tentang hal ini. Seharusnya guru mampu mengembangkan dan mengkonversikan
dari pembelajaran yang masih bersifat Lower Order Thinking Skill (LOTS) menjadi Higher
Order Thinking Skill (HOTS), dan ini harus sudah diawali sejak merancang Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) (Fanani & Kusmaharti, 2018). Salah satu hal yang terlihat
adalah dari kualitas bacaan dan pengalaman belajar dan soalnya.

Sementara soal-soal yang ada pada instrumen PISA, PIRLS dan EGRA berbentuk soal HOTS.
Harsiati menjelaskan bahwa dari segi aspek kompetensi membaca yang diukur, soal literasi

11
membaca PISA memiliki karakteristik berfokus pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pada
soal membaca PISA aspek kompetensi membaca dikategorikan tiga jenis yang mencakup: (a)
kemampuan mengungkapkan kembali informasi (retrieving Information),(b) mengembangkan
interpretasi (developing an interpretation), (c) merefleksikan dan mengevaluasi teks (Harsiati,
2018)e. Belum maksimalnya sarana prasarana dan pelayanan perpustakaan sekolah sebagai pusat
pengembangan kemampuan membaca siswa.Bersumber dari data BPS 2017, secara umum,
ketersediaan perpustakaan belum mencapai seratus persen bahkan kurang dari 80 persen. Jika
diasumsikan 1 sekolah 1 perpustakaan, maka berdasarkan data maka 2 dari 10 SD tidak memiliki
perpustakaan. Angka tersebut turun menjadi 3 pada jenjang SMP dan SMA, bahkan pada jenjang
SMK, hanya 6 dari 10 sekolah tersedia perpustakaan (BPS, 2017). Sehingga bagaimana mau
mengembangkan kemampuan membaca apalagi membudayakan membaca, jika sekolahnya saja
belum memiliki perpustakaan. Membahas tentang peran perpustakaan maka harus melihat dari 4
sisi yakni: 1) fasilitas, 2) administrasi pengelolaannya, 3) sumber daya manusia pengelolanya
dan 4) program-program pemanfaatan perpustakaan untuk mendukung gerakan membaca
(literasi sekolah). Berdasarkan data hasil survei sederhana di sebuah kota di Sulawesi Selatan
yang dilakukan Krismanto pada sekolah-sekolah yang memiliki perpusatakaan, hanya sisi
fasilitaslah yang berada dalam kategori cukup baik, dalam arti memiliki ruangan tersendiri
(meski ada yang digabung dengan ruang lain), koleksi lebih dari 500 buku, fasilitas rak buku
tersedia dan ada penambahan koleksi setiap tahun. Namun untuk tata kelola perpustakaan,
sumber daya manusia pengelolanya dan ketersediaan program-program pemanfaatan
perpustakaan untuk mendukung gerakan literasi sekolah masih berkategori kurang baik bahkan
dapat dikatakan memprihatinkan (Krismanto, 2017)Upaya Perbaikan yang Perlu Dilakukan
Demi tumbuhnya daya baca bangsa yang akan ditandai dengan kemampuan dan budaya
membaca yang baik, maka kesuksesan program Gerakan Literasi sudah menjadi keharusan agar
membaca tidak lagi menjadi permasalahan apalagi kontroversi, namun membaca menjadi solusi
atas segala permasalahan bangsa. Untuk kesuksesan tersebut banyak hal yang perlu segera
diperbaiki.

Gufran A. Ibrahim mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua cara penting untuk
meningkatkan budaya literasi membaca. Menurutnya hal tersebut tentu tak sekadar untuk
kepentingan penilaian PISA atau program-program asessmen kemampuan membaca lainnya,
tetapi yang paling penting adalah memastikan pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar
dibangun untuk membentuk daya baca.

Pertama, menemu-kenali sebab-sebab terdalam mengapa siswa kurang sabar dan kurang cermat
saat berhadapan dengan teks yang panjang dan dalam uji PISA. Kedua, kita merumus-ulang
paradigma pembelajaran membaca, tidak hanya melalui mata pelajaran bahasa (Indonesia dan
Inggris), tetapi menyusun model pembelajaran membaca bagi seluruh mata pelajaran. Semua
guru mata pelajaran di sekolah dilatih model dan strategi membaca melalui model pembelajaran
andragogi, dengan tiga siasat penting: (1) pencanggihan cara membaca; (2) peragaman jenis-
jenis teks, dari teks tertulis—berbasis kertas (paper base)—yang sederhana hingga teks

12
kompleks; dan (3) pengenalan teks-teks multimedia berbasis komputer—nirkertas (paperless)
(Ibrahim, 2017). Untuk itu perbaikan kualitas pembelajaran membaca, bahan ajarnya, kualitas
latihan dan soal-soal evaluasinya perlu segera dilakukan yang tentunya melibatkan banyak pihak
terkait. Dengan demikian para pelajar Indonesia tidak terpaku dan terbiasa pada wacana-wacana
yang low order thinkings.

Berikutnya adalah perbaikan sarana prasarana atau keberadaan perpustakaan sekolah sebagai
pusat literasi, tidak hanya literasi warga sekolah namun warga masyarakat disekitarnya untuk
mendukung kebiasaan gemar membaca siswa dan warga masyarakat sekitar. Selain itu tata
kelola dan program kerja perpustakaan perlu dibangun seiring dengan penyediaan sarana-
prasatana perpustakaan sekolah. Satuan pendidikan merupakan wahana paling tepat untuk
menumbuhkan kegemaran membaca sejak usia dini yang terus dikembangkan sejalan dengan
peningkatan kemampuan peserta didik, antara lain, melalui penugasan kepada mereka untuk
mendayagunakan bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan (UU No. 43 Tahun 2007 tentang
perpustakaan, Penjelasan Pasal 51 Ayat 3). Oleh karena itu, upaya meningkatkan jumlah
perpustakaan sekolah perlu dilakukan pemerintah dan harus memastikan tidak ada satu pun
sekolah di Indonesia yang tidak memiliki perpustakaan. Pendampingan tata kelola dan
pengembangan program literasi yang berpusat pada perpustakaan sekolah perlu diintensifkan,
dengan demikian sarana prasarana yang dibangun dapat memberi kontribusi yang maksimal pada
peningkatan kemampuan membaca dan budaya membaca

.Selain itu, Ane Permatasari memberikan ide program yang layak dijalankan sebagai upaya
membangun budaya baca masayarakat Indonesia (Permatasari, 2015), yaitu: 1) perlu
memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang
lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu
dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air. Sehingga tidak ada masyarakat di
pedalaman Nusantara sekalipun yang masih sulit belajar garagara tidak ada sekolah, kekurangan
guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi
warganya. 2) bangun lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman
untuk membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik. 3)
dibutuhkan program-program berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong
minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. 4) dari sisi penerbit, harus ada dorongan agar
semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku yang berkualitas dari berbagai bidang.
Kian banyak tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan bagi masyarakat, dan 5)
dukung kekuatan masyarakat madani untuk bersama-sama pemerintah dan semua pihak
membangun peradaban membaca buku.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Membaca adalah kemampuan mendasar setiap manusia yang hidup di masa kini apalagi masa
mendatang. Kemampuan membaca kini tidak lagi terbatas pada sekedar menyusun huruf menjadi
kata, membaca kata-kata menjadi sebuah kalimat, membaca kalimat per kalimat menjadi sebuah
paragraf, dan membaca paragraf demi paragraf menjadi sebuah wacana. Membaca harus
memahami makna dibaliknya dan mengarahkan perilaku si pembaca atas makna yang didapatkan
dari bacaan yang telah diselesaikannya. Apalagi informasi di era sekarang kalimat-kalimat telah
berganti menjadi visualisasi seperti gambar, grafik, poster, peta konsep, pemetaan dan
sebagainya, yang tentu membutuhkan lebih dari sekedar membaca secara visual semata. Untuk
itu menumbuhkan budaya membaca dan membekali keterampilan membaca pemahaman dengan
orientasi berpikir tingkat tinggi pada setiap warga negaranya menjadi salah satu tantangan berat
bangsa Indonesia kedepan. Motivasi meningkatkan kemampuan dan menumbuhkan budaya
membaca harus digelorakan semangatnya pada bangsa Indonesia terutama pada para siswa
sebagai modal utama mereka mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan menyerap berbagai
informasi di era zama ini. Tentu semangat ini tidak sekedar ditujukan untuk sekedar menaikan
ranking tingkat literasi membaca Indonesia di kancah internasionalseperti PISA, PIRLS, EGRA
dsb., tapi jauh lebih penting dari itu adalah ditujukan untuk menumbuhkan daya baca bangsa.
Menyusun pola pembelajaran membaca dan penilaiannya agar sama dengan standar asesmen
internasional sehingga harapannya mampu menaikkan peringkat Indonesia memang perlu
dilakukan, namun jauh labih penting adalah menumbuhkan karakter dan budaya senang
membaca pada generasi penerus bangsa jauh lebih utama. Seperti yang ditegaskan oleh Ibrahim
bahwa: “Di atas segalanya, pembiasaan menjadi bangsa pembaca bukan hanya perkara
menghitung nilai pencapaian setiap akhir belajar. Pembiasaan untuk keluar dari ketidaksabaran
dan ketidakcermatan dalam membaca adalah proyek kebudayaan membaca; dan proyek
kebudayaan membaca tidak bisa dikerjakan secara instan, kecuali kalau kita hanya ingin
meningkatkan indeks dan peringkat literasi membaca kita. Memang, PISA adalah salah satu alat
ukur seberapa jauh hasil belajar telah dicapai. Akan tetapi, jika cara-cara menumbuhkan budaya
literasi membaca yang hanya untuk menaikkan peringkat, sesungguhnya kita sedang mendorong
belajar bukan untuk mencapai kepandaian, melainkan belajar sekadar mendapatkan nilai rapor
dan peringkat.”(Ibrahim, 2017).

3.2 Saran
Beberapa saran yang perlu dilakukan sebagai upaya menumbuhkan budaya dan daya baca bangsa
diantaranya: 1) merumus-ulang paradigma pembelajaran membaca, tidak hanya melalui mata
pelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris), tetapi menyusun model pembelajaran membaca bagi
seluruh mata pelajaran, 2) perbaikan sarana prasarana perpustakaan sekolah yang diringi

14
perbaikan tata kelola dan program kerja perpustakaan sebagai pusat literasi di semua jenjang
sekolah, 3) meningkatkan kualitas proses pembelajaran melalui penerapan model, metode,
strategi, pengembangan bahan ajar dan media pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan
membaca siswa terutama pada jenjang sekolah dasar, 4) perbaikan kualitas atas pengajaran
membaca di program studi calon guru di lembaga pendidik tenaga kependidikan melalui kegiatan
penelitian tentang model, metode, strategi, pengembangan bahan ajar dan media pembelajaran
untuk mengembangkan kemampuan membaca siswa lalu disosialisasikan melalui program
pengabdian kepada masyarakat khususnya sekolah-sekolah, 4) adanya program kemasyarakatan
atau komunitas yang mendorong pada peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat secara
menyeluruh tentang pentingnya budaya membaca seperti taman bacaan masyarakat, jam
belajar dan sebagainya.

15
BAB 1V

DAFTAR PUSTAKA

Syahriyani,Alfi.(2010).Optimalisasi Budaya Literasi Dikalangan


Mahasiswa:Upaya Meretas Komunikasi Global.Jurnal UI Untuk Bangsa Seri
Sosial dan Humaniora.Vol 1.

Darmayanti,Riska.(2016).Membangun Budaya Literasi Informasi bagi Masyarakat


Kampus.Jurnal Iqra.Vol 10.No 01.

Suragangga,Ngurah.(2017).Mendidik Lewat Literasi Untuk Pendidikan


Berkualitas.Jurnal Penjamin Mutu.Vol 3.No 2.

Anggi.Eflinnida.(2019).Implementasi Literasi Budaya Dan Kewarganegaraan


Sebagai Solusi Disinfornmasi pada Generasi Millenial dinIndonesia.Jurnal Kajian
Informasi & Perpustakaan.Vol 7.No 1.

Lilik.Wawan.(2020). Permasalahan Budaya Membaca di Indonesia.Jurnal


Pendidikan dan Kebudayaan.Vol 10.No 1.

16

Anda mungkin juga menyukai