Anda di halaman 1dari 10

Tujuan Pengajaran Sastra:

1. Memperoleh pengetahuan tentang sastra yang mencakup pengetahuan tentang teori


sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (bergubungan dengan cabang-cabang ilmu sastra)
2. Memperoleh pengalaman bersastra yang mencakup kegiatan berapresiasi dan berekspresi
atau produktif.
HAKIKAT PEMBELAJARAN SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikatnya sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan
penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat, kepercayaan. Oleh karena itu sastra
mempunyai cakupan yang sangat luas tergangtung dari sisi mana manusia memandangnya.
Dalam dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar
dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab Sastra mampu
menjawab terhadap apa yang pernah ada di muka bumi, karena sastra berasal dari hasil
pengamatan tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta
hasil dari akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia
sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.

Melalui pengamatan, Pengajaran sastra melalui proses pembelajaran di bangku sekolah


belum mendapatkan hasil yang maksimal jika ditinjau dari aspek kreatifitas dan humanitas
padahal aspek yang sangat di perlukan dalam membuat sastra adalah kreatifitas baik sebagai
pencipta begitupula dalam mengapresiasikan sastra selaku penikmat karya sastra. Peranan guru
sangat di perlukan dalam menciptakan model pembelajaran sastra. Oleh karena itu seorang guru
mestilah mengetahui hakikat dari sastra tersebut serta hakikat dari pengajaran sastra.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Apakah pengertian sastra?
2. Bagaimanakan jenis-jenis sastra?

1
3. Bagaimanakah pengertian pengajaran sastra?
4. Apakah tujuan pengajaran sastra?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hakikat dari pengajaran sastra

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta „Sastra‟, yang
berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar „Sas‟ yang berarti
“instruksi” atau “ajaran” dan „Tra‟ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia
kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya
sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau
abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang
menggeluti sastrawi.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra
lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa
yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Sastra
dibagi menjadi 2 yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan
Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya Sastra
Puisi yaitu Puisi, Pantun, dan Syair sedangkan contoh karya sastra Prosa yaitu Novel,
Cerita/Cerpen, dan Drama.
Pengertian Sastra Menurut Para Ahli:
1. Mursal Esten (1978 : 9) Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan
imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai
medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
2. Semi (1988 : 8 ) Sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
3. Panuti Sudjiman (1986 : 68) Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai
ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.

2
4. Ahmad Badrun (1983 : 16) Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa
dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
5. Engleton (1988 : 4) Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang
mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan,
didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.
6. Plato
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus
merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena
itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
7. Aristoteles
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
8. Robert Scholes (1992: 1) Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda
9. Sapardi (1979: 1) Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan social.
10. Taum (1997: 13) Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra
adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”
11. Menurut kelompok kami sastra adalah segala bentuk keindahan yang diciptakan oleh manusia
sehingga dengan keindahan itu manusia dapat melihat dan menikmatinya
B. Jenis-jenis sastra

Pembicaraan yang selama ini dilakukan ternyata hanya memberi perhatian pada tiga jenis
karya sastra yaitu puisi, prosa cerita, dan drama. Hal itu memang logis karena tiga jenis
tersebutlah yang mengandung unsur-unsur kesusastraan secara dominan (fiksi, imaji, dan
rekaan). Namun, seiring dengan perkembangan dunia sastra akhir-akhir ini mulai terjadi
pembatasan yang tipis antara khayalan dan kenyataan. Oleh sebab itu mulai dibicarakan
pembagian sastra yanag lain.

Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.

Sastra imajinatif mempunyai ciri ciri sebagai berikut:

3
1. Isinya bersifat khayali
2. Menggunakan bahasa yang konotatif
3. Memenuhi syarat-syarat estetika seni.

Sedangkan sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Isinya menekankan unsur faktual/faktanya.


2. Menggunakan bahasa yang cenderung denotatif.
3. Memenuhi unsur-unsur estetika seni.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesamaan antara sastra imajinatif dan non-
imajinatif adalah masalah estetika seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity),
keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), fokus/pusat penekanan suatu unsur (right
emphasis). Sedangkan perbedaannya terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif
sepenuhnya bersifat khayal/fiktif, sedangkan isi sastra non-imajinantif didominasi oleh fakta-
fakta. Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif, sedangkan bahasa sastra non-imajinatif
cenderung denotatif.

Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah

1. Puisi, antara lain : Epik, Lirik, Dramatik dan lain-lain


2. Prosa antara lain : Fiksi (novel, cerpen, roman) dan
3. Drama antara lain drama prosa dan drama puisi

Bentuk karya sastra yang termasuk sastra non-imajinatif adalah

1. Esai, yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi
penulisnya.
2. Kritik, adalah analisis untuk menilai suatu karya seni atau karya sastra.
3. Biografi, adalah cerita tentang kehidupan seseorang yang ditulis oleh orang lain.
4. Otobiografi, adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
5. Sejarah, adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat berdasarkan sumber tertulis
maupun tidak tertulis.
6. Memoar, adalah otobiografi tentang sebagian pengalaman hidup saja.

4
7. Catatan harian, adalah catataan seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis
secara teratur.
C. Pengertian pengajaran sastra

Sistem pengajaran sastra memerlukan pembenahan besar dengan kepentingan untuk


pencapaian proses dan hasil maksimal. Sistem itu mengaju pada kurikulum dan strategi guru
dalam pengajaran sastar. Suwardi Endraswara (2002) dalam sekian tulisan mengenai pengajaran
sastra di Indonesia kerap mempersoalkan kebobrokan dan kelemahan atau dalam istilah yang
keren disebut “terkena infeksi”, “terjangkit virus kronis”, dan “suram”. Kondisi-kondisi itu
menjadi sebab pengajaran sastra bisa membuat “perut mual” dan “influenza berat”. Istilah-istilah
yang digunakan Suwardi Endraswara itu mempresentasikan kondisi pengajaran sastra di
Indonesia yang masih bermasalah dan belum menemukan jalan pencerahan.
Strategi guru dalam pengajaran sastra memainkan peran penting untuk merealisasikan
idealitas pengajaran sastra. Raymon Rodrigues mengajukan suatu strategi terapan yang mungkin
bisa diadopsi dalam pengajaran sastra dengan cara diskusi, bermain peran, dramatisasi adegan,
presentase kemedia, menelaah nilai sastra, menulis kreatif, dan tinjauan kesusastraan. Stratewgi
pengajaran sastra itu memang berat untuk bisa direalisasikan oleh guru tapi mungkin dilakukan
dengan niat bahwa ada proses pembaruan dalam pengajaran dengan perhitungan gagal dan
berhasil.
Beradasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengajaran sastra adalah metode-
metode/cara yang dapat mempermudah pengajaran sastra dalam pendidikan dan dapat
menggugah minat siswa untuk menyenangi sastra.
D. Tujuan pengajaran sastra
a. Pengetahuan Tentang Sastra
Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya adalah
memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra mencakup pengetahuan tentang
teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Sedangkan pengalaman bersastra mencakup kegiatan
berapresiasi atau reseptip dan berekspresi atau produktif.
Cakupan pengetahuan tentang sastra adalah tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian sastra. Dalam perkembangan
ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut.

5
Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif
sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan
pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang
pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode
dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat
kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat
berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada
waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling
terkait.
Wellek dan Warren (1989 : 38) menjelaskan bahwa teori sastra adalah studi prinsip,
kategori, dan kriteria, sedangkan studi karya-karya kongkret disebut kritik sastra (pendekatan
statis) dan sejarah sastra. Dari penjelasan tersebut dapat kita artikan bahwa teori sastra adalah
cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya
sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud teori
adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan
hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Kritik sastra juga merupakan bagian dari ilmu sastra, meskipun ada istilah lain yang
sering digunakan yaitu telaah sastra, analisis sastra, penelitian sastra, dan kajian sastra. Untuk
menjadi seorang kritikus sastra diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang
banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, serta tentunya penguasaan tentang
teori sastra.
Dari penjelasan kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra.
Aktivitas kritik sastra mencakup tiga hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya
sastra.

Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik
hubungan antara unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan dapat diartikan kegiatan
memperjelas maksud karya sastra.

Adapun aktivitas yang ketiga adalah penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukan
nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Wellek
dan Warren (1989 : 316) menjelaskan bahwa apabila kita berusaha menguraikan dengan rinci

6
perhatian manusia pada sastra, kita akan mengalami kesulitan untuk menjabarkannya. Dalam hal
ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar
kritik sastra yang dipahami seorang kritikus.

Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari
waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan
yang berkecimpung pada masanya, karya-karya sastra yang bagus yang menghiasi dunia sastra,
serta kejadian-kejadian yang terjadi seputar masalah sastra. Seorang sejarawan sastra selain harus
mampu mendokumentasikan karya sastra, dia juga harus mampu membuat pemilahan hasil
dokumentasinya berdasarkan ciri, gaya, klasifikasi, gejala-gejala yang ada, pengaruh, karakter
dan lain-lain.
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat dalam
karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, pilihan kata, struktur maupun
konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar dan lainnya yang membangun
sebuah karya sastra atau lazim juga disebut unsur intrinsik. Di sisi lain kritik sastra merupakan
ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, meneliti, mengulas memberi pertimbangan, serta
memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Untuk memberikan pertimbangan atas
karya sastra, kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang
melingkupi karya sastra.
Begitu juga hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah
bagian dari ilmu sastra yang mempelajari karya sastra dari waktu ke waktu, sebagai bagian dari
pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa atau suatu
daerah diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang
menunjukan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada
periode tertentu.
Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra, dan
kritik sastra terjalin keterkaitan. Sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati,
ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya intervensi dari ketiga bidang ilmu sastra
tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan
kritik sastra, begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan apabila teori dan
kritik sastra tidak jelas, dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran apabila teori dan sejarah
sastra tidak dijadikan tumpuan.

7
b. Pengalaman Bersastra

Di bagian awal telah dijelaskan bahwa tujuan pengajaran sastra salah satunya adalah
memperoleh pengalaman bersastra. Cakupan pengalaman bersastra adalah kegiatan berapresiasi
dan kegiatan berekspresi.
Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti mengindahkan atau
menghargai. Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian,
dan pengertian terhadap karya sastra. Dalam konteks yang lebih luas istilah apresiasi
mengandung makna pengenalan, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai kehidupan
yang diungkapkan pengarang. Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek
yaitu, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya
memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif itu selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam
suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks yang
secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri.
Aspek emotif berkaitan dengan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-
unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperan
dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa
bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau bersifat konotatif-interpretatif serta
dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang
bersifat metaforis.
Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik atau
buruk, indah atau tidak indah, sesuai atau tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang
tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.
Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap
apresiator yang telah mampu merespon teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman
dan penghayatan, sekaligus juga mampu melakukan penilaian.
Belajar apresiasi sastra pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui
karya sastra, manusia akan memperoleh asupan batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam kehidupan
bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak
ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia.

8
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa
semakin penting untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki
peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal
apresiasi sastra yang memadai diharapkan para alumnus pendidikan mampu bersaing pada era
global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
Kegiatan berekspresi sastra diartikan sebagai kegiatan mengungkapkan perasaan lewat
karya sastra. Banyak cara yang dilakukan seseorang ketika mengungkapkan perasaannya.
Sekadar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidikan dan yang
ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra.
Dari sekian banyak kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran
sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaanya. Karena bukan tidak
mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan
bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa
membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap karya sastra. Hal
ini berimbas kepada kemampuan untuk berekspresi dalam sastra, sangat sulit kita temukan saat
ini para anak muda bangsa yang gemar membaca puisi, atau gemar bermain drama.
Keadaan sulit ini mesti menjadi pemikiran kita bersama. Karya sastra mampu
memberikan pelajaran kehidupan bagi penikmatnya. Tetapi keadaan kurikulum sekarang ini di
sekolah-sekolah lebih menekankan kepada kemampuan berbahasa dengan lebih banyak
mengorbankan aspek apresiasi sastra. Tentu sebuah hal yang sangat ironis bagi keberlangsungan
sastra itu sendiri.
Secara garis besar tujuan pengajaran sastra adalah untuk memperoleh pengetahuan
tentang sastra dan memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra meliputi teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Meskipun sebenarnya masih banyak cabang-cabang ilmu
sastra yang lainnya, seperti, sifat sastra, fungsi sastra, gaya, stilistika dan lain-lain. Tetapi dengan
memahami teori, kritik, dan sejarah sastra seorang penikmat sastra akan mampu menjadi seorang
apresiator yang baik.
Memperoleh pengalaman bersastra bisa diartikan memperoleh pengalaman apresiasi dan
ekspresi. Belajar apresiasi sastra pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan.
Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek
emotif, dan aspek evaluatif.

9
Sedangkan berekspresi dalam sastra adalah kegiatan dimana kita mampu mencurahkan
perasaan lewat sastra, bisa dengan bahasa lisan maupun dengan bahasa tulis. Seiring dengan
dinamika peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa semakin penting untuk
disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar
dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang
memadai diharapkan para alumni pendidikan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif,
matang, dan dewasa.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan makalah ini adalah:
1. Sastra pada dasarnya bukanlah ilmu, sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh
faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat, kepercayaan.
2. Dalam bahasa Indonesia kata sastra biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan”
atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
3. Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.
4. Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya adalah memperoleh
pengalaman bersastra
5. Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek
emotif, dan aspek evaluatif.
B. SARAN

Adapun saran dalam makalah ini adalah marilah kita tingkatkan kemampuan kita dalam
bersastra, utamanya para pendidik agar peserta didik yang kita ajar dapat betul-bertul memahami
dari inti sastra itu sendiri.

http://guruoemarsabri.blogspot.com/2012/05/hakikat-pembelajaran-sastra.html

10

Anda mungkin juga menyukai