Anda di halaman 1dari 527

2

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Bisikan Tetesan Hujan


ii

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Bisikan Tetesan Hujan


Johan M. Lay Out: Nazarudin Desain Sampul: M. Tahir Penerbit Arga Puji Press, Mataram, Lombok Jl. Berlian Raya Klaster Rinjani 11, Perumahan Bumi Selaparang Asri, Midang, Gunung Sari Lombok Barat, Tlp: 081-93-1234-271. e-mail: gugurmayang@yahoo.com web site: www.argapuji.com Cetakan Pertama, Desember 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Bisikan Tetesan Hujan Johan M. Lombok Barat NTB: Penerbit Arga Puji Press, 2012 vi + 520 hlm. 21 cm x 14 cm. ISBN: 978-979-1025-43-0 I. Bisikan Tetesan Hujan I. Judul

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku belum punya apa pun saat ini yang berharga untuk kubagi denganmu padahal aku begitu ingin melakukannya Jadi sementara waktu sambil menunggu bacalah dan jaga cerita ini pada sedikit tempat di hatimu j.m.

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sinopsis Apa yang dapat dilakukan sebagai remaja yang baru akan dewasa, ketika seorang gadis berjilbab yang memiliki senyuman amat menawan, yang bahkan terlalu cantik bagi dunia yang baru dikenalnya, tiba-tiba saja muncul seperti sengaja menghadirkan dirinya menjadi sosok yang paling sempurna? Meskipun ada cukup keberanian untuk melakukannya, menyatakan cinta rasanya masih merupakan tindakan yang paling konyol, karena dapat mengancam kelangsungan persahabatan mereka yang sudah terlanjur manis. Salwa telah mencoba mengungkapkan perasaannya pada salah satu teman dekatnya, yang juga teman dekat Liwa. Pada kesempatan yang berbeda Liwa juga melakukan hal yang sama. Tetapi ilham mereka berdua untuk mencoba menerobos dinding ketidaktahuan perasaan masingmasing, ternyata justru terhadang oleh sosok sahabat dekat yang lebih menjadikan dirinya sebagai palung daripada jembatan atas setiap ungkapan perasaan yang disampaikan oleh Liwa atau Salwa. Ketika akhirnya karena sebuah keajaiban kecil, Salwa dan Liwa saling mengetahui rahasia hati masing-masing, kesempatan menikmati hari-hari sebagai kekasih terpaksa berlangsung tidak lama. Keduanya tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang paling tidak
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

diharapkan terjadi. Apakah yang membuat angan-angan manis sepasang kekasih itu mendadak harus dihapuskan hingga nyaris seperti tidak pernah terjalin? Kemudian masih adakah celah untuk membicarakan sisa rahasia dari perasaan mereka?

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

SALWA -1Amplop kecil itu berwarna biru. Dari bentuk, motif, dan aromanya, aku tahu, isinya pasti tidak jauh berbeda dengan amplop-amplop lain seperti yang pernah kuterima sebelumnya. Entah apa yang dipikirlah oleh laki-laki sehingga gadis ingusan sepertiku sudah diperhatikan dengan cara yang menurutku seharusnya kuperoleh setelah usiaku genap tujuh belas tahun, yang berarti masih harus ditunggu dua tahun lagi. Kulihat ujung jari-jari tangan orang yang mengulurkan amplop itu. Pandanganku lalu kembali pada wajah orang yang menjadi pengantar bagi kelima amplop terakhir yang kuterima. Dari siapa? aku bertanya, seperti biasa. Si pengantar surat tersenyum dengan seringaian nakal yang mendadak membuatku menjadi kesal. Ambil saja. Pegang dulu, sebentar lagi kujelaskan. Aku mengulang lagi pertanyaanku setelah mengambil amplop dari tangannya. Dari siapa?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Yang jelas, aku yakin, kali ini kamu tidak akan menolaknya. Tidak ada yang bisa menolak pria seperti dirinya. Pria? Semoga benar sosok itu sedewasa istilah yang digunakan oleh sahabatku untuk menyebutnya. Kuperhatikan lagi amplop yang sekarang sudah ada dalam genggamanku. Tidak ada tulisan apa pun yang bisa kuanggap menjadi penjelasan yang kubutuhkan. Tidak seperti amplop-amplop lain sebelumnya, selalu ada tulisan, paling tidak sekadar nama samaran pengirimnya. Dari siapa? Buka saja. Atau di rumah lebih baik. Kulihat jam tanganku. Waktu istirahat kurang lima menit lagi. Apa di dalam ada namanya? Entahlah. Kalau begitu, cepat beri tahu aku siapa pengirimnya. Aku tidak mau membaca surat dari orang yang tidak jelas identitasnya. Coba pikirkan, berapa waktuku yang terbuang untuk membaca dan memikirkan isinya, sementara nama pengirimnya tidak aku tahu. Colbiana, kembalikan saja surat ini dan katakan pada orang yang menulisnya bahwa aku tidak bisa menyebutnya sebagai pria kalau hanya menyebutkan namanya saja dia tidak bisa. Salwa. Seharusnya kalimat itu dikatakan oleh orang yang sudah dewasa. Maksudku, sedikit di atas usia kita. Kau pikir surat-surat itu tidak membuatku menjadi lebih dewasa dari usiaku yang sebenarnya? Kalau kau mendukungku sebagai anak kecil, surat-surat yang kau
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

terima sebaiknya langsung dimasukkan ke keranjang sampah dan jangan beri tahu aku. Kalau akhirnya tetap kuputuskan memberitahumu? Berarti kau tidak boleh membuangnya. Karena membuangnya berarti telah membuatku terjebak dalam kesalahan. Nah, bagaimana dengan surat yang satu ini? Karena tidak ada kejelasan tentang nama pengirimnya, aku menganggap surat ini sama dengan surat yang aku tidak tahu pernah dikirim kepadaku. Salwa, aku tidak percaya. Kamu kejam sekali. Nilaiku terus menurun dua semster ini. Orang tuaku bertanya banyak dan kuceritakan segera tentang surat-surat dan gangguan lain semacam itu. Bodoh sekali. Apa katamu? Yang bertanya adalah bapakku dan kalau kau belum paham, sekarang kukatakan padamu, pertanyaan dari bapakku berarti pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Bohong sedikit dooong. Dosa besar selalu dimulai dengan membiasakan diri melakukan dosa kecil. Orang bisa karena biasa. Dan karena orang tidak perlu belajar untuk berbuat kesalahan maka aku sama sekali tidak tertarik melakukannya. Tidak ada tantangan di situ. Meskipun sedikit, tantangan itu perlu untuk membuat hidupku lebih bersemangat. Selama berbuat baik masih bisa dilakukan, mengapa membiarkan diri melakukan sesuatu yang salah?
Johan M.

10

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Terserah. Jadi siapa? Hee? Kamu penasaran ya? Suara bel panjang terdengar. Matapelajaran terakhir akan berlangsung selama seratus menit berikutnya. Kami harus menunggu satu bel panjang lagi sebelum pulang. Tiba-tiba saja aku jadi ingin cepat pulang. *** Cermin pada pintu lemari pakaian, tidak membantuku menemukan jawaban, mengapa aku sudah banyak mendapat surat cinta sebelum usiaku genap tujuh belas tahun? Surat terakhir yang diberi amplop biru itu kuletakkan di meja, di antara buku-buku catatanku yang separuh terbuka dan tergeletak terbalik. Besok pagi masih ada dua ulangan lagi. Kalau saja yang pengirimnya bukan Ustad Muksin, aku mungkin akan segera mengabaikannya. Mengambil salah satu buku yang belum kubaca tentu lebih baik. Sayangnya, dia memang guru yang tampan. Persis seperti yang diakui Colbiana. Ustad Muksin memiliki bahu lebar dan tubuh yang tinggi. Wajahnya bersih tanpa jerawat. Warna kulit yang dimiliki Ustad Muksin lebih putih dari kebanyakan pria lain yang seusia dengannya. Bahkan kulit itu bisa saja membuat banyak wanita yang mengenalnya merasa iri. Ada tahi lalat sedikit di atas dagunya, di sebelah kanan, tepat di tengah-tengah antara ujung dagu itu dengan sudut bibirnya. Tahi lalat yang manis, lagi-lagi seperti kata Colbiana. Aku masih ingat bagaimana Colbiana dengan jujur mengungkapkan kekecewaannya karena surat yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

11

ia harapkan akan diterima dari Ustad Muksin ternyata malah diberikan padanya sebagai titipan untukku. Ustad Muksin mengajar bahasa Arab. Aku dapat menangkap pelajaran yang dia berikan dengan cepat. Seperti guru-guru lainnya, dia sering memandang ke arahku ketika sedang menerangkan pelajaran. Kupikir hal itu karena nilai raporku. Sebagai siswa yang selalu menjadi juara kelas, kuanggap wajar saja ada guru-guru yang memberikan perhatian lebih padaku. Surat dengan amplop biru itu, sungguh mengganggu. Setelah membaca isinya, rasanya sulit memusatkan perhatian pada pelajaran. Aku tidak tahu bagaimana sikap terbaik untuk menghadapi Ustad Muksin besok waktu ia kembali masuk ke ruang kelasku. Masih bagus jika Colbiana tutup mulut, tetapi kenyataan itu paling tidak bisa diharapkan. Dia akan mulai berbicara pada satu orang, lalu satu orang akan berbicara pada satu orang lagi, sampai kemudian semua orang tahu bahwa guru paling tampan di sekolahku ternyata sudah menulis surat cinta untukku. Ada banyak hal yang terakhir kali kupikirkan tibatiba saja sudah lenyap dengan cepat. Aku terkejut menyaksikan bahwa ternyata di cermin, entah sejak kapan, bukan cuma sosokku yang terlihat. Aku tidak menyadari kapan kakakku berhasil masuk kamar tanpa terdengar lalu sekarang sudah berdiri di belakangku dan berbagi cermin denganku.
Johan M.

12

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Tetap menatap ke arah cermin sama dengan menatapnya. Berbalik pun tetap berarti terpaksa harus memandangnya. Aku sulit memutuskan memilih melakukan apa agar tidak terlihat salah tingkah. Aku tidak senang dipergoki sedang bercermin. Aku belum ingin diperhatikan. Bahkan aku saja, sebelum hari ini, sebenarnya tidak pernah terlalu mempedulikan penampilanku. Aku menunduk, akhirnya itulah yang kupilih kulakukan sebelum mendengarkan sesuatu yang sudah bisa diduga. Kurasakan sosoknya mendekatiku sampai dua ujung jarinya akhirnya ditempelkan pada daguku. Beberapa detik berikutnya, kedua ujung jari itu mulai mendorong daguku ke atas, memaksaku kembali melihat ke arah cermin. Kamu cantik. Aku lebih senang bila orang lain yang mengatakannya, terutama saat ini, ketika aku masih dalam suasana sedang mengagumi diriku. *** Semuanya ingin kukatakan pada Selvia Mustavida. Ia sudah seperti saudara bagiku. Aku menyesal karena kami hanya pernah satu kelas di sekolah dasar. Kalau saja bapakku mengizinkan, aku ingin sekali melanjutkan ke sekolah negeri, atau kalau saja bapaknya mengizinkan, Selvia juga ingin sekali melanjutkan ke sekolah agama. Sayangnya, cerita seperti itu cuma pernah jadi rencana.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

13

Tetapi meskipun sekarang kami sudah tidak lagi duduk di bangku yang sama, Selvia masih menjadi teman yang dapat kujadikan sebagai tempat mencurahkan perasaan. Dia masih sering berkunjung ke tempat tinggalku, biasanya sore setelah salat Asyar, atau malam sebelum salat Isya. Kesibukan mengurus adikadik yang dilahirkan oleh ibu tirinya sering menjadi penyebab dia harus membatasi waktu berkunjung ke rumahku. Surat dari Ustad Muksin kuperlihatkan pada Selvia. Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya. sBeberapa saat kemudian, surat itu dimasukkan kembali ke dalam amplopnya. Luar biasa, katanya, sambil mengembalikan surat yang telah ia baca. Apa yang luar biasa? Kau bisa memikat pria yang amat dewasa. Apa lebihnya dari pria lain yang sebaya dengan kita? Tentu saja berbeda. Selvia mengucapkannya dengan nada meyakinkan. Entah mengapa ia bisa seperti itu. Setahuku, pengalaman cintanya, tidak lebih dari sekadar pernah saling memandang agak lama dengan Samsul, teman sekelas kami dulu di SD. Pernyataan cinta dari cowok yang seusia dengan kita adalah pernyataan cinta coba-coba. Kau tahu, selalu ada perbedaan antara orang yang mencoba melakukan sesuatu dengan orang yang memang yakin dengan apa yang dilakukannya.
Johan M.

14

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Setelah SMP, sepertinya ada yang berubah dengan caramu mengatakan dan memikirkan sesuatu. Di sekolah aku punya teman yang cara bicaranya agak berbeda dari yang lain. Apa pun yang dikatakannya cenderung terdengar puitis. Dia mungkin terlalu banyak membaca puisi sehingga dalam kehidupan biasa pun dia kemudian terdengar berbicara seperti sedang berpuisi. Dia berbicara dengan cara yang membuat percakapan biasa terdengar tidak biasa. Dan sering kali dari ucapannya terdengar kata-kata yang memerlukan usaha cukup keras biar bisa dipahami maksudnya. Aku baru dengar yang begitu. Dia kutu buku. Agak culun, kuper, pinter dan Selvia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia menatapku dengan cara yang membuatku berpikir bahwa artinya adalah coba tebak! Kau menyukainya. Begitu kan? Sedikit mirip dengan itu. Tapi kalau soal sukamenyukai, aku sebenarnya lebih menyukai cowok yang agak biasa-biasa cara bicaranya. Jangan buat aku mengajukan banyak pertanyaan. Terangkan satu per satu. Ingatlah, masih ada ciri cowok kuper itu yang belum kau sebutkan. Selain bahwa dia puitis, sebenarnya, dia biasa-biasa saja. Ada banyak cowok di sekolahku yang culun-culun. Ada banyak yang kuper dan sedikit sekali yang memadukan keduanya dengan otak pinter dan wajah yang ganteng. Apa ciri yang kau sebutkan terakhir itu ada pada cowok puitis itu?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

15

Bukankah kita sudah sepakat kalau masalah itu sangat relatif? Aku menyerah. Pikiranku masih belum terlalu bisa dialihkan dari surat guru bahasa Arab-ku. Jadi bagaimana? Ustad Muksin? Tidak ada lagi orang lain yang mau dan bisa kuajak mebicarakan tentang Ustad Muksin seaman aku bisa melakukannya dengan Selvia. Ada banyak hal yang ingin kubagi dengan Selvia. Aku ingin Selvia tahu bahwa di dalam kelas aku tidak bisa duduk tanpa tersenyum dengan rasa agak terpaksa setiap kali harus memandang ke depan kelas ke arah meja guru atau papan tulis tempat Ustad Muksin duduk atau berdiri untuk menguraikan materi pelajaran. Aku akhirnya menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan. Bagaimana cara menghadapi ustadku? Kau muridnya. Siapa yang diharapkan tahu lebih banyak tentang seorang guru kalau bukan muridnya? Apakah aku akan berpura-pura tidak pernah terjadi sesuatu di antara kami, ataukah aku harus menghadapinya dengan keseriusan gadis tujuh belas tahun? Apa maksudmu dengan keseriusan gadis tujuh belas tahun? Kau pikir umur bisa menyelamatkan kita dari tugas menerima atau menolak kehadiran seorang lelaki yang akhirnya dengan terus terang menyatakan rasa sukanya pada kita? Berapa pun umurmu, ketika seseorang akhirnya datang mengungkapkan
Johan M.

16

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

perasaannya, maka saat itu, kau seharusnya sudah berpikir bukan lagi sebagai gadis yang berusia tujuh belas tahun, tetapi juga bisa berpikir dengan cara gadis yang jauh lebih dewasa, bila ternyata cara itu diperlukan untuk memahami kerusakan yang ditimbulkan oleh pernyataan cinta yang kau terima. Apa? Aku tidak yakin orang yang puitis akan memilih kata kerusakan. Kerusakan? Kau yakin dengan pilihan kata itu Selvia? Yang kumaksud dengan kerusakan adalah segalanya yang berubah menjadi tidak seperti biasanya. Termasuk keadaanmu saat ini. Kau sudah rusak. Hati-hati menggunakan kata itu. Orang lain yang mendengar bisa memahaminya dengan cara yang keliru dan melenceng jauh dari pemahaman kita. Kau betul. Aku memang baru memakai istilah itu sekarang. Selvia bergerak ke arah meja belajarku. Dia menekan kedua tangannya pada sisi meja, membiarkan kedua lengannya mengapit bagian luar pinggangnya. Ustadmu itu, dengan surat cintanya, telah merusak hari-harimu. Yang paling terlihat saat ini adalah kau menjadi tidak lagi bisa belajar di ruangan kelas seperti biasanya. Lalu yang lain-lain, pikiranmu tentang dirinya, telah menyita perhatian yang seharusnya kau berikan pada buku-buku pelajaran. Aku malah mulai khawatir, kau mungkin juga akan menampakkan keanehan fatal dengan meninggalkan orang-orang yang dekat denganmu. Kau berpikir terlalu jauh Selvia.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

17

Yeah. Itu baru kekhawatiran saja sih. Syukurlah karena yang masih terlihat sekarang justru sebaliknya. Kau memanggilku dan kau minta diberi saran yang sepertinya tidak akan pernah dapat kuberikan kecuali Kecuali? Kau telah mengatakan semuanya dengan jujur. Aku tidak tahu bagaimana cara meyakinkan dirinya. Aku sudah jujur mengatakan semua yang kuanggap perlu dia tahu. Aku jujur Selvia. Aku belum merasakannya. Di bagian mana? Apakah kau menyukai ustadmu? Teman-teman bilang dia Salwa, aku tidak bertanya tentang perasaan temantemanmu. Perasaanmu sendiri bagaimana? Apakah kau tertarik padanya? Tadi kau katakan dia Dengarkan sahabatku. Aku sudah lupa apa saja yang kukatakan padamu dari tadi. Rasanya sudah banyak sekali. Pertanyaanku sederhana. Kau cuma perlu menjawab ya atau tidak dan aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Kujamin setelah pertanyaan itu aku tidak akan menanyakan apa pun lagi. Aku khawatir, jika menjawab tidak maka Tuhan mungkin akan membalik hatiku sehingga segera setelah mengatakannya hatiku lalu tiba-tiba berubah menjadi menyukainya. Sedangkan kalau menjawab ya kukira bukan hal itu yang saat ini kurasakan. Sudah sore. Aku mau pulang.
Johan M.

18

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku ikut berdiri, setengah mengejar Selvia yang sudah berjalan ke arah pintu. Solusinya mana? Kau sudah berjanji tadi. Salwa, ada yang pernah bilang bahwa hidup cuma sekali, mati juga sekali, dan giringlah perasaanmu untuk hanya sekali menyukai seorang pria. Jangan paksa dirimu menyukai pria yang tidak kamu sukai. Seseorang yang memenuhi impianmu jelas sedang menunggu untuk menemukanmu dan kau menemukan dirinya. Dan bila kita tidak yakin akan benar-benar ditemukan dan menemukan, barangkali kita akan saling menemukan. Dan dari semua yang kudengar tadi, sepertinya ustadmu bukan orang yang ingin kau temukan. Kau melihatnya setiap hari dan masih sangat baik ketika kau menjadi tidak bosan padanya setelah harus mengikuti pelajarannya dan mencoba memberikan balasan atas perasaan pribadinya. Jadi menurutmu, sebaiknya aku bagaimana? Aku bisa berpendapat apa pun. Kau yang menjalaninya. *** Bagaimana hasilnya? ia bertanya. Gagal ke empat besar. Artinya? Tidak menjadi juara, jawabku. Tidak apa-apa. Kebetulan aku tidak terlalu bersemangat mengikutinya. Apa ada utusan dari sekolahmu? Ada. Siapa? Orang-orang yang mau kuceritakan padamu.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

19

Baru kali ini Selvia nampak akan melakukan sesuatu yang sudah sejak lama kuminta ia lakukan. Di sekolahku cuma ustadnya yang laki-laki. Siswanya semua perempuan. Jadi bergaul dengan laki-laki hanya merupakan bagian dari memoriku saat masih di sekolah dasar. Sekarang, setelah memasuki masa puber, laki-laki menjadi makhluk yang langka dan mungkin tidak akan pernah kujumpai seandainya Tuhan belum segera mengirim keajaiban. Aku tidak mau hanya membaca surat-surat dari mereka. Aku ingin menyaksikan sendiri bagaimana seorang laki-laki dengan berani menyatakan cintanya secara langsung kepadaku. Surat tidak bisa dipercaya sebagai wakil dari isi hati seseorang. Siapa tahu yang ditulis sebenarnya isi hati orang lain, lebih celaka lagi kalau ternyata yang menulisnya adalah orang lain untuk gadis lain, lalu karena tidak dipakai lalu dipergunakan untuk misi lain dengan pikirandaripada dibuang. Pertama, Zaenal. Dia tinggal di rumah Liwaul. Siapa Liwaul? Dia tinggal dengan Zaenal. Hei, kau mau menjelaskan atau cuma memutar kata-kata? Makanya jangan ganggu pikiranku. Tahan pertanyaanmu. Semangat sekali. Aku malu. Untunglah Selvia tidak mengatakan sesuatu yang lebih jelas lagi. Meskipun teman dekat, kalau sampai ia mengatakan bahwa aku ternyata memberikan respon berlebihan ketika membicarakan
Johan M.

20

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

laki-laki, sulit rasanya tidak menjadi tersinggung. Baiklah. Lanjutkan! Liwaul Zaenal dulu, kan? Oke. Zaenal, tinggal dengan Liwaul. Mungkin mereka berkeluarga. Tapi bukan saudara. Yang aku tahu, Zaenal dari Kecamatan Sakra. Anak desa, entah apa nama desanya. Ada nama desa di Kecamatan Sakra yang kau tahu? Aku menggeleng. Teruskan! Dialeknya berbeda dengan kita. Dia selalu mendapat peringkat pertama di kelasku pada setiap pembagian rapor. Pintar dong, bagaimana? Aku tahu maksudmu. Diam saja dan baru bicara kalau aku minta. Okeoke... Dia ganteng. Mukanya aga bulat. Kulitnya agak gelap. Bibirnya tebal dan bulat dan Rinci sekali? Ada teman sekelasku yang suka dengannya. Kuharap teman sekelasmu itu benar-benar orang lain. Maksudmu? Aku mengangkat kedua bahuku. Aku mempersiapkan diri untuk menghindar dari lemparan apa pun. Selvia biasa menyambar sesuatu yang ada di dekatnya bila ia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan. Siapa tahu, teman sekelasmu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

21

itu kebetulan memiliki ciri-ciri yang sama denganmu dan namanya juga kebetulan sama dan ternyata kita temukan bahwa kita sedang membicarakan dirimu. Kali ini dia tidak melemparkan barang apa pun juga. Dia menghempaskan dirinya ke arahku. Dia melepaskan cekikan di sekitar leherku setelah aku berhasil mengucapkan kata Maaf, di antara usahaku untuk bertahan tetap bernapas dan bebas dari tindihannya. Selvia baru berbicara lagi setelah ia agak lama berbaring di dekatku. Kau akan lihat. Aku benar-benar hanya memperkenalkan teman-temanku dan tidak melibatkan diri dengan mereka. Aku percaya. Seharusnya itu yang kau katakan sejak tadi biar aku tidak perlu mendorongmu sampai hampir tidak bisa mengucapkan apa pun juga. Aku mendengarkan. Ayo lanjutkan. Cukup tentang Zaenal. Berikutnya Ulum. Bagaimana dengan Liwaul? Oh ya, Liwaul satu kelas dengan Ulum. Mereka berdua cowok-cowok yang ganteng dan pinter. Bagaimana dengan kuper? Mereka bertiga kuper. Ya, kau pernah bilang begitu. Aku tadi lupa waktu bertanya. Ada pertanyaan lagi? Aku menggeleng. Tidak ada. Tidak ada?
Johan M.

22

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Nampaknya tidak ada cewek-cewek yang menyukai ketiganya kecuali si Zaenal tadi. Itu pun cuma disukai oleh satu orang. Begini saja, kapan-kapan tunjukkan padaku bagaimana wajah si Zaenal. Aku tidak mau melihat cowok yang tidak membuat cewek mana pun tertarik. Di sekolah saja, cowok yang membuat banyak siswi tertarik ternyata tidak terlalu menarik bagiku. Kulihat Selvia menggeleng. Dia mengatakan sesuatu yang akhirnya sangat mengganggu ketenanganku. Kau akan menyesal karena pernah mengatakannya! *** Pameran Pembangunan diadakan sekali setahun di Lapangan Nasional kota Selong. Satu-satunya panggung di luar tembok kantor Telkom dan kantor Lurah Selong, selalu menjadi tempat pementasan yang diadakan oleh sekolah-sekolah, kelompok kesenian, dan instansiinstansi pemerintah yang memiliki persiapan lebih dari sekadar hanya membuat dan mengisi stan-stan mereka dengan berbagai barang yang menunjukkan ciri khas tugas-tugas mereka. Sayangnya berbagai pementasan itu cuma disajikan malam hari pada waktu yang sudah ditetapkan oleh bapakku bagi semua anak-anaknya untuk masuk ke kamar tidur, entah untuk tidur atau belajar. Kamar tidur merupakan satu-satunya tempat yang kutuju yang tidak pernah terlalu mengundang pertanyaan orang tuaku. Mereka mungkin tidak pernah menyadari kalau kamar tidur sering menjadi laboratoriumku, seperti yang pernah dikatakan oleh Selvia.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

23

Sore ini, aku ada janji dengan Selvia. Kami mau mengunjungi pameran. Hanya untuk melihat-lihat dan menilai apa yang membedakan pameran kali ini dengan pameran sebelumnya. Membeli sesuatu dari pameran belum menjadi keinginan yang menuntut harus dipenuhi. Jika keinginan membeli sesuatu itu akhirnya muncul juga, kunasihati diriku agar tidak sampai mengatakannya pada siapa pun, terutama orang tuaku, bila ternyata uang yang kupunya tidak cukup menjangkau harganya. Aku memiliki lima orang saudara. Satu orang lakilaki, selalu ingin dituruti kemauannya, dan tiga orang perempuan yang menyadari bahwa barang-barang yang masih bisa dipakai bersama tidak boleh digunakan sendiri. Kami sering bertukar jilbab sampai akhirnya tidak ada yang peduli dan bersusah-susah mengingat kembali siapa yang dulu pertama-tama tertarik dengan jilbab itu dan berhasil membelinya dengan merayu ibu atau bapak. Meskipun kedua orang tuaku pegawai negeri, penghasilan sebagai guru sekolah dasar selamanya tidak akan pernah membuat kami menjadi anak-anak yang dapat dimanjakan karena mereka juga memiliki keluarga-keluarga yang masih sering datang berkunjung dan menunjukkan perhatian terutama saat ingin dibagi sesuatu di awal bulan. Raut wajah kedua orang tuaku, yang menggambarkan dengan tepat perpaduan antara kesetiaan hati keduanya dengan masalah belanja yang
Johan M.

24

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tidak pernah tercukupi oleh penghasilan mereka, secara alamiah telah membuat kakakku, aku, dan kedua adikku, berusaha mengurangi beban hidup orang tua kami dengan tidak terlalu banyak menuntut memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang dapat diberikan tanpa beban. Aku sudah membiasakan diri, hanya meminta izin keluar rumah lalu menyerahkan keputusan pada orang tuaku untuk memberiku uang atau tidak. Mereka pernah hidup pada usiaku saat ini. Aku percaya, mereka juga pernah memikirkan apa yang kupikirkan. Waktu yang berbeda dari generasi yang berbeda kuyakini tidak akan mengubah banyak hal paling dasar dari pikiran anakanak remaja yang mulai melangkah menuju pintu asing yang dinamakan kedewasaan. Aku keluar kamar, tidak membawa apa pun. Kudengar suara bapak ada di kamar depan. Setelah mengambil sandal di dapur, aku memutuskan keluar lewat pintu depan, sekalian meminta izin. Selvia kujumpai di persimpangan jalan di muka rumahku. Aku tadi mau menyusulmu," katanya. "Siapa tahu kau bermaksud membatalkan rencana sore ini. Jadi sebelum terlalu lama bengong menunggumu di pinggir jalan, kupikir lebih baik kubiarkan diriku terbebas dari keresahan dengan segera datang ke rumahmu. Ayo berangkat! Aku tahu kalau kau tidak punya alasan untuk buruburu? Ada apa? Ustadmu bertingkah lagi? Tidak ada lagi pembicaraan tentang dia. Masih ingat?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

25

Masihmasih dong. Tapi kalau dia memang berbuat ulah lagi, kita tidak hanya berkewajiban membicarakannya, tetapi harus menanganinya. Percayalah, ini bukan tentang dia. Baguslah, kata Selvia. Tadi aku diberi uang oleh bapakku. Seperti biasa, dengan diam-diam, takut ketahuan ibuku. Baguslah. Ucapanmu tidak segembira yang kuharapkan. Selvia Bagus, katanya. Sesekali, kau perlu memanggilku dengan nama yang sedikit lebih lengkap. Aku tidak bisa menahan senyumku. Dia mempunyai dua vi pada setiap kata di antara dua kata yang membentuk namanyaSelvia Mustavida. Tapi aku tidak tertarik memanggilnya hanya dengan Vi. Nama macam apa itu. Memanggilnya Sel lebih oke, karena ada sedikit kaitan antara nama itu dengan bentuk tubuhnya yang sedikit lebih kecil darikukurus mungkin istilah yang lebih tepat. Kukira tidak berlebihan kalau menganggapnya sebagai sel seperti yang dimaksudkan dalam istilah biologi. Mau membeli apa nanti? Lihat nanti saja. Apa yang menurutmu perlu kubeli akan kubeli. Selvia sudah terbiasa seperti itu. Sudah banyak di antara semua yang kulakukan akhirnya ia ikuti, dan apa yang ia lakukan kadang-kadang juga kuikuti. Begitu pula dalam keinginan. Keinginan kami sering sama. Selvia
Johan M.

26

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sering meminta pendapatku saat akan memutuskan membeli atau memiliki sesuatu. Sebelum menyeberang di persimpangan terakhir, aku sudah merasakan benih-benih keramaianmulai banyak orang yang berdiri di kedua sisi jalan dan udara yang kuhirup menebarkan aroma makanan hangat dan manis. Cidomo dan sepeda motor berjejer di pinggir jalan, menyempitkan jalur yang dapat dilewati oleh pengendara lain yang bermaksud melintasi bagian jalan yang beraspal. Para pejalan kaki seperti kami harus pandai-pandai memanfaatkan sedikit celah yang ada di antara kendaraan-kendaraan yang diparkir sembarangan di pinggir jalan agar tidak diserempet kendaraan lain. Dengungan orang-orang yang bercakap-cakap sambil berjalan berhimpitan di sekeliling kami, suaranya bersaing dengan pengumuman dari berbagai musik dan pengumuman dari pengeras-pengeras suara. Kita masuk ke stan mana? Apa? tanya Selvia. Kukeraskan suaraku. Kita masuk ke stan mana? Dari sini saja. Selvia mengusulkan agar kami segera masuk ke stan pertanian yang sejak pameranpameran sebelumnya selalu menjadi favoritku. Kebetulan juga letaknya kali ini berdekatan dengan jalan masuk dari arah barat lapangan. Di stan pertanian aku menyukai pameran bungabunga yang unik dan langka. Aku ingin suatu saat nanti memiliki kebun kecil yang dapat kutanami dengan bunga-bunga yang sekarang ini cuma bisa kulihat tumbuh indah di halaman-halaman rumah orang lain.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

27

Umbi besar seukuran pahaku diletakkan di salah satu sudut meja, berdampingan dengan sebuah miniatur area pengaturan air bersih. Setelah selesai melihat-lihat stan pertanian, kami berdua lalu masuk stan kepolisian. Dinding-dinding stannya, mulai dari pintu masuk, dipenuhi oleh deretan foto-foto para penjahat, baik yang sudah tertangkap, maupun yang masih buron. Aku agak merasa ngeri memandang wajah-wajah itu. Mereka seperti berasal dari kehidupan lain yang tidak kukenal, yang sangat jauh dari kenyataan yang kuhadapi. Stan berikutnya tidak bisa kulewatkan. Mengerikan memang, tetapi pengetahuan yang ditawarkannya membuatku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyaksikan gambar-gambar dan benda-benda paramedis yang sebenarnya lebih sering menggambarkan kesadisan daripada keramahan jika saja aku tidak mengingat-ingat kembali bahwa alat-alat itulah yang banyak menyelamatkan orang-orang yang diserempet oleh maut. Beberapa foto wanita dewasa yang sudah menjalani operasi payudara, nampak duduk dengan wajah sedih, tidak melihat langsung ke arah kamera dan sebelah buah dadanya yang sudah tidak ada dibiarkan terlihat. Luka-luka yang terlihat merah itu, nampak amat berbeda dengan buah dada lain yang masih menggantung utuh. Kengerian yang kurasakan karena pengalaman melihat foto itu membuatku kehilangan minat memikirkan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sumber kebahagiaan. Biarlah
Johan M.

28

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pengalaman itu menjadi bagian dari hidup orang lain. Pelan-pelan kugerakkan tanganku dengan sikap nyaris seperti ingin bersedekap. Kedua sisi luar ibu jariku, kugunakan menekan kedua buah dadaku yang sudah mulai tumbuh. Aku diam-diam berdoa agar tidak pernah sampai mengalami penderitaan seperti wanita yang ada di dalam potret itu. Cukuplah pengalamanku hanya sebatas menyaksikan potret para penderitanya. Sungguh, sebenarnya pengalaman ini saja sudah merupakan sebuah siksaan. Ayo, kurasakan tangan Selvia menyusup di lengan atasku. Ia menarikku, sepertinya sebagai usaha menghindarkan diriku dari kesempatan lebih lama berdiri di depan pemandangan yang mengerikan itu. Aku tidak tahan lagi. Perutku mual. Kami berdua lalu berjalan cepat mencari pintu keluar stan RSU. Kalau bukan kami berdua, salah satu di antara kami pasti bisa jatuh jika aku tidak segera menemukan tempat bertopang karena Selvia berhenti tiba-tiba dan menghalangi laju langkahku. Dia menunjuk sesuatu di dinding. Sekarang, kudapati diriku sedang berdiri di depan foto-foto yang menampakkan sesuatu yang membuatku merasa risih. Kalau tidak melihatnya, aku tidak akan pernah berpikir bahwa foto-foto yang memperlihatkan penis orang dewasa itu ditempel berderet. Seperti foto-foto lainnya, contoh foto penis yang diperlihatkan di dinding yang tengah kami pandangi ternyata merupakan foto contoh penis-penis yang tidak sehat. Aku sebenarnya ingin berdiri lebih
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

29

lama di situ, memperhatikan dengan lebih seksama untuk memuaskan rasa ingin tahuku tentang apa yang sebenarnya tidak wajar dan tidak sehat. Sayangnya, keinginan itu terbentur oleh kesadaran lain yang menegaskan bahwa sebenarnya belum waktunya aku tahu tentang hal-hal itu. Rasa malu dilihat oleh pengunjung lain karena diperhatikan telah memperhatikan bagian paling rahasia yang tidak sama dengan milikku yang paling rahasia membuatku segera menyeret Selvia agar benar-benar segera keluar dari stan RSU. *** Waktu kami dalam perjalanan pulang, di tepi jalan beraspal yang tidak pernah bisa ramai meski ada pameran di lapangan Nasional, aku mulai menanyakan sesuatu yang tidak ingin kutunda sampai di rumah. Kenapa tadi kau tidak merasa risih melihat gambargambar di dinding itu? Di stan apa? Rumah sakit umum. Aku juga tidak tahu pasti, kataku.Aku memandang ke arahnya, dan sesaat sebelum kembali melihat arah jalan yang akan kami lalui, tatapanku melintas sebentar ke arah dinding luar penjara yang tinggi dan dicat dengan warna putih. Padahal kita melihatnya di antara banyak orang. Tadi aku melihat seseorang. Selvia mengatakannya ketika aku masih memikirkan tentang keberanian yang baru saja kami lakukan. Sebelum hari ini, aku tidak akan
Johan M.

30

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pernah berani melihat sesuatu yang tidak seharusnya menjadi perhatian seorang gadis remaja seperti diriku. Siapa? akhirnya aku bertyanya juga. Zaenal dan Liwaul. Zaenal? Aku meremas kedua bahunya. Kenapa tidak kau beritahu waktu kita masih di sana? Aku kan sudah pernah bilang mau melihat orang yang paling mengagumkan di sekolahmu itu. Salwa, katanya. Sekadar mau mengingatkan. Dia bukan yang paling mengagumkan. Tapi salah satu dari tiga orang yang dapat dikagumi. Ucapanmu terdengar seperti gadis yang ingin memborong tiga cowok sekaligus. Kami berdua lalu tertawa. Saling menunjuk dengan jari-jari tangan untuk menegaskan tuduhan. Cara itu biasa kami lakukan jika sedang ingin berkelit dan tidak mau mengaku. *** Aku berusaha memahami mengapa semua rencanarencana besar kakakku membuat dirinya lebih sering terlihat seperti gadis yang dimabuk angan-angan dan impian. Setiap orang punya impian. Aku juga punya impian, tetapi aku malu mengatakannya, meskipun pada kakakku yang sudah pasti tidak akan pernah kukalahkan keinginannya. Seperti yang sudah kuduga, kali ini pun, ketika aku terpaksa harus meminta pendapatnya, ia menunjukkan sikap yang tidak diharapkan oleh seorang adik yang memerlukan dukungan. Kursus komputer itu memelukan biaya banyak. Belum lagi sekarang kamu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

31

sudah kelas tiga. Tidak lama lagi akan ujian akhir. Mengapa tidak konsentrasi saja mempersiapkan ujianmu? Yeah, saya ingin kursus sejak dulu, tapi selalu masih bisa ditund. Tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kulihat kakakku menggeleng dan menghembuskan napas yang menunjukkan dengan jelas bahwa ia mulai bosan berbicara denganku. *** Selvia kubiarkan membaca leflet yang kuberikan padanya. Aku berusaha memberikan jawaban yang terdengar pasti ketika menerangkan beberapa bagian yang sebenarnya masih merupakan perkiraan saja bagiku. Aku harus berhasil membuat dia yakin. Kuharap ia mau ikut kursus komputer denganku. Tempat kursus komputernya di Pancor. Aku perlu teman yang tidak semuanya baru di sana. Cukuplah aku sudah digoda cowok-cowok saat pulang sekolah. Aku tidak mau menjadi subjek para penggoda di tepi jalan itu sampai dua atau tiga kali sehari. Menurutku, kehadiran Selvia di sampingku akan mengurangi resiko itu. Wajah cemberut yang kadang-kadang berhasil ditampakkan oleh Selvia dapat menjadi tameng yang sempurna. Bagaimana? Kalau kau hanya bertanya padaku, maka kau sudah tahu, aku tidak akan menjawab tidak untuk pertanyaan itu. Kita sudah biasa bersama-sama. Menambah satu
Johan M.

32

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tempat lagi bukanlah persoalan. Cuma kau mengerti bukan? Uang kursusnya. Aku perlu bertanya dulu pada bapakku. Dua minggu belakangan ini aku ditagih SPP oleh bendahara sekolah. Yang itu saja belum bisa dipenuhi. Aku khawatir Bagaimana kalau aku yang bayarkan uang kursusmu? tanyaku. Aku buru-buru mengatakannya sebelum Selvia sempat menyempurnakan kalimatnya yang kupastikan akan terdengar amat memilukan. Terima kasih, tidak usah, kata Selvia. Aku khawatir, dia mengucapkannya karena tahu persis aku juga bukan orang yang bisa menghambur-hamburkan uang. Aku ingin dia memahami benar bahwa selalu ada yang bisa kulakukan oleh seorang sahabat yang ingin membantu sahabatnya. Aku tadi lupa bilang, aku jarang meminta sesuatu, jadi ketika meminta, kemungkinan untuk dipenuhi sangatlah besar. Yang kuperlukan sekarang cuma waktu. Kalau kau mau mulai kursus minggu depan, aku mungkin agak terlambat sedikit. Biarkan bapakku memikirkan uang SPP-ku dulu, kemudian setelah itu, dia kusuguhi masalah lain untuk dipikirkan. Bagaimana? Baiklah. Aku paham. Kalau begitu, aku mulai duluan. *** Siang tadi ada tiga orang remaja yang berdiri menutupi trotoar yang biasa kulalui waktu pulang kursus. Salah seorang di antara mereka, yang mengaku bernama Firman, mengulurkan tangannya. Dia memang setelah mengucapkan salam, kemudian mendesak ingin
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

33

disalami. Aku tidak bisa membiarkan dirinya menyentuhku, meskipun hanya telapak tanganku. Bukan sentuhan yang membuat orang menjadi dekat. Apalagi sentuhan orang asing. Pasti ada banyak tipuan dan sejuta malapetaka yang akan muncul bila telapak tangan kami kubiarkan bertemu. Aku takut. Semakin banyak cerita te Aku bisa melawannya, hanya saja aku tidak mau memberi kesan bahwa aku gadis yang garang dan tidak ramah. Ada banyak cerita yang kudengar tentang gadisgadis yang mula-mula memperlihatkan penolakan akhirnya takluk dan bersedia memberikan apa pun pada pria yang dulu pernah dibencinya. Tuhan bisa membalikkan hati manusia. Tetapi ada manusia yang tidak sabar dan terlalu ikut campur pada takdir yang digariskan oleh Tuhan. Manusia semacam itu pasti tidak selalu ada di tempat yang jauh dan asing. Aku khawatir, ia ada di antara mereka yang akhirnya sempat kutemui tanpa sengaja. Ternyata menjadi seorang gadis tidak mudah. Tapi itulah takdirku. Dan bagaimana aku akan bahagia jika takdirku tidak kuterima? Bagian dari pertemuanku dengan Firman, yang paling membuatku merasa tidak nyaman dan jengkel, ialah ketika ia mengucapkan rayuan dan pujian. Ia pasti terlalu berlebihan ketika menyebut dirinya tergila-gila padaku. Selvia kulihat berdiri di tepi jalan. Ia sedang menggendong adiknya. Bocah kecil dalam gendongan itu kulihat menggeliat cepat, meronta-ronta seperti burung
Johan M.

34

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kecil yang ingin membebaskan diri dari cangkang telur yang masih membelit sebagian sayapnya. Mengapa kau langsung ke mari? tanya Selvia. Ada apa? Pasti ada yang tidak biasa? Kau benar. Padahal aku berharap dugaanku salah. Kau benar. Katakan apa yang benar? Mulai minggu depan, ikutlah kursus komputer denganku. Selvia memberi isyarat padaku dengan gerakan bola mata dan tangan kanannya. Aku tidak punya adik kecil yang masih bisa digendong. Selvia tidak perlu mengatakan alasannya. Aku paham. Siapa yang tidak bisa memahami keadaan temannya? *** Entah bagaimana Selvia meyakinkan orang tuanya. Aku tidak bertanya. Aku enggan menanyakannya. Sudah cukup bila yang aku tahu adalah bagaimana permintaan itu dulu pernah ditolak. Setelah membuatku tidak memiliki harapan, tidak kusangka Selvia bisa datang dengan berita baik yang tidak kuduga. Kami tidak membahas materi kursus komputer waktu berjalan pulang pada hari pertama Selvia berkenalan dengan komputer. Di tempat kursus tadi ia sering ragu-ragu menyebutkan ulang istilah-istilah dunia komputer yang baru saja didengarnya. Setiap orang memerlukan waktu yang berbeda untuk menyesuaikan diri. Untunglah aku mengenal Selvia. Dia bukan orang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

35

yang gampang menyerah. Dia sering menunjukkan bahwa dirinya selalu mengejar tantangan. Selain cobaan dari sesuatu yang terkait langsung dengan uang, ia pasti bisa bertahan. Aku tidak perlu khawatir ia akan jera dan tidak lagi mau ikut kursus hanya karena koreksi atas salah pengucapan istilah. Aku menggunakan sedikit waktu yang ada untuk kembali menegaskan rencana menanggulangi kenekatan Firman. Oke, kau tenang saja, kata Selvia. Kita akan mengatasinya bersama-sama. Tapi... Tapi apa? Sejak kapan kau tega mengajukan sebuah syarat padaku padahal yang sebentar lagi akan kulakukan adalah untukmu? Bukan, kau salah mengerti? Terangkan dong! Mereka tidak ada. Maksudmu, tiga orang yang sering mencegat itu? Betul. Oh Tuhan. Apakah mereka bertiga tidak tahu, betapa banyak yang telah kau lakukan hanya untuk berharap agar hari ini akhirnya datang dan kita mulai melakukan apa yang sudah kita rencanakan? Bukankah ini lebih mudah? Maksudmu? Kita bisa berjalan tanpa gangguan. Tunggu dulu, jangan-jangan, tiga orang yang kau ceritakan itu sebenarnya tidak pernah ada, dan semua
Johan M.

36

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

cerita itu hanya karangan. Dan kau melakukannya cuma untuk membuatku bisa ikut kursus denganmu? Selvia, kau tahu, aku tidak seperti itu. *** Tawaran Selvia sangat menarik. Internet Gadjah Mada? Ia baru saja ikut kursus komputer dan tiba-tiba saja ia sudah menyebutkan istilah internet dengan menunjukkan keyakinan yang tidak menggambarkan bahwa orang yang mengatakannya baru dua minggu ikut kursus komputer. Aku saja yang sudah lebih lama ikut kursus belum merasa layak terjun langsung ke dunia maya, karena masih harus bergelut menguasai program microsoft office word dan microsoft office excel. Di bagian tengah penjelasannya, aku baru mengerti, Internet Gadjah Mada yang dimaksud oleh Selvia ternyata hanya program bimbingan belajar jarak jauh dengan pengiriman modul. Kalau yang begitu memang tidak terkait langsung dengan komputer dan pemakaian iternet di dunia maya. Pantas saja ia bisa bercerita dengan lancar. Bagaimana, kau mau ikut? Aku mau, tapi perlu kubicarakan dulu dengan ibu dan bapakku. Baiklah. Kalau bisa, nanti aku ikut setelah kau menerima kiriman modul pertama. Boleh juga. Tapi kau harus benar-benar berusaha ikut jadi anggota. Selain modul, kita akan dapat kumpulan soal-soal ujian nasional beserta kunci
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

37

jawabannya, bahkan akan ditambah dengan prediksi soal-soal serta jawaban ujian yang akan datang. Oh, begitu. Dan aku punya rencana. Selvia menghentikan ucapannya. Kami menyeberangi jalan beraspal di depan kator Polres Lombok Timur. Baru sepertiga jarak yang sudah kami tempuh. Tadi kutawari Selvia naik bemo kota. Ia menolak. Menurutnya akan lebih baik jika naik bemo kota waktu pulang. Selama dua kali kursus ini, ibu tirinya selalu menjadikan keterlambatan Selvia sebagai alasan untuk melontarkan kata-kata yang menghilangkan semangat hidup. Aku tidak mau sahabat karibku kehilangan semangat. Ujian akhir tidak lama lagi. Kami harus mempersiapkan diri, dan tidak akan ada yang dapat dipersiapkan oleh orang yang tidak memiliki semangat. Rencana apa? Belajar bersama. Kukira ada yang lebih dari itu. Ia mengatakannya dengan cara yang membuatku berpikir bahwa rencananya tidaklah sebuah kegiatan yang memang sudah seharusnya kami lakukan. Sudah pasti. Untuk apa lagi kita terus mempertahankan kebersamaan kalau bukan karena kita ingin terus-menerus belajar bersama? Yeah, benar, tetapi maksudku, kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengajak salah seorang temanku untuk ikut belajar bersama kita.
Johan M.

38

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Siapa? Kau tinggal pilih yang mana saja. Aneh? Aku pernah bilang, di sekolahku ada tiga orang yang terkenal kecerdasannya. Akan sangat bagus bukan, kalau salah satu saja di antara mereka kita minta ikut belajar bersama kita? Kau yang lebih tahu siapa yang paling tepat untuk menemani kita membahas soal-soal ujian itu. Jadi, kau saja yang putuskan. Aku pasti mendukung. Baiklah. Menurutku, Liwa yang paling tepat. Siapa dia? Orang yang puistis itu. Masih ingat? Aku pernah cerita padamu. Orang puitis? Aku suka orang puitis, tapi tidak kali ini. Yang akan kita bahas kan bukan cuma soal bahasa dan sastra? Ada matematika. Ada juga IPA dan IPS. Salwa, mereka bertiga juara-juara kelas. Jadi jelas bukan hanya puisi yang dikuasai oleh Liwa. Nanti kuceritakan yang lainnya. Dia nanti akan kau kagumi dengan cepat setelah berkenalan. Baiklah. Kuserahkan padamu keputusannya. Kau yang punya usul. Aku tidak mau membuatmu kecewa karena aku salah memilih anggota kelompok belajar kita. Jumat depan kutunjukkan ketiga orang itu. Kau boleh memilih. Kita bisa merundingkan masalah ini lagi nanti. Paling tidak, hari ini aku sudah memperoleh persetujuanmu. Kalau saja aku termasuk yang paling cerdas di sekolahku, kita berdua sudah kuanggap cukup.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

39

*** Selvia hampir membuatku keluar rumah tanpa jilbab. Aku mengenakan jilbabku sambil menahan kedua kakiku agar tetap berpijak di dalam ruang tamu. Aku memerlukan kedua tanganku agar bisa merapikan jilbabku. Usahaku memasang jilbab hampir mustahil dilakukan jika Selvia kubiarkan terus-menerus menarik lengan kiriku. Selvia, tunggu. Aku pasang jilbab dulu. Cepat, nanti mereka lewat dan kita kehilangan kesempatan melakukan seleksi minggu ini. Oke, aku siap. Aku mengikuti langkah Selvia ke halaman depan sambil mengencangkan bagian jilbabku yang masih kendur. Aku berharap selalu bisa mengenakan jilbabku senyaman mungkin pada semua kesempatan. Betul kataku, ujar Selvia. Hampi saja kita kehilangan kesempatan. Sekarang, coba kau lihat ke pintu gerbang. Yang pake tas merah dan agak gemuk itu bernama Zaenal. Berarti dia yang satu kelas denganmu? Betul. Selalu juara pertama. Bagaimana? Kau bilang ada tiga orang. Berarti masih ada dua lagi yang bisa kulihat sebelum memilih. Ya. Ada Ulum dan Liwaul. Bagaimana kalau pertanyaanmu kujawab nanti saja setelah aku melihat mereka bertiga? Oke. Liwaul biasanya pulang paling akhir. Kita akan berdiri lama di sini.
Johan M.

40

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Bukankah dia yang kau usulkan? Ya, sih. Aku ingin tahu, mengapa kau usulkan dia, dan bukan Zaenal, atau siapa tadi? Ulum. Ya. Ulum. Itu dia! Siapa? Ulum. Lihatlah orang yang memegang buku tebal dengan lengan kiri itu. Dia jarang memakai tas. Kau lihat? Ya. Aku lihat. Dia boleh juga. Masa dia belum punya pacar? Setahuku belum. Maksudku belum ada yang ia pilih. Ada banyak yang kutahu berusaha mendekatinya. Entah mengapa, orang yang tampan dan cerdas, terkadang jauh dari kehidupan cinta yang menggebugebu seperti yang sering diributkan remaja-remaja puber lainnya. Padahal mereka umumnya merupakan sosok impian. Selvia menarik napasnya, lalu mengehembuskannya seperti orang yang baru saja menyingkirkan setengah masalah dunia. Apa mereka terlalu sibuk memikirkan sekolah sampai-sampai tidak mau menjalin hubungan yang khusus dengan gadisgadis tercantik di sekolah? Aku juga tidak tahu. Kami berdiri sudah hampir sepuluh menit setelah Ulum melintas. Gerombolan siswa yang memadati pintu gerbang sudah tidak terlihat lagi. Aku cemas, janganJohan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

41

jangan kami sudah melewatkan orang ketiga, orang yang diusulkan oleh Selvia. Dasar Liwaul, gerutu Selvia. Dia betah sekali di sekolah. Kau masih mau menunggu? Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan. Kau yakin dia masih di sekolah? Dia bukan yang paling cerdas, tetapi dia yang paling sering terlihat begitu betah berada di sekolah. Maksudmu? Banyak di antara teman-temanku, kukira juga teman-temanmu, termasuk aku juga, merasa ingin cepatcepat keluar dari kelas dan mengakhiri pelajaran. Dia tidak. Jam istirahat pun sering dihabiskan di dalam kelas. Apa yang ia lakukan? Aku tidak tahu. Aku bukan pengawasnya. Kalau kebetulan melintas di depan kelasnya, ia sering kulihat mondar-mandir di ruangan, cuma sesekali melihat keluar jendela. Mungkin dia ada kelainan. Apa? Sesuatu yang lain daripada yang biasa, bukankah namanya lain daripada yang lain, dan hanya orang yang memiliki kelainan yang sering menunjukkan segala macam hal yang tidak biasa. Itu dia. Yang mana? Tas ransel hitam besar. Kedua tangannya ada di dalam saku celana. Dalam tempo yang sangat cepat,
Johan M.

42

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Selvia sudah meralat penjelasannya. Maksudku sekarang sudah ada di depan dadanya, menjepit tali tas dengan ibu jarinya. Kau lihat? Ya. Tangannya sudah ada di dalam saku celana lagi. Kau lihat? Ya. Bagaimana? Aku ingin melihat wajahnya sekali lagi. Kau bisa memanggilnya? Tentu. Sebentar kemudian kudengar Selvia memanggil dengan suara yang bisa didengar oleh orangorang dari dalam rumahku. Liwa! Liwaul! Orang yang dipanggil Liwa itu menoleh. Wajahnya memperlihatkan keheranan. Setiap orang pasti terkejut dipanggil mendadak, tetapi tidak seharusnya ia memperlihatkan wajah seperti orang yang terlalu merasa asing dengan apa yang dilihatnya. Ia boleh tidak mengenalku. Aku belum memperkenalkan diri. Tetapi Selvia? Masa ia tidak tahu siapa Selvia? Kakinya kulihat tetap dibiarkan melangkah. Ia seharusnya berhenti. Mengapa orang yang dikatakan Selvia betah di sekolah terlihat berjalan cepat dan bahkan tidak berhenti ketika namanya dipanggil? Ia pulang dalam barisan siswa-siswa yang paling akhir meninggalkan pintu gerbang sekolah, namun langkahlangkah kakinya bergerak cepat seperti sedang tergesagesa mengejar sesuatu. Teman Selvia yang satu ini jelas aneh.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

43

Liwaul kemudian kulihat mengangguk ragu. Kulirik Selvia. Ternyata anggukan yang nyaris tidak terlhat itu, merupakan respon dari lambaian tangan Selvia. Tanpa berpikir panjang, aku pun ikut melambaikan tanganku. Mungkin dua lambaian akan bisa memberikan reaksi yang lebih hebat daripada satu lambaian saja. Aku belum mengenalnya, tetapi ada sesuatu yang tidak kupahami yang membuatku tiba-tiba merasa dekat dengannya. Dia dipanggil Liwa? Aku Salwa. Sebelum Liwa berlalu dari hadapan kami, kukatakan pada Selvia. Kalau yang ini, aku baru setuju denganmu.

Johan M.

44

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

-2Surat cinta yang terakhir itu nyaris tidak benar-benar jadi diberikan dan hanya akan menunggu nasib yang sama seperti dua surat sebelumnyaditulis, diberi wewangian dari aroma daun melati, dilipat rapi, dimasukkan ke dalam ampop cantik dengan motif bunga-bunga, lalu diselipkan di antara halaman buku paket bahasa Arab yang khusus menjadi pegangan guru. Dua surat sebelumnya berhasil tidak disampaikan pada orang yang dituju. Oh, ya, sebenarnya, itu istilah yang tidak tepat untuk menggambarkan perasaan si penulis surat. Keberhasilan menyimpan dua surat itu, bila dipandang dari sudut lain, sebenarnya merupakan bentuk kegagalannya untuk mencapai tujuan. Pengakuan atas sesuatu yang belum mau diakui memang selalu tidak mudah dilakukan. Dua surat sebelumnya gagal diberikan pada Salwa karena keragu-raguan, ditambah serangan perasaan panik, malu, dan rasa bersalah yang sulit dilukiskan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

45

Segala perasaan tidak nyaman selagi memberikan pelajaran bahasa Arab seperti minggu-minggu terakhir ini, sebenarnya tidak sampai terlalu menyiksa kalau saja surat ketiga itu dianggap tidak sedang menjalani misinya. Siapa yang bilang menyatakan cinta itu sederhana adalah manusia kejam yang tidak dikaruniai kepekaan perasaan manusia sejati. Tidak ada pilihan. Akhirnya itulah yang sedang ia coba jadikan sebagai alasan. Meskipun sebenarnya ada banyak cara menyatakan cinta, setelah memberikan surat itu, Abdul Muksin menganggap lebih aman mengakui jika pemberian surat cinta itu ia lakukan karena memang tidak ada cara lain untuk melakukannya. Memberikan surat, untuk saat ini, adalah cara terbaik untuk menjelaskan pada murid spesial itu, tentang bagaimana sebenarnya perasaan gurunya. Salwa masih kecil, bahkan terlalu kecil jika dibandingkan dengan setatus sang guru yang sudah hampir dua tahun menjadi sarjana. Fakta itu jelas, bahkan lebih jelas dari apa pun yang bisa dijelaskan. Tetapi pada usia lima belas tahun, Salwa memang sudah memiliki apa yang memperlihatkan ciri-ciri wanita idaman seorang sarjana pendidikan Islam. Tidak banyak gadis dari masa kuliahnya yang bisa dibandingkan dengan Salwa. Lagipula, gadis-gadis waktu itu nyaris tidak menjadi perhatiannya. Ia sudah terbiasa melihat kekaguman yang meluap-luap dari ekspresi mahasiswi yang menghadiri pertemuan-pertemuan yang
Johan M.

46

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

memberikan kesempatan padanya untuk menjadi salah satu pembicara yang paling ditunggu-tunggu. Kalau saja bukan karena tidak bosan diejek sebagai satu-satunya ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas yang tidak punya pacar, Siti Khaerani mungkin tidak akan pernah menjadi pacarnya. Siti Khaerani. Abdul Muksin mendesah. Ada beban kehidupan yang teralu berat dan terlalu pagi datang menghimpit kenyamanan hidupnya. Pandangannya pada langit-langit kamar kos semakin kabur oleh desakan air hangat yang membanjiri pelupuk matanya. Untunglah teman sekamarnya sedang keluar. Ia jadi bebas menikmati kesunyian ini dengan segala kekosongannya sehingga dengan cepat memberi ruang bagi kenangan masa lalu yang muncul dan mendesak masuk. Sosok gadis itu selalu muncul kembali dalam lamunannya, seperti hantu cantik yang tidak dinantikan, tetapi tetap datang menggoda dengan cara-cara yang diajarkan oleh para iblis di neraka. Lebih dari tiga tahun yang lalu, ketika sedikit ketenaran masih memberikan banyak harapan tentang kebahagiaan yang dapat dibangun bersama gadis-gadis yang masih bisa dipilih-pilih, Khairani hadir menjadi jawaban. Menjadi pusat kekaguman telah membuat Abdul Muksin mabuk ketenaran. Berpacaran dengan Khairani nyaris dimaksudkan hanya sebagai berita kampus yang diharapkan melekat pada ingatan para aktivis dua generasi di atasnya juga aktivis dua generasi di bawahnya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

47

Pada dua gereasi penerus inilah ia berharap benarbenar akan menemukan sosok yang kelak akan membuatnya mengambil keputusan menikah. Ada banyak orang yang pernah membicarakan pernikahan dengan dirinya yang mengaku bahwa kehidupan berumah tangga menjadi lebih harmonis bila istri lebih muda dari suaminya. Abdul Muksin percaya pada pendapat itu karena ia belum pernah mendengar ada yang memberikan bantahan atau memberikan pendapat lain. Jauh di dalam ingatannya yang mulai menumbuhkan kenangan-kenangan, Abdul Muksin mulai merenungkan sesuatu yang terlambat ia syukuri. Setelah dua tahun wisuda, pengalaman berpacaran dengan Khairani, tetap menjadi satu-satunya pengalaman berpacaran yang sampai membuat ia memimpikan pernikahan dini. Selama mereka berpacaran, nyaris tidak pernah ada perbedaan pendapat dengan Khairani. Ketika dimintai pendapatnya, gadis itu selalu menyetujui apa pun yang diusulkan. Barangkali sikap itu lahir sebagai penghormatan atas prestise seorang ketua BEM. Tidak ada ide yang lebih sempurna dari ide yang dapat ditawarkan oleh seorang ketua BEM di tengah-tengah rapat yang dipimpinnya. Ide-ide yang dimunculkannya ketika berada di antara para aktivis kampus, sering dianggap sebagai solusi paling tepat untuk setiap persoalan baru yang dihadapi dunia aktivis mahasiswa di kampusnya. Kecermerlangan yang dipadu dengan
Johan M.

48

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

ketampanan telah membuat Abdul Muksin menjadi sosok ketua BEM yang tidak bercela. Kenyataan itu perlahan-lahan membuatnya menunjukkan sikap yang pasti dapat ia benci dengan mudah di awal masa kuliahnya kalau sampai pernah mempunyai kesempatan menemukan orang yang memiliki sikap seperti itu. Sekarang, ketika berada pada waktu yang sama jauh dengan saat ia mungkin dapat memberikan sikap muaknya itu, ia merasa nyaris muntah. Ia tidak percaya kalau dirinya pernah begitu pongah. Tahun berikutnya, ketika ia menjadi ketua BEM universitas, ia merasa sama berkuasa dengan rektornya. Ia tetap mengambil kesempatan menjadi ketua BEM meskipun sebenarnya akan membuat kuliahnya menjadi molor satu semester, sehingga ia masih harus menjadi mahasiswa pada semester kesembilan. Ada banyak dukungan teman-teman aktivis kampus. Ada banyak suara yang meneriakkan namanya saat berorasi di dalam aula, dan halaman kampus. Melewatkan kesempatan menjadi ketua BEM yang membawahi ketua-ketua BEM fakultas, sungguh merupakan tindakan bodoh yang jelas-jelas tidak bijaksana. Sebelum pencalonan dirinya dipastikan, dia mengajak Khairani berbicara, di tepi pantai Labuhan Haji, menikmati suasana pantai menjelang malam, tanpa panorama matahari tenggelam. Ada persitiwa lain di belakang hari yang membuat seluruh percakapn sore itu menjadi melekat sangat erat dalam ingatannya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

49

Kamu tidak keberatan bukan kalau kita menunda wisuda kita satu semester saja? Menunda wisuda? Katakan saja menunda pernikahan kita. Jangan menyamarkan sesuatu yang jelas-jelas ingin kau jelaskan. Mereka berdua sepakat akan menikah sebelum berlalu bulan pertama setelah wisuda. Ada perasaan bersalah yang muncul, tapi segera dikalahkan oleh keinginan untuk menjadi orang nomor satu dalam organisasi kemahasiswaan. Bukan begitu maksudku, kata Muksin. Aku ingin cepat menikah denganmu. Aku merasa akan lebih tenang menjadi istrimu dibandingkan dengan hanya menjadi pacarmu? Aku juga ingin begitu. Tapi situasinya lain. Sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Kita bisa membuat rencana baru. Rencana apa? Abdul Muksin menatap ke arah ombak laut yang semakin hilang warna birunya. Malam sepertinya sudah tidak sabar menggantikan siang yang terik dan menyiksa banyak kekasih yang telah memilih melewatkan waktu berduaan di tepi laut sambil melihat ombak yang berebut kesempatan menyalami kaki-kaki mereka yang dibiarkan menyentuh bibir pantai. Kalau saja situasi seperti ini ia hadapi sebelum mereka berpacaran, tentu akan lebih mudah mengatakan apa yang ingin diucapkan. Tapi siapa yang begitu berani mengajak gadis yang bukan pacarnya untuk menikah? Mengajak pacar saja sudah
Johan M.

50

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

setengah mati berat beban konsekuensinya. Sebelum berpacaran, tidak akan ada pikiran untuk terus mengatur waktu agar bisa teratur menemuinya, berbicara berdua dengannya, atau merasa kehilangan ketika dia ternyata tidak ada disaat kehadirannya adalah obat bagi setiap derita rasa rindu. Terlalu cengeng untuk mengakuinya, tetapi terbiasa bersama-sama dengannya, setelah melewati bulan ketiga, telah mampu menumbuhkan rasa sayang yang sangat dalam. Dia belum pernah mengakui rasa sayang itu dengan kata-kata. Ia menganggap rasa sayang itu untuk ditunjukkan, seperti sore ini, ketika mengajak Khairani duduk berdua, membicarakan tentang harapannya dan harapan mereka berdua. Menurutku, kita bisa menunda pernikahan kita satu semester. Tapi kalau kau benar-benar ingin segera, kita bisa menikah secepatnya, sebelum wisuda. Khairani tidak langsung menjawab. Ini baik, pikir Muksin. Jawaban yang baik diperoleh dari orang yang mempunyai kesempatan untuk memikirkan jawabannya. Aku mau menunda wisuda selama satu semester, kata Khairani,tetapi kau harus membantuku menangani biaya kuliahku. Tidak bisa, jawab Muksin. Jawaban itu jelas terlalu cepat diberikan. Ia tidak pandai mengatasi pertanyaan yang tidak masuk dalam prediksinya. Dari mana Khairani belajar mengajukan syarat yang jelas tidak bisa ia sanggupi itu? Ia tiba-tiba ingat dengan orang-orang yang mendukung pencalonannya. Kalau ada yang berhak meminta biaya tambahan, maka orang itu adalah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

51

dirinya. Ketua BEM berhak mendapatkan keistimewaan yang tidak banyak diperoleh oleh mahasiswa lain karena tidak semua mahasiswa menjadi ketua BEM. Ia sudah menduga kemungkinan untuk membutuhkan uang dalam waktu cepat, tetapi itu untuk menunjang kehidupannya bila sudah benar-benar menikah dengan Khairani. Kalau hanya untuk membiayai Khairani, rasanya tidak mungkin dilakukan, bukan saja karena ia memang tidak memiliki cukup uang kiriman untuk dibagi, juga karena nasihat orang tuanya agar tidak menghabiskan uang untuk urusan perempuan. Menikah sebelum wisuda. Itulah jalan keluar yang sudah ia pikirkan berkali-kali dan tetap akan menjadikannya sebagai tawaran utama bila mereka berdua ingin tetap bersama. Baru kali ini Khairani menunjukkan persetujuan yang tidak penuh. Abdul Muksin merasa gagap dan tidak tahu bagaimana cara menangani situasi yang baru ini. Tadi pagi aku telah menemui Kepala Bagian Urusan Kemahasiswaan. Pria tua bersongkok haji itu tidak bisa memberikan janji yang dapat diharapkan. Untuk apa kau menemuinya? Biasa...meminta dimasukkan ke dalam daftar penerima beasiswa yang baru. Hanya dari beasiswa kau akan menghidupi pernikahan kita selama masih menjadi mahasiswa? Khairani memang telah berubah. Tapi dia benar. Pertanyaannya telah membangun kesadaran Abdul
Johan M.

52

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Muksin. Menikah tidak hanya berarti hidup bersama orang yang dicintai. Ada banyak hal yang harus dilakukan. Pernikahan, seperti juga cita-cita yang lain, sama sekali tidak bisa diramalkan atau terlalu direncanakan, tetapi bukan berarti dapat dilakukan sembarangan tanpa persiapan. Beasiswa memang kecil, siapa pun tahu, beasiswa untuk S1 itu kecil, hanya bisa dijadikan penopang kehidupan selama satu minggu. Yang belum dijelaskan oleh Muksin adalah dalam usulan beasiswa itu, ia juga menyertakan nama Kharani. Jika mereka berdua dapat beasiswa, mereka bisa hidup selama dua minggu dengan berhemat. Dua minggu sisanya dapat dilewatkan dengan tetap menerima uang bulanan dari orang tua masing-masing. Selama masa peralihan, selama belum terbiasa menjadi seorang suami dan istri, bantuan siapa pun akan berguna, apalagi jika bantuan itu bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sebagai pasangan muda. Muksin berusaha memberikan jawaban. Untuk sementara, katanya. Entah bagaimana ia memperoleh jawaban yang hebat itu. Dari tadi ia sulit sekali menemukan kata-kata yang tepat dan mampu mewakili pikirannya. Khairani diam. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun lagi selain Ya, begitu diajak untuk pulang. Sikap itu sering ditunjukkan ketika ia sudah setuju. Abdul Muksin segera menulis dua huruf paling keramat dalam sejarah cintanya di atas pasir kering yang diratakan dengan telapak tangannya, MK, Muksin-Khairani. Satu pacar, satu istri, dan satu kehidupan yang sempurna. Ia
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

53

tidak sabar ingin sampai di tempat tinggal Khairani kemudian segera setelah itu kembali ke kampus ke sekretariat mahasiswa untuk bergabung dengan tim suksesnya sambil memberitahu mereka tentang kesiapannya menjadi salah satu calon ketua BEM. Kesibukan menjalani semua proses pemilihan ketua BEM, ketegangan menunggu hasil pemilihan, dan serangkaian rapat-rapat pembahasan anggaran kegiatan setiap unit kegiatan mahasiswa di awal tahun ajaran baru, telah membuatnya kehilangan kesempatan menunjukkan perhatian dan rasa sayangnya pada Khairani. Ia sering kehilangan malam minggu. Setelah beberapa kali tidak bermalam minggu, ia menjadi terbiasa. Anehnya, ia tetap yakin masih memiliki hati dan segala harapan gadis itu. Pikiran Abdul Muksin dipenuhi oleh berbagai masalah antar-mahasiswa yang memerlukan penyelesaian mendesak. Tanpa campur tangannya, dunia mahasiswa pasti sudah kiamat. Semakin lama ia merasa semakin penting dan diperlukan oleh banyak orang. Semakin lama, ia menganggap mengabaikan seorang kekasih yang tidak pernah mengatakan tidak bukanlah perkara yang patut dirisaukan. Sebuah kejutan muncul sebelum Muksin menjalani setengah masa jabatan sebagai ketua BEM universitas. Dia kaget, marah, sekaligus tidak berdaya ketika pada suatu hari Khairani mengatakan ia sudah lulus ujian skripsi. Dia diminta menjadi pendamping yang akan tercatat dalam undangan wisuda. Harga dirinya
Johan M.

54

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

membuat ia menyatakan penolakan dengan cepat. Ia tidak hadir waktu diundang ke rumah Khairani untuk merayakan syukuran. Ketidakhadiran itu merupakan protes paling kejam yang berhasil ia lakukan tanpa beban rasa bersalah. Setelah itu, ia tidak pernah lagi mau menghubungi Khairani. Ia ingin menunjukkan bahwa tanpa gadis itu, ia masih bisa mengatur hidupnya. Di sela-sela kegiatan kemahasiswaan, ia mulai menyusun skripsinya. Rasa malu akademisnya telah lenyap entah ke mana. Dengan bangga ia menceritakan pada aktivis-aktivis muda yang akan menjadi penerusnya bahwa dia telah diperlakukan dengan tidak adil sehingga terpaksa memecahkan rekor sebagai mahasiswa dengan usulan judul skripsi terbanyak. Ia menjejalkan informasi, menjadi ketua BEM itu tidak mudah, kita harus siap berkorban lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Kartu Hasil Studi (KHS) yang memperlihatkan deretan nilai-nilai B dan C, merupakan bentuk pengorbanan diri seorang aktivis sejati yang telah meluangkan banyak waktu untuk kepentingan banyak pihak. Untunglah ia sempat berpikir sejenak sehingga tidak sampai memasukkan kegagalan rencana pernikahannya sebagai berita tentang bentuk pengorbanan lain dari seorang aktivis nomor satu. Kesempatan mengerjakan skripsinya baru benarbenar diperoleh ketika ia sudah tidak lagi menjadi ketua BEM. Dia terpaksa menambah masa kuliah satu semester lagi. Kalau mengingat Khairani, berarti Muksin harus
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

55

menyerah karena ketinggalan waktu satu tahun. Kalau saja kepongahannya tidak sedang berkuasa, ia pasti akan menyadarinya sebagai kenyataan yang memalukan. Lima tahun berada di dunia kampus, berarti semakin jauh dari titik awal yang menjadi cita-cita pertamanya memasuki dunia perguruan tinggi. Kalau saja ia tidak merasa disakiti oleh para pemujanya yang tidak lagi memberikan sambutan hangat seperti waktu dirinya masih menjadi ketua BEM, barangkali ia masih akan mengabaikan skripsinya. Ketika setiap pertemuan ia temukan sudah dimulai dan tidak perlu menunggu kehadirannya, dan ketika tidak ada satu orang pun yang mengumumkan kehadirannya di sebuah ruangan tempat mahasiswa baru sedang berkumpul, ia merasa dunia telah hampir kiamat. Skripsi itu rampung dan dinyatakan siap diuji, setelah hampir tiga bulan ia menyibukkan diri dengan serangkaian konsultasi dan upaya-upaya revisi yang jelas-jelas menjemukan dan melelahkan. Sebuah aplop undangan pernikahan berwarna merah disodorkan oleh wajah asing yang masih muda dan cantik pada saat Abdul Muksin sedang buru-buru menaiki tangga kampus menuju ke ruang ujian skripsi. Mahasiswa baru, pikirnya. Wajah muda itu membuat ia ingin sedikit memberikan gaya seorang mantan ketua BEM menerima surat dari salah satu sahabat yang tidak akan melupakan orang yang pernah menjadi ketua BEM di hari pernikahannya. Betul juga. Ia tidak mengenal pengantin prianya. Tetapi di depan gadis berjilbab yang
Johan M.

56

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

cantik ini, ia ingin menunjukkan bahwa ia mengenal pengantin pria itu. Begitulah cara memimpin para pemimpin yang populer. Bersikaplah mengenal, meskipun tidak kenal, karena dengan begitu dia bisa tetap menjadi pemilih, atau bisa beralih menjadi calon pemilih berikutnya. Raut wajahnya berubah setelah membaca nama pengantin perempuan. Ia hanya bisa menatap pengantar surat itu, yang masih saja berdiri, dan baru pergi setelah Abdul Muksin hanya bisa berdiri mematung, menatap nama pengantin perempuan di surat itu tanpa berkedip. Khairani sudah seminggu menikah, pestanya akan diadakan pada hari Minggu pagi, dua hari lagi, dua hari setelah hari pelaksanaan ujian skripsi sang mantan ketua BEM, yang kini punya sebutan barumantan pacar. Muksin amat menyesali kenyataan ini. Setelah semua pengorbanan yang dilakukan untuk banyak kepentingan mahasiswa, inikah akhirnya yang menjadi hasilnya? Ia tidak terima. Ada protes samar-samar dalam hatinya pada yang mahakuasa. Ia segera beristigfar begitu menyadari bahwa setiap kejadian sebenarnya telah ditentukan dan pernah menjadi kesepakatan antara manusia dengan sang pencipta, di masa lalu, pada periode kehidupan lain, sebelum seorang manusia akhirnya diizinkan hidup di atas dunia. *** Ketukan beruntun yang terdengar keras itu membangunkannya. Entah sejak kapan ia tertidur. Semua bagian yang kembali mengisi lamunannya malam ini juga telah menjadi lamunannya pada malam-malam
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

57

sebelumnya. Abdul Muksin tidak mau lagi pusingpusing memikirkan di bagian mana dari lamunannya itu yang menjadi akhir dari epsisode-episode lamunannya. Sebentar! Ia segera bangkit dari tempat tidur. Ketukan itu berhenti juga. Kasihan tetangga kos lainnya. Mereka jelas tersiksa lebih lama dari dirinya karena terpaksa harus mendengarkan ketukan pintu menjelang tengah malam. Kau dari mana saja? Biarkan aku masuk dulu. Samsu Rizal melangkah masuk lalu meletakkan tasnya. Biarkan pintu itu terbuka. Udaranya sudah mulai dingin. Sebentar saja. Aku memerlukannya untuk menjernihkan pikiranku. Abdul Muksin kemudian keluar ke kamar mandi bersama para penghuni kos. Dia membiarkan pintu terbuka seperti yang dikehendaki teman sekamarnya. Selesai berwudhu ia kembali lagi ke kamar dan terpaksa meneruskan niatnya melaksanakan salah Tahajud dengan membiarkan pintu sedikit terbuka. Biasanya kalau salat sendiri di dalam kamar ia lebih tenang melakukannya dengan pintu tertutup, tetapi malam ini ia melihat Rizal sedang diliputi kegelisahan yang mungkin dapat ia lihat juga sebagai gambaran dirinya seandainya ia adalah orang lain yang memiliki kesempatan melihat kegelisahannya. Usai salat tahajud delapan rekaat, dia lalu melipat sajadah dan mulai duduk santai dengan sikap siap
Johan M.

58

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mendengarkan penjelasan apa pun yang mungkin saja segera akan diutarakan oleh Rizal. Satu tahu belakangan ini, setelah mereka berdua memutuskan menyewa satu kamar kos untuk berhemat, bersama itu, nyaris tidak ada pengalaman pribadi yang tidak dijadikan sebagai pengalaman bersama, meskipun salah satu di antara mereka harus puas menggapi pengalaman itu sebatas cerita yang bisa disampaikan oleh orang yang mengalaminya. Kenyataan bahwa mereka mengajar di tempat yang sama, sebagai bentuk pengabdian pada yayasan yang mengelola perguruan tinggi mereka, dan juga mengelola sekolah-sekolah swasta di bawah payung organisasi NW di seluruh Pulau Lombok, membuat mereka nyaris selalu menghadapi persoalan yang sama dan secara otomatis tergerak untuk bersama-sama mencari jalan keluarnya. Sudah cukup terlambat untuk tidur, tetapi tidak pernah terlambat untuk memulai sebuah pembicaraan. Dunia para aktivis kampus, yang pernah mereka jalani semasa aktif kuliah, menyisakan kemampuankemampuan mengagumkan karena telah membuat mereka dapat bergadang semalaman. Alasan melakukannya sekarang sudah berbeda. Entahlah, apakah ini sebuah kemajuan ataukah kemunduran. Entah bagaimana cara menilainya. Dua tahun menjadi sarjana dan memperoleh kesempatan menjalani hidup yang sesuangguhnya membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak semua hal dapat dinilai dengan cara yang sederhana.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

59

Aku mendengar isyu, akan ada orang baru yang akan masuk mengajar. Kita juga pernah menjadi orang baru. Keberuntungan kita adalah karena kita diberi kesempatan. Tidak semua teman-teman kita memperoleh kehormatan untuk mengabdikan diri di bawah naungan yayasan, meskipun hanya untuk mengajar di sekolah menengah. Apa masalahnya? Kau kelihatan tidak mudah menerima kehadirannya? Coba katakan, dari mana munculnya keberatan itu? Dia belum wisuda. Kalau yayasan sudah memutuskan dia bisa mengajar di tempat kita, berarti dia dipandang sama mampunya dengan kita. Kemampuan? Tidak ada satu pun di antara kita yang pernah diuji dulu sebelum memperoleh izin mengajar. Kita masuk begitu saja dan karena tidak pernah membuat masalah, kita masih tetap bertahan sampai saat ini. Kau tahu itu, berarti siapa pun memang bisa mengajar bersama kita. Dengarkan dulu. Ada bedanya dengan kita. Orang yang akan masuk itu belum sarjana dan kita sudah sarjana. Kau tahu bagaimana sulitnya memperoleh gelar sarjana. Kalau kau tidak keberatan, aku tetap keberatan. Orang yang belum memperoleh gelar sarjana, menurutku tetap belum boleh mengajar.

Johan M.

60

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kita tidak tahu mengapa ia sampai harus mengajar sementara kuliahnya belum selesai. Lagi pula kita berdua bukan penentu kebijakan. Persoalan semua mahasiswa yang belum wisuda adalah sama, mereka sama-sama belum merampungkan skripsinya. Kau benar. Tapi belum pasti kalau itu yang menjadi penyebabnya. Kita tidak pernah tahu kalau tidak pernah bertanya langsung. Cobalah bertanya, aku bisa memastikan, kau tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Muksin bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia menutupnya tanpa minta pendapat. Banyak nyamuk, katanya, menjelaskan. Yeah. Aku hanya kecewa, dan mengkhawatirkan tanggapan orang-orang yang nantinya tahu kalau tidak semua guru di sekolah tempat anak-anak mereka belajar adalah orang-orang yang sudah layak mengajar. Layak mengajar? Apa maksudmu guru-guru baru yang hampir sarjana itu dianggap belum layak mengajar sedangkan di sekolah kita masih ada guru yang pendidikan akhirnya, sama dengan pendidikan yang ia ajarkan. Jangan bilang kau tidak tahu siapa guru yang cuma tamat SMP. Bahkan tamat SMA, menurutku masih lebih layak mengajar di Madrasah Tsanawiyah. Di kampus kita juga masih banyak dosen S1. Masa S1 mengajar S1. Seingatku, tidak ada S1 yang mengajar S1. Dosendosen kita yang masih S1 sebenarnya mengajar mahasiswa calon-calon S1. Sebelum wisuda, seorang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

61

mahasiswa belum pantas menyebut diri mereka memiliki pendidikan terakhir S1. Mereka masih calon sarjana. Seorang calon adalah seorang calon. Masih banyak tugas serta kerja keras yang harus ditempuh untuk bisa diberi gelar sarjana. Sesaat lamanya dia terdiam karena teringat kembali pada tahun terakhir sebelum ia berhasil menempuh ujian skripsi. Cobaannya nyaris membuat ia tamat tanpa ijazah. Baiklah, mari kita ke sekolah besok pagi dan mulai mengajar dengan seorang calon sarjana. Kalau tahu dari dulu, aku mungkin bisa mencoba melamar menjadi pengajar waktu masih semester satu. Setelah terdaftar menjadi mahasiswa, kupikir aku berhak atas sebutan sebagai calon sarjana. Calon sarjana boleh mengajar, astaga, aku juga ingin... Rizal, bantal itu, tolong. Muksin lalu berbaring di lantai, di atas karpet hijau yang mereka beli dengan patungan. Tempat tidurnya hanya selebar satu meter. Mereka tidak bisa menempati dipan kayu itu berdua. Salah satu harus mengalah untuk tidur di bawah dan bersabar karena hanya berbaring dengan beralas karpet murah dan tipis. Penderitaan selalu bisa mengajarkan sesuatu, terutama tentang bagaimana harus bersikap sabar dalam menerima segala macam keterbatasan. Mungkin itulah sebabnya, orang miskin selalu bisa belajar lebih banyak tetang kehidupan yang sesungguhnya daripada mereka yang ditakdirkan hidup kaya-raya. Tetapi kalau direnungkan, apalagi yang mau dipelajari kalau sudah kaya? Bukankah orang memang
Johan M.

62

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

belajar untuk bisa mencapai kekayaan, dan setelah mencapainya, berarti pelajaran sudah berakhir. Biar aku di bawah. Udara malam ini panas sekali. Tetap saja di situ, kata Muksin. Aku sudah tidur tadi di situ. Dan kurasa bukan udara yang panas. Aku masih tidak terima, kata Rizal. Jangan mentang-mentang dia dari UNRAM lantas bisa disamakan dengan kita yang sudah sarjana. Dari Universitas Mataram? Ya. Dia pasti tinggal di sekitar sini. Tidak mungkin anak Mataram. Sudah pasti begitu. Kalau mahasiswa dari perguruan tinggi kita yang mencoba melakukannya, aku jamin, tidak pernah ada kemudahan semacam itu. Tidak akan ada kepala sekolah negeri yang mau menerima mahasiswa dari perguruan tinggi swasta kecuali mereka sudah menjadi sarjana. Bahkan sudah menjadi menjadi sarjana pun, kita perlu melamar di banyak tempat dan mengajukan lamaran berkali-kali baru bisa diterima sebagai guru honorer. Samsu Rizal tidak sampai mengucapkan dengan tegas tentang ketidakadilan itu. Dia hanya mengungkapkan faktanya. Tapi sejauh itu, Muksin memahami maksudnya. Mungkin dia akan mengajar hanya untuk sementara, sambil menunggu wisuda dan melamar pekerjaan sebagai guru negeri. Memangnya kita juga tidak mengajar di sini untuk sementara waktu? Kita juga sedang menunggu kesempatan pembukaan guru negeri.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

63

Kau masih mau mencoba lagi? Mereka berdua sudah mengikuti tes. Ada banyak teori yang mereka bangun untuk menjelaskan penyebab kegagalan mereka. Semuanya merupakan upaya menghibur diri sendiri. Tetapi yang paling menyebalkan, mereka yang lulusan perguruan tinggi negeri sepertinya memiliki prospek yang lebih baik. Gagal satu kali, bukan berarti akan gagal lagi. Semoga saja begitu. Ayo kita tidur. Besok pagi aku akan mengajar jam pertama. *** Guru baru itu ternyata seorang gadis cantik yang mudah bergaul. Setelah minggu pertama, ia bisa menyapa setiap guru dengan nama panggilan mereka dan tidak hanya mencukupkan sapaan dengan Pak, atau, Bu. Ini luar biasa. Mungkin karena dia tidak punya latar belakang sekolah agama, ataukah karena ia guru bahasa Indonesia, sehingga tutur katanya, selain mudah dimengerti, dia juga dengan sangat pandai dapat mengatur percakapannya yang bisa memberikan nuansa homor yang tidak menyinggung perasaan. Dari Colbiana, Abdul Muksin mengetahui bahwa kehadiran guru baru itu telah membuat sebagian besar siswa-siswa yang semuanya adalah perempuan itu menjadi khawatir akan kehilangan perhatian dari guru bahasa Arab mereka. Colbiana menyampaikan berita itu dengan serius. Tetapi Abdul Muksin menanggapinya dengan santai. Para siswa memiliki dunianya sendiri.
Johan M.

64

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mereka dapat berpikir seluas yang mereka mau tanpa pernah mampu dikendalikan oleh siapa pun, termasuk guru dan orang tuanya. Bukan kekhawatiran seperti penuturan Colbiana itu yang patut dikhawatirkan. Hanya ada satu siswa yang tidak ia harapkan dapat berpikir sesukanya seperti siswa-siswa lain. Salwa tidak boleh berpikir seperti itu. Surat cinta yang sudah diberikan itu dapat dijadikan sebagai jaminan bahwa sang guru bahasa Arab tidak akan berpaling pada sosok lain. Ada kesetiaan aneh dari seorang calon kekasih yang coba dipertahankan oleh orang yang menganggap dirinya layak menjadi pilihan. Teman-temanmu tidak usah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Abdul Muksin menjelaskannya sambil bersandar pada tiang kayu di depan salah satu ruang kelas. Ia tadi bermaksud kembali ke ruang guru sehabis mengajar, namun terpaksa menghentikan langkah karena Colbiana memanggilnya lalu ikut berjalan di sampingnya. Di sekolah, kita hanya memiliki kesempatan sebagai pengajar dan pelajar. Tidak baik mencampur-adukkannya dengan urusan-urusan pribadi. Colbiana tertawa. Cara Colbiana melakukannya membuat Abdul Muksin salah tingkah. Dalam sekejap, Abdul Muksin menyesali ucapannya yang terakhir. Katakata yang benar itu sudah tidak tepat lagi menjadi ucapannya, karena sekarang dirinya sudah termasuk orang yang melanggar kebenaran itu. Sejak dulu, memang selalu lebih mudah mengatakan kebenaran, daripada benar-benar melakukannya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

65

-3Wawan Darmawan meminta gadis bernama Salwa itu mengikutinya. Mereka berdua memasuki ruang sempit yang dijadikan sebagai ruang kursus komputer. Ada sepuluh unit PC di situ. Semua sedang tidak terpakai. Ke mana peserta kursus lainnya? Apakah mereka belum datang? Dua pertanyaan itu disusul oleh pertanyaan-pertanyaan lainnya. Untuk mengatasi kegelisahannya, Salwa memberanikan dirinya bertanya, Mengapa Sepi? Menurut satu-satunya petugas administrasi yang ditemui tadi sewaktu menyerahkan formulir pendaftaran dan menyetorkan biaya kursus selama dua bulan pertama, peserta kursus komputer di BASTA COM lebih dari tujuh puluh orang, masing-masing mengambil paket kursus sesuai dengan kebutuhan. Selain sebagai tempat
Johan M.

66

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kursus, BASTA COM juga menjadi tempat pembelian perangkat komputer, perbaikan komputer, penyewaan komputer, juga menerima berbagai pesanan yang terkait dengan komputer, mulai pesanan pengetikan skripsi, penerjemahan bahasa asing, pembuatan stiker, spanduk, leflet, pamflet, dan desain grafis untuk buku-buku yang dicetak dalam edisi sangat terbatas. Kalau pagi lebih ramai. Hanya itu jawaban yang ia peroleh. Salwa lalu mengingatkan dirinya agar sesekali menyempatkan diri datang pagi-pagi. Kebetulan letak kursus BASTA COM hanya dua ratus meter dari sekolahnya, dan selalu dilewati bila ia berangkat atau pulang sekolah. Instrukturnya memilihkan komputer di pojok ruangan, membelakangi dinding berkaca. Ada komputer lain dengan posisi yang lebih baik, memberikan sedikit pemandangan pada air mancur dan rimbunan bungabunga kamboja mungil. Lain kali aku akan memilih sendiri, batin Salwa. Sudah tahu perangkat apa saja yang membuat sebuah komputer bisa digunakan? Apa kita tidak menunggu peserta lainnya? Salwa merasa tidak nyaman dilatih sendirian. Ia tebiasa belajar bersama empat puluh orang siswa di dalam satu kelas. Dia sudah biasa berbagi perhatian guru dengan empat puluh orang. Menghadapi satu orang pengajar sendirian adalah pengalaman yang baru. Salwa merasa tidak nyaman, dan nyaris tegang, karena instrukturnya juga ternyata seorang laki-laki. Ia nanti akan minta instruktur
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

67

pengganti. Sekarang sudah tidak mungkin melakukannya. Menolak seorang instruktur yang sudah mulai mengajar pasti akan dianggap sangat tidak sopan. Kita tidak akan menunggu siapa-siapa. *** Laili menghampiri Wawan. Pria kecil itu adalah adik rekan kerjanya. Wawan sering datang ke BASTA COM sebagai pengunjung. Keleluasaan yang ia dapatkan, untuk sesekali masuk ke ruang kursus dan membantu sang kakak, diberikan semata-mata karena kakaknya sudah bekerja di BASTA COM selama satu setengah tahun. Tingkahnya sore ini terlalu berlebihan. Kalau bukan di depan seorang calon peserta kursus, Laili pasti sudah mengusirnya. Dia selalu berusaha menyabarkan diri dengan mengingat nasihat bosnya, jangan tunjukkan rasa tidak sukamu yang bercampur dengan kemarahan di depan para pelanggan kita, tersenyumlah, tapi jangan berlebihan, karena senyum yang berlebihan, dapat dibaca oleh pelanggan sebagai bentuk kepura-puraan. Kemarahan Laili bertambah meluap ketika mendapati Wawan bertingkah seolah tidak ada masalah. Kita harus bicara. Wawan hanya menatap sebentar lalu kembali sibuk memasang jaketnya yang terlalu longgar. Tubuh kecil itu seperti akan tertelan seluruhnya. Aku pamit. Tunggu dulu. Kita harus bicara. Bicara saja dengan kakakku. Orang ini memang tidak tahu diri, pikir Laili. Pemilik tempat ini bukan kakakmu. Jadi bukan dengan
Johan M.

68

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dia aku harus berbicara kalau ternyata ada yang kuanggap tidak beres di sini. Baiklah, apa yang tidak beres. Mengapa kau memaksa mengajarkan komputer pada anak baru itu? Aku menggantikan kakakku. Dia tidak bisa datang hari ini. Aku sudah memeriksa jadwal. Kakakmu tidak punya jam sore ini. Lagipula, kalau kebetulan sedang tidak ada instruktur yang bisa kemari, akulah yang ditugaskan untuk menanganinya. Aku hanya membantumu. Seharusnya kau senang dibantu. Maaf, apa kau biasa menyebut dirimu membantu, sementara yang kau lakukan adalah mengambil kesempatan? Jangan kira aku tidak bisa membaca pikiran busukmu. Wawan mengayunkan helm-nya. Tapi ayunan itu berhenti dua senti dari rahang sasarannya. Kalau saja kau bukan perempuan. Banci! Akan kuberi tahu kakakmu bahwa adiknya cuma berani pada perempuan. Sebaiknya jaga mulutmu agar aku bisa menjaga tanganku. Laili benar-benar ingin meledak. Bagaimana bisa orang yang nyaris asing dari lingkungan BASTA COM ini sekarang bertingkah menguasai dirinya, orang yang jelas-jelas diberi wewenang untung mengatur bagian kursus komputer. Keterlaluan! Baru punya kakak yang bekerja saja ia sudah berani bertingkah, bagaimana kalau
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

69

dia sendiri yang bekerja di sini? Jangan sampai bos menerima bangsat celaka ini. *** Abdul Basit, bos BASTA COM, masih menjadi mahasiswa semester delapan. Usahanya mulai dirintis sejak ia baru menjadi mahasiswa semester tiga. Tahun pertama di Mataram dihabiskan dengan memasuki berbagai tempat yang menyediakan komputer, baik untuk penyewaan, ataupun penjualan perangkatnya. Kuliahnya di Program Studi Pendidikan Bahasa Ingrris, menjadi nomor dua. Dia memilih program tersebut dengan harapan dapat lebih mengasah kemampuan bahasa Inggris-nya. Ia punya impian dapat membaca banyak literatur berbahasa Inggris tentang komputer dan segala macam bentuk kemajuan teknologi. Ia cepat terpikat oleh penampilan terbaru perangkat-perangkat komputer. Kenyataan bahwa ia belum punya pacar sampai saat penggarapan skripsi, sempat membuat orang-orang yang bekerja padanya menganggap bahwa selera sang bos pada wanita telah terkalahkan oleh seleranya pada desain mutakhir dan elegan hasil kemajuan teknologi komputer yang terbaru. Orang tuanya ingin memberikan modal usaha, pada bidang apa pun yang diminatinya, nanti setelah ia wisuda dan mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Usaha apa pun itu, diharapkan akan menjadi penunjang, dan tugasnya yang utama tetap harus menjadi seorang guru, jika bisa, guru negeri.
Johan M.

70

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dengan menjadi guru negeri, ia bisa mengembangkan modal yang diberikan dengan mengambil kredit lunak di bank-bank yang memburu para peminjam berstatus PNS. Pegawai Negeri Sipil merupakan golongan yang paling aman dan bebas dari bahaya menonggak setoran. Gaji mereka akan langsung dipotong oleh bendahara di intansi masing-masing dan semua surat perjanjian yang sudah ditanda-tangani tidak akan pernah membuat mereka sampai mampu melakukan negosiasi ulang di tengah masa pemotongan gaji. Ukuran kepalanya yang besar, sehingga nyaris membuat helm ukuran L sulit dikenakan, mungkin bukan satu-satunya penyebab ia memiliki sikap keras kepala. Abdul Basit mendesak orang tuanya untuk segera memberikan modal usaha yang dijanjikan itu. Hasilnya, ia memperoleh tiga puluh juta, tunai, dari hasil penjualan tanah kosong di belakang kantor bupati yang merupakan salah satu warisan almarhum ayahnya. Dia anak terakhir dari lima bersaudara. Dia satu-satunya anak laki-laki. Hukum adat memberinya peluang untuk menguasai semua harta warisan. Anak peremuan suku Sasak tidak diberi hak atas warisan. Basit masih muda. Ia belum dipusingkan oleh keruetan urusan dunia. Dia hanya minta bagiannya. Dan ketika harga tanah kosong itu sudah diberikan sepenuhnya padanya, saudara-saudara perempuannya berharap dengan cemas agar rumah dan tanah yang mereka tinggali bersama dengan suami-suami dan anakanak, yang masih ditinggali dengan ibu mereka, paling
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

71

tidak untuk sementara waktu, masih boleh mereka huni tanpa masalah. Sangat baik kalau harga jualnya nanti diperhitungkan sebagai warisan yang bisa dibagi berempat. Suami-suami mereka terlalu malu untuk menyebut masalah warisan yang jelas-jelas tidak sampai membuat mereka masuk ke dalam hitungan. Basit membangun usahanya dengan semangat yang nyaris membuat ia melupakan kuliahnya. Dia merekrut orang-orang yang paling dipercaya untuk menangani bagian tertentu sehingga tanpa kehadirannya bisnis tetap berjalan. Tidak ada orang yang benar-benar baru. Mereka yang bekerja untuknya adalah sahabat-sahabat dari masa sekolah dasar, sekolah menengah, dan juga satu perguruan tinggi dengannya. Untuk pekerjaan yang tidak terlalu menuntut keterampilan berpikir, ia tidak segan-segan merekrut para pemuda yang kebetulan bermukim di sekitar kantor BASTA COM. Setelah disibukkan oleh urusan skripsi, Basit mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang bekerja padanya di setiap akhir pekan, pada saat ia tidak mungkin mengadakan janji pertemuan dengan dosendosen pembimbingnya. Sikap Laili yang terlalu diam dan dengan sengaja seperti ingin menyembunyikan wajahnya ke dasar meja, jelas merisaukan hati sang bos. Tidak mungkin tidak ada penyabanya. Setelah menghabiskan waktu mengamati ruang kursus yang nampak semarak oleh kehadiran
Johan M.

72

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

anak-anak yang sedang ikut kursus komputer, ia lalu kembali menghampiri meja Laili. Kamu sakit? Laili tidak mengangkat wajahnya. Terakhir kali ia menghadapi gadis yang bersikap seperti ini adalah saat menerima pengakuan rasa tertarik dari salah seorang yuniornya di UKM Media Unram, sebuah unit kegiatan mahasiswa yang khusus membidangi pers kampus. Di situ ia menjadi layouter selama dua priode. Satu tahun ini ia masih mengerjakan tugas-tugas layout tetapi lebih sebagai senior yang berkewajiban menurunkan bakat langka kepada yuniornya, sehingga namanya tidak lagi terdaftar di dalam struktur organisasi. Semoga saja alasannya tidak sama. Ia sangat menyayangi gadis ini. Ia ingin menikahinya suatu saat nanti, tetapi biarlah ia belum menyatakannya dan bersabar untuk menyimpan keinginan itu sementara waktu. Terlalu banyak teman-temannya yang berpacaran ternyata harus kecewa karena putus di tengah jalan. Ia tidak mau mengalami pahitnya perasaan kecewa semacam itu. Bisnis ini masih memerlukan perhatian ekstra darinya. Ia mengenal dirinya, sebuah kekecewaan, pasti akan mengawali kegagagalan dari seluruh impiannya. Hari ini ia melihat gadis pujaannya tidak menampakkan keceriaan. Jauh dari tugas profesionalnya sebagai bos, ia ingin memberikan perhatian yang mungkin diperlukan. Basit merasa memiliki harapan akan menemukan jawaban ketika sebuah gelengan pelan akhirnya terlihat
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

73

tepat ketika ia baru saja bermaksud mengulangi pertanyaannya. Ada apa? Aku perlu bicara denganmu. Oh, Laili, kalau saja kau tahu isi hatiku. Tunggu beberapa bulan lagi. Begitu sudah wisuda, aku akan memberimu kejutan. Kalau kau terima lamaranku, kita akan mengelola bisnis ini berdua. Jika kau ternyata sudah punya pilihan lain, kau masih boleh bekerja di sini. Semua pintu yang kumiliki akan kubuka untukmu karena raja dari semua pintupintu hatikusaja sudah kubuka untukmu. Apa pun yang ingin kau bicarakan, bicarakanlah, aku selalu senang dan sering terbayang dengan celotehanmu yang riang itu. Basit lalu menarik sebuah kursi tempat para pelanggan biasa duduk untuk berkonsultasi. Aku mendengarkan, katanya. Apa ada masalah dengan BASTA COM selama aku pergi? Laili mengangguk. Ia melirik ke ruangan kecil yang khusus dipergunakan oleh para instruktur untuk berbagi pengetahuan terbaru. Di situ ada sebuah meja dengan perangkat komputer PC paling canggih yang dimiliki oleh BASTA COM. Aku merasa lebih tenang kalau menceritakannya di tempat lain. Bagaimana kalau sambil makan bakso? Laili mengangguk. Bodohnya aku, batin Basit. ***
Johan M.

74

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Herman Sopian melirik jam tangannya. Kuliahnya dimulai sepuluh menit yang lalu. Sepuluh menit lagi sudah akan membuat ia sangat terlambat mengikuti perkuliahan. Dia tidak pernah mengizinkan dirinya terlambat memasuki ruang kuliah. Siapa pun dosennya, dengan atau tanpa kesepakatan di awal perkuliahan, ia tetap menganggap tidak masuk kuliah, selalu lebih baik bila dibandingkan dengan datang terlambat. Sebutan sebagai mahasiswa yang datang terlambat segera akan melekat walaupun hanya pernah terlambat dua kali. Dan sejauh ini, sampai tahun ketiga, ia memang berhasil mempertahankan reputasi sebagai sebagai salah satu dari sedikit mahasiswa yang belum pernah terlambat mengikuti perkuliahan. Ia dengan senang hati memetik kelonggaran administrasi perguruan tinggi swasta. Absen yang bisa ditanda tangani sekaligus sampai pertemuan keenam belas sungguh merupakan anugrah yang dapat membuatnya mengatur jadwal mengajar di BASTA COM sesuka hatinya. Yang membuat ia cemas hari ini, sehingga sebentar-sebentar melirik jam tangannya adalah permintaan sang bos untuk segera bertemu dengannya, tetapi sudah lebih dari satu jam membiarkannya menunggu di luar ruangan khusus para instruktur. Waktu singkat yang dirasakannya sangat lama itu, membuatnya merasa kembali menjadi orang asing. Ini sebuah siksaan yang baru peratama kali ia rasakan. Ia melirik ke arah Laili. Kau yakin kalau dia memang ingin bertemu denganku?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

75

Laili mengalihkan pandangannya dari monitor yang menyajikan data tentang waktu serta biaya penyewaan komputer. Dia harus bertemu denganmu. Sekarang? Ya. Sekarang. Kira-kira ada apa? Tidak biasanya dia bersikap formal begini. Tunggu saja. Mungkin masalahnya yang tidak biasa. Laili menikmati saat ini. Sesekali ia perlu dibuat berkeringat, pikirnya. Kau harus membayar perlakuan adikmu yang tidak sopan itu. Sudah kau beri tahu dia kalau aku menunggunya di sini? Tunggu sebentar. Biarkan kuingatkan lagi dia. Laili bangkit dari tempat duduknya. Hanya dia yang tahu bahwa bos BASTA COM untuk pertama kalinya telah membiarkan karyawannya menunggu selama itu. Kegelisahan Herman sedikit terobati setelah melihat tubuh indah itu bergerak dengan keanggunan yang melenyapkan pikiran sehat. Meskipun Basit sudah bisa melihat siapa yang masuk dengan sedikit mengangkat kepalanya dari monitor LCD berukuran 17 inci itu, ia tidak langsung mengajukan pertanyaan. Ia menunggu Laili menutup pintu dan segera menjadikan ruangan itu kedap suara. Bagaimana? Dia bisa menerima penjelasanmu? tanya Basit.
Johan M.

76

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Pada saat makan bakso bersama, Laili menjelaskan semua peristiwa yang dihadapinya, yang membuat dirinya merasa dilecehkan oleh adik Herman. Basit mendengarkan penuturan gadis itu tanpa menyela. Penambahan berbagai alasan yang masuk akal membuat Basit menyatakan dirinya bersedia memberikan peringatan pada salah seorang sahabat baiknya. Tidak mudah mengatakan sesuatu yang berbau ancaman pada orang yang diharapkan memperoleh semua kenyamanan bekerja karena telah menunjukkan dedikasinya. Yang tidak ia katakan pada Laili ialah ingin memberikan kesempatan pada Herman untuk membuat pembelaan. Semua yang bekerja padanya harus memperoleh keadilan. Statusnya sebagai pengagum rahasia Laili, akan ia usahakan tidak terlalu mempengaruhi inisyatifnya dalam bertindak adil bagi karyawannya. Aku sudah menjelaskan padanya, tetapi ia tidak mau pergi sebelum bertemu dan membicarakan sendiri masalah ini denganmu. Oh, begitu. Laili tidak pernah mengatakan apa pun pada Herman. Mengatakan sesuatu pada Herman hanyalah janjinya yang terpaksa dibuat untuk membuat Basit memberikan perhatian pada keluhannya. Ia ingin bosnya yang benar-benar melakukannya. Dia menyadari batas kemampuannya. Memberikan peringatan pada Herman, bukan saja menyebabkan ia seperti mengatakan serangkaian ucapan sia-sia, namun akan membuat hubungan mereka berdua sebagai sesama karyawan menjadi renggang, bahkan retak.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

77

Dia besikap seolah tidak paham, Laili perlu menambahkan lagi informasi yang akhirnya akan membuat Basit tidak akan berpikir bahwa orang yang sebentar lagi akan duduk berhadapan dengannya ternyata tidak mengetahui masalah yang sedang dihadapinya dan sudah lebih satu jam dibiarkan menunggu seperti pelanggan bermasalah yang tidak diharapkan kemunculannya. Jadi, katakanlah apa masalahnya. Penjelasanmu jelas akan lebih mudah dia mengerti. Baiklah, panggil dia masuk. Seperti yang dikatakan oleh Laili, Herman melontarkan pertanyaan yang menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak memahami alasan mengapa mereka berdua akhirnya berhadapan dalam situasi yang serba tidak nyaman. Ada apa? Baru kali ini kau memerlukan waktu khusus untuk menemuiku dengan cara yang benar-benar membuat pertemuan ini berbeda dengan pertemuan lainnya. Bagaimana kabar adikmu? Aku lupa namanya? Wawan Darmawan. Seperti mahasiswa lainnya, mereka sangat bersemangat mengikuti kuliah di semester pertama. Apa dia bisa komputer? Dia menguasai komputer sama mahirnya denganku. Dia sering ke sini?
Johan M.

78

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku pernah mengajaknya beberapa kali. Apa kau memerlukan karyawan baru? Pikiran yang baik dengan mudah dapat ditemukan pada orang-orang yang baik. Bahkan pada situasi yang tidak baik. Mengapa maksud awal ingin memberikan teguran sekarang telah digiring menjadi pemikiran untuk mempekerjakan karyawan baru. Mahasiswa yang bekerja untuk membiayai kuliahnya. Dia bangga pada orangorang semacam itu, seperti ia diam-diam bangga pada dirinya. Basit menghenyakkan diri ke dasar kursi putarnya. Ia bersandar, berusaha menyerap semua kenyamanan yang dapat dirasakannya. Memberikan uang cuma-cuma, selain tidak suka ia lakukan, juga memang belum mampu ia lakukan. Memberikan kesempatan bekerja dengan waktu longgar dan tidak mengganggu perkuliahan merupakan obsesinya. Semua mahasiswa berhak mendapatkan pekerjaan semacam itu. Apa dia mau bekerja di sini? Kau tahu bagaimana penggajiannya. Dia pernah menyebut keinginan itu, tapi aku tidak menghiraukannya. Dia adikku. Akulah yang harus membiayainya setelah ayah kami meninggal. Sedapat mungki, dia ingin kumanjakan. Ayahnya sudah meninggal. Sepertinya informasi itu pernah didengarnya, hanya saja, kali ini, pengaruhnya amat berbeda. Dia menjadi semakin prihatin pada orang di hadapannya. Dia tidak lupa dengan apa yang dikatakan Laili, tapi ia tidak bisa membiarkan orang menjadi lebih menderita sementara dirinya bisa melakukan sesuatu untuk membantu. Mungkin bukan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

79

sifatnya untuk bersikap keras pada perempuan. Dia memerlukan pekerjaan, dan ketika ia diganggu disaat sedang berusaha membuktikan kemampuannya, tentu saja dia akan marah. Aku pun pasti marah. Laili jelas tidak mengetahi hal ini, sehingga peristiwa sore itu nyaris mencelakainya. Seorang laki-laki harus diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya karena pada masa tertentu, aktualisasi kemampuan adalah hal yang paling esensial. Kalau benar ia mau bekerja di sini, kau bisa mengajaknya. Herman tersenyum penuh syukur. Ia segera menjabat tangan Basit. Semoga kebaikanmu ini, segera mengantarmu menuju pintu gerbang pernikahan yang membahagiakan hidupmu dan hidup orang-orang yang kau cntai. Terima kasih, semoga Allah mengabulkan doamu. Kalau Wawan punya waktu hari ini, cepat minta dia menemuiku. *** Kalau saja tidak menghawatirkan terjadinya keributan di saat pelanggan sedang ramai menggunakan fasilitas yang disiapkan oleh BASTA COM, Laili pasti sudah menampar wajah yang tersenyum mengejek itu. Bahkan bila mungkin, ia ingin melemparkan semua benda yang dapat ia hamburkan untuk bisa mengubah wajah menjengkelkan itu menjadi seperti wajah lain yang dapat diharapkan kebaikannya.
Johan M.

80

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dia tidak menunggu Wawan menyingkir dari hadapannya. Begitu pria kecil itu selesai memberikan informasi yang mengejutkan, Laili langsung melangkah cepat dan mendorong pintu kaca menuju ruang komputer yang dikhususkan bagi instruktur. Pintu kaca yang bisa menutup sendiri itu bergerak agak lambat dan memperlihatkan dengan cukup jelas dari luar ruangan bagaimana si gadis cantik yang mengenakan rok berpotongan modern sebatas lutut itu menghenyakkan pantatnya ke atas kursi. Pemandangan beberapa detik itu telah membuat Wawan melihat sikap kesal yang tidak dapat disembunyikan. Apa maksudmu? Basit sudah menduga akan menghadapi situasi ini. Dia berusaha tersenyum, meskipun ragu-ragu bahwa cara itu akan dapat meredakan kemarahan gadis yang kian hari makin dikaguminya dan membuat ia semakin berpacu menyelesaikan skripsinya. Dia baru masuk kuliah dan membutuhkan pekerjaan. Kau sendiri tahu, biaya kuliah tidak sedikit. Ya. Aku tahu. Membantu orang itu baik. Tapi apa tidak ada orang lain yang lebih berhak menerima kemurahan hatimu selain manusia menjengkelkan itu? Aku sudah mengingatkannya agar tidak mengulangi lagi sikapnya itu. Dia baru saja mengulanginya. Kau pasti tidak percaya kalau kuberi tahu. Maksudmu? Apa dia Tidak. Bukan dia yang mau nenamparku, tapi akulah yang nyaris melakukannya. Bagian yang ia ulangi
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

81

adalah menunjukkan seringaian jeleknya dengan sikap sok berkuasa. Aku tidak mau melihat ada orang semacam itu di sini. Aku juga tidak suka. Sama sepertimu. Basit menatap gadis cantik yang menunjukkan kesedihannya itu. Oh Tuhan, betapa rasa sayang itu bertambah berkobar-kobar begitu melihat wajah cantiknya bersemu merah jambu. Mari kita beri dia kesempatan. Mungkin saja dia tidak bermaksud mengejekmu, dan wajah menjengkelkan yang kau lihat itu memang bukan mimik buatan. Siapa tahu, karena telah kehilangan ayahnya, ia jadi terbiasa memperlihatkan apa yang berlawanan dengan isi hatinya. Terlalu lama berada dalam kesedihan barangkali telah membuatnya melupakan cara mengekspresikan kegembiraannya. Kau berlebihan. Aku menyukaimu Laili, Oh Tuhan, mengapa aku sampai mengatakannya. Tapi memang tidak ada cara lain untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya masih harus dirahasiakan. Semoga untuk sementara ini ia memahami ucapanku sebagai rasa suka seorang bos pada karyawannya sebagai pujian atas hasil kerjanya. Kau akan tetap bekerja di sini, bersamaku, dan bila ada yang membuatmu merasa tidak nyaman, kita akan mengatasinya bersama-sama. *** Ia menyerap semua informasi yang disampaikan kepadanya. Tidak ada pekerjaan yang dibebankan oleh BASTA COM yang tidak bersedia ia lakukan. SatuJohan M.

82

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

satunya yang ia minta secara khusus karena ternyata tidak tercantum sebagai tugasnya ialah menjadi instruktur khusus bagi gadis berjilbab yang dipanggil Salwa. Wawan nyaris putus asa, dan sedang memikirkan rencana lain ketika kebaikan dunia sepertinya sedang berpihak padanya. Gadis berjilbab itu pernah berpapasan satu kali dengannya. Tanpa berpikir panjang, ia lalu mengatur jarak dan tetap membuntuti gadis itu sampai di sekolahnya. Alasan dapat ditemukan dengan mudah, dan tidak demikian dengan kesempatan. Ia ikut masuk ke area sekolah menengah pertama yang secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak perempuan beragama Islam. Tidak ada siswa-siswanya yang tidak mengenakan jilbab. Ia sempat terkecoh beberapa saat karena kehilangan buruannya karena gadis itu berbaur di tengah-tengah kerumunan gadis berjilbab lainnya. Tidak ada tanda apa pun pada jilbabnya yang bisa dijadikan sebagai ciri khasnya. Semua siswi Madrasah Tsanawiyah sepertinya mengenakan jilbab putih dengan potongan yang sama. Sebuah tepukan keras menghantam tulang belikatnya tepat pada saat ia melihat gadis itu disapa oleh gadis lain yang berwajah familier. Dia menoleh sebagai tindakan refleks. Kalau saja bukan seorang mahasiswa, ia barangkali sudah terkencing-kencing. Sesaat lamanya ia merasa demam. Tidak ada pengikut setia NW yang tidak akan mengenal pria bersurban di hadapannya. Sang menantu pendiri yayasan yang mengelola perguruan tingginya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

83

berdiri dengan wajah sangat marah. Hal terburuk yang tidak pernah ia bayangkan ialah melakukan sebuah kesalahan di depan orang yang paling tidak menyukai kesalahan. Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu dari mana? Terlalu banyak jawaban untuk pertanyaan terakhir itu. Wawan bisa menyebut daerah asalnya, dan demi Tuhan, ia tidak mau mengatakannya. Pertanyaan terakhir itu bisa saja dimaksudkan untuk menanyakan sekolahnya, atau juga dari mana tadi ia mulai berpikir melakukan kesalahan memasuki area yang khusus diperuntukkan bagi murid-murid perempuan. Saya mengantar adik saya, ia berbohong, terpaksa. Saya dari sekitar sini. Masa kamu tidak mengerti kalau tempat ini khusus bagi muris-murid perempuan? Lain kali, temui adikmu di ruang kepala sekolah. Baik, ustad. Saya berjanji. Ia langsung pulang dan mengurung diri di kamar kos. Baru sore harinya ia berani keluar untuk melaksanakan rencana terbarunya. Dilarang menginjakkan kaki di sekolah khusus bagi murid-murid perempuan oleh salah satu orang yang paling bepengaruh dalam barisan pengurus yayasan telah membuat Wawan merasa nyaris tidak layak menginjakkan kaki di tempat lain di mana pun ia dapat membaca bahwa tempat itu merupakan properti yayasan.
Johan M.

84

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Langkah kakinya dipercepat begitu mendengar pintu gerbang rumah Colbiana terdengar sedang digeser. Gadis berjilbab yang periang itu terlihat menoleh ke luar gang. Wawan mengangkat tangannya, berusaha memberi isyarat agar diperhatikan. Ada apa Kak? tanya Colbiana. Cuma mau bertanya. Aku mau keluar, dengan bapak. Ia sengaja menoleh ke belakang, seperti ingin menunjukkan kebenaran ucapannya. Cuma mau beli buku. Bisa menunggu? Oke. Bisa. Tunggu saja di depan, sebentar kupanggilkan kakakku. Kakak Colbiana seorang mahasiswa tingkat dua. Bagus juga untuk diajak berdiskusi. Tetapi bukan untuk kakaknya ia datang. Tidak usah, kata Wawan. Ia tidak membiarkan dirinya berlama-lama memikirkan penolakan tawaran. Biar aku duduk sendiri. Mungkin dia sibuk. Baiklah. Jangan berlama-lama. Tidak enak menahan seorang gadis yang akan keluar dengan ayahnya sementara si ayah sudah mengeluarkan sepeda motornya. Ia masih bisa menunggu. Tidak perlu buru-buru sepanjang masih ada waktu. Wawan melepaskan dua orang yang berboncengan itu dengan tatapannya. Setelah sepeda motor itu dan suaranya lenyap oleh jarak yang semakin jauh, ia lalu mengedarkan pandangan, mencoba melihat semua yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

85

sudah dicapai oleh orang tua Colbiana. Entah berapa tahun kerja yang diperlukan untuk bisa mewujudkan sebuah impian memiliki rumah di sini, di sekitar lingkungan para santri, di antara bangunan-bangunan milik yayasan, yang kegunaannya dapat dibaca dengan mudah pada papan namanya. Halaman rumah Colbiana yang luasnya sekitar delapan meter persegi, ditumbuhi bunga-bunga berdaun hijau dan rimbun itu, termasuk halaman yang luas bila dibandingkan dengan halaman rumah para tetangganya yang hanya dua atau tiga meter persegi. Bahkan ada banyak rumah-rumah yang berjejer sepanjang gang yang tidak memiliki halaman sama sekali dan pintu masuk ke dalam rumah tepat satu garis dengan dinding pagar pembatas di salah satu sisi gang. Tidak ada gang yang lebih lebar dari dua meter. Pancor cepat berkembang menjadi kota santri yang padat. Pertokoan terus-menerus dibangun, menghilangkan pemandangan akan rumah-rumah berjendela kaca dengan rimbunan tanaman hijau di halamannya. Deretan pertokoan baru dua tingkat, dengan pintu-pintu baja, dan dinding beton yang dicat dengan warna-warna memikat, begitu cepat tumbuh menjadi pengganti. Suasana kota perdagangan nyaris lebih terasa daripada suasana kota tempat menimba ilmu-ilmu agama. Wawan tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara sepeda motor yang yang sudah dikenalnya dan
Johan M.

86

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dalam beberapa detik sudah berhenti di pintu pagar halaman yang tadi sudah ditinggalkannya. Cuma beli ini, Colbiana menjejerkan empat buku pelajaran yang baru ia beli. Kukira Kak Wawan sudah pergi? Ucapan yang manja itu dibalas oleh Wawan dengan kata-kata yang sama manjanya. Kamu mau kakak pergi ya? Tidak, tidak...Kakak ini cepat tersinggung. Ada yang mau kutanyakan padamu. Kakak sudah pernah bilang begitu tadi. Katakan saja. Tidak baik menyimpan pertanyaan. Siapa nama gadis berjilbab yang berbicara denganmu tadi di sekolah. Siswa, atau guru. Siswa. Untuk apa kutanyakan gurumu. Ya Tuhan...Kakak kan pantasnya sama guruku, bukan dengan temanku. Ayo...jawab pertanyaannya. Jangan banyak likaliku. Kakak tadi sudah ke sekolah. Ya, cuma sebentar. Wawan tergerak ingin menceritakan pengalamannya yang tidak terduga itu, tetapi ia tidak mau salah membagi ceritanya. Tidak pernah menyenangkan mendapati diri sendiri dijadikan lelucon oleh orang lain. Selalu lebih nyaman rasanya bila yang terjadi adalah sebaliknya. Mungkin lain kali, pada orang lain yang lebih bisa diharapkan akan dapat menyimpan nama si pelaku, sehingga ia sendiri kelak dapat menikmati lelucon dari petualangannya itu tanpa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

87

kecurigaan kalau dirinya sedang disindir. Kau berbicara agak lama dengannya. Di mana. Pagi-pagi sebelum masuk sekolah. Di dekat rimbunan bunga bugenfil. Colbiana terlihat menatap kosong ke arahnya. Wawan terus mengawasinya. Ia berharap agar gadis di depannya benar-benar menguras kemampuannya untuk mengingat potongan-potongan kejadian yang dihadapinya di sekolah pagi tadi. Aku tidak ingat Kak. Pagi-pagi sebelum masuk, Wawan sengaja mengulangi lagi keterangan itu. Siapa tahu Colbiana hanya menyimak penjelasan yang terakhir. Berapa orang yang kau ajak berbicara sebelum masuk sekolah. Banyak. Di halaman sekolah. Ya. Banyak. Dia membawa buku dengan memeluknya di dada. Tidak pakai tas. Hampir kami semua membawa buku dengan cara seperti itu. Wawan mulai panik. Dia tidak bisa memikirkan apa pun lagi yang dapat ditawarkan untuk menyegarkan ingatan gadis di depannya. Tidak ada pilihan. Ia terpaksa harus menguraikan lagi detail keterangan yang sudah diberikannya, selain untuk membuat Colbiana benarbenar menyerap keterangan itu, dia juga berharap cara tersebut dapat membuatnya terinspirasi untuk
Johan M.

88

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

menyebutkan detail lain, yang baru, dan mula-mula tidak pernah terpikirkan akan menjadi keterangan yang paling tepat untuk disebutkan sejak awal. Pagi-pagi sebelum masuk jam pertama, kulihat kalian saling menghampiri, bertemu di dekat ribunan bunga bugenfil, berdiri saling berhadapan, dan berbicara agak lama. Dia memeluk bukunya dan manggutmanggut menanggapi penjelasanmu. Ada setitik keceriaan yang mulai nampak di wajah Colbiana.Dia cantik. Betul. Sebenarnya itulah alasanku bersusah payah ke sini untuk mencari tahu. Maaf Kak, kata Colbiana dengan suara yang nyaris tidak terengar. Maaf? Maaf untuk apa? Dengan alasan tertentu yang tidak dapat kukatakan, dia belum bisa kubiarkan diganggu oleh orang lain. Kakak tidak mungkin tidak mengganggunya kalau sudah kuberi tahu namanya. Entah apa maksudnya dengan mengganggu. Tetapi sepertinya tidak sulit untuk memahaminya. Mengapa gadis-gadis kecil ini sudah punya rahasia, dan ternyata begitu pandai membuat situasi menjadi tidak sederhana? Wawan merenung sejenak. Dia tidak mau mendesak. Dia tidak mau terlalu memberi kesan bahwa ia amat menginginkan informasi itu. Kedatangannya ke sini menemui Colbiana untuk bertanya sudah jelas merupakan kekeliruan. Kekeliruan harus diperbaiki. Kekeliruan memberikan pelajaran. Biasanya begitu. Tergantung seberapa cepat orang menyadari
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

89

kekeliruannya dan berusaha menjadikan kekeliruan itu sebagai kekuatan baru, yang sama hebatnya untuk mencapai tujuan semula. Hanya saja kali ini, ketika sudah ada rencana kedua, orang lain tidak boleh dapat membaca maksudnya. Baiklah, lupakan pertanyaan itu. Nanti kapankapan kakak datang lagi untuk mengecek, apakah kakak sudah boleh tahu atau belum. Ya, begitu. Maaf, ya, Kak? Tentu. Kalau begitu kakak pamit dulu. Wawan lalu berdiri. Dia sudah membelakangi Colbiana ketika tubuhnya dibiarkan memenuhi putaran 360 sehingga gadis itu secara otomatis kembali berada di hadapannya. Mumpung kakak ke sini, tadi kakak bawakan leflet. Siapa tahu kamu mau kursus komputer. Oh, ya, betul. Mana? Wawan memberikan setumpuk leflet. Siapa tahu, teman-temanmu juga mau ikut. Semua keterangan tentang paket kursusnya ada di situ. Kalau ada pertanyaan, langsung saja datang ke tempat kursusnya. Kantornya tidak jauh dari sekolah. Terima kasih Kak. Ini baru namanya kakak yang baik. Sering-sering kasi informasi baru ya Kak. Kita kan bertetangga. Rencana cadangan itu baru memperlihatkan hasilnya pada minggu ketiga. Kehadiran Colbiana di antara teman-temannya dan gadis buruan itu nyaris menjadi bencana kalau Wawan tidak segera menyingkir dari meja kerja Laili.
Johan M.

90

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kunjungan teman-teman Colbiana selama beberapa menit, jelas merupakan hasil ulah Wawan karena telah menitipkan selusin leflet pada tetangganya yang sok dewasa, tetapi ternyata masih mudah dikibuli. Minggu berikutnya, ada enam orang yang mendaftar. Kalau saja bukan karena khawatir rencana utamanya akan ketahuan, ia berniat memberi tahu Laili untuk sedikit lebih ramah padanya karena dia telah berhasil menarik minat enam orang peserta kursus dalam satu minggu. Gadis buruan itu akhirnya datang lagi pada pertengahan minggu yang ketiga. Bukan cuma untuk mendaftar, tetapi untuk melunasi biaya kursus selama dua bulan, dan bermaksud ingin memulai kursusnya hari itu juga. Tidak ada yang benar-benar sesuai dengan harapan. Untunglah, itu bukan berarti tidak ada yang tidak bisa dilakukan. Wawan segera menghampiri meja Laili untuk menawarkan bantuan. Ia menyadari kalau kehadirannya tidak diinginkan. Tetapi kehadirannya di sini pada saat gadis buruan itu berharap langsung memulai kursusnya, sesuatu yang ia tidak pernah duga, bahkan sampai saat ini masih membuatnya heran mengapa sampai tidak ada satu pun instruktur yang ada di kantor kecuali Laili sore itu, ia anggap sudah jelas merupakan petunjuk langsung dari Tuhan tentang kebenaran bahwa keberhasilan akan dapat dicapai oleh mereka yang bersungguh-sungguh ingin menggapai keberhasilan itu. Sore itu ia memperoleh kemenangannya. Yang paling penting untuk diketahui dari seorang gadis hanya dua, nama dan alamatnya. Jika kedua identitas itu benar,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

91

maka pintu jawaban untuk pertanyaan lainnya akan segera terbuka lebar. Dia tidak merisaukan pertengkarannya dengan Laili. Bila peristiwa itu sampai membuat dirinya dilarang menginjak kantor BASTA COM, sungguh hal itu tidak lagi menjadi masalah. Tawaran bos BASTA COM untuk merekrutnya menjadi instruktur baru merupakan kejutan yang menyenangkan. Jika Tuhan menghendaki, apa saja, selalu mungkin bisa terjadi. Salwa, begitu nama panggilan gadis itu. Masih ada lagi yang harus dicari tahu. Wawan tidak mau melewatkan kesempatan. Begitu pintu ruangan yang dimasuki Laili tertutup, ia langsung menggeledah mapmap di dalam laci meja yang ditinggalkan pemiliknya itu. Ia berharap Laili akan berbicara cukup lama dengan Abdul Basit. Ia tersenyum puas setelah berhasil menemukan map yang berisi bundelan formulir pendaftaran peserta kursus. Formulir yang dicarinya ternyata ada dalam bundelan khusus. Ia mengambil formulir yang sudah diserahkan oleh Salwa. Setelah melipat dan menyimpan formulir itu di saku celananya, Wawan lalu buru-buru memasukkan kembali map itu ke dalam laci. Sedapat mungkin, ia berusaha menatanya agar tidak terlihat seperti pernah diaduk-aduk. Formulir pendaftaran itu berisi banyak informasi. Dia akan meminjamnya untuk diperbanyak. Laili tidak perlu tahu. Hanya orang bodoh yang berharap dapat menjalin sebuah kompromi tanpa
Johan M.

92

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

risiko dengan gadis cantik yang dengan mudah keluar masuk ruang kerja bos. Sambil berjalan menuju pintu keluar, Wawan membisikkan nama lengkap yang terdiri atas tiga kata itu. Dia heran dengan kemujurannya. Dia lebih heran lagi dengan begitu banyak rencana yang bermunculan dan sepertinya sedang tumbuh subur di benaknya.

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

93

LIWA -4Aku mendengar ada yang memanggil namaku. Secara sepontan aku menoleh ke belakang. Aku tidak yakin panggilan itu dari arah yang kuperkirakan, hanya saja, aku tidak melihat ada orang di depanku yang menunjukkan tanda-tanda melakukannya. Jadi, keputusan menoleh ke belakang, semata-mata hanya untuk mengikuti naluriku. Seseorang yang tidak kukenal, dan tidak bisa kupastikan apakah ia satu angkatan denganku ataukah ternyata adik kelasku, yang wajahnya kebetulan kutangkap dengan tatapanku, kulihat memberikan isyarat padaku dengan gerakan dagunya. Aku mengikuti isyarat itu. Aku menoleh ke kanan. Tentu saja aku agak meragukan keterangan tanpa kata-kata itu. Apalagi setelah kulihat tidak ada siswa yang sedang berjalan di
Johan M.

94

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bagian kanan jalan, keraguan itu berubah menjadi keyakinan yang membuatku merasa kesal dan merasa telah dipermainkan. Aku nyaris tidak memperdulikan panggilan itu dan menganggapnya sebagai lelucon dari seseorang yang tidak mengetahui keseriusanku ketika tiba-tiba kurasakan pikiranku didorong oleh keinginan untuk memastikan bahwa aku memang tidak sedang dipermainkan. Akhirnya kucoba menoleh ke kanan, sedikit lebih lama dari sebelumnya. Aku melakukannya sambil tetap berjalan pelan. Aku tidak mau berhenti di tepi jalan yang masih dilewati oleh siswa-siswa lain yang bergergas pulang ke arah yang sama denganku. Pandanganku sesekali ditutupi beberapa detik oleh sosok yang berjalan melintas cepat di depanku. Tasku ranselku kurasakan seperti terseret-seret oleh satu atau dua orang teman yang kukira sedang berusaha memberikan sapaan dengan tepukan-tepukan di punggungku. Di seberang jalan, Selvia kulihat mengangkat sebelah tangannya. Tanpa panggilan berikutnya, aku sudah bisa memastikan bahwa dialah yang tadi memanggilku. Untuk apa dia melakukannya? Apakah benar untuk segera melemparkan tuduhan bahwa dia sedang mempermainkan aku? Dia bukan teman sekelasku. Jika dengan teman sekelasku saja aku jarang punya urusan, apalagi dengan dia. Aku memperlambat langkahku setelah kupikir Selvia mungkin punya sesuatu yang akan dia titipkan pada Zaenal Arifin, yang tinggal di rumahku sejak baru masuk SLTP.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

95

Oh, beberapa detik kemudian, aku tidak lagi memperhatikan Selvia, atau memikirkan sesuatu yang mungkin akan ia lakukan segera setelah memanggil namaku. Perhatianku segera beralih pada sosok lain yang berdiri tepat di sampingnya. Sosok itu terlalu cantik, terlalu anggun, terlalu memenuhi syarat bahkan jika hanya menjadi bagian dari mimpi-mimpiku. Aku menjadi tidak berani memandangnya terlalu lama. Aku merasa belum siap bertatapan dengan gadis seelok itu. Siapa pun sosok asing itu, entah bagaimana, aku merasa seperti mengenalnya. Senyuman yang ia perlihatkan tiba-tiba membuat dadaku terasa hangat. Gadis berjilbab di sebelah Sevia itu ikut mengangkat tangannya, seperti sengaja dilakukan untuk mengawali salam yang belum bisa diucapkan. Lambaian tangan Selvia bisa kuabaikan. Bahkan jika ia melakukannya sampai berkeringat aku tidak akan menganggapnya sebagai lambaian yang patut dibalas dengan lambaian. Tetapi lambaian tangan gadis di sebelahnya, adalah lambaian lain. Kebingungan dan ketakutan yang bercampur dengan sedikit kesombongan yang tersembunyi jauh dalam bagian diriku yang tidak kukenali telah membuatkau tetap membiarkan sebelah tanganku berada di saku celana dan tangan yang satu lagi terjepit tali tas ranselku. Aku bisa saja segera menyeberangi jalan beraspal yang jarang dilalui kendaraan itu supaya bisa mencapai mereka berdua lalu meminta kesempatan berkenalan
Johan M.

96

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dengan gadis berjilbab itu. Tetapi saat ini, meminta berkenalan, apalagi semua urusan berkenalan ini menyangkut seorang gadis yang amat cantik, adalah sesuatu yang belum pernah kucoba, dan belum berani kumulai. Aku baru kelas tigas SLTP. Dipergoki oleh orang tua karena memiliki kekasih pada usia tujuh belas tahun saja sepertinya akan membuatku sulit menyingkirkan rasa malu. Di rumah, kami belum pernah membicarakan tentang seorang kekasih di antara anak-anak muda. Aku anak yang paling besar. Pembicaraan tentang seorang kekasih, dengan cara kami menjalani kehidupan seharihari yang sepertinya sengaja menghindarinya menjadi materi pembicaraan, telah membuat kata kekasih termasuk dalam barisan kata-kata tabu, terlarang, dan menyesatkan. Mengapa aku memikirkan tentang kekasih seolah aku sudah memilikinya, padahal belum, bahkan aku belum melakukan apa pun yang dapat dianggap sebagai langkah pertama untuk mencapai kenyataan itu. Aku merasa takut. Itulah perasaan yang mula-mula kuakui pada diriku sebagai penyebab belum ada gadis yang hadir secara khusus dalam masa puberku. Bersembunyi dari kenyataan bahwa aku sudah mulai memikirkan kehadiran seorang kekasih sepertinya masih akan lebih baik untuk kulakukan selama beberapa waktu lagi sampai usiaku genap tujuh belas tahun. Aku tidak yakin akan ada waktu lain. Aku tidak yakin akan ada kesempatan lain.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

97

Jauh melampaui rasa takutku, aku dihantui oleh rasa malu. Seorang kakek, sahabat bapakku, pernah mengatakan bahwa rasa malu lebih sulit dihadapi dibandingkan dengan rasa takut. Orang yang mengatakan bahwa mereka takut, dengan cepat akan menemukan keberanian setelah dibantu, ditemani, atau dibekali dengan senjata, tetapi orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan sesuatu karena malu, tidak akan bisa melakukan apa pun yang diharapkan untuk dapat ia lakukan meskipun ditawari dengan ribuan bantuan. Aku merasa berdosa karena telah terjebak dalam lamunan. Kegiatan di sekolah khusus untuk hari ini sudah seharusnya diakhiri dengan lebih cepat. Aku sudah memberi diriku waktu selama setengah hari di sekolah untuk menikmati kebersamaan dengan orangorang di luar rumahku. Aku harus segera pulang untuk kembali menjadi bagian dari keluargaku, yang kucintai, kubanggakan, dan kusembunyikan sebagai penyebab semua kemurunganku. Sebelum menyingkir dan berjalan menjauh dari dua gadis yang masih berdiri di tepi jalan itu, aku berusaha memberikan anggukan sebagai satu-satunya balasan atas sapaan mereka. Kuharap mereka berdua bisa memahami bahwa anggukanku merupakan tanda balasan atas lambaian tangan mereka yang terlihat sebagai sebuah sapaan yang amat akrab. Untuk maksud apa pun lambaian itu dilakukan, aku ingin mereka mengerti, terutama gadis di
Johan M.

98

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

samping Selvia itu, bahwa lambaiannya telah kuterima, bahkan sedikit isyarat itu diam-diam kuharapkan akan berahir ke arah apa yang tiba-tiba menggoda pikiranku. *** Aku sudah sangat bersemangat melangkah pulang sekolah tanpa tambahan peristiwa lain sebagai pelengkap hari yang membahagiakan ini. Aku tidak sabar ingin cepat sampai ke rumah. Kebahagiaan yang telah direnggut dari kehidupan keluargaku sebentar lagi akan kembali menjadi milik kami. Tadi malam, sepulang dari rumah sakit, ibuku menyampaikan berita gembira. Kami memerlukan waktu hampir satu minggu untuk menunggu sampai dokter akhirnya memperbolehkan bapakku pulang. Pemeriksaan terakhir akan dilakukan besok pagi pada pukul 09.00. Aku tidak bertanya banyak pada ibuku. Sedikit informasi itu sudah cukup. Sangat menyenangkan mendengar anggota keluarga yang sudah dirawat di rumah sakit akhirnya diberitakan sembuh. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain bisa berkumpul kembali setelah melewati rentang waktu yang membuat kami berada pada kecemasan-kecemasan akan munculnya perpisahan yang tidak diharapkan. Kesenangan karena bisa berkumpul kembali menjadi berlipat-lipat karena orang yang baru dinyatakan sembuh itu adalah bapakku, kepala keluarga, seseorang yang paling layak menjadi pelindung kami dalam keadaan suka maupun duka. Seminggu terakhir ini, ibuku dan aku bergiliran berkunjung ke rumah sakit untuk melihat kemajuan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

99

kesehatan bapakku, dan untuk mengantarkan makanan bagi wanita tua tetangga kami, yang menawarkan diri menjadi penjaga bapakku selama perawatan di rumah sakit. Wanita itu sudah kuanggap seperti nenek sendiri, seperti kedua orang tuaku juga menganggapnya sebagai ibu mereka. Dalam berkomunikasi, aku memanggilnya nenek, karena ibu bagi orang tuaku secara otomatis menjadi nenekku. Inilah saat ketika tetangga yang sempurna, bisa menjelma menjadi keluarga yang sempurna. Tetangga adalah keluarga terdekat sepanjang saling pengertian dapat ditumbuhkan. Tidak banyak yang berhasil melakukannya atau mendapatkannya. Wanita tua itu, dengan cara yang sangat baik, telah menunjukkan sesuatu yang akan membuat orang lain akan berjuang untuk mendapatkan tetangga seperti dirinya. Hipertensi telah sering menjadi penyebab bapakku terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. Peristiwaperistiwa sebelumnya tidak pernah sampai membuatku sangat terkejut karena kesempatan yang kumiliki hanyalah mengetahui bahwa bapakku sudah terbaring di rumah sakit dan mendapatkan penanganan yang ia perlukan. Seperti dua serangan hipertensi yang terakhir, kami menemukan bapakku sudah berada di bangsal penyakit dalam setelah diberitahu oleh salah seorang rekan kerjanya atau sahabatnya yang kebetulan bekerja di rumah sakit. Cerita tentang bagaimana ia sampai berbaring di situ baru menjadi rangkaian lengkap yang dapat dipahami bersama setelah cerita yang ia ingat
Johan M.

100

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sebelum tidak sadarkan diri dipadukan dengan cerita dari kami. Peristiwa hampir satu minggu yang lalu itu, merupakan kesempatan pertama bagiku untuk melihat secara langsung bagaimana bapakku terbaring tidak berdaya di antara orang-orang yang berusaha memberikan pertolongan pertama sebelum melarikannya ke rumah sakit. Entah bagaimana caranya kita bisa melupakan apa yang ingin kita lupakan. Sudah hampir satu minggu aku berusaha tidak mengingat kejadian itu, tetapi semakin ingin melupakannya, aku justru semakin mengingat detailnya. *** Aku mengabaikan suara lain di sekitarku. Begitulah yang selalu terjadi bila aku sedang menonton film kesukaanku. Tatapanku betul-betul terfokus pada monitor yang memperlihatkan adegan bertarung para kumfu master. Mungkin karena sudah terbiasa menonton siaran televisi swasta, aku merasa harus bersabar dan membiasakan diri dengan jeda iklan yang panjang. Film dan iklan seperti dua sahabat jauh yang bisa berbagi kesempatan tanpa perselisihan. Aku menunggu malam ini sebagai kesempatan sekali dalam satu minggu untuk menonton tayangan televisi kesukaanku. Hanya sekali dalam seminggu aku memiliki kesempatan sebagus ini, menonton saluran TV swasta di rumah tetangga, bersama keluarga tetangga itu dan juga tetangga-tetangga lain. Di rumah, orang tuaku belum menyediakan televisi. Kenyataan ini hanya bisa dianggap
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

101

sebagai berkah bila aku dapat menikmati tayangan menarik di rumah tetangga. Bapakku jelas tidak akan pernah mengizinkan kami menonton di rumah tetangga bila kami sudah memiliki televisi yang kuyakini tidak akan ia beri pemancar parabola. Masa lalunya sebagai bocah miskin yang selalu ia kisahkan pada setiap kesempatan bercerita tentang masa lalunya mungkin menjadi penyebab ia merasa berdosa hidup dalam kemewahan dan berusaha keras mempertahankan kehidupan yang sederhana. Tidak mudah mencapai apa yang diimpikan. Setiap manusia harus bersabar pada semua yang digariskan oleh kehidupan. Kesempatan dan waktu tidak selalu berpadu. Di antara kesempatan memperoleh sesuatu, kehilangan menjadi pengiring yang tidak terelakkan dan sering ikut ambil bagian. Pasti sangat pedih mendapati kenyataan bahwa hidup baru menjadi lebih baik setelah separuh anggota keluarga yang dulu pernah sama-sama menderita dengannya kini terbaring damai di bawah gundukan tanah yang dinaungi pohon kamboja. Aku berusaha memahami dan menerima semua alasan itu. Sebagai anak, aku sebenarnya bisa bebas meminta sesuatu, tetapi dengan orang tua yang memiliki pengalaman tidak dapat memperoleh semua yang diinginkannya dengan mudah, aku menjadi jarang meminta apa yang menjadi hakku sebagai anak kecuali aku sudah sangat memerlukannya dan aku merasa tidak bisa memenuhinya secara mandiri.
Johan M.

102

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kunjunganku pada tetangga sudah kuatur hanya untuk menonton film yang benar-benar kusukai. Kunjungan yang terlalu sering bukan hanya tidak baik bagi keinginan mempertahankan sikap saling menghormati, tetapi kebiasaan semacam itu, kalau direnungkan, pastilah sangat memalukan. Saat meonton, setiap suara yang tidak berasal dari televisi selalu menjadi pengganggu. Apalagi kalau ternyata yang terdengar adalah panggilan untukku. Aku amat tidak mengharapkannya. Kalau saja bukan pemilik rumah yang memanggilku, sudah pasti aku tidak akan menanggapinya. Ketika kulihat bukan hanya aku yang akhirnya menatap pria kriting yang duduk di atas kursi kayu itu, aku menyadari, bahwa sedikit mengabaikan tayangan televisi, mungkin bukan sikap mengabaikan yang terlalu merugikan. Apa pun yang akan dikatakannya kuharap itu lebih baik dibandingkan dengan pengorbananku melewatkan adegan film yang jelas tidak akan pernah bisa kutonton lagi setelah melewatkannya. Ya? Kedua kakiku masih kuselonjorkan ke arah televisi. Hanya wajahku dan sebagian badanku yang menghadap pria itu. Dengan cara seperti itu kuharap ia menyadari bahwa aku sedang meminta alasan mengapa ia sampai menggangguku dan tidak menunggu dulu sampai jeda iklan berikutnya. Mungkin itu ibumu. Penjelasan itu lebih terdengar sebagai sebuah pertanyaan. Ibuku?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

103

Aku segera menangkap ada sesuatu yang mulai dan kembali tidak beres. Ibuku tentu tidak akan datang ke mari dan ikut menonton bersama kami. Dia tidak pernah suka dengan jenis film tertentu. Ada penyebab lain yang lebih beralasan dari itu. Di masa lalu, telah terjadi sebuah peristiwa yang tidak diinginkan oleh orang-orang yang berharap dapat tetap hidup rukun dengan tetangganya. Ibuku telah terlibat pertengkaran hebat dengan istri pria yang sedang berbicara denganku. Aku segera menajamkan pendengaran. Yang mula-mula terdengar adalah suara ketukan. Bukan. Lebih tepat sebenarnya kalau dikatakan sebagai pukulan beruntun pada lembaran pintu logam yang menjadi pembatas halaman belakang rumah kami. Ketukan pada lembaran baja itu tidak akan terdengar menggentarkan kalau memang hanya dimaksudkan sekadar menjadi ketukan pintu. Aku bisa datang menonton lagi ke rumah tetangga kami karena setengah tahun terakhir ini tidak pernah lagi terdengar adu mulut. Aku tidak tahu apa lagi yang kini membuat semua pertanda baik itu kembali memburuk. Pengaruh buruk paling ringan dari sebuah pertengkaran adalah rasa malu yang kemudian dirasakan oleh orang yang secara aneh telah menganggap dirinya memperoleh kepuasan batin karena sebelumnya saling mempermalukan dengan ucapan dan gerakan. Liwaul. Panggilan itu semakin jelas terdengar setelah diulangi. Liwaul!
Johan M.

104

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sebelum mendengar ibuku memanggil namaku lagi, aku telah yakin bahwa dialah yang menggendor pintu dengan cara yang membuat kecemasanku meningkat karena merasa baru saja mendengar gemuruh genderang perang yang ditabuh. Oh Tuhan, setengah tahun yang damai akan segera lenyap. Aku merasa ngeri membayangkannya. Dalam situasi yang memperlihatkan awal dari kekacauan mengerikan ini, Bapakku pasti akan mengambil sikap lain. Perempuan memang sering sekali menunjukkan luapan emosi dengan cara berlebihan. Aku tidak perlu lebih dewasa untuk sekadar memahami perilaku itu. Sambil berjalan cepat, keluar melewati lorong sempit di bagian belakang, di muka dua kamar kecil yang dijadikan sebagai gudang dan dapur, aku berpikir bahwa mungkin malam ini akan menjadi kesempatan terakhir bagiku untuk menonton tayangan kesukaanku, lalu menyerahkan kisah selanjutnya pada kemampuan bercerita teman-temanku di sekolah. Sejumlah larangan, tentu dengan omelan, sudah terbayang akan kudapatkan sebagai bagian dari alasan mengapa aku tidak diperbolehkan kembali menonton di rumah tetanggaku, yang saat ini masih merupakan satu-satunya pemilik saluran televisi swasta di sekitar tempat tinggal kami. Kupercepat langkahku begitu namaku mulai dipanggil sama seringnya dengan ketukan yang terdengar. Genderang perang itu diperdengarkan di malam hari. Pertengkaran yang kubayangkan segera akan terjadi telah dipilih pada saat yang salah. Orang-orang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

105

tua memang sering juga bertindak ceroboh. Bila mau ditunda sampai besok pagi, keributan yang bakal ditimbulkan tidak akan terdengar oleh banyak tetangga. Kesunyian malam yang biasanya kurindukan, tiba-tiba mulai tergambar akan menjadi kenyataan yang sangat buruk. Di muka pintu yang menimbulkan suara gaduh itu, aku berhadapan dengan ibuku. Ia menangis. Aku sedikit gembira melihat kenyataan di depanku. Tangis bagi ibuku sering menjadi petunjuk bahwa dia sedang menempatkan dirinya pada posisi lemah dan pasti hal itu tidak akan ia lakukan jika sedang membuka pertempuran baru dengan tetangga. Penyebab tangis itu, seperti yang selalu terjadi sebelumnya di malam-malam yang tidak terduga ialah karena ibuku bertengkar dengan bapakku. Pertengkaran orang tua. Jadi itukah penyab semua keributan malam ini? Pertengkaran itu mestinya hanya di dalam rumah. Mengapa sampai harus diberitakan dengan genderang perang kepada para tetangga yang tidak punya urusan? Di mana-mana orang bertengkar memang selalu mengganggu. Bukan cuma ketenangan alam yang dirusak, tapi juga ketenangan pikiran orang lain, sesuatu yang sekarang semakin sulit didapatkan ketika usia dunia bertambah tua dan para penghuninya terlalu cepat tertular kepanikan zaman. Jika benar bahwa tangis dan gedoran pintu itu merupakan isyarat panik karena telah terjadi pertengkaran di antara orang tuaku, aku jelas dipanggil
Johan M.

106

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kali ini bukan semata-mata untuk diamankan dari arena pertempuran perang mulut antarterangga, melainkan untuk dijadikan sebagai saksi, sekaligus prisai oleh ibuku yang pasti berharap agar kehadiranku segera membuat bapakku kembali menjadi suami yang dapat disayangi. Semoga saja mereka tidak sampai memutuskan akan berpisah dan aku tidak pernah sampai dihadapkan pada situasi untuk dipaksa memilih ikut dengan salah satu di antara mereka. Aku sudah terbiasa memiliki dua orang tua sejak aku ingat bahwa seorang anak baru bisa hadir dalam keluarga jika mereka mempunyai orang tua. Memiliki salah satu saja berarti memiliki setengah dari yang biasa kuterima. Jika pertengkaran mereka sampai pada tahap yang paling mengkhawatirkan ini, aku pasti tidak akan menganggap lagi pertengkaran orang tuaku menjadi kenyataan yang lebih baik untuk dialami ketimbang pertengkaran dengan tetangga, yang kedamaiannya sudah dapat dipertahankan selama setengah tahun terakhir. Begitu melihatku, ibuku langsung berbalik dan berlari ke dalam rumah dengan meraung-raung dalam tangisan yang mencerminkan kepanikannya. Aku berlari lalu melompat setelah mendorong pintu yang tadi ditinggalkan oleh ibuku. Sebelum menyusul, aku sempat menoleh ke belakang, sebentar, memastikan apakah adikku juga menyusulku atau tidak. Ternyata aku menemukan para penonton yang bergerombol berhimpitan sekitar tujuh langkah di belakangku. Adikku pasti terhalang di belakang mereka dan masih
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

107

mencari-cari cara untuk bisa menerobos para saksi yang tidak diharapkan itu. Aku malu melihat mereka ikut menyaksikan kejadian beberapa detik saat aku berhadapan dengan ibuku yang kebanjiran air mata. Mereka mungkin mengharapkan penjelasan tetapi tidak ada yang bisa kujelaskan sekarang. Jika ada yang bisa dijelaskan, akulah yang paling membutuhkan penjelasan itu. Orang-orang yang kebingungan itu segera kutinggalkan bersama semua pertanyaan mereka. Di ruang belakang rumahku, aku tidak menemukan apa pun yang dapat menunjukkan bahwa di situ pernah terjadi sesuatu. Sesekali, dalam pertengkaran yang tidak terkendali, bapakku sering melemparkan piring dan perabotan dapur lainnya untuk dijadikan sebagai objek pelampiasan kemurkaannya. Jiwanya sebagai guru dan pendidik barangkali menjerit-jerit mengingatkan disaatsaat ia nyaris mendaratkan pukulan pada ibuku. Aku segera berlari ke ruang tengah. Ibuku kudengar meraung-raung di sana. Aku berdiri terpaku. Bahkan pikiranku ikut membeku. Apa yang kulihat tidak pernah kuizinkan mengotori khayalanku. Banyak orang memadati ruang tengah. Mereka mengerumuni sesuatu. Aku perlu memulihkan diri dari keterkejutanku untuk benar-benar menyadari bahwa pengalaman ini bukanlah mimpi. Bapakku terbaring, terlentang. Belum pernah aku menyaksikan bapakku terlihat sangat tidak pantas seperti malam ini. Ia hanya mengenakan kain sarung kotak-kotak, digulung tebal
Johan M.

108

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sampai ujungnya lebih satu jengkal di atas lutut. Kalau ia sedang mengalami cedera, kuharap ia mengalaminya dalam keadaan berpakaian lebih lengkap. Aku tidak melihat ada baju yang teronggok, yang menandakan bahwa ia memang sengaja separuh ditelanjangi. Kepanikan bisa membuat orang melakukan hal-hal tidak wajar. Aku akan mengerti bila celana seseorang perlu dipotong. Tetapi tanda-tanda kerusakan semacam itu tidak ada. Berarti, tersisa satu kemungkinan, sebelum tidak sadarkan diri, bapakku memang hanya mengenakan apa yang saat ini kami lihat ia pakai. Keributan dan kepanikan memberikan harapan. Orang tidak tergesa-gesa bila yang terjadi adalah sesuatu yang membuat semua orang merasa telah terlambat melakukan sesuatu. Aku melangkah sedikit lebih dekat. Aku melakukannya hanya untuk memastikan bahwa bapakku hanya pingsan. Aku tidak mau menyentuh apa pun dan mengganggu usaha penyelamatan yang telah dilakukan oleh orang-orang. Kedua mata bapakku melotot terbuka. Mengerikan. Ia seperti sengaja melakukannya untuk menantang sesuatu yang amat menakutkan. Semoga semua pemandangan ini bukan merupakan sisa dari pertengkaran yang tidak terkendali dan akhirnya membuat bapakku tidak menguasai diri dan berbalik menjadi serangan mematikan bagi jiwanya sendiri. Cerita lainnya akan menyusul. Ada waktu lain untuk mengetahuinya. Sekarang, sosok yang terbaring nyaris kaku itu harus segera ditangani. Belum pernah ada kematian di rumahku. Jika masih boleh berdoa, aku berharap Tuhan masih mau
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

109

memberikan kehidupan dan kedamaian di rumahku, dan bukan mengambilnya. Ada tetangga yang berjungkok dan segera menghalangi pandanganku. Dengan instruksinya, orangorang yang tadinya berkeliling memegang tubuh bapakku kini mulai bersiap-siap mengangkatnya. Kehadiranku di ruang tengah tidak banyak mengusik perhatian. Aku bukan siapa-siapa sekarang. Aku sama saja dengan siapa pun yang berhasil mencapai ruangan yang semakin dipadati oleh sosok-sosok baru yang datang membuat lapisan lingkaran manusia yang makin membuat sesak udara di ruang tengah. Mengangkat bapakku pun aku belum mampu melakukannya sendirian. Memutuskan sesuatu juga belum memungkinkan. Aku hanya siswa SLTP. Usia 15 tahun dan masih memiliki tubuh kecil yang lemah. Pada usiaku, aku lebih terlihat seperti anak-anak ketimbang remaja yang sedang beranjak dewasa. Untuk beberapa saat, ketika situasinya saja masih sulit kupahami, apalagi berpikir dan melakukan sesuatu untuk menanganinya, aku merelakan bapakku menjadi milik setiap orang yang kulihat peduli menolongnya. Kehadiran para tetangga telah membuatku menjadi lebih tenang dan lega menghadapi situasi ini. Aku, adikku, dan ibuku saja, pasti tidak akan sanggup menghadapinya. Orang tuaku memang sering bertengkar, tetapi mereka juga sering menunjukkan kemesraan sebagai pasangan yang bahagia. Kedua situasi itu seperti tangan kiri dan kanan, siang dan
Johan M.

110

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

malam, yang saling melengkapi untuk dikatakan tangan, dan saling melengkapi untuk dikatakan hari. Aku tidak bisa mengatakan tidak bahagia memiliki orang tua seperti mereka. Aku bahagia. Aku bahagia. Dan kebahagiaan itu membuatku terlena, dan barangkali membuat kami terlena, sehingga tidak pernah berpikir akan tertimpa cobaan seperti malam ini, dan tentu saja juga tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Bapakku akhirnya dibawa ke rumah sakit dengan mobil salah seorang tetangga. Tidak ada yang mengharapkan kedatangan ambulan. Semua seperti memahami bahwa di kota kecil kami, ambulan masih menjadi hiasan pelengkap di rumah sakit, yang jarang membiarkan sirene berbunyi di jalan-jalan guna menunjukkan situasi darurat, karena sedang dalam misi penyelamatan. Ambulan di tempat kami lebih sering terlihat melintasi jalanan lengang tanpa sirene karena mereka dapat mengantar mayat dari rumah sakit menuju rumah duka dengan lebih santai. Ambulan yang dimiliki rumah sakit hanya merupakan mobil bercat putih dengan tambahan lambang medis, sirine, dan tempat tidur dorong, maka mobil semacam itu memang hanya pantas untuk mayat. Menyelamatkan nyawa seseorang memerlukan instalasi yang benar-benar dapat dipergunakan dalam situasi darurat untuk membantu para pasien sebelum tiba di rumah sakit. Para tetangga tidak langsung meninggalkan rumah kami. Mereka masih berkumpul di teras dan di luar pagar halaman rumah. Aku hanya melihat mereka dari
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

111

balik jendela ruang tamu. Aku tidak ikut bergabung. Paling-paling mereka akan mengutarakan serangkaian pertanyaan tentang riwayat penyakit bapakku, lalu mengakhiri percakapan dengan penghiburan. Di saat ini, aku belum terlalu memerlukan penghiburan. Kehadiran mereka, bahkan dalam kebisuan dan tatapan melongo, kuanggap sudah cukup. Aku baru saja mulai memikirkan cara untuk mengucapkan terima kasih pada semua orang yang sudah menunjukkan kepedulian mereka sebagai tetangga ketika kudengar ibuku mengatakan sesuatu yang harus segera kulakkan. Kau sekarang ikut ke rumah sakit. Ibuku mengatakannya dari belakangku. Entah siapa yang akan kuikuti. Tetapi aku tidak bertanya. Aku memberikan tanggapan dengan anggukan. Aku tidak yakin ibuku melihat isyarat itu. Jawaban dengan kata-kata mungkin juga tidak akan dihiraukannya. Apa pun yang dikatakannya sekarang sudah harus dianggap tidak lagi sebagai sebuah tawaran. Laksanakan, atau dia yang akan melakukannya sendirian. Aku tidak ingin ibuku keluar dari rumah malam-malam begini. Di rumah kami tidak ada lagi sosok dewasa yang diharapkan akan bisa menggantikan tugas ibuku. Ada batas-batas tugas yang bisa diserahi pada tetangga. Aku hanya bocah lima belas tahun. Dua tahun lagi akan tujuh belas. Tujuh belas tahun bagiku merupakan saat ketika seorang remaja diberi lebih banyak kesempatan bertindak sesuai dengan keputusannya
Johan M.

112

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sendiri. Kali ini aku belum bisa memberikan perlindungan pada ibuku dan bapakku yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, karena lazimnya, secara umum, akulah yang terlihat masih memerlukan perlindungan mereka. Aku membuka lemari pakaian dan mengambil sendiri baju hangatku dari lemari. Sejak punya adik, aku tidak lagi bisa menuntut perhatian lebih dari ibuku, apalagi sekarang, setelah punya tiga orang adik. Ada saat-saat ketika seorang ibu dibebaskan, atau kembali menerima tugas yang sama, setelah melahirkan bayi baru dalam keluarga. Aku sedang menunggu penjelasan tambahan dari ibuku ketika kudengar ada yang memanggil namaku. Mana Liwaul? Aku menoleh ke arah orang yang mengajukan pertanyaan itu. Mendengar suaranya saja masih belum cukup untuk meyakinkan diriku bahwa ia bisa menyempatkan diri datang ke rumah kami. Pria kriting itu kulihat sedang berhadapan dengan ibuku. Inilah saat ia bisa melakukan hal-hal paling buruk pada kami. Kulihat ibuku melihat ke arahku. Sekarang aku tidak lagi yakin apa yang menjadi latar belakang kecemasan yang ditampakkannya. Ibuku yang malang, mengapa ia harus berhadapan pada malam yang sama dengan dua pria yang memiliki berpeluang untuk bertengkar dengannya. Setelah melihatku, pria itu langsung mendekatiku. Ia melakukannya tanpa menunggu jawaban ibuku. Aku
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

113

berdoa, semoga kebaikan masih tersisa bagi kami malam ini. Aku berusaha berdiri tegak di tempatku, dengan pakaian hangat, yang kuharap bisa menampakkan bahwa tubuhku lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Dengan kenyataan terakhir ini, aku amat membutuhkan keajaiban yang memberikan peluang terjadinya lompatan waktu sedikitnya sampai dua tahun ke depan. Mengapa aku tidak berumur tujuh belas tahun saja sekarang, biar pria yang menghampiriku bisa lebih memperhitungkan bahaya yang mengancamnya jika ia berniat berbuat tidak benar terhadapku. Sudah siap? Entah apa maksudnya. Siap. Aku menjawab dengan mengangkat wajahku. Aku menyesal karena tidak bisa langsung menatap bola matanya. Keberanian bertempur biasanya ditunjukkan dengan gaya klasik seperti itu. Masih banyak kukira pria yang meyakini bahwa sebagian kekuatan tersimpan pada tatapan. Yang kulihat berikutnya sungguh di luar dugaanku. Sambil memasukkan kedua tangan pada saku jaket hitamnya, ia berbicara padaku, menawarkan rencana untuk menemaniku ke rumah sakit menyusul bapakku. Ia berbicara padaku dengan tatapan ramah, persis seperti yang seharusnya dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Sapaannya terdengar akrab. Sulit bagiku untuk mempercayai ingatanku tentang pria ini yang pernah berselisih dengan bapakku. Aku
Johan M.

114

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

hanya memahami bahwa mereka berbeda pendapat mengenai tembok pembatas di sebelah timur rumah kami. Halaman rumah kami terlihat menyempit di tengah. Belum ada penjelasan yang lebih bagus yang dapat diterima dari kedua belah pihak selain anggapan bapakku bahwa sebagian tanah kami telah diambil. Kedengarannya seperti tuduhan. Melihat kenyataan yang ada akan membuat siapa saja berpikirbetapa wajar tuduhan itu muncul. Dan mendengar alasan tetanggaku, masalahnya sebenarnya terletak pada sejarah pembangunan tembok pembatas yang dianggap telah salah dibangun oleh tukang bangunan karena ukurannya yang sebenarnya belum disepakati oleh kedua pemilik tanah yang berbatasan. Sangat aman sekaligus tidak menyenangkan menjadikan tukang bangunan sebagai kambing hitam, karena kebetulan tukang bangunan itu juga tetangga kami. Perselisihan di antara orang tua sering mempengaruhi hubungan baikku dengan gadis-gadis kecil anak tetangga. Pria kriting di hadapanku memiliki tiga orang anak perempuan. Setelah pertengkaran hebat, biasanya hubunganku dengan gadis-gadis kecil itu menjadi terputus tiba-tiba meskipun aku belum pernah menerima larangan berteman dengan mereka. Entah bagaimana dengan gadis-gadis kecil itu. Pertengkaran orang tua membuat kami tidak bisa saling mengunjungi selama beberapa waktu. Tawa dan canda kami seperti dipaksa oleh keadaan untuk segera digantikan dengan tatapan saling mencurigai. Tidak ada kontak langsung yang memberikan kenyamanan. Sungguh tidak
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

115

menyenangkan kehilangan orang-orang yang bisa diajak bermain dan tertawa. Sulit bagiku untuk kembali menonton televisi setelah terjadi pertengkaran. Tapi aku tetap berusaha agar bisa melakukannya. Usaha kerasku tidak hanya untuk memenuhi keiinginan menontonku yang meluap-luap, tetapi dengan memaksa diri menonton lagi ke rumah tetangga, kuharap dapat menyambung kembali hubungan baik yang tadinnya terganggu. Orang tua mungkin memerlukan waktu yang lebih lama supaya bisa mencapai kondisi seperti sebelum pertengkaran. Kami yang masih anak-anak belum memiliki pikiran yang berliku-liku. Sebuah permainan. Sebuah kesempatan. Dan sebuah alasansudah cukup untuk melupakan masalah dan menjadi alasan untuk mulai membangun kembali keakraban antartetangga seperti yang pernah kami miliki sebelumnya. Di awalawal pemulihan hubungan baik, kalau sudah pulang dari menonton televisi, pada kedua orang tuaku, aku biasanya akan menyempatkan diri menceritakan hal-hal baik tetang tetanggaku. Aku mengatakan dengan bersemangat bahwa tetanggaku menyempatkan diri mengajakku berbicara dan menanyakan kabar mereka serta adik-adikku yang masih kecil dan belum bisa ikut menonton televisi. Aku melihat jam dinding di ruang tamu. Orang-orang yang tadi bediri ramai di halaman depan kulihat sudah tidak ada lagi. Semoga tidak akan ada keramaian lagi. Sekarang aku sudah lebih tenang,
Johan M.

116

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

aku kembali menginginkan kesunyian yang mendamaikan. Aku belum tahu, apakah bapakku sekarang sudah sampai di rumah sakit dan mendapatkan penangan yang ia perlukan. Aku belum bisa berbicara dengannya. Nanti setelah ia boleh diajak berbicara, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menceritakan bahwa pria yang telah berselisih dengannya menjadi salah satu tetangga yang datang dengan sikap sangat ramah. Ibuku tidak perlu diberi tahu. Ia ikut menyaksikan keajaiban yang akan kuceritakan itu. Keramahannya sama sekali bukan gambaran pria yang tega mengambil bagian orang lain. Kuharap kali ini ia benar-benar datang dengan maksud baik. Ia nampak siap memberikan bantuan yang kami perlukan. Mungkin tidak mudah baginya memutuskan datang kemari dan mempercayakan dirinya agar bisa diterima ketika bermaksud memberikan bantuan. Di pihak lain, aku juga meragukan ketulusannya. Sulit bagiku percaya bahwa ia akan mau berbuat baik pada keluarga pria yang terhitung masih berselisih dengannya. Sekali lagi kuamati pria besar yang berdiri di hadapanku. Entah sejak kapan ia menjadi ketua rukun tetangga. Sikap yang pernah ia perlihatkan sewaktu berselisih paham dengan bapakku sempat membuat aku berpikir bahwa dia sudah tidak layak lagi menjadi ketua RT di tempat kami. Ketua RT seharusnya menjadi penengah dan bukan malah tersesat menjadi bagian dari masalah.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

117

Selain Liwaul, ada lagi yang akan ikut ke rumah sakit? ia bertanya. Kali ini ibuku membantu memberikan jawaban. Semua rencana memang merupakan miliknya. Aku akan menurut saja. Liwaul saja dulu. Nanti saya menyusul kalau sakitnya terlalu parah. Anak-anak ini tidak bisa saya tinggalkan. Jelas yang ia maksudkan terutama adikku yang masih dalam gendongan. Oh, ya. Apa saja yang perlu kami bawa? Ibuku menyodorkan tas pakaian sambil menyebutkan isinya. Sejumlah kain, pakaian ganti, dan kaus kaki. Bantalnya saya kira sudah ada di sana? Kalau mau ditambahkan bisa besok pagi. Ya. Besok pagi saja yang lain. Ibuku lalu menatapku. Ia memberikan anggukan yang tidak terlalu kumengerti maksudnya. Aku memberikan balasan yang sama, berjaga-jaga kalau yang ia maksudkan mungkin kesiapanku. Aku sudah siap. Kita harus mencoba percaya, termasuk pada salah seorang yang pernah paling mengecewakan, terutama jika ia memang bisa menawarkan kebaikan yang belum dapat diberikan oleh orang lain. *** Aku menyeka keringat di sisi wajahku. Matahari siang menunjukkan kehadirannya dengan sengatan yang mengigit kulit. Langit di atas kepalaku hanya membiarkan sedikit awan menutupi warna birunya. Awan-awan lain seolah sengaja diusir dan dibiarkan
Johan M.

118

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bergerak untuk menunjukkan isyarat duka ke tempat lain, yang lebih jauh dan jelas tidak kukenal. Ini hari yang baik, yang dengan sengaja telah mempertahankan kecerahaannya, seolah ingin ikut berbagi keceriaan denganku. Aku nyaris melompat ketika lenganku akhirnya menyentuh pintu pagar halaman rumah yang segera kudorong membuka. Suasana rumah amat sunyi. Mungkin karena aku terlalu menuntut kegembiraan sehingga hari yang biasa pun seperti sengaja memperlihatkan suasana rumah yang sedang diliputi duka. Aku membuka sepatuku. Selama waktu yang kuperlukan untuk melakukannya, aku tidak mendengarkan suara apa pun dari dalam rumah. Bahkan suara tangis adikku yang masih dalam gendongan pun tidak kudengar. Aku tidak menyukai suara tangis adikku, tetapi saat ini, aku tiba-tiba menginginkannya. Suara tangis setidaknya adalah suara, dan aku memerlukan sebuah suara, untuk kudengar, dan untuk memastikan bahwa ada orang di dalam rumah yang pintu ruang depannya dibiarkan terbuka. Aku melangkah cepat ketika melintasi ruang depan. Tidak biasanya salamku tidak dibalas. Ada bibit kepanikan yang mulai tumbuh dalam pikiranku. Kedua tanganku masing-masing memegang sepasang sepatu dan tas ranselku. Aku menggunakan bahu untuk membuka tirai yang memisahkan ruang depan dengan ruang tengah. Aku berdiri diam. Mematung. Dan mungkin tidak sadarkan diri dalam
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

119

ketidaksadaran yang tidak kusadari. Beberapa detik terpaksa kujalani di antara waktu aku menyaksikan dan menyadari apa yang kulihat, terasa seperti detik-detik yang telah memaksaku menjauh dari kehidupan yang sesungguhnya. Ibuku kulihat duduk menitikkan air mata. Ia memandangku, sesaat kemudian yang terdengar adalah suara yang seharusnya kudengar dari adik kecilku yang masih dalam gendongan. Ibuku menangis. Aku tidak berani bergerak. Entah mengapa, aku tiba-tiba berpikir, bahwa gerakan sekecil apa pun yang akan kulakukan akan ikut menjadi alasan segala macam mimpi buruk akhirnya menjadi kenyataan. Aku hanya seorang remaja. Aku bisa mempercayai apa yang tidak kutemukan dipercayai orang lain. Bapakmu masih di rumah sakit, kata ibuku. Aku hanya mengangguk pelan. Kubiarkan ia menyelesaikan penjelasannya. Masih di rumah sakit. Dia akan pulang hari ini. Kalau ia masih perlu menunggu beberapa menit lagi untuk pemeriksaaan terakhir yang mungkin terlambat dari jadwal semula, bagiku tidak apa-apa. Selama perawatan masih bisa dilakukan, seperti apa pun perawatan itu, aku akan selalu terima. Perawatan berarti upaya penyembuhan, dan penyembuhan hanya hak dari orang-orang yang masih bisa bernapas. Tuhan, jangan hancurkan harapanku. Jangan hancurkan kepercayaanku akan kasihmu. Jangan hari ini, aku benar-benar belum siap menerima sebuah duka cita yang sudah dipastikan akan dialami oleh setiap manusia.
Johan M.

120

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dia tidak jadi pulang hari ini. Siang tadi, tiba-tiba penyakitnya kambuh, dan... suara tangis kembali terdengar. Kali ini bahkan lebih keras dari sebelumnya. Di sela-sela sedu sedannya, aku mendengar ibuku berhasil menambahkan penjelasan,penyakitnya bertambah parah. *** Aku dan adikku berdiri di sisi kiri tempat tidur pasien. Kami berdua diam membisu. Aku larut dalam pikiranku, dan kukira dia juga begitu. Orang-orang dewasa telah melakukan apa yang menjadi tugas mereka. Kami yang masih anak-anak tidak tahu apa lagi yang dapat dilakukan selain memandang tidak berdaya pada sosok yang juga tidak berdaya. Aku tidak tahu, apakah semua keluarga memperoleh kesempatan yang sama seperti kami, menyaksikan orang tua berbaring di rumah sakit dan mempercayakan penyembuhannya pada para dokter. Aku berharap dokter yang menangani bapakku memiliki ketulusan mengerjakan tugas-tugasnya sesuci makna warna pakaian putih yang dikenakannya dan telah lama menjadi identitas bagi orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk menyembuhkan. Diam-diam aku berdoa semoga Tuhan membimbing dokter dan perawat di rumah sakit ini, agar sekali ini saja dapat luput dari kesalahan. Semua keluarga dapat menangis dan tertawa, hanya alasannya yang berbeda. Kegembiraan yang wajar dapat kita sambut dengan tawa, sedangkan kesedihan yang wajar kita respon dengan tangis pilu. Tidak ada yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

121

baik dengan sesuatu yang berlebihan. Aku berharap, Tuhan mencukupkan cobaannya sampai di sini, pada batas yang sanggup kami hadapi, sehingga tidak perlu tertawa karena merasa dilecehkan oleh kehidupan. Seperti orang yang bisa menangis ketika berada di puncak kegembiraannya, orang yang berada di puncak kesedihan juga akan tertawa. Peristiwa yang tidak biasa, memiliki peluang untuk dihadapi dengan cara yang tidak biasa. Semoga Tuhan mencukupkan cobaannya sampai di sini, di batas kesanggupan kami untuk menghadapinya dengan tangis kesedihan. Aku melihat wajah bapakku. Aku perlu sedikit waktu untuk memahami dan meyakinkan diri bahwa ada kerdipan mata yang disengaja, diulang-ulang, dan dimaksudkan sebaga isyarat padaku untuk mendekat. Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ada tiga pasien lain yang berbagi ruangan dengan bapakku. Mereka juga sedang dikelilingi oleh keluarga masing-masing. Tidak ada perawat yang sedang bertugas di ruangan kami. Nenek Murni, tetangga di depan rumah kami, yang menjaga bapakku sejak malam pertama ia terbaring di rumah sakit, juga tidak kulihat ada di sekitar ruangan. Dia entah sedang ada di mana. Kerdipan mata itu terlihat semakin sering dilakukan. Ada sedikit gerakan kepala yang dipaksakan mulai menyertai gerakan mata itu. Pasti tidak mudah melakukan gerakan yang begitu banyak bagi orang yang baru terkena stroke. Aku tahu, aku tidak bisa lagi menunggu orang yang biasa menolong bapakku
Johan M.

122

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

melakukan sesuatu. Aku ada di sini, sekarang, di sisi bapakku, bukan hanya untuk menjadi anak yang lemah seperti yang kubayangkan dan sedang kujalani. Bapakku dan semua orang pasti menginginkan agar aku menjadi lebih kuat dan bisa diandalkan. Akhirnya aku bergerak mendekat. Meskipun aku sudah tahu ia tidak lagi bisa berbicara seperti biasa, aku tetap mencoba menempelkan telingaku sambil berharap akan mendengarkan kata-kata yang bisa kupahami. Aku mendengarkan sesuatu. Awalnya tidak jelas. Aku lalu menyemangati dengan bertanya, Apa? Aku tidak mau dilihat menangis oleh adikku. Aku menguatkan diri. Aku berusaha menahan air mataku ketika yang kutangkap sebagai ucapan hanya terdengar seperti separuh desisan dari bahasa yang bukan milik manusia. Aku merasa lega ketika menangkap satu suku kata terakhir yang akhirnya dapat kupahami. ...cing. Bapakku ingin kencing. Baiklah, sekarang aku paham, masalahnya kemudian adalah bagaimana membantunya melakukannya. Ia sekarang terbaring dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Nenek Murni jelas tahu apa yang akan dilakukan. Kalau yang diperlukan oleh bapakku adalah meminta agar diberi sesuatu yang akan dimasukkan ke dalam tubuhnya, mungkin aku akan punya cukup waktu untuk mencari Nenek Murni, tetapi kali ini, yang diperlukan adalah membantunya mengeluarkan sesuatu,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

123

dan menurutku itu berarti tidak ada banyak waktu yang kumiliki. Aku mengangguk. Hal itu kulihat sedikit membuat bapakku menjadi tenang dan tidak lagi mengerdipkan matanya. Kuminta adikku berdiri di dekat bapakku dan menunggu aku kembali bersama perawat yang akan kupanggil. Aku setengah berlari ke bagian tengah lorong bangsal penyakit dalam. Setelah kunjungan sebelumnya, aku menjadi familier dengan tempat ini, sampai cukup membuatku tahu di mana letak ruangan jaga para perawat. Seorang pria berseragam putih kulihat berdiri di depan jendela kaca. Ia sepertinya sedang berkelakar dengan tiga orang wanita berseragam putih yang berada di dalam ruangan. Mereka bertiga baru kulihat jelas setelah aku berdiri di muka pintu yang dibiarkan terbuka. Dua orang di antaranya sedang duduk di atas dipan, sementara yang seorang lagi duduk pada satusatunya kursi di depan satu-satunya meja jaga yang tersedia. Meja itu diatur merapat dengan jendela kaca. Tidak ada di antara tiga wanita itu yang tidak memperlihatkan kegembiraan. Seseorang di antara mereka bahkan kulihat melepaskan tawa dengan bebas, seakan tidak peduli dengan kemurungan orang lain yang mungkin sekarang sudah merasa asing dengan setiap tawa yang pernah mereka lakukan.
Johan M.

124

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Seseorang di antara mereka akhirnya memandangku, Ya? Ada yang bisa kami bantu? Bapak saya ingin kencing tapi... Siapa namanya? Pak Marham Jayadi. Perawat itu memeriksa sebuah daftar. Oke, benar. Ambil saja tempat penampungan air kencing di kamar mandi yang berhadapan dengan pintu masuk kamarnya. Setelah itu? Gunakan saja. Hanya itu? Ya. Entah apa yang dilihat perawat itu di kertas yang berisi daftar nama pasien. Sepertinya ia hanya ingin memastikan bahwa aku tidak memberikan laporan yang mengada-ada. Tadinya, kukira setelah mengetahui pasti ada pasien yang kulaporkan memerlukan bantuan, seseorang di antara mereka akan mengikuti lalu menjadi malaikatku. Ternyata tidak. Aku malah diberi tahu tentang apa yang dapat kulakukan. Tidakkah mereka melihat bahwa aku masih anakanak, dan jelas tidak bisa melakukan apa yang mereka minta agar kulakukan sendiri, karena membantu bapakku kencing berarti ikut menyaksikan ia melakukan sesuatu dengan bagian paling rahasia dari dirinya? Rasa hormatku pada bapakku membuatku malu memandang wajahnya, dan jelas aku akan lebih malu lagi jika harus memandang apa yang disebut orang-orang sebagai kemaluan. Bahkan istilah pengganti yang sudah sangat
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

125

sopan itu masih tidak cukup membuatku merasa berada pada barisan orang-orang beradab. Aku melangkah pelan menjauhi pintu ruang perawat. Pikiranku disibukkan oleh berbagai hal yang sepertinya tidak hanya menuntut untuk dipikirkan tetapi juga saatnya diputuskan, bahkan mendesak agar segera dilakukan. Aku ingin marah, tetapi tidak bisa. Setiap orang behak melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Para perawat itu punya tugas. Tapi mereka mengabaikannya. Sampai batas tertentu aku terus mencoba memahaminya. Aku mencoba mengerti. Aku sebenarnya tidak berani sampai bertanya, apakah mengabaikan tugas juga dapat dianggap sebagai hak. Lalu entah di mana letak hak bapakku sebagai pasien, dan juga hakku sebagai keluarga pasien, yang seharusnya dapat melihat pelayanan baik yang dapat diterima di rumah sakit ini. Sebagai anak, aku memang punya tugas. Jika para perawat itu berkewajiban menjalankan tugas mereka sepanjang jam kerja, maka aku punya tugas merawat bapakku seumur hidupku. Bapakku mau kencing. Tidak ada yang bisa ditunda. Aku bisa melakukan protes di lain waktu. Aku juga bisa bepikir lebih lama nanti di tempat lain. Sekarang, aku harus melakukan apa yang mendadak menjadi tugasku. Aku melangkah cepat. Aku harus segera mencapai kamar mandi dan menemukan alat yang dimaksudkan oleh perawat itu.
Johan M.

126

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Suara raungan tangis terdengar memecahkan ketenangan lorong bangsal yang baru kutinggalkan. Dari salah satu kamar di sebelah kiriku kulihat seorang wanita berambut hitam panjang memeluk seorang pasien, diikuti oleh orang lain, dan semua orang yang akhirnya mengelilingi pasien itu menangis memperlihatkan kepiluan yang tidak sanggup kusaksikan. Pintu kamar mandi itu terbuka. Aku kaget begitu melihat ada wanita tua keluar sambil membawa kain basah. Aku nyaris menabraknya. Aku tidak mau berlama-lama melihat kain yang dibawa itu. Siapa tahu ada bekas darah atau sesuatu yang akan menghantui ingatanku. Gumpalan panjang kain batik yang menyerupai gulungan tali sesudah dicuci itu sejenak menjelma seperti senjata bagi hantu yang berwujud wanita tua yang berkulit gelap. Banyak di antara orang tua yang sudah keriput, karena pekerjaan yang keras, dan kesengsaraan panjang yang menghimpit, telah membuat pudar keaslian kulit mereka, sehingga warna sawo matang berubah cepat menjadi hitam dan tidak lagi berbeda warna dengan tanah basah di sawah-sawah yang mereka garap. Kubiarkan wanita tua itu meningalkanku. Tidak ada yang kuperlukan darinya. Apa pun alat yang dimaksudkan perawat itu kuharap segera kutemukan. Peralatan macam apa yang dibiarkan ada di kamar mandi? Aku mencarinya. Aku nyaris muntah begitu melihat sisa warna merah di lantai. Kepalaku sudah mulai pusing ketika kulihat, ada sesuatu yang mirip ceret
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

127

tapi dengan ujung selang yang lebih lebar dalam lingkaran oval. Aku mengambil peralatan sederhana dari logam yang sisi-sisnya mulai berkarat itu. Aku segera kembali ke kamar perawatan bapakku. Aku nyaris bangga karena telah menemukan alat yang dapat kugunakan untuk membantu bapakku ketika cepat kuingat kalau aku akan melakukan sendiri tugas yang karena rasa hormatku ingin sekali kuhindari. Kupandangi adikku. Dia hanya membalas tatapanku. Aku kakaknya, anak tertua, dan juga sedang memegang alat yang diperlukan, siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan diriku? Bapakku memberi petunjuksesuatu yang seharusnya tidak perlu ia lakukan, mengingat yang terdengar adalah desisan yang terlalu sukar dimengerti. Kumasukkan alat itu ke bawah kain sarung yang dikenakannya. Aku mengambil risiko meraba apa yang tidak bisa kubiarkan diriku melihatnya. Aku tidak bisa membuka sarung yang dikenakan oleh bapakku dan membiarkan orang lain yang ada di ruangan ikut menyaksikan. Kehormatan bapakku adalah kehormatanku. Membiarkan mereka menyaksikannya berarti membiarkan orang lain tahu tentang sesuatu yang aku sendiri tidak mau mengetahuinya. Bapakku menggumamkan sesuatu. Dari gerakan yang dibuatnya, aku menyadari ada yang tidak beres. Alat itu tetap kudorong. Beberapa detik
Johan M.

128

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kemudian aku melihat rembesan air yang membuat sebagian kain di sekitar paha atas menjadi basah. Aku gagal. Aku tidak berhasil meletakkan lubang ceret antik itu agar tepat bisa menjadi penampung air kencingnya. *** Setelah bapakku menderita stroke, aku mengetahui ternyata ada banyak lagi orang yang menderita kelumpuhan pada sebagian atau seluruh tubuhnya. Aku heran, mengapa kata stroke pernah menjadi begitu asing bagiku dan sekarang tiba-tiba seluruh dunia sepertinya dipenuhi dengan kata-kata yang mengerikan itu. Aku menjadi ingat, adikku yang paling kecil, diberi nama Amri, seperti nama yang kuusulkan karena mempertimbangkan belum banyak orang memiliki nama seperti itu. Setelah pembuatan akta kelahiran, entah bagaimana, nama Amri begitu sering kutemukan dalam berbagai kesempatan, nyaris membuatku berpikir bahwa pada setiap rumah ada seseorang yang diberi nama sama seperti nama yang kuanggap langka itu. Memasuki minggu ketiga, Bapakku dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu. Aku tidak mengerti mengapa para staf rumah sakit memerlukan waktu begitu lama hanya untuk mengidentifikasi bahwa bapakku ternyata pasien pegawai negeri golongan tiga yang harus diberi hak lebih istimewa dengan menempati ruangan yang diperuntukkan bagi dua orang pasien saja. Pemindahan bapakku ke ruang perawatan kelas satu merupakan kebaikan yang diharapkan terjadi dan akhirnya dapat diperoleh. Jauh melebihi harapan itu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

129

semua, aku sebenarnya ingin bapakku dipindahkan ke rumah, karena sudah tidak ada lagi selang perawatan yang menggelantung di sekitar tempat tidurnya. Selain itu, aku mendengar, tidak ada perawatan singkat bagi penderita stroke. Diperlukan latihan intensif selama bertahun-tahun untuk bisa membuat lengan dan kaki yang kaku itu kembali bergerak dan berfungsi seperti sedia kala. Daripada kunjungan ke rumah sakit untuk berjaga secara bergiliran dapat membuat anggota keluarga lainnya menjadi sakit, perawatan dari rumah dengan mengikuti jadwal kontrol yang ketat sepertinya merupakan pilihan yang lebih sempurna. Selama di rumah sakit, biaya perawatan bapakku ditanggung oleh ansuransi kesehatan. Sebagai pegawai negeri, perawatan kesehatan bagi bapakku, ibuku, aku, dan dua orang adikku, ditanggung oleh ASKES. Ada obat-obat tertentu yang tidak disediakan oleh apotek penjamin ASKES dan kami harus membayar untuk mendapatkannya. Seringkali, obat-obat yang tidak disediakan itu adalah obat-obat yang harganya mahal. Terkena penyakit yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit selalu merupakan sebuah musibah. Kian hari, musibah itu, bagi sebuah keluarga yang hidup hanya dari gaji bulanan seorang kepala keluarga yang menjadi pegawai negeri sipil, menjelma menjadi sebuah bencana. Aku berdiri sambil memegang ranjang besi bercat putih milik rumah sakit, tempat bapakku sekarang terbaring. Setiap gerakan, sekecil apa pun yang ia dapat
Johan M.

130

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

perlihatkan, seperti pertunjukan istimewa yang senantiasa memberikan kelegaan. Bapakku jelas pernah memiliki tubuh yang lebih kuat dariku. Pernah, berarti tidak saat ini. Tidak sedang dalam kenyataan. Sekarang, tubuhku yang lebih kecil lebih bisa dimanfaatkan karena tangan dan kakiku bisa kugerakkan sesuka hatiku. Bapakku berbagi ruangan dengan seorang pria malang yang memiliki perut besar seperti wanita yang sedang hamil. Pernah pada salah satu kesempatan, ibu pria muda itu, yang mendapingi putranya dengan setia siang dan malam, bertutur tentang pengakuan dokter yang menanganinya, yang mengaku tidak menemukan ada yang tidak wajar di dalam perut yang membesar dengan tidak wajar itu. Perut itu seolah-olah seperti balon kulit yang sengaja diciptakan untuk membuat lelucon menyedihkan. Jika dokter saja tidak tahu, siapa lagi yang diharapkan dapat memberikan penjelasan? Hari berikutnya, pria dengan perut seperti orang hamil itu ternyata sudah tidak ada lagi di ruangan. Aku tidak mau menduga ia mengalami sesuatu yang amat buruk. Semoga penyakit itu adalah pengalaman terburuk yang dialami oleh dia dan keluarganya. Mungkin karena melihatku terlalu lama mengamati tempat tidur yang sudah dikosongkan itu, ibuku lalu memberikan penjelasan yang kuperlukan. Pria itu telah memilih untuk rawat jalan. Di rumah sakit, kesehatannya tidak mengalami kemajuan seperti yang diharapkan. Pria
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

131

itu pulang, kemudian hanya akan ke rumah sakit pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh dokternya. Tanpa sepengetahuanku, ibuku juga ternyata sudah mengusulkan perawatan semacam itu. Dia baru memberi tahu semua orang setelah mendapatkan izin langsung dari dokter yang merawat bapakku. Di rumah, kami pasti lebih bisa memberikan perhatian serta latihan yang diperlukannya ketimbang para perawat malas yang hanya datang ke rumah sakit untuk mengisi jam prakteknya. *** Sepulang dari sekolah, aku terkejut mendapati kamarku sudah tidak lagi terlihat seperti saat terakhir ketika kutinggalkan pagi tadi. Kamarku sudah diatur sehingga menjadi lebih cocok bagi tempat perawatan bapakku. Lemari pakaianku dikeluarkan. Di dalam, sekarang hanya ada sebuah dipan kayu ditambah sebuah meja kecil di sudut lain di dekat jendela, tempat gelas air minum diletakkan bersama beberapa botol obat dan saset-saset kapsul. Bapakmu, mulai hari ini akan tidur di situ. Ibuku menjelaskan. Ia kini berdiri di sampingku. Kami berdiri di pintu kamar, masing-masing memegang satu kusen pintu. Kamar tidurku yang kecil sekarang terlihat seperti lebih luas setelah tidak ada lagi lemari pakaian di dalamnya. Kapan bapak dijemput? Sebentar lagi. Ibu yang akan pergi?
Johan M.

132

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Ibuku mengangguk. Kamu tetap di rumah. Jaga adik-adikmu. Sekali lagi, aku melihat kamar bapakku. Aku mengamatinya. Entah mengapa, kamar itu terasa seperti baru kulihat untuk pertama kalinya. Dipannya sudah diberi kasur yang dilapisi kain bagus. Begitu juga dengan mejanya. Kamar yang sudah bukan lagi menjadi kamarku itu, telah disulap, tidak hanya untuk menjadi tempat yang lebih baik bagi bapakku yang seharusnya menerima fasilitas bagus di rumah sakit, tetapi telah diatur agar menjadi tempat yang lebih layak untuk menerma kunjungan dari orang-orang bermaksud menjenguknya. Ibuku belum mengatakan tujuan itu, tetapi aku bisa memahami alasan semacam itu tanpa harus bertanya. Aku lalu mengikuti ibuku. Ia menunjukkan kamar yang sekarang akan menjadi tempat tidurku. Kamar itu kamar baru. Rumah kami baru selesai direhabilitasi, dengan menambahkan dua kamar tidur, satu ruang keluarga yang besarnya dua kali kamar tengah, dan sebuah dapur, serta sebuah kamar yang diberi pintu dengan bagian atas melengkung, karena kamar itu akan dijadikan sebagai tempat ibadah. Dari penuturan ibuku pada beberapa orang sahabat bapakku yang datang ke rumah sakit, aku mengetahui bahwa pada malam bapakku dilarikan ke rumah sakit, bapakku sebenarnya sedang membersihkan lantai kamar-kamar yang baru itu. Mereka yang hanya percaya pada apa yang dilihat segera akan mengatakan bahwa penyebanya karena kelelahan. Mereka yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

133

mempercayai hal lain mencoba mengemukakan penyebab lain. Aku sendiri tidak terlalu mempedulikan bagaimana terjadinya, bagiku sekarang, yang paling penting adalah bagaimana menanganinya. Aku sulit menghibur diriku setelah mendengar salah seorang di antara sahabat bapakku mengatakan, Penyakit itu datang seperti air bah, tapi penyembuhannya seperti menunggu air yang menetes. *** Yang terdengar hanya sapaan, Hai! Tetapi aku tetap menoleh. Bahkan tanpa sapaan itu pun, terkadang aku membiarkan diriku menoleh ke halaman rumah tempat Selvia pernah berdiri bersama seorang gadis yang ingin kulihat lagi, dan ingin lebih kukenal. Tidak banyak gadis yang kutemukan bisa terlihat begitu cantik dengan wajah yang dilingkari jilbab putih. Akhirnya aku melihat apa yang kuharapkan. Di tempat yang sama, seperti beberapa waktu yang lalu, tapi tanpa kehadiran Selvia, kulihat gadis itu berdiri, kali ini dengan rok berlipit warna kuning. Ia tersenyum dengan cara yang membuatku nyaris tidak yakin bahwa semua itu ditujukan padaku. Aku tidak menemukan alasan mengapa ia bisa menyapa dengan begitu ramah padahal kami belum pernah berkenalan. Aku tidak tahu, mengapa tanpa Selvia ia begitu berani menyapaku? Aku tidak berani berpikir terlalu jauh. Siapa tahu, ia melakukannya bukan karena alasan tertentu, bahkan mungkin sebenarnya tanpa alasan.
Johan M.

134

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku ingin membalas sapaan itu dengan lambaian dan tambahan kata Hai! tetapi aku tidak melakukannya. Aku masih sulit percaya bahwa ia benarbenar menyapaku. Entah bagaimana, aku tiba-tiba yakin bahwa ia melakukannya karena telah salah mengira aku sebenarnya orang lain, bukan teman Selvia, dan bukan orang yang pernah ia beri lambaian tangan beberapa waktu yang lalu. Sambil memikirkan sapaan itu, yang dengan bodoh telah kubiarkan berlalu, aku mulai memikirkan lariklarik puisi yang akan kubuat untuk lomba penulisan puisi besok pagi. Sayang sekali, guru pembinaku tidak memberitahu tema-nya. Kalau mengetahui tema-nya, akan lebih mudah bagiku untuk menghimpun kemampuan merangkum kata-kata terbaik yang bisa kutulis kembali setelah berkali-kali memunculkannya dalam ingatanku. *** Aku menutup pintu laboratorium dengan hati-hati, menggunakan kedua tanganku untuk mendorong dan menahan daun pintu yang lain. Tidak ada suara yang terdengar. Ini kenyataan yang bagus. Perlu latihan dan banyak teguran supaya bisa mengetahui cara menutup pintu laboratorium tanpa menimbulkan suara yang mengganggu. Aku senang mendapati kenyataan bahwa yang terjadi ternyata persis seperti harapanku, dan harapan orang yang ingin kupenuhi harapannya. Sekolahku memiliki satu laboratorium, yang dipakai oleh guru-guru matapelajaran Fisika dan Biologi. Pada dindingnya, yang menghadap ke lapangan upacara, ada
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

135

tulisan dengan huruf balok berbunyi LABORATORIUM IPA. Pak Zahir, guru Biologi kami, memiliki meja khusus pada salah satu sayap laboratorium, sebelum pintu masuk menuju gudang penyimpanan zat-zat kimia dan alat-alat fisika yang bentuknya bisa ditemukan pada halaman-halaman buku paket siswa. Aku sering berada pada ruangan yang terlihat bersih dan sangat ekslusif itu. Mungkin karena dianggap berprestasi, Pak Zahir memberikan perhatian dan kepercayaan yang tinggi padaku. Benda-benda yang jarang dilihat dan dipegang oleh siswa lain dengan mudah dapat kulihat dan kupegang. Hanya sedikit di antara kami yang memperoleh keistimewaan semacam itu. Aku mensyukuri kenyataan ini dengan kebanggaan dan rasa hormat yang tinggi pada guruku. Beberapa orang siswa menoleh ke arahku ketika aku sudah berada di antara pintu laboratorium yang baru kututup dengan pintu ruang kelasku yang dibiarkan terbuka karena jam istirahat masih sekitar lima menit lagi. Di antara mereka, ada yang sengaja menoleh dengan mengabaikan pembicaraan orang di sampingnya. Apa yang kulihat ini sangat tidak biasa. Entah apa yang terjadi padaku dan mengapa sampai aku belum diberi tahu serta dibiarkan bertanya-tanya? Tatapan-tatapan yang kutangkap dengan tatapanku tidak bisa diramalkan. Aku berdoa, semoga hari ini, bukan hari yang kutakutkan, bukan hari yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk membuatku berada pada pintu gerbang kehilangan.
Johan M.

136

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sepertinya bapakku baik-baik saja waktu kutinggalkan pagi tadi. Kuharap keburukan apa pun yang menimpanya hari ini dan menjadi berita yang akan kuterima, bukan karena apa yang telah dilakukan pria kriting itu siang kemarin. Sepulang sekolah, kudapati ada asap yang menerobos keluar melalui lubang angin dan bagian bawah pintu. Aku nyaris berteriak karena mengira telah terjadi kebakaran ketika pintu kamar bapakku tiba-tiba terbuka dan pria kriting itu keluar dengan tatapan nanar. Aku segera membebaskan tanganku dari saku celana. Aku mempersiapkan diri menghadapinya. Apa pun yang telah ia lakukan pada bapakku tidak akan kubiarkan terjadi padaku. Logam yang ia genggam sempat membuatku panik. Pikiran burukku telah membuatku menjadi sangat mewaspadai sendok makan yang digenggamnya dengan tangan kanan. Asap dari kamar bapakku menebarkan wangi pedupaan. Ibuku baru menghampiriku setelah pria kriting itu kembali ke rumahnya. Dengan berbisik, ibuku menjelaskan padaku bahwa pria kriting itu telah memaksa menjadi dukun bagi kesembuhan bapakku. Setelah tidak lagi menginap di rumah sakit, bapakku tidak lagi hanya diobati oleh dokter. Tetangga dan keluarga memberi nasihat agar kami juga menggunakan pengobatan alternatif. Dalam istilah alternatif itu, kami tidak hanya mempercayakan pengobatan pada orangorang yang menguasai akupuntur dan ahli-ahli pengobatan ramuan cina yang mengaku berpengalaman, tapi kami juga mencoba menggunakan dukun-dukun
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

137

tanpa ramuan yang mengandalkan penyembuhan pasiennya dengan melafalkan doa dan mantra. Aku tidak mau berita buruk yang akhirnya kuterima hari ini ternyata gara-gara ketidakberdayaan kami karena telah membiarkan pria kriting itu melakukan apa yang mungkin sudah lama ingin ia lakukan. Siapa tahu, sikapnya yang manis, yang sudah ia perlihatkan selama ini, sebenarnya hanyalah sandiwara? Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Liwaul. Seseorang memanggilku. Aku memandanginya, berharap ia akan menyampaikan berita baik. Kamu dicari. Siapa pun akan segera tahu bahwa dirinya dicari bila ternyata ada banyak mata yang tiba-tiba memandang. Pertanyaannya adalah siapa yang mencari? Cukup dengan mengetahui siapa yang mencari, aku sudah bisa menduga berita apa yang akan kuterima. Siapa yang mencariku? Pak Hasyim. Guru kesenianku. Terakhir kali dia menjadi pendampingku pada saat lomba penulisan puisi. Aku berharap ia mencariku karena ada kaitannya dengan lomba penulisan puisi itu. Ia bisa saja memanggilku untuk kegiatan kesenian yang baru. Tetapi belum pernah ada kegiatan yang menyela sebelum kegiatan yang lebih dahulu dapat dirampungkan. Aku merasa lebih pasti jika Pak Hasyim akan memberikan informasi sekitar hasil lomba penulisan puisi ketimbang kemungkinan lain. Aku tidak perlu menunggu informasi apa pun lagi. Aku segera melompati taman bunga yang
Johan M.

138

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sering kusiram dan membiarkan sebagian rumputnya terkena terjanganku. Aku berlari ke ruang guru. Suara bel panjang terdengar sepuluh langkah lagi sebelum aku mencapai ruang guru. Pintu yang sudah terbuka itu kuketuk beberapa kali sampai Pak Muhtar mengangkat wajahnya dari lembaran kertas di atas meja yang dikelilingi kursi busa. Aku segera masuk setelah menerima isyarat berupa anggukan persetujuan. Guru yang satu ini agak jarang berbicara dengan kata-kata di luar jam pelajarannya. Ia lebih sering melakukannya dengan senyum dan tatapan mata. Dia bukan guru konseling, tetapi caranya mengajar dengan menyisipkan kurikulum tentang prilaku teladan di sela-sela pelajaran matematika, membuat setiap siswa percaya bahwa ia ahli jiwa yang dapat menerobos dengan gampang ke dalam benak-benak kami, sehingga tidak ada yang berani berpikiran buruk di hadapannya. Tidak ada guru lain di situ. Kalau saja ia tidak mempersilahkan aku masuk, aku akan langsung mencari Pak Hasyim ke ruangan lain. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan itu berarti, aku harus menghampirinya dan berusaha menerangkan sesuatu. Saya mencari Pak Hasyim, kataku. Dia melihat ke sekeliling ruangan, seolah dari tadi ia tidak menyadari ada apa saja di sekitarnya. Tidak ada. Aku sudah tahu, batinku. Coba cari ke rumahnya. Petunjuk yang bagus. Pak Hasyim belum menikah. Dia guru muda, tinggal sendirian di salah satu perumahan guru. Kalau begitu, saya ke sana saja.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

139

Pak Muhtar mengangguk. Oh ya, sebentar, katanya. Langkah kakiku segera kutahan. Aku kembali berdiri dengan seluruh tubuh menghadap padanya. Dia mengambil salah satu surat dari sebagian surat yang sudah diatur rapi di atas meja. Dia wakil kepala sekolah. Setahuku, meja kerjanya berderet di tempat yang sama dengan meja guru matapelajaran lain. Ruangan khusus hanya milik kepala sekolah, di samping ruang TU. Guru matematika ini jelas sedang menikmati saat duduk santainya di kursi tamu ruang guru ketika aku masuk dan membuat ia berhenti membaca surat-suratnya. Selamat, katanya. Informasi lebih lengkap, nanti ada di Pak Hasyim. Cepat pergi temui dia. *** Pembagian rapor telah dilakukan di semua kelas. Aku tidak langsung pulang. Aku tidak perlu buru-buru melakukannya. Besok pagi aku akan berangkat ke Kabupaten Bima, mengikuti pekan olah raga dan seni seNusa Tenggara Barat. Sebelum pembagian rapor, Pak Uje, guru bahasa Indonesia-ku telah menghubungiku. Ia memintaku menunjukkan beberapa puisi yang kubuat sebagai persiapan menghadapi porseni. Aku berjalan santai menyusuri bagian depan kelaskelas yang sudah kosong. Aku tidak perlu berlari-lari lagi untuk mencapai ruang guru. Kalau mengingat lagi bagaimana aku berlari ke kelas setelah menemui Pak Hasyim, aku menjadi malu juga. Tetapi, aku memang sangat bersuka cita. Tidak setiap hari orang menjadi

Johan M.

140

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

penulis puisi nomor satu dan dipercayakan mewakili kabupaten pada kompetensi tingkat provinsi. Selain karena besok pagi akan melakukan perjalanan panjang menyusuri jalan-jalan yang belum pernah kulewati, aku gembira hari ini karena nilai raporku sedikit meningkat walaupun rangking-ku tetap sama seperti sebelumnya. Selalu Ulum yang menjadi juara kelas. Sekaranglah saatnya aku akhirnya mengaku kalah. Sebelum kelas tiga pun mestinya aku sudah mengaku kalah. Tetapi aku terlalu sombong untuk menyerah dengan mudah. Tiga tahun ajaran dengan tiga kali pembagian rapor pada setiap tahunnya, berarti ada sembilan kesempatan. Kesempatan kelima ada pada saat pembagian rapor kedua di kelas dua. Lima kesempatan itu berlalu dengan Ulum sebagai juara satu. Sepertinya menjadi semakin sulit menjadi juara kelas setelah Laila Hidayati hadir di antara kami. Siswi baru pindahan dari Jakarta itu seperti membuka peluang bagi kompetisi baru di antara aku dan Ulum. Laila gadis yang manis, juga cerdas. Perpaduan yang merupakan potensi alami paling menakutkan untuk dihadapi. Pada hari pertama ia diperkenalkan, aku tidak mengira ia begitu cerdas. Apakah anak-anak Jakarta memang rata-rata secerdas dirinya? Aku makin gelisah setelah melihat bahwa dia tidak hanya cerdas tetapi juga mampu memberikan perhatian yang tidak gampang diabaikan. Siapa yang begitu bodoh membiarkan dirinya bersikap tidak peduli pada sedikit perhatian gadis manis yang mulai menjadi perhatian teman-temanku?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

141

Mungkin cara pandangku salah, tetapi aku merasa gadis-gadis akan selalu tetap lebih menyukai cowok yang paling cerdas. Dan itu berarti bukan diriku. Menyedihkan. Sejarah kekalahanku karena tidak pernah menjadi juara pertama di kelas selama satu kelas dengan Ulum membuatku tidak berani memikirkan kenyataan manis sekecil apa pun yang mungkin dapat kunikmati dalam beberapa kebersamaan dengan Laila. Aku berusaha mengabaikan perhatian Laila. Aku mati-matian menganggap senyumannya, dan segala yang kami lakukan dengan saling meminjami buku, sebagai perhatian yang diberikan pada sosok yang salah, karena Ulum-lah orang yang berhak mendapatkanya dan memang mungkin dimaksudkannya. Ia barangkali memilihku hanya sebagai pelampiasan dari kesadaran untuk tidak membuka persaingan dengan Ria, gadis paling cantik di kelasku, yang setiap minggu, pasti mengatakan tentang betapa ia mengagumi Ulum, tanpa malu-malu. Sekarang Laila juga menjadi juara kedua di kelasku. Nilai kami sama. Aku malu berhadapan dengannya. Sepanjang sisa waktu setelah pebagian rapor tadi, aku berpura-pura menyibukkan diri dengan menggeledah isi tasku, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu karena aku tidak sedang mencari apa pun. Aku melawan diriku dengan meyakinkan diri bahwa bukan Laila gadis yang kuinginkan, dan bukan Laila tempat aku akan menunjukkan kebangganku sebagai penulis puisi. Jika gadis semacam itu ada, dia masih jauh
Johan M.

142

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dari mimpiku, tetapi Selvia sepertinya sudah menunjukkan arah yang harus kutempuh untuk meraih mimpi itu. Aku berharap bisa menjadikannya kenyataan. Siapa pun boleh menggapai impian apa pun, dan untukku, memiliki impian merupakan langkah pertama untuk mewujudkan apa pun yang ingin kugapai itu. Ketika kesempatan menjadi juara kelas tidak kunjung kudapatkan sampai setelah lima kali pembagian rapor, padahal akan ada sembilan kali pembagian rapor selama tiga tahun pelajaran di SLTP, dan ketika aku tidak yakin akan menjadi juara secara berturut-turut pada periode pembagian rapor berikutnya, aku tahu, aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan menjadi pemenang. Setelah pembagian rapor ini, hanya tersisa ujian akhir, yang dapat kujadikan sebagai ajang kompetisi dengan siswa-siswa paling cerdas di sekolah. Aku tidak yakin akan bisa mengulangi pengalaman waktu di sekolah dasar, menjadi juara di kelasku pada ujian akhir, dan hanya puas sebagai peringkat lima besar selama pembagian rapor pada evaluasi-evaluasi sebelumnya yang diselenggarakan oleh sekolah. Pengalaman di SD itu, sepertinya kini terulang lagi. Sulit sekali menjadi juara di tengah-tengah penilaian para guru yang sudah terlanjur menganggap Ulum sebagai sang juara. Nilai raporku selama seluruh kesempatan memperoleh rapor di SLTP, bersumber langsung dari penilaian para guru di sekolahku, sedangkan nilai ujian akhir merupakan nilai hasil evaluasi yang diadakan secara serempak di Indonesia,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

143

tanpa pemberian wewenang pada para guru untuk memberikan perubahan atas dasar apa pun. Nilai yang diperoleh siswa idealnya merupakan hasil evaluasi terhadap aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut dapat dievaluasi dengan mudah oleh para guru di sekolah, dan sulit sekali dirangkum pada ujian akhir yang cenderung hanya menguji kemampuan kognitif. Perbedaan paradigma ini sering memberikan hasil yang berbeda. Belum lagi soalsoal ujian akhir merupakan deretan soal-soal pilihan ganda. Sehingga siswa-siswa yang dianggap oleh guru tidak terlalu menguasai materi ternyata bisa memperoleh nilai yang tinggi, padahal jawabannya terkadang diperoleh dari hasil mengundi kancing baju, atau kebetulan beruntung setelah mencoba menebak-nebak jawaban yang dianggap benar. Perbedaan nilai yang biasa diberikan oleh guru dengan nilai ujian akhir, sering mengagetkan dan memunculkan banyak keberatan. Sehingga tidak sedikit orang yang ingin meniadakan ujian akhir nasional. Aku sendiri ingin agar ujian akhir tetap ada. Selama nilai yang kuperoleh hanya berasal dari guru-guruku, aku tidak akan pernah yakin akan mampu melihat dengan tepat tentang penguasaanku yang sebenarnya terhadap materi matapelajaran tertentu. Siapa tahu, ada pelajaran yang tidak kukuasai, tetapi karena aku sudah dikenal pandai pada beberapa matapelajaran lain, guru pada matapelajaran yang belum kucapai kompetensinya lalu menyesuaikan nilaiku sehingga aku akan terlihat
Johan M.

144

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

lulus dan menguasai kompetensi yang sebenarnya belum kukuasai. Pada jalur formal, hanya ujian akhir nasional yang dapat memberikan peluang bagiku agar bisa mengetahui hasil evaluasi dari pihak yang tidak lagi sama dengan penilai sebelumnya. Aku melangkah lebih lambat lagi begitu akan mencapai pintu masuk ruang guru. Aku tidak mendengar ada senda gurau dari dalam seperti yang sering tedengar bila para guru sedang bertukar kelakar di ruangan tempat meja kerja mereka diatur berderet dan saling berhadapan dengan meja-meja lain yang membelakangi keempat sisi dinding ruangan. Aku berdiri di muka pintu dan segera kecewa karena tidak menemukan orang yang kucari. Aku bahkan tidak menemukan satu guru pun untuk tempat bertanya. Pembagian rapor hari ini pasti sudah selesai. Aku bertanya-tanya, apakah para guru sedang berkumpul di ruangan lain untuk rapat, atau menikmati makan bersama sebelum liburan sekolah? Aku bukan lagi ketua OSIS sekarang, jadi tidak banyak kegiatan sekolah yang aku tahu. Aku tidak yakin semua guru sudah pulang. Kalau memang begitu, aku tidak akan khawatir. Pak Uje bertetangga dengan Pak Hasyim. Aku bisa menemukannya secepat menemukan tempat tinggal Pak Hasyim. Guru bahasa Indonesia itu belum pernah berpesan secara khusus untuk bertemu denganku. Kalau bukan karena inisyatifnya, pasti kepala sekolah yang kali ini telah meminta dia meluangkan waktu untuk membantuku mempersiapkan diri mengikuti porseni.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

145

Aku bisa saja memaklumi mengapa bukan guru kesenian yang pernah mendampingiku pada lomba sebelumnya yang dimintai secara khusus untuk melatih kemampuanku menulis puisi. Masih empat langkah lagi sebelum aku meninggalkan sudut luar ruangan guru ketika Pak Uje tiba-tiba muncul sambil memberikan anggukan padaku. Dia melakukan beberapa kali hisapan cepat pada batang rokoknya sebelum putung yang masih panjang itu dilemparkan dalam keadaan menyala ke dasar parit kecil yang membatasi lantai bersemen di muka teras ruang guru dengan taman bunga di depannya. Sudah lama? Aku mendongak agar bisa memberikan jawaban dengan menatap langsung ke wajahnya. Pak Uje memiliki postur tubuh yang tinggi. Aku sendiri masih pendek. Mungkin tinggi tubuhku masih akan bertambah, dan berdasarkan warisan gen dari orang tuaku, tinggi tubuhku mungkin akan berhenti pada 162 cm. Dengan tinggi tubuh maksimal seperti itu, aku masih harus menatap dengan mengangkat wajahku agar bisa berbicara sambil menatap langsung ke wajahnya. Tidak, Pak. Saya juga baru datang. Kita di dalam saja. Aku mengikuti ajakan itu. Kami berdua berjalan ke ruang guru. Kubiarkan ia masuk lebih dahulu. Aku baru duduk setelah dipersilahkan duduk. Bagaimana keadaanmu. Sehat-sehat? Seperti yang Bapak lihat. Saya sehat.
Johan M.

146

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Bapakmu bagaimana? Entah bagaimana ia tahu bapakku sedang sakit. Pak Uje memang satu desa dengan bapakku, tetapi seingatku, mereka jarang saling mengunjungi. Ada banyak cara bagi seseorang untuk mendapatkan cerita tentang orang yang dikenal, dan sebagai siswanya, aku lebih yakin, ia mengetahui kondisi kesehatan bapakku dari penuturan Ibu Hasniwati, guru bahasa Indonesia-ku dua tahun ajaran berturut-turut di kelas satu dan dua, yang kebetulan juga tetanggaku. Lewat Ibu Hasni, begitu kami sering memanggilnya, guru-guru lain dan juga kepala sekolah, mengetahui masalah kesehatan bapakku. Pernah pada salah satu upacara bendera, kepala sekolah menyinggung tentang penggunaan beasiswa untuk keperluan yang tidak tepat. Dengan eksplisit, dijelaskan bahwa menjadikan beasiswa itu sebagai dana pembelian obat juga termasuk dalam penyalahgunaan beasiswa, karena beasiswa dimaksudkan untuk membantu pendidikan siswa yang berprestasi. Aku tahu, akulah yang dimaksud dalam pesan itu, karena hanya aku penerima beasiswa dengan orang tua yang sedang sakit. Pesan yang sebenarnya bisa disampaikan secara khusus padaku, namun telah dipilih menjadi pesan umum saat upacara bendera, membuatku merasa tidak dihargai oleh sosok dalam barisan orang-orang yang paling kubanggakan. Aku selalu bersemangat mengikuti upacara bendera. Aku sering menawarkan diri menjadi sukarelawan saat kelas-kelas lain tidak sedang memiliki petugas lengkap untuk upacara bendera. Tetapi setelah sindiran itu, aku
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

147

hanya bersedia menjadi petugas saat tiba giliran kelasku yang menjadi petugas upacara. Mungkin tidak banyak orang yang menyadari sindiran itu, tetapi aku malu karena sindiran yang menunjukkan sisi lemahku itu telah dilontarkan pada saat aku tidak memiliki kesempatan untuk membela diri. Masih belum banyak perubahan, tapi sudah bisa berjalan pelan-pelan. Bapakku lumpuh sebagian. Meskipun tubuh bagian kiri yang paling parah, melatih tubuh bagian kanan untuk bergerak secara normal juga bukan main sulitnya. Mula-mula ujung ibu jari tangan dan kaki saja yang bisa digerakkan sebelum jari-jari lain menyusul. Melatih kaki-kaki bapakku agar bisa digunakan lagi untuk berjalan jelas lebih sulit dibandingkan dengan melatih anak-anak yang memiliki kaki-kaki sehat dan tidak sampai mengalami masalah dengan gerakan jarijari tangan serta jari-jari kaki mereka. Aku sering terpaksa berpaling setelah melihat bapakku tersungkur jatuh karena gagal menjaga keseimbangannya. Aku melakukannya untuk menyembunyikan air mataku. Anak kecil dan burung-burung yang baru bersayap tidak akan pernah dilanda keputusasaan untuk belajar berjalan atau terbang karena mereka diperkenalkan pada sesuatu yang belum pernah mereka kuasai. Berbeda dengan orang dewasa dan burung-burung dewasa yang tidak lagi bisa berjalan atau terbang padahal sebelumnya mereka mampu melakukannya. Pasti sangat sedih mendapati kenyataan yang tidak
Johan M.

148

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

diinginkan itu. Pada kondisi seperti yang dialami oleh bapakku, jiwa-jiwa orang dewasa menjadi lebih rawan dengan keputusasaan. Aku bersyukur ia terus bersemangat melatih tangan serta kakinya agar bisa bergerak lebih lancar. Aku bersyukur ia tetap bersemangat mencari berbagai macam cara penyembuhan. Mendatangkan para dukun mungkin telah membuat kami menggadaikan akal sehat kami, tetapi ada hal lain di balik semua itu yang tumbuh subur dan harus menjadi dasar utama bagi siapa pun yang mengharapkan kesembuhanharapan. Aku bisa memaafkan siapa pun yang telah datang mengobati bapakku karena mengaku mampu menyembuhkan tetapi tidak pernah menunjukkan hasil seperti yang dijanjikan. Bagaimana pun, kehadiran mereka, mungkin tanpa mereka sadari, telah mampu terus menyalakan semangat serta keinginan kuat bapakku untuk sembuh. Dan juga mampu menebarkan harapan-harapan tentang hari-hari yang lebih baik yang akan kami hadapi nanti. Mengunjungi dokter praktik, mengikuti terapi di rumah sakit, sampai mendatangkan dukun, semuanya memerlukan uang. Kami bukan orang kaya dan tidak berasal dari keluarga kaya. Sedikit tabungan sisa rehabilitasi rumah dengan cepat telah dihabiskan untuk membayar pengobatan bapakku selama di rumah sakit. Setelah perawatan dilanjutkan di rumah, satu per satu isi rumah kami dijual, pada tetangga, atau pada keluarga yang entah karena terpaksa atau sengaja, telah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

149

mendatangkan mobil pick up untuk mengangkut barangbarang seharga uang yang telah dipinjam oleh ibuku. Kalau bukan karena nasihat nenekku, barangkali orang tuaku sudah menjual rumah yang baru saja direhabilitasi, hanya untuk menutupi biaya pengobatan bapakku. Nenenku tidak pernah jemu mengingatkan agar yang kami jual hanya isi rumah dan bukan rumahnya. Ada banyak orang yang sudah menjual rumahnya, tidak pernah lagi memiliki rumah. Mana puisimu? Suara Pak Uje menyadarkan aku dari dunia lamunanku. Aku menyodorkan buku catatan yang khusus kupergunakan untuk menulis draf puisi-puisiku. Sebelum hari ini, kami sudah pernah membicarakan tentang puisi-puisiku di dalam ruang kelas sesaat sebelum jam pelajaran bahasa Indonesia berakhir. Pada kesempatan itu, dia menjelaskan bahwa puisi itu ditulis dengan bahasa yang singkat dan padat. Untuk bisa memperoleh struktur semacam itu, penulis harus memperhatikan diksi. Sebagai salah satu strateginya, dia menyarankan agar aku menghilangkan kata-kata penghubung dan imbuhan, tetapi kalau terpaksa menggunakannya, usahakan sesedikit mungkin. Aku menunggu Pak Uje selesai membaca puisi-puisi terbaruku. Ketika ia membaca sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi, aku melihat tidak ada wajah gembira di situ. Aku tidak perlu bertanya untuk tahu
Johan M.

150

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bahwa ia jelas belum puas dengan kemajuan yang kuperlihatkan. Dia lalu menanyakan alasanku mempertahankan beberapa larik puisi yang menurut anggapannya sebenarnya akan lebih baik kalau dihilangkan. Buat alurnya agar lebih terarah, sehingga pesannya dapat ditangkap dengan jelas. Mengulangi larik yang sama boleh-boleh saja, tetapi usahakan hanya dilakukan bila benar-benar ingin menegaskan sesuatu dan bukan semata-mata karena menginginkan efek keindahan katakatanya. Ya, Pak. Aku manggut-manggut. Apa yang baru saja ia katakan, tidak pernah dijelaskan di dalam kelas. Offecial-ku juga tidak akan menjelaskan sedetail itu. Aku sudah menemuinya kemarin saat pembagian pakaian tim. Latar belakangnya sebagai guru Matematika tidak memungkinkan offecial-ku memperlajari teori-teori puisi sebanyak yang harus dikuasai oleh guru bahasa. Aku heran mengapa ia menjadi offecial-ku. Entah siapa di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang begitu semberono menunjuk penasihat penulis karya ilmiah sekalian menjadi penasihat penulis puisi. Kamu boleh mempergunakan kata-kata asing atau kata-kata dalam bahasa daerah, atau kata-kata yang sama sekali baru, bila ternyata kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak mencukupi maksud yang kamu inginkan. Ya, Pak. Aku mulai tidak betah dengan sesi ini. Aku memperhatikan Pak Uje mencoret beberapa kata, yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

151

sudah tentu ia anggap memang akan lebih baik bila dihilangkan. *** Tidak banyak pakaian yang aku bawa. Selain baju olah raga yang bertuliskan nama kontingen dan baju batik yang akan digunakan pada hari lomba penulisan puisi, aku hanya membawa dua pakaian ganti. Aku juga membawa keperluan untuk mandi. Aku tidak punya gambaran seperti apa tempat yang nanti akan dituju oleh kontingenku. Aku jarang bepergian. Porseni kali ini, memberikan kesempatan padaku untuk pertama kalinya melakukan perjalanan menelusuri Pulau Sumbawa sampai ke ujungnya yang paling timur. Semangatku kali ini, kuhimpun dari dua keinginan terbesarku di awal masa remajaku, melihat-lihat tempat yang belum pernah kulihat sambil mengikuti lomba penulisan puisi tingkat provinsi. Semua barang bawaanku kujejalkan pada tas kulit imitasi berwarna coklat yang dipinjamkan oleh ibuku dari salah seorang tetangga. Tas pakaian yang kami punya, dengan ukuran yang sedikit lebih kecil dari tas pinjaman itu, dipinjam enam bulan yang lalu oleh salah seorang keluarga yang akan berangkat menjadi TKI ke Malaysia. Kami tidak berharap keluarga itu akan segera mengembalikannya. Dan sekarang, kami sudah menjadi terlalu miskin untuk bisa segera membeli tas baru. Uang tunai tidak lagi mudah diperoleh, bahkan dengan meminjam. Orang-orang sepertinya mulai mengincar kesempatan menjadi pembeli rumah kami.
Johan M.

152

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Apa yang kuhadapi pagi ini telah menghantuiku pikiranku sejak tadi malam. Sebelum terlelap aku sempat merancang beberapa skenario tentang bagaimana aku akan sampai di tempat pemberangkatan. Offecial-ku pada pertemuan terakhir menjelaskan bahwa kami akan berangkat setelah berkumpul di halaman Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Informasi ini merupakan berita baik mengingat tempat tinggalku tidak jauh dari SKB. Aku bisa ke sana hanya dengan berjalan kaki selama lima menit. Udara pagi masih dingin. Sebagian penghuni rumah di sekitar lapangan masih enggan keluar menyambut hari baru yang mungkin tidak dianggap menjanjikan harapan baru. Kami yang tinggal hanya lima sampai sepuluh meter dari dinding terluar lapangan sepak bola, lapangan basket, kolam renang, dan lapangan tennis, sebenarnya merupakan deretan penduduk kota yang beruntung karena kapan pun dapat dengan mudah menggunakan fasilitas olah raga itu untuk meningkatkan kebugaran dan cara-cara hidup sehat. Bagian kota dengan banyak fasilitas olah raga itu, oleh penduduk kota Selong dinamakan PORDA. Kata tersebut tidak jelas merujuk pada akronim yang mana di antara dua akronim yang mungkin, yaitu Pekan Olah Raga Daerah ataukah Pekan Olah Raga Berkuda. Ada banyak orang tua berusia sekitar setengah abad, yang datang mengunjungi PORDA hanya untuk bernostalgia sambil bercerita pada anak-anak yang bermain di lapangan rumput itu, tentang arena pacuan kuda yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

153

pernah ada di situ, yang sekarang hanya digunakan sebagai lapangan sepak bola. Aku tidak mengira bapakku akan ikut mengantarku. Ia memaksa ikut. Aku memang akan melakukan perjalanan jauhku yang pertama, tetapi hari ini, sekarang sudah sekaligus menjadi kesempatan pertama baginya untuk kembali memperlihatkan diri di muka umum setelah sakit dan menderita stroke selama berbulan-bulan. Ibuku menggendong Amri. Adik yang paling kecil itu masih terlelap dalam gendongan. Ia masih memiliki seluruh ketetntraman yang ditawarkan oleh dunia. Dua adikku yang lain tetap tinggal di rumah. Sesekali kami berhenti agar bapakku bisa istirahat mengatur napasnya, juga agar para tetangga bisa datang menghampiri kami dan menyalami bapakku. Penyakit yang diderita telah membuat bapakku menjadi sangat dikenal di sekitar PORDA. Pandangan kagum orangorang semakin terlihat setelah mengetahui bahwa aku, anak pertama dari penderita stroke itu, termasuk dalam kontingen anak-anak muda yang akan mewakili kabupaten kami dalam pekan olah raga dan seni. Seandainya tangan ini sudah bisa diangkat seperti tangan patung itu, kata bapakku. Ucapan itu segera membuatku melihat patung atlet pembawa obor, yang dibuat dari campuran semen pasir, menirukan sikap seorang pelari pembawa obor olimpiade. Letak patung itu tidak jauh dari gerbang utama PORDA. Tatapanku kemudian mengarah pada bus yang diparkir berderet di muka patung atlet pembawa obor.
Johan M.

154

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Seingatku, aku belum pernah melihat kendaraan sebesar itu. Kota kecil kami tidak dilewati oleh rute perjalanan antarprovinsi, sehingga kendaraan sebesar itu tidak bisa sering dilihat melintas. Bapakku pernah menjadi juara lari maraton. Belum pernah ia bercerita tentang impiannya, tapi kukira, prestasi yang pernah ia peroleh pada usia sangat muda itu, pasti pernah membuat ia berpikir untuk menjadi seorang pelari nasional. Dan sekarang, ketika mendapati dirinya lumpuh, bahkan berjalan pun nyaris tidak bisa, bapakku pasti terserang dengan segala macam perasaan tidak berdaya yang siap mengganggu jiwanya. Sebagai putra tertua, dari sedikit hal yang bisa kulakukan saat ini, aku harus terus berusaha menghiburnya. Nanti, kataku, sambil mencoba mengucapkannya dengan sedikit nada riang. Bersyukur saja sudah bisa seperti itu, ibuku mengingatkan. Adikku, yang masih dalam gendongan, bergerak lalu merengek sebentar, seolah dengan cara itu, dia juga ingin mengambil kesempatan berbicara. Pukul 06.00 pagi. Belum terlihat ada kelompok-kelompok peserta porseni yang berkumpul. Tadinya aku mencoba berpikir bahwa hari ini akan menjadi perkecualian dan tidak ada satu orang pun yang datang terlambat, apalagi sampai memperlihatkan keterlambatan separah pagi ini. Aku dan orang tuaku sudah berdiri hampir dua puluh menit ketika gerbang PORDA mulai terlihat ramai oleh anggota kontingen dan orang-orang yang mengantar mereka. Setiap orang terlihat mengambil
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

155

sedikit tempat yang dirasa baik untuk berdiri dan berbicara dengan orang yang akan dilepaskan kepergiannya. Anggukan dan senyum merupakan isyarat yang mudah ditangkap sebagai tanda bahwa setiap orang seperti mengharuskan diri mereka berbicara, dan memaksa orang yang akan pergi mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ritual ini terlihat sempurna sebagai bagian dari kasih sayang keluarga dan orang-orang yang dicintai. Kami tidak pergi untuk bertempur dan mempertaruhkan nyawa. Kalaupun usaha kami nanti memang dapat disebut sebagai perjuangan, pertempurannya masih akan membuat kami punya banyak kesempatan kembali berkumpul dengan keluarga. Tidak akan ada amplop berisi berita kematian bagi keluarga yang akan kami tinggalkan. Kalaupun ada berita duka, berita itu hanya tentang kekalahan yang kami derita. Beritanya tidak akan disampaikan oleh orang lain. Berita paling menyedihkan tentang kekalahan, akan disampaikan sendiri, dengan berbagai alasan yang membuat telinga siapa pun yang mendengarkan akhirnya ikut menganggap bahwa kekalahan yang diderita, masih merupakan kemenangan yang tertunda. Tidak semua official mengenakan seragam ungu mereka. Tidak semua anggota kontingen juga mengenakan seragam biru mereka. Hanya beberapa orang yang barangkali ingin memamerkan peransertanya untuk memperoleh pujian, mengenakan seragam yang
Johan M.

156

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sudah diumumkan agar dipakai nanti pada saat acara pembukaan porseni. Mungkin sudah mau berangkat, kata bapakku. Dia sering dilanda kecemasan yang berlebihan. Kamu di bus yang mana? Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Aku belum tahu. Tidak ada penjelasan pada pertemuan sore kemarin yang sampai pada detail semacam itu. Kuangkat tanganku ketika kulihat ada wajah familier dari beberapa kompetisi pelajar yang pernah kuikuti. Dari pertemuan sore kemarin, aku tahu kalau dia ikut lomba membaca puisi. Entah kapan ada seleksi kabupatennya. Setahuku, lomba yang diseleksi hanya penulisan puisi. Kalau memang pernah ada lomba membaca puisi, Pak Hasyim tidak akan menunjuk orang lain untuk mewakili sekolahku. Aku tidak melemparkan batu ketidakbenaran pada wajah polos yang mungkin hanya menerima tugas dari gurunya dan tidak pernah sampai berpikir bahwa tugas itu seharusnya melewati sebuah seleksi yang adil, sehingga kabupaten kami benar-benar bisa mengutus orang-orang terbaiknya. Pertemuanku dengannya pada beberapa kompetisi pelajar menunjukkan bahwa dia memang termasuk siswa yang cerdas. Penunjukannya kali ini, mungkin tidak langsung terkait dengan kecerdasannya, tetapi juga tidak bisa dibilang sebagai kebetulan atau keberuntungan semata. Dia sekolah di salah satu SLTP yang paling diimpikan oleh siswa-siswa dan orang tua mereka. Melanjutkan ke sekolah yang terkenal bagus memang dapat memberikan banyak keberuntungan,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

157

termasuk kali ini, sebuah tiket gratis mengikuti porseni provinsi tanpa seleksi. Aku berpamitan pada kedua orang tuaku dengan mencium tangan mereka. Segera setelah itu, aku melangkah mendekati bus tempat peserta baca puisi itu berdiri. Kuterima uluran tangannya. Kami berjabatan dengan mantap. Sudah siap? aku bertanya. Dia tersenyum. Kernyitan di dahinya seperti mengisyaratkan bahwa ia perlu waktu untuk mencerna pertanyaanku. Ya, jawabnya. Kalau saja aku mengingat namanya, kekakuan dalam pertemuan ini tidak akan bertahan terlalu lama. Aku berharap dia masih mengingat namaku. Kalau ternyata dia juga tidak mengingat namaku, perkenalan sore kemarin, juga perkenalan-perkenalan sebelumnya kembali akan menjadi perkenalan sambil lalu yang sudah tentu sia-sia. Akhirnya kudengar lagi dia bertanya.Pagi sekali. Ya, kataku. Kau juga! Aku tinggal di dekat sini. Di mana? Gandor. Berarti tempat tinggalnya lebih dekat dengan dinding timur lapangan sepak bola, sementara tempat tinggalku lebih dekat dengan dinding sebelah barat. Kalau jaraknya diukur dari tempat kami berdiri saat ini, aku tinggal lebih dekat.
Johan M.

158

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku lebih dekat, kataku. Dia kembali mengerutkan dahi. Di mana? Di belakang kolam renang itu. Kolam renang dibangun di sebelah barat lapangan sepak bola. Dinding pembatas sebelah timur kolam renang menyatu dengan dinding pembatas bagian barat lapangan sepak bola. Liwaul, katanya. Aku gembira menemukan ia ternyata masih mengingat namaku. Kita naik yang mana? Kalau aku tahu,kataku. Aku sudah ada di dalam salah satunya sejak tadi. Kita tunggu saja dulu, siapa tahu akan ada pengumuman. Kami mengedarkan pandangan ke semua arah sebentar sebelum dia menunjuk wajah lain yang kulihat sore kemarin. Ternyata official-nya sama dengan siswasiswa SMA yang mengikuti lomba teater. Kami berdua ikut masuk ke dalam bus bersama para pemain teater yang tidak pernah tenang karena sebentarsebentar mengeluarkan lelucon yang menggelikan. Bisa memilih tempat duduk mana pun, merupakan keberuntungan menjadi orang-orang pertama yang berhasil masuk ke dalam bus. Aku memilih duduk di belakang sopir, pada deretan ketiga. Setelah meletakkan tasku di bagasi tepat di atas kepalaku, aku segera mencoba tempat dudukku. Selama beberapa detik sebelum aku terganggu oleh peserta lain yang meminta tempat duduk di dekatku, aku takjub oleh jendela bus yang begitu besar dan memberikan kotak pemandangan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

159

yang amat luas. Aku menjadi tidak sabar menanti perjalanan yang sepertinya menjanjikan banyak keajaiban ini. Bus yang kutumpangi merangkak pelan meninggalkan pintu gerbang lapangan setelah peserta lain beserta para official mereka yang tercatat harus naik satu bus denganku dianggap lengkap. Di sudut kaca depan yang besar itu, aku melihat kedua orang tuaku berdiri, menatap dengan wajah sedih. Aku tidak mengira bapakku berani berjalan di tempat yang lebih ramai. Barangkali jika bisa, ia ingin ikut bersamaku, ingin tetap menjaga anak kecilnya, meskipun sekarang lebih mungkin bila akulah yang melakukan tugas itu untuknya. Ada beberapa anggukan yang kulihat dilakukan oleh bapakku. Mungkin sebagai tanggapan atas kata-kata ibuku. Mereka berdua tetap menatap bus yang kutumpangi yang bergerak di hadapan mereka. Dari kaca samping, aku melihat ada lebih banyak lagi orang-orang yang berdiri di atas trotoar di tepi jalan. Mereka menatap dengan alasan masing-masing, alasan yang jelas berbeda, tetapi melahirkan ekspresi duka kehilangan yang sama.

Johan M.

160

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

-5Selvia tidak mau memberikan jawaban yang sama sampai hampir untuk yang keseratus kalinya, tetapi dia tidak punya pilihan selain harus mengulanginya. Belum bisa, katanya. Kalau memang tidak bisa, kita saja yang belajar bersama, kata Salwa. Siapa tahu Liwaul memang tidak mau belajar dengan kita. Dia tidak pernah mengatakan tidak selama aku mengajaknya. Mungkin karena aku ada di antara kalian. Siapa tahu, dia lebih suka belajar hanya denganmu, dan karena kau bilang akan belajar juga denganku, dia lalu berusaha menghindar. Selvia mendesah lelah. Baru kali ini dia merasa kesulitan meyakinkan Salwa. Liwa sedang mengikuti porseni. Mungkin sesudah pulang nanti, kita benar-benar akan mulai belajar bersama. Berapa lama dia porseni? Aku tidak tahu. Hanya sedikit yang kudengar tentang itu.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

161

Dia ikut lomba apa? Yang jelas lomba puisi. Aku tidak tahu, apakah menulis atau membaca, atau keduanya. Oh. Aku sudah bilang, dia pujangga. Oh. Jangan cuma...oh...oh.... Aku tiba-tiba ingat sesuatu. Selvia mengubah cara duduknya. Dia mulai tertarik dengan apa yang pun yang akan diungkapkan oleh Salwa. Temannya yang satu ini, selalu bisa menuturkan pengalaman yang mengesankan. Apa yang kau ingat itu? Kuharap aku boleh tahu. Boleh. Nah, coba ceritakan sekarang, sebelum aku pulang. Tetapi aku tidak yakin. Apanya yang tidak kamu yakini? Kebenarannya. Karena aku baru menduga-duga. Mari kubantu memastikannya. Tunggu sebentar. Salwa lalu menghilang di balik tirai yang menutupi pemandangan ke ruangan lain di dalam rumahnya. Dia kembali beberapa detik kemudian membawa setumpuk album foto. Kurasa ada di salah satu album ini. Jadi apa yang kita cari? Foto. Aku tahu itu. Apa lagi yang mau kita cari di album kalau bukan foto. Maksudku, siapa?
Johan M.

162

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Nah, bertanyalah yang jelas. Apa atau siapa? Baiklah, kata Selvia, menyabarkan dirinya untuk mengakui kekeliruan kecilnya. Sekarang aku sudah meralat pertanyaanku. Siapa? Temanmu. Temanku? Aku punya banyak teman. Mereka semua punya nama. Aku yakin, yang akan kita cari ini juga punya nama. Liwaul. Apa? Selvia memekik tidak percaya. Kau bilang tidak kenal. Kau buat aku melakukan hal memalukan dengan memanggilnya di tepi jalan seperti gadis murahan padahal kau mengenalnya lebih baik dariku. Aku benar-benar tidak mengenalnya! Salwa berusaha membantah tuduhan itu. Lalu mengapa fotonya kau simpan. Bukan aku yang menyimpannya. Lagi pula aku tidak yakin kalau foto yang pernah kulihat itu adalah...oh Tuhan... Mengapa? Selvia hanya memegang album foto paling atas yang tadi diambilnya. Dia sama sekali tidak ikut membantu mencari. Jangan menyebut Tuhan sementara kau sedang membohongiku. Maaf Sel... Salwa membalik-balik album di pangkuannya dengan cepat. Aku semakin yakin kalau yang difoto itu memang dia. Mengapa? Kau banyak bertanya. Dengarkan saja. Baiklah.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

163

Salwa berhenti membalik-balik halaman album foto di pangkuannya. Dia menyingkirkan debu di atas plastik yang melindungi foto itu dengan jari-jari tangan kanannya. Ia melakukannya dengan sapuan lembut. Foto yang sudah bersih itu kini dapat dilihat dengan jelas lalu segera ditunjukkan pada Selvia. Sebuah foto ukuran kartu pos. Selvia menarik album itu lebih dekat ke arahnya. Ada lima anak yang berdiri di atas panggung buatan dari meja-meja belajar yang disatukan merapat kemudian dilapisi karpet. Mereka semua sedang memegang piagam penghargaan dan memperlihatkan senyuman bahagia khas para pemenang lomba. Di latar belakang ada sepanduk yang menerangkan momennya. Empat tahun lalu pernah ada acara untuk siswa-siswa sekolah dasar dalam rangka memeriahkan bulan suci Ramadhan. Mula-mula Selvia mengenali sosok Salwa. Wajah itu tidak berubah banyak selain bertambah cantik setelah sekarang memakai jilbab dan rok panjang. Tepat di sebelah kanan gadis cantik yang mengenakan seragam pramuka itu, Selvia melihat wajah lain yang juga tidak banyak berubah selain bahwa Liwaul sekarang menjadi remaja yang lebih serius dan mulai berjerawat. Salwa melirik temannya. Bukankah itu dia? Selvia menahan napasnya. Bagaimana bisa kau berbohong padaku? Aku tidak berbohong Sel, sungguh! Kalau tadi kau tidak mengatakan dia pergi mengikuti lomba puisi, aku benar-benar tidak akan pernah ingat.
Johan M.

164

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Berarti kau sebenarnya lebih dulu mengenalnya. Mungkin. Apanya yang mungkin. Foto ini Waktu itu kami tidak berkenalan. Maksudku, kami tidak sampai berbicara. Ada ibuku di antara kami. Dan dia hanya berbicara sebentar dengan ibuku di sela-sela waktu menunggu giliran membaca puisi di atas panggung. Tidak banyak yang aku tahu waktu itu untuk diingat sampai saat ini. Aku juga tidak pernah menyangka kalau akan punya alasan untuk kembali bisa bertemu dengannya. Takdir. Apa katamu. Takdir sering membawa kita pada pertemuan tidak terduga, tetapi menyenangkan, dan membuat kita berharap terus menjadikannya sebagai alasan untuk bahagia. Tetapi di lain waktu, takdir juga yang akan membawa kita pada perpisahan yang tidak diharapkan, dan membuat kita terpaksa menderita. Aku tidak ingat pernah berpesan pada Tuhan supaya dilahirkan di tengah-tengah keluargaku saat ini, seperti aku juga tidak pernah ingat pernah berpesan bahwa aku akan sanggup menjalani hidupku tanpa kehadiran ibuku. Aku bahagia berada di dekatnya, dan sekarang terpaksa harus hidup tanpa kasih sayangnya. Salwa diam. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk menghibur Selvia disaat teman karibnya itu mulai mengingat ibunya. Semua penghiburan rasanya pernah ia berikan. Selvia jelas sedang ngelantur. Siapa pun akan merasa bahagia
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

165

menemukan apa yang diinginkannya, dan kecewa jika tidak mendapatkannya. Jadi itu bukan sekadar persoalan takdir. Bahkan peroalan paling remeh pun akan memberikan efek yang sama. Tetapi ada bagian dari ucapan Selvia yang mulai dipikirkannya. Benarkah pertemuan kembali dengan Liwaul belum lama ini merupakan takdir yang akan membawanya pada sesuatu yang dulu sekilas pernah melintas di benaknya? Alangkah manisnya kisah semacam itu. *** Kalau saja bisa menolak, Salwa ingin menolaknya. Tetapi tawaran itu dilakukan di rumahnya, di hadapan orang tuanya, dan oleh instrukturnya yang ternyata tidak pernah bisa digantikan meskipun sudah berkalikali mengadu pada instruktur lain, terutama Laili, instruktur yang paling sering dapat ditemui di tempat kursus. Sore ini, ia kembali harus menghadapi tingkah menjengkelkan Wawan Darmawan. Situasinya membuat dia bahkan tidak dapat mengucapkan satu patah kata pun. Bagaimana mengatakan Tidak, pada seorang instruktur yang sengaja menjemputnya ke rumah hanya karena terlambat sepuluh menit ke tempat kursus. Ia ingin berontak ketika melihat semua omong kosong tentang fasilitas tambahan antar-jemput itu ditelan mentah-mentah oleh orang tuanya.
Johan M.

166

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa terpaksa membiarkan dirinya mengalah. Untuk sementara waktu. Dia tidak mau membuat ketenangan rumahnya menjadi berantakan oleh kehadiran orang yang semakin lama telah membuatnya menjadi bertambah gelisah. Dengan enggan, ia berjalan menghampiri sepeda motor butut itu, lalu membiarkan dirinya duduk menyampingi pundak Wawan. Sudah siap? Salwa tidak memberikan jawaban. Ia merasa sesak menghirup aroma parfum yang terlalu semarak. Pelan-pelan sepeda motor itu bergerak menjauhi tepi jalan di luar tembok halaman rumah Salwa. Sepanjang jalan, Wawan berusaha membangun pembicaraan, tetapi tidak ada satu pun yang memperoleh tanggapan. Seingatnya, tidak ada langkah-langkah yang salah dengan semua sekenario penjemputan ini. Dia bahkan sengaja menghabiskan lebih banyak waktu di kamar mandi untuk bisa meyakinkan dirinya pada kesegaran tubuh yang diperolehnya, terutama pada bagian di sekitar wajahnya. Sore inilah saat ketika ia sangat memerlukan aura ketampanan yang ditunjukkan oleh cermin kecil di kamarnya. Sepeda motor itu menikung ke kiri di perempatan pertama taman kota. Salwa tidak peduli mengapa dia dibawa berputar untuk menempuh perjalanan yang bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah dengan melaju terus ke perempatan berikutnya, lalu bersabar sebentar karena dirintangi oleh satu kali lampu merah. Sepeda motor itu memasuki area hutan kota.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

167

Salwa mulai cemas. Tetapi dia tetap diam. Hutan kota jelas bukan menjadi tempat kursus komputer, dengan teknologi macam apa pun. Pasti ada sesuatu yang lain dari itu. Coba saja lakukan sesuatu yang tidak kusukai, batin Salwa. Dia yakin akan bisa melumpuhkan pria yang lebih besar dari Wawan. Latihan bela dirinya dilakukan secara rutin bersama gadis-gadis yang mendalami ilmu benteng. Yang ia cemaskan ialah kenyataan bahwa instrukturnya akan menjadi lawan sungguhannya yang pertama. Turun, peritah itu terdengar kasar. Salwa menurut. Sebelum hutan kota ini mulai ditanami pohon-pohon tinggi, ia pernah mandi pada salah satu kolam yang tersembunyi di balik semaksemak. Ia merasa lebih mengenal tempat ini daripada pria yang sekarang bertingkah sebagai penyandra. Kau tahu mengapa aku mengajakmu ke tempat ini? Memberikan gelengan pun rasanya malas ia lakukan, tetapi ia harus memberikan jawaban agar bisa melewatkan bagian yang tidak menyenangkan ini. Salwa akhirnya menggeleng. Baiklah gadis bisu. Langsung saja, saya mau, kita berpacaran. *** Salwa tidak bisa menyimpan peristiwa itu terlalu lama untuk dirinya. Dia merasa harus membaginya dengan orang lain. Selvia adalah pilihan pertama dan
Johan M.

168

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

utama. Sambil berjalan di samping Selvia untuk kunjungan pertama ke tepat tinggal Liwaul, Salwa menceritakan bagaimana Wawan menyatakan cinta padanya. Kenapa kau diam saja? Salwa bertanya setelah semua kisah sore itu ia utarakan tanpa menambahkan apa pun. Ia heran karena Selvia tidak menyela sedikit pun. Baru kali ini, teman karibnya menjadi sangat pendiam. Katakanlah sesuatu. Apa yang bisa kukatakan? Entahlah. Seperti yang pernah kukatakan, kau yang menentukan pilihan, karena kau yang mengalaminya, aku hanya bisa memberikan saran. Itu akan membantu. Percayalah. Itulah yang kumaksudkan. Sekarang, apa saranmu? Kau tidak mengatakan keberatan apa pun. Berarti kau tidak menyimak semua ceritanya. Maksudku, tidak seperti waktu kau menceritakan ustadmu. Itu karena dia menyatakan cintanya dengan cara yang berbeda. Salwa lalu berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia memandang jalan yang akan mereka lewati. Kau yakin betul-betul tahu letak rumah Liwaul? Tidak. Ha! Tadi kau bilang tahu. Aku memang tahu. Mengapa menjawab tidak? Karena kau terlalu sering bertanya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

169

Maaf. Selvia kembali diam. Mereka berdua hampir mencapai patung atlet pembawa obor ketika Selvia kembali berbicara. Aku sendiri belum pernah mendapat pernyataan cinta. Kini, giliran Salwa yang diam. Dia tiba-tiba bingung. Apakah Selvia sungguh-sungguh? Entah bagaimana menanggapi kesenduan seorang gadis yang belum pernah menerima ucapan cinta. Bukankah sekarang memang belum waktunya? Kalau saja bisa, ia sendiri ingin terbebas dari semua urusan pernyataan cinta yang sudah terlanjur ini. Alangkah beruntungnya Selvia karena belum sampai berhadapan dengan situasi seperti yang dihadapinya. Berarti kau masih bisa belajar dengan tenang. Tetapi alangkah indahnya mengetahui ada yang menyukai kita dengan cinta, dan bukan dengan rasa suka biasa seperti yang dapat diperoleh dari orang tua, teman, dan saudara. Tunggu saja. Saatnya pasti akan tiba. Semoga. Semoga tidak lama lagi. Apakah itu doa? Tentu saja. Menurutmu apa lagi yang dapat dilakukan oleh orang yang mengharapkan sesuatu selain berdoa dan berdoa? Kau benar. Teruslah berdoa. Langkah pertama, untuk melakukan sesuatu, sebaiknya dengan doa. Mengawali dengan doa akan membuat Tuhan semakin mengasihi kita. Berdoalah, aku juga akan berdoa
Johan M.

170

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

untukmu, semoga kau lekas menemukan cintamu, temanku. Apa aku juga perlu berdoa untukmu? Ya. Tetapi bukankah kau telah menemukan cintamu? Kau benar, aku memang telah menemukannya, tetapi aku masih tetap memerlukan doa-mu, karena aku belum mendapatkan cinta itu. Selvia ingin menanyakan perbedaannya, tetapi ia mengurungkan maksud itu setelah melihat ada pertigaan gang di depannya, yang mungkin dimaksudkan oleh Liwaul waktu menjelaskan tempat tinggalnya pagi tadi. Tunggu sebentar, kata Selvia. Aku perlu bertanya. Hanya satu di antara ibu-ibu yang kebetulan duduk di muka kios kecil itu yang mungkin dapat memberikan petunjuk dengan pasti. Di belakang mereka terdengar pembicaraan yang segera membahas tentang Liwaul dan penyakit bapaknya. Bapaknya sakit. Kau dengar? tanya Salwa. Kita tidak akan mengganggu. Aku sudah memastikannya. Bapaknya seorang guru. Liwaul tidak pernah bersikap ada yang tidak beres dengan situasi rumahnya. Kukira, memang tidak ada masalah. Tenang saja. Penyakit orang tua Lawaul bukan demam biasa. Kalau kau berpikir akan menunggu hingga kesembuhannya, aku tidak yakin kita akan pernah bisa mengunjunginya. ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

171

Tidak ada hal lain yang direncanakan sore ini oleh Liwaul. Tidak banyak yang bisa direncanakan oleh seorang siswa SLTP tahun ketiga selain bersiap-siap mengikuti ujian. Sangat baik karena pagi tadi Selvia kembali menegaskan rencana belajar bersama. Rencana itu sudah lama sekali disepakati, namun baru pagi tadi ada kepastian. Liwaul sengaja mengenakan salah satu pakaian terbaiknya. Ia ingin terlihat rapi dan layak diingat oleh siapa pun yang akan datang bersama Selvia. Entah mengapa, Selvia begitu sengaja membuat dirinya harus memperhatikan penjelasan tentang kedatangannya yang tidak sendirian. Hampir setengah lusin kali Liwaul mondar-mandir ke ruang depan yang pintunya dibiarkan terbuka ketika dia akhirnya mendengar suara salam yang diikuti dengan dorongan pelan pada pintu pagar halaman. Selvia muncul dengan pakaian berwarna ungu sambil memberikan anggukan yang tidak perlu. Perhatian Liwaul sejenak melekat pada sosok lain yang mengenakan jilbab kuning, berdiri ragu-ragu di belakang Selvia, seperti orang yang sengaja ingin menyembunyikan keberadaannya. Gadis yang datang bersama Selvia itu baru benarbenar dapat ia perhatikan setelah mereka bertiga duduk di kursi pojok pada bagian setengah lingkarannya. Selvia memperkenalkan mereka. Liwa, ini Salwa. Dia lalu menoleh pada teman di samping kanannya. Salwa, ini Lawa.
Johan M.

172

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwaul mengulurkan tangannya. Sudah lazim jika perkenalan ditegaskan dengan sebuah jabatan tangan. Ia melakukannya. Tidak ada maksud apa pun, selain melakukannya, tetapi Salwa tidak memberikan balasan yang diharapkan. Gadis berjilbab itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, mengikuti sikap sang Budha, lalu sambil tersenyum ia menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang amat lembut dan nyaris tidak terlihat oleh orang yang tidak sedang terpesona. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selanjutnya selain menarik kembali tangan yang sudah terlanjur diulurkan itu. Salwa belum mendapatkan kiriman modulnya, Selvia menjelaskan. Dia juga ikut Internet Gadjah Mada. Dia mendaftar lewat aku. Liwaul memahami maksudnya. Lebih dari satu tahun yang lalu, Selvia mencarinya ke kelas untuk menunjukkan sebuah leflet yang berisi informasi tentang bimbingan belajar jarak jauh dari Universitas Gadjah Mada, yang berlogo Internet Gadjah Mada, meskipun bimbingannya tidak dilakukan lewat internet dan hanya berupa kiriman modul, yang belakangan diketahui oleh Liwaul merupakan petikan langsung dari buku-buku terbitan yang juga digunakan oleh guru-gurunya. Setelah meminta izin dari orang tuanya, Liwaul mengirim surat permohonan. Lebih dari sebulan kemudian, Dia dan Selvia mendapatkan balasan, diterima sebagai anggota dengan bantuan beasiswa 75% dari jumlah biaya yang seharusnya ditanggung untuk mendapatkan modul-modul itu. Sehingga mereka
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

173

berdua tinggal membayar sisa biaya 25%. Surat yang mereka terima juga dilengkapi dengan leflet serta surat lain lain berisi tawaran beasiswa sejumlah 25% sehingga siapa pun yang berminat dapat langsung mendaftarkan diri tanpa perlu menulis surat dan langsung mendapatkan modul dengan terlebih dahulu menyetorkan tambahan biaya sejumlah 75%. Sebagian dari uang yang dibayar oleh anggota dengan bantuan 25% itu, akan diberikan pada orang yang memberikan leflet kepadanya. Dengan penjelasan Selvia itu, tanpa mengatakannya, ia sedang menerangkan kalau dirinya telah berhasil memperoleh uang belanja dari mengikutsertakan Salwa menjadi anggota Internet Gadjah Mada. Tidak ada yang tidak memerlukan uang, sekecil apa pun uang itu, apalagi disaat uang belanja tidak bisa diperoleh setiap hari. Tetapi selalu salah rasanya memperoleh uang dari saku teman, dengan alasan apa pun uang itu didapatkan. Itulah sebanya Liwaul lebih memilih menyimpan semua leflet yang berisi bantuan 25% persen itu. Ia juga masih heran, mengapa dia dan Selvia diharuskan melampirkan fotokopi rapor sebagai salah satu persyaratan, tetapi orang-orang lain yang mendapatkan tawaran lewat leflet lampiran itu tidak diberi syarat yang sama. Liwaul memandang modul-modul yang sudah ia siapkan di atas meja. Kita bisa pakai modul-ku dulu sementara menunggu modul yang akan dikirimkan itu.

Johan M.

174

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Ia melirik kedua tangan Selvia ternyata tidak memegang apa pun selain buku tulis. Rupanya Selvia memahami maksud pandangan itu. Aku tidak membawanya, kupikir cukup kita gunakan modulmu saja. Tentu. Kita mau belajar apa sekarang? *** Pertemuan sore itu, bukan pertemuan yang pertama, tetapi rasanya seperti pertemuan pertama, karena itulah kontak pertama mereka dengan tatapan dan ucapan, yang telah berhasil dilakukan oleh Liwaul dalam jarak yang sangat dekat dengan Salwa. Gadis berjilbab itu mulai memberikan banyak impian mengikuti setiap detik waktu yang berlalu. Keterpesonaannya pada Salwa, melahirkan ribuan rencana, yang membuat rencana-rencana yang tergolong besar seperti tidak mungkin terjadi, atau bahkan terlalu sulit untuk diwujudkan. Tetapi Liwaul terkejut mendapati dirinya tiba-tiba telah sampai pada akhir cerita dari harapan terindahnya. Dia membayangkan sebuah penyatuan yang manis, yang akan melahirkan kehidupan manis lainnya, termasuk menyambut kehadiran seorang bocah lucu yang merupakan buah cintanya. Alangkah indahnya kenyataan mendengarkan tangis dari kehidupan baru yang telah ditunggu sejak malam pengantin. Alangkah indahnya memperoleh kesempatan memberikan sebuah nama pada seorang gadis kecil yang akan melengkapi kebahagiaan hidup mereka berdua. Seorang gadis kecil, mengapa seorang gadis? Dia tidak mengerti, mengapa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

175

seorang gadis kecil yang terbayang. Jika orang tua lain mendambakan seorang jagoan, ia berbeda, karena lebih merindukan seorang gadis kecil untuk dilindungi, dimanjakan, dan dibahagiakan. Liwaul yakin bahwa Tuhan memperkenalkan wanita-wanita dalam hidupnya hanya untuk membuat dirinya mencintai mereka. Takdir dan doa diharapkan dapat membantu untuk menemukan dan memilih yang terbaik di antara mereka untuk bisa dijadikan sebagai pendamping hidupnya, kelak, ketika saat untuk berbahagia bersama akhirnya tiba. Meskipun penyatuan dua jiwa dan raga dimaksudkan untuk senantiasa bersama dalam suka dan duka, ia merasa lebih bertanggung jawab sebagai suami dengan hanya memberikan kebahagiaan pada istrinya. Masa-masa pubernya yang konyol dulu dimulai dengan ketertarikan pada Ria, kemudian Marlina, Hartati, dan terakhir Laela. Tetapi keempat gadis itu hanya memberi Liwaul alasan untuk menunjukkan perhatian sampai batas ketika ia merasa ada sesuatu yang tidak membuatnya nyaman pada gadis-gadis itu. Setelah Salwa muncul, menyerap seluruh ketakjubannya, dunia seperti mulai terisi dengan dongeng-dongeng indah yang menyiapkan petualangan nyata. Dan tentang kenyataan, tidak ada kehidupan yang lebih nyata dari apa yang dapat ia temukan di sekolah. Tidak ada uang belanja yang dapat dihamburkan pada setiap jam istirahat seperti teman-temannya. Waktu
Johan M.

176

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

memanjakan pikiran selama lima belas menit itu dia pergunakan dengan tetap berada di dalam kelas, berdiri di muka jendela, sambil memandang iri pada remajaremaja lain yang bisa menikmati kegembiraan mereka tanpa selubung duka apa pun pada tawa dan gerakan riang mereka yang saling berkejaran di halaman sekolah. Liwa tidak mau menganggap dirinya tidak bahagia. Dia bahagia, hanya saja, caranya tidak seperti yang dapat ditangkap oleh banyak orang sebagai bentuk dari kebahagiaan. Bel berbunyi. Saat-saat melamun habis sudah. Dia kembali ke bangkunya, di deretan paling depan, tepat di muka papan tulis. Hartati masuk dengan wajah riang. Gadis montok berambut sebatas bahu itu melintas tepat di depannya. Lorong sempit di tengah-tengah dua deret meja itu selalu dilewati Hartati setiap kali akan kembali ke mejanya, di bagian belakang, paling dekat dengan dinding tempat sejumlah kertas karton bertulis daftar nama siswa ditempel dengan perekat. Paku payung kecil tidak pernah mampu menembus dinding yang dilapisi semen itu. Liwaul mengikuti gadis itu ke bangkunya dengan tatapan setelah bahu kanannya tadi ditepuk dengan lembut. Liwaul pernah duduk di belakang ketika wali kelas menginginkan ada pertukaran tempat duduk. Kalau saja ia merasa tidak terganggu karena tidak pernah bisa konsentrasi belajar seperti ketika ia duduk di deretan paling depan, dia mungkin akan tetap duduk di
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

177

belakang seperti yang diinginkan wali kelasnya, karena di belakang, ada banyak pengalaman manis yang bisa dirasakan saat berada tidak jauh dari Hartati. Teman-teman lain mulai menyusul. Tidak ada yang berebut masuk melewati pintu seperti saat keluar. Ria muncul di antara mereka yang bercerita dengan ceria sambil menikmati kudapan yang dibeli di kantin sekolah. Ria sendiri berjalan menunduk dengan salah satu tangan dipenuhi segenggam jajan. Keputusannya tidak lagi memakai kacamata telah membuatnya terlihat berjalan dengan sangat hati-hati dan sering harus berhenti untuk memberikan kesempatan pada orang lain untuk berjalan mendahuluinya. Rambutnya yang panjang sebatas siku dan hitam kemilau merupakan daya tariknya yang utama dan pertama-tama pernah membuatku amat terpikat. Laela muncul paling akhir, nyaris bersamaan dengan siswa-siswa lain yang berebut masuk karena ada guru yang lewat di depan kelas kami. Dia melewati lorong sempit yang sama dengan Hartati. Belakangan ini, Laela lebih dekat dengannya, ketimbang gadis-gadis lain yang satu kelas dengannya. Mungkin karena gadis pindahan itu sekarang duduk tepat di belakangnya. Senyuman Laela mengembang dengan semakin sedikitnya jarak di antara bangku Liwaul dengan perjalanan yang akan dia tempuh ke bangkunya sendiri. Suasana kelas segera menjadi gaduh setelah siswasiswa yang paling malas memasuki ruangan akhinya
Johan M.

178

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

terpaksa masuk. Tanpa melihat pun, Liwaul sudah bisa menduga penyebabnya. Semua informasi dalam bisikan yang keluar begitu saja dari mereka yang menyukai saatsaat mempermainkan guru piket, segera meyakinkan Liwaul bahwa dugaannya tidak meleset. Guru piket memang sedang berdiri di muka ruang guru dan sengaja melakukannya untuk memberikan peringatan jarak jauh agar bangku-bangku panjang di depan setiap kelas segera dikosongkan. Dua puluh menit pertama berlalu tanpa kehadiran guru yang ditunggu-tunggu. Liwaul kemudian bangkit dan menggeser bangkunya. Beberapa protes yang biasa terdengar kembali menambah riuh suasana, persis seperti sering terjadi sebelumnya bila dia terlihat akan keluar untuk pergi ke ruang guru dan mencari informasi. Liwaul ketua kelasnya. Sudah tugasnya untuk memastikan supaya teman-teman di kelasnya dapat melakukan sesuatu yang lebih berguna dari sekadar bermain kemudian membuat kegaduhan dan berbicangbincang tanpa arah. Teriakan gembira terdengar hampir dari semua bangku ketika Liwaul kembali hanya membawa buku paket untuk dicatat serta sedikit informasi tentang guru matapelajaran yang tidak bisa mengisi jam mengajar. Kali ini, guru mereka sedang ada di luar sekolah mengikuti kegiatan Pemantapan Kerja Guru. Temantemannya diberi dua pilihan, mencatat dari apa yang akan ia diktekan, atau mencatat dari apa yang akan dia tulis di papan tulis. Teman-temannya memilih didiktekan. Dia sendiri senang dengan pilihan itu. GaraJohan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

179

gara sering menulis di papan, dia terpaksa harus menulis kembali semua catatan itu di rumah dengan meminjam buku paket guru atau meminjam catatan temantemannya. Akhir-akhir ini, buku cacatan Laela yang paling sering dipinjam. Belum sapai satu paragraf mendikte, temantemannya di bangku belakang sudah berteriak-teriak. Mereka mengeluh. Suara sang ketua kelas dianggap tidak terdengar jelas sampai di bangku belakang. Keluhan yang berlebihan itu membuat terjadi keributan sesaat di antara mereka yang setuju dan tidak dengan keluhan itu. Keributan tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Sebelum guru-guru di kelas lain datang menegur menengok kelas mereka lalu memberikan teguran, Liwaul memutuskan untuk mengalah mencatat di papan tulis. Seseorang kemudian menawarkan diri menggantikannya sebelum menyelesaikan paragraf kedua. Sambil kembali duduk di bangkunya, Liwaul melihat teman-temannya yang dari tadi cuma mengeluh ternyata masih belum menulis juga, sementara mereka yang sejak tadi diam, sekarang tetap diam dan tentu saja sibuk mencatat. Liwaul. Panggilan itu membuatnya menoleh ke belakang. Laela memberikan gulungan kertas kecil. Liwaul membukanya. Isinya hanya tulisan satu kata, sebuah namaRudi. Nama itu pernah ia dengar disebut-sebut pada satu kesempatan di akhir jam praktek olah raga. Waktu itu Laela terlihat mengatakannya seolah nama itu
Johan M.

180

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

merupakan sebuah kenangan. Liwaul tidak mau direpotkan untuk memikirkan implikasi apa pun. Yang akan dilakukannya sekarang adalah mengikuti permainan yang ditawarkan. Setelah menuliskan sesuatu di halaman yang masih kosong pada gulungan kertas itu, dia lalu mengembalikannya. Gulungan kertas berikutnya diambil setelah Laela mencolek bahuku. Ternyata dia memperoleh gulungan kecil yang baru. Di dalamnya ada tulisancoba tebak! Hei, tiba-tiba gadis yang duduk di samping Laela mengemukakan keberatannya. Kalau kau tidak benarbenar suka, jangan tunjukkan rasa sukamu, jangan juga sebut-sebut nama lain. Kasihan Liwa. Liwa menanggapi keberatan itu dengan menoleh sebentar untuk melihat keseriusan orang yang melontarkan teguran tersebut, sambil melihat sekilas ke arah tumpukan kertas kecil yang sudah disiapkan oleh Laela untuk membuat gulungan-gulungan berikutnya. Protes itu mendadak membuat permainan berakhir. Apa pun maksud Laela melakukannya, Liwaul sekarang sebenarnya sudah tidak lagi peduli. Dampak permainan ini akan sangat berbeda jika Selvia belum memperkenalkannya dengan Salwa. Diam-diam, dia malah senang memikirkan kemungkinan Laela sudah punya pacar. Dengan begitu, dia punya alasan untuk lebih mengabaikannya, karena sekarang, gadis mana pun di sekolahnya, tidak akan pernah lagi bisa menyamai Salwa, gadis yang setelah menemukannya, semakin lama membuat Liwa merasa sudah berada di tepi impian terindahnya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

181

*** Akhir April, Salwa mengunjungi BASTA COM sepulang sekolah. Dia bersyukur karena bisa menemui Laili. Ia tidak berharap akan bertemu dengan Wawan karena isntruktur yang semakin sering datang ke rumahnya itu sering sekali membuat urusan yang sederhana menjadi rumit. Salwa memberitahukan ketidakhadirannya selama dua minggu berikutnya karena harus mempersiapkan diri mengikuti EBTA dan EBTANAS. Laili memaklumi alasan itu dan berjanji akan mengatur ulang jadwal kursusnya. Bagaimana dengan nati sore? tanya Laili. Ia melihat Salwa punya jadwal kursus pukul 16.00. Batalkan. Itu sebabnya saya datang sekarang. Nanti sore sudah tidak bisa. Mengapa? Salwa tidak mau mengarang jawaban. Wawan pasti akan datang sore nanti dan akan terkejut dengan ketidakhadirannya. Laili harus punya jawaban untuk menghindari kata mungkin yang biasanya tidak memberikan keyakinan. Belajar bersama dengan temanteman. Oh. Oke. Selamat ya. Semoga, kalian semua, yang rajin-rajin belajar bisa lulus dengan nilai memuaskan. Amin. Terima kasih untuk doanya. Salwa lalu bangkit dan ia nyaris bisa segera menghilang ketika Laili tiba-tiba bertanya Ada pesan? Pesan?
Johan M.

182

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Ya. Untuk Wawan. Aku datang untuk menghindari kesempatan bertemu dengannya. Mengapa harus ada pesan? Tidak ada. Atau salam, mungkin? Salwa menggeleng. Apa yang pernah dikatakan Wawan pada Laili, sampai ia harus menerima pertanyaan-pertanyaan aneh semacam itu. Dia bergidik ngeri. Jangan sampai Wawan telah mengiklankan apa yang sedang berusaha ia sembunyikan rapat-rapat. *** Mereka bertiga nyaris diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing kalau saja Selvia tidak memecahkan kesunyian dengan keluhan menyedihkan. Seharusnya prediksi soal-soal ini datang lebih cepat. Aku tidak akan bisa menguasainya secepat ini. Tidak ada yang memberikan komentar. Bukankah isinya, serta soal-soal prediksinya sama persis dengan buku yang kau beli itu, Liwa? Ya. Aku terpaksa membeli buku kumpulan soalsoal EBTANAS karena aku tidak terlalu berharap betulbetul akan ada kiriman dari Gadjah Mada. Untunglah kau tidak sampai membeli. Untung di uangnya, tetapi kalah di penguasaan soal-soalnya. Apa kita akan terus memperdebatkan keterlambatan pengiriman bukunya? Tidak, jawab Liwa dan Selvia. Nyaris serempak. Sore ini, mereka merencanakan untuk membahas dua matapelajaran. Selama dua puluh menit berikutnya, ketiganya menulis jawaban pada selembar kertas, sambil
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

183

sesekali saling mengamati. Selvia tidak mau terlihat kesulitan menjawab soal-soal yang setelah pemeriksaan silang nanti biasanya memberi ia kesempatan menjadi pemeroleh nilai terbanyak di antara mereka bertiga. Sesekali Salwa melihat ke arah Liwa. Mereka berdua duduk berhadapan dan hanya dihalangi oleh meja kaca selebar setengah meter. Selvia duduk di antara mereka dengan konsentrasi penuh memanfaatkan waktu dua puluh menitnya untuk menjawab soal-soal. Selvia nampak sangat ingin tetap menjadi peraih angka tertinggi seperti dua pertemuan sebelumnya. Biasanya Salwa yang selalu memperoleh lebih banyak poin jawaban benar. Liwa sendiri hanya bisa menjadi yang kedua, itu pun pada soal-soal bahasa Indonesia. Liwa paling sering menjadi yang ketiga karena memperoleh jumlah jawaban benar paling sedikit. Selvia tidak memahami mengapa siswa yang dianggap berprestasi itu ternyata tidak menunjukkan kejutankejutan yang ia harapkan. Satu-satunya yang mengagumkan, di antara mereka bertiga, Liwa memang yang paling bisa menjelaskan jawaban soal-soal yang dikuasainya. Ketika tatapannya tertangkap oleh tatapan balasan dari Liwa, yang belakangan ia tahu memang biasa menatap ke depan saat memikirkan jawaban, Salwa segera menunduk sambil membiarkan senyuman bahagianya terlihat. Ia tidak bisa menahan senyumannya setiap kali menyadari ada tatapan yang agak lama dari Liwa. Apalagi jika tatapan mereka sedang bertemu.
Johan M.

184

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Seperti ada sesuatu yang menyejukkan, mencoba menerobos pelan sampai berhasil masuk ke dalam kalbunya, setiap kali ritual berbalas senyum dan tatapan itu terulang. Setelah lima kali pertemuan, lima kali kesempatan belajar bersama, ingin rasanya ia tetap berada pada waktu seperti ini. Keresahannya belakangan ini, selain karena campur tangan Wawan yang semakin banyak dalam kehidupan pribadinya dan karena diawasi terus oleh bapak dan ibunya dalam mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir, ia diresahkan oleh kenyataan bahwa pertemuan-pertemuan sore yang selalu ditunggutunggu nampaknya segera akan menjadi masa lalu. Salwa terkadang menjadi sering sekali berduka sendiri karena terlalu larut melamunkan kemungkinan yang tidak diinginkan itu. Aku sudah selesai, kata Selvia. Dia segera menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat kedua orang rekannya. Kalian bagaimana? Empat soal lagi, jawab Salwa. Orang ketiga, juga ikut memberikan jawaban. Sama. *** Hampir tiga tahun penuh diperlukan untuk menunggu tibanya hari ini. Salwa berdiri di muka jendela, mengamati Liwa yang sedang berjalan pelan di samping bapaknya. Ia sendiri masih menunggu ibunya yang seharusnya sudah pulang dari tempat mengajar sejak setengah jam yang lalu. Hari ini pengumuman kelulusan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

185

Tadinya ia ingin segera sampai di sekolah untuk ikut bergabung dengan teman-temannya. Tetapi ia tidak menyesal. Keterlambatan ibunya tidak sengaja telah memberinya kesempatan untuk melihat Liwaul melintas di tepi jalan di depan rumahnya. Ia gembira. Rasanya ingin melompat-lompat. Minggu pertama bulan Juni telah datang memberikan jawaban pertama atas kerinduannya karena satu bulan tidak pernah melihat dambaan hatinya. Satu bulan yang berat itu, segera akan berlalu, digantikan oleh hari-hari lain yang jika memenuhi harapan mereka bertiga, pasti akan lebih semarak dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang masih bisa dihitung dengan jari dan membuat ia merasa baru sekadar mencicipi pengalaman indah yang sudah pasti menjadi miliknya. Alangkah baiknya Tuhan padaku, batinnya. Semoga Tuhan lekas menggantikan waktu satu bulan itu dengan banyak pertemuan lain, dengan banyak kesempatan lainnya untuk membebaskan diri dari perasaan kangen yang kian menyelimuti kalbu. Ibunya datang hampir setengah jam kemudian dengan senyum ceria. Kamu lulus. Informasi berikutnya yang mengikuti dua kata tersebut yang membuat Salwa membelalakkan mata. Dengan nilai tertinggi di sekolah. Tanpa penjelasan terakhir itu, Salwa bisa saja mengira ibunya sedang menggoda dengan mengarang informasi dari prediksinya sendiri. Sekarang, meskipun tidak mengakatakannya, ibunya baru saja menjelaskan
Johan M.

186

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kalau dia sudah pergi sendirian ke sekolah dan beinisyatif mengambil pengumuman yang rencananya akan diambil bersama-sama. Mengapa kita tidak jadi pergi bersama-sama? Ibu tadi pergi dengan teman mengajar yang kebetulan juga punya undangan ke sana. Mumpung ada kendaraan. Tadi juga ibu diantar pulang. Tidak ada cara untuk mendebat ibu-ibu yang mengatakan mumpung. Salwa segera ambruk dengan menghenyakkan tubuhnya ke kursi ruang tamu. Saya mau ke sekolah, Bu, katanya. Dia ingin sekali ke sekolah hari ini untuk ikut mengambil keputusan mengani bentuk acara perpisahan mereka. Saya harus ke sekolah. Untuk apa?Dengan tetap berdiri, ia menggeledah lagi tasnya, dan segera menarik amplop berukuran kecil berwarna putih dengan stempel sekolah di luarnya. Ini, katanya. Salwa menerima amplop itu. Ada selembar kertas di dalamnya. Di atas kertas itu, tertulis dua frasa lulus/tidak lulus. Frasa tidak lulus dicoret. Dan frasa yang satunya lagi dibiarkan tertulis mulus dan memberikan berita gembira. Satu lagi, kata ibunya. Ada titipan dari temanmu. Salwa menerima sesuatu mirip surat undangan. Setelah menggenggamnya ia baru yakin bahwa titipan itu memang surat undangan. Surat itu dilapisi kertas plastik bening. Salwa melihat namanya ada pada kertas putih yang menempel di
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

187

bagian bawah pada kolom alamat yang dituju. Di bagian tengah dari kertas yang terlipat sederhana itu, ia melihat inisial dua huruf Palace Script MT yang membentuk M&H dengan ukuran font 72 dalam tulisan berwarna perak yang membuat mata terasa perih saat membacanya. Salwa sedang membuka perekat kertas plastik yang membungkus surat undangan itu ketika telepon rumahnya berdering. Dia mendengar kata, Ada...di depan...sebentar ya... dari dalam rumah. Salwa terkejut setelah membaca nama kedua pengantin dalam surat undangan itu. Colbiana meneleon, kata ibunya. Salwa segera berlari meraih gagang telepon. Hei...apa benar Selamat ya. Kamu berhasil menjadi peraih nilai tertinggi di antara kita semua. Salwa segera melupakan pertanyaan pertamanya. Berapa? Empat puluh dua, koma empat puluh lima. Ratarata delapan koma. Nilaimu? Di bawah empat puluh. Bagus kan? Tidak sebagus nilaimu. Setelah berhenti sejenak, Colbiana lalu bertanya. Kau sudah menerima surat undangan yang kutitipkan?

Johan M.

188

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Oh, jadi dari kamu. Aku sudah menduga. Siapa lagi yang sangat dekat dengannya dan dipercaya jadi penyebar surat undangan. Mengapa Ustad Muksin Aku sendiri sudah mencurigainya sejak lama. Hanya saja, aku terlalu percaya pada alasannya waktu mengelak dari tuduhan. Tetapi kukira, pilihan itu, terkait erat denganmu. He...jangan sembarangan. Jaga pikiranmu. Sudah terlambat untuk bergosip. Memangnya mengapa dia mencantumkan nama istrinya dengan inisial H, padahal itu adalah kata kedua dari nama istrinya, juga bukan merupakan nama panggilannya. Dia terlalu ingin meletakkan huruf H di samping huruf M yang didambakannya. Mestinya memang E. Yeah, E untuk Erni. Dan H untuk Hirmayanti. Jadi, tepatnya, apa yang keliru yang tiba-tiba menjadi bahan perdebatan kita? Oh, Tuhan. Jangan berpura-pura kau tidak mendengar penjelasanku sejak tadi, dan jangan berpurapura tidak mengerti. Huruf H pada surat undangan itu, bahkan akan menyesatkan sahabat-sahabat istrinya. Namun risiko itu tetap diambil. Ustad kita yang tampan itu, pasti telah bersusah payah membujuk istrinya dengan berbagai alasan agar inisial di surat undangan itu tetap memakai huruf H seperti yang dia inginkan, karena jauh di dalam pikirannya, dia membayangkan huruf itu mewakili kata Hidayati. Namamu. Nama kesayangannya padamu, seperti yang pernah dia katakan padaku. Lalu?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

189

Kau harus menghadiri resepsinya. Nanti kutemani kalau kau malu datang sendirian. Baiklah. Nanti kupikirkan. Tidak semua siswa menerima surat undangan. Aku sendiri hanya diundang dengan ucapan. Kalau surat itu tidak dititipkan padaku, barangkali aku juga tidak akan diundang. Penjelasanmu membuatku takut. Salwa meletakkan gagang telepon dengan jantung berdebar kencang. Ia menekan dadanya dengan kedua tangannya. Gemuruh jantungnya seperti sulit diredakan. Ada apa? Pertanyaan itu membuat Salwa merasa seperti tersengat. Suara ibunya tiba-tiba terdengar laksana suara hakim yang akan menjatuhkan hukuman atas kesalahan yang sudah sangat jelas. Pada detik ia berbalik untuk memberikan jawaban, Salwa mendengar namanya dipanggil setelah ucapan salam yang riang dari Selvia. Ia meninggalkan meja telepon, lalu berjalan cepat ke ruang depan. Salwa mensyukuri kehadiran Selvia yang tanpa sengaja telah membebaskannya dari keharusan menjawab pertanyaan yang lebih suka ia hindari. Aku lulus, kata Selvia. Kau juga pasti lulus. Berapa nilaimu? Kau berapa? Jawab dulu pertanyaanku. Kamu duluan. Baiklah. Tiga puluh dua, koma 27. Sama, kata Salwa.
Johan M.

190

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Selvia terlihat makin ceria. Mempelajari buku yang sama dan belajar kelompok dengan cara yang sama. Wajarlah, kalau nilainya juga bisa sama. Nilainya termasuk yang paling rendah di sekolah. Tapi tidak mengapa, pikirnya, apalagi jika nilai Salwa juga ternyata sama dengan nilainya. Dengan begitu, ada banyak alasan yang bisa digunakan untuk meyakinkan orang tuanya bahwa nilai yang diperolehnya adalah nilai terbaik yang bisa didapatkan oleh siswa-siswa di sekitar lingkungan rumah mereka. Tidak ada yang mau pusing-pusing mengaitkan kesamaan prestasi dengan lingkungan tempat tinggal, kecuali bahwa alasan itu yang terdengar paling masuk akal bagi seorang siswa yang ingin melihat orang lain menghargai sesuatu yang sudah diperjuangkannya dengan susah payah. Tepatnya berapa? Empat puluh dua. Kau bilang sama? Angka terakhirnya. Sialan! Berarti aku yang paling sedikit. Masa? Di antara kita bertiga. Kau lupa dengan kompetisi kita? Oh. Siapa yang bisa melupakan sesuatu yang ada kaitannya dengan Liwa? Nilainya Liwa berapa? Empat puluh satu koma sekian. Aku tidak ingat. Hampir sama dengan nilaimu. Salwa berusaha menyembunyikan senyumannya. Liwaul yang biasa jadi nomor tiga saat mereka sedang menguji kemampuan menjawab soal-soal pada setiap
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

191

pertemuan belajar kelompok, ternyata diam-diam hanya menyimpan kecerdasannya. Alangkah senangnya bisa menjadi pacar orang yang rendah hati begitu. Terus, kau jadi kan melanjutkan ke SMA 1? Selvia menjawab dengan suara lemah. Aku akan mencoba mendaftar. Liwa mendaftar ke mana? Salwa mengajukan pertanyaan itu nyaris sebelum Selvia menyelesaikan jawaban pendeknya. Jelas, ke SMA 1, seperti rencana yang sudah dia beritahukan pada kita. Senyuman di bibir Salwa makin mengembang. Kau ke mana? Salwa tidak langsung menjawab. Ia memilih katakatanya. Aku ingin satu sekolah lagi denganmu. *** Wawan mengemukakan semua harapannya. Termasuk apa yang ia inginkan di balik keberatannya yang terakhir. Lain kali, kalau ada undangan lagi, jangan lupa memberitahu. Untuk apa? tanya Salwa. Ia mulai kesal dengan sikap Wawan yang mulai mendikte apa yang boleh ia lakukan. Orang tuaku saja tidak sedetail ini menggambarkan larangannya, batinnya. Surat undangan itu untuk saya. Bukan untuk Kak Wawan. Dasar anak kecil. Kamu tidak paham ya? Ya, saya tidak paham. Dan tentang apa yang Kakak sebutkan itu, saya tidak mau paham.
Johan M.

192

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Surat undangan untukmu, otomatis juga menjadi surat undangan untuk saya. Begitu juga sebaliknya. Maaf ya. Saya tidak mau begitu. Karena kamu pacar saya, kamu harus mau. Siapa yang pacaran? tanya Salwa. Kita. Mata Salwa terbelalak. Sejak kapan? *** Seragam SMA itu baru dikenakan selama satu minggu. Warna putih-abu, sekarang menggantikan putih-biru, yang sebelumnya menggantikan putihmerah. Hanya seragam pramuka yang warnanya sama sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dari semua warna pakaian seragam sekolah itu, baru celana warna abu yang dijahit sebagai celana panjang. Bagi para siswi, pengalaman baru mereka terbatas hanya pada perbedaan warna, dan sedikit pada bentuk belahan rok pendeknya. Jika dulu belahannya ada dua di bagian depan paha, sekarang belahannya hanya satu, tepat di tengah-tengah di antara dua paha. Bagi siswi yang berjilbab, perubahannya lebih sedikit lagi, karena tidak ada berubah selain warna roknya. Hari-hari yang penuh dengan penjejalan materi tentang wawasan nusantara dan wiyata mandala, akhirnya ditutup dengan sebuah upacara bendera dengan petugas yang merupakan tim gabungan siswasiswa baru dari enam kelas yang ada. Mereka yang dipercaya mewakili kelasnya merupakan siswa-siswa yang dianggap memiliki kemampuan baris-berbaris terbaik.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

193

Sepuluh siswa yang dianggap memperoleh nilai paling baik selama mengikuti masa orientasi siswa baru, diminta maju ke tengah lapangan, di antara pembina upacara dan keenam regu yang merupakan barisan siswa-siswa baru. Mereka menerima piagam penghargaan dan sebuah pidato penuh pujian dari wakil kepala sekolah urusan kesiswaan. Meskipun menjadi terbaik kesepuluh, Salwa tetap akan mengingat betapa sepsialnya piagam yang diterima oleh Liwa, dan ia ingin bertanya tentang rahasia kesuksesan kecil itu nanti, karena Liwa satu-satunya penerima piagam yang bukan merupakan siswa kelas unggulan. Sembilan penerima piagam lainnya merupakan teman-teman sekelas Salwa. Pada saat pengumuman pembagian kelas, Salwa merasa bangga karena terpilih menjadi bagian siswa kelas unggulan, tetapi beberapa menit kemudian ia menyesal karena melihat Liwa ada di barisan lain. Bahkan berdekatan kelas pun tidak, padahal dia ingin satu kelas dengan Liwa. Salwa kelas 1-1 dan Liwa kelas 1-6. Sudah terbayang sejak siang itu bahwa ruang kelas mereka tidak akan pernah berdekatan. Kepastian dugaan itu sudah bisa dilihat pagi tadi. Kelas Salwa ada di depan ruang guru, nyaris merupakan bangunan paling utara, sedangkan kelas Liwa ada di ruang keterampilan, di sudut yang sama dengan musala, yang merupakan bangunan paling selatan di sekolah. Salwa tidak tahu dari mana Liwa akan pulang. Selain lorong lebar di antara bangunan yang menjadi ruang
Johan M.

194

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

konseling dan ruang kepala sekolah, ada pintu pagar kecil di belakang ruang guru, yang dapat diterobos oleh siswa-siswa yang ingin cepat sampai ke tempat parkir depan. Pilihan lainnya bisa dilakukan dengan berjalan melewati bagian belakang Laboratorium Biologi yang membelakangi lapangan basket dan tempat parkir samping. Sambil memeluk bukunya, dia memutuskan akan menunggu di sudut luar ruangan kepala sekolah. Tempat itu merupakan pertemuan tiga arus siswa yang keluar menuju pintu gerbang sekolah. Salwa lalu berjalan cepat. Begitu sampai di tempat yang dituju, ia langsung berdiri di tempat yang lebih sejuk sambil berusaha menemukan sosok yang dicarinya. *** Liwa berjalan lambat-lambat di depan ruang kelas unggulan. Dia kecewa mendapati kelas itu ternyata sudah kosong. Sambil mengedarkan pandangannya ke semua tempat untuk menemukan sosok Salwa, dia melayani sapaan teman-teman barunya yang berjalan di sekitarnya. Dia mengerutkan dahi ketika salah seorang di dekatnya mengatakan, Sepertinya ada yang menunggumu. Perlu beberapa detik untuk memahami ucapan yang merupakan penjelasan itu. Salwa berjalan menghampirinya dengan serangkaian senyum yang sangat mempesona. Mau pulang naik bemo? tanya Salwa.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

195

Liwa menggeleng. Tidak ada uang di sakunya. Ia tidak pernah meminta uang saku. Tidak diberikan bukan berarti ada yang melupakan hal itu, tetapi memang ia tidak dijatahkan uang saku oleh orang tuanya. Jalan kaki saja, jawabnya. Sama, kata Salwa. Mau jalan bersama-sama? Liwaul tidak percaya dengan kemunculan pertanyaan itu. Ia ingin menjawab dengan kata-kata yang lebih baik, tetapi yang kemudian terucap hanya, Tentu saja. Mereka berjalan pelan di antara arus siswa yang saling mendahului. Kakak-kakak kelas sepertinya menjadi pemenang di antara mereka yang sedang berebut kesempatan menjadi orang yang mula-mula berhasil keluar dari pintu gerbang sekolah. Sepanjang perjalanan yang tidak memberikan banyak keleluasaan itu, Liwa tidak mengucapkan apa pun lagi selain jawaban atas pertanyaan Salwa. Dia sibuk memastikan bahwa dirinya tetap berada di dekat Salwa. Bahkan di tempat yang banyak memperlihatkan gadisgadis cantik ini, kecantikan Salwa tetap menjadi yang paling pantas memperoleh pujian. Mungkin menunggu tujuh belas tahun baru menyatakan cinta bukan lagi pemikiran yang bijaksana mengingat kakak-kakak kelasnya bisa menjadi pemangsa-pemangsa potensial. Belum lagi tujuh belas tahun itu berarti menunggu sampai kelas dua nanti. Masih lebih dari satu tahun lagi. Akan sangat baik jika pernyataan rasa suka itu dikemukakan sekarang,
Johan M.

196

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

secepatnya, sebelum Salwa mengenal sosok lain yang mungkin lebih istimewa dan lebih menawan dari orang yang pernah diakuinya sebagai cowok pertama yang belajar bersamanya. Dia sudah lama memikirkan kemungkinan ini, dan hari ini, melihat sikap Salwa, melihat serigala-serigala pemangsa itu, ia ingin cepatcepat membebaskan diri dari keramaian dan menantikan saat berjalan berduaan. Lurus? tanya Salwa. Liwa sempat terkejut mendengar pertanyaan itu. Lamunanya sejenak membuat separuh dirinya tidak sedang bersamanya. Mereka sebentar lagi harus memilih untuk berjalan terus menelusuri tepi jalan utama yang beraspal lebar, ataukah menempuh jalan lain yang lebih kecil, dan melewati bagian luar dinding kuburan umum. Bagaimana kalau belok saja? Salwa memberikan jawaban dengan anggukan. Kau pernah bertemu Selvia? tanya Salwa. Terakhir kali waktu pengumuman. Bagaimana kabarnya? Tadinya aku mau bertanya padamu. Aku juga bertemu terakhir kali waktu hari pengumuman. Aneh. Kalian kan bertetangga? Bukannnya kalian yang satu sekolah? Pernah satu sekolah. Sekarang tidak lagi. Yang jelas dia masih tetanggamu. Kau sungguh-sungguh belum pernah bertemu dengannya? Ya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

197

Apa rencana terakhirnya? tanya Liwa. Dia tidak ada kan di antara siswa-siswa baru SMA 1? Seingatku, dulu dia ingin sekali masuk SMA 1. Dia juga bilang begitu waktu terakhir kali kutemui. Berapa nilai paling rendah yang diterima kemarin? Salwa menggeleng. Oh, iya. Bagaimana caranya kau bisa menjadi sepuluh besar? Sembilan orang lainya kan anak-anak unggulan. Luar biasa. Liwa merasa malu dengan sanjungan yang berlebihan itu. Seingatnya, tidak ada yang luar biasa selain bahwa ia aktif bertanya dan berdiskusi di dalam kelas. Mungkin karena aktif di dalam kelas. Aku ingin seperti itu. Kau lebih baik dariku. Kau jelas lebih bisa, hanya saja, guru-guru kita belum berkesempatan melihatnya. Akan tiba waktunya nanti untuk membuktikan apakah sepuluh orang yang sudah maju mendapatkan penghargaan itu dapat terus berprestasi ataukah tidak. Ya. Kau betul. Beberapa detik kemudian, Salwa berseru. Itu Selvia. Mana? tanya Liwaul sambil melihat ke arah yang ditunjukkan oleh gadis di sampingnya. Masa, itu Selvia. Ya. Itu memang dia. Ke mana jilbabnya?

Johan M.

198

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa menggeleng. Mereka berdua tahu Selvia selama ini berjilbab, bukan saja di sekolah, tetapi di rumah, bahkan di saat mereka belajar bersama. Pertanyaan itu dilontarkan spontan oleh Liwa karena melihat Selvia berdiri di tepi jalan mengenakan seragam putih-abu dengan rok pendek sebatas lutut. Coba tanya dia. Biasanya orang berubah dari tidak mengenakan jilbab menjadi gadis berjilbab. Mungkinkah karena dia sedang prahara cinta? Apa dia tidak pernah menceritakan sesuatu? Setahuku dia belum pernah berpacaran. Bagaimana kau bisa yakin? Apa yang harus diyakini? tanya Selvia. Liwaul terkejut mengetahui pertanyaannya didengar. Liwaul mengira kau membuka jilbab karena sedang patah hati. Salwa menjelaskan. Ia lalu berkata. Aku bilang tidak. Pasti bukan itu yang menjadi alasannya. Betul kau bertanya begitu, Liwa? Aku tidak melihat ada alasan lain. Liwaul membela diri. Kalau tidak segera terpesona oleh senyuman Salwa, dia mungkin akan menyalahkan keterusterangan yang mulai membuat suasana menjadi tidak nyaman ini. Aku bukan gadis seperti Salwa. Apa maksudnya? tanya Salwa. Memang berbeda kan? ia bertanya pada Salwa dengan mimik menggoda. Kau tahu Liwa, teman kita ini, sudah punya pacar.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

199

Salwa menyerang Selvia dengan cubitan, remasan, dan pukulan. Selvia tertawa-tawa seolah tidak menyadari ada yang berubah di sekitarnya. Liwaul berusaha menyatu dengan suasana itu. Dia mencoba tersenyum. Dia mencoba terlihat sama gembiranya, meskipun di kelopak matanya mengalir bibit tangis. Bangunan di sekitarnya seperti runtuh. Pohon-pohon di kiri-kanan jalan seperti serentak roboh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan angin berhenti berhembus. Kedua kakinya menjadi kaku dan mulutnya terkunci rapat. Ada keheningan yang mengosongkan jiwanya, menyapu bersih seluruh angan-angan manis serta rahasia hatinya. Salwa, apa ia benar? Liwa menuntut kepastian. Cinta bukan soal gurauan. Inilah sedikit di antara waktu ketika sebuah keseriusan harus segera dibangun. Salwa tidak langsung memberikan jawaban. Liwaul menangkap ada kegusaran. Entah apa yang membuat Salwa tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan senyuman di bibirnya. Ada keragu-raguan yang membayangi setiap gerak-geriknya. Dia seperti ingin sekali mengelak dari situasi ini. Akhirnya Salwa mengangguk pelan. Bagi Liwaul itu sudah merupakan semua jawaban. Tepat di persimpangan jalan, ketika Liwaul harus berbelok ke kiri dan Salwa berbelok ke kanan, pada jarak tubuh yang sangat dekat sehingga memperlihatkan
Johan M.

200

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

keengganan keduanya untuk berpisah, Salwa memberikan tambahan jawaban yang tidak disangkasangka. Tetapi, sebenarnya, ada orang lain yang lebih kuharapkan.

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

201

-6
Sumiarni tidak memiliki kata kedua pada namanya. Kenyataan ini telah membuatnya merasa lebih miskin dari teman-temannya yang bahkan memiliki tiga sampai empat kata pada nama lengkap mereka. Ketika ia dipanggil dengan Sumi saja oleh teman-teman dan keluarganya, ia menjadi semakin menyesali nasibnya. Hidupnya bersama ibu dan adik-adiknya, yang dilewatkan di rumah mungil sederhana peninggalan almarhum ayahnya, telah menempanya menjadi gadis muda yang tidak bisa memperoleh semua keinginannya dengan mudah. Selain berjualan sayur-sayuran dengan sebuah meja kayu reot di teras depan rumah yang merapat dengan gang kecil, ibunya menambah penghasilan dengan mengambil upah mencuci pakaian tetangga.
Johan M.

202

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kalau saja setiap orang boleh mengubah namanya dengan nama lain yang lebih bagus dan terdiri atas dua kata, dia mau melakukannya. Bila perlu, ia akan bekerja sebagai tukang cuci selama satu tahun untuk membiayainya. Ia tidak mau berjualan sayuran. Siapa yang betah duduk di muka meja reot memandangi setumpuk sayuran yang tidak bisa dimakan langsung sementara menunggu. Untuk kedua kalinya, setelah dulu berhasil menjadi siswa SMP paling favorit di Selong, sekarang ia dapat membuktikan pada tetangga bahwa gadis miskin seperti dirinya dapat diterima menjadi siswa SMA paling favorit di Selong. Hanya orang Lombok Timur yang memahami bagaimana sukarnya bisa masuk ke SMA 1 Selong. Tetangganya, bersama anak gadis mereka yang cuma diterima di SMA 2 dan SMA 3 pasti merasa iri. Sekolah Menengah Atas 1 Selong, tidak hanya favorit, tetapi merupakan SMA yang lokasinya terletak paling dekat dengan bagian mana pun dari kota Selong. Dua SMA lainnya terletak nyaris di perbatasan kota. Mungkin seharusnya dia memilih SMK, seperti saran salah seorang tetangga. Siswa SMA diberi pelajaran sebagai persiapan ke perguruan tinggi, sedangkan siswa SMK dapat belajar dengan kurikulum yang dipersiapkan untuk melatih mereka menjadi tenaga siap pakai. Jauh di bagian tertentu dari angan-angannya, dia punya impian melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dia membenci tetangga itu, segera setelah memberikan saran yang dianggapnya telah merendahkan kemampuannya. Ia paham dengan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

203

perbedaan kedua jenis sekolah pada jenjang yang sama itu, tetapi ia tetap memilih SMA. Sekolah Menengah Kejuruan tidak memberikan kepopuleran yang dia dambakan. Pasti sepanjang waktu ia akan mengurung diri karena akan selalu mengakui pada tetangga kalau siswa SMP paling favorit ternyata melanjutkan ke SMK, sekolah menengah yang tidak terdengar akan menjadi sekolah lanjutan teman-teman sekelasnya. Sudah hampir satu tahun dia menjadi siswa SMA paling favorit. Dia memilih mengikuti kegiatan ektrakurikuler yang paling banyak peminatnya. Dia rajin datang sore hari sekali dalam satu minggu dan tidak pernah tidak mengikuti semua kegiatan kemah pramuka. Kegiatan di pramuka seharusnya membuat dia punya banyak teman, tetapi tidak begitu kenyataannya. Dia hanya dapat mengetahui bahwa ada beberapa orang yang mengenalnya, tetapi tidak menunjukkan minat untuk akrab dengannya. Perlakuan tidak adil ini harus dihentikan, batinnya. Dia memikirkan berbagai cara yang mungkin dapat ditempuh untuk mulai membuat dirinya layak menjadi bagian dari teman-temannya. Ekstrakurikuler ternyata tidak mempan. Sumiarni berdiri di muka cermin. Dia melihat dirinya, sejujur yang dapat diperlihatkan oleh sebuah cermin. Mula-mula ia mengamati wajahnya. Bentuk yang nyaris sama bulat dengan lingkaran bola itu, dilengkapi bibir, hidung, dan dua mata di antara pipipipi yang terlalu gemuk. Lehernya pendek. Seluruh
Johan M.

204

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

badannya bahkan termasuk pendek dibandingkan dengan kebanyakan gadis lain di kotanya. Tinggi badan cuma 145cm dengan berat melewati angka 58 kg. Dia takut melihat dirinya telanjang. Semua bencana itu dilengkapi dengan kulit yang tidak sehat dan gelap. Tidak ada satu pun dari dirinya yang layak disebut istimewa. Mungkin diperlukan satu kali kehidupan lagi untuk membuat dirinya tidak terlihat seperti apa yang dapat diamatinya di muka cermin. Dia ingin dilahirkan dari orang tua yang cantik dan tampan serta kaya. Tanpa saudara. Menjadi anak tunggal pasti lebih menyenangkan. Sayangnya, semua itu harus puas diterima sebagai bagian dari lamunan dan angan-angan. Strategi terakhir yang dapat dipikirkannya untuk bisa membuat dirinya dilihat ialah dengan lebih sering bersama Salwa, gadis yang satu SMA dengannya, dan tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sementara ini, dia hanya pernah satu atau dua kali berjalan pulang dengan gadis berjilbab yang cantik itu. Ia tidak melupakan saat tatapan mata orang-orang di tepi jalan yang mereka lewati melihat lebih lama, bahkan sebenarnya agak terlalu lama. *** Salwa sudah tidak lagi ikut kursus komputer sekarang. Dia merasa lega telah menyelesaikannya. Pikiran bahwa cara itu pelan-pelan juga dapat menjauhkan dirinya dari Wawan kemudian ternyata hanya harapan. Karena tidak bisa menemui Salwa di tempat kursus, mantan instrukturnya itu sekarang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

205

menjadi lebih sering datang ke rumah. Orang tua Salwa nyaris harus menemaninya di ruang tamu setiap sore, melayani obrolan yang tidak menarik mengenai topiktopik sensitif sekitar pertikaian dua orang putri tuan guru pendiri NW, karena Salwa sendiri tidak pernah mau menjumpai Wawan. Ketika orang tuanya akhirnya mengeluhkan hal itu, Salwa mencoba menjelaskan bahwa dia dan Wawan tidak punya hubungan apa-apa, apalagi seistimewa yang mereka bayangkan. Ketika Wawan sepertinya mulai menyadari ketidapedulian itu, ia lalu menunggu Salwa di pintu gerbang sekolah. Untunglah penjemputan itu dilakukan sore hari, sepulang mengikuti jam tambahan khusus bagi siswa-siswa kelas unggulan. Jadi Salwa tidak perlu merisaukan kemungkinan terlihat oleh Liwa. Dia segera naik ke sepeda motor itu dan berharap segera berlalu dari hadapan teman-teman kelas unggulannya yang memandang dengan tatapan penuh tanda tanya. Seperti apa pun pandangan teman-temannya, ia tidak peduli, hanya Liwa, dia hanya ingin selamat dari tatapan Liwa. Wawan tidak menunggu hingga mereka berdua sampai di rumah Salwa. Dia langsung mengutarakan keinginannya, seperti biasa, dengan cara yang membuat dirinya terlihat sebagai orang yang harus diikuti dan tidak berminat terhadap bantahan. Kamu tidak mau lagi ditemui, ya? Salwa diam. Dia mengutuk mengapa pertanyaan itu muncul sebelum mereka menempuh separuh perjalanan
Johan M.

206

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pulang. Ketidaknyamanan tenyata selalu datang lebih cepat setiap kali Wawan hadir dalam hidupnya. Jawab Salwa! Salwa tetap diam. Mengapa kamu tidak penah bisa ditemui? Tidak ada jawaban. Apa kamu mengira saya tidak jenuh karena terusmenerus berbicara dengan bapakmu selama dua jam? Siapa suruh berlama-lama? Salwa mulai memberikan tanggapan. Meskipun hanya dengan pertanyaan. Siapa yang suruh datang? Saya melakukannya karena saya menunggumu. Saya tidak pernah minta ditunggu. Betul. Tapi coba ingat lagi. Kita ini berpacaran. Saya mau menemuimu karena saya sayang padamu. Apa kamu tidak mengerti kalau semua itu karena saya cinta padamu. Apa kamu tidak punya perasaan semacam itu? Tentu saja saya punya perasaan cinta. Lalu ke mana perasaan itu? Mengapa saya merasa tidak pernah menemukannya ada padamu? Bodoh...bodoh...bodoh...tentu saja kau tidak menemukannya orang sok tahu, batin Salwa. Karena aku telah memilih satu orang saja untuk menemukannya. Kok diam? Salwa tidak tahu bagaimana menanggapinya. Kalau saja tidak takut akan dipelet, dia mungkin sudah mengungkapkan penolakannya pada semua kata-kata dan perlakuan Wawan. Sepeda motor itu berhenti di luar pintu pagar halaman. Saya mau meminta sesuatu? Boleh.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

207

Wawan tersenyum. Inilah yang dia inginkan. Selama ini Salwa belum pernah meminta sesuatu. Mungkin setelah memberikan apa yang dia inginkan, mereka dapat benar-benar menjadi sepasang kekasih. Dengan tidak sabar, Wawan mendesak agar Salwa segera mengatakan apa saja yang dia inginkan. Mintalah apa pun, saya akan memberikannya. Janji? Janji. Untuk pertama kalinya Salwa tersenyum bersahabat. Wawan nyaris mabuk melihatnya. Jangan pernah lagi menjemput saya di sekolah. Permintaan macam apa itu? Wawan terpaksa menunduk, mengingat janjinya. Ia mencari cara untuk berkelit. Baiklah. Saya tidak akan menjemputmu lagi. Saya bejanji. Terima kasih, kata Salwa. Ia baru baru akan bergerak untuk segera masuk ketika Wawan menahannya. Sebentar. Ada apa? Hanya itukah permintaanmu? Salwa mengangguk. Cuma itu. Kalau begitu, saya juga mau kau berjanji untuk memenuhi satu permintaan saja. Apa? Janji dulu, kau akan menepatinya. Sebutkan dulu permintaannya.
Johan M.

208

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kenapa tadi saya tidak diberi kesempatan mendengarkan dulu permintaanmu sebelum berjanji? Salwa menggeleng. Baiklah, Wawan akhirnya mengalah. Kalau saya tidak boleh lagi menjemputmu. Saya meminta diberi kesempatan mengantarmu. Salwa menggeleng. Mengantar dan menjemput, harus sudah dianggap sebagai satu paket peraturan. Kak Wawan sudah berjanji untuk tidak melakukan salah satunya, berarti sama saja dengan berjanji tidak melakukan kedua-duanya. Panggilan Kak Wawan itu sebenarnya bukan permintaan Wawan. Ia lebih suka dipanggil Kak Wan. Hanya saja Salwa sedang tidak ingin memenuhi keinginan orang yang selalu ingin dipenuhi keinginannya. Tidak bisa begitu. Wawan mendadak panik. Tujuan akhir dari apa yang ia lakukan sore ini dengan menjemput Salwa ialah mengenalkan dirinya sebagai kekasih Salwa pada teman-temannya agar tidak ada satu pun siswa SMA 1 Selong yang masih ingusan itu mencoba-coba berpikir mendekati Salwa. Wawan segera menyusul Salwa ke dalam rumah ketika melihat gadis itu berlari meninggalkannya. Pak, tolong temani, Kak Wan, pinta Salwa pada bapaknya, yang sejak tadi membenamkan dirinya di dalam bentangan surat kabar. Wawan kemudian menikmati nasibnya, menghabiskan waktu dengan duduk di dekat pintu. Dia sudah terlanjur membiarkan kaki kanannya melangkah melewati pintu. Jadi, setelah menambahkan ucapan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

209

salam, ia mengambil tempat duduk, lalu diam dalam kemarahan yang berusaha dipendam. *** Salwa meletakkan bukunya. Dia berlari ke meja telepon setelah mendengar teriakan adiknya. Dari siapa? Biasa, kata adiknya. Oh, Tuhan. Rupanya malam hari pun gangguan itu tidak sirna, seolah esok hari tidak pernah lagi ada kesempatan untuk melakukannya. Sudah bilang Kak Salwa tidak ada. Adiknya menggeleng. Sudah terlanjur bilang ada. Salwa mencubit lengan yang masih mungil itu. Hallo. Asalamualaikum. Salwa mendengar salamnya dijawab. Salwa, saya minta maaf. Maaf untuk apa? Peristiwa sore tadi. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada yang salah. Syukurlah kalau begitu. Saya mau meminta sesuatu. Boleh? Kalau saya bisa memenuhinya. Pasti bisa, terdengar suara yang lebih riang sekarang. Kamu mau ikut ekskul pramuka? Pramuka? Ya. Kamu cuma ikut remaja musala. Tambahan satu ekskul lagi saya kira tidak akan mengganggu jadwal belajarmu.
Johan M.

210

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Nanti saya pikirkan. Berikan jawabannya sekarang. Sikap penguasa itu lagi. Mengapa harus begitu? Kalau kamu mau ikut ekskul pramuka, saya akan menambahkan janji saya, tidak hanya tidak lagi menjemputmu, tapi juga tidak lagi sering datang ke rumahmu. Setuju. *** Sumiarni mendekati gadis berjilbab yang cantik itu. Dia melihat ada banyak anggota pramuka yang secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, menawarkan diri menjadi anggota kelompok Salwa dalam sebuah sekenario permainan. Dia ingin tahu bagaimana rasanya berada di antara banyak pria tampan. Meskipun cara yang akan ia lakukan ini sangat licik, bahkan bagi penilaiannya sendiri, ia tetap melakukannya. Dia tahu, Salwa termasuk sedikit di antara gadis cantik yang mau bergaul dengan siapa saja yang memang ingin dekat dengannya. Ia sendiri tidak yakin, akan bisa seramah itu bila memiliki separuh saja dari kecantikan Salwa. Aku ingin bergabung denganmu, boleh? Bukan aku yang akan memutuskan. Salwa lalu memandang anggota kelompoknya. Empat orang lakilaki. Hanya dia perempuan. Anggukan keempat orang itu membuat kelompoknya memiliki anggota terbanyak. Mereka berenam melatih keterampilan membuat tenda dengan cepat dari lima tongkat bambu yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

211

disatukan dengan berbagai macam simpul seperti yang baru saja dicontohkan. Latihan itu selesai menjelang pukul 18.00 dan diakhiri dengan menyanyikan lagu-lagu pramuka dalam sebuah lingkaran sambil setiap anggota saling berpegangan tangan. Siswa di sebelah Salwa segera menarik tangannya ketika melihat gadis berjilbab itu menahan kedua tangannya di depan dada. Ia berharap tidak ada orang lain yang memperhatikan tindakan yang nyaris memalukan itu. Sudah sejak minggu yang lalu dia mengatur siasat agar bisa berada di dekat Salwa. Ia ingin memperoleh kesempatan pertama untuk menggenggam tangan yang ia yakin belum pernah disentuh oleh tangan mana pun selain oleh muhrimnya. Karena tidak mau mengulang peristiwa tadi, dia berpura-pura melambai-lambaikan tangannya di sekitar paha, berharap Salwa merespon dengan menyambar tangan itu ketika semua anggota pramuka akhirnya diharuskan bergenggaman tangan sebagai simbol penyatuan perasaan senasip dan seperjuangan. Siswa yang merasa beruntung dengan posisinya itu, nyaris merasa diseterum ketika akhirnya ada tangan lembut yang menahan tangannya. Ia takut menoleh ke kanan. Ia takut menghadapi keberuntungan besar ini, sampai ia sadar, tangan yang digenggamya atau yang sedang menggenggamnya sepertinya terlalu gemuk dan berjari-jari lebih pendek dari yang ia kira. Ia terpaksa
Johan M.

212

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

menoleh, karena hanya begitu cara memperoleh jawaban. Ternyata malapetaka. Ia tidak mengenal siapa mahluk gemuk pendek yang telah berdiri menjadi penghalang antara dirinya dan Salwa. Sumiarni menampakkan seringaian penuh kepuasan. Kalau tidak berada di dekat Salwa, ia mungkin masih perlu menunggu lebih lama lagi, atau mungkin tidak akan pernah sama sekali bisa menikmati sensasi seperti sore ini, berpegangan tangan dengan salah seorang cowok yang luar biasa tampan. *** Apa istilah yang dapat diberikan pada gadis yang menolak kebaikan orang yang mengaguminya? Sombong, bodoh, ataukah sombong sekaligus bodoh? Sumiarni melihat peristiwa di depannya itu dengan napas tertahan sambil terus menggelengankan kepala. Kurang sepuluh langkah di depannya, dia melihat gerakan penolakan yang dilaukan oleh Salwa. Gadis cantik itu nampaknya sedang menolak ajakan salah seorang kakak pembina pramuka untuk memboncengnya. Kalau saja tidak mengenal Salwa, Sumiarni pasti dengan senang hati menyebut gadis itu sombong dan bodoh. Apa susahnya menerima tawaran diantar pulang? Selain lebih cepat sampai, juga bisa lebih dekat dengan si kakak pembina pramuka. Dua keberuntungan sekaligus. Gadis yang menolak pastilah memang sedang gila,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

213

meskipun di saat lain dia mungkin gadis yang paling waras. Dahi Sumiarni berkerut begitu mendapati dirinya ditunjuk-tunjuk. Ya, Tuhan, apa salahku, batinnya. Salwa melirik ke arahnya berkali-kali sambil menunjuk. Dia melangkah semakin pelan begitu mendekati Salwa dan si kakak pembina pramuka. Sumi, tunggu," pinta Salwa. "Kak Wawan tidak percaya kalau kau tinggal tidak jauh dari rumahku. Betul kan? Ya, Sumiarni tidak memahami mengapa pertanyaan itu muncul dan dia harus dihadirkan untuk memberikan persetujuan pada jawaban Salwa. Dengan kebimbangan antara meneruskan langkahnya atau berhenti, dan bercampur dengan kecemasan lain yang tidak terbayangkan, dia memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang membuat kehadirannya lebih dirasakan. Mengapa? Ada apa dengan tempat tinggalku? Tidak ada. Hanya ingin tahu, jawab Wawan. Ayo, pulang, ajak Salwa. Apa tadi dia menawarkan untuk mengantarmu? tanya Sumiarni sambil melihat kakak pembina itu menyalib sebuah bemo kota sebelum hilang di kejauhan. Ya. Kau menolak? Kalau menerima tawaran itu, kau akan berjalan sendirian sekarang. Betulkah itu alasannya?
Johan M.

214

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Ya. Terima kasih. Kau baik sekali. *** Sumiarni datang mencari Salwa ke kelasnya. Jam istirahat siang itu, tidak memberikan perbedaan apa pun pada hari yang ia anggap menjemukan. Apa kau selalu di dalam kelas waktu jam istirahat? Salwa menggeleng. Tidak. Kebetulan saja aku sedang tidak berminat keluar. Kau sendiri sedang mencari apa ke sini? Kelas Sumiarni ada di belakang. Tepat di belakang kelas unggulan. Entah bagaimana nasib bisa membawanya menjadi bagian dari siswa-siswa yang ditempatkan di ruang-ruang kelas belakang, seolah di dalam sebuah sekolah pun, dia termasuk bagian dari orang-orang yang layak menjadi simbol kemiskinan dunia. Betul. Kelasku memang ada di belakang. Dia ingat, di salah satu sudut taman di belakang, ada kolam bunga teratai dengan tempat duduk di tengah-tengahnya. Tempat itu sangat indah, dan jelas romantis bagi sepasang kekasih. Aku lagi bosan dengan teman lama. Pengakuan itu terdengar seperti kebohongan yang berlebihan, terutama bagi dirinya sendiri. Dia memang hampir tidak mempunyai teman, dalam pengertian, tidak ada yang mau berlama-lama diajak berbicara. Itulah sebanya dia terpaksa harus mencari teman di kelas lain. Kebetulan yang sangat baik untuk membangun pengakuan atas dirinya karena bisa berada di sekitar kelas unggulan dan berbicara dengan siswa kelas
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

215

unggulan. Dia akan bersyukur atas semua pikiran sesat yang akan menyangka dirinya termasuk siswa unggulan. Kau suka puisi? Suka. Apa yang membuatmu menanyakan hal itu? Aku memang sudah menduga, kau pasti suka puisi. Apalagi alasannya kalau bukan karena kalian asyik bisa mendiskusikan puisi pada setiap kesempatan bertemu dan berjalan bersama. Maksudnya? Setelah upacara bendera kemarin aku baru memahami alasanmu. Maksudnya? Mula-mula kupikir kau tipe wanita cantik yang nakal, menyukai lebih dari satu orang. Maksudnya? Kak Wan sudah menjelaskan padaku. Oh, kau sudah berbicara dengannya. Coba ceritakan, apa yang dikatakannya padamu. Dia memintaku menjagamu. Seperti yang kulakukan saat ini. Aku sedang melaksanakan janjiku. Hanya itu? Sumiarni memegang bahu Salwa. Tidak. Dia juga menjelaskan padaku kalau kalian sebenarnya sudah lama berpacaran. Hanya itu? Sumiarni merasa jengkel dan jenuh mendengar pertanyaan yang diulang-ulang dan persis sama. Masih banyak lagi. Tapi intinya adalah yang sudah kusebutkan tadi. Aku sungguh tidak menyangka. Kau beruntung
Johan M.

216

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa, dapat pacar kakak pembina pramuka dan mahasiswa lagi. Di mana kaitannya dengan puisi? Seingatku Kak Wan tidak pernah menyebutkan tentang puisi. Dia jelas tidak suka puisi. Oh, puisi itu hal lain. Puisi itu hanya dugaaku sebelum memahami semua situasinya. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Aku pusing mendengarmu berbicara berbelit-belit. Sumiarni tersenyum dengan mimik penuh kompromi. Kau sering kulihat berjalan waktu pulang sekolah dengan orang yang kemarin diminta maju menerima piala lomba penulisan puisi. Siapa namanya? Kau belum mengenalnya? Aku beruntung bisa berkenalan denganmu. Siswa serius sepertinya pasti sulit didekati. Kau salah. Dia menyenangkan. Siapa namanya orang yang menyenangkan itu? Liwa. Liwa? Ya. Liwaul Hamdi. Kedengarannya kau sangat mengenalnya. Apa dia sudah punya pacar? Setahuku belum. Apa kau mau menjadi pacarnya? Sumiarni tidak menduga akan muncul pertanyaan semacam itu. Dia kaget. Itulah sebabnya, secara sepontan dia menjawab, Tidak. Jawaban itu bahkan diutarakan agak terlalu cepat dan mengagetkan Salwa. Bagi Sumiarni, seorang wanita harus memiliki harga diri. Bahkan di hadapan wanita lain yang mungkin dapat
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

217

diharapkan mengerti segala isi hatinya. Menurutku, dia lebih cocok menjadi pacarmu. Bel masuk berbunyi, mengharapkan setiap siswa segera masuk ke dalam kelas, untuk segera bersiap-siap mengikuti pelajaran berikutnya, dan mengakhiri apa pun yang sedang dilakukan, yang tidak terkait langsung dengan pelajaran berikutnya. Masa. Yang betul? tanya Salwa dengan bersemangat. Mimik mukanya menjadi lebih ceria. Dan senyum yang diperlihatkannya semakin membuatnya terlihat cantik. Hal itu, sesaat membuat Sumiarni merasa telah keliru melihat sebuah perubahan. Pertanyaan Salwa yang menyusul kemudian membuat dia tersadar dari lamunan singkatnya. Bagaimana kau sampai beranggapan begitu? Sumiarni pasti sudah menyingkir dan mengabaikan pertanyaan itu kalau dia tiba-tiba tidak berpikir bahwa mungkin saja kecurigaanya tidak keliru. Dengan agak ragu-ragu, dia mulai menjelaskan teorinya. Dia penulis puisi. Kau sering bersamanya. Kalau aku tidak tahu siapa pacarmu, aku akan mengira dialah pacarmu. Kau bersamanya pasti karena kau senang mendiskusikan sesuatu dengannya. Pasti tentang puisi. Katakan, apa ada yang salah dengan tebakanku? Salwa hanya tersenyum. *** Wawan memperhatikan Sumiarni. Ia berusaha menemukan celah-celah kebohongan pada gadis itu. Kalau bukan karena Salwa, dia tidak akan mau
Johan M.

218

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mengunjungi adik binaannya yang memiliki tampang mencurigakan ini. Percayalah, Salwa itu setia Kak. Hanya Kakak yang ada di dalam hatinya. Kau tidak mengerti. Kau tidak tahu apa-apa. Sumiarni kaget mendengar ucapan yang merendahkan itu. Dia tidak menyangka, duduk menemani kakak pembinanya selama hampir setengah jam di rumahnya, melayani pembicaraannya, menjawab pertanyaannya, mengulangi setiap ucapan Salwa yang dapat diingatnya, hanya untuk mendengarkan dia akhirnya mengucapkan kalimat hinaan yang merendahkan martabatnya. Bagaimana kalau aku sampai tidak mengatakan apa pun, atau mengatakan sesuatu dengan ucapan sekasar ucapannya, entah apa yang akan dikatakannya, yang pasti lebih kejam dari kalimat yang sudah diucapkannya itu. Kalau Kak Wan tidak percaya pada saya, jangan lagi bertanya pada saya. Sumiarni nyaris menangis sepanjang malam mengenang penghinaan itu. Kalau saja ia menerima penghinaan itu karena tidak pernah melakukan sesuatu untuknya, ia mungkin bisa menerimanya sebagai konsekuensi. Tetapi menerima penghinaan dari orang yang ia beri bantuan, sungguh-sungguh sangat menyakitkan. Kalau saja ada lelaki di rumah ini, ia pasti sudah memintanya menghajar pria kecil itu, meskipun dia kakak pembinanya di keperamukaan. Sudah saatnya ada laki-laki dalam kehidupanku. Ia menasihati dirinya. Seorang pacar. Dia harus seseorang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

219

yang dapat diandalkan. Tampan, tentu saja. Dan kuat, agar Kak Wawan dapat berpikir lebih dulu sebelum membiarkan diri mengemukakan ucapan-ucapan yang melecehkan. Apakah Liwa bisa diandalkan. Dia segera bangkit lalu kembali melihat dirinya di muka cermin. Sepertinya, Liwa cocok juga untukku, batinnya. Apalagi alasan Salwa menanyakan apakah aku mau berpacaran dengan Liwa kalau bukan karena ia melihat ada kecocokan antara diriku dan cowok puitis itu. Oh, dia pasti romantis. Sumiarni menyesal karena sudah terlanjur menjawab tidak untuk pertanyaan yang seharusnya dijawab Ya. Alangkah bodohnya. Besok, dia merencanakan untuk menemui Salwa. Siapa tahu, dia bisa membantu membuatku dekat dengan Liwa, batinnya. *** Untuk meyakinkan dirinya, Sumiarni sengaja melintas di depan kelas Liwa. Dia melihat penulis puisi itu sedang mengangkat bangku-bangku ke atas meja sambil berbicara dengan teman-temannya yang sedang menyapu ruangan dan menyingkirkan debu-debu di jendela dan meja-meja. Hanya dia laki-laki di ruangan itu. Adakah salah satu di antara tiga gadis yang menyapu itu kebetulan pacarnya? Oh, Tuhan, mereka cantik-cantik, batinnya. Bagaimanakah aku bisa memenangkan hatinya kalau dia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis yang sangat menarik?
Johan M.

220

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sumiarni kemudian berjalan kembali ke kelasnya, tapi bukan untuk masuk atau diam di depannya. Dia hanya lewat lalu bergegas menaiki tangga di depan ruang guru. Setelah melintasi bagian depan pintu masuk ruang guru, dia kemudian melewati lorong pendek yang dihiasi dengan pot-pot bunga yang digantung sangat rapat di kiri dan kanan tiang yang menopang lorong pendek itu. Begitu bertemu dengan Salwa, yang mula-mula dikatakannya bukan tentang keinginannya berkenalan dengan Liwa melainkan pertanyaan lain yang dimaksudkan untuk menumpahkan kekesalannya pada Wawan. Kalau bukan pada dia, paling tidak, pacarnya harus menerima sedikit akibat dari perlakuannya. Mengapa kau bisa berpacaran dengannya? Siapa? tanya Salwa dengan tenang. Dia tidak terpangaruh oleh nada bicara Sumiarni yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Setahuku kau hanya punya satu orang pacar. Ataukah seperti yang dikatakan oleh Kak Wan, aku tidak tahu apa-apa? Dia mengatakan apa? Dia menganggapku tidak tahu apa-apa. Kapan? Kemarin. Mengapa bisa begitu? Sumiarni bimbang. Dia tidak mungkin menjelaskan alasan sesungguhnya. Siapa tahu nanti Salwa menjadi kesal dan tidak mau lagi berteman dengannya. Siapa yang mau berteman dengan orang yang ternyata
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

221

sebenarnya memata-matainya? Dia sendiri tidak akan pernah mau berteman dengan orang semacam itu. Sebentar kemudian, ia menyesal, karena menyadari bahwa dirinyalah yang ia dapati sedang tidak diinginkannya itu. Tanya saja sendiri. Sudah berapa lama kau mengenalnya? Baru-baru ini, katanya. Dia berbohong. Siapa yang tidak mengenal kakak pembina pramukanya? Meskipun kakak pembina itu belum lama menjadi tim pembina di SMA 1 Selong. Tepatnya pada hari Salwa mengikuti latihan pertama kali sebagai anggota baru pramuka. Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah mereka berdua telah merencanakannya? Seingatnya, Salwa sedikit di antara siswa-siswa yang bergabung di tahun keduanya di SMA, tidak seperti dirinya, yang sudah bergabung sejak bulan pertama menjadi murid SMA. Sumiarni bersyukur karena Salwa tidak terlihat menyangsikan penjelasannya. Dengan suara yang dibuat seperti sebuah penyesalan yang bercampur dengan ketidakberdayaan, ia melanjutkan kebohongannya. Dia berusaha memintaku menjelaskan sesuatu tentang dirimu, tetapi aku bilang, aku tidak tahu apa-apa. Kau sendiri yang mengatakan tidak tahu apa-apa. Jadi, apa masalahnya kalau Kak Wan mengulangi ucapanmu? Yeah, Sialan, batinnya. Seharusnya klausa terakhir itu tidak kuucapkan di depan Salwa, karena aku tidak pernah mengatakannya. Ini kalimat yang bukan menjadi
Johan M.

222

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pemicu Kak Wan mengungkapkan penghinaannya yang tajam. Sulit sekali untuk membuat sebuah kebohongan yang sempurna bila ingin dicampuri dengan sedikit kebenaran yang tadinya dimaksudkan untuk menambah keyakinan lawan bicaranya. Sumiarni menjeri dalam hati. Apalagi salahku, sampai aku yang lagi-lagi menjadi sosok yang terhina di sini? Mungkin itu salahku. Maaf, aku tidak bermaksud menyalahkan Kak Wan. Salwa tertawa mendengar pengakuan itu. Sumiarni mulai merasa ada yang tidak ia pahami dengan benar. Mengapa kau tertawa? Katakan apa pun tentang dia, aku tidak akan keberatan. Percayalah. Siapa tahu, kau lebih bisa dariku dalam menggambarkan dirinya. Kedengarannya seperti bukan dari suara hati seorang pacar. Memang. Sumiarni tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Memang kenapa? Apa kau datang hanya untuk mengajakku membicarakan Kak Wan? Tidak. Aku sebenarnya mau minta tolong. Mudahan kau mau menolongku. Apa yang bisa kulakukan untukmu? Aku mau belajar puisi, Sumiarni berharap alasannya terdengar wajar. Oh, aku bisa membantumu. Salwa lalu ingat lagi dengan argumen yang pernah dikemukakan oleh Sumiarni beberapa waktu lalu. Seperti yang kau tahu, aku sering mendiskusikan puisi dengan Liwa. Kau boleh
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

223

percaya, kalau hanya untuk membuat puisi, aku bisa membantumu. Bukan...bukan itu, maksudku...aku tidak pernah melihatmu membuat puisi. Apalagi menjadi juara lomba penulisan puisi. Walaupun menjadi juara itu bukan tolak ukur yang benar, setidak-tidaknya, menjadi juara telah membuktikan kemahiran yang pernah teruji dan juga diakui. Apalagi, menurutku mengetahui tentang puisi saja kan tidak cukup, jadi, bantulah aku, agar aku juga bisa membicarakan puisi, langsung dengan seorang penulis puisi. Tolong, perkenalkan aku pada Liwa. Tentu. Salwa mencoba tersenyum. Satu-satunya alasan mengapa orang minta diperkenalkan adalah karena sesuatu yang sebenarnya tidak disebutkannya. Ia masih ingat. Alasannya dulu meminta Selvia mengenalkannya bukan karena benar-benar ingin belajar bersama Liwa, tetapi karena Liwa telah membuat ia tertarik pada pandangan pertama. Aku akan membantumu. Terima kasih. Kau memang baik. Teman yang baik. Aku benar-benar minta maaf karena telah berusaha menjelek-jelekkan Kak Wan. Salwa kembali tertawa, seperti biasa, dengan meletakkan telapak tangan menutupi mulutnya, dan hanya memperdengarkan sedikit suara. Aku sudah bilang. Apa pun yang kau katakan tentang dirinya, aku tidak akan keberatan. Tapi dia pacarmu, kau tidak boleh seperti itu, kecuali kau memang gila.
Johan M.

224

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mungkin aku memang gila. Entah sampai kapan aku akan bisa bertahan seperti ini. Mencintai orang lain, namun berpacaran dengan yang lainnya. Sumiarni meremas tangannya. Ia gemetar. Dia merasa akhirnya menemukan sesuatu yang bisa dihantamkannya kapan saja, dengan rasa sakit yang akan terasa seumur hidup. Dia tersenyum, membayangkan kakak pembina yang congkak itu, menangis sambil menyesali sikapnya yang tidak tahu terima kasih dan terlampau meremehkan kemampuan orang lain. *** Liwaul melihat ke luar jendela kelasnya. Jendela itu sekarang lebih lebar, dan lebih rendah dibandingkan dengan jendela ruang kelasnya di SLTP. Permukaan tanah yang lebih tinggi di luar sana semakin memberikan pemandangan yang sempurna ke arah barat, pada dua taman bertingkat yang kebersihan serta perawatannya menjadi tanggung jawab kelasnya. Taman-taman itu dikelilingi oleh empat jalan yang mengitari keempat sisi taman itu. Keempat jalan di keempat sisi taman itu merupakan jalur paling sibuk di luar jam pelajaran, karena keempatnya memberikan akses langsung ke kantin sekolah, yang terletak di sebelah selatan kelasnya. Dan jika ruangan kecil tempat koperasi siswa itu juga dihitung, maka kelasnya tepat hanya terhalang oleh satu dinding saja menuju tempat-tempat untuk membelanjakan uang saku. Jika di SLTP dulu ia hanya menyaksikan temanteman sekelasnya yang kembali ke ruangan membawa jajan yang dibeli di kantin, sekarang, dari jendela besar
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

225

dan rendah itu, ia memperoleh kesempatan tidak terelakkan untuk menyaksikan semua siswa yang berbelanja ke kantin dan koperasi melintas sendirisendiri atau dalam kelompok acak sambil membawa kudapan mereka. Siksaan kenyataan itu perlahan mulai memudar seiring waktu yang terus berlalu. Latihan paksaan untuk menerima keadaan telah menjadi bagian dari kehidupannya yang semakin hari memperlihatkan sisi tidak nyamannya seperti tanpa belas kasihan. Tidak punya uang saku, masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan tidak memiliki keluarga yang lengkap. Selalu hal itu yang ditarik ke permukaan pikiran dan lamunannya setiap kali muncul perasaan minder karena tidak memiliki pengalaman berebut mengambil kue-kue dan minuman di kantin sekolah. Ibu yang sehat, dan seorang bapak yang masih dalam penyembuhan, serta adik-adik yang riang, merupakan kekayaan yang tidak bisa diminta pada siapa pun kecuali atas kemurahan hati Tuhan untuk memberikan anugerah semacam itu sebagai sumber kebahagiaan yang seharusnya bisa menggantikan bentuk duka apa pun. Seharusnya kebahagiaan besar itu dapat menutupi ketidaksempurnaan lainnya dalam kehidupannya, tetapi sebagai manusia, yang harus berhubungan dengan manusia lain, dengan melihat dan menyentuh kehidupan mereka, dia terkadang merasa lemah hingga sampai pada titik penyerahan yang membuat dirinya berpikir untuk menarik diri dari semua
Johan M.

226

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

harapan dan impian yang menjadi dunia seorang manusia yang baru beranjak dewasa. Lamunan itu terusik sejenak oleh ketidakwajaran yang ia lihat di luar sana. Seorang gadis gemuk, pendek, berwajah kusam, dan kelihatan memiliki pipi yang terlalu tembam sehingga nyaris merusak garis lentur jilbabnya, sudah lebih dari tiga kali mondar-mandir sambil melihat ke dalam. Anehnya, gadis itu selalu cepat-cepat memalingkan wajah ketika tatapan mata mereka bertemu. Gadis itu tidak pernah mengarahkan tatapannya ke tempat lain. Hal ini membuat Liwa bertambah curiga. Ia memeriksa dirinya, mencoba menemukan ada sesuatu yang aneh dari apa yang dikenakannya. Tidak ada. Bagaimana menemukan sesuatu yang aneh tanpa meminta bantuan seseorang? Gadis itu pasti telah menemukan sesuatu yang tidak beres sehingga ia terus menerus mondar-mandir sambil melihat ke dalam kelas, langsung pada titik yang membuat tatapan mereka bertemu dalam tempo yang singkat dan hanya sempat memperlihatkan senyuman yang sulit diterjemahkan. Liwa lalu bangkit dan segera berjalan ke arah pintu. Dia tidak yakin akan mampu menghentikan gadis itu, apalagi sampai bertanya. Ia berharap, dengan berdiri di dekat pintu, barangkali gadis itu mau membicarakan keanehan yang dilihatnya tanpa diminta. Harapan itu segera lenyap begitu ia melihat gadis itu berjalan cepat menjauh dan hilang di balik dinding bangunan yang berhadapan dengan perpustakaan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

227

WAWAN -7Semua yang kulakukan, semata-mata untuk mewujudkan cita-citaku. Aku tidak mau terjebak dalam mimpi dan angan-angan. Masa-masa seperti itu sudah berlalu. Aku ingin hidup bahagia. Dalam standarku, itu berarti memiliki pekerjaan tetap, dan seorang istri yang cantik, yang dapat memanjakanku saat pulang ke rumah sehabis bekerja. Aku sudah melakukan beberapa hal dan masih harus melakukan bebera hal. Tidak ada keinginan yang tidak memerlukan sebuah pertaruhan dan sebuah pertarungan. Kedua hal itulah yang nanti akan membuatku sampai pada batas kesadaran apakah sudah memperoleh kemenangan ataukah terpaksa menerima kekalahan. Aku tidak suka dengan kekalahan, dan itulah
Johan M.

228

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sebabnya, menunggu kemenanganku merupakan satusatunya alasan mengapa aku masih bisa membujuk diriku bersabar dan bersiap-siap menantikan kemenangan yang gemilang. Salwa kini bukan lagi gadis kecil yang dulu memulai pesonanya dengan sebuah kecantikan dan senyuman. Sekarang ia memiliki apa yang layak dipuja dari seorang wanita. Jilbab yang menutupi dadanya, ternyata tidak benar-benar dapat menghilangkan kedua bentuk yang menonjol itu, yang kian hari semakin terlihat penuh, kencang, dan sempurna. Pinggangnya yang terlihat mungil bila sedang memakai baju yang dimasukkan ke dalam roknya, terlihat menggairahkan setelah dipadu dengan lengkung eksotis di antara paha dan pinggangnya. Makin lama, aku tidak bisa tidak mendadak bergetar hebat bila sesekali berada di dekatnya dan terjebak harus melihat serta membayangkan bentuk di balik pakaian yang dikenakannya itu. Ada gadis-gadis di kampusku yang memiliki daya pikat alami seperti dirinya, tetapi aku tidak pernah dapat mengampuni ketidaktahuanku akan masa lalu mereka. Pilihan pada Salwa, adalah pilihan yang sempurna, untuk sesuatu yang kuanggap baik, tentang apa yang dapat kulihat dari dirinya, dan tentang kemurnian yang kuyakini tetap terjaga padanya. Untuk apa aku menjaga keperjakaanku bila akhirnya mendapatkan istri seorang wanita yang sudah tidak suci lagi? Seorang gadis dengan keperawanan, bagiku selalu menjadi wanita yang akan paling kupercaya menjaga pintu rumahku.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

229

Aku beruntung akhirnya bisa menjadikan Salwa sebagai pacarku ketika aku hampir belum yakin ia mengerti benar dengan maksudku. Kalau hanya untuk membuat ia mengerti, aku memiliki waktu sebanyak yang dapat kuberikan untuk diriku. Yang paling penting dari semua yang sudah kulakukan adalah aku berhasil memasuki dunia cintanya ketika dunia itu masih belum menemukan bentuknya, ketika dunia itu belum dilingkari oleh kesuraman yang ditawarkan oleh dunia yang sesungguhnya. Semua itu karena Herman, kakakku dari ibu kedua, yang jauh-jauh hari, mau membicarakan apa yang akhirnya kini memang menjadi bagian dari kecemasanku. Kakakku yang satu ibu denganku, sibuk mengurusi keluarga kecilnya, setelah ia menikah sebelum berumur tujuh belas tahun. Pernikahan itu jelas tidak akan menjadi protesnya yang terakhir kalau ayahku belum meninggal dunia. Kakakku tidak mau meneruskan sekolah karena merasa telah kehilangan teladan yang paling dipujanya. Kehilangan itu sebenarnya telah dirasakan ketika ayahku, yang kebetulan baru diangkat menjadi kepala SD, menikah lagi untuk kedua kalinya. Aku lahir, satu bulan setelah ibu keduaku melahirkan anak pertamanya, yang akhirnya kupanggil kakak. Aku mungkn tidak akan pernah lahir jika ayahku tidak ingin membuktikan pada orang-orang bahwa ia mampu berbuat adil dengan memberikan perhatian yang sama pada dua orang wanita pada saat yang sama.
Johan M.

230

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku dan kakak dari ibu keduaku sering bermain bersama. Kami masih terlalu kecil untuk mengerti dengan keresahan orang-orang dewasa di antara kami. Bahkan tanpa mengetahui ia saudaraku, Herman tetap akan kusayangi, karena dia selalu mau memberikan mainan yang kusuka meskipun ia sedang memainkannya. Kakak yang satu ibu denganku tidak pernah mau bergabung dalam permainan apa pun yang kami lakukan, selain karena kemarahannya, juga karena jarak di antara kami memang jauh, sembilan tahun. Ketika ayahku meninggal, kakak yang satu ibu denganku sudah sangat terlambat bila ingin meneruskan sekolahnya di SD. Kecintaan lamanya pada bangku sekolah, kini diwujudkan dengan cara yang membuat aku dan Herman sering merasa malu. Setiap semester, kakakku dan istrinya, memaksa aku dan Herman membayar SPP dengan uang pemberian mereka, yang diperoleh dari pejualan hasil panen padi, bawang dan tembakau. Sekarang, ketika aku dan Herman sudah kuliah, dia masih membantu kami membayar uang SPP, padahal dua orang anaknya, sudah sekolah, bahkan ada yang tidak lama lagi akan masuk SMP. Meskipun lahir hampir bersamaan, Herman lebih dulu masuk sekolah. Aku menyusul tahun berikutnya. Dia menceritakan tentang cara belajar yang tidak sama lagi antara perguruan tinggi dengan cara-cara yang ditemukan di sekolah. Gurunya disebut dosen. Dan dia juga banyak memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang diperolehnya dari literatur barat dan timur tengah.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

231

Kemudian di antara percakapan-percakapan yang menarik itu, aku menangkap kegalauannya. Aku menemukan kerisauannya. Kami lalu membahas topik yang menggelisahkan itu. Sejak hari yang tidak pernah terlupakan itulah, aku merasa tidak lagi seperti diriku yang kukenal sebelumnya. Aku juga mulai mencemaskan apa yang dipikirkan oleh Herman sebagai masalah terbesar bagi generasi masa kini. Kecemasan itu makin meningkat setelah aku benar-benar menjadi mahasiswa. Tidak seperti Herman, yang bisa berdamai dengan dirinya, berusaha memaafkan kesalahan masa lalu yang tidak berani ia tanyakan pada kekasihnya yang kebetulan satu kelas dengannya, aku berusaha menemukan obat kedamaian itu. Aku mencari calon istri dari kelompok gadis yang masih SMP, yang punya kemungkinan kecil untuk bergaul bebas dengan laki-laki. Jarak umur di antara kami, serta kemungkinan usianya yang masih terlalu hijau untuk diperkenalkan pada janji-janji kehidupan yang sudah mulai kupahami, sempat membuatku bimbang dan nyaris tidak sampai benar-benar mengambil kesempatan yang ada. Aku menemukan Salwa, berjalan di muka kampusku, pada hari yang membuatku yakin doaku telah sampai ke hadapan Tuhan. Kalau bukan karena seragam birunya, aku pasti sudah tertipu dan mengira ia gadis yang sudah berumur tujuh belas tahun. Dia terlihat sudah memiliki kecantikan dan bentuk tubuh yang elok
Johan M.

232

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pada usia gadis-gadis lain masih nampak kerempeng. Informasi yang kukumpulkan sebelum menemui Colbiana sudah sangat cukup untuk meyakinkan diriku bahwa dia sebenarnya malah melebihi harapanku. Ideide cemerlang berdatangan. Seluruh dunia sepertinya memberikan dukungan. Dengan keyakinan dan tekad bulat, aku mengatakan apa yang kuinginkan dengan melakukan semua yang mungkin dapat ia baca sebagai langkah-langkah pendekatan yang jelas. Gadis itu hanya tersenyum ketika kuajak berpacaran. Diam atau tersenyum, adalah jawaban Ya, tanpa katakata. Bahkan gelengan pun, mungkin hanya jawaban sementara, karena aku yakin, setelah mempelajari latarbelakangnya, akulah pria pertama yang hadir dalam kehidupan pribadinya. Kalau saja tiga tahun yang berlalu dapat kulewatkan dengan pengalaman semanis yang kuharapkan, aku barangkali tidak akan menuntut apa pun lagi, karena aku tidak pernah tidak mensyukuri saat-saat bersama dengannya. Meskipun ia jarang terlihat menikmatinya. Setelah melihat Salwa sepertinya lebih dekat dan bahagia dengan Liwa, aku jadi bertanya-tanya. Mengapa seorang gadis yang dulu tidak pernah punya teman lakilaki di sekolahnya, sekarang menjadi begitu akrab dengan seorang teman laki-laki yang tidak sekelas dengannya? Pikiran sehat mana pun, sepertinya akan berpikir sama sepertiku. Tetapi aku tidak pernah merasa dibohongi oleh Salwa. Dia masih kupuja saat ini, selain karena rasa sayang yang makin membuatku merasa memilikinya, juga karena aku yakin, maksudnya, harus
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

233

bertahan untuk tetap yakin bahwa dia gadis paling jujur yang pernah kutemukan dalam hidupku, dan oleh karena itu, paling tepat untuk tetap kujaga sampai akhirnya hari pernikahan kami tiba. Aku tidak mau meyakini kebenaran yang hanya kulihat. Salwa tidak mungkin akan diam dan membiarkan aku tetap menjadi pacarnya kalau memang teman satu sekolahnya itu sudah menjadi pacarnya. Apa mungkin, kehadiranku dianggap tidak berarti, sehingga dengan atau tanpa status sebagai pacar Salwa, aku tetap dianggap tidak ada dan tidak mempengaruhi hubungan mereka. Aku tidak akan pernah terima jika sampai suatu hari nanti akhirnya aku tahu bahwa itulah yang menjadi penyebabnya. Mendapatkan Salwa memang telah membuatku terbebas dari kegelisahan seperti yang dialami oleh Herman, yang pernah dengan sangat yakin mengatakan padaku bahwa di perguruan tinggi tidak mudah menemukan gadis yang kita inginkan, tanpa terjebak pada kecurigaan bahwa seseorang dari masa lalunya pasti telah menyentuhnya, sedikitnya dengan sebuah ciuman pertama. Mungkin hal itu tidak pernah benarbenar terjadi, tetapi kenyataan bahwa mereka rata-rata pernah berpacaran merupakan separuh fakta bahwa telah terjadi sebuah perpisahan. Hanya satu dalam seratus perpisahan yang tidak berakhir karena pertengkaran yang tidak termaafkan. Apalagi kesalahan dari masa lalu yang polos itu, yang berupa tindakan yang tidak dapat dimaafkan, kalau bukan kecerobohan
Johan M.

234

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

seorang lelaki yang teburu-buru ingin mencicipi sedikit kenikmatan dunia hingga membuatnya lupa pada dosadosa. Kegelisahanku jelas bukan pada bagian itu. Kesucian dan kemurnian Salwa, kuakui seperti aku meyakini bahwa aku adalah putra kedua ibuku. Aku meresahkan kemurnian hatinya. Aku mencurigai bahwa di dalam hatinya ada sosok lain yang sudah hadir. Aku tidak bisa membiarkan tubuh yang sudah kujaga dan kupuja itu memiliki hati yang terisi dengan nama lain selain namaku. Jika kami akhirnya berjodoh, aku ingin memiliki jiwa raganya. Aku tidak mau bercinta dengan boneka yang memiliki tubuh seperti dirinya. Aku sudah lama menjaganya. Aku sudah lama membuat orang tahu dan mengerti tentang hubungan kami. Dan aku bertekad akan menggunakan seluruh sisa hidupku untuk terus melakukannya. Membiarkan Salwa menjadi milik orang lain berarti membuat diriku sendiri harus mencari lagi perawan suci yang lain, yang belum tentu sebaik yang dapat kutemukan ada pada Salwa, dan sudah pasti membuatku merasa ketinggalan usia pada jarak yang makin jauh dan menyedihkan. Apa pun alasannya, Salwa harus kupertahankan. Aku tidak akan membiarkan ada orang lain yang memilikinya. Aku tidak akan membiarkan orang lain menikahinya. Akulah satu-satunya pria yang boleh dan harus menikah dengannya. Aku mencintainya. Semakin lama aku merasa semakin mencintainya dan tidak lagi merasa telah memilihnya hanya karena pembicaraanku dengan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

235

Herman. Aku tidak cukup kaya dan tampan untuk membuat dirinya mencintaiku dan merasa bahagia bersamaku, tetapi aku akan berusaha membuatnya bahagia. Cinta harus didapatkan untuk bisa dinikmati. Dan untuk itu, seseorang perlu melakukan sesuatu, sebuah pertaruhan, dan lagi-lagi, sebuah pengorbanan. Aku mungkin tidak perlu terlalu mencemaskan Liwa. Bukankah dia hanya anak SMA. Statusku sebagai mahasiswa telah memberiku banyak waktu untuk menyusun kembali rencana-rencanaku menjadi lebih siap dan sempurna. Hari pernikahan itu harus sudah lebih jelas sekarang. Mungkin sudah saatnya aku mlai membicarakannya, mula-mula dengan keluargaku, lalu keluarganya, dan terakhir pada si cantik Salwa. Dua orang yang saling menunjukkan ketertarikan tetapi tidak berpacaran adalah dua orang yang tidak memiliki mata hati. Dan jelas tidak memiliki peluang. Peluang itulah letak kememanganku. Alangkah tidak sempurnanya seorang pria yang pengecut, tolol, dan tidak punya mata hati untuk melihat rasa suka tidak biasa dari gadis yang dekat dengannya. Selama Salwa masih pasif, aku akan tetap berada pada garis kemenanganku. Jangan sampai Salwa yang akhirnya menyatakan cintanya lebih dahulu, meskipun aku yakin, pilihan padanya, kepercayaanku padanya sebagai perawan suciku, salah satunya karena aku yakin dia tidak serendah itu di hadapan seorang laki-laki. Tetapi, adakah orang yang peduli dengan kerendahan dan
Johan M.

236

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

segala rasa malu di hadapan orang yang dianggapnya sebagai kekasih? Aku bergidik ngeri. Sepertinya tidak ada benteng yang aman untuk menyembunyikan Salwa dari bahaya hatinya yang bakal tercemar, bila dia ternyata memang benar-benar telah menganggap teman SMA-nya itu sebagai kekasih yang menghangatkan jiwanya. *** Musala terdekat ada di pertigaan jalan di luar tembok kuburan, yang dapat ditempuh setelah menikung ke kiri sejauh lima puluh meter dari perempatan yang paling dekat dengan pintu gerbang SMA 1 Selong. Hanya itu tempat terdekat untuk bisa salat Magrib bila aku ingin tetap mempertahankan pengintaianku dan tidak kehilangan waktu menjalankan ibadah. Aku memarkir sepeda motor di bawah sebatang pohon nangka. Aku melindungi diri dengan duduk membelakangi jalan raya. Setiap lima menit aku bangkit lalu sesaat berdiri di tepi jalan untuk mengawasi rombongan siswa-siswa SMA yang duduk dan berdiri, juga berkeliaran gelisah di sekitar pintu gerbang. Aku tidak melihat ada sosok Salwa di antara mereka. Tetapi itu bukan berarti dia tidak ada di sana. Bahkan seandainya aku tadi tidak sempat membuntuti bemo kota yang ditumpanginya, aku tetap yakin, dia ada bersama mereka, tetapi entah sedang di mana dan melakukan apa. Di mana pun dan dengan siapa pun dia saat ini, kuharap ia jauh dari Liwa. Karena sekarang, aku sudah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

237

tidak mau lagi terus-menerus mendengarkan penjelasan yang sama. Semua pertemuan mereka yang kulihat itu, yang menurutnya terjadi karena mereka kebetulan berjumpa, karena kebetulan selalu mengambil rute perjalanan yang sama, sudah tidak lagi dapat kupercayai karena terjadinya terlalu sering. Kebetulan macam apa yang terjadinya bahkan lebih sering dari pertemuan yang dapat direncanakan? Aku tidak menyangka akhirnya akan melewatkan waktu berpacaran dengan pengintaian-pengintaian. Tetapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa membiarkan Salwa-ku jatuh ke tangan orang lain. Tidak ada yang boleh memperoleh kesempatan berada di dekatnya. Sore ini, aku mau memastikan ia duduk di dalam kendaraan didampingi oleh teman-teman perempuannya. Aku saja harus mengakali dengan memboncengnya supaya bisa memiliki kesempatan duduk dalam jarak melimeter dengannya. Orang lain yang tidak memiliki usaha sebesar usahaku, sangat tidak berhak memperoleh keistimewaan seperti itu. Kuharap Herman segera datang menggantikanku. Hari sudah mulai lebih gelap. Aku harus segera salat magrib sebelum kehilangan waktu. Aku sudah menjelaskan tempat pengintaianku sore ini pada Herman. Dia tidak mungkin terlambat karena tidak tahu. Satu-satunya pertigaan ke arah utara di depan SMA 1 Selong dapat dilihat setelah melewati
Johan M.

238

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

jembatan pendek dari arah kota, sekitar dua puluh langkah dari jembatan itu. Rombongan yang berkerumun di sekitar pintu gerbang itu seharusnya berangkat satu jam yang lalu. Entah mengapa mereka masih belum diberangkatkan, padahal setahuku, acara pembukaannya kurang setengah jam lagi. Perjalanan ke Lapangan Masbagik memang dekat, tetapi pertunjukan tunggal pun pasti memerlukan waktu sedikitnya sepuluh menit untuk persiapan. Dengan perjalanan sekitar lima belas menit, masih tersisa waktu lima menit lagi. Sepeda motor itu muncul dari jalan di depanku, bukan dari belakangku seperti yang kuduga. Herman melihat jam tangannya sebelum menghampiriku. Mungkin pementasan mereka dibatalkan. Mungkin saja. Kalau belum salat, sebaiknya cepat-cepat. Siapa tahu, mereka sudah mau berangkat. Herman lalu melangkah ke pinggir jalan raya. Kubiarkan ia mulai melakukan tugasnya, sementara aku mulai menghidupkan motorku. Sejak kapan mini bus itu diparkir di sana? Apa? Hanya ucapan terakhir yang kudengar samar-samar di antara deru sepeda motor bututku. Aku lalu mendekatinya, mencoba ikut melihat apa yang membuatnya mengatakan sesuatu sambil menoleh untuk memastikan aku memberikan tanggapan atas pertanyaannya dan telunjuk yang ia arahkan ke sebelah timur, ke arah pintu gerbang sekolah. Aku melihat
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

239

sebuah mini bus dan sebuah bemo kota diparkir dengan bagian depan kendaraan mengarah ke barat. Sopirnya sudah tidak perlu memutar lagi setelah semua siswa naik. Siswa-siswa yang berkeliaran itu sudah tidak terlihat lagi dari tempat pengintaianku. Mereka mungkin sedang berkumpul di balik mini bus, pada bagian pintu untuk menunggu giliran naik. Hanya karena peristiwa ini aku menunggu sejak sore tadi. Aku tidak mau melewatkannya dan membiarkan kesabaranku menjadi sia-sia. Aku tidak mengatakan apa pun pada Herman. Dia bisa mengerti dengan langkahlangkah yang kuambil. Dan jika ada yang mau ia tanyakan, ada banyak waktu untuk melakukannya nanti. Sekarang, aku melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku tidak lagi bermaksud melewati jalan beraspal sepi ke utara sebelum menikung di pertigaan untuk menuju musala, seperti yang semula kurencanakan. Motor bututku segera kularikan dan memarkirnya di tepi jalan sepi menuju SMA Muhammadiyah yang kebetulan ada di seberang pintu gerbang SMA 1 Selong. Aku menyeberangi jalan raya. Aku berharap tidak ada yang memperhatikanku. Aku menghampiri mini bus yang separuhnya sudah terisi. Dari balik jendela aku berusaha melihat apa yang terjadi di dalam sana. Bagian dalam bus yang terang serta kesibukan siswasiswa yang baru masuk untuk mencari tempat dan teman duduk yang cocok membuat tak satu pun di antara
Johan M.

240

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mereka telihat tertarik melihat ke luar jendela, terutama ke arah jalan raya. Mereka seperti sibuk memperhatikan siapa dan apa saja yang belum dimuat dan harus ikut dalam rombongan mereka menuju tempat pementasan. Keadaan ini sesuai dengan harapanku. Siswa-siswa yang masuk belakangan kulihat menelusuri lorong sempit di bagian tengah bus dengan lambat-lambat, berusaha tidak menginjak bangku yang tidak memiliki sandaran. Tempat duduk paling belakang sudah penuh ketika kulihat Liwa mulai masuk dan duduk di deretan ketiga dari belakang. Ada sebuah tempat yang tersisa di sebelah kanannya. Ketika Salwa kulihat menyusul di belakangnya dan langsung menduduki tempat kosong itu, aku menjadi tidak perlu lagi menduga mengapa Liwa sengaja memilih tempat duduk yang masih menyisakan satu tempat lagi selain yang kemudian ia duduki. Salwa bukan anggota teater. Satu-satunya ekskul yang ia ikuti selain remaja musala adalah Pramuka. Sekarang ia menjadi ketua remaja musala. Waktu kutanyakan mengapa seorang ketua remaja musala ikutikutan berteater? Dia menjawab santai, tema pertunjukannya Islami, dan dimaksudkan untuk pembukaan STQ. Aku menerima alasan itu. Dan ketika kupancing dia untuk secara jujur mengungkapkan alasan lain. Dia mengaku, memang ada alasan lain. Anggota teater di SMA 1 Selong terlalu sedikit, sehingga untuk melengkapi pemain dalam pertunjukan itu, pembina teater meminta kesediaan siswa lain yang siap berlatih. Pertunjukan yang sedang mereka siapkan,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

241

tidak hanya untuk memperkenalkan ekskul teater, tetapi untuk membawa nama baik SMA 1 Selong. Aku bukan murid SMA 1 Selong, dan dengan tingkat pendidikanku saat ini, aku tidak akan pernah punya alasan untuk mendaftarkan diri menjadi salah satu siswanya. Tetapi sebagai salah satu pembina pramuka-nya, aku merasa berkewajiban untuk mendukung Salwa dan temantemannya. Sebagai salah satu bentuk dukungan, aku menawarkan agar diperkenankan mengantar dan menjemputnya selama latihan, tetapi Salwa menolak. Setiap penolakannya akan kehadiranku di suatu tempat, belakangan ini, kutemukan biasanya karena satu hal, ada Liwa di sana. Aku tidak perlu terlalu dekat dengan tempat latihan teater untuk mengetahui siapa siswa yang berdiri membaca puisi di dekat dua orang penari balet hanya tiga langkah dari sudut tempat Salwa berdiri. Di sudut lain, kulihat Liwa berdiri, membaca puisi. Aku ingin sekali bisa menyeret Salwa untuk pulang. Kalau saja tidak mengingat bahwa aku sedang berada di sekolah tempat adik-adik anggota pramuka binaanku, aku pasti sudah melakukannya. Betapa teganya dia mengatakan banyak alasan yang mudah kuterima, tanpa menyertakan satu fakta paling penting yang pasti telah menjadi alasan utamanya. Saat ini, aku tidak hanya ingin menyeretnya. Aku ingin memukulnya. Aku mau dia segera menerima hukuman atas penghinaan yang dia lakukan padaku.
Johan M.

242

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Siswa-siswa yang megikuti ekskul pramuka pasti mengetahui hubungan kami. Aku sudah menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk memberi kesan kuat agar Salwa tidak diganggu oleh siapa pun. Meskipun kami tidak terlihat mesra, sama sekali tidak berarti tidak ada jalinan khusus yang tidak dapat dijelaskan. Kini aku mulai merasakan akibat buruk dari memperkenalkan hubungan kami. Penghianatan Salwa akan membuat banyak mata menatap remeh padaku. Tidak bisa. Aku harus menerobos. Tahan dirimu! kata Herman. Dia memegang kedua bahuku dengan kuat dan tidak mengizinkan aku bergerak sedikit pun. Lihat ke dalam! katanya. Aku sudah melihat ke dalam. Apa lagi yang akan kulihat kalau bukan apa yang tadi terpaksa membuatku berpaling karena tidak sanggup membuat mataku merekamnya menjadi ingatan yang tidak terlupakan? Aku tidak mau menambah sakit hatiku, meskipun untuk beberapa detik yang pendek. Untuk perasaan cemburu, satu detik itu terlalu lama. Lepaskan, Kak. Lihat ke dalam. Lepaskan. Dia tidak bisa lagi mengelak sekarang. Lihat, ke dalam. Akhirnya aku menuruti permintaan yang diucapkan berulang-ulang dan memaksa itu. Aku kebali melihat ke dalam. Di sana, di bagian yang tadi membuat bara hatiku menyala, Salwa kulihat masih di tempatnya, tetapi Liwa sudah tidak ada lagi di dekatnya. ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

243

Kotak pengendali kulihat disibukkan oleh berbagai instruksi. Nampaknya ada yang tidak beres. Tetapi aku tidak mengetahui letak ketidakberesannya. Aku hanya melihat pembina teater sebentar-sebentar memanggil Liwa, lalu setelah pembicaran pendek, bocah SMA itu segera bergabung dengan teman-temannya di dekat tangga panggung. Di situ dia kulihat mengatakan sesuatu yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Sejumlah anggukan menjadi reaksi dari beberapa orang yang mendengarkan penjelasan sebelum Liwa kembali meninggalkan mereka untuk bergabung dengan pembina teaternya. Menurutku, pementasan itu tidak bagus. Aku sulit memahami pesan yang disampaikan lewat perahu layar yang dibuat dari bilahan bambu, yang melintas di depan sekelompok pemeran kiyai yang berzikir, diikuti oleh gerakan dua penari pemeran Adam dan Hawa, dengan selingan pembacaan puisi ditambah bunyi musik instrumen yang terdengar samar di antara keriuhan para penonton yang semakin memadati lapangan. Mungkin tidak banyak yang mau mengingat lagi bahwa tempat yang diterangi lampu warna-warni dan disemarakkan oleh bangunan dari bambu dan papan yang menirukan lengkungan arsitektur Timur Tengah sebenarnya adalah lapangan sepak bola yang semula kumuh dan tidak terurus. Salwa kulihat berdiri di samping seorang gadis yang sejak sebelum pementasan selalu berada di dekatnya.
Johan M.

244

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Entah apa hubungan teman Salwa dengan guru pembina teaternya. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Yang tidak kusukai, Liwa juga terlihat sangat akrab dengan pembina teater itu. Meskipun dia ketua teaternya, tidak seharusnya dia terlibat pada begitu banyak bagian pementasan yang akhirnya membuat dia mendapatkan banyak perhatian. Statusnya sebagai sosok yang paling kucurigai memiliki peluang mengambil Salwa dariku membuatku sangat tidak menyukai sejumlah perhatian yang diperolehnya malam ini. Aku mengamati semua itu dari jarak yang sangat dekat dengan mereka, hanya lima langkah di belakang kotak pengendali, tetapi dari belakang tubuh-tubuh lain yang menjadi pelindung alamiku. Herman tidak ikut bersamaku. Dia juga ada di lapangan, di bagian lain, bersama pacarnya. Malam seperti ini tidak terjadi setiap saat. Sudah seharusnya mereka yang berpacaran menggunakannya untuk menambah kedekatan jiwa mereka. Dari kedekatan macam itulah, orang akan mulai merasa menemukan sesuatu untuk diputuskan bersamasama. Aku pun harus mengambil kesempatan seperti itu malam ini. Aku sudah memutuskan untuk lebih memperlihatkan kesungguhanku. Salwa sudah tujuh belas tahun sekarang. Sudah saatnya dia mulai memberikan hari-hari indah yang sudah lama kunantikan. Tepuk tangan panjang mengiringi pementasan yang sudah mencapai bagian akhirnya. Aku tidak sengaja telah melewatkan babak terakhir itu.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

245

Liwa kulihat mengumpulkan teman-temannya. Aku segera mendekati Salwa ketika pembina teater itu keluar dari kotak pengendali untuk menyambut siswa-siswa yang baru turun panggung dan saling memberi selamat. Salwa menoleh ketika kugamit ujung lengannya. Seraut wajah terkejut segera kulihat menggantikan senyum puas yang tadi ia perlihatkan waktu memandang sekelompok siswa tempat Liwa berkumpul dengan para pemeran lainnya. Oh, Kak Wan ada di sini? Aku mengangguk. Ya. Saya melihat pementasanmu. Bagaimana? Bagus untukmu. Tidak terlalu bagus untuk yang lainnya. Saya kira, kami semua bagus. Baiklah. Kalian semua bagus. Tapi bukan begitu caranya memuji. Saya ke sini bukan untuk memuji, tetapi untuk menjemputmu. Menjemput saya? Tidak usah. Saya nanti pulang dengan teman-teman. Aku menggeleng. Aku tidak mau memberi Liwa kesempatan kedua. Bapak meminta saya menjemputmu. Kapan bapak bilang begitu? Tadi sebelum saya berangkat, bapak malah yang bilang supaya saya jangan jauh-jauh dari rombongan.
Johan M.

246

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Itu sebelum dia sadar kalau pementasanmu ternyata baru selesai pukul sembilan. Kulihat Salwa menarik lengan teman di sebelahnya. Dia lalu memandang cemas padaku. Kak Wan yakin, bapak meminta saya pulang lebih cepat? Aku mengangguk. Salwa kulihat membisikkan sesuatu di telinga temannya. Setelah mengucapkan salam ia mengikutiku keluar dari kotak pengendali. Kuminta Salwa berjalan di depanku. Sebelum mengikuti langkah Salwa, aku menoleh sebentar ke arah kerumunan siswa-siswa yang sedang merayakan kegembiraan mereka sambil menikmati kudapan dari kotak-kotak yang dibagikan oleh panitia STQ. Di antara sosok-sosok yang berpakaian gelap, Liwa dengan mudah dapat dikenali karena memakai kostum berwarna putih. Kulihat dia satu-satunya siswa yang memandang ke arah kotak pengendali. Memang hanya dia yang kuharapkan melakukan hal itu untuk membuat malam ini berlangsung tepat sesuai dengan rencanaku. *** Aku tidak perlu pulang buru-buru. Setelah perjalanan berdua dengan Salwa menyusuri jalan raya SelongMasbagik, aku ingin merayakan kemenanganku dengan menelusuri jalan yang mulai lengang menuju tempat tinggalku di Pademare. Aku berharap malam yang memberi kesempatan berdua seperti tadi bisa lebih sering terjadi. Salwa diam saja di belakangku. Ia pasti juga menikmati kejutan-kejutan yang sama denganku.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

247

Beberapa kali gesekan bahunya di punggungku terasa seperti pijatan bidadari syurga. Mungkin yang harus kulakukan adalah membuat Salwa terbiasa melewatkan malam yang panjang denganku. Meskipun malam ini aku bisa melakukannya karena telah membohonginya, aku yakin, bagi gadis yang belum pernah keluar rumah, pengalaman seperti yang tadi pasti akan ia minta lagi. Siapa yang tidak menyukai sentuhansentuhan lembut yang tidak terlihat sengaja dilakukan kecuali karena lekukan jalan raya? Orang tua yang berterima kasih pasti akan memuji apa yang sudah kulakukan untuk mengantar anak gadisnya pulang lebih cepat dari teman-temannya yang lain. Tidak baik anak gadis berada di luar rumah terlalu lama, bahkan jika malam ini termasuk malam yang dianggap langka. Justru malam-malam yang ramai adalah malam-malam yang berbahaya, karena nafsu dan dendam tersebar di antara orang-orang yang tidak selalu bisa mengendalikan jiwanya. Sirene itu membuatku meminggirkan sepeda motorku. Tadinya kukira ada ambulan yang akan menyalipku, ternyata tidak. Dua buah mobil pemadam kebakaran menderu dengan kecepatan tinggi, saling menyusul. Jangan-jangan telah terjadi kebakaran di tempat pelaksanaan pembukaan STQ. Jika dugaanku benar, aku baru saja mengambil tindakan yang tepat dengan lebih cepat memulangkan Salwa. Besok pagi, gadis keras kepala itu, bersama orang tuanya, akan tahu bahwa aku memang ditakdirkan lahir untuk
Johan M.

248

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

menyelamatkan anak gadis mereka. Jika mereka tidak menyadarinya juga, aku sendiri akan mengatakannya. Aku menambah kecepatan sepeda motorku. Aku ingin tahu seperti apa kekacauan di tempat pembukaan STQ akibat kebakaran itu. Meskipun untuk mencapainya berarti harus melewatkan perempatan berikutnya yang menyediakan jalur terpendek menuju desaku, aku merasa harus melihat kejadian yang sebenarnya di Lapangan Masbagik. Aku ingin bisa menemukan hal paling berbahaya yang mungkin dapat menimpa Salwa, yang ternyata telah sanggup kuhindari karena sudah lebih dulu berkesempatan mengantar gadis itu pulang dan berkumpul lagi dengan keluarganya. Menjelang akan memasuki bagian jalan yang sudah padat dan sulit dilalui kendaraan roda empat sejak kutinggalkan tadi bersama Salwa, aku heran, karena tidak terlihat kepanikan seperti yang kuharapkan. Orang-orang yang memadati jalan kulihat berjalan santai, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang mengundang kepanikan. Aku meneruskan perjalananku. Semakin ke tengah, ke bagian jalan yang berdekatan dengan pintu gerbang paling selatan, aku semakin sulit menembus jalan yang melintasi bagian tepi barat lapangan sepak bola itu. aku baru sedikit terbebas dari pejalan-pejalan kaki yang ceroboh setelah melewati pintu gerbang paling utara. Aku mengedarkan pandanganku, berusaha menemukan sesuatu yang mungkin tersisa dari apa pun yang pernah terbakar. Aku mendekati polisi berseragam yang berdiri di pinggir jalan dan terlihat tidak terlalu menghiraukan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

249

sepeda motor yang bergerak pelan berusaha menembus kerumunan orang-orang. Mungkin hanya mobil yang diurusnya, untuk diarahkan supaya menempuh jalur lain. Selamat malam. Selamat malam, katanya, sambil memberikan anggukan tegas. Ada yang bisa saya bantu? Tadi saya melihat dua pemadam kebakaran sewaktu melewati perbatasan Selong. Apa ada kebakaran di sekitar sini? Tidak ada. Bahkan tidak ada pemadam kebakaran yang melintas melewati jalan ini selama saya berjaga di sini. Sejak kapan? Sore tadi. Berarti tersisa dua kemungkinan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku sejak tadi. Dua mobil pemadam itu telah berbelok di perempatan terakhir sebelum jembatan pada tikungan yang landai hampir dua kilometer dari lapangan tempat pembukaan STQ. Kalau tidak bebelok ke kiri berarti mobil pemadam itu telah berbelok ke kanan. Kalau mobil pemadam itu mengambil jalur ke kiri, berarti kebakaran itu ada di jalur yang sama dengan desaku. Aku segera menghidupkan sepeda motorku dan segera meninggalkan polisi itu tanpa mengatakan apa pun lagi. Untunglah belok kiri boleh jalan terus. Lampu merah itu tidak menghalangiku. Aku tidak bisa mengambil jalur padat di belakangku, yang juga akan membawaku pada
Johan M.

250

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

rute perjalanan yang lebih jauh sekarang. Dari lampu setopan di depanku, aku akan lebih mudah menempuh perjalanan ke desaku, selain karena jalan beraspalnya bagus, juga karena dari situ, perjalanan yang kuperlukan akan sama dekatnya dengan bila aku melakukannya dari perempatan terakhir yang tadi sudah kuabaikan. Setelah melewati jembatan sebelum perempatan Paok Motong, aku berbelok ke kiri, melewati bagian tepi pasar yang selalu ramai setiap pagi. Pasar itu jarang ramai di malam hari. Sekarang, pasar itu seperti menyediakan pertunjukan yang dinantikan. Banyak orang kulihat berberpapasan saling memberi tanda. Aku juga dipaksa berhenti. Kenapa? aku bertanya. Kebakaran. Aku tidak mau lagi mendengarkan apa pun yang akan dikatakannya. Penjelasan singkat itu sudah lebih dari cukup. Aku memacu motorku pada kecepatan yang ekstrim, yang nyaris membuatku hampir terbanting waktu memaksa mengerem karena dihadang oleh penduduk yang tidak memperkenankan kendaraan apa pun selain pemadam kebaran melintas di jalur jalan yang sudah dipenuhi oleh asap dan hawa panas. Pemandangan menjadi terbatas. Aku menyandarkan motorku dengan tergesa-gesa pada tembok pagar halaman terdekat. aku jengkel karena tidak menemukan standarnya secepat yang kuinginkan. Semua lampu dipadamkan. Aku berlari menyusuri jalan yang gelap, sesekali terjatuh dan tersiram air karena tidak sengaja bertubrukan dengan orang-orang yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

251

berlarian membawa air untuk membantu usaha pemadaman. Sirene mobil pemadam kebakaran kujadikan sebagai panduan. Aku mendekat. Berharap yang terjadi bukan merupakan bencana sungguhan. Dua orang petugas pemadam kebakaran menahanku. Jangan ke sana dulu. Apinya belum benarbenar padam. Tempat itu merupakan pusat kobaran api. Pusat kobaran api. Apa dosaku sampai wilayah di sekitar rumahku yang menjadi pusat kobaran api? Tolong mundur. Aku menurut. Aku segera berlari ke tempat lain. Malam yang gelap tanpa cahaya lampu karena pemadaman di seluruh rumah, tanpa bulan dan bintangbintang di langit, sekarang menjadi semakin gelap setelah api berhasil dipadamkan dan yang tersisa tinggal bara kayu yang mendesis mengerut terkena siraman air. Aku tidak bisa membiarkan diriku terlalu lama berpangku tangan. Aku kemudian segera bergabung dengan orang-orang yang berlarian panik membawa ember berisi air dan menumpahkannya pada apa pun yang memperlihatkan cahaya merah atau masih menebarkan hawa panas. Petugas-petugas pemadam kebakaran dibiarkan menaklukkan api yang masih menyala. Orang-orang tua yang dihormati memandu anak-anak muda menyiram sisa bara api di antara kayu-kayu balok yang melintang, hitam, dan menyerah pada bentuk terakhir yang
Johan M.

252

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

disisakan oleh api yang telah melalapnya. Pemandangan itu terlihat seperti karya seni instalasi absurt yang mengejek kecerobohan manusia. Setelah berbagai pengumuman lewat pengeras suara, ada banyak orang mulai berdatangan ke masjid untuk mencari kejelasan nasip keluarga mereka. Ambulan yang didatangkan dari RSU Selong, diparkir di halaman masjid. Sirenenya yang meraungraung segera dimatikan karena dianggap mengganggu pehatian orang-orang yang masih berjuang memadamkan sisa-sisa bara api. Tiga orang paramedis yang bertugas segera memberikan petolongan pada orang-orang yang mengalami luka bakar ringan akibat aksi-aksi berani memadamkan api dengan menyusup di antara celah-celah dinding panas dan kayu yang masih membara. Aku menemukan kedua ibuku menangis sambil saling merangkul di tangga masjid. Keduanya menjadi perhatian banyak orang. Setelah kami besar, dan setelah mereka berdua merasa tua, rasa benci dari dua orang yang dipaksa menyatu sebagai madu oleh seorang pria yang menikah dua kali, perlahan memudar. Melihat mereka berdua malam ini saling merangkul, aku menjadi tidak bisa menahan air mataku. Ada maksud baik, di balik semua yang telah ditakdirkan oleh Tuhan. Aku menoleh. Herman berdiri di sampingku dengan pakaian basah dan kotor. Keadaanku sendiri tidak lebih baik. Beberapa orang yang rumahnya tidak terkena jilatan api mulai berani menyalakan lampu setelah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

253

petugas PLN menjamin keamanannya. Ada penerangan. Ada cahaya yang bisa membuat kami saling mengenal dan berbagi kabar duka. Tidak ada korban jiwa. Sepanjang ingatanku, kebakaran ini untuk yang ketiga kalinya sejak aku masih kecil. Setengah dari rumahrumah yang didirikan secara tidak beraturan di seberang masjid, habis dilalap api, dan menyisakan puing-puing serta potongan balok kayu hitam. . Ibu kami tinggal di rumah yang berbeda. Ayahku membangun dua rumah, satu di seberang masjid, dan satu lagi di belakang masjid, pada jarak yang tidak terlalu jauh dari jalan beraspal. Ia meminta kedua istrinya memilih rumah mana pun yang mau ditinggali. Entah bagaimana ibuku menjatuhkan pilihan pada rumah yang ada diseberang masjid. Meskipun rumah itu kecil-kecil dan hanya memiliki satu kamar tidur, waktu masih anak-anak, aku dan kakakku tidur di atas dipan yang diletakkan di ruang belakang di dekat dapur. Tempat itu agak tersembunyi dengan lemari yang diletakkan lurus menempel di sudut luar kamar tidur. Setelah ayahku meninggal, giliran ibuku yang tidur di dipan di dekat dapur itu, dan kami dipaksa agar menempati satu-satunya kamar tidur di rumah. Ibuku tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyiratkan apa yang kuduga sebagai cara untuk menghindar dari segala serangan rasa duka. Setelah ayahku meninggal, dia bersikap seolah tidak lagi memerlukan tempat untuk
Johan M.

254

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bersembunyi dari kesedihan, atau melayani dalam kedamaian. Dia mengaku lebih senang berbaring di dipan yang dekat dengan dapur. Di situ dia bisa bersantai sambil menunggu panganan yang dibuatnya untuk dijual di pasar. Uang pensiun ayahku dibagi berdua, diterima sekali dalam satu bulan. jumlahnya tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber pendapatan, apalagi setelah aku kuliah. Kedua ibu kami berdiri dan masing-masing terlihat berusaha keras mencoba tersenyum karena melihat aku dan Herman saling merangkul seperti mereka berdua. *** Kebakaran itu menyisakan persoalan-pesoalan yang harus segera diselesaikan oleh mereka yang kehilangan rumah dan harta benda. Pada bagian tentang segala macam kehilangan itu, setiap orang harus mampu memikirkan sendiri bagaimana cara mendapatkan kembali semua yang hilang karena telah dilalap api. Episode tertentu dalam kehidupan para korban telah diakhiri dan terpaksa harus segera dimulai pada titik yang sama. Masyarakat yang ikut perihatin hanya bisa membantu dengan membersihkan sisa-sisa kebakaran. Aku dan Herman bergabung dengan mereka. Kami menyingkirkan potongan kayu dan reruntuhan yang menghalangi jalan-jalan kecil yang dulunya pernah melintasi bagian depan rumah-rumah yang sekarang sudah tidak ada.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

255

Di antara kebisuan orang-orang yang bersedih, beberapa di antara mereka masih terdengar mengucapkan syukur. Ada yang bersyukur karena rumahnya telah selamat dari kobaran api yang nyaris seperti tidak dapat dipadamkan lagi karena tiupan angin kencang bulan Juni dari Gunung Rinjani yang dengan cepat membuat api itu menyebar dan menjadikan lokasi yang terbakar itu mirip sebuah panggangan raksasa. Ada yang bersyukur karena hanya separuh rumahnya yang terbakar dan masih menyisakan bagian yang dapat diperbaiki dengan sedikit biaya. Ada juga yang bersyukur karena kehilangan rumah tidak membuat mereka kehilangan semua benda yang disayangi. Dan aku sendiri harus bersyukur karena ibuku bisa selamat, meskipun dalam kepanikannya, dia tidak sempat membawa apa pun, termasuk ijazah sekolahku, buku-buku, foto-foto kenangan yang dipaku di dinding, termasuk satu-satunya foto Salwa yang berhasil kucuri dari album di rumahnya. Aku berharap album itu suatu saat nanti diletakan lagi di bagian rak meja ruang tamu, sehingga aku punya kesempatan untuk memilih satu foto lagi yang dapat kucuri dan tidak membuat pemiliknya menyadarinya. Bagian tengah dari pemukiman yang terbakar itu, dari menara masjid terlihat seperti sebuah bopeng pada kulit yang tadinya mulus dan sehat. Ibu-ibu dari rumah-rumah yang selamat dari kobaran api mengirim makanan ke masjid. Usai salat Zuhur, orang-orang yang bekerja dan belum mampu
Johan M.

256

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kembali mencari nafkah bergabung untuk menikmati makanan dan mensyukuri nikmat Tuhan. Ibuku tidak sampai harus bergabung di masjid bersama orang-orang, tetapi dia berkeras melakukannya. Di masjid dia merasa tenang karena dapat berbagi cerita duka dan saling menghibur dengan korban-korban lainnya. Herman yang mula-mula mengutarakan maksud baiknya. Setelah melihat kedua wanita yang dulu mungkin pernah saling mendendam itu kini seperti sudah bisa menerima kenyataan yang tidak terbantahkan tentang status mereka sebagai dua orang istri dari suami yang sama, aku setuju dengan rencana Herman. Aku selalu tidak mampu menolak maksud baik. Herman ingin kedua ibu kami tinggal di rumah di belakang masjid sampai ibuku cukup mampu untuk membangun sebuah rumah baru. Aku tidak mau memikirkan berapa waktu yang diperlukan untuk mewujudkannya. Membuat rumah berbeda dengan bermain sulap, selain waktu dan tenaga, diperlukan kesabaran untuk sampai benar-benar dapat merealisasikannya. Sebelum aku menyelesaikan kuliah, dan mempunyai pekerjaan tetap, keinginan memiliki rumah baru itu sepertinya masih harus menjadi rencana. Pacar Herman sudah datang menjenguk ibuku. Dia segera mendapat restu dengan apa yang telah dilakukannya itu. Aku ingin Salwa juga bisa menjadi calon menantu yang disukai. Aku amat gembira ketika Salwa mengangguk setuju untuk ikut bersamaku ke Pademare. Aku
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

257

memboncengnya dengan sepeda motor Herman. Kakakku memaksa supaya aku memakai sepeda motornya. Dia ingin Salwa merasakan sedikit keistimeaan yang dapat kami berikan di antara kemiskinan dan kepanikan yang baru melanda kehidupan kami. Meskipun sore itu Salwa bersama kedua ibuku kurang dari satu jam, tetapi dari senyum mereka, dan ketenangan Salwa, aku menyadari bahwa aku baru saja melakukan apa yang memang seharusnya kulakukan untuk membuat hati para wanita menyatu. Aku menepikan sepeda motor dan terkejut merasakan beban di belakangku menghilang sebelum aku benar-benar berhenti. Aku tidak perlu menoleh untuk melihat Salwa yang sudah berlari dan menyerukan nama yang membuatku cemburu. Liwa! Orang yang dipanggil itu menoleh. Seraut wajah terkejut, segera digantikan oleh senyum karena Salwa melambaikan tangan padanya. Liwa membalas lambaian itu. tetapi dia tidak mendekat. Dia berbalik pergi dan melangkah cepat-cepat. Aku bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukannya sampai membuat gadis feminim seperti Salwa rela melompat dari sepeda motor dan berlari menyerukan namanya? Salwa berbalik dengan wajah cemberut. Dia sama sekali tidak memandangku dan mengatakan sesuatu padaku. Dia cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan
Johan M.

258

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

membiarkan aku di pinggir jalan melongo seperti orang bodoh. *** Penghinaan itu kuceritakan kembali pada Herman ketika ibu-ibu kami sedang menyiapkan makan malam di dapur. Mungkin Salwa tidak bermaksud seburuk itu. Siapa tahu dia sudah ada janji dengan Liwa, dan tidak bisa dipenuhi gara-gara dia terlambat pulang dari sini. Tapi bukan begitu cara yang dia dapat tunjukkan di depan seorang pacar. Mungkin kau perlu lebih banyak lagi berbicara dengannya. Bicara apa? ibu tiriku bertanya pada kami. Dia meletakkan piring-piring di atas tikar. Kami berempat selalu makan di atas tikar dari anyaman daun pandan kalau kebetulan ada kesempatan makan bersama. Kalau tetang wanita, jangan jauh-jauh dari kami. Herman tertawa mendengar ucapan ibunya. Hanya untuk anak-anak muda? kata Herman. Jangan sampai sudah terlambat baru kami dimintai nasihat. Percayalah, Bu. Kami tidak punya rahasia besar. Aku sudah mencoba menghubunginya, kataku. Penjelasan itu kutambahkan ketika ibu tiriku sudah kembali lagi ke dapur untuk mengambil nasi dan sayur, yang selalu berada pada urutan berikutnya setelah menyajian piring-piring kosong dan mangkuk berisi untuk mencuci tangan. Tapi adiknya, dan juga ayahnya, mengatakan Salwa sudah tidur.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

259

Kapan itu? Baru saja. Selesai salat Magrib. Kau percaya. Tentu saja tidak. Keluarganya juga harus membayar dosa-dosa kebohongannya suatu saat nanti. Jangan begitu. Kalau kau sungguh-sungguh menginginkannya menjadi bagian dari keluarga kita, kau juga harus menghormatinya. Bagaimana kau bisa dihormati jika dia, yang paling kau puja kau perlakukan tidak seperti seseorang yang layak menerima keistimewaan sebagai pujaan? Oke. Lamaran ke Honda itu sudah kau buat? Aku baru ingat lagi dengan tawaran itu. Herman diajak oleh temannya untuk bergabung di SPS Honda. Karena dia merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu, dia menawarkan peluang itu padaku. Aku mau. Laili sudah mengurangi jam kerjaku di BASTA COM. Kalau dia bukan gadis yang akan dinikahi bos minggu depan, aku pasti sudah menamparnya. Kebetulan sekali ada tawaran pekerjaan di tempat lain. Begitu Laili dan Basit sudah menikah, aku berniat mengajukan pengunduran diri sebelum Laili punya kesempatan memecatku. Belum. Malam ini mau dibuat. *** Aku sudah berada di pos pengintaianku selama setengah jam. Liwa sudah melintasi bagian depan rumah Salwa lima menit yang lalu. Bocah tolol itu mungkin mengira tidak ada yang akan memperhatikan gerakan
Johan M.

260

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

kakinya yang sengaja dibuat melangkah lambat-lambat begitu melewati perempatan jalan dan akan melewati tepian jalan sepanjang sepuluh meter berikutnya di luar pagar halaman tempat tinggal Salwa. Akal yang licik. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana cara mengutuk orang-orang yang membuat sekenario kebetulan sesering yang ia lakukan untuk membuat dirinya bisa berjalan berduaan ke sekolah dengan pacar orang lain. Aku hampir saja meneraktir anak ingusan yang membeli sepotong donat di dekatku sebagai perayaan atas kegembiraanku karena melihat Liwa akhirnya berjalan sendirian hingga mencapai perempatan berikutnya dan lenyap ditelan tikungan jalan. Salwa keluar tidak lama kemudian. Dia jelas sedang tidak ada di ruang depan ketika Liwa melintas di depan rumahnya karena kulihat ia menoleh ke kiri dan kanan jalan, seperti mengharapkan kehadiran Liwaul dalam tatapanya. Dia menoleh lama ke arahku, pada jalan lurus yang biasa menjadi arah kedatangan Liwa. Gadis berjilbab putih itu kemudian berjalan menuju perempatan berikutnya, menelusuri jalan yang sudah dilalui oleh Liwa. Aku membayar kopi hangat dan dua potong donat yang kutelan di pinggir jalan sebagai sarapanku dalam misi pengintaian rutin belakangan ini. Aku harus segera menyusul Salwa dan menawarkan tumpangan padanya sebelum mencapai perempatan di sebelah utara rumahnya. Kalau sampai ia melihat ada Liwa yang sedang berjalan kaki ke sekolah dan kira-kira masih
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

261

dalam batas yang dapat dikejar, ia pasti akan setengah berlari mengejarnya. Aku tidak berharap ada orang lain yang mengetahui hal ini kecuali Herman, yang memang sering melihat kejadian seperti itu setelah aku terpaksa membagi jadwal pengintaian dengannya. Salwa telah mempermalukanku. Dia menghinaku dengan cara yang membuat harga diriku sebagai laki-laki terkoyak. Apa yang tidak akan sanggup kuberikan padanya asal dia mau membalas cintaku dengan memberikan kedamaian paa pikiranku, yang sekarang ternyata dia balas dengan begitu banyak sikap tidak tahu terima kasih. Seharusnya dia bersyukur karena aku mencintainya disaat teman sebayanya hanya mendapatkan pacar siswa-siswa SMA dengan segudang omong kosong seputar cinta. Aku sebentar lagi akan bekerja di SPS Honda. Dia seharusnya bangga dengan statusku. Tapi gadis ini memang makin sulit mengerti. Aku sudah belajar untuk menekan kecemburuanku. Mungkin apa yang didapatkan oleh Liwa saat ini telah menggambarkan kekalahanku, tetapi kekalahan yang sementara bukanlah kekakalahan, karena pemenang selalu adalah mereka yang bisa mendapatkan poin utama di babak terakhir. Aku berhenti di dekatnya. Ia menoleh sebentar. Lalu setelah menggeleng, ia berjalan kembali. Satu penghinaan lagi. Tapi tidak apa. Ayo, naik. Salwa menggeleng. Ayo, aku masih bertahan.
Johan M.

262

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dia menggeleng lagi. Sekali ini saja. Dia menghentikan langkah kakinya. Dia menatapku. Aku menunduk karena merasa dilihat seperti seorang penjahat. Drama tidak menyenangkan itu segera kulupakan setelah dia duduk dan memberikan tekanan pahanya di belakangku. Tidak ada apa pun yang diucapkannya. Aku sengaja lambat-lambat dan membiarkan kendaraan lain melewati kami. Setelah melewati perempatan telkom, aku melihat sosok Liwa yang berjalan melompat-lompat menghindari timbunan kerikil bulat yang memenuhi tepian jalan beraspal hingga perempatan berikutnya. Hei, Liwa! Suara Salwa terdengar sangat kencang. Aku segera menoleh ke kanan, menyapu wilayah jalan yang dapat kupandang sekilas sambil berharap tidak ada siswa berseragam abu-abu yang mendengar teriakan itu. Alangkah malunya aku, kalau sampai ada yang menyadari teriakan itu, dan membiarkan pikiran mereka bebas menduga bahwa akulah yang sekarang ini sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dengan Salwa. Kasihan Liwa, ujar Salwa. Aku berusaha bertahan. Dia berjalan sendirian. Ucapan terakhir itu membuatku meledak. Aku ingin langsung menekan pedal rem, tetapi aku merasa harus membuat posisiku sedikit aman. Dan itulah sebanya aku bertanya padanya. Mau saya turunkan di sini?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

263

Tidak ada jawaban. Sampai di depan pintu gerbang sekolahnya pun, Salwa tidak memberikan jawaban. Ia turun, dan hanya memberikan anggukan kosong padaku sebelum berjalan cepat memasuki pintu gerbang. *** Pembicaraanku kali ini, kuatur agar hanya diketahui oleh aku dan Herman. Itulah sebabnya, aku tidak mau membicarakannya di rumah, atau di kantor BASTA COM. Terutama di kantor BASTA COM. Tempat itu akan menjadi sasaran pertama dari rencanaku. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tidak bisa lagi menunda rencana bagus yang tidak memiliki risiko apa pun. Inilah saat-saat inspirasi harus dihargai dengan betul-betul mewujudkannya. Herman duduk di depanku, pada ujung lain dari satu-satunya tikar yang kuambil. Karena hanya akan memesan kopi berdua, aku hanya meminta satu tikar untuk digelar di atas rumput. Pengunjung lain yang memenuhi sudut barat taman kota juga kulihat hanya mengambil satu tikar untuk dipakai berdua. Mereka yang berkumpul bersama empat orang atau lebih akan meminta tikar yang lebih banyak pada wanita gemuk pedagang kaki lima, tempat semua orang memesan kopi hangat. Mengapa harus di sini? Pertanyaan itu muncul lebih cepat dari yang kuduga.

Johan M.

264

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Aku tidak mau apa yang akan kita bicarakan ini didengar oleh orang lain yang mengenal atau dapat mengira-ngira persoalan macam apa yang kuhadapi. Apa ada syarat khusus yang tidak bisa kau penuhi untuk mendapatkan ijazah yang baru? Bukan tentang itu. Staf dinas pendidikan yang kuhubungi berjanji ijazah pengganti itu baru akan bisa kuperoleh tiga bulan lagi. Kau harus sering mengeceknya. Jangan sampai kau tidak memiliki ijazah pengganti sampai saat melamar pekerjaan nanti. Pasti. Jangan risaukan itu, kataku. Herman kulihat merapatkan bagian jaketnya yang terbuka. Udara malam jelas mengganggunya. Ia menyeruput kopi hangat yang kupesankan untuknya. Ia menggeleng, lalu menatapku, seperti usaha sia-sia dari orang yang ingin menjelaskan bahwa ia lebih menyukai kopi lain, yang bukan instan, dan akan lebih baik kalau buatan ibu kami, yang memang biasa kami minum setiap pagi. Lalu, apakah semua ini akhirnya akan bermuara pada pembicaraan tetang Salwa? Aku mengangguk malu. Memang begitu. Dan sebelum dia sempat mengatakan apa pun lagi, aku sudah mulai menceritakan apa yang kuingat dari pengalaman pagi tadi. Aku membiarkan cerita terakhirku mengendap dalam pikirannya. Aku bisa saja menceritakannya pada kedua ibuku sambil meminta saran mereka, tetapi aku tidak mungkin menceritakan tetang bagaimana Salwa sebenarnya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

265

memperlakukan aku tanpa risiko menyisakan kemarahan yang akan diingat terus sampai akhirnya Salwa menjadi menantu di rumah kami. Dan impian menjadikan Salwa sebagai menantu bagi ibuku mungkin hanya tinggal impian karna ibuku pasti akan menyarankan agar aku menjauhinya dan melupakannya. Hubunganku dengan Salwa sudah terlalu lama untuk dibiarkan menjadi bagian dari kehidupanku yang layak dilupakan. Lagipula, aku tidak pernah yakin akan bisa melupakannya. Dia kupilih di antara kesempatan langka untuk berhasil mendapatkannya sementara dia adalah satu-satunya sosok terbaik yang kuketahui layak menjadi pilihanku. Aku sudah melakukan sesuatu yang tidak bisa disebut sederhana untuk menjadikannya sebagai pacarku. Aku tidak mau dianggap gampang menyerah hanya karena tidak tahan terhadap risiko yang memang harus dihadapi oleh semua orang yang memiliki pacar cantik dan baik. Tidak pernah mudah menemukan perpaduan cantik dan baik. Cantik saja tidak cukup bagiku. Begitu pula dengan baik saja. Tetapi gadis yang memiliki salah satunya masih lebih baik untuk dijadikan pilihan daripada mereka yang sama sekali tidak memiliki kecantikan dan kebaikan pada paras dan hatinya. Salwa memiliki keduanya, hanya saja, ia baru separuh menggunakannya untukku, dan separuh lagi, sepertinya diberikan secara cuma-cuma pada teman sekolahnya. Aku tidak sanggup memikirkan bahwa kenyataannya Liwa menerima lebih banyak perhatian
Johan M.

266

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

daripada yang bisa diberikan oleh Salwa padaku. Aku tidak menyukai perlakuan itu, dan aku harus segera mengakhirinya dengan caraku, karena menunggu Salwa menyadari ketidakadilannya, bisa jadi akan membuatku kehilangan dirinya. Tidak akan pernah kubiarkan mimpi buruk itu terjadi. Tidak dengan cara-cara yang mudah. Dan tidak dengan cara yang lepas dari campur tanganku. Sebagai adikku, aku tidak mau melihatmu menderita lebih lama. Mari kita anggap kita berdua sudah dewasa dan memang layak membicarakan jalan keluar bagi persoalan yang nampaknya semakin membuatmu terlihat tidak waras. kata Herman. Apa ada kaitannya dengan pengintaian? Sebagian. Kau memikirkan untuk berhenti melakukannya? Dengan rencana baruku, kita mungkin sudah tidak perlu melakukannya lagi. Tentang pengintaian itu, aku ragu, kita akan bisa benar-benar berhenti. Cara terbaik dan paling efektif untuk membebaskan diri dari pengintaian ialah dengan tidak pernah melakukannya. Saran ini sebenarnya sudah mau kuutarakan sejak dulu. Tapi aku tidak melakukannya karena aku yakin, Salwa itu gadis yang bisa didekati dengan cara-cara yang sederhana. Aku pun berpikir begitu. Kalau saja aku memiliki sedikit keraguan tentang kepura-puraan yang mungkin ada padanya, dan penerimaannya atas kehadiranmu dalam hidupnya adalah sandiwara, aku mungkin akan memberikan saran lain. Sekarang kita tahu, dia ternyata bukan tipe gadis
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

267

yang penurut. Dia jelas bukan jenis gadis yang bisa melakukan apa pun yang kauminta untuk dia lakukan. Seandainya aku tahu bahwa ia memiliki potensi seliar ini, aku tidak akan pernah mengizinkanmu mengintai gerakannya, apalagi sampai membantumu melakukannya, karena sekali melakukan pengintaian, terutama bila pengintaian pertama itu memberikan pembenaran pada kecurigaan kita, maka pengintaian berikutnya, dan berikutnya, menjadi tidak terelakkan. Itulah sebabnya, aku minta kau menyetujui rencanaku. Satu rencana lagi. Tidak. Aku masih punya banyak rencana. Masih banyak. Dan yang akan kuutarakan ini,kataku, masih merupakan bagian awal dari rencana sesungguhnya. Kau adikku. Menjadi kakak tidak harus membuatku selalu memberikan dukungan. Jika usulmu kali ini masih bisa kudukung, aku akan melakukannya, jika tidak, maka kau memberiku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan padamu. Sekarang katakan, apa rencanamu? Melamarnya! Herman menyemburkan kopi hangat yang belum sempat ditelannya. Kau gila! Kita berdua pernah jatuh cinta. Memang. Aku tidak menyangsikan hal itu. Tetapi tolong jangan buru-buru menganggap persoalan kita sama. Kau harus tahu, aku baru merencanakan
Johan M.

268

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pernikahan hanya sebagai omongan di antara kami berdua. Apa kau tidak mengerti arti melamar? Kau tidak akan bisa melakukannya tanpa menyertakan keluarganya. Dan uang, semoga kau ingat kalau ibu-ibu kita sedang memerlukannya untuk tambahan modal usaha. Apa salahnya? Aku lebih suka mengatakan alasannya bukan di depan orang yang ternyata adalah adikku. Sebaiknya, pikirkan lagi rencana gila itu. Maaf Kak. Aku tidak bisa membiarkan diriku terusmenerus dilecehkan. Dilecehkan? Apakah semua yang sudah pernah aku ceritakan tentang bagaimana Salwa memperlakukanku bukan merupakan bentuk pelecehan terhadapku, terhadap adikmu, terhadap keluarga kita. Kau terlalu melebarkan masalah. Mungkin. Tapi kau jelas tidak bisa membantahku. Lantas bagaimana? Aku tetap akan melamarnya. Bukan itu. Aku tidak perlu mendengarnya dua kali. Aku tahu, kau akan melakukannya meski tanpa dukunganku. Aku cuma mau tahu, bagaimana kau akan melakukannya, dan apa yang membuatmu yakin bahwa cara ini akan berhasil membuat Salwa tidak lagi membuatmu merasa dilecehkan? Aku tidak mau dia memandangku sebagai bocah egois. Aku ingin ia menyadari masalahku sebagai
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

269

masalah dua keluarga. Ini tentang pelamaran, aku tidak bisa bergerak tanpa anggukan persetujuan darinya. Dengan melamarnya, dia tidak lagi perlu kita awasi seperti sekarang ini, karena orang tuanya akan melakukannya untuk kita. Bagian itu otomatis akan kau peroleh setelah bisa melamarnya. Maksudku, bagaimana kau yakin, lamaranmu akan diterima, sementara gadis yang sedang kita bicarakan ini masih SMA. Tanpa kedua orang tua Salwa yang kebetulan guru itu, aku yakin, hanya satu dalam seratus orang tua yang mau anaknya dilamar karena kelulusannya dari SMA sudah kurang separuh jalan. Kau harus sadar akan dianggap sebagai penghancur masa depan dan cita-cita. "Tidak ada anak SMA dalam satatus pernikahan yang dengan bebas boleh mengikuti ujian seperti temantemannya. Salwa itu cerdas, mau sendiri yang mengatakannya. Apa yang membuatmu tega untuk menghentikannya? Jangan bilang karena kau cemburu pada temannya itu. teman satu SMA-nya itu, jika benar seperti informasi yang kuperoleh, sebenarnya tidak perlu kau risaukan, karena Salwa-mu, aman bersamanya. Liwa itu bocah pengecut yang tidak pernah terdengar berani menyatakan cintanya. Kuakui, kataku. Liwa tidak akan menyatakan cintanya. Tetapi bagaimana dengan Salwa? Aku tidak mau menonton benih-benih cinta yang semakin subur. Jika bisa memangkasnya, memusnahkannya, membuat cinta itu melayang tanpa harapan, mengapa aku harus
Johan M.

270

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

berdiam diri? Aku pastikan, lamaranku tidak akan membuatnya kehilangan kesempatan mengikuti ujian kelulusan, dan tidak akan membuatnya kehilangan kesempatan melanjtkan lagi sekolahnya ke perguruan tinggi. Aku lebih setuju kau menikahinya setelah ia lulus dari perguruan tinggi. Dengan begitu, kau tidak perlu membiayai kuliahnya. Aku sudah menerima gaji pertama si SPS Honda. Tetapi Dan aku tidak memaksudkan lamaranku sebagai cara untuk segera menikah dengannya. Apa? Aku akan melamarnya, untuk bertunangan dengannya. Herman kulihat memandangku agak lama. Aku terpaksa menunduk karena tidak sanggup memberikan tatapan balasan. Bertunangan, katanya, lebih seperti untuk dirinya sendiri. Lalu ia bertanya padaku. Jadi untuk sementara, hanya selama dia masih SMA, kau bermaksud mengikat Salwa dengan sebuah pertunangan? Aku mengangguk.

Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

271

-8
Sumiarni tidak memberikan peringatan. Pertanyaan itu diluncurkan seolah jawaban yang diharapkannya tidak lebih dari lelucon anak sekolahan. Bagaimana rasanya menjadi orang yang sudah bertunangan? Salwa tersentak. Pertanyaan macam apa itu? Pertunangan? Mengapa Sumi tiba-tiba menanyakannya? Tidak bisakah ia menunggu kesempatan lain? Siang ini mereka berdua sedang berjalan dengan langkah-langkah cepat yang harus dilakukan bila ingin dapat mengejar Liwaul yang masih jauh di depan sana dan membuat para pengejarnya diambang rasa putus asa. Jika istilah itu sudah boleh digunakan, gunakan saja,
Johan M.

272

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tetapi untuk memadukan diriku denga Liwa, batin Salwa. Jangan dengan orang lain. Tetapi harapan itu masih jauh. Tentu saja masih jauh, karena berpacaran pun mereka masih belum. Bahkan tanda-tanda ke arah itu pun belum terlalu terlihat, kecuali bahwa belakangan ini, mereka sudah semakin sering berduaan, waktu pergi dan pulang sekolah, dan kadang-kadang ditambah dengan kunjungan ke rumah sore hari, pada waktu yang mereka berdua sepakati. Salwa tetap memokuskan perhatiannya pada sosok yang sedang mereka kejar. Hanya karena tidak ingin dianggap mengabaikan pertanyaan teman, dia lalu mencoba memberikan jawaban yang betul-betul dimaksudkan hanya sekadar sebagai sebuah jawaban. Aku tidak tahu. Bagi Sumi, jawaban itu memang terdengar asalasalan. Itu bukan jawaban yang kuharapkan! katanya. Apa semua jawaban harus sesuai dengan harapanmu? Ia belum terlalu lama mengenal Sumiarni. Ia belum banyak mengetahui tentang siapa sebenarnya gadis yang sekarang berjalan di sampingnya. Tetapi pertanyaan itu sedikit memberikan gambaran. Gadis ini, jelas memiliki rasa ingin tahu yang banyak, mendalam, dan pribadi. Dan sepertinya, hanya tukang gosip yang terpikir olehnya dapat melakukan hal semacam itu tanpa diminta. Ia berharap potensi itu tidak menjadikan sahabatnya ini sebagai teman yang buruk di kemudian
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

273

hari. Semua orang bisa dengan mudah dapat menggunakan potensi yang baik untuk kebaikan, tetapi bagaimana dengan potensi yang buruk? Bagaimana membuat potensi yang buruk bisa melahirkan hal-hal baik yang sesuai dengan harapan? Kalaupun akhirnya bisa, mungkin diperlukan lebih dari satu keajaiban untuk mewujudkannya. Tentu tidak begitu, jawab Sumiarni. Dalam hal ini, aku bertanya untuk belajar sesuatu darimu, dari orang yang kuanggap sudah mengalaminya. Nah...kamu salah. Salah? Sumiarni melengkapi pertanyaannya. Salah apa? Aku tahu kapan aku salah, dan kali ini, aku tidak merasa salah. Jelas sekali, pertanyaanmu bukan untukku. Aku tidak mengerti. Kaulah yang mula-mula membuatku tidak mengerti dengan pertanyaan yang ngawur itu? Astaga. Maaf. Tapi sungguh. Aku tidak tahu. Dan itulah satu-satunya jawabanku. Salwa lalu kembali melihat ke depan, dan ia terkejut karena tidak lagi melihat sosok yang dikejarnya. Mana Liwa? Dia belok ke kanan. Kau melihatnya. Ya. Percayalah. Aku boleh bertanya? Kau sudah bertanya sejak tadi. Mengapa baru sekarang meminta izin. Pertanyaanku kali ini berbeda.
Johan M.

274

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Maksudmu? Mengapa kau terlihat peduli sekali padanya? Entahlah. Salwa lalu mengalihkan pertanyaan yang menjebak itu dengan mengajukan pertanyaan. Tapi, dia mau ke mana ya? Itu kan bukan rute yang biasanya dia ambil? Mana kutahu, Jawab Sumiarni. Kau yang lebih dekat dengannya. Oh! Sumiarni melongo. Oh! Apa! Kau benar. Aku tahu. Aku tahu ke mana dia menghilang. Dan kau pasti juga tahu bagaimana rasanya bertunangan. Ayolah Sumi, jangan mendesakku. Salwa merasa sudah saatnya mengeluarkan ancaman agar dia bisa menghindar dari dua pertanyaan berbahaya itu. Kau mau kuberi jawaban asal-asalan? Tidak! Jadi bagaimana? Mungkin seharusnya aku tanya bulan depan. Yeah...itu baru bagus. Lebih baik lagi kalau tahun depan, atau nanti, kalau aku benar-benar sudah bertunangan. Jadi, pertunanganmu yang kemarin itu bukan pertunangan yang benar-benar pertunangan? Salwa terkejut.Maksudmu? Salwa...jangan membuat aku gila. Kau yang membuat dirimu menjadi gila. Dan sepertinya kau belum puas dengan hasil itu, dan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

275

sekarang sedang berusaha untuk melakukannya padaku. Semua orang pramuka sudah tahu. Tahu apa? Sumiarni memandang wajah Salwa cukup lama. Cukup untuk membuat pengalaman terbatasnya sampai pada kesimpulan tentang siapa yang dapat dipercaya dan tidak. Ya, Tuhan. Aku tidak percaya kalau dia tega berbohong pada banyak orang. Kalau hanya membohongi aku, tidak masalah, aku bisa terima, karena dia juga pernah membuatku jengkel dengan kebohongan lain. Tetapi berbohong pada semua anggota ekskul pramuka? Itu keterlaluan! Sepertinya aku mulai mengerti. Kak Wan memberitahu kami. Katanya, kalian sudah bertunangan. *** Suasana sejuk yang biasanya langsung dirasakan begitu akan memasuki pintu perpustakaan daerah, kali ini tidak terlalu berpengaruh bagi Liwa. Langit sudah mendung sejak ia meninggalkan pintu gerbang sekolah enam menit yang lalu. Keringat yang biasanya mengucur di kedua pelipisnya, tidak sebanyak yang harus diseka bila cuacanya secerah hari-hari biasa. Perubahan cuaca seperti kali ini sangat disukainya. Kalau boleh berharap, ia ingin setiap hari, saat pulang sekolah, ada cukup awan tebal di langit sana untuk menghalangi terpaan langsung sinar matahari siang. Dia tidak berharap akan turun hujan. Tetapi berjalan di
Johan M.

276

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bawah guyuran hujan, akan selalu lebih baik baginya karena payung hitam yang dapat dilipat, yang dulu ia beli dengan uang dari beasiswa pertama, selalu ada di dalam tas ranselnya, sengaja disiapkan untuk menghadapi hujan yang seringkali turun tanpa bisa diramalkan. Air hujan mendatangkan kesejukan, dan rembesan airnya memberikan perenungan akan kedamaian. Berbeda dengan rembesan keringat, yang selalu bisa mengundang kepanikan dan segudang rasa malu bila nanti harus terlihat oleh teman-teman lain yang tidak berkeringat sewaktu pulang sekolah karena mereka pulang menggunakan kendaraan. Liwa meletakkan tas ranselnya pada mebel setinggi bahu orang dewasa di dekat pintu, yang dibagi-bagi menjadi kotak-kotak tanpa pintu. Tempat itu aman, kalau hanya untuk menitipkan tas dan buku-buku. Tidak ada penjaga khusus. Seorang staf di sebelah kanan pintu masuk sekaligus pintu keluar, ditambah bentuk ruangan yang memberikan pemandangan ke seluruh ruangan, akan membuat pengunjung perpustakaan juga bisa menjadi pengawas barang-barang titipan itu. Setelah memberikan anggukan sebagai salam perjumpaan pada pegawai perpustaan yang selalu memberinya buku pinjaman dua kali lipat lebih banyak dari jumlah pinjaman yang diperbolehkan, Liwa lalu mendekati rak pertama, tidak jauh dari kotak penitipan tasnya. Dia biasa mulai mencari buku dari rak itu, lalu di baliknya, kemudian rak berikutnya, lalu di baliknya lagi, dan terakhir, baru mendekati rak khusus bagi buku-buku
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

277

referennsi di sudut timur, pada bagian yang selalu terlihat paling rapi. Kali ini Liwa berdiri lama. Dia terpesona melihat deretan buku-buku baru yang bertambah mengkilat setelah sampulnya dilapisi kertas bening. Deretan bukubuku baru itu hampir satu meter panjangnya. Belum pernah ia melihat pengadaan buku baru di satu rak sebanyak itu. Dia lalu menarik buku pertama yang memikat hatinya, buku yang berbatasan dengan buku lama, kebetulan tebal, dan bersampul menarik. Ternyata sebuah buku filsafat. Cepat-cepat ia memeriksa bukubuku berikutnya. Sama. Semua berbicara tentang filsafat, hanya saja dengan fokus yang berbeda. Ia baru membaca dua paragraf sinopsis buku tebal itu ketika sebuah keributan kecil di sekitar pintu masuk mengalihkan perhatiannya. Ada keberatan sekaligus penegasan terhadap cuaca yang semakin mendung dan dingin yang merupakan dua tanda paling umum yang dapat digunakan oleh setiap orang yang tergerak untuk meramalkan akan turunnya hujan. Suara orang yang memberikan bantahan yang menyebabkan ia menoleh. Suara itu dikenalnya. Bahkan, amat dikenalnya. Mereka berdua saling memberikan anggukan. Hai, hanya itu yang mampu diungkapkannya. Sosok gadis yang lebih pendek, yang rupanya berbantahan dengannya, tidak mau menyerah. Gadis itu mencoba meneropong langit dari jendela-jendela besar yang berderet di sepanjang dinding utara perpustakaan.
Johan M.

278

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwa ikut mencoba melihat. Benar. Keresahan gadis yang belum dikenalnya itu sepertinya beralasan. Dia buru-buru kembali pada rak pertama itu untuk mengembalikan buku baru itu pada tempatnya. Setelah mengambil tasnya, Liwa lalu menghampiri Salwa. Ia tidak tahu harus mengatakan apa sebagai cara terbaik untuk mengemukakan keinginannya. Ia tidak mau membenarkan gadis lain di hadapan gadis yang selalu ia anggap menjadi titik kebenaran hidupnya. Tetapi ini tentang hujan, tentang sesuatu yang bisa membuat semua orang melakukan kesalahan tanpa kewajiban menanggung kesalahannya. Mungkin memang akan turun hujan, katanya, agak gugup. Ayo, kita pulang. Hanya sebuah anggukan lembut yang menjadi jawaban. Liwa tertegun memperoleh jawaban itu. Sumiarni tidak, dia terlihat bingung, lalu mengerti, kemudian bingung lagi. Mereka bertiga berjalan beriringan keluar dari pintu perpustakaan. Formasi itu segera berubah di luar pintu setelah Salwa memperkenalkan Sumiarni. Perkenalan itu berlangsung cepat, tanpa jabatan tangan, dan dianggap cukup hanya dengan berbalas anggukan. Liwa berjalan di samping Salwa dan Sumiarni dibiarkan berjalan sendirian di depan. Sumiarni tidak pernah terlalu jauh. Jarak mereka hanya satu atau dua langkah. Tidak ada yang mengatakan sesuatu. Tidak ada yang mencoba memecahkan kebisuan itu. Ketiganya jelas
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

279

terpenjara dalam keputusan yang sama dengan alasan yang mungkin berbeda. Hujan turun sebelum mereka sempat menyeberangi perempatan jalan di depan pintu gerbang perpustakaan. Liwaul berlari, melompati trotoar tinggi, mencoba mencari tempat bernaung di bawah pohon. Melakukan semua itu sendirian, membuatnya merasa telah melakukan sesuatu yang salah. Ia ingin bisa meraih tangan Salwa lalu mencoba membawanya menepi dan berlari bersama. Risiko ditolak dan dimarahi harus diambil dalam keadaan darurat seperti ini, tetapi ada Sumiarni di antara mereka, yang menyebabkan keraguraguan Liwa bertambah sempurna. Ia belum pernah menyentuh tangan Salwa, karena gadis berjilbab itu telah mengajarkannya tentang bagaimana cara bersalaman tanpa sentuhan dan genggaman tangan. Hujan ini mungkin akan memberikan kesempatan itu kalau saja Sumiarni tidak ada di antara mereka. Kehadiran orang ketiga, telah membuat dia menjadi lebih tidak sanggup melakukannya. Hujan bertambah deras. Tetesannya menghantam pakaian mereka. Liwaul melihat pendaratan tetesantetesan air hujan di baju Salwa, membentuk permukaan yang lebih gelap dibandingkan dengan bagian lain yang masih kering. Sebuah kekhawatiran baru menghantuinya. Tetesan yang lebih banyak dan pada jumlah yang cukup akan dapat memberikan warna kulit orang yang mengenakan seragam putih itu. Liwa tidak
Johan M.

280

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mau melihat bagian yang belum boleh dilihat itu, sakarang, dan ia lebih tidak ingin jika sampai ada orang lain yang ikut melihatnya. Bahkan jika ia perempuan, Liwa merasa tetap tidak terima. Keinginan untuk melindungi gadis pujaannya itu, membuat dia cepat-cepat mengeluarkan payung hitamnya. Ia menghampiri kedua gadis itu dan menawarkan payung yang sudah dikembangkan. Salwa menggeleng. Tidak ada ucapan apa pun. Hanya gelengan yang terlihat, diikuti senyuman yang membuat bibirnya merapat lalu berakhir dengan bentuk mengembang sempurna. Tidak usah, katanya. Tapi aku ingin, payung ini, untuk kalian, ucap Liwa, meskipun ia sebenarnya ingin mengatakan. Aku ingin, payung ini,untukmu, Salwa! *** Abdurrahman tahu, akhirnya, saat ini, tidak lagi ada dalam bayangan, dan sekarang sudah harus dihadapi. Dia hanya terkejut oleh kenyataan bahwa tanggung jawab itu mula-mula harus diambilnya untuk anak gadisnya yang kedua, bukan yang pertama, seperti yang ia pikir seharusnya, dan memang biasanya terjadi. Pemuda di depannya sudah sering berbicara dengannya. Tidak banyak yang dapat dibicarakan selain tentang apa yang sama-sama mereka pahami sebagai masalah bersama. Mereka berdua ada di kubu yang berbeda. Dua orang putri tuan guru yang bertengkar, menyebabkan perpecahan di kalangan pengikut NW.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

281

Abdurrahman tidak pernah menduga, kalau menghadapi calon menantu dan juga anggota dari kubu pengikut NW yang berbeda, ternyata bisa terjadi pada saat yang sama. Saya tidak bisa memberikan keputusan, katanya. Dia mengucapkan kalimat itu dengan ekpresi yang tidak pernah lepas dari senyuman, yang dapat membuat orang yang baru pertama kali berbicara dengannya merasa sedang dilecehkan. Beri saya waktu untuk bertanya pada putri saya. Jika dia setuju, berarti tidak ada keberatan dari saya." Semoga bisa begitu. Tentu saja. Wawan lalu bertanya dengan bersemangat. Kapan kira-kira saya akan memperoleh kepastiannya? Tunggu saja sampai saya sendiri memperoleh jawaban dari putri saya. Wawan mengurungkan maksudnya untuk mengingatkan pria di depannya bahwa sebagai orang tua, ia berhak menentukan masa depan anak gadisnya. Ucapan selamat berpisah dari luar pagar halaman rumah, membuat dua orang yang sedang berbicara serius itu menoleh bersamaan. Ada tiga orang berseragam abu-abu putih berdiri di sana. Mereka rata-rata dalam pakaian setengah basah. Hanya Liwa yang laki-laki. Lambaian tangan Salwa pada teman-temannya, bagi Abdurrahman terlihat sebagai ucapan selamat perpisahan yang akrab antara putrinya dengan temanJohan M.

282

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

teman sekolahnya. Ada sesuatu yang ia curigai tetapi ia mengerti, ia ayah dari seorang gadis remaja dan tidak sedang dalam posisi bersaing untuk mendapatkan kasih sayang selain sebagai ayahnya. Sedangkan bagi Wawan, lambaian itu, nampaknya hanya untuk satu orang, yang tidak seharusnya mendapatkannya. Pemikiran itu membuat perutnya tiba-tiba terasa melilit perih karena sudah tidak sanggup lagi menahan amarah yang meledak-ledak. *** Ada daun-daun yang terlihat berguguran di depan sana, dari sederetan pohon-pohon yang tidak dikenalnya. Sebelum merasakan hembusannya pun, Liwa yakin ada sapuan angin kencang yang menyebabkan guguran dedaunan itu. Lambaian dahandahan di puncak pohon, yang dilihatnya seperti menengadah dalam pemujaan tanpa henti pada penguasa langit, segera mempertegas kebenaran dugaan itu. Daun-daun itu meluncur lambat, melayang-layang, mengikuti permainan angin, seperti sekawanan belalang besar yang sengaja terbang untuk memperlihatkan tarian dengan berbagai ritme kepakan sayapnya. Pada detik berikutnya, seperti untaian kehidupan lain yang sudah ditakdirkan, warna-warna hijau itu menyatu dengan daun-daun lain yang telah lebih dulu melakukan tariannya, ikut menantikan terik matahari yang akan mengubah fareasi warna apa pun menjadi dedaunan coklat dan kering. Warna terakhir itu, sama dengan warna debu yang berganti menjadi pemain lain dari
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

283

tarian yang sama di tengah lapangan yang nyaris kehilangan semua rumput hijaunya. Lapangan yang tidak sedang digunakan itu, biasanya baru menjadi pusat keramaian kalau kebetulan dijadikan sebagai lokasi kampanye atau pameran pembangunan. Liwa baru saja menyeberangi perempatan jalan dan akan memasuki bagian tepi lapangan itu, ketika ia mendengar suara yang amat dikenalnya, memanggil namanya. Liwa! Liwa menghentikan langkahnya. Ia segera menoleh ke belakang. Tunggu! Kau tidak perlu meminta, aku memang akan menunggumu,batin Liwa. Salwa mempercepat langkahnya dengan lompatanlompatan kecil dan berusaha menghalau keterbatasan yang disebabkan oleh lingkar bawah rok panjangnya yang hanya selebar pinggangnya. Kau berjalan cepat sekali. Salwa menekan dadanya dengan tangan kanan, lalu membiarkan tangan kirinya yang memegang buku paket menutupi sesuatu yang sekilas memperlihatkan bagian yang ditekan itu. Aku mengejarmu dari pintu gerbang. Pintu gerbang? Tempat itu sudah jauh, karena sekarang mereka berdua hampir separuh perjalanan menempuh rute berjalan kaki ke rumah Salwa. Maaf. Aku tidak tahu kalau kau ada di belakangku. Tidak apa-apa. Aku yang salah. Seharusnya aku memanggilmu sejak tadi. Seharusnya aku tidak mencoba mengejarmu. Sulit sekali melakukannya. Jangan begitu.
Johan M.

284

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mereka berdua lalu berjalan kembali, berdampingan, Liwa di sisi yang dekat dengan jalan raya, sedangkan Salwa, menyamakan irama langkah kakinya untuk menjaga agar ia tetap tepat di sisi kiri sang pujaan hati. Tadi kulihat kau lewat di depan kelasku. Ya. Aku dari ruang guru. Menemui Ibu Ros. Ada apa? Biasa. Ada lomba menulis puisi. Kapan? Ibu Ros minta agar aku menyerahkan draf-nya hari Sabtu. Senin berikutnya, naskah yang ia setujui harus sudah dikirim. Salwa memperlambat langkahnya. Ia menangkap daun yang kebetulan melayang-layang di depanya. Ia segera memandang ke atas ke arah dahan-dahan yang menggugurkan daun-daun setengah basah itu. Liwa juga menangkap satu. Ia ingin menggantikan daun yang tertangkap itu dengan daun lain yang terhempas lembut di bahu Salwa, tetapi ia takut melakukannya, karena khawatir akan dianggap tidak sopan. Waw. Bagus sekali. Setelah ikut melihat daun-daun yang melayang, yang baru mulai diperhatikan oleh Salwa, Liwa lalu bertanya. Kau tahu nama pohonnya? Salwa menggeleng. Apa? Aku bertanya karena tidak tahu. Bukan untuk menawarkan pengatahuan. Hemm. Kau sungguh-sungguh tidak tahu? Ya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

285

Aku juga sungguh-sungguh tidak tahu. Tapi aku pernah tahu. Masa? Betul. Apa namanya kedengaran seperti namamu? tanya Salwa. Mana ada nama pohon yang mirip dengan nama orang. Apalagi namaku. Kita akan membuatnya. Maksudmu? Kau, sering melewati jalanan ini. Mungkin tidak salah kalau akhirnya pohon yang kebetulan tidak dikenal dan menggugurkan daun-daun yang memberikan suasana romantis seperti di film-film ini kita namakan pohon Liwa. Liwa tertawa pendek. Ada-ada saja. Aku serius. Pohon Liwa. Bagaimana? Setahuku, tidak ada pohon yang bernama seperti itu. Itulah alasannya. Karena belum ada, maka kita membuatnya ada. Begitu akan sampai di depan kantor TELKOM, Liwa melihat pohon itu sekali lagi. Lebih bagus kalau kita berdua menamainya pohon Salwa. Pohon Liwa. Baiklah, supaya adil, bagaimana kalau namanya kita ambil dari nama kita berdua? Begini saja, namamu untuk pohonnya, dan namaku untuk daunnya. Aku tidak melihat ada buah atau bunga.
Johan M.

286

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Jadi kita belum perlu mencari nama lain untuk melengkapinya. Cukup dengan nama kita saja. Pohon Liwa dan daun Salwa? Salwa memperlihatkan senyuman mempesona, yang membuat Liwa merasa tanpa hembusan angin spoi-spoi pun, panas terik matahari yang sedang membakar tubuhnya akan tetap terasa sesejuk suasana perbukitan di desa-desa tropis. Maksudku memang begitu. *** Salwa berdiri di samping pintu ruang kelasnya. Tatapannya tidak pernah berkedip dari area di sekitar lorong pendek yang dijadikan sebagai tempat memajang kotak majalah dinding. Ia tidak pernah melihat Liwa melewati tempat lain. Jadi, menemukan Liwa cukup dilakukan hanya dengan berdiri dan melihat setiap sosok yang berjalan memadati lorong di samping ruang kepala sekolah itu. Sambil terus menunggu, tanpa sadar ia larut dalam lamunan yang belakangan ini semakin sering mengganggunya. Ia kini semakin menyukai cara Liwa berbicara. Keanehan yang mula-mula ia rasakan, seperti yang pernah diungkapkan oleh Selvia, sekarang menjadi ciri khas Liwa yang ia anggap sebagai pesona seorang pribadi yang paling ia cari. Sungguh luar biasa, ada puisi pada setiap katanya. Ada kecerdasan pada setiap gagasannya. Semakin lama, Liwa sungguh semakin terlihat sebagai pria yang sempurna, mula-mula untuk menjadi kekasih, lalu menjadi suami. Oh Tuhan. Ia gemetar membayangkan bagaimana akhirnya Liwa akan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

287

menyentuhnya. Ia ingin melahirkan banyak anak-anak tampan dan cantik untuk meramaikan kehidupan cinta mereka. Tepukan itu agak terlalu keras, sehingga tanpa lamunan pun, ia tetap akan sama terkejutnya dengan reaksi yang kini ia perlihatkan. "Kamu melamun?" tanya Sumiarni. Salwa menggeleng. "Ayo, kita pulang. Atau kau menunggunya?" "Menunggu siapa?" Salwa berusaha mengelak. "Sudahlah," kata Sumiarni. "Kau tidak harus mengaku." Mereka berdua lalu berjalan menyesuri bagian depan kelas IPA 2 dan kelas-kelas IPS. "Kau tidak langsung melintasi lapangan?" tanya Salwa. Teman-teman sekelas Sumiarni ia lihat banyak melakukannya. Melintasi lapangan rumput yang mereka pergunakan sebagai area pelaksanaan upacara bendera setiap hari Senin, merupakan cara tercepat untuk mencapai lorong pendek menuju pintu kaca sebelum mencapai pintu gerbang terluar. "Malas," kata Sumiarni. "Banyak rumput kering yang menempel di sepatuku. Dan meskipun siang begini, masih banyak embun yang menempel di rumput-rumut itu. Aku sudah bosan melihat sepatuku jadi jelek dan kotor dalam waktu yang begitu singkat. Liwa juga jarang melewati lapangan itu. Dia paling sering melewati teras di bagian depan ruang kelas dua unggulan." "Kau kelihatannya mulai tahu banyak tentang dia."
Johan M.

288

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Salwa, dia teman sekelasku. Bahkan juga ketua kelasku." "Baiklah. Kita berdua tahu, kau punya alasan lain." "Oh, sialan," Sumiarni mencupit pinggang Salwa. "Hanya untuk kita berdua. Jangan sampai ada orang lain yang tahu." Salwa memaksa dirinya untuk tertawa. Ia sebenarnya tidak mau mendengar pengakuan itu. Bahkan jika bentuknya hanya sebuah harapan, ia tidak mau berbagi dengan gadis lain. Harapan-harapan indah tentang Liwa yang bisa dibentuk dalam pikirannya seharusnya hanya menjadi kekayaan benaknya. Ia tidak mau ada gadis lain yang merasakan kedamaian bersama Liwa, bahkan bila kehangatan itu hanya dinikmati dalam lamunan. Mereka sekarang sudah kelas tiga. Sumiarni memilih jurusan bahasa, sedangkan dia memilih IPA. Ia tidak merisaukan kelas apa yang dipilih oleh Sumi. Ia sudah mencoba memberikan penjelasan pada orang tuanya. Ia ingin melanjutkan ke jurusan bahasa, sama seperti Liwa. Ia ingin satu kelas dengan pujaan hatinya itu, agar lebih banyak lagi waktu yang akan dilewati bersama selama berada sekolah. Tentu saja ia mengarang alasan-alasan bagus, yang tidak sedikit pun menyinggung nama Liwa. Tetapi keinginannya tidak disetujui, oleh setiap orang yang ia mintai pendapat. Dengan kekompakan semua orang itu, ia menjadi tidak punya cara untuk melemparkan tuduhan pada Wawan, yang biasanya selalu menjadi biang keladi di
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

289

balik semua harapannya yang gagal tercapai setelah di bagian itu ditemukan ada nama Liwa. "Bagaimana rasanya satu kelas langsung dengan orang yang kita sukai?" "Kau bertanya padaku?" tanya Sumiarni. "Ya. Memangnya ada orang lain lagi yang sekarang bisa kutanya?" Mereka berdua kebetulan pulang dengan berjalan kaki. "Biasa-biasa." Salwa keberatan dengan jawaban itu. Bagaimana mungkin satu kelas dengan Liwa bisa dianggap biasabiasa saja oleh orang yang menurutnya sebenarnya tidak berhak memiliki impian indah atas kedekatan macam apa pun dengan Liwa. "Aku tidak percaya." "Apa yang membuatmu tidak percaya. Kau bertanya padaku, dan aku mencoba memberikan jawaban sesuai dengan apa yang kurasakan." "Jawabanmu terdengar seperti orang yang tidak menyukai Liwa." "Apakah itu salah?" "Tentu saja tidak. Tetapi, aku tidak yakin kalau kau tidak menyukainya." "Karena kau sendiri menyukainya. Lalu menurutmu menjadi terdengar aneh, kalau ternyata ada orang yang tidak menyukai apa yang kau sukai?" Salwa terdiam. Ia merenungkan ucapan yang menampar kesadarannya itu. Ia menjadi malu. Ia tidak
Johan M.

290

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mau ada orang yang mengetahui rahasia hatinya. Bahkan Selvia pun tidak tahu. Ia biarkan Selvia hanya memahami bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengan Kak Wan. Ia tidak pernah mau menjelaskan pada siapa sebenarnya ia merasa rindu, pada siapa ia menumpukan harapan-harapan indahnya, pada siapa ia bersedia melakukan apa pun untuk memberikan kebahagiaan. "Maaf." "Aku belum pernah berpacaran, tetapi kenyataan itu sama sekali bukan berarti bahwa aku tidak memahami dunia tentang rasa saling suka. Kita sering menyebutnya dengan cinta, sering sekali terburu-buru menganggap diri kita mencintai, padahal yang baru muncul mungkin hanya sekadar rasa suka. Cinta itu perlu pengorbanan. Jika setelah melewati berbagai rintangan kemudian perasaan suka itu masih ada, itulah cinta. Itulah yang harus dipertahankan. Karena bagian dari perasaan yang abadi itulah yang sesungguhnya paling dicari. Apalah artinya rasa suka, sementara dia dipaksakan hadir hanya untuk mengejar kesenangan sementara?" "Oh. Bagaimana kau bisa mengatakannya?" "Seharusnya kau satu kelas dengannya. Bukan saja untuk membuatmu memiliki kesempatan untuk lebih banyak berada di dekatnya, tetapi untuk membuatmu bisa mendengar ia mengatakan semua hal dengan bahasa-bahasa yang membuat kami semua terkagumkagum." "Bolehkah aku meminta sesuatu?" "Katakan saja."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

291

Salwa ragu-ragu, lalu pelan-pelan, dan dengan suara rendah, dia mengajukan sebuah permemohonan, "Jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang kau tahu. Maksudku, tentang perasaanku pada Liwa. Jangan katakan pada orang lain, dan lebih-lebih lagi, pada Liwa. Bagaimana?" "Terserah," kata Sumiarni. "Aku hanya ingin menjadi teman yang baik bagimu." *** Formulir Pemilihan Mahasiswa Jalur Khusus yang sudah diisi itu, ia serahkan pada Ibu Yuli, guru konseling yang ditugaskan hanya untuk menangani siswa-siswa kelas tiga. Keputusan Liwa sudah bulat. Tanpa melalui konsultasi panjang dan berbelit-belit, ia akhirnya memilih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Mataram, sebagai tujuan studi lanjutannya di perguruan tinggi. Untuk mencapai maksud itu, ia menjadikannya sebagai pilihan pertama pada formulir PMJK. Kalau saja boleh tidak mengisi pilihan kedua, ia bermaksud tidak melakukannya, karena hanya program studi pertama itu, yang bisa dipikirkannya sebagai tempat untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Kemampuan orang tuanya untuk membiayai kuliahnya merupakan pertimbangan utama. Dia tidak bisa membiarkan dirinya berpikir sama dengan teman-temannya. Keadaan teman-temannya berbeda. Mereka tidak memiliki orang tua yang sakit. Mereka masih memiliki banyak hari untuk memanjakan
Johan M.

292

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

diri, sementara hari-hari semacam itu sudah tidak bisa ia harapkan lagi akan menjadi bagian dari hidupnya. Tidak ada teman sekelasnya yang menyebutkan perguruan tinggi di luar Jawa sebagai tujuan studi mereka. Liwa hanya mendengarkan percakapanpercakapan tentang semua rencana bagus temantemannya yang bermaksud menimba ilmu di Pulau Jawa. Dia tidak mau membiarkan dirinya ikut terlibat dalam pembicaraan yang semakin seru itu. Dia sepakat dengan sebagian besar pendapat yang mengemuka. Jadi apa perlunya ikut mengatakan pendapat? Siapa yang tidak ingin sekolah di Pulau Jawa. Liwa juga berharap dapat melanjutkan studi ke sana. Di Jawa, ada banyak perguruan tinggi bagus yang bisa dijadikan pilihan. Membayangkan dirinya menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi terkenal membuatnya merinding. Sebagai anak, ia bisa meminta kesempatan itu pada orang tuanya, tetapi ia tidak melakukannya. Usia delapan belas tahun, dengan pengalaman hidup dalam sebuah keluarga yang mendadak harus menjual isi rumah untuk mencukupi biaya pengobatan stroke bapaknya, membuatnya tidak sanggup membiarkan orang tuanya terbebani oleh kewajiban yang lebih besar lagi. Tidak ada orang tua yang tidak mau membahagiakan anaknya. Sampaikanlah sebuah keinginan, secara naluriah orang tua akan berusaha memenuhinya. Dan dalam keterbatasannya sebagai manusia, orang tua tidak selalu bisa memenuhi harapan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

293

anak-anak mereka. Orang tua bukan Tuhan. Mereka juga ciptaan Tuhan, yang hidup di atas dunia untuk mengambil takdirnya sebagai hamba yang memasrahkan diri pada takdir dan pengabdian. Tanpa menambahkan sebuah harapan yang mulukmuluk untuk pergi sekolah ke tempat yang jauh dan berbiaya besar, Liwa merasa orang tuanya sudah cukup menerima derita kehidupan. Dia tidak mau menambahkan satu kemalangan lagi. Dia ingin kehadirannya menjadi berkah. Masih ada tiga orang adik yang juga memerlukan perhatian. Biarlah temantemannya pergi mengejar impiannya. Mereka memiliki kehidupan yang tidak sama dengan dirinya. Mereka mungkin lebih beruntung. Liwa sengaja menjadikan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris sebagai pilihan kedua karena ia ingin menjadi orang pertama yang melakukannya. Ia yakin, calon-calon mahasiswa dari generasinya dan semua generasi sebelum dirinya telah menjadikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah hanya sebagai pilihan kedua. Karena di sekolahnya saja, jurusan bahasa sering dijadikan sebagai kelas buangan bagi siswa-siswa yang memiliki nilai rapor dengan angka-angka paling rendah. Munculnya kesan abadi tentang betapa lemah prestasi siswa-siswa yang masuk jurusan bahasa kemudian tidak terhindarkan. Kesan buruk itu, menyebabkan banyak guru kemudian menjadi enggan ditugaskan mengajar di jurusan bahasa. Dan jika mereka terpaksa harus
Johan M.

294

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

melakukannya, pengalaman mengajar di jurusan bahasa sering sekali dijadikan sebagai lelucon dan keluhan di ruang guru. Liwa tidak senang dengan segala macam bentuk pembedaan perlakuan. Bahkan jika dirinya yang menjadi pihak yang diistimewakan, ia lebih merasa damai dengan menerima perlakuan yang sama dan dengan cara yang memang semestinya. Liwa ingin menyingkirkan kesan buruk yang sudah terlanjur melekat itu. Dengan dukungan Ibu Yuli, dia akhirnya menjadi salah satu siswa kelas bahasa, meskipun nilai rapornya memungkinkannya menjadi siswa jurusan IPA. Tentu saja pilihan ini memiliki risiko pada masa depannya. Tetapi kemarahannya telah menutupi celah bagi pikiran-pikiran lain. Dia kemudian merasa senang setelah mendapati teman-temannya juga mengaku memiliki motivasi yang sama dengannya. Dengan teman-teman baru yang memiliki semangat yang sama itu, ia kemudian membangun kekompakan untuk saling menyemangati agar belajar lebih giat. Setelah minggu keempat, guru-guru yang mengajar mereka, dan pernah memiliki pengalaman mengajar sebelumnya di jurusan bahasa, mengaku terkejut dengan perbedaan yang mereka temukan. Liwa meminta teman-temannya menulis puisi, cerpen, dan apa pun yang bisa mereka tulis. Statusnya sebagai pengurus utama majalah dinding memungkinkannya untuk memegang kunci semua majalah dinding dan menggunakan semua kota-kotak kaca itu untuk memajang semua karya tulis yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

295

dikumpulkan padanya. Kegairahan menulis siswa-siswa jurusan bahasa kemudian diikuti oleh siswa-siswa lain. Pada bulan kedua, enam orang siswa diutus untuk mengikuti lomba menyanyi lagu pop dan keroncong. Tiga orang di antaranya dari jurusan bahasa, dua orang dari kelas dua, dan satu orang dari jurusan IPA. Salah satu dari dua piala yang mereka bawa pulang dimenangkan oleh Liwa, sebagai juara kedua lomba menyanyi lagu keroncong. Kegairahan belajar dan prestasi yang saling menyusul, telah membuat jurusan bahasa pelan-pelan mulai menjadi lebih dikagumi dan tidak lagi dianggap sebagai pencetak anak-anak bermasalah. *** "Kamu memang pembohong!" Wawan murka. Ia semakin geram setelah melihat Sumiarni tersenyum mengejek. "Kak Wan ingin mendengarkan apa?" Sumiarni menantang. "Saya bisa mengatakan apa saja." Wawan menyumpah. Kemarahannya membuat ia tidak ingat bahwa semua sumpah serapah itu dia teriakkan di rumah orang lain. Ia ingin mencabik-cabik gadis licik itu. "Kau bohong, Salwa cuma menjadi pacarku. Dia tidak berpacaran dengan orang lain." "Saya tidak mengatakan ia berpacaran dengan orang lain. Apa perlu saya ulangi lagi? Yang saya katakan sejak tadi adalah dia mencintai orang lain." Sumiarni mengulangi lagi kalimat itu sampai tiga kali. Wawan meremas rambutnya.
Johan M.

296

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Jangan coba-coba menghancurkan harapanku." "Tidak," kata Sumiarni. "Kehancuran itu, tumbuh sendiri. Tetapi saya lebih meyakini bahwa sebenarnya kehancuran itu tidak ada, tidak pernah ada, karena mungkin tidak pernah ada impian apa pun yang perlu dihancurkan. Kak Wan selama ini cuma sibuk dengan angan-angan sendiri." Wawan berdiri. Ia bergerak dan mulai mengangkat tangannya untuk melayangkan tamparan ketika ia mendengar teriakan di pintu. "Keluar!" Wanita itu menggenggam kain cucian yang masih basah. Tangannya juga seperti siap dibiarkan melayang untuk dihantamkan pada wajah tamu kurang ajar itu, yang setiap kali datang selalu menimbulkan keributan dan tidak pernah berhenti menghina anaknya. Siapa dia yang begitu kurang ajar dan tidak memiliki tata-krama. "Keluar!" Wawan segera menyelamatkan dirinya. Ia bergegas keluar. Motor bututnya terpaksa digeret keluar dari gang sempit itu menuju jalan beraspal lima belas meter ke arah selatan, karena motor sialan itu mendadak macet. Kekesalannya menggunung begitu melihat dua perempuan yang mengusirnya itu menatap marah dengan senyum megejek yang amat menyakitkan hati. "Jangan pernah membuka pintu lagi untuknya." Ucapan ibunya itu jelas dimaksudkan hanya untuk kiasan. Sumiarni menyadari bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang akan menutup pintu sepanjang hari, selama dagangan mereka masih menumpuk di atas meja. ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

297

Wawan meninggalkan sepeda motornya pada bengkel yang kebetulan ada di ujung gang. Setelah mendengar penjelasan karyawan bengkel itu, ia kemudian memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah Salwa. Menghabiskan waktu sedikitnya tiga puluh menit untuk menunggu perbaikan sepeda motornya bukan merupakan bagian dari pengalaman yang ia inginkan untuk melengkapi sore yang menjengkelkan ini. Jangan sampai Liwa ada di sana dan sedang berbicara dengan Salwa. Ia pasti akan menghantam bocah SMA yang kurang ajar itu. Berani-beraninya mengambil pacar orang lain. Ternyata pintu depan rumah Salwa tertutup. Ia lalu masuk lewat pintu samping, langsung ke arah dapur. Hikmah berteriak kaget dan nyaris melemparkan piringnya yang masih berisi separuh makanan. Tanpa ucapan salam, Wawan tiba-tiba saja muncul, di tempat yang menjadi privasi para gadis dan ibu mereka, tempat di mana mereka biasanya tidak mengenakan jilbab. "Ada apa?" tanya Hikmah. "Saya mau bertemu bapak." "Tunggu di depan." Wawan menurut. Dia keluar dari dapur. Hikmah menuangkan air minum ke dalam gelas. Setelah meminum seperempat gelas, ia berhenti, lalu segera menutup makanannya. Kurang ajar, pikirnya. Dia seperti bukan muslim saja, masuk tanpa salam, dan langsung nyelonong ke dalam rumah. Bapak harus diberi tahu kelakuan pacar adiknya ini.
Johan M.

298

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Kamu yang berteriak tadi?" tanya bapaknya. "Ya." Dia lalu menjelaskan penyebabnya. "Kurang ajar," gerutunya. "Bapak tegur dia sekarang." Abdurrahman membuka pintu. Dia langsung mengambil tempat duduk sebelum mempersilahkan Wawan melakukannya. "Saya lihat di depan sepi," kata Wawan, mencoba menjelaskan sebelum mendengarkan ucapan apa pun. "Lain kali, jangan langsung ke belakang." Wawan mengangguk. "Salwa ada di rumah?" "Di sekolah. Ada kegiatan remaja musala." "Oh, ya. Saya lupa. Saya kira dia sudah tidak aktif lagi." "Masih, mungkin tinggal cawu ini. Catur wulan berikutnya dia sudah harus berhenti dari semua kegiatan eks-kul." "Benar." "Mana motormu?" "Di bengkel. Saya ke sini juga maksudnya sementara menunggu perbaikan." "Oh." "Maaf, Pak." "Ya?" "Saya ingin meneruskan apa yang sudah pernah kita bicarakan dulu." "Maksudnya?" Wawan memperbaiki cara duduknya. "Tentang rencana pertunangan saya dengan Salwa." "Oh, itu."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

299

"Ya. Mudahan bapak tidak lupa." "Tentu saja tidak." Abdurrahman lalu mengambil koran yang tergeletak di atas meja. Bentuk lipatannya yang sudah kacau menunjukkan koran itu belum lama diletakkan di situ dan sudah dibaca sebagian. Wawan tiba-tiba merasa kebohongannya telah terungkap dengan mudah sebelum waktunya. Dia memang tidak memperhatikan benar ada atau tidak orang di ruang tamu saat pintunya tertutup dan kaca gelapnya tidak memberikan cukup penerangan untuk melakukan identifikasi cepat. "Bagaimana jawaban Salwa." "Belum ada." "Belum?" Wawan nyaris mendengar sendirian pertanyaan yang ringkas itu. Ia merasa jengkel karena telah diabaikan oleh pria yang mulai asyik membaca koran itu. "Mengapa belum? Padahal sudah" "Ibunya tidak mengizinkan saya menanyakan hal itu pada Salwa." "Mengapa?" "Salwa tidak lama lagi harus mulai mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir. Ibunya ingin, jika memang harus, pertunangan itu bisa menunggu sampai dia tamat. Kalau sekarang, ibunya khawatir hal itu akan mempengaruhi minat belajarnya." "Tentu saja tidak." "Ibunya, seorang wanita, saya percaya dia lebih memahami anak-anaknya, yang juga seorang wanita.
Johan M.

300

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sebagai laki-laki, pandangan kita sama. Sebuah petunangan, bukan merupakan pernikahan, hanya ikatan untuk bisa membuat dua orang lebih memiliki banyak waktu untuk saling mempelajari." "Betul." "Dan ibunya tidak mau Salwa menghamburhamburkan waktu untuk mempelajari hal-hal di luar pelajara sekolahnya. Tolong bantu kami dengan memahami maksud baik ini." Apakah dengan mengajak anak gadisnya bertunangan, tidak cukup dikatakan sebagai maksud baik? *** Liwa menyerahkan dua lembar kertas yang berisi ketikan puisi terbarunya. Dia sengaja menyerahkan dua buah puisi itu untuk dipilih oleh Ibu Rosmiyanti, guru bahasa Indonesia yang mengajar pada tahun ajaran yang lalu swaktu ia masih di kelas dua. Dua-duanya bagus. Tapi harus dipilih salah satu, Bu." Ia menemui Ibu Rosmiyanti kali ini tidak hanya untuk menunjukkan puisi-puisinya, tetapi berharap agar guru bahasa itu membantunya memilih puisi yang dianggap paling baik. Ia tahu, bahkan menghafal semua persyaratan lomba penulisan puisisesuatu yang ia sadari memang harus diketahui oleh peserta yang sudah berpengalaman mengikuti lomba semacam itu. Jika hal-hal kecil dan khusus dalam peraturan lomba dapat diperhatikan dan ditaati, hal-hal yang lebih umum akan lebih mudah dilaksanakan. Liwa lalu menjelaskan mengapa ia harus
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

301

dibantu memilih. "Satu peserta hanya boleh menyerahkan satu buah puisi. Ibu Rosmiyanti menyusun sepuluh rapor yang sebelumnya telah disisihkan, mungkin sesuai dengan urutan prestasi siswa di kelasnya, lalu rapor itu diletakkan lagi pada susunan teratas. Hari ini pembagian rapor cawu pertama di kelas tiga. Guru-guru lain di meja-meja lain juga terlihat sedang melakukan persiapan yang sama. Kirim dua-duanya." katanya. Saran itu terdengar semakin mantap setelah strateginya dikemukakan dengan lebih jelas. "Satu atas namamu, dan yang satu lagi dengan nama temanmu. Siapa pun, terserah. Liwa mengangguk, berusaha mencerna anjuran itu dengan cepat sebelum Ibu Rosmiyanti berdiri, menunjukkan sikap seperti sudah tidak sabar ingin pergi ke ruang kelas untuk membagikan rapor. Baiklah, kata Liwa, sekadar untuk menunjukkan bahwa ia tidak sedang menentang kehendak gurunya, yang saat ini ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menjadi penanggung jawab pengaturan utusan yang akan menjadi peserta lomba penulisan puisi dan naskah pidato dari SMU Negeri 1 Selong. Setelah sekarang ia kelas tiga, sebenarnya ia sudah tidak boleh lagi diikutkan dalam kegiatan lomba apa pun, selain karena harus sudah lebih memokuskan perhatian pada persiapan untuk ujian akhir, sekolah juga perlu menyiapkan generasi penulis puisi berikutnya, dari kelas satu dan dua. Tetapi mungkin karena
Johan M.

302

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pemberiantahuan mendadak dari Depdikbud selaku pelaksana lomba, Ibu Rosmiyanti kemudian cepat-cepat menghubungi siswa yang sudah pernah memenangkan lomba penulisan puisi agar dia tidak perlu melakukan pembinaan menjelang waktu pembagian rapor, yang selalu menjadi saat-saat paling menyibukkan bagi kehidupan seorang guru bidang studi yang merangkap menjadi wali kelas. Batasnya hari Rabu depan, kan ya? Liwaul berusaha menyembunyikan senyumnya. Ia tiba-tiba mengingat saat-saat belajar di dalam kelas dengan Ibu Rosmiyanti. Setiap kali mengajar, Ibu Ros selalu menegaskan pelajaran dengan mengatakan Kan ya? di setiap akhir kalimat, sebagai penegas atas kalimat yang sebelumnya ia ucapkan sekaligus untuk menuntut anggukan para siswa, karena belum pernah ada yang memberikan jawaban dengan suara. Ada juga guru lain, yang kebetulan satu kampung dengan guru bahasa Indonesia itu, yang uniknya selalu mengakhiri kalimat dengan mengatakan Ya, kan? Pertentangan yang terlalu mencolok itu, terkadang memancing munculnya kecurigaan para siswa tentang pernah adanya kisah lama yang berakhir tragis sehingga kesepakatan yang dulu mungkin mewarnai saat-saat manis dalam kehidupan mereka kemudian berusaha dihapus dengan memperlihatkan pertentangan yang sangat ingin ditorehkan pada ingatan setiap siswa yang mengikuti pelajaran mereka. Sungguh, sebuah dendam yang mahal, lama, dan jelas tidak terobati.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

303

Liwa lalu memberikan penjelasan yang menurutnya harus menjadi perhatian mereka berdua. Hari Senin depan. Pukul 12.00 harus sudah diantar. Jadi, begitu saja. Siapa pun, tulis namanya di salah satu puisi itu, lalu minta salah seorang di TU mengirimkannya. Baik, Bu. Ibu Rosmiyanti tidak mengucapkan apa pun lagi. Dia berjalan menelusuri celah sempit di antara dua deret meja. Begitu akan berada di dekat pintu keluar ruang guru, dia menggeser dua buah bangku yang sedang tidak dipakai, lalu melewati celah buatan itu untuk mencapai pintu. Liwa melihat puisinya yang diketik dengan mesin tik manual. Ia kembali memandangnya, seperti tadi malam saat pertama kali selesai mengetik kedua puisi itu. Ia tersenyum puas melihat tipografi kedua puisinya. Penulis lain boleh mengabaikannya, tetapi tidak begitu dengan dirinya. Susunan kata-kata yang sudah diterima oleh Ibu Rosmiyanti itu merupakan dua karya terbarunya. Bahkan, menurutnya merupakan karya terbaiknya sejauh ini. Dua puisi itu merupakan bentuk yang mampu diwujudkannya setelah menulis hampir seratus puisi dan memperhatikan kritik serta pujian juri terhadap semua puisi-puisi terburuk dan terbaik yang pernah masuk sepanjang pelaksanaan lomba penulisan puisi yang pernah diikutinya. Liwa memberikan anggukan pada beberapa guru yang berpapasan dengannya dan kebetulan memandang
Johan M.

304

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

ke arahnya. Ia menyusuri separuh rute yang diambil oleh Ibu Rosmiyanti untuk keluar dari ruang guru, lalu meneruskan sampai ke depan meja panjang yang berhadapan dengan seluruh deretan meja-meja guru. Celah yang agak lebar itu hanya perlu ditempuh tiga langkah sebelum ia kembali harus menelusuri celah sempit menuju pintu keluar. Di luar ruang guru, Liwa berjalan lambat-lambat ke arah barat. Ia menuju ruang TU, yang pintu masuknya berdekatan dengan pintu masuk ruang kepala sekolah. Setelah menjelaskan pesan Ibu Rosmiyanti pada salah seorang staf, ia lalu diarahkan untuk mendekati seorang staf tidak berseragam yang sedang sibuk mengetik dengan mesin tik besar di salah satu sudut ruangan yang jendela luarnya biasa dipakai untuk memajang surat-surat masuk berperangko untuk para siswa. Pada hari-hari tertentu, meja tempat mesin tik besar itu diletakkan, dipakai oleh bendahara sekolah untuk menerima pembayaran SPP. Liwa berdiri di depannya staf yang tidak berseragam itu. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu ketika staf tidak berseragam itu tiba-tiba berdiri lalu bergerak cepat ke luar ruangan. Dia kembali tidak lama kemudian, membawa setumpuk kertas HVS F4 yang masih kosong. Dari gerak-geriknya, ia sepertinya bukan pegawai tetap. Selain karena dia satu-satunya pegawai yang tidak berseragam hijau dengan banyak emblem, kelincahannya dalam bekerja dibandingkan dengan pegawai lainnya menjelaskan bahwa dia mungkin hanya pegawai honorer. Gaji bulanannya bisa saja hanya diperoleh dari
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

305

berapa pun uang yang mampu dan tega diberikan oleh sekolah. Ya? Liwa menunjukkan dua lembar puisinya untuk menjawab pertanyaan yang hanya bisa dipahami dari nada dan cara orang yang mengungkapkan kata yang amat singkat itu. Tolong dibuatkan surat pengantarnya. Oh. Kebetulan, saya juga sedang menyiapkan teks pidato, katanya. Dia menunjuk sejumlah kertas yang separuh tergulung. Kertas-kertas itu merupakan catatan tangan yang sebenarnya ditulis dengan apik. Tetapi seapik apa pun tulisannya, tidak akan bisa langsung dipakai untuk lomba menulis, karena ada syarat untuk menyerahkan tulisan dalam bentuk ketikan dengan sepasi rangkap. Apa ada yang perlu saya tambahkan dalam kertas ini? Tinggal nama saja. Saya bisa menambahkannya di sana, Liwa menunjuk mesin tik lain yang sedang tidak terpakai. "Bapak tinggal membuatkan surat pengantarnya." Oh, kalau begitu, nanti sekalian dengan naskah pidato ini, katanya. Staf itu kemudian berdecak gelisah. Selama Liwa mengamatinya, sudah dua lembar kertas yang dicabut dari mesin tik itu. Sambil berdiri, dia kemudian mendadak meminta Liwa mengikutinya. Ayo ikut saya ke ruang komputer. Oke.
Johan M.

306

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Di ruang komputer pun, staf tidak berseragam itu masih belum terbebas dari kegelisahannya. Ia bahkan terlihat makin panik saja pada detik-detik berikutnya. Bisa komputer? pertanyaan itu muncul setelah ia mondar-mandir hampir setengah selusin kali. Liwa menggeleng. Kalau ia bisa, dia tidak akan duduk berpangku tangan saja dari tadi sementara ada komputer di hadapannya. Tidak. Saya cuma bisa menggunakan mesin tik. Nah, menggunakan komputer itu, sama seperti mesin tik." "Oh, begitu?" "Saya belum pernah menerima tugas pengetikan sebanyak hari ini. Bisa kan? Tolong saya mengerjakan ketikan yang satu ini? Liwa mengangguk ragu-ragu. Staf itu sudah pergi sebelum Liwa sempat mengetik satu kata di layar monitor. Setelah mengetik satu paragraf, Liwa kebingungan mencari tombol yang bisa digunakan untuk memulai paragraf baru. Di mesin tik manual, ia bisa malakukannya dengan menekan tombol yang agak panjang di sebelah kanan tengah. Sekarang, ia berhadapan dengan lebih dari tiga tombol semacam itu. ia takut menekan tombol yang salah dan nanti mempengaruhi penggunaan program lain di komputer itu. Sambil menunggu staf itu datang menengoknya untuk ditanyai, ia lalu memandang ke luar jendela. Di situ ia melihat dua orang gadis menengok ke dalam
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

307

jendela. Liwa tersenyum pada salah satunya. Ia memberi isyarat pada Laela Hidayati untuk masuk menemaninya. Apa yang sedang kamu kerjakan? Laela lalu duduk di sebelahnya. Liwa heran karena ia tidak lagi menemukan kesan yang sama seperti dulu saat mereka berdua bermain pesan singkat dengan lembaran kertas kecil yang tergulung. Setelah dua tahun tidak lagi satu kelas dengannya, Liwa tidak melihat ada yang berubah dari Laela. Ia masih gadis kecil yang dulu, dengan rambut sebatas bahu dan tahi lalat di bibirnya yang terlihat nyata setiap kali ia tersenyum. Mengetik naskah pidato. Dengan komputer ini? Ya. Waw, kamu hebat. Bisa komputer! Ajari aku dong. Aku juga belum bisa. Liwa lalu menjelaskan masalah yang dihadapinya. Kamu sudah menekan yang ini? Laela menunjuk tombol yang bertulis enter. Belum. Ayo, coba. Bahasa Inggris-nya dulu bagus. Hal itu membuat Liwa mempercayainya. Liwa lalu melakukannya. Ia berharap, menuruti permintaan Laela bisa menjadi cara untuk memberikan kemanjaan padanya. Bagaimanapun, Laela dulu pernah menarik perhatiannya, bahkan nyaris dicintainya kalau saja Salwa tidak mendadak muncul menjadi jawaban atas
Johan M.

308

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

keresahannya, dan dengan cara tertentu telah bisa membuatnya menjadi tenteram, meskipun hingga tahun ketiga dalam perkenalan dengannya, mereka masih bertahan hanya menjadi dua orang sahabat dekat. Hanya hubungan sebagai sahabat yang ia harapkan saat ini dengan Laela. Entah bagaimana dengan Laela sendiri. Ia tidak pernah menanyakannya. Entah bagaimana cara menanyakannya tanpa keharusan untuk terjebak pada hasil yang tidak diharapkan. Diperlukan keberanian untuk memperoleh penegasan, dan diperlukan lebih dari itu untuk menerima konsekuensi yang tidak diharapkan. Bila Laela ternyata ingin berpacaran, bagaimana memberikan jawaban "Ya," sementara ia ingin menjalin hubungan semacam itu dengan gadis lain, yang sampai saat ini memang belum berhasil ia ajak berbicara lebih serius mengenai harapan besar itu. Jika Laela memang hanya menginginkan hubungan persahabatan, itu berarti akan membuatnya kehilangan kepercayaan diri atas gadis yang selama ini ia kira menginginkan hubungan khusus dengan semua ciri-ciri yang sudah ditunjukkannya. Dan jika sampai gadis seperti Laela menolaknya, ia akan semakin kehilangan kepercayaan atas kemampuannya untuk mendapatkan cinta Salwa. Bagaimana ia bisa membiarkan pikirannya berkelana untuk membangun harapan meraih cinta gadis paling sempurna, kalau gadis yang bisa membuat ia marah dan tidak peduli saja ternyata tidak berhasil ia dapatkan? Menghormati hubungan yang sudah dijalin oleh Salwa dengan pacarnya, mula-mula menjadi alasan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

309

mengapa Liwa memilih untuk menunda menyatakan cintanya. Hubungan mereka yang sudah sangat dekat, karena banyak kesempatan bertemu dan berbicara, terbuka tentang berbagai hal kecuali perasaan masingmasing, sebenarnya sudah cukup untuk dijadikan sebagai pertimbangan untuk melahirkan sebuah komitmen baru sebagai dua orang kekasih. Hanya saja, keinginan dan keyakinan sering saling menghapuskan, membuat orang-orang yang memilikinya terpaksa harus berhadapan dengan pilihan, yang tidak selalu tepat, yang seringkali keliru, hingga akhirnya membuat dua cita-cita yang manis menjadi duka derita yang baru. Rasa hormat itu, ditambah dengan rasa sayang yang makin mendalam, perlahan berubah menjadi ketakutan akan kehilangan hari-hari yang mendamaikan jiwanya yang dengan mudah dapat diperoleh ketika sesekali ada kesempatan untuk berjalan dan berbicara berdua dengan Salwa. Berilah nama apa pun, bahkan jika semua manusia tega menyebutnya sebagai persahabatan sejati, asal semua itu berarti memberinya kesempatan berjalan dan berbicara berdua dengan Salwa, hingga dirinya lupa pada waktu dan benci pada jarak tempuh perjalanan yang dekat, Liwa bersedia menerimanya. Hari-hari di rumah, di jalan, dan sekolah, telah banyak mengajarkan padanya bahwa seluruh kebahagiaan belum menjadi haknya. Mengapa harus berontak pada ketidaksempurnaan kenyataan? Sepanjang Salwa masih ada di dekatnya, mau berbicara dan mendengarkannya,
Johan M.

310

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

berarti masih ada dunia yang patut dihuni, masih ada dunia yang menyediakan keajaiban-keajaiban. Pengakuan Salwa tentang dirinya sebagai laki-laki pertama yang dekat dengannya, tidak membuat Liwa menjadi lebih berani untuk segera menyatakan cintanya. Fakta bahwa Salwa tidak pernah menyebut konflik apa pun yang pernah terjadi antara dirinya dan pacarnya adalah bukti tidak langsung tentang keharmonisan mereka. Pengakuan Salwa tentang Liwa sebagai laki-laki pertama yang hadir dalam hidupnya mungkin harus tetap dipertahankan memiliki makna sebagai sahabat pertama, dan bukan kekasih pertama. "Nah, kan bisa!" seru Laela. "Kamu pintar." Liwa segera tersadar dari lamunannya. Pujian itu terdegar kekanakan. Tetapi siapa yang tidak akan berubah menjadi sekonyol anak-anak ketika hati mereka tengah dilanda oleh kesenangan yang tidak biasa, yang membangkitkan kembali detik-detik keriangan yang dulu pernah mengisi hidup mereka sebelum masalahmasalah dunia dengan kejam akhirnya datang untuk menghapusnya? "Itu karena saranmu," kata Liwa. "Bagaimana kalau aku membacanya dan kamu mengetik saja?" Usulan yang bagus. Kedengarannya akan membuat kemesraan dua calon kekasih menjadi semakin meningkat. "Oke," Liwa menyetujui usul itu. Ia berusaha agar tidak sampai larut dalam perasaan yang sudah jauh pergi dan membeku menjadi bagian dari masa pubernya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

311

Staf yang ditugaskan itu kembali setelah Liwa berhasil menyelesaikan ketikan sepanjang satu halaman A4. "Kita lanjutkan Senin depan saja," katanya. "Bisa datang, kan?" "Ya," jawab Liwaul. "Pukul berapa?" "Sekitar pukul 09.00." Setelah mengembalikan naskah pidato bertulis tangan itu, Liwa lalu menyusul Laela keluar dari ruang komputer. "Kamu mau datang lagi?" tanya Laela. "Ya. Harus. Kau lihat sendiri, staf itu tidak membuatku yakin ia akan mampu membereskan tugastugasnya. Dia terlalu banyak pekerjaan." "Kasihan, ya?" Liwa mengangguk. Ia berharap tidak pernah punya pengalaman menjadi staf honorer, kalau masih ada pekerjaan lain, kecuali bahwa tawaran honorer itu merupakaan bagian dari kontrak kerja jangka pendek yang menjadi bagian dari perjanjian instansi pemerintah untuk melakukan pengangkatan staf baru. *** Senin pagi itu, Liwa sudah datang ke sekolah sebelum pukul 09.00. Dia hanya menemukan dua orang staf berseragam di ruang TU. Para staf yang tidak diberi hari libur seperti guru-guru dan murid-muridnya seusai pembagaian rapor, mungkin sedang berinisyatif membuat hari libur sendiri.
Johan M.

312

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Tunggu saja di situ," salah seorang di antara mereka menyarankan. Liwa lalu duduk di salah satu bangku kosong yang menghadap ke arah sebuah meja kosong yang permukaannya bersih dari map-map. Tidak lama kemudian, seorang gadis yang mengenakan pakaian hangat, yang tadi sempat dilihat oleh Liwa hanya melintas di depan pintu ruang TU, sekarang tiba-tiba sudah masuk, megikuti staf tidak berseragam itu, yang masih mengenakan baju putih tipis yang dikenakannya pada hari Sabtu lalu. Pria itu tidak terlihat lebih segar di hari Senin pagi ini. Ia masih sama kusutnya dengan waktu terakhir ia melihatnya. "Ayo, ikut saya ke ruang komputer," pintanya. Liwa mengikuti pria itu. Gadis cantik dengan rambut diikat seperti ekor kuda itu juga ikut berjalan di dekatnya. Gadis itu mengangguk pelan sambil tersenyum. Liwa memberikan anggukan balasan. "Kakak ikut lomba menulis puisi?" pertanyaan itu terdengar lembut, asing, dan melahirkan perasaan yang membuatnya seketika seperti menghianati Salwa. "Ya," jawab Liwa. Dia memangil kakak? Berarti gadis ini adik kelasku, pikirnya. Setelah memutuskan mengabaikan pertanyaan lain, dia lalu memberanikan diri bertanya, "Kelas berapa?" "Dua-satu." "Waw, siswa unggulan." Gadis itu tersenyum. "Tidak juga." Liwa menyukai caranya merendahkan diri.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

313

Mereka berdua lalu menemani staf itu menyelesaikan tugas pengetikan naskah pidato dan pembuatan surat pengantarnya. Kali ini, staf itu mengetik, dan mereka berdua membacakan setiap kalimat baru yang akan diketik. Ujung jari tangan gadis itu sesekali menyentuh bagian tertentu dari jari-jari tangan Liwa. Sensasinya memberikan rasa nyaman yang membuat Liwa merasa semakin menghianati Salwa. Dia dan gadis berjaket itu kini duduk berdekatan, bahkan sebenarnya agak terlalu rapat bila dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman lain yang bisa diingatnya. Tanpa diminta, Liwa mengedit teks pidato gadis itu, pada bagian yang ia anggap masih belum terlalu sempurna. Dia membisikkan kalimat yang ditawarkannya, sebelum akhirnya membacakannya dengan keras setelah gadis yang memiliki rambut berkilau itu mengangguk setuju, lengkap dengan senyuman yang membuat Liwa merasa makin terpesona. Memang sempat terpikir olehnya untuk mencari pengganti Salwa setelah gadis berjilbab itu nampaknya tidak pernah punya masalah apa pun dengan pacarnya. Jika ada saat untuk masuk ke dalam kehidupan seorang gadis, mungkin disaat ia sedang punya masalah dan rapuh, merupakan pilihan kesempatan yang sempurna. Dan dengan kenyataan saat ini, ia tidak mau menjadi bocah nekat yang akhirnya akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk menikmati kedekatan
Johan M.

314

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

yang seharusnya disyukuri. Memaksa diri menyusup di antara hubungan Salwa dan pacarnya, yang nampaknya sangat berhasil menjaga keharmonisan mereka mungkin kekonyolan yang nanti menjadi tindakan paling tidak termaafkan bila ternyata hasilnya adalah kegagalan. Liwa sudah melewati usia tujub belas tahun. Sudah saatnya ia memiliki seseorang yang lebih dari sekadar sahabat yang dengan segala rasa bangga akan disebutnya sebagai pacar. Sebagian dari pengalaman yang diberikan oleh gadis yang baru ia jumpai ini, harus diakui merupakan bagian dari pengalaman yang mulai ia rindukan. Ia ingin disentuh secara khusus, tidak hanya dengan alasan untuk berjabatan tangan. Ia ingin, hal-hal manis seperti pagi ini, bisa dirasakan tanpa siksaan perasaan sebagai seorang pencuri kesempatan. "Siapa namamu?" staf itu bertanya. "Suci Widyani." Suci Widyani. Nama yang cantik. "Namamu bagus sekali," kata Liwa. Gadis itu tertawa lalu menepuk bahu Liwa dengan ujung gulungan kertas pidatonya. Tepukan itu diikuti dengan sentuhan lembut di pundaknya. Tuhan, jerit Liwa dalam hati. Gadis ini jelas tidak sama dengan Salwa. Dia bukan saja tidak berjilbab, tetapi dia telah memperlihatkan kedekatan yang tidak menyisakan keraguan apa pun tentang maksudnya. "Coba periksa sekali lagi," kata staf itu.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

315

Kalau tidak diminta melakukannya, Liwa nyaris melupakan tujuan utamanya datang pada pagi hari ini, ketika siswa-siswa lain mulai menikmati hari pertama masa libur setelah pebagian rapor. Surat pengantarnya ternyata telah selesai dibuat. Di atas kertas yang disosorkan oleh staf itu, ia melihat ada tiga nama. Namanya sendiri, Suci Widyani, dan Siti Salwa Hidayati. Untuk mengikuti anjuran Ibu Rosmiyanti, puisi keduanya ia putuskan untuk ditulis sebagai karya Salwa, satu-satunya gadis yang sampai satu jam terakhi ini, masih merupakan sosok yang ia relakan memiliki sesuatu yang seharusnya hanya menjadi hak ciptanya. Suci memang sebuah keajaiban. Tapi ia masih terlalu memiliki banyak sisi asing. Sulit untuk membiarkan keputusan luar biasa, berpihak pada seorang gadis yang baru dikenal dan masih harus dipelajari, serta diwaspadai. Ada banyak kecurigaan yang berkelebat dalam pikirannya, yang dalam waktu beberapa detik bisa terhapus atau muncul kembali tergantung pada apa yang sedang menguasai pikirannya ketika sedang menerima begitu banyak perhatian dari Suci. "Masih mau di sini?" Liwa menjawab pertanyaan gadis itu dengan pertanyaan. "Mau pulang?" "Ya." Keduanya bertatapan.
Johan M.

316

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwa ingin menghindari tatapan yang memenjarakan itu. Jantungnya bergemuruh. Kedua kakinya seperti melayang-layang. Suci nampak tidak terdesak oleh kecamuk perasaan apa pun. Ia terlihat sangat tenang, bahkan dengan sangat meyakinkan ia memperlihatkan seraut wajah putih alami, yang makin nampak lebih putih dibandingkan dengan kebanyakan kulit wajah gadis lain di sekolahnya. Suci memiliki bola mata besar dengan dominasi warna hitam gelap, bening, sejuk, yang membuat Liwa semakin sulit berpaling ke arah lain. Inilah gadis yang membuat ia lebih berani melakukan apa yang tidak pernah sanggup ia lakukan terhadap Salwa selama tiga tahun hubungan mereka sebagai sahabat dekat. Kesanggupan untuk melakukan hanya setelah berkenalan dalam satu jam membuat Liwa merasa ada yang salah. Pasti ada sesuatu pada diri Suci yang membuatnya sampai sanggup melakukan lompatan besar dalam keberanian memberikan tatapan balasan yang lama. Sungguh, waktu yang diperlukan untuk melakukannya seperti seluruh masa yang diperlukan untuk menyibak lapisan makna pada sesuatu yang mewakili seluruh kata-kata. "Kakak bagaimana?" "Ayo, kita pulang." "Oke." Mereka lalu berjalan sambil bercakap-cakap. Dunia mendadak menjadi riang. Liwa menarik napas lega, sesuatu yang belakangan ini mulai jarang bisa ia lakukan karena tingkah bapaknya yang mulai menjengkelkan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

317

Mungkin karena ketidakpercayaan diri karena tidak bisa lagi berjalan dengan langkah-langkah normal seperti waktu sebelum terkena stroke, bapaknya menjadi terlalu sering menganggap semua yang ada di sekitarnya sebagai sesuatu yang salah salah dan tidak memiliki kebenaran. Ibunya, dia, dan adik-adiknya, sering menjadi sasaran atas kemarahan yang sebenarnya tidak perlu. Kini Suci sepertinya akan membuat dirinya sembuh, sejenak, atau semoga saja bisa hingga selamanya. Baru Suci yang hadir dalam kehidupannya hanya dengan beban berupa teks pidato yang belum dirampungkan, kemudian selebihnya menghadirkan canda dan percakapan yang menyenangkan. "Kakak pulang ke mana?" "PORDA." "He...sama." "Jangan bercanda!" "Sungguh." Kenyataan yang bagus. Keduanya lalu menyebutkan lebih detail lagi tentang lokasi tempat tinggal masingmasing. Suci berhenti di pintu gerbang. Ia menoleh ke kanan. Liwa mengerti maksudnya. Sebelum kehilangan kesempatan untuk menghindar, Liwa lalu menjelaskan tentang bagaimana ia akan pulang. "Saya berjalan kaki saja. Mumpung masih pagi." "Oh, begitu?" Suci lalu melihat ke arah langit. Tidak ada awan sedikit pun. Tetapi ia kemudian berkata. "Boleh. Ayo, kita jalan-jalan."
Johan M.

318

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"He...jangan...," Liwa tidak mau kulit putih dan wajah cantik itu terbakar oleh sinar mentari siang yang sebenarnya sudah mulai terasa panas. "Kamu pake bemo saja." "Tidak, Kak. Saya belum pernah pulang berjalan kaki. Sesekali juga perlu bukan? Untuk kesehatan. Ayo!" Liwa mengalah. Ada apa dengan gadis ini. Mengapa ia begitu baik padaku? Mengapa selama satu tahun yang lalu aku sampai tidak mengetahui tentang keberadaannya di antara siswi-siswi di sekolahku? Tawa dan canda tidak pernah berhenti di antara percakapan-percakapan mereka. Di perempatan jalan, di muka pintu gerbang Gelanggang Olah Raga Selaparang, keduanya berhenti. Mereka berdua saling mengucapkan janji untuk bertemu lagi secepatnya pada kesempatan lain. "Saya mau belajar menulis puisi," kata Suci. "Saya mau belajar menulis pidato" kata Liwa. Canda terakhir itu membuatnya mendapat hadiah satu tepukan manja lagi di bahunya. Liwa masih tetap berdiri. Kalau saja tidak mau dianggap telah terlalu cepat terpesona, ia ingin sekali mengikuti gadis itu sampai ke rumahnya. Sekarang, dengan tetap berdiri, dia menatap gadis itu berlalu dalam langkah-langkah pelan, tetapi tetap membuat jarak mereka menjadi semakin jauh dan semakin jauh. *** Sumiarni tidak memerlukan waktu lama. Dia bisa mengenal sosok Liwa hanya dalam hitungan detik meskipun cowok yang dicintai oleh Salwa itu sedang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

319

berjalan dengan hanya memperlihatkan punggungnya pada jarak seratus meter. Siang ini, Liwa tidak berjalan memunggungi, tetapi menyamping, bahkan terakhir bediri dengan memperlihatkan wajahnya, pada jarak kurang dari tiga puluh meter. Siapa gadis yang berjalan bersamanya, merupakan pertanyaan paling penting, karena jelas-jelas Liwa terlihat berdiri agak lama dan mengikuti setiap langkah gadis itu dengan tatapan matanya. Sebuah perpisahan yang berat dan tidak diinginkan rupanya baru saja terjadi. Sungguh kasihan! Sumiarni melindungi dirinya dengan merapat pada pintu kios tempat ia sedang membeli sabun mandi. Persembunyian itu tidak akan banyak berguna kalau Liwa akhirnya memutuskan mengikuti gadis itu, yang syukurnya, tidak sampai dilakukan. Sialan, gadis itu hampir sama tinggi dengan dirinya, juga hampir sama gemuknya, tetapi wajahnya, ya Tuhan...cantik sekali. Siapa dia? Siapa yang harus tahu mula-mula, Salwa? atau Wawan? Atau aku? batinnya. Dia mengantongi sabun mandi itu. Dia tidak mampir lagi ke rumahnya yang hanya belasan meter dari kios itu. Dia berjalan cepat menuju tempat tinggal Salwa. "Ada apa?" tanya Salwa. "Kamu terlihat seperti baru dikejar pemilik mangga." "Sialan, biar miskin begini, aku masih punya pohon mangga dan tidak sampai perlu mencuri untuk mendapatkannya."
Johan M.

320

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Baiklah, kau mau mencuci muka dulu, atau tetap duduk di sini." "Kau yang akan segera mencuci muka setelah aku bercerita." "Mengapa aku perlu melakukannya." "Untuk meyakinkan diri bahwa kau sedang tidak bermimpi." "Ada-ada saja." "Jangan perhatikan kata-kataku. Mungkin aku salah. Tetapi sebelum itu, aku mau bertanya padamu, anggap saja untuk menyamakan persepsi." "Apa pertanyaannya?" "Apakah orang yang berjalan berduaan panas-panas begini bukan orang yang berpacaran." "Bisa ya, bisa tidak. Aku dan liwa sering pulang berduaan pada siang bolong begini dan kau tahu...kami tidak berpacaran." "Bagaimana kalau jalan berduaannya bukan karena kebetulan bersamaan pulang sekolah?" "Maksudmu?" "Di hari libur seperti ini. Dengan pakaian bebas." "Entahlah." Sumiarni menggeleng kesal. "Apa kau tidak berpikir bahwa keduanya mungkin baru pulang dari Labuhan Haji? Baru selesai menikmati liburan di tepi pantai?" Sumiarni semakin semangat bercerita. Ia menyukai teorinya. Ia menambahkan satu detail yang dianggapnya sangat mendukung dan menguatkan. "Wajahnya merah." Gadis yang bersama Liwa itu, yang melintas di trotoar di seberang jalan, hanya lima meter di hadapannya,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

321

memiliki wajah putih yang masih memerah karena terpaan udara panas. Sumiarni lalu merampungkan penjelasannya. "Wajahnya merah seperti orang yang memang baru menghabiskan waktunya di pantai." Salwa mendesah memperlihatkan bahwa ia mulai bosan dengan teka-teki konyol yang dikemukakan Sumiarni. "Sebenarnya apa yang sedang kita bicarakan?" "Orang yang kau kagumi itu, baru saja pulang dari pantai bersama pacarnya." "Apa? Orang yang aku kagumi? Maksudmu...Liwa?" "Ada berapa orang yang kau kagumi seperti kau mengagumi Liwa?" "Hanya dia." "Sekarang kau tahu, memang dia maksudku?" "Tetapi dia...aku tidak percaya. Aku tahu siapa Liwa. Dia mengaku belum pernah berpacaran. Dia belum pernah menceritakannya padaku tentang pacarnya." "Apakah kau sendiri sudah menceritakan isi hatimu padanya?" Salwa menggeleng. "Aku perempuan." "Kau benar." Sumiarni menikmati kemenangannya. "Tidak seharusnya perempuan menyatakan cintanya. Kita harus menunggu. Laki-lakilah yang bertugas menyatakan cinta. Kita hanya pemberi jawaban." "Oh, Liwa." "Sabar sayang. Masih banyak orang lain di dunia ini. Kau hanya perlu mencari untuk bisa menemukannya." ***
Johan M.

322

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwa terkejut oleh teriakan-teriakan pertengkaran itu. Bapaknya mengamuk lagi. Segala ocehan tentang keinginan membunuh kembali terdengar. Ini pagi hari. Udara masih dingin. Tidak seharusnya darah mendidih menyaingi kecepatan air. Ia cepat-cepat mengenakan pakaian seragamnya. Bukan haknya untuk ikut campur dalam pertengkaran orang tuanya, tetapi ia begitu mencintai keluarga yang sudah membuat ia menjadi bagian dari kehidupan mereka selama delapan belas tahun. Orang tidak perlu menjadi anak kandung untuk memperjuangkan keutuhan rumah tangga yang sudah dibangun begitu lama. Tidak selamanya orang tua benar dalam menentukan kebijakan tentang nasib rumah tangganya. Ada saat-saat ketika mereka harus diingatkan. Tidak selamanya orang tua sempat memikirkan tentang apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi sebagai akibat dari pertengkaran mereka yang sering sekali membuat mereka mengabaikan hak-hak anak untuk memperoleh kedamaian dalam kehidupannya sebagai bagian dari sebuah keluarga yang mestinya diperjuangkan agar tetap harmonis. Liwa menghampiri ibunya. Orang yang telah melahirkannya itu terlihat duduk di lantai, menangis, berlinang air mata. Sementara di sisi lain, bapaknya mengocehkan berbagai kata-kata omelan yang menunjukkan keberatan-keberatannya, dengan kedua tangan yang bergetar hebat. Keadaannya yang menyedihkan itulah yang selalu dijadikan nya sebagai alasan untuk menghibur ibunya supaya terus bertahan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

323

atas segala perilaku bapaknya yang tidak tahu malu itu. Setelah sakit, dirawat, dan sama-sama menerima derita akibat belitan hutang selama pengobatan, kini, rasa tidakpercaya dirinya membuatnya menjadi sangat pencemburu, sehingga tidak ada pria di sekitar tempat tinggalnya yang tidak dicemburuinya. "Berangkat saja sekolah," kata ibunya. "Biar ibu sendiri yang menangani orang gila ini." Kalau saja bapaknya bukan seorang guru, ia barangkali tidak akan terlalu heran dengan kemunculan sikap kekanakan semacam itu. Bapaknya jelas sudah tidak lagi memikirkan kehormatan keluarga dari segala rasa malu yang harus ditanggung karena tetangga tidak mungkin tidak mendengar pertengkaran itu. Bapaknya pasti juga telah lupa tentang siapa yang mengurusnya hingga bisa sembuh. Pria yang pernah sangat dikaguminya itu, kini menjadi sangat labil, dan sepertinya sudah siap menjadi mesin pembunuh karakter bagi orang-orang yang telah menyelamatkannya. Selain karena usia yang baru delapan belas tahun, kenyataan bahwa bapaknya adalah bapaknya, membuat Liwa tidak bisa banyak berbicara selain mengungkapkan kekagumannya atas semua usaha mereka untuk mempertahankan keutuhan keluarga. "Kita sudah lama bersama-sama. Jangan sebut kata-kata berpisah," pintanya. Liwa tidak mau melihat orang tuanya bercerai, meskipun cara itu mungkin kelak akan dapat memberikan kesadaran sebagai efek jera, seperti
Johan M.

324

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pengalaman salah seorang gurunya sewaktu di SD. Istri si guru meraung-raung di lubang sampah sambil meminta agar diceraikan. Guru itu menolak menceraikan istrnya, karena ia sadar bahwa setiap rumah tangga memang mempunyai masalahnya sendiri, yang tidak selalu harus diakhiri dengan perceraian. Tetapi perceraian akhirnya tetap terjadi. Sebelum satu minggu berlalu, mantan istri guru itu kembali lagi minta rujuk dengan cara yang sama gilanya seperti waktu ia meminta agar diceraikan. Belakangan ia baru bertutur pada tetangganya bahwa hidup satu hari dalam masa perceraian sungguh terasa sangat menyiksa hingga tidak ada lagi pengalaman dalam kehidupan yang dirasakannya lebih menyiksa dari itu. Sebelum mengambil tasnya dan berangkat ke sekolah, Liwa menyempatkan diri mengungkapkan pujian pada bapaknya karena tidak pernah menikah lagi, seperti banyak pria lain yang tega melakukannya. Cara itu sering berhasil meredakan kemarahan bapaknya. Liwa menatap wajahnya di cermin. Bola matanya memerah. Dia tidak tahu bagaimana cara menyembunyikan bekas-bekas tangisnya dari tatapan teman-temannya. Tidak ada ruginya tidak masuk satu hari, tetapi ia tidak biasa tidak masuk sekolah. Rasanya aneh berdiam di rumah sementara teman-temannya menerima pelajaran di sekolah. Liwa lalu menutup pagar halaman rumahnya. Ia bergegas, berjalan tergesa-gesa, sampai setengah berlari. Lima menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Mustahil
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

325

untuk tepat waktu. Akhirnya, akan pernah juga aku menjadi siswa yang datang terlambat, batinnya. *** Guru bahasa Jerman terlambat masuk. Keberuntungan itu merupakan yang kedua, setelah pintu gerbang sekolah ternyata masih dibiarkan terbuka oleh guru konseling yang biasanya memerintahkan satpam penjaga untuk mengunci pintu itu tepat setelah bel masuk berhenti berdering. "Liwa, apa ada yang kau kerjakan?" tanya Sumiarni. Liwa membalas dengan tatapan sekilas. "Tidak. Ada apa?" separuh pikirannya masih tertinggal di rumah. Entah bagaimana nasib ibunya. "Apa gadis itu pacarmu?" "Entah siapa maksudmu, tetapi gadis mana pun di atas dunia ini, dapat kau pastikan bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang menjadi pacarku. Aku belum punya pacar. Mengapa kau bertanya?" Liwa lalu mengingat sesuatu. Ia mengangkat wajahnya lebih lama. Adakah kaitan pertanyaan itu dengan Salwa? Sesekali ia melihat Sumiarni bertemu dan berjalan berdua dengan Salwa. Oh, Tuhan. Bukankah Sumiarni, gadis yang dulu juga membuat ia gagal memberikan payung penyelamat pada Salwa. Mengapa teman yang baru satu kelas dengannya ini, kini sepertinya dapat dijadikan sebagai jembatan untuk bisa membuat hubungannya dengan Salwa menjadi sedekat yang diharapkan oleh seorang calon kekasih.
Johan M.

326

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Jadi, dia bukan pacarmu?" "Maksudmu." "Anak kelas dua-satu itu maksudku." "Oh. Tentu. Tidak." Liwa tergagap. Kalau saja yang bertanya bukan Sumiarni, yang akhirnya ia ingat merupakan orang yang dekat Salwa, ia barangkali akan tergoda untuk memberikan jawaban yang berbeda. "Bagaimana kau bisa tahu dia?" "Karena dia berpacaran dengan temanku." "Oh." Suci sudah punya pacar? Mengapa aku harus heran? batin Liwa. Di mana ada gadis cantik yang tidak punya pacar. Tetapi bagaimana dengan kemanjaan itu? Bagaimana dengan semua pengalaman berkesan itu? Apakah hanya untuk terjadi sekejap lalu harus diterima sebagai mimpi indah yang kebetulan cuma singgah karena tersesat dalam kenyataan yang tidak disengaja? Apakah Sumiarni sengaja dititipi pesan oleh pacar Suci agar aku menjauhi gadis itu? "Bagaimana kau tahu?" "Makanya, kalau kau ingin tahu tentang gadis-gadis di SMU ini, jangan jauh-jauh dariku. Aku mengenal mereka, bahkan juga pacar-pacar mereka." "Oh. Baiklah. Apalagi yang kau tahu." "Dia tidak terlalu baik. Dia bukan gadis yang baik untukmu. Dia pernah kulihat duduk berduaan, amat dekat dan rapat, dengan pacarnya, di bangku panjang dekat kolam teratai. Menurutmu, gadis macam apa dia kalau kelakuannya seperti itu?" Mengapa Sumiarni mengatakan semua ini? Lepas dari kemungkinan bahwa cerita itu hanya karangan, dia tidak mungkin menceritakannya kecuali karena ada
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

327

sesuatu yang diinginkannya agar terjadi seperti kehendaknya. Tapi peristiwa macam apakah yang diharapkannya? Dia teman Salwa. Apakah ini semua ada kaitannya dengan upaya dia atau Salwa atau keduanya untuk mebuatku akhirnya memiliki alasan untuk menyatakan cintaku pada Salwa? Pertanyaan itu direnungkan berulang kali hingga Liwa sampai pada kesimpulan bahwa akhinya Salwa mulai menampakkan isyarat yang sudah lama sekali ia nantikan itu. "Baiklah. Itu kesalahanku." "Aku dan Salwa heran, mengapa kau sampai menyukai gadis seperti itu." "Maksudmu?" "Menurut kami, kau bukanlah tipe orang yang akan menyukai gadis yang mengenakan rok pendek." "Tentu saja aku lebih menyukai gadis berjilbab." Sumiarni lalu membelakangi Liwa. Ia meraih jilbabnya, mematutnya dengan taksiran tingkat ketercapaian kerapian seperti orang yang berpengalaman melakukannya tanpa cermin. Ia berbalik lagi sambil bertanya, "Kira-kira, gadis berjilbab seperti apa yang kamu sukai? Apakah ada di kelas kita?" Liwa menarik tubuhnya. Dia berusaha tersenyum. "Kau ingin jawaban sungguh-sungguh?" "Ya." "Ada seorang gadis berjilbab. Dialah gadis berjilbab yang pertama-tama membuatku tertarik pada gadis berjilbab. Dialah yang akhirnya sepertinya akan selalu membuatku menjadi tertarik pada gadis berjilbab."
Johan M.

328

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Siapa?" "Kau mengenalnya. Tidak ada gadis berjilbab yang kulihat begitu cantik dalam lingkaran jilbabnya selain dirinya." "Sebutkan namanya, biar aku yakin bahwa aku bisa menebak dengan benar." "Siapa yang kau tebak?" "Salwa." Liwa mengangguk. "Tebakanmu tepat." Sumiarni memutar tubuhnya dan seperti bersiap-siap akan pergi, ketika Liwa meminta dia tetap tinggal dan terus berbicara dengannya sementara guru mereka belum datang. "Kau sering berbicara dengannya?" Sumiarni menggeleng. "Sesering aku berbicara dengan teman-teman lainnya. Mengapa?" "Tidak pernahkah dia menyebutkan tentang seperti apa cowok yang ia sukai?" "Tidak pernah. Itu kehidupan pribadinya. Hanya dia yang tahu. Sebagai teman, aku tidak bisa meminta ia mengatakan semua yang ingin aku tahu." Dua orang perempuan yang berteman, dan sering terlihat akrab di sekolah, tidak mungkin tidak sampai pada pembicaraan tentang kehidupan pribadi mereka. Tidak penting tentang siapa yang memulai, tetapi hal semacam itu pasti terjadi, jika belum pernah, mungkin tidak lama lagi akan terjadi. Melihat kecerdasannya dalam menggalang informasi tentang Suci, Sumiarni mungkin bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi tentang ketertarikannya pada Salwa. Bila ternyata Salwa memberikan tanggapan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

329

negatif atas pernyataan cinta yang disampaikannya lewat tafsiran Sumiarni, Liwa berharap bisa lebih mudah mengelak lalu kembali berjuang menyelamatkan persahabatannya dengan Salwa, yang sudah lama dibina dan sudah banyak memberikan kenyamanan. "Sumiarni." "Ya?" "Menurutmu, apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan cinta Salwa?" "Apa kau belum tahu, dia sudah punya pacar." "Aku tahu." "Jangan merusak hubungan orang. Tidak baik. Coba bayangakan, seandainya hubunganmu yang dirusak?" "Baiklah, jangan terlalu serius. Seandainya...sekali lagi...seandainya aku ingin menjadikan Salwa sebagai pacarku, menurutmu, bagaimana sebaiknya aku melakukannya? Kau sahabatnya. Kau pasti bisa memberiku sedikit rahasia atau saran." "Salwa sudah lama berpacaran dengan Kak Wan. Bahkan mungkin mereka sudah bertunangan." "Apa?" Liwa melihat ada banyak mata memandang ke arahnya. Ia pasti sudah mengajukan pertanyaan itu dengan suara yang melebihi perhatian yang diinginkannya. "Jangan main-main." "Berapa kali aku harus mengatakan padamu agar tidak mendekati orang yang sudah punya pacar. Hasilnya hanya satu, Liwa. Kau akan kecewa." ***
Johan M.

330

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sumiarni sengaja melewati bagian depan kelas-kelas IPS yang nanti akan membuatnya mencapai kelas IPA lebih cepat sebelum sampai di kelasnya sendiri. Dia ingin bertemu dengan Salwa. Ada sesuatu yang harus segera ia katakan pada gadis itu. "Aku sudah berbicara dengan Liwa," katanya. Dia sama sekali tidak mengucapka apa pun sebagai pembukaan. "Tentang apa?" tanya Salwa. "Gadis pujaannya." Salwa tergagap. "Jadi...dia sudah punya pacar?" Ia terpaksa memberikan sapu ijuk yang masih dipegangnya pada teman lain yang juga punya giliran menyapu ruangan kelas pagi ini. Tadinya ia mengira Sumi cuma akan lewat di depan kelasnya. Semua tentang Liwa selalu menarik untuk dibicarakan. Apalagi tentang gadis yang memikat perhatiannya. Sungguh, tidak pernah tidak ada waktu untuk mendengarkan semua hal itu. Oh, Tuhan. Dia akhirnya menyukai orang lain. Bagaimana mungkin Liwa bisa menyukai orang lain sementara sepengetahuannya hanya dia yang selama ini sering berjalan berduaan dengan Liwa. Apa artinya penantianku selama ini, batinnya. Berarti Liwa bukan tidak berani menyatakan cintanya, seperti yang akhirakhir ini ia duga sebagai penyebab mengapa pernyataan cinta itu belum datang juga. Dia tetap diam selama ini ternyata karena tidak pernah suka padaku. Oh, Tuhan. Kelopak mata Salwa siap menghamburkan air mata.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

331

"Belum," Sumiarni sudah menyiapkan jawaban itu dengan matang. Salwa dan Liwa sudah pasti akan membahas topik ini. Dia harus mengatakannya dengan cara yang membuat dirinya aman dari tuduhan. Mengatakan Liwa sudah berpacaran dengan siswi kelas dua-satu itu akan membuat Salwa sampai pada titik konfirmasi yang akhirnya akan membuat ia tersadar karena telah dibohongi. Kalau bahayanya hanya keretakan persabatan mereka, ia bisa menerimanya. Tetapi bila kebohongan itu sampai membuat kedua orang yang saling mencintai itu bisa mengetahui rahasia hati mereka masing-masing, berarti ia akan kehilangan kesempatan untuk memiliki Liwa. Dia harus membuat Salwa menarik kesimpulan sendiri. Orang yang tersesat karena kesimpulannya sendiri adalah orang yang menggali lubangnya sendiri. "Yang pasti, Liwa memang menyukainya." *** Bukan kebiasaannya untuk meminta penjelasan atas sesuatu yang tidak terkait langsung dengan dirinya. Tetapi menunggu Salwa menceritakan sendiri mengenai pertunangannya mungkin akan memerlukan waktu yang sangat lama. Sekarang, pada masa pertengahan tahun ajaran di kelas tiga, menjelang ujian akhir, pada saat mereka berdua mulai memikirkan perguruan tinggi yang akan dipilih, semua alasan untuk mengubah persahabatan itu menjadi bentuk hubungan sebagai kekasih, semakin terasa mendesak untuk diwujudkan. Di balik itu, usaha
Johan M.

332

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

untuk menjadikan persahabatannya menjadi bentuk hubungan lain yang lebih romantis terasa seperti sebuah penghianatan atas kemapanan persahabatan mereka yang sebenarnya sudah memberikan banyak kenyamanan. Apakah merupakan keserakahan untuk menuruti keinginan hatinya yang kian hari semakin mendesak ingin kembali pada tujuan paling awal dari kedekatan yang telah berhasil ia bangun, yang dulu memang dimaksudkan untuk bisa membuat dirinya dan Salwa menjadi dua orang yang saling mencintai sebagai kekasih. Kalau saja Selvia tidak sempat mengatakan kejujuran itu. Kalau saja Liwa tidak pernah memiliki kesempatan untuk lebih dulu tahu bahwa Salwa ternyata sudah memiliki pacar. Mungkin ia tidak akan perlu mempertimbangkan rasa hormat untuk menjaga hubungan yang sudah terlanjur terjalin antara Salwa dengan pacarnya. Tentu saja ia hanya akan menyatakan cintanya. Ia tidak perlu memulainya dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Setelah megatakan "Aku mencintaimu," satusatunya pertanyaan yang akan ia ajukan dengan segenap keberanian yang ia miliki sebagai remaja tanggung waktu itu, ialah "Apakah kau juga mencintaiku?" Sayangnya, masa yang sudah berlalu itu, bukanlah apa yang saat ini sedang dihadapi. Kini, Liwa menjadi semakin panik setelah umpan yang ia berikan pada Sumiarni ternyata sama sekali tidak menunjukkan reaksi seperti yang ia harapkan, yang dapat dibaca sebagai
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

333

perubahan sikap Salwa karena telah mengetahui dirinya ternyata dicintai oleh sahabat dekatnya. Sikap Salwa masih seperti yang biasanya ia lihat ketika mereka berdua sedang bersama. Tidak ada rasa malu berlebihan yang nampak, yang akan membuat Liwa mencoba menebak bahwa Salwa mungkin juga mempunyai keinginan yang sama seperti dirinya. Juga tidak ada bentuk kebencian yang bisa ditangkap sebagai penolakan. Mungkin Sumiarni belum mengatakannya. Tetapi apa yang membuat Sumiarni tidak bisa menyampaikan pesan yang sangat jelas itu? Haruskah ia kuminta dengan sengaja? Oh, Tidak. Tentu saja tidak bisa. Meminta dengan sengaja akan menghilangkan kesempatan untuk menunjukkan seolah Sumi telah salah memaknai ucapannya. Bagian ini sangat penting untuk mempertahankan persahabatannya bila ternyata Salwa tidak menginginkan hubungan sebagai kekasih. Siang itu, saat pulang sekolah, keduanya sedang berjalan dalam sapuan angin utara, dari arah gunung Rinjani. Angin pegunungan yang berhembus tanpa henti itu, dapat sedikit menghalau panas matahari siang yang menyengat. Seperti biasa, mereka berdua membicarakan apa pun yang sedang dilihat, atau tiba-tiba diingat. Selama sedang berduaan, tidak ada yang tidak menarik untuk dibicarakan. Mereka sedang membahas tentang rencana melanjutkan studi ke perguruan tinggi ketika Salwa tibaJohan M.

334

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tiba memanggil dengan cara yang membuat Liwa berpikir gadis di sampingnya sedang mengharapkan perhatian khusus. "Liwa." "Ya?" "Aku sudah melihatnya. Aku tidak percaya, kau menyukai orang seperti itu." Liwa tidak perlu menanyakan siapa yang dimaksud oleh Salwa. Ia mengerti siapa yang sekarang sedang mereka bicarakan. Entah bagaimana Salwa bisa mengetahui tentang Suci. Tetapi menyimak apa yang ia katakan, sepertinya sumbernya bukan Sumiarni. Liwa merasa sudah menjelaskan pada Sumiarni tentang siapa yang sebenarnya ia harapkan menjadi kekasih. Bukankah Sumiarni sendiri, yang juga melarangnya mencintai Suci karena gadis itu sudah menjadi pacar orang lain. Tetapi kalau bukan Sumiarni lalu siapa? Tanyakan! Jangan diam saja! "Kau tahu dari mana?" "Ada saja. Aku tidak mengira...sungguh..." "Salwa..." "Sejak kapan kau tertarik padanya?" "Salwa..." "Bagaimana kau bisa dekatnya?" "Salwa..." "Padahal aku belum pernah melihatmu berada di dekatnya sesering kau dekat dengan" "Salwa..." Salwa menggeleng dan memaksakan dirinya tersenyum. "Ya?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

335

"Sebenarnya..." Kamu gadis yang paling kucintai. Kamu yang paling kuharapkan menjadi kekasihku. Kamulah orangnya, yang hingga saat ini menjadi bagian dari lamunan-lamunan indahku. Tetapi semua itu hanya bagian dari suara hatinya. Dia tidak sanggup mengatakannya. Dia tidak bisa menghancurkan kedekatan ini kalau ternyata Salwa menolaknya. "Bukan dia yang aku inginkan." "Mengapa?" tanya Salwa. "Dia cantik sekali. Jangan terlalu memilih, Liwa." Ah...benar. Jangan terlalu memilih. Tetapi, selama masih ada kamu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, batin Liwa. Aku tidak bisa membiarkan pikiranku ternoda oleh kehadiran sosok lain. Hatiku hanya punya tempat untukmu. "Salwa..." "Aku setuju. Kau kelihatan cocok dengannya. Teruskan saja. He...mau mampir ke perpustakaan?" tanya Salwa. Liwa langsung mengangguk. "Oh, ya. Ayo," katanya. Dia merasa lega. Akhirnya ada cara untuk membebaskan diri dari topik itu. Mereka berdua lalu masuk ke perpustakaan. Liwa menjejalkan tasnya pada kotak terdekat yang dipilih oleh Salwa untuk memasukkan buku catatannya. Salwa jarang memakai tas. Dia biasanya membawa semua buku pelajaran dengan memeluk buku-buku itu. Liwa meminta Salwa mengikutinya ke rak buku khusus untuk koleksi buku-buku referensi. Buku-buku
Johan M.

336

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

yang diletakkan pada rak itu umumnya bagus-bagus tetapi tidak untuk diperpinjamkan. Hari ini ia tidak bermaksud meminjam buku. Ia ingin melihat-lihat saja sambil terus memikirkan segala kemungkinan untuk benar-benar mengungkapkan cintanya. Buku tebal bersampul keras itu ia tarik keluar. Sebuah ensiklopedi berwarna. Sasih baru. "Apa itu?" tanya Salwa. "Ensiklopedi," jawab Liwa. Dia menunjukkan sampul depan buku itu. "Coba, lihat!" Salwa melakukan apa yang diminta oleh Liwaul. Ada sebuah pemandangan indah. Mereka berdua melihatnya. Sebuah gunung di tengah-tengah hutan tropis. Gunung itu ditumbuhi oleh cemara-cemara yang hijau segar, memunculkan kesan yang membenarnya penjelasan tulisan kecil di bawahnya tentang satus gundukan raksasa itu sebagai gunung tropis yang masih perawan, karena belum tercemar dan masih jarang didaki. Kenyataan berikutnya yang lebih menarik perhatian Liwa adalah nama gunung itu. Guyana. Ia kemudian membaca artikel panjang yang mengitari gambar gunung itu dengan teknik scanning. Guyana...Liwa menggumamkan nama itu berkali-kali sebelum kembali larut pada salah satu impiannya. "Apa?" tanya Salwa. Liwa memandang gadis yang dicintainya itu. Sambil tersenyum ia menjawan. "Tidak ada. Hanya gunungnya. Namanya bagus sekali." "Apa namanya?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

337

"Guyana." "Waw. Nama yang cantik." "Cocok untuk nama seorang gadis yang cantik." "Jangan bilang kau akan memberikan nama itu sebagai nama lain pada orang yang sudah mempunyai nama." "Tidak...tentu saja tidak." Guyana...ia akhirnya menemukan kata yang bagus untuk nama seorang bocah perempuan. Liwa nyaris tergoda untuk menjelaskan pada Salwa tentang rencananya untuk menamai anak perempuan mereka dengan nama Guyana, ketika tiba-tiba ia ingat bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu harus dilakukan. *** "Dari siapa?" tanya Salwa. Setelah dua kali menerima telepon gelap, ia mengingatkan orang tuanya agar tidak memanggilnya untuk menerima telepon dari orang yang tidak mau menyebutkan namanya. Tapi tentu saja, peringatan itu tidak bisa diharapkan akan selalu ditaati oleh Ratna. Adiknya yang baru kelas lima SD itu masih perlu diberi penjelasan tambahan agar dapat memahami situasi yang sedang terjadi. Ratna menggeleng. Sambil menyerahkan gagang telepon ia menjelaskan, "Dari teman. Hanya itu yang dikatakannya. Mau diterima?" Salwa meraih gagang telepon itu. "Hallo." "Hidayati?" suara seorang laki-laki. "Ya." Ada sedikit orang yang memanggilnya dengan nama itu. "Ini, siapa?"
Johan M.

338

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Dari seorang teman." "Baiklah, teman. Ada apa?" "Jangan kasar begitu." "Katanya teman. Kenapa dipanggil teman tidak mau?" "Saya punya nama. Seperti yang lainnya. Tetapi saya lebih suka tidak menyebutkannya." "Apa alasannya." "Anggap saja karena saya sangat peduli padamu. Juga pada temanmu itu." "Maksudnya?" "Bukan cuma dengan teman SMA-mu itu, tetapi dengan semua laki-laki lain yang kamu kenal, jangan lagi terlalu dekat dengan mereka." "Kalau saya mau dekat dengan mereka, kenapa?" "Saya cuma tidak suka melihatmu melakukannya." "Sudahlah...saya tutup saja telepon ini. Maaf, saya bukan orang yang suka diancam." Salwa lalu meletakkan gagang telepon itu dan tidak menghiraukan terikan keberatan yang terdengar saat ia menjauhkan telepon itu dari telinganya. Ada-ada saja, pikirnya. Ia mencari Ratna ke dapur. Di tempat itu dia menjelaskan pada adiknya dengan bahasa yang paling sederhana tentang mengapa dia tidak mau lagi menerima telepon dari orang yang tidak menyebutkan namanya. *** Liwa berjalan tergesa-gesa ke ruang TU. Pelajaran Sejarah Budaya baru dimulai dua puluh menit yang lalu. Dia sebenarnya agak enggan meminta izin keluar setelah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

339

pelajaran dimulai. Tetapi karena Ibu Yuli sendiri yang datang dan meminta agar ia secepatnya ke ruang TU, Liwa menjadi tidak punya pilihan selain sesegera mungkin memenuhi panggilan itu. Ketika menelusuri bagian depan perpustakaan dan sela-sela taman kelas-kelas unggulan, dia memikirkan berbagai kemungkinan yang menjadi alasan pemanggilan itu. Urusan apa yang begitu mendesak yang ada kaitannya dengan TU. Biasanya kalau dengan TU urusan mendesaknya sekitar masalah tunggakan pembayaran SPP. Tetapi ia belum pernah harus dipanggil untuk pemberitahuan tunggakan SPP. Dan waktunya juga bukan pada masa pertengahan cawu seperti sekarang ini. Sekolah biasanya mencetak banyak surat menjelang pembagian rapor untuk mengingatkan wali murid mengenai kewajiban keuangan yang belum mereka lunasi. Liwa mengetuk pintu ruang TU yang sepanjang ingatannya tidak pernah tertutup pada setiap hari sekolah. Seorang staf yang kebetulan melihat ke arah pintu memberi isyarat padanya untuk masuk. Ketika pria berpakaian safarai yang tadi duduk membelakangi pintu itu menoleh, Liwa merasa bisa menduga untuk apa dia dipanggil kali ini. "Selamat!" Orang yang selalu menjadi juri penulisan puisi itu mengulurkan tangannya. "Ada dua orang dari sini yang memenangkan lomba penulisan puisi." Dua orang? Liwa menggenggam kedua tangannya lalu menghantamkan kedua tinjunya ke udara kosong.
Johan M.

340

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kedua puisinya lolos pemenang pada lomba penulisan puisi kali ini. "Apa teman saya juga sudah dipanggil?" tanya Liwa. "Ayo, pangil saja, mungkin belum." Liwa lalu keluar dari ruang TU dan melangkah tergesa-gesa melintasi lapangan rumput menuju ruang kelas IPA-1. Dia tidak mau membuang waktu dengan berjalan menelusuri celah-celah taman di muka ruang konseling dan kelas-kelas IPS. Kalau bukan karena sesuatu yang amat penting dan mendesak seperti sekarang ini, meskipun dengan banyak pengalaman berkomunikasi, Liwa pasti tidak akan mau ditugasi menyela penjelasan guru yang satu ini. Dia menyukai cara mengajarnya. Dia mengagumi penguasaan materinya. Dan dia juga menakuti tatapan dinginnya yang sering membuat keriangan menjadi membeku. Setelah anggukannya dibalas dengan anggukan, lalu guru itu berhenti menulis di papan tulis, Liwa segera memaksa dirinya memberikan penjelasan. "Bisa meminta izin untuk Salwa. Sebentar saja. Ada panggilan untuk" "Silahkan." Setelah berdiri lebih sempurna, sambil memandang ke arah meja-meja siswa, guru itu lalu berkata, "Salwa...dipanggil sama abangnya." Gurauan itu sungguh tidak terduga. Sehingga reaksi yang ditimbulkan pun tidak terduga. Ada keriuhan mendadak di ruang kelas itu. Bukan tidak mungkin bila teriakan-teriakan itu lahir dari anggapan bahwa Salwa baru saja dipanggil oleh pacarnya. Mereka, juga guru yang sedang mengajar itu, pasti pernah memiliki
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

341

kesempatan melihat ia dan Salwa berjalan berdua, berdampingan. Setelah melihat Salwa berjalan ke depan kelas, Liwa mundur dari pintu untuk memberi ruang bagi Salwa yang sebentar lagi akan keluar. "Ayo, kita ke ruang TU." Hanya itu yang bisa ia katakan untuk sementara, agar Salwa tidak terlalu kebingungan. Sebelum meninggalkan ruang IPA-1, Liwa memberikan anggukan sekali lagi pada guru yang sudah memberikan izin itu. Sambil berjalan berdampingan, Liwa menambahkan penjelasannya. "Puisiku dan puisimu memenangkan lomba penulisan puisi." "Tapi aku tidak pernah ikut lomba menulis puisi." "Aku sudah pernah bilang akan memakai namamu pada salah satu puisiku supaya kedua puisi yang sudah kutulis bisa diikutkan dalam lomba. Apa kau sudah lupa?" "Tentu aku ingat kau pernah mengatakannya. Tetapi waktu itu kukira kau cuma bergurau. Astaga, jadi kau benar-benar menggunakan namaku?" "Ya. Hanya namamu yang kuizinkan menjadi pelengkap larik puisku. Jangan beri tahu orang lain. Hanya kita berdua yang tahu." "Oke." Liwa dan Salwa lalu menghentak-hentakkan sepatunya pada lapisan semen di bawah permukaan teras untuk menghilangkan sisa rumput-rumput kering yang melekat di alas sepatu mereka.
Johan M.

342

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mereka berdua kembali harus menggosokkan alas sepatu pada keset tebal dari serabut kelapa yang menjadi keset pertama sebelum kembali mengelap alas sepatu itu pada keset karet tipis di bagian dalam pintu ruang TU. Pegawai Depdikbud yang biasa menjadi juri itu tidak banyak berbicara. Dia memberikan penjelasan tentang siapa yang juara berapa dan jumlah uang yang diterimanya sebagai hadiah. Sebagai juara pertama, Liwa yang mula-mula diminta membubuhkan tanda tangan. Liwa menangkap tatapan Salwa. Ada keraguan pada gadis itu untuk membubuhkan tanda tangannya. Liwa kemudian segera memberi isyarat pada Salwa untuk menyelesaikan urusan administrasi itu. Setelah keduanya menerima hadiah, pegawai Depdikbud itu kembali memberikan ucapan selamat. Liwa merasa lega melihat Salwa kembali menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Sudah seharusnya begitu. Kalau aku yang sudah lama menjadi sahabatnya saja tidak pernah punya kesempatan menyentuh tangannya, apa yang membuat orang lain yang baru sekali ditemui menjadi lebih berhak memperolehnya? batin Liwaul. Salwa menyodorkan amplop yang baru diterimanya itu. Liwaul segera menoleh ke belakang. Ia khawatir ada yang meihat peristiwa itu. Mereka masih di depan ruang kepala sekolah. Untunglah pegawai Depdikbud itu sudah entah ada di mana. Saat kembali menatap gadis pujaannya itu, Liwa lalu menjelaskan, "Hadiah itu untukmu. Anggap saja sebagai hadiah ulang tahun. Meskipun sudah agak terlalu terlambat."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

343

"Terima kasih," kata Salwa. Liwa mendampingi Salwa saat kembali ke kelasnya. Dia berusaha menghirup udara siang yang masih menebarkan aroma rerumputan. Hari ini, ia merasa bangga sekali sebagai laki-laki, karena akhirnya ia menemukan saat berharga untuk memberikan hadiah pada gadisnya...oh...ralat, pada sahabat dekatnya, calon pacarnya. Yeah...hadiah ulang tahun itu sudah terlambat lima bulan, tetapi orang memang memerlukan alasan untuk melakukan sesuatu, jadi Liwa pun memerlukan alasan, yang setelah dipikirkan kembali, tidak beda dengan usaha untuk menemukan sebuah mutiara dari tempat yang jauh di kedalaman lautan. *** Pengumuman kelulusan masih tinggal tiga hari lagi, tetapi Ibu Yuli sudah menyampaikan berita besar itu pada Liwa ketika mereka berdua kebetulan berpapasan di depan pintu ruang TU. Setelah menuntut agar semua informasi yang akan ia berikan itu dirahasiakan, Ibu Yuli lalu meminta Liwa duduk pada kursi plastik yang diatur berderet di muka meja kerjanya. Liwa menurut. Dia duduk, menunggu, sambil berusaha menenangkan dirinya. Dia berharap bisa lulus PMJK pada pilihan pertama. Dia bukan tidak suka dengan bahasa Inggris, dia hanya tidak bisa. Ketidaktahuan memang merupakan alasan pertama mengapa orang perlu belajar, tetapi mempelajari bahasa asing jelas tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan cara berpikir semacam itu.
Johan M.

344

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kalau sampai ia diluluskan pada pilihan kedua, dia tetap akan mengambilnya, meskipun ia melakukannya dengan alasan terpaksa. Alasan semacam itu tidak pernah bagus. Tetapi siapa yang bisa selalu memperoleh apa yang diharapkan? Ia ingin melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, dan yang terdekat hanya Universitas Mataram. Setelah melewati satu atau dua semester di Program Studi Bahasa Inggris, dia bermaksud meminta perpindahan antarprogram studi. Yang penting sekarang, dia bisa masuk menjadi mahasiswa di Universitas Mataram. Dan untuk itu dia sudah tidak perlu risau. Ibu Yuli sudah memastikan kelulusannya. "Betul," kata Ibu Yuli. "Kamu lulus di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Sama seperti harapanmu. Kamu pasti rajin berdoa." Liwa tidak bisa menutupi kegembiraannya. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia meminta kesempatan melihat sendiri isi surat itu. Ibu Yuli tidak salah. Liwa segera meminta izin pulang, sesuatu yang sebenarnya sudah tidak perlu ia lakukan menjelang pengumuman kelulusan, karena tidak ada jam pelajaran apa pun yang akan mengikatnya untuk tetap berada di sekolah. Dia pulang dengan berjalan cepat. Liwa tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang tuanya. Di tempattempat tertentu, ia kadang berlari-lari kecil dan melompat-lompat seperti anak kecil. Begitu sampai di persimpangan terakhir, pada tikungan yang paling
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

345

banyak memberikan kenangan tentang beratnya menantikan detik-detik perpisahan setelah lebih dari dua kilometer berjalan kaki bersama Salwa, Liwa mulai memperlambat langkah kakinya. Tiga tahun sudah ia melaluinya, selama itu pula ia sudah menorehkan garis khayal yang menjadi batas bagi pertemuan dan perpisahannya dengan gadis pujaan hatinya. "Liwa!" Seruan itu terdengar lagi, dari tempat biasanya, di balik jendela sebuah rumah di seberang jalan. Aku tidak sia-sia memperlambat langkahku, batin Liwa. Tidak selalu berhasil memang, tetapi kali ini, yeah, dia berhasil. Tiga tahun sudah dia melakukannya dengan sangat sengaja. Liwa tidak yakin kapan dia akan bisa berhenti melakukannya. Salwa membuka pintu rumah dan dia berdiri menunggu. "Aku tadi ke sekolah," Liwaul menjelaskan tanpa diminta. "Aku tahu," kata Salwa. "Ayo, masuk." Liwa duduk di dekat pintu. Salwa duduk di kursi lain pada arah yang separuh menyamping darinya. Dari tempat duduknya, Liwa tidak hanya melihat wajah Salwa, dia juga bisa melihat bagian samping gadis itu, yang menampakkan banyak ciri kewanitaan yang sempurna. "Masih mau menjadi anak SMA?" tanya Salwa. Liwaul menggeleng. Ia kemudian melihat dirinya, seakan baru menyadari bahwa sejak pagi tadi ia telah
Johan M.

346

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

melakukan sebuah kesalahan karena membiarkan dirinya masih mengenakan seragam putih-abu. "Aku lulus PMJK." "Benarkah?" "Ya. Di UNRAM." "Kau akan mengambilnya?" "Tentu saja. Karena itu mungkin satu-satunya kesempatanku. Kau sendiri, bagaimana?" "Bapak ingin aku melanjutkan ke Yogya, ke UGM. Kami punya keluarga di sana. Mengapa kau mendaftar PMJK di UNRAM? Coba mendaftar ke UGM." "Sekarang sudah tinggal UMPTN. Kesempatan memasuki perguruan tinggi negeri melalui PMJK pasti sudah ditutup." "Kalau begitu, ikut UMPTN saja. Supaya kita bisa sama-sama kuliah di Jawa. Masa mau sekolah di sini? Sayang 'kan bakat menulismu. Nanti sia-sia. Di Jawa, kau akan lebih punya kesempatan untuk memupuk bakat menulismu." "Memang. Kau benar." "Nah," Salwa terlihat tersenyum riang. "Kau mau sekolah ke Jawa?" "Aku mau." "Kata-kata itu yang kutunggu dari dulu." Liwa tersenyum. Ia tidak tega menyelesaikan penjelasannya, tetapi ia harus melakukannya. "Sejak dulu, aku ingin sekali sekolah di Jawa. Aku ingin sekali bisa sekolah di perguruan tinggi terbaik, namun mungkin aku tidak bisa. Kau tahu, bapakku masih sakit. Aku tidak bisa terlalu jauh darinya. Dia akan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

347

sangat merisaukanku, begitu juga aku. Jika kesempatan untuk sekolah ke Jawa akhirnya ada, aku akan ke sana, tetapi bukan sekarang. Universitas Mataram kupilih bukan tanpa pertimbangan yang matang." "Aduh...kalau begitu, aku sekolah di sini saja." "Mengapa" "Supaya bisa satu tempat denganmu. Sama siapa aku belajar nanti kalau kau di sini sedangkan aku di sana." "Pertimbangkan lagi keputusanmu. Kalaupun akhirnya kau kuliah di Jawa, kita akan tetap berteman. Kita bisa saling berkirim surat." "Kau benar. Tapi apa kau mau membalas suratsuratku?" "Tentu saja," Liwa mengingatkan dirinya. Jelas maksud Salwa tidaklah seperti yang ia pikirkan. Semangat itu, mungkin hanya karena keinginan mempertahankan persahabatan. "kirimlah surat sesering mungkin. Aku akan membalas surat-suratmu." "Terima kasih. Aku lega sekarang. Kalau memang nanti aku akhirnya sekolah di Jawa, kau tidak boleh tidak membalas surat-suratku, karena apa yang kau katakan tadi sudah kuanggap sebagai janji." *** Masa-masa orientasi mahasiswa baru sudah lama berlalu, tetapi setiap peristiwanya, yang sebagian besar kegiatannya ia anggap merupakan sandiwara buruk para intelektual muda, masih membekaskan banyak keberatan dan kegeraman, yang membuat Liwa nyaris malas ikut ambil bagian pada kegiatan-kegiatan di unit kegiatan
Johan M.

348

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mahasiswa yang diminatinya. Semua unit kegiatan mahasiswa jelas telah ikut ambil bagian pada kegiatan orientasi itu. Jadi, semua orang yang mencoba menawarkan perilaku disiplin palsu, pemberontakan palsu, kasih sayang palsu, dan kepemimpinan palsu, sebagian tanggung jawabnya terpaksa harus dilemparkan menjadi beban unit-unit kegiatan mahasiswa yang sepertinya sangat sukses menebarkan banyak kepalsuan dan ketidakmatangan sikap seorang akademisi. Hari-hari pertama memasuki dunia kampus perguruan tinggi, dimulai dengan serangkaian kegiatan penuh hukuman dan ancaman. Setiap mahasiswa diminta menyiapkan buku catatan dan makanan yang dibawa dengan kantung plastik yang diselempangkan setelah diikat dengan tali plastik. Jika para mahasiswi diminta mengikat rambut mereka dengan pita yang yang membuat sebagian besar dari mereka terlihat seperti anak-anak TK yang lucu, para mahasiswa malah diharuskan memotong rambut mereka sependek mungkin sampai panjangnya tidak lebih dari satu sentimeter. Mereka yang mencoba tidak menaatinya dikeluarkan dari pusat kegiatan untuk ditempatkan pada barisan orang-orang yang akan dipamerkan selama menjalani hukuman mereka. Yang mengagumkan, panitia orientasi mahasiswa baru rupanya tidak lepas memikirkan divisi khusus yang menangani orang-orang yang berperilaku di luar garis aturan yang ditetapkan. Liwa berusaha mengikuti peraturan-peraturan itu, dan mencatat pemotongan rambutnya dalam ingatan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

349

sebagai satu-satunya masa yang terpaksa harus dilewatinya dengan model rambut paling konyol, dan juga dengan ukuran terpendek yang pernah dimilikinya. Dia selalu mengingat apa yang membedakannya dengan saudara-saudaranya, dan sebagian besar bocah-bocah kecil lainnya, karena seperti yang dituturkan oleh ibunya, Liwa sejak kecil belum pernah digunduli. Setiap mahasiswa baru dijadwalkan datang ke kampus sebelum pukul 06.00 pagi. Mahasiswamahasiswa berpakaian khusus panitia orientasi, berjaga pada semua jalan yang menjadi akses masuk ke kampus. Panitia-panitia itu, tanpa belas kasihan terhadap wajahwajah baru yang belum banyak mengerti tentang likaliku jalan-jalan kampus, sengaja berteriak-teriak memaksa setiap mahasiswa baru untuk mempercepat langkah mereka menuju auditorium yang menjadi pusat tempat pelaksanaan orientasi. Ada beberapa mahasiswa baru yang berlari terbirit-birit dan tidak diberi kesempatan memperhatikan luka mereka akibat terjatuh karena terkejut oleh teriakan dan ancaman yang penuh teror. Liwa kesal karena peraturan itu hanya dijalani pada hari pertama. Hari-hari berikutnya, penjagaan itu mengendur, bahkan sudah menghilang sebelum masa orientasi berakhir. Sekarang, setelah menjadi bagian dari mereka, Liwa menjadi bertambah kecewa karena mendapati sebagian besar seniornya yang dulu memasang tampang sebagai sosok mengagumkan yang siap diteladani, ternyata sama penidurnya dengan tokoh Kabayan dalam folklore Sunda.
Johan M.

350

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Di pusat unit kegiatan mahasiswa, biasanya, setelah semalaman bergadang hanya untuk mendiskusikan tentang masalah-masalah nasional, dengan terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya, dilengkapi oleh semangat menganggap tolol semua orang di luar dunia yang mereka hargai, Liwa menemukan banyak mahasiswa yang melabeli diri mereka sebagai aktivis kampus itu ternyata mendengkur nyaman sampai siang, seolah persoalan nasional yang sudah dibicarakan hingga subuh itu sudah teratasi hanya dengan kesepemahaman di antara mereka untuk melakukan aksi demonstrasi pada waktunya nanti. Menuntut keadilan sepertinya sudah dianggap sebagai sudah ikut memberikan keadilan, padahal banyak di antara orang-orang yang mereka demo itu, dulu lebih garang dari mereka dalam menyerukan keberatan terhadap ketidak-adilan, tetapi menjadi bisu dan bahkan larut dalam sistem yang menggilas nalar mereka. Tidak ada yang instan. Itulah yang mulai dipahami oleh Liwa di tahun pertamanya menjadi mahasiswa. Orang perlu berjuang lama untuk memperoleh cita-cita luhurnya. Perlu latihan disiplin yang lama untuk bisa mendisiplinkan diri. Bermaksud baik saja tidak cukup. Belajarlah lebih giat, pada semua bidang yang diminati lalu raihlah prestasi. Kemudian pada waktunya nanti, ketika masa-masa belajar itu sudah terlewatkan dan berganti dengan masa-masa pengabdian, ingatlah selalu dengan ketidak-adilan yang ingin dipulihkan. Capailah satu tingkat dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

351

memungkinkan kita memberikan daya untuk mewujudkan harapan-harapan dan semua maksud baik yang pernah diimpikan. Sulit bagi orang dewasa, bahkan anak-anak, untuk menerima kemungkinan menyerahkan tanggung jawab dan harapan-harapan atas kehidupan yang lebih baik, pada sekelompok mahasiswa yang membiarkan banyak jam kuliahnya terlewatkan. Orang tua dan keluarga yang menanggung biaya kuliah, tidak mungkin mengharapkan pengorbanan sebesar melewatkan jamjam kuliah, karena rata-rata masyarakat sudah memahami bahwa sebenarnya ada banyak waktu lain untuk hal lain di luar jam kuliah yang beban sks-nya tidak sebanyak jam-jam belajar anak sekolahan. Kepedulian itu memang perlu, Liwa juga tidak menyukai kakak-kakak tingkat yang hanya mengejar prestasi akademis mereka. Sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa, bila ada kesempatan untuk menemukan satu sosok, yang prestasi akademisnya bagus, dan dikenal pula menjadi aktivis kampus. Mereka yang bisa mencapai gelar sarjana, atau menyelesaikan studi sampai SMA, tetapi dapat membuat prestasi yang memberinya kesempatan untuk mengabdi dan mewujudkan impian masyarakatnya, lebih pantas dihargai ketimbang mereka yang berteriak-teriak di balik perlindungan jas almamater atau emblem tertentu, tetapi akhirnya kaku dan larut dalam ketidakberdayaan ketika sudah berada dalam realita kehidupan.
Johan M.

352

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwa sedang merenungkan semua itu, dalam perjalanan pulang dari pusat kegiatan mahasiswa, ketika ia mendengar namanya dipanggil sehingga membuatnya mengalihkan tatapan sejenak dari jalan beraspal yang akan dilaluinya. Dia perlu melompat untuk menghindari kotoran kuda yang menumpuk di hadapannya sebelum akhirnya kembali menatap tiga orang gadis yang berdiri kurang sepuluh langkah di depannya. Dia perlu waktu untuk mengenali salah satunya. Gadis gemuk itu kini terlihat agak berbeda dengan gaya berpakaian yang sudah mengikuti trend kota. Setelah mereka berhadapan, Liwa bertanya. "Kamu juga kuliah di sini?" Entah apa yang sudah dikatakan oleh Sumiarni pada dua orang yang menyertainya. Tiba-tiba saja kedua orang gadis itu pergi sebelum Liwa memperoleh jawaban. "Hai...Ya. Aku juga kuliah di sini." "Di fakultas apa?" "Ekonomi-perpajakan." Liwa tidak melanjutkan pembicaraan mengenai masalah itu. Siapa tahu, Sumi tidak mau meneruskan diskusi tentang jurusan yang diambilnya, karena jurusan perpajakan yang dibuka di UNRAM baru sampai jenjang diploma, yang artinya, mahasiswa yang masuk di situ tidak diseleksi melalui UMPTN. Dia ingin tetap bisa menjaga perasaan temannya yang tidak seberuntung dirinya. Setelah mengetahui bahwa hanya dia sendiri yang mendapat PMJK di kelasnya, teman-teman yang melanjutkan ke perguruan tinggi negeri tanpa melalui
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

353

UMPTN pasti akan merasa lebih minder lagi. Selalu sulit membuat masyarakat bisa memahami bahwa diploma yang diambil itu bukan karena gagal PMJK atau UMPTN. Apalagi jika diploma itu ternyata tidak satu jalur dengan jurusan yang diambil di SMA. Tidak terbayangkan bagaimana sulitnya bagi Sumiarni untuk memberikan penjelasan pada setiap orang yang ceroboh bertanya mengenai alasan di balik pilihannya melanjutkan ke D-III Perpajakan. Liwa tidak pernah suka membuat temannya berada pada situasi sulit untuk memberikan jawaban. Jadi, dia memutuskan tidak lagi akan melanjutkan pembicaraan pada topik itu. Lagi pula, dia lebih menyukai topik lain, yang selalu senang dibicarakannya dengan siapa pun yang ia anggap tahu tentang Salwa. Dan sejauh ini, tidak ada selain Sumiarni, yang lebih tepat untuk dimintai pendapatnya, atau didengarkan ceritanya. "Bagaimana kabar Salwa?" "Aku baru saja mau bertanya padamu," kata Sumiarni. "Setelah pengumuman kelulusan, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku tidak pernah tahu kapan dia punya jadwal pulang dari Jawa." "Kamu tidak meneleponnya?" "Ya. Belum pernah. Dari dulu juga belum pernah, karena aku memang tidak tahu nomor teleponnya." "Haaaa...?" "Aku sendiri tidak punya telepon."
Johan M.

354

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Itu bukan alasan, Liwa. Ada telepon umum. Orang tidak harus punya telepon agar dapat menelepon teman yang sudah tiga tahun lebih dikenalnya." "Mungkin nanti. Jadi, apa kau juga tidak pernah bertemu dengannya?" "Pernah..." kata Sumiarni. "Waktu liburan semester yang lalu. Dia bilang, tidak akan pulang pada liburan semester yang akan datang ini." "Oh. Sayang sekali, aku tidak tahu. Padahal aku begitu ingin menemuinya." "Makanya, sesekali mampir ke tempatku, biar aku bisa memberitahumu kapan dia pulang dan bisa ditemui. Kamu sudah tahu kan tempat tinggalku." Liwa mengabaikan pertanyaan itu. Dia gelisah memikirkan kemungkinan tidak bisa menemui Salwa selama lebih dari satu tahun. Sekarang sudah hampir sepuluh bulan. Dia bersedia menunggu untuk dua bulan lagi, tetapi tidak untuk tujuh atau delapan bulan yang akan datang. "Dia sudah pasti tidak akan pulang liburan ini?" "Dia bilang begitu. Ongkosnya mahal, Liwa. Perjalanan YogyaMataram dengan bus juga melelahkan. Kalau bukan untuk urusan pertunangannya, liburan kemarin pun, dia mungkin tidak akan pulang." Liwa sudah pernah mendengar berita itu, dari orang yang sama pula, tetapi mendengarnya lagi tidak membuatnya merasa menjadi orang yang berpengalaman atau lebih siap. Selama beberapa detik, dia berjalan dengan tatapan kosong. Dia berusaha menenangkan diri. Sebagian tubuhnya mulai terasa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

355

berkeringat lebih banyak. Akhirnya, untuk membebaskan diri dari rasa penasaran, dia kembali mencoba memberanikan diri untuk menerima kenyataan pahit lainnya. Liwa lalu bertanya, "Dia bertunangan dengan siapa?" "Kak Wan. Siapa lagi?" Setelah memberikan jeda pendek pada jawabannya, Sumiarni kemudian melengkapi jawaban itu dengan sebuah saran yang sebenarnya tidak perlu diutarakan karena sepertinya selalu tidak pernah ada waktu yang tepat untuk memberikan saran semacam itu pada orang yang nampaknya tidak akan pernah bisa memikirkan sosok lain kecuali gadis yang dicintainya sejak pertama kali melihatnya. Dengan suara seperti orang yang turut terpukul dengan kenyataan itu, Sumiarni berkata, "Carilah gadis lain, Liwa. Salwa sudah menjadi milik orang sekarang." *** Lilin itu dibiarkan berdiri melekat di atas meja, menyala menjadi satu-satunya sumber penerangan. Pintu dan jendela kamar sewaan empat kali empat meter itu ditutup rapat. Mereka berempat terkurung di dalamnya. Masing-masing duduk di tempat yang mereka sukai tetapi pada jarak yang dapat membuat setiap orang bisa saling melihat. Ide itu muncul tiba-tiba. Liwa yang mengatur persiapannya. Bukan karena dia yang termuda, tetapi kamar itu disewa berdua dengan Alen, kakak tingkatnya, orang yang sekarang menjadi ketua himpunan
Johan M.

356

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, sosok pertama yang mengenalkannya pada dunia para aktivis kampus. Orang berikutnya Hasan, juga kakak tingkatnya, satu tingkat di atas Alen dan menjadi yang tertua di antara mereka berempat. Orang keempat adalah Alfian, satu tingkat dengan Liwa, tetapi dari Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan. Dia bisa ikut menjadi bagian dari ritual itu meskipun tidak berasal dari satu program studi dengan tiga orang lainnya karena Alfian merupakan tetangga yang kamarnya hanya diselingi satu kamar di sebelah selatan kamar yang disewa oleh Liwa dan Alen. Usulan menjalankan ritual itu disetujui secepat dan setidak terduga kemunculan idenya. Mereka menyatu dalam keremangan itu untuk sebuah ritual pengungkapan perasaan. Diskusi-diskusi malam sebelumnya, dibanjiri oleh pengungkapan tentang kisahkisah cinta yang belum pernah benar-benar diungkapkan. Kesamaan pengalaman tentang kegagalan karena mencoba memaksakan diri menemukan cinta baru pada sosok lain, telah membuat pertemuanpertemuan mereka dibanjiri teori-teori cinta, yang membuat makin banyak rasa bersalah, dan membuat setiap orang menjadi semakin terombang-ambing dalam perasaan panik karena sepertinya akan mengalami kisah pahit yang cuma berakhir pada ramalan kehilangan cinta sejati. Malam ini, dirancang menjadi ajang mencurahkan perasaan, yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Jika ternyata ada dari kisah yang muncul
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

357

malam ini pernah menjadi penggalan kisah-kisah yang telah diungkapkan dengan tidak teratur pada malam sebelumnya dan sudah dilupakan, tidak ada yang perlu merisaukannya, karena malam ini, dimaksudkan hanya untuk membicarakan tentang satu orang wanita, satu nama yang paling sempurna bagi ruang hati yang masih terasa kosong, satu sosok yang paling dicintai, yang paling ingin dimiliki, namun belum pernah tahu dirinya begitu didambakan. "Dia teman masa kecilku," kata Hasan, memulai ceritanya, sebagai orang yang meminta kesempatan pertama. "Kami sering bermain di pematang-pematang sawah. Dia gadis biasa, tidak terlalu cantik, tetapi aku mencintainya. Dia putri impianku, dan membuatku sering berkhayal menjadi pangeran tampan yang akan membawanya dengan kuda putih, melintasi padangpadang ilalang sambil membiarkannya memelukku. Rambutnya yang panjang itu membuatku memilih dirinya sebagai gadis yang paling pantas diselamatkan dari menara penjara penyihir jahat. "Hanya saja, orang tuanya memiliki sawah dan kebun paling luas di desaku. Kalau di tempat kalian kenyataan itu bukan apa-apa, di tempatku, sawah dan kebun masih merupakan segalanya. Aku sering ke rumahnya, apalagi setelah SMA, kunjunganku semakin sering, karena dia tidak diizinkan melanjutkan sekolahnya, tempat yang dulu sering kugunakan untuk berduaan dengannya pada jam-jam istirahat. Orang tuanya menganggap pendidikan sampai SMP sudah
Johan M.

358

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

cukup. Mereka khawatir, kalau disekolahkan terlalu tinggi, nanti anaknya menjadi tidak lagi mau mematuhi kehendak orang tua, lalu lari dan mencari sendiri kehidupan lain yang diyakininya dan tidak mau tahu tentang bagaimana orang tua susah memikirkan kebaikan-kebaikan bagi anaknya. "Aku hampir saja menyatakan cintaku, ketika ia tibatiba meminta maaf karena pertemuan itu akan menjadi perjumpaan terakhir kami. Dia dilamar oleh seorang pria kaya dari desa lain, yang sudah punya tiga orang istri, dan entah berapa orang anak. Seperti yang diharapkan orang tuanya, dia tidak bisa mengatakan tidak untuk apa pun yang diminta dari dirinya. Termasuk kesediaan menikah dengan pria yang sudah menikah. Aku tidak pernah bertanya padanya tentang bagaimana rasanya menjadi calon istri yang sudah tahu bahwa dia sudah pasti akan dimadu. Waktu itu aku tidak memikirkannya. Aku panik. Aku marah. Tapi kesempatan itu kini ada, bahkan untuk menanyakan bagaimana rasanya menjadi ibu keempat bagi anak-anak tirinya pun ada, tetapi aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukannya." Hasan bergerak lalu menyandarkan dirinya pada bantal yang ditumpuk di salah satu sisi tempat tidur. "Setengah tahun setelah pernikahannya, dia minta cerai pada suaminya. Hal itu mengejutkan semua orang. Tidak ada yang tidak membicarakannya sebagai kekurangajaran perempuan. Dan mungkin cuma aku yang mau mendamaikan diri dan menganggapnya sebagai bentuk keberanian untuk menentukan nasibnya sendiri.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

359

"Keberanian itu memang tidak muncul begitu saja. Ibunya mendadak meninggal, sebelum subuh, beberapa jam setelah hujan turun mengguyur tanaman tembakaunya, diduga oleh semua orang karena menyesalkan keputusannya. Sore harinya, sebelum malam tiba, seorang saudagar tembakau menawar tanaman yang siap dipetik itu dengan harga Rp25.000.000,00. Tapi wanita itu menolak karena dia ingin menjual tembakaunya dengan harga Rp30.000.000,00. Setelah hujan turun, rugi lima juta, tentu saja masih merupakan nasib baik ketimbang rugi 25 juta. Kerugian itu menjadi bertumpuk setelah ditambah dengan hutang yang belum ia bayar karena selama penanaman dan perawatan tembakau-tembakau itu ia berhutang pupuk. Wanita serakah itu tidak kuat menahan beban pikirannya. "Bapaknya tidak sampai ikut meninggal, tetapi pria itu menjadi sering bertingkah aneh setelah pemakaman istrinya. Dia membabat semua batang tembakau yang sudah tidak berharga itu, menumpuknya menjadi bukit hijau, lalu membakarnya sambil tertawa dan menangis. "Permintaan cerai itu mungkin karena dia ingin mengurus bapaknya, sesuatu yang akan sulit ia lakukan selama menjadi istri seseorang." Hasan diam sebentar lalu dia menutup ceritanya dengan berkata, "Hanya itu kisahnya, hanya itu kisahku tentang wanita yang kucintai itu." Alen berdehem. Selalu itu yang dilakukannya kalau bermaksud ingin mengatakan sesuatu. Jadi, setelah dia
Johan M.

360

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

berdehem, teman-teman dekatnya langsung mengerti tentang keinginannya mengambil kesempatan untuk berbicara. "Aku tidak mengerti tentang bagaimana kau akan mengatakan cinta padanya, sekarang, di saat dia, seperti yang kau katakan tadi, meminta cerai karena ingin mengurus bapaknya, dan dia menganggap dirinya akan lebih bisa melakukannya setelah tidak menjadi istri seseorang. Maksudku, aku juga tidak mengerti tentang peluangmu untuk menjadi suami berikutnya." "Jangan dijawab," kata Liwa. "Biar sesi bercerita ini kita habiskan dengan bercerita saja dulu, baru nanti kita bahas jalan keluar semuanya sekalian." "Aku setuju," kata Alfian. "Boleh juga," kata Alen, manggut-manggut. "Bagaimana, Hasan?" "Atur saja." "Baiklah," kata Alen. "Bagaimana, kalau berikutnya, aku?" "Saya kira, semuanya akan setuju," kata Hasan. "Biar nanti, Liwa yang terakhir." Liwa tidak keberatan dengan pembagian giliran itu. Yang membuatnya sedikit merasa aneh adalah kerdipan mata Alfian. Entah pada siapa kerdipan itu ditujukan, yang jelas bukan padanya, dan itu membuat Liwa merasa ada sebuah persekongkolan yang bisa saja menodai maksud baik dari ritual mereka malam ini. "Gadis yang akan kuceritakan ini," kata Alen, "baru kutemukan waktu kuliah kemarin. Dia kulihat berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah kutemukan sebelumnya. Selain bahwa dia cantik, dia juga
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

361

menyenangkan diajak berbicara, dan dia juga menunjukkan perhatian yang membuatku sulit berpikir bahwa aku tidak disukai." "Sialan," potong Alfian. Keakraban di antara mereka membuat tidak ada satu orang pun yang akan merasa terhalang untuk mengucapkan kata-kata yang ingin diungkapkannya, meskipun sedikit berbau sumpah serapah. "Aku saja yang sudah banyak menaklukan perempuan tidak pernah sepercaya diri begitu." "Tidak perlu pengalaman untuk menerka," kata Alen, membela diri. "Sebenarnya, aku belum yakin jika dia adalah cinta sejatiku. Aku juga belum terlalu yakin dialah yang paling kudambakan, tetapi terus terang, dialah yang paling membuat tidurku menjadi saat-saat yang menggelisahkan. Aku ingin sekali memilikinya, tetapi karena dia teman sekelasku" "Apakah aku tahu orangnya?" tanya Hasan. "Kalau aku dihentikan sekali lagi, aku akan berhenti dan cukup sampai di situ saja ceritaku." "Lanjutkan," kata Alfian. "Masa senior cepat terbawa emosi begitu." Alen berdehem lagi sebelum mulai melanjutkan kisahnya. "Belakangan ini, aku menjadi ragu-ragu, apakah menyatakan cinta padanya tidak membuat hubungan persahabatan kami menjadi rusak. Tetapi sebenarnya, bukan itu saja, kalaupun aku akhirnya bisa menjadikannya sebagai pacarku, aku digelisahkan oleh tugasku saat ini sebagai ketua HMPS. Kalian tahu, sangat tidak baik terlihat terlalu memberikan perhatian pada
Johan M.

362

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

satu orang, sementara seharusnya aku bisa memberikan perhatian yang sama pada setiap mahasiswa bahasa." Dia diam sebentar, lalu berkata. "Hanya itu. Sekarang kamu, Alfian. Jangan coba-coba menceritakan istri pamanmu itu." "Tidak," kata Alfian. "Ini tentang sesuatu yang lain, aku baru menemuinya seminggu yang lalu." Liwa mengetahui sedikit kisah tentang bagaimana Alfian nyaris meniduri bibinya. Pada saat liburan semester yang lalu, Alfian mengunjungi bibinya yang sudah ditinggal ke Malaysia oleh suaminya selama dua tahun lebih. Mula-mula, hubungan itu, sedekat yang bisa dilihat dan diharapkan ada pada diri seorang bibi dan keponakannya, hingga suatu hari, Alfian merasa ketagihan datang mengunjungi bibinya, pada sore hari, pada saat sang bibi biasanya akan atau baru selesai mandi. Pemandangan yang mengundang hasrat itu tampil di depan matanya, seperti dimaksudkan untuk menyaksikan sesuatu yang menggoda pandangan mata. Bibi yang masih muda dan belum mencapai usia 25 tahun itu, keluar dari kamar mandi, menutupi tubuhnya hanya dengan selembar handuk yang masih terlalu pendek untuk menutupi bagian dada dan sebagain besar bagian tengah pahanya. Paha yang kencang, putih, dan mulus itu, sentak membuat gairah remaja Alfian bergejolak. Kepalanya pening memikirkan sesuatu yang lebih rahasia dari semua itu. Dia tidak berusaha menghindar, tetapi membiarkan matanya menelan pemandangan yang membuat napasnya tertahan lama
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

363

dalam tubuh yang tiba-tiba dirasuki getaran lembut yang membias dari sekujur pori-porinya. Dia yakin, bibinya bukan tidak menyadari tentang gelora yang ditimbulkannya. Hari berikutnya, ketika Alfian datang, ia dibiarkan menyaksikan lagi pemandangan yang sama, dan bibinya seperti sengaja menggoda karena membiarkan Alfian mencubit paha yang kencang itu. Hari berikutnya, bibinya mengganti pakaian tanpa menutup penuh pintu kamarnya. Pada saat itulah Alfian melakukan sergapannya, yang menjadi sergapan pertamanya. Karena setelah menjamah dan mencium istri pamannya, ia kemudian mengaku telah melakukannya pada beberapa gadis lain yang berhasil ia buat terpesona oleh ketampanannya. Hanya dari pengakuannya cerita-cerita itu dianggap ada. Tidak ada cara lain untuk mengetahui apakah ia menceritakannya persis sama seperti kejadiannya, ataukah ia menutupi bagian tentang hubungan yang tidak sampai membuat dia melewati batas yang hanya menjadi hak pamannya, atau menjadi hak calon-calon suami dari wanita-wanita yang pernah ia ajak berbagi rahasia. "Apakah ini tentang gadis yang kita temui di masjid itu?" tanya Liwa. Ada gadis cantik yang sepertinya selalu menunggu Alfian setiap mereka selesai ikut salat berjamaah. "Betul," kata Alfian. "Aku sekarang ingin mengubah diriku. Aku tidak mau terus-menerus dikuasai dosaJohan M.

364

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dosa. Cuma masalahnya, berhakkah aku atas cintanya. Dia jelas bersih, bahkan dari pikiran kotor seperti pikiranku. Seperti Alen, aku tidak yakin, kalau dia cinta sejatiku. Karena aku tidak tahu bagaimana cara menentukan apakah dia cinta sejati atau cinta dengan nama lain. Yang jelas, aku punya harapan besar pada dirinya, tentang kemampuannya untuk mengubah hidupku, menjadi lebih lurus, menjadi lebih terkendali, dan dewasa. Itu saja, sekarang, mari kita dengarkan cerita Liwaul." "Aku khawatir," kata Hasan. "Gadis yang kau anggap bisa menyelamatkanmu itu, ternyata malah melengkapi daftar dosamu, bila ternyata dia belum pernah bertemu orang sepertimu, yang mendekati gadis bukan dengan mencoba memasuki pintu hatinya, tetapi memasukinya dengan cara lain lewat pintu-pintu lain." "Sialan," kata Alfian. Dia tersenyum. Tidak ada mimik tersinggung sedikit pun di wajahnya. "Aku ingin memperbaiki diri. Aku ingin memperbaiki hidupku. Ayolah, masa kalian tidak percaya padaku?" "Liwa, mana ceritamu?" kata Alen. Setelah mendengarkan penuturan ketiga orang itu, Liwa berpikir mungkin hanya dengan Hasan dia perlu membicarakan kisahnya, karena dua orang lainnya sepertinya masih memiliki kisah instan, yang dipenuhi keraguan dan berbahaya. Hasan terlihat begitu ingin menyampaikan hasrat hatinya, bahkan setelah si gadis impian pernah menjadi istri orang lain. Luar biasa. Sepertinya hanya dalam cerita fiksi didapati kesanggupan hasrat sekuat itu. Hasan baru saja
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

365

membuktikan bahwa ia tidak lagi mempersoalkan tentang kemurniah tubuh sang kekasih, yang sudah tidak bisa diharap kini masih menjadi rahasia dari tatapan mata manusia dewasa yang telah berwujud suaminya. Jika ada rahasia yang masih tersisa, rahasia itu pastilah tentang hatinya, tentang pada siapa sebenarnya janda itu pernah jatuh cinta. "Dia teman dekatku waktu masih SMA," kata Liwa, memulai ceritanya. Dia cuma ingin menceritakan bagianbagian yang ia anggap dapat membuat ketiga pendengarnya memahami alasan mengapa hingga kini dia belum bisa menyatakan cintanya. "Sebenarnya kami bertemu sebelum itu, sebagai teman belajar kelompok. Setelah satu sekolah, kami jadi lebih sering bertemu, lebih sering berjalan bersama, dan aku juga sering datang ke rumahnya. Semua waktu yang kulewatkan bersamanya adalah waktu-waktu terbaik yang pernah kumiliki dalam hidupku. Bersamanya membuatku lupa dengan waktu, lupa dengan hal-hal lain yang biasanya menyenangkan hatiku. "Aku pernah mencoba menyatakan cinta," Liwa diam sejenak, sengaja membiarkan penjelasan terakhir itu melekat dalam pikiran tiga orang yang sedang mendengarkan kisahnya. Dia tidak mau dianggap tidak berani menyatakan cinta, seperti yang samar-samar dia dengar sebagai sindiran teman-temannya, dan juga seperti yang samar-samar dia rasakan, serta takut-takut diakuinya sebagai kebenaran yang sesungguhnya. "Tetapi aku takut, persahabatan kami terganggu."
Johan M.

366

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Aku sendiri tidak pernah yakin dengan laki-laki dan perempuan yang mengaku bahwa hubungan mereka hanya sebagai persahabatan. Apalagi kalau hubungan itu sudah berlangsung lama. Kalau bukan karena salah satunya yang jatuh cinta pada yang lain, pasti keduaduanya. Tidak pernah tidak tanpa perasaan khusus, kecuali mereka membohongi diri sendiri, atau saling membohongi," kata Hasan. "Kau tidak perlu takut menyatakan cinta padanya, Liwa. Kau sahabatnya. Itu sebuah keberuntungan, mengapa harus dianggap sebagai gangguan? "Sebagai sahabatnya, kau menjadi orang yang paling memiliki peluang untuk menyatakan cinta. Bukan saja karena sangat berartinya kedekatan yang sudah berhasil kau bangun, tetapi karena kau dan dia telah mengawali semuanya dari pikiran sehat untuk terus-menerus belajar saling memberikan kenyamanan. Kau tidak mungkin bertahan menjadi sahabatnya jika kau merasa tidak nyaman di dekatnya, sesuatu yang tidak kau dapatkan hanya dengan usahamu, melainkan karena keinginannya untuk membuatmu memperolehnya, dan begitu juga sebaliknya." "Aku setuju dengan pendapatmu, Hasan," kata Alen. "Tapi, aku juga bisa memahami persoalan yang dihadapi oleh Liwa." "Yang terakhir itu sebenarnya karena kau sendiri menghadapi persoalan yang sama denganya," kata Hasan. "Aku mengatakannya juga untukmu. Kita berkumpul di sini untuk saling mengingatkan. Jangan menjadi lemah."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

367

"Kau sendiri tadi juga lemah," kata Alen. "Setidaknya, dengan apa yang baru saja kau katakan, aku menjadi ingat. Selalu tidak sama diingatkan dengan mengingatkan diri. Meskipun kata-kataku berasal dari diriku, bukan berarti aku menjadi lebih cepat menerimanya menjadi nasihat yang berguna bagi diriku. Bukan tidak mungkin, dan bahkan baru saja aku mulai memikirkannya, aku menjadi lebih mudah menyadari kebenarannya, menyadari gunanya untuk diriku, setelah aku mendengarkan kau mengucapkannya lagi untukku." "Aku bingung," kata Alfian. "Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?" "Dengarkan saja," kata Alen. "Liwa, kau harus menganggap keadaanmu, persahabatanmu, sebagai dukungan atas cita-cita cintamu," kata Hasan. "Kau malah tidak bisa menyatakan cintamu begitu saja tanpa kedekatan seperti yang sudah ada antara dirimu dan gadis itu. Gadis mana pun malah akan langsung kabur, atau menganggapmu gombal, kalau begitu bertemu, atau belum lama bertemu, tibatiba sudah membuatmu mengatakan menyukainya, apalagi mengatakan bahwa hanya dia yang membuatmu senyaman yang kau rasakan. Cintamu sudah teruji oleh waktu. Kau masih mencintainya, dan tetap mengharapkan dia setelah sekian lama, yang pasti membuatmu sebenarnya punya kesempatan untuk mendekati gadis-gadis lain." "Tetapi," desah Liwa. "Tetapi apa lagi?"
Johan M.

368

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Aku tidak pernah jadi menyatakan cinta, bukan hanya oleh alasan itu. Pada suatu hari, aku mendadak punya kesempatan untuk tahu bahwa dia ternyata sudah punya pacar." Tiga orang pendengarnya roboh dengan cara masing-masing. Alen yang paling dulu bangkit. "Jangan pedulikan apakah saat ini dia sedang punya pacar atau tidak. Orang tidak selalu bahagia dengan pacarnya." "Alen, orang memang tidak selalu mengejar kebahagiaan," kata Hasan. Sebagai mahasiswa paling senior, dia sepertinya berusaha membawa pendengarnya ke arah pemikiran yang terabaikan. "Kita tidak bisa mengharapkan hari-hari kita selalu bahagia, selain karena hal itu merupakan harapan yang mustahil, kenyataan bahwa sebenarnya kebahagiaan baru kita rasakan sebagai bentuk kebahagiaan setelah mengalami gejolaknya, seharusnya membuat kita menolak kesempatan untuk berada pada situasi selalu menerima kebahagiaan. Kita perlu sakit untuk bisa menikmati dengan benar bagaimana rasanya menjadi orang sehat. Kita perlu jatuh untuk mengetahui bagaimana nikmatnya menjadi orang yang mampu bangkit kembali. Jadi, yang sebenarnya dikejar oleh orang, dan harusnya juga kita cari dalam hidup ini adalah kenyamanan." "Mungkin seperti makanan," kata Alfian. "Kau akan bosan dengan sate kambing meskipun itu makanan favoritmu, kalau menu setiap hari dari makananmu adalah sate kambing. Pada titik kebosanan menikmati kenikmatan itu, secara aneh, kau akan mencari makanan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

369

yang dulu pernah kau abaikan. Kemudian pada kondisi tertentu, sayur kangkung justru lebih berhasil memulihkan selera makanmu." "Ya. Kira-kira begitu maksudku," kata Hasan. "Boleh juga," kata Alen. "Begini, seperti yang dikatakan oleh Hasan tadi, nasihat ini juga kumaksudkan untuk diriku. Sekarang, sudah saatnya bagi kita untuk membebaskan diri dari belenggu ketakutan. Mari kita buang semua alasan yang menghalangi kita melakukan apa yang seharusnya sudah lama kita lakukan untuk membuat kita dan orang yang kita cintai mencapai kenyamanan dan memperoleh kebahagiaan." "Apakah artinya, tidak ada lagi alasan untuk tidak menyatakan cinta?" Alen, Hasan, dan Alfian serentak menjawab, "Yaa!" Lilin itu lalu dipadamkan dan digantikan dengan cahaya lain yang lebih terang. *** Udara di luar, di tepi jalan utama dari arah barat menuju Kota Selong, yang mulai panas menjelang siang, masih terasa lebih melegakan ketimbang suasana di dalam kantor BNI cabang Pancor. Liwa menyeka keringatnya. Sejak di dalam kantor bank tadi, wajahnya sudah dibanjiri keringat, bahkan bajunya sudah mulai melekat di pinggang dan pundaknya. Dia baru bisa membebaskan diri dari antrian dan himpitan nasabah lainnya setelah petugas bank memberikan cetakan formulir penyetoran uang SPP-nya.
Johan M.

370

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Bukan karena statusnya sebagai mahasiswa ia ingin mengajukan protes atas nasibnya pagi itu, yang terpaksa terjebak dalam antrian tidak teratur selama lebih dari satu jam. Semua nasabah, apa pun latar belakangnya, sudah seharusnya dihargai, dengan pemberian fasilitas yang menambah kenyamanan. Sudah waktunya penambahan nasabah yang berarti bertambahnya kepercayaan masyarakat disambut dengan kantor cabang berupa gedung yang lebih luas, meskipun tanpa interior yang mewah. Banjir nasabah itu sudah bisa dilihat dari tempat parkirnya, yang pagi-pagi sekali sudah dipenuhi oleh keluarga para TKI yang datang untuk menukarkan mata uang luar negeri. Liwa kasihan melihat wanita-wanita yang datang untuk mengambil kiriman uang dari suami atau anak-anak mereka, sementara tukang-tukang catut berkeliaran di luar menawarkan penukaran dengan kemudahan dan kecepatan proses yang mengalahkan bank, tetapi dengan nilai tukar uang yang akan membuat para keluarga TKI itu membawa pulang lebih sedikit uang. Sepanjang jalan, sambil terus melangkah cepat menyusuri jalan beraspal yang sudah lebih naung di depan SLTP 1 Selong, Liwa merenungkan berbagai kemungkinan dengan berandai-andai. Kalau saja ia tidak sedang melewatkan liburannya dengan tinggal di Selong, dia bisa membayar SPP di BNI cabang Mataram, di tempat itu antriannya pasti juga panjang, tetapi lebih teratur dan nyaman. Kalau saja Universitas Mataram tidak bekerja sama dengan BNI dalam menangani
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

371

pembayaran SPP mahasiswanya, mungkin dia hanya perlu antri di kantor registrasi seperti waktu semester pertama. Liwa menyesal karena dengan ikut dalam antrian tadi, dia menjadi orang yang telah menambahkan satu daftar antrian, sehingga membuat para keluarga TKI itu menjadi agak terhambat mengurus uang kiriman dari orang-orang yang telah pergi jauh meninggalkan keluarganya untuk memperoleh penghasilan yang dapat menghidupi dan mencukupi kebutuhan orang-orang yang dicintainya. Liwa mulai memperlambat langkahnya begitu akan sampai di perempatan jalan, pada tikungan yang dulu sering membuat ia merasakan kesedihan karena sebentar lagi akan harus berpisah dengan gadis yang membuatnya merasakan kedamaian setiap kali memiliki kesempatan berada di dekatnya. Gadis itu kini ada di Pulau Jawa. Dan seperti yang dikatakan oleh Sumiarni, Salwa tidak akan pulang liburan kali ini. Dan meskipun dia pulang, Liwa menyadari bahwa kehadirannya mungkin sudah tidak diharapkan lagi oleh keluarga Salwa. Liwa berdiri sejenak di tikungan itu. Dia ingin menyerap semua sisa aroma yang mereka tinggalkan satu tahun yang lalu di tempat itu. Dia merasa sedih karena kenangan-kenangan itu tiba-tiba hadir seperti slide yang berganti-ganti dengan cepat lalu tidak menyisakan satu gambaran pun yang sama sempurna dengan pengalaman sesungguhnya.
Johan M.

372

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Langkahnya diperlambat, dan terus menjadi semakin lambat begitu akan mencapai tempat tinggal Salwa. Setelah malam pertemuan dengan Alen, Hasan, dan Alfian, dia merasa mantap untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini telah berhasil ia simpan rapat-rapat. Malam itu, mereka berempat menandatangani sebuah ikrar untuk menyatakan cinta pada gadis yang mereka ceritakan, dengan batas waktu sampai saat masuk kuliah nanti. Mereka sepakat untuk bertemu lagi di kamar sewaan Liwa dan Alen, untuk menceritakan pengalaman masing-masing, ditolak atau diterima. Disepakati juga malam itu, bahwa siapa pun di antara mereka yang tidak sampai betul-betul melakukannya akan dikenai sanksi. Bentuk sanksinya akan ditentukan nanti, dengan kesepakatan tiga orang lainnya. Ada yang tidak diungkapkan oleh Liwa malam itu, yang sekarang mulai disesalinya karena akan membuatnya tidak dapat melepaskan diri lagi dari keharusan menyatakan cinta. Jika malam itu dia mengatakan bahwa Salwa sudah bertunangan, mungkin tidak akan pernah ada penandatanganan ikrar. Liwa tiba-tiba membenci kelemahan dan kecerobohannya karena telah setuju melakukan sesuatu yang mustahil. Liwa mengekspresikan kekesalannya dengan menyepak botol plastik kosong bekas coca-cola, yang teronggok di sudut masuk ke pintu gerbang sekolahnya waktu masih SLTP dulu. Suara hempasan botol yang kembali membentur aspal setelah sejenak melayang itu,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

373

terkalahkan oleh suara lain yang membuat Liwa merasa telah mabuk oleh lamunannya. "Liwa!" Liwa berhenti. Hanya kesunyian yang ada. Dia hampir yakin telah benar-benar mabuk oleh lamunannya dalam ekstase kerinduan yang terlampau dalam ketika suara itu terdengar lagi, memanggil dengan seruan yang sama, seperti tahun-tahun yang lalu, ketika Salwa masih sering berteriak memanggilnya dari balik kaca jendela rumahnya. "Liwa!" Liwa menoleh. Dia melihat gadis itu. Dia melihat pujaannya, dalam busana muslim yang membuatnya menjadi terlihat semakin cantik. Liwa menyeberangi jalan. Dia mengucapkan salam, lalu duduk berhadapan dengan Salwa, tetapi tetap diselingi oleh meja kaca. "Kukira kau tidak akan pulang." "Awalnya ingin begitu, tetapi karena semester kemarin aku tidak pulang, jadi semua orang di rumah berharap aku pulang. Kebetulan, Kakak Hikmah sedang mempersiapkan pertunangannya." "Semester kemarin kau tidak pulang?" "Ya. Kenapa kau nampak sangat heran?" "Karena Sumi bilang kau pulang. Malah, kau pulang untuk melaksanakan petunanganmu." Salwa tertawa. "Tidak ada pertunangan," kata Salwa. "Maksudku, memang ada yang bertunangan, tetapi bukan aku. Yang
Johan M.

374

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

bertunangan itu kakakku. Astaga...dari mana kau dapat cerita itu?" "Sumi." "Sumi? Bagaimana kabarnya? Di mana kau bertemu dengannya?" "Dia kuliah diploma tiga perpajakan di UNRAM." "Berarti kalian satu kampus?" "Secara kelembagaan, ya. Tetapi tempat kuliah kami berbeda. Setiap fakultas punya beberapa gedung, yang pemakaiannya dibagi-bagi menurut jurusan atau program studi. Syukurlan kau pulang." "Mengapa?" tanya Salwa. Oh Tuhan. Liwa gelisah. Inikah saatnya? Kalau aku tahu dia pulang, aku akan mempersiapkan diri untuk pertemuan ini, batinnya. Sumiarni! Mengapa dia tega mengatakan semua ketidakbenaran itu? Bagaimana dengan informasiinformasi lainnya. Dia berharap akan cepat mengetahui mana yang dapat dpercaya dari Sumi, dan mana yang yang ternyata merupakan berita bohong. Liwa menarik napas dalam-dalam. "Siapa saja yang ada di rumah?" "Sekarang?" tanya Salwa. "Aku sendirian." Dia lalu bertanya lagi. "Mengapa?" Oh...ho...alasan bagus baru saja ditemukan. Terima kasih Tuhan. "Kalau begitu, mungkin sebaiknya aku tidak berlama-lama." "Apa? Kau mau pergi?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

375

"Ya. Nanti aku datang lagi kalau kau tidak sedang sendirian." "Tidak mau. Kita baru saja bertemu setelah berpisah satu tahun." Tidak mau? "Tapi Salwa...." "Sekarang...ceritakan tentang kuliahmu. Sudah lama aku ingin mendengarkan pengalamanmu selama di Mataram. Sayang sekali, aku tidak punya alamatmu. Padahal aku begitu ingin mengirim surat padamu. Kau masih menulis puisi?" "Ya. Masih." "Di majalah dinding?" "Ya. Ada juga yang dimuat di newsletter kampus." "Waw, hebat. Ada rencana membukukannya?" "Kebetulan, itulah yang sedang kugarap saat ini. Karya teman-teman yang sudah dimuat di majalah dinding, rencananya akan dibukukan. Ketua HMPS memintaku menanganinya. Ada masalah dengan dananya. Sampai sekarang masih belum dicairkan, tetapi PD-II kami sudah memberikan kepastian." "Kalau buku itu sudah jadi, aku minta satu. Boleh?" "Tentu saja. Kau orang pertama yang akan kuberi." Karena isi bukunya banyak tentang dirimu, batin Liwa. "Bagaimana dengan kuliahmu?" "Kuliahku tidak menarik untuk diceritakan." "Mengapa begitu?" "Aku cuma melanjutkan ke diploma-dua komputer." "Hebat." "Hebat apa?"
Johan M.

376

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Komputer. Kehebatannya bahkan cukup dengan hanya menyebutkan namanya, komputer. Kalau kau menyebut lebih lengkap dari itu, aku mungkin tidak mengerti." "Oh, ya, Liwa. Aku mau tanya sesuatu. Boleh?" "Tanya saja. Masa bertanya saja tidak boleh." "Asal sudah aku minta izin dulu." "Mengapa harus begitu?" "Karena ada kemungkinan kau akan marah." "Ada-ada saja. Memangnya aku pernah marah padamu?" Liwa melihat Salwa menggeleng. "Apa yang mau kau tanyakan?" "Kau sudah punya pacar?" Liwa menggeleng. "Tidak. Mana mungkin ada yang mau menjadi pacarku." "Tidak Liwa, kau salah," kata Salwa." Mengapa kau belum berpacaran?" Karena aku hanya mencintaimu, tetapi aku belum bisa mengungkapkannya padamu. Kalimat itu sepertinya mudah untuk dinyatakan, tetapi setiap katanya tertelan begitu saja sehingga tidak ada satu pun yang terdengar sebagai ucapan. "Mari lupakan itu. Sekarang, kita bicara tentang dirimu." "Apa lagi yang mau dibicarakan tentang diriku? Hanya yang sudah kau dengarkan itu yang bisa kuceritakan. Kau tidak percaya kalau pengalamanku benar-benar tidak ada yang terlalu menarik?" Liwa tidak menjawab pertanyaan itu. Dia mengabaikannya. Sejak Salwa menyalahkannya karena
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

377

tidak berpacaran, Liwa tiba-tiba mengingat sesuatu. Dan jika beruntung, dia bisa mulai melihat peluangnya dari jawaban atas pertanyaan itu. "Salwa." "Ya?" Liwa berpikir sejenak. Tidak, aku sudah tidak bisa mundur lagi, batinnya. "Dulu, kau pernah bilang. Selain pacarmu, sebenarnya ada orang lain yang lebih kau harapkan. Aku ingin tahu, siapa orang itu?" Salwa nampak gelisah. Dia bergerak-gerak dan mulai terlihat tidak nyaman dengan tempat duduknya. "Liwa, mengapa kau menanyakannya? Sekarang, aku menjadi ingat lagi, padahal aku sudah berusaha menyimpannya rapat-rapat, bahkan berusaha melupakannya." "Jadi, kau mau melupakan orang itu? Bagaimana bisa?" Salwa menggeleng. Tatapannya menjadi sendu. "Itu adalah bagian dari cerita masa laluku. Kau tidak akan membuatku bahagia dengan memaksaku kembali mengingatnya." "Mengapa?" "Aku tidak bisa mengatakannya. Oh, Liwa, mengapa kau menanyakannya, padahal aku sudah menguburnya dalam-dalam..." "Maaf," kata Liwa. "Apakah dia satu sekolah dengan kita?" "Ha?" Salwa membelalakkan matanya. Sebentar kemudian dia terlihat menggeleng.
Johan M.

378

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Menjadi pacarnya saja sudah merupakan anugerah yang tidak terkira besarnya. Apalagi menjadi orang yang dulu diakuinya sebagai sosok yang sebenarnya diharapkannya. Jadi, orang itu dari luar sekolah mereka. Terlalu kecil kemungkinan bagi Liwa untuk bisa mengenalnya, sementara kehidupannya hanya seputar apa yang ditemukan di rumah, di sekolah, dan di jalan dia, dia akan kembali bersama teman-teman sekolahnya. Tetapi dia tidak mau berhenti pada pertanyaan pertama. Harus ada pertanyaan berikutnya. Tetapi apa? Bukan pertanyaan. Penegasan. Itulah yang harus dilakukan. "Berarti dia tidak satu sekolah dengan kita." "Tidak," kata Salwa. "Kau menjawab tidak untuk kedua pertanyaan yang berbeda yang jelas-jelas harus diberi jawaban berbeda. Jadi mana yang benar? Dia satu sekolah dengan kita, ataukah dia dari luar sekolah kita?" "Satu sekolah." Akhirnya Salwa memberikan jawaban yang sempurna. "Satu kelas denganmu?" desak Liwa. Salwa diam agak lama. Dia tidak menunjukkan tanda apa pun yang dapat dibaca sebagai jawaban. "Atau beda kelas?" "Beda kelas," jawab Salwa. Beda kelas. Berita baiknya, Liwa merasa ada kemungkinan dia termasuk dalam daftar orang yang mungkin dimaksudkan oleh Salwa, dan berita buruknya, berarti tersedia lebih banyak orang untuk diselidiki. Maju terus! Sudah terlanjur.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

379

"Dari IPA dua?" "Bukan...bukan," jawab Salwa. Salwa siswi IPA-1, anak kelas unggulan. Kalau bukan dari kelasnya, dan bukan dari IPA-2, berarti masih tersisa empat kelas lagi, tiga kelas IPS dan satu kelas BAHASA. Kelas IPS itu bisa ditanyakan sekaligus. Jangan menyebut IPS-1, IPS-2, atau IPS-3. Sebutkan semuanya sekaligus dengan mewakilkannya hanya pada IPS. "Berarti dia dari kelas IPS?" "Oh, tidak...tidak...bukan dari IPS." Kelas BAHASA? Jadi orang itu dari kelasku, batin Liwa. Dia mulai bertambah yakin, bahwa orang yang dimaksud itu adalah dirinya. Tetapi penilaiannya ada dirinya membuat keraguannya menjadi semakin mengganggu. Karena sasaran pencariannya sekarang di satu kelas saja, berarti dia tinggal menyebutkan nama. Tetapi sebelum itu, ada sebuah pertanyaan penting yang harus diajukan, dan semoga dijawab dengan jujur. "Apa selama ini kau dekat dengannya?" Salwa menutup matanya. Perlu waktu agak lama untuk menyaksikannya menganggukkan kepala. "Ya. Ya, kami dekat." Aku, batin Liwa. Tidak ada teman sekelasnya yang dia tahu pernah, apalagi sampai melebihi kedekatannya dengan Salwa. Pasti aku yang dimaksud oleh Salwa. Tetapi bagaimana mengatakan? Bukankah aku yang kau maksud itu? Alangkah memalukannya pertanyaan itu. Liwa merasa tidak punya cukup kepercayaan diri untuk
Johan M.

380

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

melontarkan pertanyaan itu. Mungkinkah, ada yang terlewat dari pengamatanku? Liwa lalu menyebutkan dua nama teman yang satu kelas dengannya, yang dilihat dari keaktifan dan penampilannya, sepertinya memungkinkan banyak gadis menyukainya. Siapa tahu, Salwa ternyata salah satunya. Setelah Salwa menggeleng, dan menggeleng, Liwa lalu menuntaskan pertanyaannya, dengan kembali pada pertanyaan pertama. "Jadi, siapa orang yang sebenarnya kau harapkan itu?" Salwa menutup wajahnya. Dan seakan kedua tangan itu saja tidak cukup, dia lalu menunduk, mendaratkan wajahnya di atas lututnya, seolah ingin menjadikannya sebagai benteng persembunyiannya. "Aduh...Liwa...mengapa kau mengingatkan aku? Aku malu mengatakannya. Padahal aku sudah berusaha menutupnya. Aku malu, Liwa. Aku malu!" Liwa kasihan melihat Salwa bergerak dalam kekalutan dan serangan rasa malu yang diakuinya. Gadis itu terus menutupi wajahnya. Tetapi sudah terlalu terlambat untuk berhenti. Sedikit lagi. Liwa lalu melanjutkan desakannya. "Ayo, Salwa. Katakan, siapa orang yang sebenarnya kau harapkan itu?" Salwa mendaratkan wajahnya lagi ke atas lututnya. Kemudian secara mengejutkan, dia berhasil menyebutkan nama orang itu, pada gerakan terakhir yang ia lakukan ketika mengangkat wajahnya dari atas lututnya. Seperti orang yang berbicara pada dirinya sendiri, sambil membiarkan kedua tangannya sedikit terbuka
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

381

untuk memperlihatkan separuh wajahnya hingga setiap telapak tangan berada di bagian luar sisi mata dan pipinya dalam jari-jari tangan yang merapat, Salwa kembali menyebutkan nama orang yang sebenarnya dia harapkan itu. "Liwa, kaulah orangnya." Setelah dijelaskan, kebenaran itu terdengar tidak terlalu mengejutkan. Namun, ada pengaruh lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata yang segera membuat keduanya selama beberapa detik merasa malu untuk saling menatap. "Katakan sekali lagi!" pinta Liwa. Salwa pelan-pelan menyingkirkan semua jari-jari yang menutupi wajahnya. Dengan memperlihatkan semua kecantikan yang dapat diserap mata itu, dia melakukan apa yang diminta oleh Liwa. "Kaulah orang yang sebenarnya kuharapkan itu!"

Johan M.

382

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

-9Salwa tidak lagi hanya berdiri di muka pintu ruang tamu dan membiarkan dirinya memandang kepergian Liwa dari sana seperti yang sering dilakukannya di tahun-tahun yang lalu. Dia berlari, menyusul sampai ke pintu pagar, berdiri lama di sana, sambil terus berharap sosok Liwa tetap dalam tatapannya, tidak bertambah kecil lalu hilang karena jarak pandang yang semakin jauh. Kalau cuma mengikuti suasana hatinya, ia sebenarnya ingin ikut pergi. Dia bersedia dibawa ke mana pun, asal tempat itu bisa membuat Liwa tetap dekat dengan dirinya. Baru kali kini ia merasa amat berat berpisah dengan Liwa. Kegembiraan beberapa menit yang lalu, yang menghangatkan seluruh kalbunya, kini dirampas oleh kenyataan lain yang terpaksa harus diterima oleh pergantian waktu dan kenyataan, yang membuat pikirannya mulai dipenuhi kerisauan karena tumbuhnya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

383

benih-benih kerinduan yang terlampau subur sampai menjadi tidak terkendali. Beginikah rasanya memperoleh cinta dari orang yang dicintai? Salwa tersenyum, merenungkannya. Sungguh manis. Sungguh memabukkan. Bahkan jika lautan menjadi kering, keajaibannya tidak akan pernah bisa menyamai perasaan memasuki dunia keindahan yang hanya bisa digapai dengan bantuan seorang kekasih yang mengaku merasakan hal yang sama. Salwa kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu ruang tamu, kemudian langsung menuju kamarnya. Dia berbaring di atas dipan, segera meraih bantal guling, mendekapnya, lalu mencoba menyimpan kehadiran Liwa di sana. Dia tersenyum sendirian, mengenang semua yang baru saja sudah terjadi. Sungguh memalukan, sekaligus amat indah. Membiarkan dirinya memanggil Liwa, yang menjadi awal bagi seluruh peristiwa manis yang baru mereka alami, kini telah menjadi tindakan yang sebenarnya sangat alami, karena sejak dulu, memanggil Liwa, selalu saja merupakan tindakan spontan pada setiap kesempatan, ketika Liwa kebetulan dilihatnya, di mana pun, dan kapan pun. Tindakan memanggil yang sudah tidak terkendali itu, dan tiba-tiba sudah terjadi sebelum ia menyadarinya, paling sering membuat ia menderita rasa malu pada keluarga karena ia memanggil Liwa begitu saja tanpa menyadari apakah ia sedang sendiri ataukah sedang bersama keluarganya.
Johan M.

384

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Tadi, dia duduk di ruang tamu, berkali-kali melihat ke arah jendela, memang untuk menunggu Liwa melintasi jalan beraspal di muka rumahnya, seperti dulu, ketika Liwa masih sering lewat saat pergi atau pulang dari sekolah. Hampir satu minggu dia melakukannya. Ketika kedua orang tuanya pergi mengajar, dan adikadiknya pergi sekolah, dan kakaknya masih di Surabaya, Salwa melewatkan waktunya untuk menunggu Liwa, terus menunggu, dan menunggu, sampai akhirnya hari ini tiba. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu. Sampai waktu liburannya berakhir, dia bertekad tetap akan duduk di ruang tamu, menunggu, dan berdoa, karena ia tidak mungkin pergi sendiri ke rumah Liwa. Dia perlu seseorang untuk menemaninya. Ada dua pilihan, Sumiarni atau Selvia. Dia belum bisa meminta bantuan pada Ria, meskipun tetangganya itu, dulu pernah menjadi teman satu kelas Liwa di SLTP, dan dua hari yang lalu datang mengunjunginya, bercerita dengan bersemangat tentang pengalaman barunya kembali menjadi teman kuliah Liwa. Mula-mula dia bermaksud mengajak Sumi. Tetapi, pasti akan sulit minta ditemani tanpa keharusan memberikan penjelasan yang akan membuat Sumi nanti menggodanya. Belum lagi, kenyataannya Sumi mengenal Kak Wan. Bagaimana kalau Sumi nanti mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui oleh Kak Wan? Setelah pertunangan yang dikehendaki oleh Kak Wan belum bisa ia penuhi, Salwa khawatir, orang yang dulu tidak bisa ia bantah keinginannya itu, karena pernah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

385

menjadi instrukturnya di tempat kursus komputer, akan berbuat nekat, dan membahayakan persahabatan yang sudah lama ia bina dengan Liwa. Pilihan kedua, Selvia, hanya sedikit lebih baik dari Sumi. Kesulitan yang pertama, masih sama, tidak mudah memberikan penjelasan padanya, tanpa membuatnya curiga. Untunglah dia tidak pernah memberikan pengakuan pada Selvia, sejelas yang pernah ia ungkapkan pada Sumiarni. Tetapi Selvia juga mengenal Kak Wan. Bahkan dulu, Selvia pernah menjelaskan samar-samar bahwa dia sebenarnya tertarik pada Herman Sopian. Siapa yang bisa menduga apa yang mungkin sanggup dilakukannya bila adik Herman yang meminta? Salwa kemudian memilih menunggu, duduk sendirian di ruang tamu, terus-menerus berdoa, sambil mengkharapkan keajaiban. Dia terpaksa memilih menunggu karena cara itulah yang paling sedikit mengandung risiko. Dia bermaksud tetap akan menunggu, selama masih tersedia cukup waktu, karena liburannya baru memasuki minggu pertama. Hadiah kesabaran, harapan, dan doa yang ia panjatkan, akhirnya datang. Bahkan dalam bentuk yang amat istimewa. Liwa tiba-tiba hadir. Mereka berbicara, mula-mula tentang sesuatu yang mudah dijawab, lalu Liwa mengajukan pertanyaan itu, yang tidak pernah ia duga akan ditanyakan. Dia tidak tahu bahwa Liwa memperhatikan ucapan yang ia kira hanya akan berarti bagi dirinya.
Johan M.

386

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sekarang, mereka sudah berpacaran. Pengakuannya, disambut oleh Liwa, juga dengan pengakuanpengakuan. Dunia tiba-tiba menjadi sempurna. Salwa hanya tidak mengerti, mengapa Liwa begitu konyol, sampai meminta dia menyediakan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Kertas itu berisi ikrar tentang ikatan mereka berdua, yang sejak hari ini, resmi menjadi dua kekasih yang saling mencintai. *** Dering telepon itu, terdengar seperti datang dari dunia lain, yang sama asing dengan mimpi yang baru saja melengkapi tidurnya. Salwa bangkit. Dia masih mendekap bantal guling yang kini dipeluknya dengan lebih banyak rasa sayang. Mengapa tidak ada yang mengangkat telepon? Beberapa detik kemudian, seiring dengan kesadarannya yang semakin pulih, ia ingat lagi, tidak ada orang lain di rumah selain dirinya. Dia kemudian bergerak meninggalkan tempat tidur. Tadinya dia tidak mengira akan bisa terlelap. Luapan kegembiraannya rupanya perlahan bisa juga berubah menjadi kedamaian yang menenangkan pikirannya, mengantarnya menikmati tidur lelap. Kenyataan yang manis itu, yang sekarang menjadi miliknya di dunia nyata, telah datang melewati tapal batas kesadarannya, menuju dunia mimpi yang juga tidak kalah sempurnanya. Salwa mengucapkan salam setelah mengangkat gagang telepon ke telinga kanannya. Dia menguap. Dia ingin meneruskan tidurnya. Tetapi jam plastik kecil yang diletakkan di samping telepon, mengingatkannya bahwa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

387

dia tidak lagi bisa memenuhi keinginannya bermanjamanja. Makan siang untuk orang tua dan adik-adiknya, harus segera disiapkan. Salwa terpaksa sedikit menjauhkan telepon itu dari telinganya kaena tiba-tiba dia mendengar kemarahan yang meledak-ledak. "Mengapa kamu membiarkannya masuk?" "Maaf..." "Bukankah kamu sedang sendirian di rumah? Kamu memang perempuan yang tidak betul." "Apa?" Salwa tidak menduga ada seseorang yang bisa mengucapkan kalimat seburuk itu untuk menghinanya. Dia marah. Dengan kemarahan yang sama seperti suara yang didengarnya, dia bertanya singkat. "Ini siapa?" " Mengapa kamu selalu punya alasan untuk membiarkannya masuk?" "Karena ini memang rumahku, bukan rumahmu!" Salwa menghempaskan gagang telepon itu. Dia tidak lagi menghiraukannya meskipun dering telepon itu mengganggu ketenangannya. *** Wawan memukul-mukulkan gagang telepon itu ke dinding boks telepon. Dia baru berhenti setelah mendengarkan ketukan di belakangnya. Penjaga WARTEL menatap dengan muka tidak senang. Setelah membayar lebih karena tidak mengambil uang kembaliannya, Wawan masih juga terpaksa menerima
Johan M.

388

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tatapan tidak senang, yang sepertinya berarti, jangan pernah lagi kembali, bangsat! Sialan Salwa, mengapa disaat liburan dia masih lebih memperhatikan temannya daripada pacarnya? Apa yang kurang dariku? tanya Wawan pada dirinya sendiri. Dia lalu memacu sepeda motor bututnya. Begitu duduk di depan Herman, dia langsung mengutarakan rencananya. "Pikirkan lagi. Jangan terbawa emosi." Wawan melemparkan sepatunya ke bawah kolong dipan. "Aku harus menikahinya. Dia tidak boleh menjadi milik orang lain. Kalau aku tidak cepat, aku mungkin tidak akan memperoleh kesempatan." "Kalau kau mau mengambil risiko menikahi wanita yang belum kau yakini benar-benar mencintaimu, lakukanlah, tetapi saranku, pikirkan lagi. Tidak baik memulainya dengan dasar pemikiran selain bahwa kita memutuskan menikah karena saling mencintai dan sudah tidak sabar ingin menyatu. "Cinta memang bukan segalanya. Bahkan menikah dengan alasan kesejahteraan, terkadang lebih awet daripada menikah hanya dengan alasan cinta, tapi tidak dibarengi oleh usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau menurutmu lebih banyak waktu yang kau perlukan untuk memperoleh cintanya, ketimbang mencukupi kebutuhan hidup kalian, berhentilah, dan tahan keinginanmu. Tetapi kalau menurutmu lebih banyak waktu yang kau perlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kalian daripada waktu yang kau
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

389

perlukan untuk membuatnya mencintaimu, nikahi dia secepatnya." "Aku tidak mau menerima penghinaan lagi, seperti hari ini. Sudah sejak dia baru datang aku meminta bertemu, tetapi selalu saja ada alasannya menolak kehadiranku. Sedangkan teman SMA-nya itu, ia bukakan pintu, bahkan diantar pulang sampai ke pintu pagar halaman rumahnya, dengan wajah sedih, seolah tidak ada cara lain untuk berduka." "Tidakkah kau memperlajari sesuatu dari kenyataan itu?" "Maksudmu?" "Kau mungkin sudah harus berhenti berharap." "Kau kakakku atau bukan?" "Tentu saja aku kakamu." Herman lalu mencoba menjelaskan maksudnya. "Sejak dulu, melihatmu bahagia selalu menjadi cita-citaku. Coba sekarang, kau jawab dengan jujur, pernahkah kau merasa bahagia setelah berpacaran dengan Salwa?" Wawan mengangguk tanpa ragu. "Setiap kali aku mengingatnya, setiap kali aku melihatnya." "Kau yakin?" "Apa maksudmu?" "Lalu dari mana datangnya semua kegelisahan itu? Orang yang mengaku bahagia hanya dengan mengingat, atau melihat, tidak akan segelisah dirimu. Mungkin yang terjadi sebenarnya adalah kau bahagia karena membayangkan hal-hal indah yang sebenarnya tidak benar-benar kau temukan di dunia nyata."
Johan M.

390

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Sudahlah, tidak ada gunanya lagi aku berbicara denganmu. Kau tidak lagi sama seperti dulu. Aku heran, mengapa sekarang kau menjadi sangat penakut, padahal aku yang akan mengalaminya." "Kita satu keluarga. Kau sakit, aku lebih sakit. Kau bahagia, aku lebih bahagia." "Lalu mengapa kau tidak mendukungku? Hanya dengan memilikinya aku akan bahagia. Aku tidak bisa bahagia dengan cara lain. Dukunglah rencanaku. Aku tidak akan merepotkanmu dengan sumbangan untuk membiayai pernikahanku. Masih ada keluarga lain, dan sahabat-sahabat bapak, yang sudah kukunjungi dan mengaku akan membantuku, kapan pun aku siap menikah." "Sejauh itukah?" "Ya." "Kalau kau punya semangat yang sangat besar, mengapa tidak kau gunakan dulu untuk membuat Salwa menjadi wanita yang setia mencintaimu? Kau melompati bagian terpentingnya. Oh, Tuhan...aku mungkin memang penakut. Tetapi, kau terlalu berani mempertaruhkan hidupmu." "Jadi, kau tidak mendukungku?" "Aku mendukungmu. Aku mendukungmu. Saat ini, aku menganggapmu gila, tetapi, suatu saat nanti, siapa tahu, giliran aku yang gila. Dan aku tidak mau kau pergi meninggalkanku di saat-saat terpenting dalam hidupku." Herman lalu melunakkan kata-katanya. "Mari kita matangkan rencanamu." ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

391

"Ayo, temui mereka," kata ibunya, membujuk. "Mereka menunggumu." Air mata Salwa membekas pada bantal, meninggalkan bagian yang lebih gelap seluas wajahnya. Tanpa mendengar percakapan di ruang tamu yang sayangnya terdengar juga dari kamarnya, Salwa sudah bisa menduga tujuan kedatangan Wawan dengan rombongannya. "Mereka tidak menunggu saya, Bu," kata Salwa. "Mereka ingin melihat seorang calon menantu. Dan saya belum mau menikah." "Cepat basuh mukamu. Kamu tidak mau kami menjadi malu bukan? Kalau kamu tahu dia akan datang, mestinya bapak dan ibu diberi tahu, supaya kami bisa memikirkan bagaimana caranya membuatmu menghindar dari keharusan untuk ikut hadir di ruang tamu. Sekarang, kita sudah tidak memiliki kesempatan itu." "Saya tidak tahu, Bu. Dia saja yang tiba-tiba datang membawa pasukannya." "Ya...ibu mengerti...sekarang, basuh mukamu. Bapak dan ibu menunggu di depan." "Tapi Bu..." "Salwa...apa ibu sudah pernah memaksamu?" Salwa menggeleng. "Baiklah, saya mau menemui mereka. Tetapi saya tidak akan membasuh muka, biar mereka semua mengerti bahwa saya bersedih atas kedatangan mereka."
Johan M.

392

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Jangan begitu. Jangan terlalu cepat membuat orang merasa terhina. Mereka tamu kita, dan oleh karena itu mereka berhak atas pernghormatan yang dapat kita berikan. Apalagi kedatangannya bukan sebagai tamu biasa, tetapi datang untuk menjadikanmu sebagai orang yang paling mendapatkan kehormatan hari ini." "Mengapa ibu bilang begitu?" "Semua mata akan memandang kepadamu. Semua telinga akan mendengarkan kata-katamu. Mereka tidak akan melakukannya kalau bukan karena mereka menghormatimu." "Hanya itu?" "Masih banyak lagi. Tentu saja bukan cuma itu. Di luar sana, bagi keluarga dan tetangga kita, yang akhirnya tahu tentang lamaran yang datang hari ini, akan mengerti dengan sendirinya, bahwa kamu adalah gadis yang beruntung memperoleh sesuatu yang sudah mulai jarang diterima oleh gadis-gadis lain, terutama mereka yang dipandang tidak lagi memiliki sesuatu yang sebenarnya sangat dicari oleh laki-laki." Baru kali ini ibunya berbicara dengan cara yang membuatnya merasa mudah memasuki dunia orangorang yang lebih dewasa. Mungkin karena lamaran keluarga Wawan, dia akhirnya mendapatkan kehormatan untuk mendengarkan apa yang mungkin belum diketahui oleh Kakak Hikmah. Salwa merasa geli memikirkannya. Dia lalu memberanikan dirinya untuk bertanya. "Jadi, apa yang sebenarnya sangat dicari oleh lakilaki?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

393

"Rahasia." "Ah...ibu...bagaimana saya akan tetap menjaganya kalau saya tidak pernah tahu apa yang akan saya jaga?" "Rahasia...itulah yang dicari. Selama kau masih memiliki rahasia, selama itu juga laki-laki akan mendatangimu. Gadis yang sudah tidak lagi punya rahasia di mata laki-laki yang semula mengaguminya, akan segera dicampakkan. Sudah sifat dasar laki-laki untuk selalu mengikuti naluri mengembara mencari rahasia-rahasia yang belum atau tidak diketahui oleh orang lain. "Gadis-gadis yang sudah menyerahkan kehormatannya, yang sudah membuka rahasia terbesarnya, segera akan menangis dan memohonmohon untuk tidak ditinggalkan. Karena laki-laki segera akan pergi setelah mendapatkan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya mengapa orang menikah. Agar hilangnya rasa penasaran tidak semau-maunya digunakan sebagai alasan untuk pergi menjauh. Seperti ketika laki-laki tidak selalu menginginkan sesuatu yang dicarinya, kebosanan juga tidak selalu datang. Untuk melindunginya dari perasaan bersalah, maka Tuhan mengikat manusia dengan pernikahan. Selain membuat suami-istri bisa saling menjaga kehormatan dan rahasia, pernikahan juga dapat mengantar manusia untuk memasuki dunia yang lebih tenang dari sebelumnya, terutama bila dua aku sudah berubah menjadi kita. "Jarang ada perempuan yang berhasil mengikat lakilaki yang sudah diberi apa yang mereka cari. Itulah
Johan M.

394

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sebabnya mengapa tubuh wanita perlu dibalut dengan pakaian yang menutupi aurat, yang lebih banyak melindungi rahasianya. Pada akhirnya, wanita yang kaya dengan rahasia semacam itulah yang akan dikejar-kejar, karena laki-laki mana pun, akan berjuang untuk menemukan rahasia yang melimpah pada diri seorang wanita. "Ibu senang, kamu tidak punya banyak pacar dan tidak sering keluar dengan laki-laki. Gadis yang sering keluar dengan laki-laki, terutama dengan laki-laki yang berbeda di setiap waktu, mungkin bagi sebagian orang merupakan gadis yang laris, tetapi tidak begitu. Kalau memang mereka laris, mengapa banyak di antara gadis semacam itu yang sulit mendapatkan kesempatan menikah? Karena laki-laki mana pun, akan berpikir bahwa gadis yang gampang dibawa keluar, juga pasti gampang dipermainkan, dan mungkin sudah menjadi permainan banyak laki-laki lain. Laki-laki tidak pernah mau berbagi. Mereka amat pencemburu. Dan akhirnya, hanya gadis yang tidak pernah meninggalkan rumahnya kecuali untuk belajar dan beribadah, yang akan mereka datangi untuk diminta menjadi pendamping hidup yang abadi." "Tapi, Bu, teman-teman SMA-ku, mengaku lebih menyukai gadis-gadis seksi. Bahkan..." Dia nyaris menyebut nama Liwa. Dia ingat kembali pada hari mereka berdua mengungkapkan perasaan masingmasing. Liwa mengaku tidak punya hubungan khusus dengan Suci. Dia marah setelah diberi tahu bahwa Salwa memperoleh semua cerita itu dari Sumiarni. Pembahasan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

395

selanjutnya tentang Sumiarni, dengan cepat membuat mereka menemukan lebih banyak kebohongan lagi yang telah dibuat oleh gadis itu. "Temanmu betul. Tentu saja, mereka menyukai gadis-gadis yang seksi. Tetapi sebagai apa? Paling-paling untuk teman sesaat, atau sekadar untuk diajak bersenang-senang. Yakinlah bahwa laki-laki tidak benarbenar berpikir untuk memiliki gadis-gadis yang seksi bila mereka termasuk jenis yang mendambakan ketenangan yang lama dalam kehidupan mereka. Hanya gadis yang paling mampu menjaga rahasianya, yang akan diberi kehormatan menjadi istri, karena para lelaki adalah makhluk yang paling sering dirisaukan oleh ketidakpercayaan. Rumah mereka, dan pendidikan anakanak mereka, tetap saja, sampai kapan pun, akan selalu diutamakan untuk diserahkan pada wanita yang paling mereka percaya menjaga dirinya. Dan orang yang bisa menjaga dirinya, mulai dapat dilihat dari bagaimana dia berpakaian, bagaimana dia bertutur kata, bagaimana dia bersikap jujur pada diri dan keluarganya, dan berjuang melindungi bagian paling rahasia pada dirinya agar selamanya menjadi rahasia, kecuali pada laki-laki yang menjadi suaminya." "Baiklah ibuku sayang, tunggu di depan. Saya nanti menyusul." "Berhiaslah sedikit." "Apa lagi?" goda Salwa. Dia mencoba tersenyum pada wanita yang melahirkannya. Lima menit kemudian, dia menyusul ibunya.
Johan M.

396

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sejak mulai duduk bersama para tamunya, Salwa tidak pernah melihat ada orang lain yang berbicara dengan bapaknya selain Wawan. Ini menjengkelkan. Salwa tadinya berharap akan mendengarkan ucapan dari orang tua, atau siapa pun yang dituakan yang diikutkan dalam rombongan para pelamar. Kalau saja dia sekarang tidak sedang dalam keharusan sebagai pemberi jawaban yang masih ditunggu atas pertanyaan yang baru saja diajukan, dia ingin menyingkir saja dari para tamu yang datang sebagai rongongan pelamar. Bagaimana aku akan merasa telah dihormati, bila yang berbicara hanya orang yang memiliki kepentingan untuk dirinya? "Bagaimana, Salwa?" Salwa memandang ibunya. Kalau memang momen ini untuk anak-anak muda yang diberi hak menyuarakan hati mereka, baiklah, batin Salwa, aku akan mengatakan apa yang kuinginkan sebagai jawabanku. Dia menjawab untuk pertanyaan yang diajukan sebelum pertanyaan ibunya, yang diajukan oleh Wawan sendiri dengan cara yang dinilainya tidak menunjukkan sopan-santun. "Saya minta maaf. Untuk saat ini, saya belum siap." "Mengapa?" Pertanyaan itu kembali diajukan oleh Wawan. Salwa bersyukur karena pertanyaan itu masih dari Wawan, bukan dari Herman, atau dari pria yang seusia bapaknya, yang ikut dalam rombongan para pelamar. Entah mengapa pria itu menjadi sangat pendiam, pada situasi yang seharusnya membuatnya memiki seluruh kesempatan untuk berbicara, jika dia memang yang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

397

dituakan dalam rombongan. Jangan sampai dia sebagai pelengkap untuk mengokohkan tujuan Wawan, batin Salwa. "Saya masih kuliah. Baru saja satu tahun." Pria itu menatap Wawan. Dan setelah memperoleh anggukan, dia lalu mulai berbicara. "Pendidikan merupakan hal yang utama dan memang harus terusmenerus kita utamakan. Adik saya ini," dia menepuk bahu Wawan, "tentu tidak ingin menghalangi Dik Salwa meraih cita-cita yang ingin dicapai. Saya sudah banyak bicara dengannya. Dia selalu menginginkan yang bagi Dik Salwa. Ada banyak anak-anak muda yang takut menikah sebelum menyelesaikan pendidikan mereka. Hal itu bukan tidak baik, tetapi bukankah lebih sukses namanya kalau ada yang bisa meneruskan pendidikannya sekalian membina keluarga, bahkan kalau bisa, tidak hanya dengan suami atau istri, tetapi juga dengan kehadiran anak-anak? "Dik Wan ini juga sudah punya pekerjaan, dengan gaji yang saya kira akan dapat mencukupi kebutuhan kalian berdua, setidaknya untuk sementara, sampai dia memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Kalau kalian merasa masih sibuk, kalian bisa menunda dulu memiliki bayi." "Ya," Salwa mendengar bapaknya memberikan tanggapan. "Orang yang menikah pasti tahu apa dan bagaimana cara mewujudkan sesuatu." "Saya bersedia menunda apa pun yang mau ditunda," kata Wawan. "Kecuali menunda pernikahan."
Johan M.

398

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Wan..." hanya itu yang dikatakan oleh Herman. Dia terpaksa memandang ke arah lain, ke luar jendela, begitu Wawan memberikan tatapan balasan yang terlihat sebagai sebuah peringatan. "Bagaimana, Salwa?" tanya ibunya. Salwa heran menyaksikan ketidaksabaran ibunya. Kalau ada orang yang sama atau lebih tidak sabarnya dari Wawan di ruangan itu, maka itu adalah ibunya! Kenapa ibu Wawan justru terlihat lebih tenang? Salwa menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya. "Maaf, sekali lagi maaf. Saya ingin kuliah saja. Saya belum bisa membagi pikiran saya untuk hal lain. Mohon dimengerti." "Apa itu artinya kau menolak?" tanya Wawan. Apalagi yang belum jelas? "Untuk saat ini, saya belum siap." Salwa mempertahankan jawabannya. Wawan kembali berbicara. "Saya tidak mau pertemuan ini menjadi sia-sia." Siapa yang memintamu mengadakan pertemuan ini? Setelah membuat sibuk banyak orang, apa lagi? Apa lagi? Salwa melihat ke arah bapaknya. Ada anggukan samar yang ia tangkap sebagai isyarat bahwa bapaknya mengerti dengan maksudnya. "Kita tunggu saja sampai Salwa selesai kuliah. Dia tidak akan ke mana-mana. Kalau sudah tiba waktunya nanti, kami akan memberikan kesempatan pertama pada Wawan. Ini janji saya, dan ini bisa dipegang." "Saya tidak mau pertemuan ini sia-sia. Bagaimana kalau bertunangan dulu? Supaya saya yakin, Salwa memang tidak"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

399

"Tidak!" Salwa menjerit. Dia lupa dengan segala macam kesopanan yang dipertahankannya sejak tadi. Wawan terlalu mendesak dan memaksa. Salwa sudah lebih berani sekarang menyuarakan hatinya. Dia telah diminta menghadapi situasi ini dengan paksa tanpa peringatan dan penjelasan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya telah melatihnya untuk berpikir cepat sampai membuatnya mampu melakukan lompatan pikiran ke arah yang tidak akan sanggup dilakukannya pada situasi biasa. Liwa, kau di mana, sayang? Bantu aku. Bantu aku. Liwa...Liwa...dia menyebut nama itu berkali-kali dalam hatinya. Tetaplah bersamaku Liwa. Biarlah bagian ini kuatasi dulu. Tetapi kau harus segera menemaniku nanti. Aku tidak bisa terus-menerus menghadapinya sendirian. "Apa?" tanya Wawan. Kalau dengan bahasa yang lembut dan sanar-samar Wawan tidak bisa mengerti juga, baiklah, batin Salwa, ada bahasa lain yang lebih jelas, maksudnya jelas lebih terdengar menyakitkan. "Saya belum siap. Benar-benar belum siap. Baik untuk pernikahan, maupun pertunangan." *** Perasaan Herman sudah mulai tidak nyaman sejak Paman Subki menyetujui rencana terakhir yang diajukan oleh Wawan. Mereka akan menculik Salwa. Adat memang membenarkan tindakan melarikan anak gadis orang, bahkan beberapa orang tua yang menganggap diri
Johan M.

400

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mereka memegang teguh adat istiadat Suku Sasak, akan menganggap dirinya telah dihina bila anak gadisnya dilamar atau diminta untuk dijadikan sebagai istri. Hanya barang atau benda mati yang bisa dimintaminta, sedangkan anak gadis adalah anak gadis, bukan perkakas. Jadi, kalau mau dianggap telah melakukan sebuah tindakan terhormat, dan juga mau diakui sebagai lelaki pemberani, ambillah anak gadis yang berada dalam pengawasan ketat keluarganya. Lakukan penculikan itu di malam hari, karena melarikan anak gadis orang pada siang hari, menyebabkan dikeluarkannya sanksi adat, berupa denda yang bentuk serta jumlahnya ditentukan oleh masyarakat adat. Penerimaan orang tua Salwa saat mereka melamar, menunjukkan bahwa mereka tidak sekuno itu. Sebagai pendidik, keduanya terlihat mampu menyesuaikan diri dengan realita kehidupan yang ada, dan sepertinya cukup memahami bahwa yang terbaik tidak selalu terkait dengan warisan masa lalu. Dulu, warisan kebudayaan itu mungkin memang sempurna, tetapi tidak untuk selamanya. Apa yang menbuat orang terusmenerus mempertahankannya, kalau bukan karena terlalu menganggap kebudayaan sebagai hampir menyamai sabda Tuhan, padahal seperti juga saat ini, banyak aturan dibuat bukan tidak mungkin hanya untuk menegaskan hegemoni kekuasaan politik resmi pemerintahan tertentu pada masa yang lalu. Hidup di antara tiga hukum yang dibiarkan berjalan bersamaan, membuat setiap orang harus menaati ketiganya untuk sebuah tindakan saja. Menikah baru
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

401

dianggap sah oleh negara, bila pasangan suami-istri itu tercatat oleh negara, baru dianggap sah oleh agama, bila dilakukan sesuai tatacara agama, dan baru dianggap sah oleh adat, bila dilakukan sesuai dengan tuntutan adat. Pernikahan masal sering dijadikan sebagai kesempatan untuk menikahkan orang-orang yang hanya pernah menikah secara agama, lalu dinikahkan kembali oleh negara agar pasanga-pasangan yang sudah tua dan memiliki banyak anak itu dapat memperoleh surat nikah yang penerbitannya hanya mernjadi wewenang negara. Menaati dan melaksanakan peraturan yang digariskan oleh adat memang merupakan sikap yang terpuji, tetapi jika orang hanya melakukannya demi memenuhi ambisi pribadi, kedengarannya sungguh memuakkan. Bahkan setelah orang yang akan melakukannya adalah adiknya, Herman tetap tidak bisa menerimanya. Dia tidak sanggup menawarkan apa pun untuk menyempurnakan rencana penculikan yang mulai disusun oleh Wawan dan Paman Subki. Wawan tidak memberi dirinya ruang untuk berpikir tenang, juga tidak terlihat memperdulikan urusan orang lain. Dia menahan Paman Subki agar tetap bersamanya. Dia mengaku punya rencana bagus yang perlu mendapatkan restu serta sumbangan pikiran dari orang yang dituakan dalam keluarga. Herman sudah pasti akan terlibat dalam semua pembicaraan meskipun tidak diminta. Tiba-tiba saja dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Sebagai kakak dia harus menawarkan diri untuk
Johan M.

402

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

membantu menyukseskan rencana melarikan Salwa, hanya masalahnya, bagaimana melarikan Salwa tanpa berhadapan dengan tuduhan sebagai penculik? Entah bagaimana adat akan bisa melindungi orang yang melarikan seorang gadis yang sebenarnya tidak mau dilarikan. Kalau yang dihadapi adalah orang tua yang terlalu terikat pada adat, atau orang tua yang tidak menyetujui pernikahan anak gadisnya, urusannya akan sedikit lebih mudah, karena si gadis akan ikut bekerja sama. Setelah penentuan hari yang dianggap tepat untuk melaksanakan penculikan itu, Heman lalu meminta izin keluar dan memisahkan diri dari rapat keluarga. Dia menjadikan kerinduan pada pacarnya sebagai alasan, sesuatu yang nampaknya berhasil karena semua orang yang sedang duduk dalam perundingan keluarga kemudian menggodanya agar bisa lebih bersemangat merencakan pernikahan, seperti Wawan. Di jalan, Herman mengendarai sepeda motornya dengan perasaan gundah. Tiba-tiba saja otaknya disibukkan untuk mencerna masalah yang baru saja mereka hadapi. Bagaimana mungkin semua persoalan yang muncul belakang ini sekarang terlihat bukan lagi sebagai masalah Wawan, melainkan masalahnya sendiri, masalah seorang kakak yang seharusnya menurut aturan takdir yang wajar, memperoleh kesempatan menikah lebih dahulu dari adiknya. Kalau Wawan menikah, berarti orang-orang akan menganggap bahwa dia telah dilangkahi oleh adiknya. Ejekan jelas tidak bisa dihindari. Herman menjadi makin
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

403

gelisah setelah tiba-tiba ingat dengan mitos bahwa orang yang dilangkahi oleh adiknya sulit mendapatkan jodoh. Oh, Tuhan. Jangan pernah hal seperti itu terjadi padaku, Herman memohon dengan doa yang membuat perasaannya tiba-tiba menjadi sunyi. Herman ingin segera membahagiakan pacarnya. Dia juga ingin membahagiakan ibunya. Di kegelapan malam yang hanya diterangi lampu-lampu jalan, Heman merasa bisa melihat kembali wajah ibunya dengan lebih jelas. Orang yang melahirkannya itu terlihat ikut gembira mendengar rencana pernikahan Wawan yang selalu dibicarakan dengan penuh semangat oleh Ibu Wawan. Mengapa baru sekarang tatapan ibunya ia pahami sebagai kesedihan karena merindukan kesempatan yang sama untuk memperoleh menantu dan cucu-cucu yang menunggu dilahirkan. Akulah yang seharusnya menikah lebih dulu, batin Herman. Baru sekarang dia mulai bisa mengerti dengan semua tanda-tanda yang dikirim oleh Tuhan untuk membimbingnya memperoleh hak sebagai kakak yang seharusnya menikah lebih dulu. Mengapa Salwa menolak lamaran Wawan kalau bukan karena itulah isyarat bahwa pernikahan Wawan akan menjadi pernikahan yang berikutnya. Herman menepi. Dia memarkir sepeda motornya di muka wartel. Dia yakin, tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. ***
Johan M.

404

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa berlari meninggalkan kamarnya dan ingin cepat-cepat bisa mencapai telepon yang sudah diangkat untuknya. Dia tadi sedang menulis surat untuk Liwa. Bagaimana pun, dia berpikir Liwa berhak diberi tahu tentang apa yang sudah terjadi sore tadi. Salwa ingin Liwa bisa ikut memikirkan cara terbaik untuk menghadapi tingkah Wawan yang sekarang sudah semakin menggila. Salwa memang belum memikirkan bagaimana cara mengirim suratnya. Dia hanya menulis surat itu, dan kalau memang ternyata belum bisa dikirim, paling tidak, dengan cara itu dia sudah mencurahkan hatinya, seperti yang selama ini ia lakukan sewaktu tinggal di Yogyakarya. Ada sekotak surat-surat yang ia tulis untuk Liwa tetapi tidak pernah dikirim karena dia belum tahu ke mana harus mengirimnya. Kalau untuk nanti, Liwa meminta agar surat-surat dari Yogya dialamatkan ke kampus FKIP Universitas Mataram. Seperti surat-surat yang masih tersimpan aman di Yogya itu, surat yang sedang ia tulis sekarang pun, dimulai dengan kata Liwa...pada setiap awal paragrafnya. Terkadang Tuhan memang memberikan kisah yang lebih indah dari yang mampu dikhayalkan. Sungguh merupakan keajaiban ketika orang yang akan ia kirimi surat ternyata tiba-tiba menelepon. Entah dari mana Liwa mendapatkan nomor telepon rumahnya. Dasar laki-laki, mereka memang selalu punya cara untuk masuk, kalau sudah menemukan letak pintu sebuah rumah.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

405

Salwa merasa senang karena akhirnya Liwa mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai laki-laki yang lebih berani. Dia sendiri masih terkejut oleh keberaniannya sendiri untuk mau jujur mengatakan semua hal memalukan itu di depan orang yang selama ini sering membuatnya merasa malu. Sambil tersenyum karena merasakan dadanya kembali terasa sesak oleh perasaan kasmaran, Salwa mengangkat gagang telepon yang dibiarkan tergeletak di atas sebuah buku tebal. "Halo, Liwa." Dia lalu mengucapkan salam seorang muslim. "Tumben menelepon. Aku merasa" "Salwa?" Suara itu terdengar bukan seperti suara Liwa, tetapi...bukankah di telepon suara orang terkadang bisa terdengar sangat lain dengan suara aslinya? Lagi pula dia baru mengatakan satu kata. "Ya, Liwa. Ini, aku, Salwa. Mengapa suaramu" "Tolong dengarkan." Sekarang semakin jelas. Salwa merasa seperti pernah mendengar suara itu sebagai suara seseorang yang...astaga! Penelepon gelap itu! Penelepon gelap itu, kembali lagi dengan akal licik mengaku sebagai Liwa! Bagaimana bisa? Untunglah Liwa tidak punya telepon. Jadi, dia tidak perlu mendapatkan teror seperti yang dulu sering dialaminya. "Kau bukan Liwa kan?" "Ya. Memang. Saya bukan Liwa."
Johan M.

406

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kalau bukan karena ingin tahu alasan penelepon itu sekarang mengaku menjadi Liwa, dia pasti sudah menutup telepon itu. Jangan sampai sesuatu yang akan dia katakan akhirnya mengarah pada petunjuk bahwa Liwa sedang dalam bahaya. Oh, Tuhan, apa lagi yang akan menimpaku. Bencana apa yang maulai menghadang hubungan kami yang baru saja mulai merasakan indahnya rahasia saling mengetahui rahasia hati? "Mengapa mengaku menjadi Liwa?" tanya Salwa. "Karena saya bisa memahamimu, mungkin lebih baik daripada kemampuan Wawan memahamimu." "Maksudnya." "Tolong jangan ditutup. Ada yang ingin saya beritahukan. Ini, Herman." "Oh, Kak Herman." Jadi salah satu penelepon gelapnya ternyata adalah kakak Wawan. Siapa lagi yang lainnya? Apakah malam ini dia akan kembali mengutarakan ancaman-ancamannya? Tetapi ancaman apa pun, sudah tidak akan membuat dia terlalu takut, karena sekarang dia tahu dengan siapa dia berbicara. Mengapa sekarang Herman menelepon? Mengapa dia mulai mengakui siapa dirinya yang sebenarnya? Bukankah lebih aman untuk tujuannnya bila dia tetap tidak menyebutkan nama? Ataukah dia sedang memikirkan untuk megakhiri terornya? Salwa diburu oleh banyak pertanyaan yang muncul dari benaknya dengan deras, mengikuti kecemasannya yang semakin meningkat. "Ada apa Kak?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

407

"Atas nama keluarga, saya minta maaf atas kejadian sore tadi." "Oh, itu....Tidak apa-apa, Kak. Bukankah cepat atau lambat peristiwa semacam itu memang akan saya hadapi juga?" "Ya. Kamu benar. Sekali lagi, saya minta maaf. Saya sudah mengingatkan Wawan untuk tidak buru-buru, tetapi dia terlalu khawatir akan kehilangan kamu." Salwa menggumamkan sesuatu yang menunjukkan persetujuannya atas apa yang baru saja dikemukakan oleh Herman. "Saya mendukungmu, bila yang kamu inginkan adalah menunda pernikahan kalian. Karena saya merasa..." terdengar ada keraguan di seberang sana. Tetapi Salwa membiarkannya. Dia ingin lebih banyak mendengarkan sekarang, karena Herman yang meneleponnya. "Saya merasa, dia seharusnya menunggu sampai kamu menyelesaikan kuliahmu." "Terima kasih, Kak. Saya berharap, Kak Wan bisa mengerti seperti Kakak." "Seperti yang saya katakan tadi. Saya mungkin lebih mengerti tentang keinginanmu daripada adik saya. He...ini bukan memuji diri sendiri." "Tidak, Kak. Saya tidak berpikir begitu." "Dan untuk itu, saya ingin memberitahumu, tolong jangan pernah katakan bahwa sayalah yang mengatakannya. Dan jika suatu hari nanti ada sesuatu yang terjadi, sebaiknya, pembicaraan ini tetap menjadi rahasia kita berdua."
Johan M.

408

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Maksud Kakak?" "Wawan bermaksud ingin...bukan menculikmu, ingat, bukan menculikmu." "Ya...ya...tapi apa?" "Dia ingin melarikanmu." "Apa?" Salwa tidak sadar telah berteriak terlalu keras. Dia segera menutup mulutnya. Setelah itu dia memberi isyarat pada kepala yang melongo dari ruang tamu untuk memberitahukan bahwa tidak terjadi apa pun kecuali sekadar pembicaraan di telepon. "Saya tidak mau." "Sudah jelas. Saya tahu, kamu tidak mau. Makanya, dengarkan..." "Oke. Coba katakan, bagaimana saya bisa menghindari kegilaan itu?" "Kalau kamu diajak pergi, oleh siapa pun, kecuali orang tuamu, dan saudara-saudaramu, jangan pernah mau. Dia mungkin akan memikatmu untuk keluar rumah dengan meminta bantuan pada teman-temanmu. Sedapat mungkin, jangan sampai keluar rumah sampai kamu kembali lagi ke Jawa." "Oh, Tuhan..." "Atau, lebih baik kalau kamu segera kembali ke Yogyakarta. Perpendek masa liburanmu. Mungkin ini tidak menyenangkan. Tetapi menikah sebelum waktunya, jelas lebih tidak menyenangkan lagi." "Ya. Kak. Terima kasih." "Hanya itu yang bisa saya lakukan. Maafkan kesalahan saya selama ini. Saya pernah mencoba melakukan banyak hal yang dia inginkan. Mungkin
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

409

itulah yang membuatnya menjadi manja. Maafkan saya Salwa. Maafkan kami." "Ya, Kak." "Ingat, jangan pernah membicarakan pembicaraan ini dengan orang lain. Kalau kamu memang memutuskan kembali ke Jawa. Sebaiknya lakukan secepatnya." "Saya perlu alasan. Tetapi, nanti saya memikirkannya." "Bagus. Jangan gunakan apa yang kita bicarakan malam ini sebagai alasan, karena orang bodoh pun akhirnya akan tahu siapa dan bagaimana kamu akhirnya mengetahui apa yang seharusnya tidak boleh kamu tahu." "Ya. Kak. Saya paham." *** Perasaan bersalah itu muncul tepat ketika dia baru saja meletakkan gagang telepon itu. Apa yang baru saja sudah kulakukan? Mengapa aku tega menjatuhkan adikku sendiri? Mengapa aku tiba-tiba berhenti mendukunya pada saat-saat terpenting dalam hidupnya? Mengapa aku menjadi sangat pengecut sehingga mencoba mencari-cari cara untuk lari dari kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan itu memburunya, menghantamnya sampai pada titik rasa bersalah yang belum pernah dirasakannya. Kalau aku harus dilangkahi, seharusnya aku berusaha keras mewujudkan pernikahanku sendiri, dan bukan malah berusaha menggagalkan usaha adikku untuk mencapainya.
Johan M.

410

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Kesalahan itu sudah dilakukan. Kesalahan itu sudah terlanjur dilakukan. Apalagi sekarang? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya? Herman mempercepat kendaraannya setelah memasuki pintu gerbang perbatasan. Sampai pom bensin berikutnya, dia akan berkesempatan menikmati jalanan lengang yang lebar dan teraspal dengan baik, jalan yang melintasi bagian utara terminal kota itu, merupakan salah satu bagian jalan terbaik di Kota Selong. Dua jalur jalan raya itu membuatnya merasa tidak perlu memperhatikan kendaraan lain yang akan bergerak dari arah yang berlawanan dengannya. Dia hanya perlu mewaspadai kendaraan yang melaju di depannya, atau memberi jalan bagi kendaraan lain yang mau mendahuluinya. Dia bermaksud singgah sebentar ke tempat tinggal Diana. Dia bisa saja mengarang cerita tentang pertemuan yang tidak pernah terjadi, tetapi bila suatu saat ibunya akhirnya punya kesempatan untuk mengetahui bahwa pernah ada keterangan yang tidak benar, maka ada banyak kejujurannya yang tidak akan dipercayai seperti seharusnya. Dia tidak mau memberikan noda pada kepercayaan orang yang sudah melahirkannya. Suara raungan kendaraan di belakangnya membuat Herman memutuskan cepat-cepat menepi. Raungan kendaraan pertama diikuti oleh suara kendaraan berikutnya yang sama keras dan rusaknya. Teriakan ketakutan terdengar bersamaan dengan teriakan lain yang lebih menggambarkan kepuasan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

411

Herman menepi ke kiri bukan sekadar untuk menaati peraturan lalulitas. Di bahu kanan jalan, di sekitar pintu gerbang utama deretan pertokoan di terminal itu, ada lubang selebar setengah meter, yang selalu saja kembali menjadi lubang dengan lebar yang sama meskipun sudah ditutup berkali-kali. Hanya pengendara yang sering melintas di jalan itu yang bisa mewaspadainya. Yang terdengar mula-mula adalah seperti suara rem kendaraan yang berdecit-decit, disusul oleh suara benda besar yang terpelanting keras menghempas ke permukaan aspal, lalu diikuti suara retakan-retakan pastik. Suara tubrukan berikutnya mengalahkan kengerian yang baru saja mendahuluinya. Kendaraan kedua sepertinya berhasil menghindari terjangan langsung ke arah kendaraan pertama dengan mencoba melalui ruang kosong yang tersisa di sebelah kiri. Sayangnya, kendaraan kedua itu tidak memperhitungkan kendaraan lain yang masih melaju di kiri jalan dan menuju titik yang sama yang dianggapnya aman. Ada beberapa bintang di langit sana, atau mungkin beberapa titik cahaya, yang semakin samar, yang berhasil ditangkap oleh Herman sebelum semua cahaya itu menyatu dan menyisakan kegelapan yang lebih pekat dari malam-malam lain yang dikenalnya. *** "Kamu tidak pergi melayat?" tanya ibunya.
Johan M.

412

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa menggeleng. Dia langsung gemetar setelah menerima berita duka yang tidak terduga itu. Para pelayat biasanya berebut kesempatan untuk menceritakan pengalaman-pengalaman paling berkesan yang dialami bersama almarhum semasa hidupnya. Dan biasanya, pada saat-saat bertukar pengalaman itu, perasaan paling bangga, lahir dari seseorang yang merasa bahwa pertemuannya dan komunikasinya dengan almarhum merupakan pengalaman pada detikdetik paling terakhir. Salwa tidak mau akhirnya lepas kendali lalu terpancing menceritakan pengalamannya sendiri. Dia tidak tahu seperti apa cerita yang berkembang di rumah duka. Yang terpenting sekarang ialah menjaga agar percakapannya dengan Herman, yang mungkin saja menjadi salah satu komunikasi terakhir almarhum dalam hidupnya, tetap menjadi rahasia. "Sampaikan saja salam saya untuk keluarga yang ditinggalkan. Terutama untuk Kak Wan. Saya ingin tetap di rumah. Kepala saya pusing sekali." Untuk sesaat, dia melupakan kejengkelannya pada kegilaan Wawan. Salwa merasa sedih juga memikirkan bagaimana terpukulnya Wawan, karena baru saja harus berhadapan dengan dua kenyataan yang merupakan hantaman sangat keras bagi kesehatan nalar seseorang. Setelah bapak dan ibunya pergi, Salwa mengangkat telepon. Dia mungkin masih punya waktu satu minggu untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Yogyakarta. Salwa tidak mau menunggu sampai masa berkabung sembilan hari. Risiko yang harus dihadapinya mungkin
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

413

akan semakin besar nanti. Pengakuan dan pengorbanan Herman harus ada gunanya. Entah apa lasan Herman melakukannya? Semoga ada waktu di lain hari untuk merenungkannya, dan belajar memahaminya, kalau ternyata tidak ada catatan apa pun yang ditinggalkannya. "Hallo. Ini dari Salwa." "Oh, Salwa. Mau bicara dengan Mariana?" "Betul." "Tunggu sebentar." Salwa menunggu. Mula-mula terdengar suara samar di antara gadis-gadis yang tertawa di kejauhan, diikuti oleh seseorang yang menyebutkan namanya, baru kemudian terdengar suara dari orang yang ingin diajaknya berbicara. "Salwa?" "Ya." "Asalamaualaikum." Salwa menjawab salam itu. "Heei...salammu sudah terdengar semakin sempurna sekarang." Ada tawa ceria yang terdengar. Hanya dia gadis protestan di kelas Sistem Informasi Bisnis. Kepandaiannya bergaul menyebabkan Mariana banyak disukai teman-temannya. Salwa sempat terkejut saat pertama kali mendengar Mariana mengucapkan salam seorang muslim. Dengan polos, Mariana lalu menuturkan pengalaman masa kecilnya. Dia mengaku SD di Surabaya. Sebagian besar murid di sekolahnya beragama Islam. Saat belajar bersama di rumahnya,
Johan M.

414

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

teman-temannya datang dan pulang dengan mengucapkan asalamualaikum. Karena pengalaman itu merupakan bagian dari kehidupan masa kecilnya selama enam tahun, sejak kelas tiga SD, dia dan ibunya kemudian menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka berdua bersama-sama menjawab salam itu dengan waalaikumusalam. Setelah sekolah menengah, mereka pindah ke Yogyakarta, entah karena teman-temannya sudah lebih dewasa untuk memahami tentang perbedaan agama ataukah karena kebiasaan masyarakatnya yang berbeda dengan Surabaya, dia dan ibunya kemudian tidak pernah lagi mendengar seseorang mengucapkan salam asalamualaikum dari teman-temannya ataupun temanteman adiknya yang berknjung ke rumah mereka. Mariana belum pernah menjelaskan mengapa dia kini kembali mengucapkan salam yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masa kecilnya itu. Salwa belum berani menanyakannya. Dia khawatir, pertanyaan itu nanti terlalu jauh memasuki area yang tidak bisa dipahaminya. "Baiklah cantik, mengapa repot-repot meneleponku dari jauh? Kurasa telepon interlokal itu mahal." "Benar. Tapi lebih mahal lagi teman yang baik." Mariana kembali terdengar tertawa riang. "Aku tidak pernah menyangka, kau meneleponku dari jauh hanya untuk menyamakanku dengan tarif telepon. Bagaimana kabar keluargamu di rumah?" "Alhamdulillah, mereka baik-baik. Semua sehatsehat. Bagaimana dengan keluargamu?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

415

"Puji Tuhan. Kami semua juga baik-baik. Adikadikku makin tidak terkendali. Mereka lebih punya banyak waktu untuk membicarakan pacar-pacar mereka ketimbang mendiskusikan pelajaran sekolahnya. Bagaimana dengan pacarmu?" "Maksudmu?" "Orang yang kau bilang temanmu tetapi membuatmu merasa seperti menjadi orang yang dicintai bila sedang ada di dekatnya. Tetapi parahnya tidak pernah ada pernyataan cinta, atau sesuatu yang mengisyaratkan rasa suka." "Sudahlah." "Jangan menghindar, Salwa. Aku tahu, apa yang sebenarnya kau mau. Oh, astaga, jangan-jangan selama pulang liburan ini kau belum pernah bertemu dengannya? Parah sekali itu cowok. Kalau aku ada di sana, aku akan menyeretnya ke pintu rumahmu dan menjelaskan padanya bahwa temanku, yang paling dikejar-kejar oleh cowok AMIK ASTER, sebenarnya amat memujanya, dan hanya memujanya." "Kami sekarang sudah berpacaran." "Apa? Jangan main-main. Aku bisa mencium bau kebohongan." "Sungguh. Maria." "Kalau mendengar ceritamu, sepertinya, keberaniannya menyatakan cinta, merupakan hal berikutnya yang kupercaya setelah ada orang gila mengaku mengelilingi borobudur sebanyak seratus kali sehari."
Johan M.

416

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mereka berdua tertawa. Maria selalu bisa menemukan ungkapan-ungkapan yang membuat pendengarnya tidak mampu menahan tawa. "Dia pacarku, Maria. Kau tidak boleh lagi mengejeknya sekarang." "Baiklah. Aku percaya. Bagaimana ceritanya?" "Nanti, di Yogya, aku ceritakan semuanya. Ingat, kita masih di area interlokal." "Oke. Kembali ke pertanyaan pertama. Mengapa kau menelepon?" "Aku ingin kembali ke Yogya secepatnya." "Nah...kau berhasil membuatku bingung. Katanya sudah berpacaran, tetapi buru-buru mau kembali ke Jawa. Seharusnya kalian sedang menikmati masa-masa bersama yang paling indah dari semua masa berpacaran." "Nanti kujelaskan. Aku sekarang punya pertanyaan." "Yeah...kau memang harus menjelaskannya. Apa yang mau kau tanyakan?" "Apa audiensi di majalah itu sudah" "Masih. Kukira masih. Pengambilan gambar baru akan dilakukan sembilan atau sepuluh hari lagi. Apa kau sekarang tertarik dan mau menerima tawaran itu?" "Ya." Sebulan sebelum ujian semester dua, beberapa mahasiswa AMIK ASTER dengan konsentrasi Sistem Informasi Bisnis, mengunjungi Monumen Yogya Kembali. Salwa ikut dalam rombongan kecil itu. Mariana membawa kamera digital. Dia melakukan banyak pemotretan di sekitar monumen. Salwa tidak pernah terlalu menghiraukannya, dan menganggap pemotretan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

417

yang dilakukan oleh Mariana, paling-paling akan berakhir di Laboratorium Komputer dan akan menjadi santapan beberapa mahasiswa yang menggemari desain grafis sebagai pengetahuan tambahan yang mereka kuras dengan gratis dari dosen-dosen muda yang gampang digoda dengan tatapan sedikit agak lama. Salwa baru tahu bahwa Mariana ternyata tidak asal memotret ketika teman dekatnya itu menjelaskan tiga di antara foto-foto profil wajah Salwa yang dia kirim ke sebuah majalah ternyata menarik perhatian produser pembuat iklan lipstik. "Aku berharap bisa menjadikan tawaran itu sebagai alasan kembali ke Yogya." "Apa yang sebenarnya terjadi di sana, Salwa? Kau kedengaran seperti mau melarikan diri." "Memang." "Oh, Tuhan. Jangan bilang, kalau pacarmu itu, setelah sekian lama tidak berani menyatakan cintanya, sekarang tiba-tiba menjadi sangat berani sampai-sampai dia menginginkan pernikahan. Kalau memang begitu, sebaiknya kau izinkan aku menjewer kupingnya dan mengatakan padanya bahwa hanya setelah lulus aku baru bisa ke Lombok untuk ikut menghadiri pesta pernikahan kalian." "Bukan dia." Salwa diam sesaat lalu dia berkata. "Nanti di Yogya, aku ceritakan. Sekarang, aku minta tolong padamu, pastikan aku mendapat jadwal pemotretannya. Aku perlu uang untuk mengganti biaya tiket perjalanan." "Oke. Serahkan urusan itu padaku."
Johan M.

418

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

*** Salwa meminta Mariana menunggu di lapangan basket. Dia berharap tempat favoritnya itu tidak terlalu ramai dipakai pada masa liburan panjang seperti kali ini. Setelah meletakkan barang-barang bawaannya yang tidak banyak ke dalam kamar sewaannya, Salwa kemudian segera menyusul Mariana. Dia berharap gadis itu tidak bosan menunggu. Salwa tidak langsung menghampiri Mariana. Gadis berambut sebatas bahu itu nampak sedang asyik berbicara dengan salah seorang pemaian basket yang sedang beristirahat. Dia baru mengangkat tangan setelah pandangan mereka bertemu. "Mengapa tidak langsung menghampiriku?" tanya Mariana. "Kau benar-benar harus belajar bagaimana cara menyelamatkan seorang gadis dari pria tampan yang bisa membuat kesetiaan menjadi memudar." "Ada yang salah?" tanya Salwa. Dia duduk di samping Mariana. Tatapan matanya segera menyapu kedua sisi lapangan yang diapit oleh taman bunga dan pohon-pohon berdaun rindang. "Kau kelihatan amat menikmati percakapanmu." "Itulah maksudku. Kalau kau tidak cepat datang, bisa-bisa aku terpikat dan akhirnya terjebak menyukai dua orang pria pada saat yang sama. Bagaimana perjalananmu?" "Seperti saat datang pertama kali. Melelahkan!" "Aku sudah berbicara dengan Mas Gatot. Dia menunggumu di studionya. Datang saja besok atau lusa.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

419

Aku bisa menemanimu, kalau kau enggan pergi sendirian." "Terima kasih. Untung saja aku ingat dengan tawaranmu. Aku jadi tidak harus mengarang alasan." "Coba ceritakan, bagaimana akhirnya kalian bisa berpacaran, dan apa pula yang membuatmu harus buruburu balik ke Yogya?" Salwa tersenyum sambil menggeleng. "Bagaimana kalau aku hanya menjawab pertanyaan kedua?" "Ada apa dengan pertanyaan pertama? Kau sudah berjanji menjawab semua pertanyaanmu setelah kita bertemu. Masih ingat?" "Aku ingat, Maria. Aku ingat. Hanya saja aku tidak yakin bisa menceritakannya. Kejadiannya berlangsung cepat, tidak terduga, dan oh...aku sendiri masih belum terlalu percaya pada kenyatan itu." "Beginilah jadinya kalau aku memaksakan diri berbicara dengan orang yang sedang kasmaran. Baiklah, mengapa kau cepat sekali kembali?" "Ada orang yang mau melarikanku?" "Maksudmu, menculikmu?" "Kira-kira begitu. Tetapi di tempatku, mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai istri, tanpa pemberitahuan lebih dahulu pada orang tua dan keluarganya, tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, makanya tidak disebut sebagai penculikan, tetapi melarikan. Dalam bahasa Sasak, ada yang menyebutnya, merarik, melaik, yang intinya merupakan usaha untuk melarikan gadis yang ingin dinikahi."
Johan M.

420

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Apakah artinya, kalau aku kebetulan tinggal di Lombok, lalu tiba-tiba seseorang melarikanku, aku tidak bisa mengadukannya pada kepolisian dengan tuduhan penculikan?" "Ya. Begitulah. Kau tidak bisa menuduhkan apa pun pada pria yang mengaku melakukannya untuk menikahimu. Keluarganya akan membelanya, dan keluargamu akan melepaskanmu. Semua orang segera akan bekerja sama mempersiapkan pernikahan. Kau tidak bisa lagi kembali ke tengah-tengah keluargamu tanpa sangsi atas kesucianmu, yang akan membuatmu sulit menemukan laki-laki berikutnya yang bersedia menikah denganmu. Sehingga hanya wanita gila yang dianggap berkeras melepaskan dirinya." "Dan kau sekarang sedang dalam usaha untuk melepaskan diri dari kemungkinan dilarikan oleh seseorang?" Sawa mengangguk. "Aku baru saja mendapatkan cinta yang amat kudambakan. Aku harus menyelamatkan cinta itu. Karena di situ ada harapan kami berdua, karena dalam cinta itu, ada cita-cita antara aku dan Liwa." "Waw...jadi dia bermana Liwa?" tanya Mariana. "Semoga itu bukan suatu kebetulan." Salwa mencubit lengan temannya itu. Sekarang, dia merasa sudah memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh Mariana untuk memahami keputusannya meningalkan pulau yang dicintainya, tempat kekasihnya, lebih cepat dari waktu yang direncanakan dan diinginkannya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

421

*** Untoro Wibisono, salah seorang dosen dalam barisan para pengajar yang masih bujangan, tiba-tiba saja sudah menunggu di ruang tamu. Salwa sudah memberi permakluman pada teman-temannya sekelasnya yang laki-laki untuk tidak pernah datang mengunjunginya ke tempat tinggalnya. Permakluman seperti itu jelas tidak bisa diberikan pada dosen-dosennya. Setelah Pak Untoro mengemukakan maksudnya untuk mengajak jalan-jalan, Salwa kemudian meminta izin sebentar, meninggalkan dosen muda itu duduk sendirian memandangi ruang tamu rumah induk, yang menjadi tempat tinggal pemilik kamar yang disewa oleh Salwa. Kali ini, Maria sendiri yang mengangkat telepon. "Rumah keluarga Manik di sini." "Maria." "Hai Salwa, asalamualaikum. Apa kabar? Aku sudah menghubungi Mas" "Bukan tentang itu," potong Salwa. "Aku perlu bantuan lain. Semoga kau sedang santai." "Kau tahu sendiri. Aku tidak pernah terlalu sibuk. Selalu ada waktu untuk teman sepertimu. Apakah ini tentang orang yang mau melarikanmu? Jangan sampai dia sudah menemukan tempat persembunyianmu." "Bukan tentang itu." "Aku menyarah. Lalu tentang apa?" "Pak Untoro menungguku di ruang tamu?" "Apa?"
Johan M.

422

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Pak Untoro, dosen kita." "Aku tidak bertanya dia siapa. Mengapa dia bisa ada di tempatmu malam-malam begini? Jangan katakan kau sudah mengundangnya? Kurasa dia salah seorang pengajar paling serius di kampus, yang tidak bisa diundang sembarangan dan jelas tidak mungkin mendatangkan dirinya tanpa diundang." "Itulah yang terjadi." "Yang mana?" "Dia datang sendirian." "Oh, Tuhan. Keajaiban dunia kesepuluh." "Apa kau ingin aku datang sebagai orang ketiga?" "Tepat. Kamu memang selalu cerdas pada waktunya." Terdengar gumaman keraguan di seberang sana. Salwa tidak mau menghubungi teman lainnya yang mempunyai risiko lebih sulit lagi diajak bekerja sama. Dia lalu mencoba sebuah pancingan. "Dia mengajakku keluar makan malam. Sebagai bonus, kau berhak menentukan makanan apa yang akan menjadi santapan kita malam ini." "Nah. Itu baru terdengar sebagai tawaran yang menarik. Oke. Tunggu aku, ya? Jangan pergi sebelum aku datang." "Kalau aku berpikir begitu, kau tidak akan mendapatkan teleponku." Kerisauan Salwa agak terusir setelah mendengarkan suara tawa Mariana. ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

423

Salwa baru bangkit dan menutup pintu kamarnya untuk menerima telepon di rumah induk, setelah ia mendapatkan kepastian bahwa telepon itu dari rumahnya. Dia sudah berpesan agar telepon lain diberi alasan sama bahwa dia sedang tidak ada di kamarnya. Salwa mendengar suara Ratna. "Kak Salwa. Asalamualaikum." Salwa menjawab salam adiknya. "Bagaimana kabar di rumah?" Terdengar gumamam ragu. Lalu setelah agak terlalu lama bagi sebuah percakapan telepon interlokal, Ratna akhirnya memberikan jawaban. "Ibu sakit...ya..., sakitnya parah, Kakak harus segera pulang." "Sakita apa?" Terdengar suara remasan kertas. "Belum tahu. Ibu belum diperiksa ke dokter. Tetapi ibu terus-menerus pingsan. Kakak diminta pulang secepatnya." "Tetapi belum lama di Yogya?" "Kak, tolong..." "Ya, sudah. Paling lambat, kakak berangkat besok siang. Kasi tahu semuanya. Kalau bisa, nanti bapak yang menjemput." "Ya, Kak. Nanti saya kasi tahu bapak." "Ada lagi?" Ada gumaman dan bisikan yang terdengar samarsamar di seberang sana. "Cuma itu, Kak. Kami menunggu Kakak." ***
Johan M.

424

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Wawan memberi isyarat pada Ratna agar segera meletakkan gagang telepon itu ke tempatnya. "Bagus!" katanya. "Itu baru adik yang baik. " Ratna menghapus air matanya sambil berjalan pergi. Wawan lalu duduk di ruang tamu. Dia tidak mau berada terlalu jauh dari telepon yang dia khawatirkan bisa dipergunakan oleh salah seorang di ruangan itu untuk membocorkan persiapan pernikahannya. Selalu ada kemungkinan Salwa akan menelepon. Bukan dia yang akan mengangkatnya, hal itu akan memunculkan kecurigaan. Dia hanya akan mengawasi siapa yang sedang berbicara dengan siapa, agar tidak sedikit pun tidak keluar informasi mengenai sesuatu yang akhirnya dapat membuat Salwa mengerti dengan situasi sebenarnya. Salwa, batin Wawan. Aku sudah mencoba membuat urusan ini menjadi mudah, bagimu, dan bagiku, mengapa kau mempersulitnya. Aku bukan tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa. Hidup ini menyediakan terlalu banyak pengetahuan untuk dipergnakan sesuai dengan kebutuhan. Wawan beruntung karena bisa meyakinkan kedua orang tua Salwa bahwa sebenarnya dia dan Salwa sudah setuju untuk menikah karena memang pernikahan mereka sudah tidak bisa ditunda lagi. Kepergian Salwa ke Yogyakarta itu hanya kedok untuk menyembunyikan kehamilannya. Mereka sudah melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan sebelum menikah. Dia meyakinkan orang tua Salwa, bahwa pernikahan yang sedang disiapkannya, semata-mata untuk membuktikan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

425

dirinya sebagai pria yang bertanggung jawab dan rela melakukan apa pun untuk menyelamatkan wajah keluarga. Dia mengingatkan kedua orang tua Salwa untuk tidak bersusah-payah menanyakan tentang kebenaran kehamilan putri mereka. Salwa tidak mungkin akan mengaku. Bukan saja karena malu, tetapi Salwa memang bermaksud mengadopsikan bayi itu, agar dia bisa kembali ke Lombok dan menikah dengan orang lain. Orang tua Salwa diyakinkan dengan nasib buruk yang mungkin akan menimpa cucu mereka selama dalam pengasuhan orang lain. Belum lagi ada kemungkinan bahwa mereka mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk menyaksikan manusia yang di dalam dirinya telah mengalir darah mereka. Dia juga sudah menunjukkan tumpukan surat undangan yang telah tercetak dengan nama dirinya sebagai pengantin pria dan Salwa sebagai pengantin Wanita. Surat-surat undangan itu hanya tinggal ditempeli nama orang-orang yang diharapkan hadir pada acara resepsi pernikahan mereka. Waktunya hari Sabtu, minggu depan, pada hari yang dianggap baik dan sangat disetujui oleh Paman Subki. Kematian kakaknya tidak membuat Wawan surut dari rencana-rencana yang sudah disusun dengan sangat matang. *** "Keluarga Manik di sini," kata Mariana.
Johan M.

426

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Selamat malam. Bisa bicara dengan Maria?" Suara pria itu, dikenalnya. "Ya, Pak. Ini saya, Maria." "Oh, maaf." "Tidak apa-apa. Terima kasih ya Pak, untuk traktirannya." Terdengar suara tawa terkendali dari dosen yang serius itu. "Saya senang bisa melakukannya. Kalau punya waktu lagi, kita bisa mengulanginya." "Bapak tidak takut bangkrut?" Pak Untoro terdengar terkekeh. Mariana terkejut. Dia tidak menyangka, dosen yang selalu menghindari tatapannya itu ternyata bisa tertawa dengan cara yang amat kekanakan. "Orang tidak akan bisa bangkrut hanya dengan memberikan sedikit kesenangan pada orang lain. Bagaimana kabar Salwa?" Akhirnya, pembicaraan telepon ini, sampai pada topik yang sesuangguhnya, batin Mariana. Dia baru akan meberikan jawaban ketika dia melihat ada yang berkedip pada pesawat teleponnya. "Maaf, Pak, apa bapak bisa menunggu sebentar? Ada telepon masuk, saya Cuma ingin memberi tahu kalau penelepon itu bisa menelepon lagi nanti." "Oh, tentu. Silahkan. Saya bisa menunggu." "Hallo, keluarga" "Mariana?" "Hei, Salwa. Panjang umur." "Apa?" "Salah satu pemujamu baru saja menanyakanmu." "Jangan bercanda."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

427

"Apa menurutmu aku bercanda kalau kau sekarang kuberi tahu bahwa Pak Untoro masih menunggu sambungan kembali untuk menunggu jawabanku setelah dia menanyakan kabarmu?" "Oh, katakan saja yang ingin kamu katakan padanya untuk menghiburnya." "Kau tidak usah meminta," kata Mariana. "Aku memang akan melakukannya. Ada apa? Mengapa kalian berdua tiba-tiba meneleponku pada saat bersamaan?" "Sedikit pun teleponku tidak ada kaitannya dengan Pak Untoro. Sebelum dia bosan menunggumu, sebaiknya kukatakan saja dengan singkat, besok aku kembali ke Lombok." "Jangan bercanda." Mariana menirukan ucapan Salwa. "Ibuku sakit. Katanya sampai pingsan-pingsan. Belum pernah dia sakit sampai separah ini. Itulah sebabnya, adikku memintaku pulang. Kakakku yang kuliah di Surabaya juga sudah ada di rumah." "Oh, Salwa. Aku turut bersedih. Apa aku perlu mengantarmu?" "Tidak usah." "Atau apa kau mau aku meminta bantuan Pak Untoro?" "Cukup, Mariana," kata Salwa. "Pak Untoro sedang menunggu sambungan denganmu. Nanti kutelepon lagi dari Lombok. Doakan agar perjalananku aman." "Tentu temanku. Doaku menyertai perjalananmu." "Asalamulaikum."
Johan M.

428

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mariana menjawab salam itu. Dia menutup sambungan dengan Salwa, lalu kembali pada Pak Untoro. "Maaf, Pak. Agak lama." "Tidak apa-apa? Apa saya perlu mengulangi pertanyaan saya?" Maria menggumamkan sesuatu. Dia tidak lagi yakin sekarang dengan jawaban yang akan diberikannya. Memberi tahu Pak Untoro tentang keberangkatan Salwa besok, akan membuat dosen itu berkeras mengantar Salwa. Sudah cukup persoalan yang dihadapi oleh Salwa dan tidak perlu ditambah-tambah dengan kerumitan yang mungkin dapat ditimbulkan oleh sikap khas lelaki yang ada pada diri Pak Untoro untuk mau melakukan sesuatu yang terbaik, yang berkesan, dan membuat gadis pujaannya merasa telah diistimewakan. "Dia sebenarnya sedang menghadapi banyak persoalan. Mungkin akan lebih baik kalau untuk sementara waktu, bapak tidak mengganggunya." "Oh, itu perkataan paling jujur yang pernah saya dengar tentang bagaimana seharusnya saya bersikap pada orang yang sama sekali tidak memberikan harapan." Mariana menepuk keningnya. Pak Untoro memahami inti pesannya, tetapi bukan pada tingkat pemahaman seperti itu yang diharapkannya saat ini. "Bapak mungkin agak keliru menafsirkan maksud saya," ujar Mariana. Dia segera memikirkan sesuatu yang bisa dikatakan untuk memperbaiki perannya. Apa ungkapan paling ampuh untuk kembali menetralkan pikiran Pak Untoro? tanya Mariana pada diri sendiri. Akhirnya dia
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

429

memilih sedikit jujur dengan mengungkapkan bagian yang bisa mengundang simpati. "Salwa sekarang sedang panik karena ibunya sakit keras." "Di mana ibunya?" "Masih di rumahnya. Belum dibawa ke rumah sakit." "Maksud saya, mereka tinggal dimana?" "Bapak sungguh-sungguh belum tahu?" "Saya tahu Salwa di sini tinggal di tempat sewaan. Hanya itu. Saya belum tahu dia dari mana. Dari mana dia?" "Lombok. Bapak pernah dengar?" "Orang yang buta peta buta sekalipun, pasti tahu nama pulau-pulau yang mengapit Pulau Bali." "Syukurlah, kalau bapak tahu. Dia tinggal di sebuah tempat yang bernama Selong. Katanya itu sebuah kota." "Kau harus pergi menghibunya," saran Pak Untoro. sejenak, setelah kebisuan yang agak terlalu lama, kemudian dosen itu berkata. "Seandainya bisa, saya sendiri yang akan pergi menghiburnya." "Mungkin lain kali, Pak." "Yeah," Maria tersenyum mendengar persetujuan dosennya yang sekarang sepertinya ikut merasakan kepedihan orang yang memikat hatinya. Perasaan calon kekasih. Selalu sulit untuk menjelaskan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. "Terima kasih, Mariana, karena sudah memberi tahu. Tolong, kalau ada kabar, tentang sesuatu, sekecil apa pun itu, tetapi membuat Salwa berada dalam kesulitan, segera beri tahu saya." "Ya, Pak."
Johan M.

430

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Dia berasal dari tempat yang tidak dekat. Pasti berat rasanya sedih sendirian." "Ya, Pak. Benar." "Satu lagi." "Ya, Pak?" "Panggilan 'pak' itu, cukup di kampus saja. Di antara kau dan Salwa, tolong ubah panggilan itu menjadi 'mas' bagaimana?" "Ya, Mas." *** Sampai menjelang pukul 10.00 pagi, kapal yang ditumpangi Salwa belum berlabuh juga, padahal mereka sudah sampai di Pelabuhan Lembar sebelum pukul 09.00. Entah apa yang membuat kapal lain yang masih merapat itu melakukan bongkar muat terlalu lama. Penumpang kapal yang ada di sekitar Salwa mulai terdengar menggerutu. Beberapa anak dan orang-orang dewasa yang baru pertama kali menempuh perjalanan Bali-Lombok, yang tadinya kuat dan nampak sehat ketika menempuh perjalanan mengarungi Selat Lombok selama lima jam, kini duduk atau terbaring lemas di sudut-sudut kapal setelah memuntahkan isi perut mereka. Salwa sendiri berdiri di ujung tangga baja di salah satu sisi kapal. Dia menghibur diri dengan menyaksikan kesibukan orang-orang yang tidak sabar ingin mendarat lalu memilih naik perahu kayu kecil untuk membawa mereka ke tepi pelabuhan. Sambil memangku dagunya dengan kedua genggaman tangan sementara kedua sikunya bertumpu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

431

pada besi kapal, Salwa merenungkan kembali kebuntuan komunikasinya dengan keluarga selama kepulangannya yang mendadak ini. Mula-mula Ratna menelepon tentang ibu yang sakit sampai pingsan. Sayang sekali, sampai dia menelepon terakhir kali, jawaban yang diperolehnya masih sama seperti jawaban Ratna. Tidak ada informasi apa pun yang bisa dianggap sebagai penjelasan atas perkembangan kesehatan ibu, atau sebaliknya. Ke mana bapak? Mengapa yang menerima teleponnya selalu adik-adiknya. Ketika dia akhinya memaksa, alasan yang diperolehnya sangat bagus, bapak sedang mengurus penyembuhan ibu. Tetapi sesibuk apa dia sampai tidak bisa menerima teleponku? batin Salwa. Ketika Salwa menjelaskan sudah sampai di mana perjalanannya, dia hanya mendapatkan semangat untuk pulang secepatnya. Dan telepon terakhir, yang berhasil dia lakukan setelah menemukan wartel di tempat persinggahan untuk makan malam, yang kebetulan diangkat oleh bapaknya, anehnya membuatnya merasa seperti sedang berbicara dengan orang lain. Bapaknya tidak berhasil menyebutkan semua kata dengan jelas, sepertinya didesak oleh tangis, atau kesedihan yang terlalu menyergap. Separah itukah penyakit ibu, sehingga semua orang yang berhasil dia ajak berbicara hanya berusaha menenangkannya, dan sama sekali tidak menjadikan penyakit ibu sebagai pokok pembicaraan seperti yang seharusnya mengingat karena alasan itulah dia pulang. Salwa berusaha mengingat lagi semua percakapannya dengan orangJohan M.

432

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

orang di rumah yang mengangkat teleponnya. Apakah karena baru sekarang aku pulang sendirian, sehingga orang-orang di rumah membuatku harus menjelaskan di mana dan apa yang sedang kulakukan? Tepat sekali! Pertanyaannya-pertanyaan mereka sebenarnya malah terfokus pada dirinya! Pluit kapal yang terdengar dari arah tiang-tiang dermaga yang berwarna kuning itu, membuat Salwa tersadar dari lamunannya. Kapal yang sudah selesai melakukan bongkar muat itu mulai bergerak meninggalkan pelabuhan, sementara kapal yang ia tumpangi, bergerak perlahan-lahan mendekati tiang dermaga. Salwa melangkah pelan-pelan melewati celah-celah sempit di antara bus-bus yang diparkir nyaris berhimpitan sehingga pintu busnya tidak bisa dibuka penuh. Dia berdiri cemas di belakang penumpangpenumpang lain yang juga menginginkan kesempatan sama untuk bisa kembali ke dalam bus dan duduk di tempat masing-masing dengan aman. Ia pernah mendengar ceritanya tentang penumpang yang terjepit di antara dua bus yang bergeser tidak terkendali padahal kapal sudah terikat di dermaga. Salwa merasa lega setelah berada di dalam bus, meskipun dia masih perlu menunggu lagi agar bisa mencapai tempat duduknya. Salwa menurunkan tas pakaiannya dari tempat penyimpanan di atas tempat duduknya. Dia lalu melangkah pelan ke pintu depan sekalian untuk menjelaskan pada supir bus bahwa dia akan turun di sekitar pintu pelabuhan.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

433

Sudah hampir setengah jam dia menunggu. Sejak turun dari bus, Salwa tidak pernah beranjak dari pos penjagaan keluar masuknya kendaraan, tempat yang diinginkan oleh bapaknya sebagai lokasi penjemputan. Tatapan mata para penjaga pelabuhan yang berseragam itulah yang mula-mula membuat Salwa merasa gelisah. Dia bertambah gelisah setelah lehernya terasa pegal karena sudah berkali-kali melihat ke sekelilingnya tetapi belum juga menemukan bapaknya. Salwa merasa sangat lega ketika melihat pria yang sudah mulai memiliki lebih banyak uban itu, muncul tiba-tiba dari arah keramaian di sebelah kanannya. "Bapak, kemana mana saja? Saya sudah lama menunggu di sini." "Bapak sedang mencari kendaraan lain. Mobil yang bapak pakai ke sini, tiba-tiba mogok, padahal mobil itu tidak pernah bermasalah sepanjang perjalanan dari Selong ke sini. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Mudahan ada kendaraan yang bisa kita tumpangi sampai Mataram. Tunggu, di sini." Salwa mengangguk. Dia mengikuti kepergian bapaknya dengan pandangan mata. Setelah bapaknya berbaur dengan kerumunan orang-orang, Salwa lalu melihat ke sekelilingnya. Tatapan para petugas pelabuhan yang sudah tadi dilihatnya, kembali disaksikannya sekilas. Tatapan-tatapan itu menghujamkan seribu perasaan gelisah dan tidak nyaman.
Johan M.

434

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa merasa mulai pegal karena sudah lama berdiri. Dia lalu mencoba mencari peluang untuk duduk di atas trotoar yang kotor. Salwa baru saja menemukan ide untuk menggelar koran bekas di atas trotoar itu, ketika ia mendengar namanya dipanggil. Panggilan itu menjadi semakin jelas telah dimaksudkan untuk meminta perhatiannya ketika dia melihat Wawan melangkah mendekatinya. "Ayo, naik," katanya. "Mobilnya ada di sana." Salwa memperhatikan mobil yang dimaksud oleh Wawan. "Bapak tadi meminta saya menunggu. Dia pergi mencari kendaraan." "Itulah kendaraan yang dimaksud oleh bapak. Saya diminta menjemputmu." "Lalu bapak di mana?" "Dia bertemu dengan sahabat lama, di sana?" Wawan menunjuk ke keramaian. "Dia bilang akan menyusul nanti. Ayo, naik, ibu sudah tidak sabar ingin lekas bertemu denganmu." *** Dua hari yang telah berlalu itu pasti hanya mimpi. Salwa berusaha meyakinkan dirinya. Ya, bagaimana lagi menjelaskannya? Realita tidak mungkin akan secepat dan sekejam itu. Dia dibawa ke rumah Wawan, disekap di dalam kamar dengan pintu terkunci dan jendela berterali. Dia sudah mencoba menggedor dan menendang pintu sampai kehabisan tenaga. Dia juga membuang semua barang-barang kecil ke luar lubang fentilasi untuk menarik perhatian orang-orang. Tetapi tidak ada satu pun dari usahanya itu yang sampai
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

435

menarik perhatian seperti yang diinginkannya. Kalaupun pernah ada yang bertanya, mereka semua puas setelah diberi jawaban dengan mengatakan bahwa yang ditahan itu adalah orang gila. Tidak ada satu pun yang tergerak hatinya untuk menyelidiki kebenaran jawaban yang diberikan oleh orang-orang yang mendukung usaha penyekapan yang dilakukan oleh Wawan Dia juga heran, ke mana bapaknya? Apakah memang tidak ada orang yang berpikir bahwa dia telah diculik oleh orang yang pernah datang melamarnya? Apa yang membuat orang-orang tidak segera menyadari bahwa Wawan telah melakukan sesuatu yang membuatnya segera akan merasa terhina? Hanya Liwa pahlawannya. Tetapi tidak mungkin meminta bantuan Liwa sekarang. Selain tidak jelas dia sedang di mana, urusan yang sedang dihadapinya ini kini sudah bukan lagi menjadi persoalan pribadi. Statusnya sebagai wanita yang akan dinikahi membuatnya selalu berada dalam pengawasan dan perlindungan keluarga calon suaminya. Mengerikan sekali! Apakah akhirnya aku akan menikah dengan Wawan? "Ya." Suara itu menyadarkan Salwa dari lamunannya. Cermin di hadapannya memperlihatkan wajahnya dan wajah wanita yang ditugasi meriasnya. "Oke. Tetap begitu."
Johan M.

436

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa diam, bukan untuk mengikuti kata-kata wanita yang sekarang sudah dianggapnya bersekongkol dengan Wawan karena telah ikut ambil bagian untuk memenuhi keinginan gila mantan instrukturnya. Ia membiarkan wajahnya diatur sesuka hati wanita itu, karena semangatnya telah hilang. Dia bahkan mengindar menatap wajah sedih yang dilihatnya di muka cermin. Dia tidak mau mengakui wajah yang sedang dirias itu sebagai wajahnya. Kalau saat-saat ini harus pernah terjadi dalam hidupnya, dia ingin alasannya karena Liwa, bukan orang lain. Wawan sudah melangkah terlalu melampaui haknya. Wawan sudah tidak harus dihormati lagi sekarang. Dulu dia instrukturku, orang yang mengajarkan ilmu yang berguna padaku, tetapi kini, dia sudah merenggut hidupku. Bayaran yang dimintanya terlalu mahal. Terlalu mahal. Salwa menangis lagi. "Apa yang terjadi denganmu?" kata Wanita itu mulai kesal karena sebagian dari tugas terberatnya ternyata cuma memperbaiki riasan wajah yang luntur dengan cepat mengikuti arus air mata yang mengikisnya. "Semua wanita akhirnya akan menikah. Jangan pikirkan bagian menyakitkannya, yang hanya beberapa detik. Kenikmatannya akan melimpah lebih banyak setelah itu. Bahkan, setelah lama, kau tidak akan malu-malu memintanya." *** Perasaan bersalah itu muncul tiba-tiba. Dia berusaha memahaminya, namun hujan di luar sana sepertinya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

437

lebih bisa mengerti. Hujan turun sejak pagi tadi, tidak deras, tetapi lama dan nyaris tidak pernah memiliki jeda, seolah langit ikut menangis karena memahami kesedihan yang mendadak datang menyusup ke dalam kalbunya. Liwa berusaha berbaring dengan meletakkan kepala di atas susunan bantal, yang membuatnya bisa melihat titik-titik hujan yang menampar jendela kaca kamarnya. Ia berharap perasaannya bisa lebih tenang dengan berbaring ketimbang duduk seperti tadi sambil membaca novel. Tentu saja dia tidak terlalu yakin akan berhasil mencapai maksudnya, terutama setelah selama ini justru cara yang dia tinggalkan itulah yang lebih banyak memberikan ketenangan. Sambil menatap jendela kaca kamar tidurnya yang memperlihatkan tetesan air hujan yang terhempas, membentuk banyak arus aliran air yang berderet, Liwa mencoba merenungkan, dan mencari-cari sesuatu yang mungkin menjadi penyebabkan kegelisahannya. Di antara sedikit keberhasilannya untuk melacak kembali penyebab ketidaknyamanan yang membuatnya gelisah, Liwa pernah menemukan bahwa penyebabnya adalah karena dia telah melakukan sesuatu yang bisa mengundang kemarahan dan kerugian bagi orang lain. Kemarahan dan kerugian? Apa yang sudah pernah kulakukan yang kira-kira tidak beres sampai bisa menimbulkan kemarahan dan kerugian? Bersama munculnya sebuah temuan dari jejak ingatannya, Liwa melihat hujan di luar sana terlihat
Johan M.

438

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mulai mereda secepat kemunculan serbuan butiran air yang masih meninggalkan jejak-jejak arus lebar di kaca jendela. Semakin lama direnungkan, kemungkinan ada masalah dengan pembuatan buku kumpulan puisi yang menjadi tanggung jawabnya, semakin mungkin menjadi penyabab kegelisahannya. Seusai mandi, Liwa mengambil payung hitam lipat, yang dulu selalu dibawa ke sekolah, dan sekarang masih tersimpan dengan baik di laci lemarinya. Langit yang masih mendung dan hujan yang nyaris tidak pernah mereda, sudah lebih dari cukup dijadikan sebagai alasan untuk keluar rumah dengan membawa payung, yang sayangnya belum sempat ia pergunakan untuk melindungi Salwa dari tetesan hujan di saat dulu pernah ada kesempatan untuk melakukannya. Liwa keluar rumah dengan menggenggam payung hitam itu di tangan kirinya. Udara sejuk sehabis hujan menjanjikan kegembiraan. Liwa hampir yakin dengan hal itu seandainya perasaannya bisa menjadi sedikit lebih tenang setelah berada diluar rumah dengan kebebasan menghirup udara segar. Sayangnya, perasaan gelisah itu masih ada. Bahkan cenderung mulai menganggu debaran jantungnya. Sambil terus mencoba menerka-nerka berbagai kemungkinan yang akan dia hadapi nanti di BASTA COM, Liwa juga menerka-nerka apa yang mungkin dapat ditawarkan untuk menyelesaikan masalah sekitar
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

439

pencetakan buku kumpulan puisi yang sudah satu minggu lebih ia serahkan pada Basit. Sudah pukul 16.00. Kantor pemerintah sudah ditutup dua jam yang lalu. Tetapi lembaga kursus seperti BASTA COM mungkin masih tetap akan melayani keperluan pelanggannya hingga pukul 20.00. "Mari masuk," ajak Basit. "Hujan terus sejak tadi pagi. Masih liburan ya?" "Tidak ada liburan bagi aktivis kampus," jawab Liwa. "Buku itu belum bisa dijilid minggu ini. Kami masih menunggu kiriman kertas untuk sampulnya dari Surabaya." "Oh, begitu. Tidak apa-apa. Jadi, pengetikannya sudah selesai?" "Sudah. Tapi, kalau mau dilihat sambilan diedit juga bisa." "Tidak usah," kata Liwa. "Berarti tidak ada masalah?" pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya. Dia memang tidak menargetkan buku itu selesai minggu depan, dan janji yang baru diucapkan oleh Basit malah membuat rencana pembuatan buku itu terdengar lebih sempurna dari harapannya. Lalu apa yang membuat pikiranku menjadi tidak nyaman? Dan mengapa ketidaknyamanan itu masih harus ditambah oleh debaran jantung yang biasanya selalu kembali terasa sebagai penambah kecemasan disaat menunggu pengumuman pemenang lomba pembacaan puisi yang gagal dijuarai? PertanyaanJohan M.

440

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pertanyaan lain menyusul, datang seperti seratus anak panah yang memburu dengan kejam. Liwa kemudian pamit pada bos BASTA COM yang meminta ia mengontrol perkembangan pencetakan buku kumpulan puisi itu pada hari Rabu atau Kamis minggu depan. Liwa melangkah kembali, menyusuri bagian tepi jalan raya, yang mungkin karena pengaruh hujan, hanya sesekali dilintasi oleh kendaraan. Germis yang berubah cepat menjadi hujan, turun lagi dengan sangat deras begitu Liwa melewati area parkir taman kota. Tempat itu biasanya digunakan oleh para pedagang kaki lima untuk berjualan malam hari. Para pedagang itu, rata-rata baru mendirikan tenda menjelang malam. Itulah sebanya tempat itu kosong sekarang, hanya memperlihatkan permukaan beraspal seluas empat lapangan basket. Hujan cepat menjadi reda kembali, sebelum Liwa melintasi perempatan jalan berikutnya, di sudut timur taman kota. Liwa melipat payungnya sambil menimbangnimbang untuk kembali melewati jalan yang sudah ia lalui waktu berangkat tadi, ataukah akan melewati jalan baru, sekalian jalan kaki keliling kota Selong, melihat suasana lebih banyak bagian kota sehabis diguyur hujan seharian. Dia akhirnya memutuskan mencari pengalaman baru berkeliling kota, karena tiba-tiba ia juga memiliki rasa penasaran lain, yang tiba-tiba muncul. Dia ingin melihat seperti apa suasana rumah Salwa setelah hujan turun seharian. Dia tidak berharap akan bisa menemui
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

441

pacarnya itu setelah kunjungannya minggu lalu ternyata harus puas dilewatkan hanya dengan mendiskusikan berita koran bersama bapak dan ibu Salwa. Harapan akan bertemu Salwa mulai muncul begitu dia sampai pada tikungan kenangan. Mula-mula dia melihat beberapa orang pria berbaju taqwa berjalan menenteng kotak kue yang menandakan bahwa mereka baru saja telah menghadiri sebuah acara keluarga yang ada kaitannya dengan keagamaan. Mungkin acara syukuran. Setelah melihat umbul-umbul dan tenda biru yang membentang hingga ke pinggir jalan, tepat di depan dinding pagar rumah Salwa, Liwa baru mengerti acara apa yang sebenarnya telah dihadiri oleh orang-orang berbaju taqwa itu. Liwa mempercepat langkahnya. Salwa tidak mungkin tidak pulang menghadiri pernikahan kakaknya. Dia nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak berjingkrak-jingkrak karena terlalu gembira dengan pengalaman indah yang menjanjikan. Ternyata pertunangan kakaknya cepat sekali disusul dengan pernikahan. Tenang sayang, bisiknya dalam hati. Kita juga akhirnya akan menyusul kebahagiaan yang sudah diraih kakakmu. Salwa! Kau datang? Aku datang! Pengantin yang sedang disalami itu, tenggelam di balik barisan orang-orang yang memberi ucapan selamat.
Johan M.

442

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Liwa tahu dirinya bukan undangan, jadi dia berdiri di pinggir jalan, pada tempat yang ia perkirakan akan membuatnya bisa terlihat oleh Salwa, atau keluarganya, atau seseorang yang mengerti tentang kedekatannya dengan adik si pengantin, sehingga dia akan mendapatkan kesempatan dipanggil untuk bergabung. Baru setelah itu, bila ternyata Salwa belum muncul juga, ia bermaksud memberanikan diri menanyakannya. Seseorang di tengah barisan para pemberi selamat, berhenti bergerak karena menerima sapaan dari orang di belakangnya, sementara orang di depannya terus berjalan dan tidak terganggu. Sedikit jarak yang terbentuk di antara dua sosok yang terpisah itu, memberikan pemandangan yang membuat Liwa mematung. Jantungnya terasa berhenti berdenyut. Bobot tubuhnya seperti hilang karena kakinya tidak terasa sedang menginjak tanah. Pasti ada yang salah. Dan dia akan tetap pada keyakinan itu seandainya pengantin wanita itu tidak memandang lama kepadanya dan tidak memberi isyarat untuk mendekat. Lari! Larilah! Ini negeri mimpi yang menyajikan realita yang menyiksa. Liwa membuka payungnya, dia berusaha menyembunyikandiri di balik kain hitam itu, yang dulu pernah nyaris memberikan kenangan manis. Setelah mengatur napasnya dan merasa bisa menyusun sedikit rencana penyelematan diri, dia lalu mencoba melangkah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

443

meninggalkan acara pernikahan yang tidak pernah diduganya dan jelas-jelas tidak dikehendakinya. Oh, Tuhan. Semua mata itu. Liwa sendiri takut memergoki setiap pasang mata yang sepertinya sengaja diarahkan untuk memandang dirinya. Siapa yang tidak melihat ke arahnya. Bagaimana mengetahuinya tanpa memaksa diri memberikan tatapan balasan? Liwa bergegas ke rumah Ria. Dia tidak bisa langsung berjalan pulang dan membiarkan dirinya mengambil risiko dianggap sebagai teman yang tidak ikut bergembira atas pernikahan temannya. Di belakang rumah Ria, tidak jauh dari kamar mandinya, ada pintu keluar menembus halaman rumah tetangga di belakangnya. Liwa tahu hal itu karena pada waktu liburan semester satu, rombongan mahasiswa panitia seminar bahasa, menginap di sana, dan Liwa bertindak sebagai tuan rumahnya meskipun rumah yang mereka jadikan sebagai sekretariat selama dua hari itu adalah rumah Ria. Dengan mengunjungi rumah Ria, dia bisa menyelamatkan diri dari seluruh tatapan yang melingkari area perosesi pernikahan itu. Pintu belakang rumah Ria, sekarang sepertinya merupakan akses penyelamatan yang sempurna atas kejadian yang tibatiba saja sudah menghantam kesadaran dan ketegaran jiwanya. Saudara-saudara Ria yang kebetulan duduk di depan pintu gerbang, berebut kesempatan untuk bertanya pada Liwa, mengapa dia tidak ikut menghadiri pernikahan temannya?
Johan M.

444

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Teman sialan! Itu dulu, sekarang aku pacarnnya! Liwa ingin berteriak mempertegas hal itu, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Dia menyadari bahwa nilai seorang pacar sangat kecil bila dibandingkan dengan seorang suami. Dan di sini, saat ini, meneriakkan keberatan hanya akan dianggap sebagai bentuk kegilaan. "Ada Ria?" Saudara-saudara Ria saling pandang. "Coba cari ke dalam," salah seorang mengusulkan. Dengan senang hati, batin Liwa. Dia segera berjalan memasuki halaman rumah. Berada di halaman rumah Ria membuatnya merasa lebih aman karena bisa berlindung di balik pagar dan cabang-cabang pohon mangga setinggi bahu, yang menaungi tempat itu. Jarak rumah Ria dan Salwa juga akan membuatnya tidak mudah dilihat dari tempat kedua pengantin itu menerima ucapan selamat. Bapak Ria keluar. Pria yang tidak pernah melepas topi haji-nya itu menyapa dengan ramah. "Mari Nak...mari masuk." Sebelum duduk, Liwa sudah bertanya lagi. "Ria ada?" "Oh, tadi dia keluar." Habislah aku! Tubuhnya mulai berkeringat. Udara dingin setelah hujan tidak seharusnya membuat orang sehat berkeringat. Siapa yang bisa merasa sehat melihat gadis pujaannya menerima ucapan selamat sebagai pengantin orang lain?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

445

Rencana melarikan diri dari pintu belakang itu sekarang sudah bukan pilihan lagi. Apa kata Ria, dan apa kata keluarganya kalau sampai dia memaksa diri melakukan rencana penyeamatan itu? Tidak ada alasan yang bisa diajukan untuk membuat orang tua Ria dan saudara-saudaranya memahami keadaannya. "Tidak pergi ke pernikahan temannya?" Pertanyaan itu muncul lagi. Dan mungkin tetap akan begitu kalau dia tidak segera melakukan apa yang membuat pertanyaan itu tidak lagi diulangi. Sialnya, satu-satunya cara ialah dengan benar-benar pergi memberikan ucapan selamat. Bagaimana memberikan ucapan selamat pada orang yang seharusnya bersamasama dengannya menerima ucapan selamat? "Sebentar lagi saya akan ke sana," janji Liwa. Tuhan, bantu aku. Segala macam doa segera meluncur dari hatinya. Jika kekuatan hati itu ada, semoga Tuhan meminjamkannya saat ini. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia mampu melakukan hal itu. Liwa meningalkan rumah Ria, meninggalkan saudara-saudara Ria yang masih duduk di muka pintu gerbang, berkumpul di sana sambil terus saling berbisik. Liwa nyaris mengurungkan maksudnya untuk memberikan ucapan selamat, kalau saja bapak Salwa tidak segera mendekapnya dan menyeretnya masuk ke tengah area suci yang baru saja dijadikan sebagai tempat pernikahan, karena kedua pengantin itu ternyata sudah
Johan M.

446

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

tidak ada lagi di tempat mereka menerima ucapan selamat. "Ayo, makan dulu," ajak pria yang sekarang sudah menjadi mantan calon mertuanya. "Terima kasih," kata Liwa. "Saya masih kenyang." Siapa yang bisa makan kalau menghirup udara saja terasa amat sulit? "Ayo," bapak Salwa memaksa. Liwa tidak mau dijadikan sebagai perhatian, di sini, dan saat ini. Bahkan jika bisa, lebih baik keberadaannya tidak disadari oleh orang-orang yang mungkin mengerti tentang hubungan yang pernah ia jalin dengan si pengantin wanita. Bagaimana kalau seandainya banyak di antara mereka yang kini memandang ke tempat pernikahan, memahami bahwa tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, yang sayangnya telah terbukti benar untuk menjelaskan kedekatannya dengan Salwa. Liwa membiarkan pria yang diam-diam sudah mulai dianggapnya sebagai bapaknya itu, meninggalkannya di dekat meja panjang, tempat makanan disajikan. Liwa menyesal karena telah memilih rute perjalanan pulang yang salah. Sebagai orang yang paling dikecewakan oleh acara pernikahan itu, dia ternyata masih harus dibiarkan berdiri sendirian mengambil piring, menyendok nasi, lalu menunggu menu lainnya didatangkan dari dapur, karena selain nasi, semua yang sudah pernah tersedia dalam mangkuk dan piring-piring besar di atas meja itu ternyata sudah ludes. Teriakan-teriakan bapak Salwa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

447

yang meminta agar menu pelengkap nasi segera disiapkan untuk menjamu Liwa, malah membuatnya merasa semakin bertambah tidak nyaman. Sayangnya, cara menyingkir sudah tidak ada lagi. Liwa lalu berjalan kembali ke deretan kursi yang tadi ditinggalkannya. Dia mencoba menyendok nasi dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Tetapi melakukannya ternyata tidak semudah sebelumnya. Nasi di atas sendok itu ditatapnya sangat lama. Pikirannya, mulutnya, dan tangannya, sepertinya tidak lagi berada di bawah satu komando. Dia ingin segera menelan makanan itu, tetapi tidak bisa. Akhirnya dia memaksa diri melakukannya. Rasanya seperti menerima hukuman gantung. Kalau tidak berpikir bahwa makanan yang sudah diambilnya itu akan sia-sia kalau tidak dihabiskan, apalagi kalau tidak dimakan, dia mungkin tidak akan mencoba menggigit sate daging sapi yang sudah jelas lebih susah dikunyah ketimbang setengah sendok nasi yang mendahuluinya. "Liwa!" Panggilan itu terdengar masih sama sempurna dengan sebelumnya. Liwa mengangkat wajahnya. Dia segera meletakkan piring yang hanya berkurang setengah sendok nasi dan satu gigitan sate panggang. "Selamat," hanya itu yang bisa ia ucapkan pada Salwa dan Wawan. Ucapan itu bahkan terdengar terlalu ragu-ragu bagi telinganya sendiri.
Johan M.

448

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Wawan mengangguk, nampak bangga dengan apa yang sudah berhasil ia lakukan. Sedangkan Salwa, dia tiba-tiba memegang bahu Wawan, sesuatu yang sudah lama dirindukan Liwa untuk bisa dilakukan oleh Salwa kepadanya. "Ini..." kata Salwa, sama ragu-ragunya dengan Liwa. "Ini...suamiku." *** Salwa meringkuk di sisi ranjang pengantin yang diatur merapat dengan dinding. Dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tubuhnya semakin dirapatkan ke dinding begitu mendengar pintu kamar pengantin ditutup lagi setelah dibuka beberapa detik sebelumnya. Beban tubuh tambahan di ranjang itu dapat ia rasakan tanpa harus melihat ke belakang untuk memastikannya. Suara deritan besi ranjang yang terpasang longgar, menambah kepanikannya. "Kamu sekarang sudah menjadi milikku," kata Wawan. "Kemarilah, layani suamimu kalau kamu tidak mau masuk ke neraka." Salwa menggigil. Dia mempererat dekapan pada bantal guling yang sudah dipeluknya sejak ia berbaring di atas ranjang setelah lebih dulu diminta masuk oleh Wawan yang dengan sangat kasar telah merenggutnya dari kerumunan keluarganya. Bantal itu masih berusaha dipertahankan ketika Wawan mencoba merebutnya. Untuk sesaat, mereka beradu kekuatan, menjadikan bantal itu sebagai rebutan. "Kamu menangis?" tanya Wawan. Dia melihat resapan air mata seluas wajah di bantal yang berhasil direbutnya. "Apa yang kamu tangisi sekarang? Kamu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

449

sudah bukan lagi gadis yang bisa dicintai oleh siapa pun. Kamu milikku. Paham? Kamu istriku. Kita sudah menikah hari ini, dan jangan pernah lagi ragu-ragu menyebutku sebagai suamimu seperti yang kamu lakukan tadi di hadapan teman SMA-mu itu. Aku memang suamimu. Kau harus akui itu di depan siapa pun. Karena aku juga akan mengakuimu sebagai istriku di depan siapa pun. Ayo, berbaliklah, mari kita mulai malam pengantin kita." Salwa menghapus air matanya. Melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Dia tidak bisa berhenti menangis. Dan tangisnya kini sudah tidak lagi bisa diredam. Ada suara yang terdengar akibat kegagalan menahan isakannya. "Kita akan melakukannya pelan-pelan. Tidak akan sampai menyakitimu." Salwa memaksa dirinya berbicara. "Maaf, Kak Wan. Saya sedang haid." "Apa?" "Kak Wan harus menunggu sampai saya bersih." Wawan mendaratkan tangannya pada paha kencang yang dari dulu diidam-idamkannya. Paha itu bergerak, memberi isyarat belum adanya penerimaan dan kerelaan. "Sekarang aku sudah menjadi suamimu. Aku tidak hanya boleh melihat, tetapi juga boleh memegang, atau memperlakukan bagian mana pun dari tubuhmu sesuai dengan kehendakku." "Saya tahu, Kak," kata Salwa. Dia semakin meringkuk berusaha melindungi dirinya dari apa pun yang direncanakan oleh Wawan untuk dilakukan sebagai
Johan M.

450

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

permulaan dari haknya sebagai suami. "Tetapi saya sedang datang bulan. Ini keadaan yang sangat membuat saya tidak nyaman." Pandangan Wawan berakhir pada bentuk pantat yang semakin terlihat sempurna bulatnya karena usaha Salwa untuk sedikit menekuk lututnya. Jari-jari tangan yang baru saja mulai melakukan remasan itu tersingkir cepat oleh tepisan yang amat keras. Salwa akhirnya bangkit. Dia mengambil bantal segi empat yang tadi digunakannya untuk menyangga kepalanya. "Jangan!" "Saya suamimu!" Salwa menggeleng. "Seharusnya bukan." Jawaban itu disambut dengan sebuah tamparan keras di pipi kirinya. "Ulangi lagi!" Salwa menangis sesenggukan. Gerakan dagunya yang sedikit terangkat beberapa kali, diikuti oleh gerakan ke samping kiri dan kanan untuk mengisyaratkan gelengan. Dia kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal yang dipeluknya. Dia masih bertahan tetap duduk sampai Wawan menyerah dan berbaring untuk tidur. Di saat malam mulai lebih dekat dengan kesunyian, Salwa semakin menumpahkan penyesalan atas nasipnya dengan menangis, menangis, dan terus menangis. *** Surat undangan resepsi perkawinan itu, ditumpuk di atas meja, menjadi rebutan adik-adik Salwa yang ingin mendapatkan kesempatan menempelkan kertas putih
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

451

kecil berisi nama setiap undangan yang terdaftar pada dua lembar kertas bergaris. Salwa mengambil sebuah lembaran yang berisi selusin petak-petak kertas putih yang sudah diberi perekat, untuk diisi dengan nama teman-teman sekolahnya yang akan diundang dalam pestanya. Sebuah nama, yang sudah lama menghiasi angananganya, dipilih sebagai nama pertama yang akan ditulisnya. Liwaul Hamdi. Nama itu yang sebenarnya dia inginkan tercetak bersama namanya di surat undangan. Wawan melihat ke arahnya tepat setelah nama itu baru saja selesai ia tulis. Entah karena bisa membaca dari jarah yang begitu jauh, ataukah karena dia bisa menebak dengan tepat apa yang membuat kemuraman di wajah Salwa, Wawan tiba-tiba saja berkata, "Undanglah dia." Cara bicaranya sangat bersahabat, tenang, dan seperti biasamenguasai. "Aku juga mengharapkan kehadirannya." Salwa menganggap ucapan itu sebagai sindiran. Ia kemudian memilih diam. Kertas putih yang sudah ia tulis itu dilepaskankan dari kertas kuning berlapis plastik, lalu ditempelkan pada salah satu surat undangan yang diambilnya secara acak. Dia menempelkan nama Liwa dengan hati-hati. Tangisnya nyaris meledak lagi sebelum dia selesai merekatkan semua bagian kertas kecil itu. Dia merasa lebih senang tidak mengerjakannya seandainya hal itu bukanlah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
Johan M.

452

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Telepon rumah berdering. Suaranya tidak senyaring biasanya, mungkin karena keriuhan orang-orang yang keluar masuk rumah untuk melakukan banyak persiapan lain menjelang pelaksanaan pesta pernikahan yang akan diadakan di halaman rumah tempat pernikahan sehari sebelumnya dilangsungkan. Ada banyak orang di belakang, di ruangan tempat telepon itu diletakkan, yang bisa mengangkatnya. Jadi, Salwa tidak terlalu menghiraukannya. Kalaupun tidak ada orang lain, dia sekarang sudah tidak terlalu bersemangat lagi menerima telepon. "Kak," kata Ratna. "Ada telepon dari teman Kakak." Salwa sedang berusaha bangkit ketika Wawan menahannya. "Biar saya yang terima telepon itu." Wawan kembali tidak lama kemudian. "Mariana ingin tahu kabarmu," katanya. Salwa bangkit lagi tetapi segera ditahan oleh Wawan. "Dia memintamu menelepon kembali." "Kenapa Kak Wan tidak memanggil saya tadi, biar saya terima teleponnya. Dia teman dekat saya." "Saya sudah mengabarkan pernikahan kita dan saya bilang kamu sibuk." "Cuma menempel surat undangan bukan sibuk namanya." "Bagi saya, ini menyibukkan. Jangan membantah, saya suamimu. Oh, ya. Mulai sekarang, kita sudahi saling bercakap-cakap dengan kata saya." "Maksudnya?" "Kita akan saling memanggil dengan dinda dan kanda."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

453

"Tapi..." "Aneh? Hanya hal-hal aneh yang bisa membuat hidup biasa menjadi sedikit lebih sempurna." "Berapa orang teman yang Dinda undang." "Saya" "Dinda," Wawan mengingatkan. Salwa menatap kosong ke arah meja. Dinda? Apakah dia sudah merasa menjadi raja? Bagaimana dia bisa melakukannya padahal tidak pernah satu kali pun memastikan apakah aku bersedia menjadi ratunya atau tidak. Tetapi keberatan itu segera dibuang jauh. Sehingga yang tersisa tinggal kesanggupan setengah hati untuk melakukan sesuatu yang sudah menjadi keharusan mengingat statusnya sebagai istri dari pria yang memintanya. "Din...dinda...cuma mengundang lima orang teman." "Lima orang? Kita bisa mengundang seratus orang!" "Tapi hanya Lima orang teman yang masih bisa sa...dinda hubungi." Setelah meyakinkan dirinya bahwa dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan Dinda juga tidak mau ada banyak teman dinda yang menghadiri pernikahan kita." *** Jika hari Kamis yang lalu dia melakukannya untuk meninggalkan area yang membuat langit kehidupannya seperti runtuh, kini dia sengaja mendatangi area itu, dengan perasaan yang lebih siap. Menghadiri undangan pernikahan merupakan keharusan baginya sebagai seorang muslim. Dan kali ini, alasan itu telah ditambah
Johan M.

454

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sendiri. Dia ingin menunjukkan pada pria yang telah mengambil kekasihnya itu bahwa kehidupannya masih bisa diteruskan. Tentang siapa dan bagaimana orang bisa bahagia, Tuhan yang lebih tahu caranya. Liwa terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa dia akan bisa melewati hari ini sebiasa melewati hari-hari yang telah dilaluinya. Setelah melihat orang-orang di tempat tinggal Salwa ternyata masih melakukan persiapan, dia kemudian berpikir cepat, tidak memilih untuk kembali pulang, melainkan memutuskan singgah ke rumah Ria. Dia beruntung karena kali ini gadis itu ada dan mengaku juga mendapatkan undangan. Ria Agustina mengusulkan agar mereka menunggu Selvia supaya bisa pergi bersama-sama. Liwa menyetujui usulan itu. Sambil menunggu Ria yang pergi menjemput Selvia, Liwa mengingat lagi peristiwa Kamis sore itu, yang entah bagaimana, dan kapan akan bisa ia lupakan. "Dia akan datang sebentar lagi," kata Ria. "Oke. Kita akan menunggunya," kata Liwa. Dia mengikuti setiap gerak-gerik teman kuliahnya itu. Ria masih memiliki kecantikan yang dulu pernah dikaguminya disaat mereka berdua masih remaja. Setelah semua rongga hatinya diisi oleh kehadiran Salwa, dan baru-baru ini sudah menjadi lebih sempurna, Liwa meragukan akan ada kemungkinan untuk kembali mengosongkannya, lalu mengisinya dengan sosok lain, entah dari seseorang yang pernah memikatnya hatinya di masa yang lalu, atau di masa yang akan datang. "Apakah itu kadonya?"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

455

Ria meletakkan kotak itu di atas meja. "Bantu aku membungkusnya. Bisa kan?" "Bisa," kata Liwa. Dia lalu membungkus kotak itu dengan kertas kado yang sudah disiapkan oleh Ria. Sedikit aktivitas itu ternyata manjur untuk mengalihkan pikirannya yang sesaat tadi sudah mulai tegang lagi setelah lamunannya kembali berakhir pada sosok Salwa. "Mau kubuatkan minuman?" "Tidak usah. Nanti saja." Dalam kebisuan dan kebuntuan percakapan di antara mereka, Liwa mulai memikirkan kemungkinan untuk mengisinya dengan cerita tentang hubungannya dengan Salwa. Dia hampir saja melakukannya jika Selvia tidak cepat datang. Selvia sekarang terlihat sudah semakin kurus saja. Wajahnya nampak terlalu muram, seperti seluruh beban hidup keluarganya menumpuk pada satu orang saja dan kebetulan dialah yang harus menanggungnya. "Hai, Liwa." Liwa menyambut sapaan itu. Sayangnya, pertemuan mereka tidak disertai dengan lelucon yang biasa dimunculkan untuk mengawali percakapan dua sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Liwa menyesal karena tidak bisa bersikap lebih riang lagi seperti harapannya. Detik-detik waktu yang akan mengantarnya menuju pesta pernikahan kekasihnya, membuat Liwa terpaksa lebih bisa terlihat sedang berduka. ***
Johan M.

456

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Mereka berdua duduk bersanding. Salwa mengedarkan pandangannya, lalu tatapannya tidak lagi bergerak setelah menemukan sosok yang paling dicarinya. Liwa duduk di deretan ketiga, nyaris tepat di hadapannya. Tadinya dia mengira Liwa tidak akan hadir, dan kalaupun hadir, dia akan bersembunyi di deretan tempat duduk paling belakang. Apa yang membuatnya memilih duduk begitu dekat dengan tempat pengantin disandingkan? Apakah kau mau merebutku? batin Salwa. Ayo, lakukan. Selamatkan aku, sayang. Aku sudah tidak tahan untuk tinggal lebih lama bersama suami yang tidak kuinginkan, yang nyata-nyata telah menipu untuk bisa mendapatkanku. Ketika tiba saat menerima ucapan selamat, Salwa kembali memaksa dirinya tersenyum pada setiap orang yang menyalaminya. Hanya tinggal hari ini, batinnya. Tidak ada lagi ucapan selamat berikutnya. Termasuk untuk ucapan selamat sekitar satu tahun yang akan datang, yang mungkin sudah terbayang di benak orang tua dan keluarga mereka. Arus orang-orang yang memberi ucapan selamat membuat Salwa kehilangan pengawasan terhadap posisi Liwa. Itulah sebabnya, begitu melihat Ria, dia langsung menarik tetangganya itu, bersikap seolah memeluknya, tetapi sebenarnya membisikinya dengan pertanyaan. "Di mana Liwa?" Salwa bersedih karena hanya mendapatkan jawaban berupa gelengan dan seraut wajah kebingungan. ***
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

457

Lagu itu, diputar jelas tidak untuk mendukungnya, dan malah mungkin sudah dipesan untuk melumpuhkan syarafnya. Musiknya, dan liriknya, menjadi mesin pengaduk perasaan yang sempurna. Selamat Tinggal dari Broery Marantika, diputar berulang kali, dan baru berhenti setelah kedua mempelai duduk bersanding. Izinkan aku pergi... apalagi yang kau tangisi... Liwa tidak mau membiarkan dirinya masih larut merenungkan kemunculan lagu itu dalam pesta pernikahan kekasihnya. Dan itulah sebabnya, setelah orang-orang membentuk barisan rapat, menunggu giliran memberikan ucapan selamat, Liwa segera mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan Ria yang terpisah darinya setelah gadis itu tadi menolak diajak duduk di bangku deretan depan. Liwa terus memandang ke belakang, berusaha menemukan temanteman lainnya yang mungkin datang menghadiri undangan. Usaha itu berhasil. Ada beberapa wajah yang dikenalnya terlihat duduk beberapa deret di belakangnya. Liwa menghampiri mereka. Pertemuan itu segera menjadi reuni singkat setelah teman-teman yang dihampirinya ikut dalam barisan orang-orang yang akan memebrikan ucapan selamat. Kembali sendirian tidak membuat Liwa buru-buru ikut bergabung dalam barisan yang masih membuat orang-orang berdesakan. Aku pernah melakukannya kemarin, batinnya. Mengapa harus buru-buru sekarang? Setelah sore itu
Johan M.

458

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mungkin menjadi orang yang terakhir melakukannya, mengapa hari ini juga tidak? Dia sedang tertarik melihat Ria yang dipeluk agak terlalu lama oleh Salwa, ketika seseorang di dekatnya mengatakan, "Sabar, ya, Kak. Pasti ada wanita lain yang lebih baik untuk Kakak." Liwa menoleh. Dia tidak menyangka akan dihampiri oleh Dewi. Sebagai pembawa acara tunggal, Liwa mengira, Dewi belum akan bisa duduk santai sampai kedua mempelai meninggalkan tempat persandingan. Entah bagaimana Dewi sepertinya mengerti tentang hubungan yang pernah dijalinnya dengan si pengantin wanita. Beberapa pertanyaan saling menyusul. Apakah adik kelasku ini sudah pernah melihat kami berjalan bersama pada salah satu kesempatan waktu pergi atau pulang dari sekolah? Sepertinya hal itu saja tidak cukup. Dia pasti sudah sering melihat sehingga cukup berani menarik kesimpulan. Kalau hanya itu penyebabnya, berarti masih ada cara untuk menyelamatkan diri dari tebakan yang sangat mengena. "Hei, bagaimana kabarmu?" tanya Liwa. "Masih agak mengantuk," kata Dewi. "Tadi malam, bahkan sampai tadi pagi, anak-anak pramuka berkumpul di sini, mereka ikut menyiapkan semuanya." Itulah penjelasannya! Anak-anak pramuka. Dewi termasuk anggota pramuka berprestasi. Dan suami Salwa, bukan kebetulan menjadi salah seorang pembinanya. Liwa meremas rambutnya. Dia tidak sanggup membayangkan dirinya semalaman dijadikan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

459

sebagai topik gosip di antara anak-anak pramuka yang membantu pengaturan tempat pesta. "Sudah makan?" tanya Liwa. "Belum," jawab Dewi. "Kakak sudah?" "Sudah," kata Liwa. "Ayo, makan, sana." Dibandingkan dengan dua hari yang lalu, sekarang ada lebih banyak makanan yang berhasil ia santap. Baginya, itu sebuah pertanda bahwa kekecewaannya akan dapat dipulihkan. Hanya beberapa detik tadi, sebelum meninggalkan rumah Ria, dia sempat merasa agak sesak dan nyaris menangis. Setelah itu, kehidupannya kembali terasa merangkak menuju perbaikan perasaan. Kini, dengan Dewi ada di dekatnya, dia menjadi bertambah percaya diri. Dia mencoba memberikan kesan bahwa dirinya tidak kalah bahagia dengan pria yang mengambil kekasihnya. Khusus bagi suami Salwa, kehadiran Dewi di dekatnya, ia harapkan bisa dimaknai sebagai penemuan pengganti dari sesuatu yang sudah direnggut darinya. "Saya mau mengambil makanan dulu. Kakak tunggu di sini, ya." Liwa menerima tas tangan yang dititip oleh Dewi. Dia mengikuti gadis itu dengan pandangan matanya. Sejak dulu, adik kelasnya itu, selalu bisa tampil sangat menarik dalam busana muslim berwarna hitam. Mungkin karena wajahnya seterang bulan. Sayangnya, cinta tidak hanya menuntut syarat kecantikan. Dewi membawa makanannya dan menyantapnya di samping Liwa. Pertanyan-pertanyaan Liwa tentang
Johan M.

460

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

situasi terkini sekolah mereka, dijawab oleh Dewi setiap kali selesai mengunyah dan menelan makanannya. Percakapan mereka terganggu oleh kecelakaan kecil di dekat tempat kedua pengantin tadi bersanding dan menerima ucapan selamat. Batang pisang yang dihiasi janur kuning berbentuk lengkungan-lengkungan berbagai corak, dan diselipi buah beraneka warna, yang tadi nampak bagus sebagai hiasan pesta, kini tergolek jatuh, setelah nyaris menimpa anak kecil yang memanjatnya. Liwa dan Dewi bertatapan. "Bagi kami..." kata Dewi. Gadis itu menahan sisa penjelasannya. Seperti sengaja melakukannya untuk menuggu kata-kata itu terserap di benak satu-satunya pendengarnya. Liwa tidak memerlukan penjelasan tambahan tentang siapa yang dimaksud oleh Dewi dengan kata kami. Liwa tahu, Dewi lahir dari orang tua separuh Jawa dan separuh Lombok. Saat ini, jelas maksudnya adalah kami sebagai orang Jawa. Jarang ada bocah-bocah dari perkawinan seperti itu yang mau mengakui dirinya sebagai orang Lombok. Dewi akhirnya mengatakan apa yang sudah diduga oleh Liwa akan diucapkan oleh gadis di hadapannya. "Itu pertanda buruk!" *** "Saya masih haid!" tegas Salwa. Wawan merasa sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Dua minggu berlalu. Jangankan bercinta, menyentuhnya saja tidak bisa, padahal bagian yang dia coba gerayangi itu masih dibalut pakaian lengkap. Tentu
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

461

saja seorang gadis yang jarang bergaul dengan laki-laki menjadi amat sensitif dan terlalu takut pada sentuhan sekecil apa pun. Bahkan mungkin ketakutan itu sudah muncul hanya dengan menyadari kehadiran laki-laki di dekatnya. Tetapi suami bukan laki-laki biasa. Apa yang membuat Salwa memperlakukannya seperti menatap monster asing yang amat menakutkan? Kalau saja Herman masih hidup, akan ada tempat untuk berbagi derita ini, sambil meminta dia memberikan solusinya. Kalau memang Salwa belum bisa menerima ketelanjangan mereka, dia bisa memulainya pelan-pelan, mungkin dengan hanya pelukan ringan untuk satu malam, lalu ciuman singkat di malam berikutkan, disusul oleh perpaduan keduanya di malam yang lain, disusul lagi oleh waktu yang lebih lama untuk memadukan keduanya, sampai kemudian tidak ada lagi yang menyadari siapa melakukan apa, kecuali bahwa keduanya sedang saling membahagiakan. Tetapi bagaimana bisa menumbuhkan harapan akan datang waktu untuk bercinta, sementara memulai sebuah sentuhan saja tidak diperkenankan. Apa lagi yang bisa dilakukan setelah rayuan ternyata tidak berguna? Atau pancingan-pancingan kecil juga tidak mempan. Dia sudah bosan harus bersandiwara mengganti pakaian ketika mereka sedang berduaan di dalam kamar. Wawan merasa tidak mengerti bagaimana wanita yang menjadi istrinya itu segera membalikkan badan lalu seperti puas dengan dunianya sendiri dan mengabaikan
Johan M.

462

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

pemandangan sosok suaminya yang hanya mengenakan celana dalam. "Kanda memang laki-laki, tetapi bukan berarti tidak tahu berapa hari paling lama seorang wanita datang bulan." "Kebetulan lagi banyak-banyaknya, Kanda." "Mari sini, Kanda lihat!" Wawan menarik wajahnya. Untuk pertama kalinya dia menyadari bahwa kemarahan Salwa bisa meledak kalau dia lebih memaksa. "Gila! Mau dilihat? Apa gunanya dinda dinikahi kalau Kanda tidak percaya?" *** Ratna mengetuk pintu berkali-kali. "Kak Salwa, buka pintunya." Dia tidak berani melakukannya kalau Wawan sedang ada di rumah. Sekarang, kakak iparnya itu sedang pergi bekerja. "Pintunya terkunci," kata Salwa. "Ya, buka kuncinya." "Kuncinya dibawa Kak Wan." "Apa?" Ratna benar-benar terkejut. Pantas saja kakaknya jarang keluar ke dapur belakangan ini, rupanya dia dikunci. Dia baru tahu, kakak iparnya tidak cuma minta diurus laksana raja, tetapi juga seorang pencemburu yang sangat arah sehingga istrinya tidak dizinkan keluar dari kamar tidur. "Kak Salwa sudahsarapan?" Terdengar jawaban lirih dari dalam,"Belum." Ratna mengumpat dengan suara yang cukup keras untuk didengar oleh kakaknya. Setelah mendengar suara tangis dari dalam, dia menyesal melakukannya. Hanya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

463

karena menjaga perasaan kakaknya yang belakangn ini sering terdengar menangis itu, Ratna kemudian memutuskan tidak banyak melakukan protes atas benyak sikap kakak iparnya melebihi statusnya sebagai menantu di rumah mereka. "Jangan menangis, Kak. Sebentar saya carikan kunci duplikatnya." *** Salwa menghapus air matanya dengan kedua punggung ibu jarinya. Dia tidak bisa melakukannya hanya dengan salah satunya, karena kedua tangannya terikat tali rafia. Sudah lebih dua minggu, kedua tangan dan kakinya selalu diikat oleh Wawan, sebelum suaminya itu pergi ke tempat kerjanya. Salwa tidak bisa berharap akan ada yang tahu tentang penderitaannya, yang terpaksa harus dijalani dengan berbaring di tempat tidur seharian tanpa makanan dan minuman di balik pintu yang terkunci. Sampai kapan penderitaan ini dapat kutanggung? Bagaimana kalau aku tidak berada di rumahku? Bagaimana kalau kami berdua tinggal di tempat lain? Siksaan apa yang akan kuterima? Aku tahu, dia mencnitaiku? Dan mungkin dia tega melakukan semua ini karena terlalu sayang padaku. Tetapi bagaimana aku bisa mencoba mencintainya, jika dia terus-menerus menunjukkan sikap-sikap yang tidak kusukai? Pertanyaan-pertanyaan itu saling menyusul tanpa jawaban. Angan-angan yang berusaha dihidupkannya
Johan M.

464

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

juga muncul dan lenyap dengan cepat, mengikuti keberanian dan kepasrahan yang saling menggantikan. Dia tidak berusaha menoleh ketika mendengar kunci pintu kamar mereka diputar. "Kanda membawa makanan. Sekali-sekali kita perlu menikmati makanan yang dibeli. Kanda yakin, dinda pasti suka." Wawan membuka kotak nasi itu. "Dinda belum mau makan." "Berhentilah membuat Kanda kesal. Kanda tadi sengaja tidak makan di kantor supaya bisa makan berdua dengan Dinda." "Dinda tidak bisa makan enak kalau orang tua dan saudara-saudara dinda juga tidak ikut makan." "Tapi kanda cuma membeli dua kotak." "Makanya, kalau mau makan enak untuk kita berdua, ajak dinda tinggal di tempat lain, tetapi kalau masih tinggal di sini, sebaiknya Kanda membeli makanan yang mencukupi keperluan keluarga kita di rumah ini." "Mau makan, atau tidak?" "Tidak!" "Tali ini tidak akan kanda buka kalau Dinda tidak mau makan." "Terserah. Kanda yang memanggung dosa Dinda karena tidak bisa salat." "Apa? Waw, jadi Dinda sudah salat sekarang. Berarti kita bisa..." "Tidak." "Berteriaklah..." Wawan menyingkirkan kotak nasi yang baru akan dia buka. Nafsu makannya kini sudah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

465

terganti oleh nafsu lain. Tanpa membuka pakaiannya, dia langsung menyergap. Dia memuaskan diri dengan menjamah bagian yang tidak terlindung. Dia mencium wajah, leher, bahu, dan baru berhenti setelah dia menemukan dirinya tiba-tiba saja sudah mendarat di lantai. Dia terjungkal tanpa persiapan. Kewaspadaannya telah hilang sehingga Salwa dengan mudah mendorongnya sambil menendangkan kedua kaki sekaligus ke bagian tubuh suaminya yang paling menuntut dipenuhi hasratnya. *** "Katakan terus terang," kata Wawan. "Apakah penyebabnya karena kau masih merindukannya?" Kemarahannya membuatnya lupa dengan urusan peraturan kanda dan dinda. Tadinya pertanyaan itu dia kira muncul dari mimpinya, tapi ternyata tidak. Salwa membiarkan kesadarannya pulih lebih baik. Entah sejak kapan dia terlelap. Malam sangat dingin. Kesuanyian di luar sana menandakan hari mungkin telah melewati tengah malam. "Saya tidak mengerti," katanya. Dia ikut menggunakan kesempatan keluar dari bahasa para raja yang menjemukan itu, karena kenyataannya mereka memang bukan sepasang raja dan permaisurinya, tidak dalam kenyataan, juga tidak dalam impian. "Sampai kapan kita akan menjadi suami-istri yang tidak bahagia seperti ini?" "Kak" "Kanda!"
Johan M.

466

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Salwa mengabaikan peringatan itu. "Kalau Kak Wan tidak bahagia, Kak Wan bisa menyerahkan saya kembali pada orang tua saya." "Tidak akan." "Terserah. Berarti hidup kita tetap akan seperti ini." "Tidak adakah...sedikit saja alasan dalam dirimu untuk menganggap pernikahan kita ini sebagai cara untuk memulai hidup baru, yang lebih baik dari sebelumnya." "Entahlah!" "Saya mungkin bukan suami yang baik, tetapi saya adalah suamimu, yang harus kamu terima, dalam suka maupun duka." Salwa menepiskan tangan yang mencoba melingkari tubuhnya. "Salwa..." "Kalau itu yang Kak Wan inginkan,menikah saja dengan orang lain." Setelah kesunyian yang tidak lama, Salwa mendengar derit besi ranjang yang saling beradu pada kaitannya. Satu beban tubuh baru saja dilepaskan. Suara pintu yang terbuka dan menutup membuat Salwa memberanikan diri melihat bagian lain kamar mereka. Dia cepat-cepat kembali memunggungi pintu begitu mendengar daun pintu ditarik. Adasuara tumbukan lembut benda-benda yang diletakkan di atas meja, lalu diikuti suara sendok yang sedang mengaduk cairan dalam gelas kaca. "Bangun," kata Wawan. "kita harus berbicara." "Sekarang sudah larut malam. Tidur saja."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

467

"Saya tidak mau menunggu lagi." Salwa lalu duduk, menyandarkan tubuhnya ke dinding. Bantal yang tadi digunakan menyangga kepalanya ditarik lalu dipertahankan dalam pelukan kedua tangannya untuk melindungi dadanya dari bahaya jamahan mendadak yang mulai lebih berani dilakukan oleh suaminya. "Ada apa?" "Kamu serius mengizinkan saya menikah lagi?" Salwa mengangguk. "Asal saya diceraikan." "Tidak akan." "Mengapa tidak?" "Kamu harus tetap menjadi milik saya. Saya tidak mau menceraikanmu sehingga kamu punya kesempatan untuk kembali menemuinya." "Saya tidak mengerti maksud Kakak. Saya menginginkan perceraian kita karena saya memang menginginkannya. Tidak ada alasan karena orang lain. Ini perkawinan kita. Masalah kita. Mengapa menyeretnyeret orang lain?" "Kamu mulai pintar berbicara. Saya tidak akan menceraikanmu. Saya lebih senang melihatmu mati daripada menjadi milik orang lain." Sambil mengangkat gelas yang berisi cairan berbusa berwarna hijau, Wawan mengulangi pertanyaannya. "Kamu mau meneruskan pernikahan kita, atau tidak?" Salwa menggeleng. "Tidak Kak. Kasihan Kak Wan, kasihan saya." "Kalau begitu, kamu harus minum ini," Wawan maju, mendekap kepala Salwa lalu berusaha
Johan M.

468

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mendekatkan gelas itu ke mulut yang belum pernah satu kali pun diciumnya. Salwa berontak. Dia melakukan sembarang gerakan yang akhirnya tidak hanya membebaskannya dari sergapan, tetapi sekaligus membuat semua isi gelas itu tumpah membasahi dan menodai tempat tidur mereka. Pintu kamar bukan pilihannya. Membuat keributan di ruangan lain di luar kamar mereka akan merupakan kesalahan besar karena sudah menyangkut mengganggu ketenangan orang lain. Salwa berlari ke arah lemari. Sambil melirik sebentar ke arah meja kecil di dekat pintu, Salwa berjuang agar bisa cepat membuka pintu lemari pakaian yang khusus untuk menyimpan pakaian yang tidak dilipat. Salwa langsung masuk ke dalamnya untuk melindungi diri dari tamparan balasan suaminya. Buku-buku jarinya memar karena mempertahankan pintu lemari itu agar tetap menutup. Dalam kegelapan di tempat yang sempit itu, Salwa menangis dan bergidik ngeri. Wawan sungguh-sungguh ingin melihatnya mati. Botol di atas meja kecil itu menjelaskan cairan apa yang dipaksakan padanya untuk diminum. Salwa tidak yakin akan bisa mati karena meminumnya, tetapi pasti akibatnya akan sangat buruk bagi tubuhnya jika dia benar-benar meminum segelas sunlight cair, yang biasanya digunakan sebagai sabun pencuci alat-alat masak. *** Ratna mengaku sakit. Rencana itu disempurnakan dengan mengajak Sila ikut berpura-pura sakit. Mulamula Sila tidak setuju, apalagi setelah dia diminta
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

469

melibatkan Iqbal, pacarnya. Tetapi setelah mendapatkan penjelasan dari adiknya, mencerna strateginya, ia malah menjadi merasa sangat berdosa karena inisyatif itu tidak berasal dari dirinya, sebagai saudara yang lebih tua, dan tepat ada di antara Salwa dan Ratna. Keduanya saling memberi isyarat setelah pengintaian dari jendela itu memberi mereka kepastian bahwa orang yang paling tidak boleh tahu tentang rencana mereka telah benar-benar pergi. Rencana itu, menunggu dilaksanakan sampai sepuluh menit setelah kepergian Wawan. "Lakukan tugasmu," kata Sila. "Beres. Cepat, telepon dia." Ketika Sila menelepon Iqbal, Ratna membuka pintu kamar kakaknya dengan kunci cadangan. Dia sudah menduga pemandangan seperti apa yang akan ditemukannya, tetapi kepolosan masa kanak-kanaknya, membuatnya tidak sanggup melihat kakaknya duduk seperti pesakitan dengan kedua tangan dan kaki terikat. "Jangan dilepaskan," pinta Salwa. "Dia pasti akan tahu kalau ikatannya sudah pernah dibuka." Pembina pramuka, bukan bocah pramuka biasa. Dia punya pengetahuan tentang simpul dan sepertinya menyukai simpul tertentu untuk tujuan tertentu. "Tenang Kak. Saya dan Sila sudah punya rencana." "Benar," kata Sila. Dia sudah selesai menghubungi Iqbal, dan bergegas ke kamar kakaknya. Dia nyaris pingsan melihat perlakuan buruk yang diterima oleh kakaknya di rumah mereka. "Ambil pisau, Na."
Johan M.

470

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Jangan!" "Kak, " kata Ratna. "Kami punya rencana. Kak Sila, saya mau mengambil pisaunya. Sementara itu, coba jelaskan rencana-rencana kita." "Tapi dari mana uangnya?" tanya Salwa, setelah mendengar rencana adik-adiknya. "Setelah menikah, kakak tidak pernah diizinkan memegang uang." "Jangan khawatirkan itu," kata Ratna. Dia muncul membawa pisau dapur. "Saya punya tabungan, cukup untuk tiket bus ke Yogyakarta, dan sedikit belanja di jalan." Salwa menghapus air matanya. Sambil terus berusaha menguasai diri, dia mengulurkan tangannya, memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya. *** Pertemuan sore itu, tidak berjalan seperti harapannya. Rapat yang ia rencanakan, berubah menjadi percakapan biasa antara empat orang teman satu tingkat di sekretariat kegiatan seminar budaya se-NTB. Liwa menarik lembaran kertas yang berisi informasi tentang jumlah peserta yang sudah mendaftarkan diri. Sangat menyedihkan. Hanya dua orang dari Kabupaten Lombok barat, sepuluh orang dari Kabupaten Lombok Tengah, dan jumlah yang sedikit lebih banyak dari Kabupaten Lombok Timur. Strategi kedua harus segera diterapkan. Peserta jangan ditunggu, tetapi dijemput. Kedekatannya dengan kakak-kakak tingkat yang sudah menjadi aktivis
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

471

senior, membuatnya memperoleh banyak kesempatan mencuri pengalaman mereka. "Liwa." Liwa mengangkat wajahnya dari kertas-kertas yang baru dipelajarinya. Dia bermaksud akan menoleh ke belakang untuk memberikan tanggapan atas panggilan Ria, ketika pandangannya yang sedang bergerak itu, menangkap sosok yang tidak pernah lagi bisa ia harapkan untuk dilihat, apalagi di kampusnya. Dia terlalu terkejut untuk memperlihatkan reaksi yang seharusnya. Di luar sana, hanya lima atau enam langkah dari sekretariat seminar, Salwa terlihat berdiri sambil tersenyum. Setelah memastikan bahwa pria yang bersama Salwa itu bukan suaminya, Liwa lalu bergerak cepat melewati teman-temannya. Dia keluar pintu sekretariat dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk. Perasaan bahagianya dengan cepat disusul oleh kegelisahan yang membuatnya bimbang menentukan garis batas antara cinta dan dosa. Dia merasa amat bahagia karena memiliki kesempatan untuk bisa kembali menemui gadis yang masih mengisi kehidupannya pada bagian yang belum dapat tergantikan. Tetapi status gadis itu sekarang sebagai istri orang lain, amat mengganggu ketenangannya. "Bagaimana kau bisa ke sini?" tanya Liwa. Karena status wanita di hadapannya, pertanyaan sederhana itu sekarang terdengar luar biasa. "Kami bertanya."
Johan M.

472

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Siapa dia?" "Pacar adikku." "Mari masuk, kita bicara di dalam." kata Liwa. Dia memberi isyarat pada laki-laki yang mengantar Salwa untuk mengikuti mereka masuk ke dalam gedung kampus. Setelah menjadi ketua HMPS, Liwa menjadikan kampus sebagai rumah kedua baginya. Kegiatankegiatan kemahasiswaan yang padat menuntutnya sering harus tinggal seharian di kampus. Tidak ada kegiatan yang mendapat prioritas kedua. Semua harus diselesaikan tepat pada waktunya, dan itulah sebabnya, Liwa tidak pernah memundurkan satu kegiatan pun dari jadwal yang sudah diusulkan pada rapat penentuan anggaran kegiatan mahasiswa. "Aku mendapat cerita, tempat termudah untuk menemuimu sekarang adalah di kampus." "Siapa yang mengatakannya?" tanya Liwa. "Banyak orang. Kau banyak dikenal rupanya. Aku senang dengan kemajuanmu setelah menjadi mahasiswa. Buku kumpulan puisi itu bagaimana? Sudah selesai?" "Sudah." "Aku masih ingat dengan janjimu." "Aku juga ingat," kata Liwa. "Ayo, kita duduk di situ." Setelah Salwa, pacar adiknya itu lalu menyusul duduk di dekat pintu. Liwa berkenalan dengannya. "Maaf," kata Liwa, bersikap seolah ruangan kuliah itu miliknya. "Cuma ini tempat yang kosong." "Ini saja sudah bagus," kata Iqbal.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

473

Ria ikut bergabung dengan mereka tidak lama kemudian. Salwa mengeluarkan album foto berukuran kecil. Tanpa menghiraukan dua orang lain yang duduk bersama mereka di ruangan itu, Salwa mulai berbicara, "Aku selalu membawanya, ke mana pun aku pergi. Di sini, ada banyak foto-fotomu. Sebagian besar diambil di hari pesta pernikahanku." Salwa tersenyum mendengar ucapannya sendiri. Liwa berharap hanya mereka berdua yang mengerti artinya. Tetapi pacar adiknya mungkin tidak bisa diharap akan sebodoh itu. Siapa laki-laki bukan keluarga, yang sengaja dikunjungi tanpa kehadiran suami, kalau bukan pria yang pernah menjadi bagian dari kisah indah di masa-masa yang telah berlalu? Dan Ria, dia sekarang dikenal dengan reputasi baru, sebagai penggosip lembut, yang tahu banyak tentang temanteman berserta kisah cinta mereka, tetapi tidak melibatkan diri di dalamnya. Hanya sebagai pendengar. Tetapi sebagai manusia, bukan tidat mungkin, dia akan tersandung oleh batas konteks yang pada akhirnya nanti membuatnya tidak lagi cuma mendengarkan. "Salwa mau ke mana sekarang?" tanya Ria. Liwa mengangguk setuju. Pertanyaan itu baru saja akan diajukannya, tetapi dia sengaja mengulur waktu. Dia merasa tidak berhak mencari tahu terlalu cepat, terutama pada saat separuh kesadarannya mulai bisa membaca keadaan. "Aku sudah memesan tiket bus untuk ke Yogya besok pagi."
Johan M.

474

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

*** Mertuanya, dua orang terakhir di dalam rumah itu yang diharapkan bisa memberikan jawaban dengan jujur, juga ternyata hanya menunjukkan gelengan sebagai penjelasan. Mereka semua bersekongkol! Itulah yang dengan cepat terpikir oleh Wawan. Lantas ke mana larinya Salwa? Mungkin di rumah salah seorang keluarganya. Dan jika tidak, Wawan bergidik ngeri memikirkan kemungkinan itu, di rumah sahabatsahabatnya. Meskipun menghadapi sahabat-sahabat Salwa akan jauh lebih mudah daripada menghadapi keluarga istrinya itu, Wawan tetap merasa peristiwa ini tidak nyaman. Selalu lebih baik jika berita ditinggalkan pergi oleh istrinya cukup menjadi rahasia seluruh keluarga. Beredarnya berita itu ke tangan satu atau dua orang teman, berarti sama dengan membiarkan burung keluar dari sangkarnya. Wawan menyadari bahwa dirinya belum lama menjadi menantu. Mendekati keluarga Salwa pada tahun pertama pernikahan mereka, pernah menjadi agenda utamanya. Tetapi kegelisahannya menghadapi perlawanan Salwa telah memaksanya menghadapi situasi-situasi yang tidak pernah terbayangkan, sehingga membuatnya mengabaikan banyak tugas lain yang seharusnya bisa dilakukan oleh seorang pria yang baru menjadi suami. Di tahun pertama pernikahan mereka, Wawan berharap bisa berhasil mendekati keluarga istrinya. Semakin banyak yang memihak kepadanya, semakin banyak yang akan membantunya untuk membuat Salwa
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

475

mulai menyadari keberuntungannya. Dan disaat-saat seperti ini, keluarga istrinya, dapat dimintai bantuan, untuk menyadarkan istrinya, sekaligus mengembalikannya. Mengenal lebih banyak keluarga Salwa, berarti menambah pasukan penjaga untuk mengawasi istrinya yang kian hari semakin memperlihatkan lebih banyak sikap tidak penurut. Pelarian Salwa hari ini, telah membuktikan potensinya sebagai penyebab timbulnya sangat banyak perasaan malu di kemudian hari. Untuk memastikan dengan siapa sebenarnya Salwa meninggalkan rumah, dia bisa bertanya pada tetangga. Hanya saja, dalam banyak siatuasi, tetangga tidak dapat terlalu diharapkan akan berlaku sebagai keluarga. Bahkan kemungkinan bahwa mereka tidak lebih baik ketimbang sahabat, memunculkan kekhawatiran yang lebih besar bagi Wawan. Kalau kebetulan tetangga yang ia tanyai adalah mesin pembuat gosip, tamatlah riwayatnya! Jadi, siapa yang lebih dekat lingkaran dunia kehidupanku saat ini? Sumiarni! Wawan lalu berlari cepat. Sepeda motornya dibiarkan tetap di halaman rumah mertuanya. Dia tidak mau suara sepeda motornya menyebabkan Sumiarni mengetahui kehadirannya. Setelah menikung beberapa belas meter di jalan beraspal, dia perlu menikung tiga kali lagi melewati gang-gang sempit sebelum akhirnya mencapai rumah sunyi yang dulu pernah dia tinggalkan buru-buru.
Johan M.

476

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dia tidak mengetuk pintu. Siap yang perlu mengetuk pintu yang terbuka? Suara teriakan itu terpaksa membuatnya surut sambil membuang muka. Wawan mengumpat dalam hati. Dia tidak menduga akan melihat pemandangan seperti itu. Dia mendobrak kamar lain. Tidak ada siapa pun di atas dipannya. Dia merlutut menengok kolong dipan dan ternyata memang tidak ada satu pun makhluk bernapas di situ, bahkan sekecil yang mampu ditangkap oleh mata telanjangnya. Masih ada satu pintu lagi yang belum ia buka. Pemandangan di luar pintu terakhir itu ternyata hanya berakhir pada kamar mandi di luar rumah dan halaman belakang yang sempit. Wawan menutup lagi pintu itu lalu berdiri sebentar untuk memikirkan langkah berikutnya. Jadikan kelemahan sebagai kekuatan. Tentu saja, kelemahan orang lain sebagai kekuatannya, dan bukan lekelamahannya sebagai kekuatannya karena jelas itu sulit, lalu menjadikan kelemahannya sebagai kekuatan orang lain hanya akan ia lakukan setelah kewarasan hilang dari dirinya. Pemandangan yang membuatnya secara moral cepat-cepat memalingkan muka, sebenarnya dapat digunakan sebagai cara untuk mengorek jawaban yang paling jujur. Jadi, mengapa harus buru-buru pergi? Akhirnya, adik Sumiarni keluar dengan wajah ditekuk dalam-dalam. Wawan melirik lagi paha gemuk itu, yang mungkin tidak lama lagi akan mengikuti lingkar paha kakaknya. Dia juga melihat bagian lain
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

477

yang tadi tidak terlindung dan dibiarkan menjadi sasaran remasan tangan dan mulut bocah laki-laki yang sudah separuh menanggalkan pakaiannya. Kalau bukan karena ada urusan lain yang mendesak, Wawan ingin menampar bocah-bocah yang sudah berbuat mesum itu. "Tolong, jangan beri tahu ibu saya dan kakak saya." "Tentu saja tidak, kalau kau mau menjawab dengan jujur." Wawan lalu mengakhiri janjinya dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat gadis di depannya gemetar ketakutan. "Di mana ibu dan kakakmu?" "Tolong, jangan beri tahu mereka." "Tidak. Kakakmu di mana?" "Di mataram." "Kapan dia pergi?" "Hari Sabtu yang lalu." "Apa istri saya pernah ke sini hari ini untuk mencari kakakmu?" "Kak Salwa maksudnya?" Sialan! Wawan mengumpat dalam gerutuan yang nyaris tidak terdengar. Berapa lama waktu yang diperlukan oleh orang untuk membiasakan diri menganggap Salwa wanita yang sudah menikah, dan dialah pria beruntung yang berhasil menjadi suaminya. "Ya. Salwa. Apa dia pernah ke sini?" "Tidak tahu." Tidak tahu? He...itu jawaban standar bagi seorang pembohong pemula.
Johan M.

478

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Jawab dengan jujur, atau apa yang saya lihat tadi, tidak hanya bisa diketahui oleh ibumu dan kakakmu, tetapi juga oleh warga yang ada di sekitar sini!" "Sungguh, Kak, kami berdua juga kebetulan menemukan rumah sedang sepi. Lebih baik Kak Wan langsung tanya Kak Sumi. Siapa tahu, dia tahu." "Kamu punya nomor teleponnya?" "Rumah tempat dia tinggal tidak punya telepon." "Alamatnya?" Wawan sengaja tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya mengenal tempat yang disebutkan itu. Dia tidak mau ada orang lain yang menyadari rencanarencanya. Sekarang, sebelum para tetangga mengetahui statusnya sebagai suami yang ditinggalkan, dia ingin mencari-cari informasi dari sumber lain, yang lebih aman dan bisa terjamin kerahasiaannya. Kemarahannya nyaris tidak tertahan karena kehadirannya kembali di rumah mertuanya tidak disambut dengan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan kepedulian mereka atas kehilangan yang baru menimpanya. Wawan menjemput ibunya. Bersama wanita itu dia pergi mengunjungi rumah paranormal yang terkenal dengan kemampuannya menemukan jejak sesuatu yang hilang, sekaligus membuat agar apa pun yang hilang itu segera dikembalikan oleh pencurinya. Wawan perlu menunggu hampir satu jam sebelum mendapatkan giliran. Di belakangnya masih banyak pasien lain yang menunggu giliran, padahal hari sudah mulai malam. Usia paranormal itu, hampir sama dengan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

479

usianya, tetapi ketenarannya membuat Wawan berusaha keras menghapus keraguannya akan kemampuan pria berambut keriting di hadapannya. Wawan melakukan apa yang diminta oleh paranormal itu. Dia menyebutkan nama lengkap istrinya karena dengan begitu si paranormal bisa melakukan kontak batin dengan lebih kuat. Wawan terkejut ketika paranormal itu langsung bisa menyebutkan ciri-ciri Salwa dengan lebih jelas daripada yang dapat ia ingan sendiri. Wawan lalu menceritakan masalah-masalah yang selama ini dianggapnya sebagai penyebab Salwa memutuskan melarikan diri. Paranormal itu manggut-manggut sambil menghisap rokonya. Setelah Wawan selesai mengungkapkan semua yang menurutnya perlu diceritakan, paranormal itu lalu menjentikkan abu rokoknya ke dalam asbak, yang segera diraih lalu tiba-tiba menjadi pusat seluruh konsentrasinya. Setelah membiarkan sisa rokonya menebarkan asap dalam wilayah pandangannya, lalu diikuti oleh tindakan kekakanakan mengaduk-aduk abu rokonya, para normal itu lalu manggut-manggut, seperti seorang ilmuwan yang sudah siap menyampaikan kesimpulan akhir dari temuannya. "Dia sekarang ada di Mataram." "Apa dia ada di sekitar Dasar Agung?" Wawan ingin tahu lebih jelas apakah Salwa sekarang sedang bersama Sumiarni ataukah...oh Tuhan...mengapa aku bodoh sekali, pikirnya. Dia baru ingat. Dia baru saja
Johan M.

480

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mengingatnya. Salah seorang teman Liwa pernah menjelaskan padanya bahwa orang yang paling ia cemburui itu tinggal di sana, di Dasan Agung. Apakah istriku sedang bersamanya? Akhirnya dia menambahkan satu pertanyaan lagi. "Dengan siapa dia sekarang?" Paranormal itu mengerutkan dahinya, seluruh wajahnya kemudian berubah menjadi kencang sebelum dia tenang kembali untuk mengatakan, "Dia tidak di Dasan Agung. Sepertinya dia lebih dekat dengan Kekalik...Sebentar...sekarang mereka sedang berjalan lagi ke arah timur. Dia berjalan bersama tiga orang. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan." Dua orang laki-laki. Wawan baru saja akan menayakan apakah paranormal di depannya yakin dengan kehadiran dua orang laki-laki di dekat Salwa saat ini, ketika dia memutuskan lebih memokuskan perhatian ciri-ciri di antara kedua laki-laki itu. "Seperti apa kedua orang laki-laki itu?" "Salah satunya sepertinya sudah bersamanya sejak dari rumah. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya agak gelap, dan rambutnya pendek." "Terus, yang satunya?" "Rambutnya agak berombak, dipotong seperti orang kantoran, kulitnya sedikit lebih terang dibandingkan dengan yang satunya tadi, lalu bulu matanya lentik, berjerawat, dan tubuhnya kurus, lebih pendek dari yang tadi." "Apakah dia juga berangkat bersamanya dari rumah?" "Tidak. Mereka baru bertemu."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

481

"Bisa dijelaskan, seperti apa tempat bertemu mereka." Paranormal itu kembali mengorek-ngorek abu rokoknya. "Mereka bertemu di ruangan kelas. Ada gedung besar di dekat lapangan bola." Kampus! Sialan! Sialan! Ke sanalah dia akan mencari mereka. Apakah tempat itu cukup aman bagi orang luar untuk menghantam seorang mahasiswa yang kini sudah menjadi pengganggu ketentraman rumah tangga orang? Orang-orang di kampusnya boleh membela Liwa, tetapi seluruh suami di atas dunia ini pasti akan memberikan dukungan kepadanya. Persatuan para suami. Seharusnya ada komitmen bersama semacam itu di atas dunia ini! Wawan nyaris ingin cepat-cepat meninggalkan tempatnya ketika dia ingat dengan masalah lain yang sudah diajukannya, dan sekarang sepertinya harus diulangi ntuk mengingatkan si paranormal. "Bagaimana caranya untuk membuat dia mau melakukan tugasnya sebagai istri?" "Tidak ada cara lain. Harus dipaksa." "Tetapi," Wawan ragu-ragu menjelaskan pada pria di depannya bahwa istrinya memiliki tubuh yang lebih bugar darinya. "Bagaimana memaksanya?" "Minta bantuan orang lain." "Maksudnya?" mata Wawan melotot. Dia tidak mau ada orang lain yang mengungkapkan kalimat itu sekali lagi. Dia rela mati untuk membungkam pria yang berani mengatakannya dengan maksud kurang ajar.
Johan M.

482

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Paling tidak," kata si paranormal. "Minta bantuan empat orang." "Maksudnya?" Wawan sudah tidak sabar ingin melayangkan tinjunya. Saran paranormalnya makin kurang ajar saja. "Dua orang memegang di bagian bahu dan tangan dari kedua sisi untuk menahan agar dia tetap terbaring disaat sedang memberontak, lalu dua orang lagi menahan paha dan kakinya, membentangkannya, agar Anda bisa memsukinya. Memang agak tidak nyaman bagi Anda, juga istri Anda, tetapi yakinlah, setelah pesawat Anda mendarat, dia tidak berontak lagi." "Oh...begitu. Tapi, saya tidak bisa meminta keempat orang yang membantu saya memejamkan mata mereka. Pasti tidak ada yang benar-benar melakukannya." "Lakukan pendaratan itu, malam hari, dengan lampu dimatikan." "Satu lagi," kata Wawan. "Pertanyaan terakhir. Mungkinkah ada kemungkinan saya akan menemukan kembali sitri saya?" Paranormal itu tidak langsung menjawab. Dia membakar satu batang rokok baru. Setelah melakukan tujuh kali hisapan, dia lalu memberikan penjelasan yang membuat Wawan menyesal telah mengajukan pertanyaan terakhirnya. "Sekarang dia sudah ada di Gomong. Di depan tempat dia menginap banyak ganggang sempit. Dia sepertinya sudah melakukan sesuatu yang akan membuatnya menjadi semakin jauh dan tidak terjangkau. Cari dia malam ini, atau Anda akan kehilangan selamanya!"
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

483

*** Siang itu, mereka berdua duduk di Terminal Mandalika, di atas trotoar yang langsung berhadapan dengan area parkir bus-bus besar. Masing-masing berderet dalam antrian untuk menunggu waktu pemberangkatan. Matahari yang membakar membuat Liwa memiliki lebih dari cukup alasan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama diinginkannya, dan dulu nyaris pernah dilakukannya kalau saja Sumiarni tidak hadir menjadi orang ketiga yang mengganggu. Setelah Salwa menyetujui tawarannya, Liwa lalu membuka payung hitam yang diambil dari dalam tasnya. Meskipun sudah menjadi mahasiswa, dia masih selalu membawa payung di dalam tasnya. Kebiasaan itu sering menyelamatkannya dari bahaya terlambat datang ke tujuan mana pun yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Liwa yang memegang payung itu. Lingkaran hitam pada bayangan yang jatuh di hadapan mereka, memberikan segumpal kesejukan yang amat dibutuhkan untuk menentramkan hati dan pikiran. Akhirnya, batin Liwa, tiba juga kesempatan berada di bawah satu payung, meskipun kali ini bukan untuk melindungi mereka dari curahan air hujan. Salwa akan berangkat pukul 14.00, kurang dua jam lagi. Waktu selama itu terlalu sedikit untuk duduk berdua sambil berbicara. Tetapi, sepasang kekasih memang selalu haus akan waktu dan kesempatan. Dan ketika semua itu masih harus ditambahkan dengan
Johan M.

484

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sebuah ancaman perpisahan yang kian nyata, waktu terasa makin cepat berlalu. Sesekali, di antara kesempatan mendengarkan penjelasan Salwa tentang siksaan yang selama ini dia alami, Liwa mengedarkan pandangannya. Udara kecemasan menyesakkan dadanya. Selalu ada kemungkinan, suami Salwa menemukan tempat mereka. Lalu apa yang harus dilakukannya seandainya Wawan menemukan mereka duduk berdua di bawah lindungan satu payung? Aku jelas tidak bisa membela diri, batin Liwa. Dan orang lain juga tidak bisa kuharapkan akan bisa membelaku. Aku tidak seharusnya terlibat dalam urusan rumah tangga orang. Ini wilayah di mana aku tidak diharapkan hadir oleh siapa pun, kecuali oleh separuh diriku, yang masih mau melakukan apa pun untuk membebaskan Salwa dari deritanya, meskipun dia sudah menjadi istri orang lain. Apa tepatnya yang bisa dilakukan untuk menghadapi kekasih yang tiba-tiba datang mengakui kehidupan rumah tangga yang dijalaninya ternyata tidak memberikan kebahagiaan? Bukan dia yang membujuk Salwa untuk datang. Tetapi bisakah orang menerima penjelasan seperti itu? Sesuatu yang terkait dengan wanita orang lain, selalu lebih berhasil membuat telinga tertutup dan pukulan melayang, daripada membuat orang manahan tangannya untuk memberikan sedikit kesempatan pada telinga, melakukan tugasnya sebagai pendengar alasan. Dan bahaya lain yang peluang terjadinya lebih besar, ialah kemungkinan dipergoki oleh salah seorang
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

485

keluarga Salwa atau keluarga Suaminya, serta orangorang yang menghadiri pernikahan mereka, yang tidak akan pernah memikirkan apa pun selain bahwa mereka sedang melihat dua orang yang sedang terlibat affair. Liwa kembali mengedarkan pandangannya, memantau setiap sudut dan sosok sampai pada bus terakhir yang akan dinaiki oleh Salwa, berusaha menemukan sosok-sosok yang terlalu lama menatap ke arah mereka berdua. Setelah mengikuti porseni, Liwa belum pernah lagi memiliki kesempatan menaiki bus sebesar itu. Kalau dia mengikuti ajakan Salwa, kesempatan itu akan ada, hanya saja, terlalu banyak alasan untuk tidak melakukannya. Dia terpaksa mengambil keputusan membiarkan kekasihnya pergi sendirian. Situasinya sekarang sudah semakin jelas dengan lebih banyak cerita yang diutarakan oleh Salwa. Meskipun yang menceritakan kepedihan itu adalah gadis yang paling dicintainya, Liwa merasa belum bisa terlalu cepat membiarkan dirinya ikut larut dalam persoalan keluarga orang lain. Hampir tidak akan ada kesempatan untuk menjumpai pasangan suami-istri yang tidak pernah melewati hari-hari dalam kebersamaan mereka dengan pertengkaran. Tidak peduli pada berapa pun usia pernikahan yang telah dijalani, pertengkaran, selalu akan muncul, tetapi tentu saja, pertengkaran suami-istri adalah pertengkaran yang tidak bisa disamakan dengan petengkaran lain. Pertengkaran dua orang yang sudah menikah, sering kali
Johan M.

486

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

merupakan tubrukan lembut dua jiwa, yang membuat mereka berpeluang menjadi lebih menyatu ketimbang menjadi berpisah. Jadi, jika sekarang Salwa melarikan diri dari suaminya, siapa tahu, mereka akan menemukan cara untuk berdamai, dan setelah itu, penyatuan jiwa mereka menjadi lebih erat dari sebelumnya. Sungguh tidak menyenangkan menjadi suami dari wanita yang menceritakan ketidakbahagiaannya. Kalau bukan Salwa, gadis yang sudah terlanjur diangganya memiliki semua kebaikan yang dapat ditemukan pada diri seorang kekasih, tentu Liwa sudah memilih mengusir wanita itu agar menjauh darinya. Tetapi, bersama keengganan mendengarkan cerita tentang kehidupan rumah tangga kekasihnya itu, muncul penerimaan yang berasal dari keasadarannya sebagai sahabat yang harus mendengarkan keluh kesah sahabatnya. Bukankah sudah seharusnya, seorang sahabat hadir dalam semua situasi yang dihadapi oleh sahabatnya? Dan bukankah seharusnya dia merasa senang karena akhirnya terbukti bagi pria yang memaksakan keadaan bahwa pernikahan yang tidak dibiarkan berjalan seperti kehendak sepasang kekasih sulit sekali bisa berhasil? Alam selalu punya cara yang lebih sempurna untuk membendung rasa cinta daripada seluruh daya yang dikerahkan oleh seorang manusia. Menjadi sahabat, menjadi kekasih, menjadi pecundang, menjadi orang asing, dan bahkan tidak menjadi siapa-siapa, lalu kembali menjadi salah satunya, akhirnya merupakan perasaan yang silih berganti merasuki diri Liwa.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

487

"Sudah pukul berapa?" tanya Salwa. Liwa memperlihatkan jam tangannya. "Satu jam lagi." "Kau yakin, tidak mau pergi denganku?" Liwa sudah menjelaskannya dengan membeberkan alasan akademis. Ada banyak tugas kemahasiswaan yang tidak bisa ditnggalkan selama waktu yang tidak bisa ditentukan, dan sebentar lagi akan ada ujian semester. Ada alasan lain yang belum bisa ia utarakan. Dia masih menahan diri untuk tidak terjebak melakukannya. Ikut dalam pelarian Salwa berarti membuat dirinya kehilangan kehormatan atas pandangan pribadinya untuk menjadikan Salwa sebagai kenangan setelah gadis itu menikah dengan orang lain. Cinta itu ada, masih tetap di tempatnya, memenuhi semua ruang yang tersedia untuknya, tetapi tidak cukup menutup pikiran sehatnya. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan bila dia memaksa diri menempuh jalan yang ditawarkan oleh Salwa. Kekecewaan itu pertama-tama akan datang dari keluarganya. Dia sekarang sedang kuliah, masih di pertengahan masa studi S1, dan masih menjadi beban keluarga. Seluruh biayanya dari orang tua dan beasiswa. Bila ia memaksa diri pergi mengikuti Salwa, yang nanti pasti akan berakhir dengan keputusan kilat dari semua pihak untuk menikahkan mereka, kuliahnya, dan semua tanggung jawab akademisnya, akan dibagi dengan tanggung jawab lain, sebagai suami, dan juga mungkin
Johan M.

488

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

sebagai ayah dari Guyana, seorang gadis cilik yang sudah ia nantikan dengan nama sebuah gunung tropis. Kekecewaan kedua, akan datang dari keluarga Salwa, dan keluarga suaminya, yang tidak bisa tidak berpikir bahwa dialah yang menjadi penyebab keruntuhan rumah tangga yang seharusnya bisa berbahagia, padahal dia tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan keluarga mantan pacarnya sampai kemarin, dan kini, ketika dia dan Salwa duduk merapat di tepi trotoar terminal. Kekecewaan ketiga, akan datang dari dirinya sendiri, karena dia ingin memiliki kesempatan untuk membahagiakan orang tuanya, dan adik-adiknya, yang sudah lelah menderita bersamanya. Dia ingin menjadi orang terakhir yang menikmati kebahagaan itu, jika ada kesempatan untuk mewujudkannya. Dan yang terakhir, Salwa sendiri pada akhirnya akan kecewa, setelah studi yang tidak beres berbuntut pada ketidakmampuan mencari pekerjaan yang layak, yang akhirnya akan membuat mereka berdua menderita selamanya. Sampai pada titik itu, barangkali masih ada maaf yang tersisa. Bagaimana jika penderitaan mereka berdua, akhirnya turut dirasakan oleh anak-anak yang nanti dilahirkan oleh Salwa? Oh Tuhan, betapa buruknya kesalahan itu. Dua orang yang mengambil keputusan dan merasakan akibat keputusan itu, dapat meneruskan hidup dengan mengingat bahwa cinta yang hebat telah menjadi penyebabnya, tetapi bagi anak-anak, apa yang dapat dikatakan untuk menodai kepolosan mereka?
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

489

Bagaimana membuat mereka mengerti tentang kerumitan persoalan masa lalu? Liwa memandang wajah kekasihnya. Dia mengganti tangan yang memegang payung hitam itu dengan tangan lain. "Aku ingin sekali ikut denganmu, bukan saja sekarang, tetapi sejak dulu, waktu kudengar kau mau melanjutkan studi ke Pulau Jawa. Entah seperti apa Yogyakarta itu. Aku ingin tahu. Aku sama penasarannya dengan teman-teman kita yang lain, tetapi aku tidak pernah sanggup memaksakan keadaan. Dalam banyak persoalan, aku lebih sering menempatkan diriku sebagai orang tua. Sudah pasti sangat sedih bila tidak bisa memenuhi harapan anak-anak. "Aku tidak mau orang tuaku merasakan kesedihan semacam itu. Penyakitnya, dan semua persoalan yang mengikuti penyakit itu, sudah lebih dari cukup untuk memicu kesedihan di dalam rumah kami. Bagaimana aku bisa berharap akan dapat membahagiakan mereka, sementara yang kulakukan adalah memulai langkahku dengan melahirkan tangis kesediahan karena kesadaran akan ketidakberdayaan? Maafkan aku Salwa, mungkin lain kali, aku akan ikut denganmu, dan setelah itu, kau tidak akan pernah menempuh perjalanan kecuali dengan aku ada di dekatmu." *** Wawan menunggu matahari muncul sebelum memulai pencariannya ke Mataram. Dia sudah menduga udara di perjalanan akan sangat dingin, tetapi dia tidak mengira bakal sedingin yang kini dirasakannya.
Johan M.

490

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Tubuhnya menggigil sepanjang perjalanan. Jaket tebalnya tidak membantu. Ide-ide cemerlang untuk menangani masalah yang sedang dihadapinya juga nyaris ikut membeku bersama embun yang masih menguasai sisa udara malam. Di sepanjang perjalanan, Wawan menimbangnimbang ke mana pertama-tama pencariannya akan diarahkan. Gomong merupakan sebuah blok di belakang deretan banyak pertokoan lama dan baru. Hampir mustahil menemukan jejak Salwa di sana kecuali dia menemukan cara untuk melacak tempat-tempat yang secara khusus disewakan hanya untuk mahasiswi dari Lombok Timur. Kalau cara itu tidak berhasil, dia harus bersabar menelusuri setiap gang sambil berharap ada seseorang yang bisa memberikan petunjuk tentang tempat-tempat penyewaan kamar kos yang menerima seorang mahasiswi dari Selong. Kampus Liwa yang akan paling mudah ditemukan. Dia pernah ke sekitar tempat itu pada salah satu acara keperamukaan. Dan apa yang sempat digambarkan paranormalnya sebagai tempat pertemuan Salwa dan tiga orang temannya itu, samar-samar diingatnya sebagai bagian dari gedung belakang yang merupakan bagian dari kampus FKIP Universitas Mataram. Tempat tinggal Sumiarni, menjadi pilihan terakhir, karena paranormalnya sangat jelas mengatakan Salwa sedang melangkah ke Gomong. Tetapi siapa perempuan yang bersama Salwa. Wawan mengutuk kebodohannya karena terlalu buru-buru meninggalkan paranormalnya.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

491

Kalau saja Herman masih hidup, dia akan meminta bantuannya. Semoga Tuhan memberikan kedamaian padanya di alam baka. Di perempatan Kampus AMM, Wawan sempat bimbang, antara meneruskan perjalanan lalu memulai penelusurannya dari gang yang menjadi akses masuk wilayah Gomong dari jalan aspal berdebu di depan sederetan rumah makan, ataukah segera berbelok ke kiri, lalu memulai pencarian dari gang-gang kecil yang muncul tidak teratur di sela-sela deretan pertokoan, apotik, dan tempat fitnes. Suara klakson kendaraan di belakangnya yang saling besahutan dengan klakson kendaraan lain membuat Wawan kehilangan kesempatan memilih dan terpaksa harus mengambil jalan lurus melintasi perempatan bersama kendaraan lain yang mendesak maju di belakang dan di sampingnya. Sasaran pertamanya untuk bertanya adalah sekelompok mahasiswi yang kelihatan baru keluar dari gang utama yang bisa menjadi akses masuk wilayah Gomong dari arah barat. Wawan terbengong-bengong mendengar penjelasan yang diberikan padanya. Keempat gadis yang mengaku dari dua kos yang berbeda itu, mengaku punya teman-teman dari Lombok Timur. Mereka juga menunjukkan banyak tempat lain yang menerima mahasiswi dari Lombok Timur. Begitu Wawan meminta penjelasan yang lebih khusus, hanya ada satu orang yang kebetulan memiliki teman dari Selong yang bisa menunjukkan lokasi kos yang banyak
Johan M.

492

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dihuni oleh mahasiswi dari Selong. Setelah membiarkan mahasiswi-mahasiswi itu pergi, Wawan menggeret sepeda motornya, menepi ke tempat yang lebih teduh. Dia perlu waktu untuk sedikit berpikir sambil mengharapkan keajaiban yang dulu sering datang disaatsaat dia memerlukan banyak pertolongan. *** "Ayo, ikut ke dalam," pinta Salwa. "Lihat tempat dudukku." Dia menunggu Liwa mengambil keputusan. Nampaknya Liwa belum punya banyak pengalaman menumpang bus malam. Dia terlihat ragu-ragu dan takut, seolah bagian dalam bus malam merupakan area terlarang kecuali bagi para penumpang resmi yang memegang tiket. "Di sini saja," kata Liwa. Kedua kakinya hanya dibiarkan sebentar menjejak bagian dasar pintu depan. Ketika kedua kaki Liwa dilihatnya sudah kembali dijejakkan di permukaan jalan, Salwa akhirnya mengurungkan niatnya menunjukkan tempat duduknya. Dia segera kembali ke pintu depan. Setelah memberi jalan bagi penumpang yang baru naik, dia lalu turun, menyusul Liwa, menahannya agar tidak pergi terlalu jauh dari bus yang sudah siap akan berangkat. Seandainya perjalanan ini tidak harus dilakukan. Seandainya ada tempat yang aman untuk bersembunyi di Lombok. Oh, sayangku, aku tidak mau berpisah denganmu. Kalimat itu begitu ingin diucapkannya, tetapi dia masih terlalu malu untuk mengungkapkan keterusterangan yang lain, setelah banyak
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

493

keterusterangan yang terungkap di antara mereka berdua, akhirnya terpaksa harus dihadapkan dengan pernikahan yang tidak direncanakan. "Aku akan pergi," kata Salwa, dengan agak kaku, dan malu-malu. Dia ingin sebuah pelukan perpisahan. Mereka belum pernah melakukannya. Selama masa menjadi sepasang kekasih, yang begitu singkat, Liwa tidak pernah meminta apa pun, selain sebuah jabatan tangan. Permintaan sederhana itulah yang membuatnya bertambah sayang pada Liwa. "Semoga kita bisa lekas bertemu. Aku akan mengirim banyak surat untukmu." "Aku juga," kata Liwa. Ucapannya nyaris tertelan, hilang. "Aku akan membalas surat-suratmu. Kirim saja ke kampusku." "Ya." Setelah petugas bus malam masuk untuk mengecek para penumpang, Salwa lalu berbalik bermaksud naik ke dalam bus. Langkahnya tertahan oleh panggilan dari suara yang makin lama seperti siap lenyap di telan kesedihan. "Salwa." Salwa kembali membiarkan seluruh dirinya ditatap oleh kekasihnya. "Berikan tanganmu," kata Liwa. Mintalah sesuatu yang lebih dari itu. Aku akan memberikannya padamu. Ucapan itu tertahan dalam pikiran dan angan-anagan. Tidak akan kecemasan apa pun di benak Salwa kecuali perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi. Dia mengulurkan tangannya.
Johan M.

494

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Genggaman jari-jari tangan Liwa terasa hangat dan mendamaikan. Mereka berjabatan tangan lagi untuk kedua kalinya. Salwa melangkah masuk ke dalam bus. Dia berjalan pelan-pelan menuju tempat duduknya di bagian kanan tengah, pada deret keempat di belakang sopir. "Ayo, duduk," kata pria di dekatnya yang sepertinya bakal menjadi temannya di deretan kursi itu. "Duduk di sini juga?" "Ya. Sebentar." Salwa lalu mengabaikannya. Dia memandang ke luar. Di tengah terotoar, di bawah terik matahari, Liwa berdiri di bawah naungan payung hitamnya. Kekasihnya itu menatap ke arah bus yang mulai bergerak. Kaca hitam tebal bus malam, tidak menghalangi tatapan mereka, lambaian tangannya segera disambut oleh lambaian. Salwa terus berusaha melihat sosok di bawah payung hitam itu, sampai bus yang ditumpanginya berbelok untuk keluar dari terminal Mandalika. *** Setelah hampir sore, Wawan menyerah. Dia keluar dari wilayah gomong, lalu sepeda motor bututnya segera diarahkan ke kampus Liwa. Beberapa kali dia tersesat sebelum akhirnya merasa mengenali jalan yang akan membawanya ke auditorium yang dulu penah menjadi pusat kegiatan kepramukaan siswa-siswa SMA seprovinsi NTB. Halaman depan kampus FKIP nampak sepi. Hanya ada satu mobil dan lima sepeda motor. Bagian belakang bisa ditempuh dari jalan beraspal pendek yang berakhir
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

495

pada trotoar sempit yang sekaligus menjadi pembatas tepi parit. Wawan mengawasi tempat yang dijelaskan oleh paranormalnya. Ada banyak gambaran yang sama. Penjelasan singkat yang didengarnya, dengan cepat bisa dicocokkan pada gedung tua yang kurang terawat. Tadinya dia mengira di bagian belakang akan lebih sedikit lagi kendaraan, ternyata tidak, memang tidak ada mobil, tetapi ada lebih selusin sepeda motor yang diparkir. Mencoba masuk, lalu apa? Menggeret Liwa setelah menemukannya? Sialan! Bocah SMA itu sekarang sudah mahasiswa. Dia punya banyak teman di sini. Pikiran sehatnya segera membuat dia mengambil keputusan cepat untuk mencari alamat Sumiarni sebelum malam tiba. Setelah perutnya terasa nyeri, dia baru sadar, sejak pagi tadi belum ada makanan apa pun yang sempat disantapnya. Wawan menimbang-nimbang untuk melanjutkan berpuasa. Dia memilih kembali menelusuri rute yang mungkin ditempuh oleh Salwa sore kemarin. Untuk memenuhi rencana itu, dia menerobos trotoar yang dibuat agak tinggi untuk mencegah luapan air saat musim hujan. Trotoar sempit itu membawanya ke jalan beraspal di muka Gedung Pusat Komputer Universitas Mataram. Dia beruntung karena tidak berpapasan dengan pengendara lain, yang pasti akan membuat salah satu di antara mereka terpaksa memutuskan mengalah atau melanjutkan pertengkaran karena trotoar itu memang
Johan M.

496

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

hanya dibuat untuk menjadi jalan pintas bagi pejalan kaki, dan bukan bagi pengendara sepeda motor. Wawan berhenti lagi di muka satu-satunya gang yang menjadi akses masuk wilayah Gomong dari arah barat. Dia memandang deretan rumah makan yang ada di sebelah kirinya. Waktu berbuka masih dua jam lebih. Makan? Tidak! Makan? Tidak! Puasa? Ya sih...tapi... Tatapannya berakhir pada gadis berjilbab yang baru melewatinya. Bentuk tubuh dan cara berjalannya seperti Sumiarni. Apa salahnya mencoba memanggilnya. Kalau salah, dia bisa meminta maaf nanti. *** Sumiarni berjalan menunduk, berharap tidak akan dikenali oleh siapa pun. Dia baru saja selesai menumpahkan kekesalan pada pacarnya yang berjanji akan menjemput tiga jam yang lalu dan baru datang setelah dia meninggalkan teman-temannya yang memujimuji kemampuannya menggaet cowok asli Mataram. Pacarnya sering datang menjemput. Tidak pernah terlambat sampai setelah dia mengizinkan sebuah ciuman. Dia ingin berhenti memberikan kesempatan itu, tetapi dia sendiri memang menginginkannya. Keterlambatan penjemputan itu semakin sering terjadi setelah dia sempat terlena dalam ciuman yang menghilangkan kewaspadaannya sehingga dadanya dibiarkan menjadi sasaran remasan-remasan lembut yang kian menggairahkan pada setiap detiknya. Panggilan itu ingin diabaikannya. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Tidak ada cara yang lebih sempurna untuk menghabiskan waktu dalam dunia
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

497

kekecewaan selain mempertahankan kesendirian dan mengabaikan para pengganggu. "Sumi!" Setelah panggilan kedua kali, kemungkinan akan muncul panggilan berikutnya, yang akan menyebabkan hilangnya keinginan utama dalam mempertahankan kesendiriannya saat inimenarik perhatian. Sumiarni akhirnya mengalah. Dia menoleh. Tidak ada apa pun yang dikatakannya, karena orang yang memanggilnya adalah orang terakhir yang ia harapkan akan melakukannya di saat-saat seperti ini dan di tempat ini. Wawan mendekat dengan menggeret sepeda motornya. "Saya mencarimu." "Mencari saya?" "Ya." Dan nyaris tanpa jeda, permintaan itu muncul lebih terdengar sebagai sebuah perintah. "Katakan, di mana kamu menyembunyikan Salwa." "Tolong, berbicara dengan sopan, atau saya akan berteriak." "Berteriak?" "Di sini, masih wilayah kampus saya. Jangan lupa itu," Sumiarni tadinya ingin bersikap lebih ramah. Tetapi orang yang satu ini memang tidak bisa diberi keramahan, batinnya. Dengan sikap Wawan saat ini, dia merasa tidak menyesal karena tidak menghadiri undangan pernikahannya dan meludahi surat undangan pernikahan Wawan dan Salwa, langsung di hadapan Wawan yang saat itu kebetulan mengantar sendiri surat undangannya. Dalam hidupnya, baru sekali itu dia
Johan M.

498

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

meludahi surat undangan pernikahan. "Saya tidak punya urusan lagi dengan Salwa. Seperti saya juga tidak punya urusan lagi dengan Kak Wan. Saya kecewa karena dia menikah dengan Kak Wan, bukan dengan Liwa, orang yang sebenarnya dia cintai." "Apa katamu?" Sumiarni lalu melancarkan serangan terakhir. Kesempatan ini, sudah lama ia nantikan. "Istri Kak Wan itu, dulu sering mengaku pada saya bahwa sebenarnya dia hanya pernah mencintai satu orang saja dalam hidupnya, dan orang itu adalah Liwa. Kalau sekarang Kak Wan kehilangan Salwa, sebaiknya cari dia ke tempat Liwa." *** Wawan memang sudah mencurigai sejak awal bahwa Liwa yang menjadi kunci kekacauan rumah tangganya. Setelah berbuka, dia berencana akan kembali mencari Liwa ke kampusnya. Sementara menunggu azan Magrib, dia masuk ke wartel untuk menelepon pamannya. "Hallo, Paman. Ini saya." "Ya. Paman mengenal suaramu. Mengapa baru menelepon sekarang?" Pertanyaan itu terdengar sebagai sebuah penyesalan. Wawan segera mengajukan pertanyaan pada pamannya. "Memangnya kenapa, Paman? Ada yang saya lewatkan?" "Setelah ibumu datang, paman langsung meninggalkannya bersama bibimu. Paman segera menemui mertuamu. Dia mengaku tidak tahu." "Mereka Bohong, Paman."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

499

"Dengarkan dulu." "Setelah Asyar tadi, mertuamu menelepon paman. Katanya, mereka baru tahu dari pengakuan adik-adik iparmu bahwa sekarang Salwa dalam perjalanan ke Yogyakarta. "Ke Yogya?" "Ya. Paman tahu, kamu lebih tahu apa yang bisa dilakukan. Susul dia. Beri peringatan keras. Kamu berdosa sebagai suami bila membiarkan istrimu berkelana semauanya, apalagi tanpa sepengetahuan dan seizinmu. Beri peringatan keras, agar dia tidak lagi melakukannya." "Tentu, Paman. Saya akan memperingatkannya. Terima kasih." Satu kali lagi, Paman Subki menolongnya, dengan langkah yang tepat, dan saran yang sangat tepat. Wawan meletakkan gagang telepon itu dengan perasaan geram. Dia menghantam dinding boks telepon dengan tinju tangan kanan. Amarahnya meluap-luap membayangkan istrinya kini mungkin sedang duduk di samping Liwa dan menikmati perjalanan panjang dalam kemesraan yang tidak pernah diberikan kepadanya. *** Ria tidak termasuk dalam daftar panitia utama. Dia diikutkan oleh Liwa menjadi bagian dari anggota seksi konsumsi setelah dua minggu belakangan ini Ria rajin mendatangi rapat-rapat, juga banyak membantu beberapa pekerjaan surat-menyurat.
Johan M.

500

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Setelah mengumpulkan kertas-kertas dan alat tulis yang bertebaran di atas podium, Liwa mematikan lampu ruangan kelas yang mereka gunakan sebagai tempat rapat. Dia agak terkejut melihat Ria masih berdiri menunggu di ruang sekretariat panitia seminar budaya. "Tidak ada yang menunggu sekretariat," kata Ria. Dia memberikan penjelasan tanpa diminta. "Aku khawatir ada yang masuk dan mengambil sesuatu." "Terima kasih." "He...dia jadi pergi?" Liwa baru saja bermaksud menepiskan kecurigaannya tentang kemungkinan ada maksud tersembunyi di balik kesabaran Ria menunggu ruangan sekretariat, ketika pertanyaan dari keingintahuan yang tidak terbendung akhirnya mulai diluncurkan. "Ya. Tadi siang." "Tadi malam, dia bercerita banyak padaku. Sungguh aku tidak menduga kalian punya hubungan khusus." "Jadi...bagaimana pendapatmu?" "Aku hanya terkejut. Kalau bukan dia yang mengatakannya, aku akan selalu menduga bahwa kedekatan kalian selama ini hanya sebagai dua orang sahabat. Pantas saja..." Ria tidak meneruskan kata-katanya. Liwa selalu tertarik pada bagian yang tersisa dari kalimat terakhir. "Selesaikan penjelasanmu?" "Sekarang aku baru mengerti, mengapa dulu dia mencarimu. Kau mungkin tidak memperhatikan. Waktu aku memberi ucapan selamat pada saat pesta pernikahannya, dia menarikku mendekat, lalu berbisik
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

501

untuk menanyakan kamu ada di mana. Aku heran dengan apa yang dia lakukan padaku karena sepertinya hanya aku yang diperlakukannya seperti itu. Aku menggeleng, separuh karena terkejut, sebagian lagi karena kebingungan mendapat mendapat pertanyaan aneh seperti itu. Kalau saja sebelum berangkat ke pestanya kau beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi, aku mungkin bisa menyiapkan sekenario yang agak manis untuk kau lalui hari itu." "Terima kasih, karena sudah memberi tempat menginap untuknya." "Itu memang sudah menjadi tugasku, walaupun tidak diminta. Nanti, kalau dia pulang dan perlu tempat lagi, kau bisa mengantarnya ke tempatku. Kami bertetangga, Liwa. Dan ada tambahan satu alasan lagi untuk tetap melakukannya." "Apa itu?" "Setahuku, dia satu-satunya gadis yang pernah kaupacari." "Kau meledekku?" tanya Liwa. Dia sebenarnya sudah kebal oleh ejekan semacam itu, karena tiap kali memiliki kesempatan untuk ikut terlibat dalam pembicaraan tentang cinta, dia akan mengerang setelah terpaksa harus berhenti karena tidak mampu menjawab pertanyaan, siapa pacarmu? Ria tersenyum. "Ayo, pulang." *** Wawan merasa yakin, mereka hanya tidak mau mengatakannya, bukan karena tidak tahu, seperti yang
Johan M.

502

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

mereka akui. Kebohongan yang utama jelas dari mertuanya. Bagaimana dia bisa tidak tahu alamat anaknya sementara dia dulu yang mencarikan tempat tinggal dan mengantar Salwa waktu pergi pertama kali ke Yogyakarta. Sikap semua orang di rumah mertuanya, yang berubah menjadi tidak memberikan dukungan begitu dia pulang dari Mataram, membuat Wawan memikirkan kemungkinan untuk mencari tempat tinggal lain. Tentu saja, setelah Salwa kembali. Dia bisa menduga sumber kebencian itu. Ikatan tali rafia pada pergelangan tangan dan kaki Salwa, ditambah cerita-cerita lain tentang hari-hari dan peristiwa lain yang merupakan gambaran ketidakbahagiaan masamasa awal pernikahan mereka, dapat menjadi setumpuk alasan yang lebih dari cukup untuk menutup semua pintu rumah. Dia masih beruntung bisa bebas masuk ke kamarnya dan mengambil beberapa potong pakaian yang dapat dikemasi ke dalam tas pakaian. Dia tidak ingin tinggal lama di Yogyakarta, tetapi jika hal itu harus dilakukan, dia akan melakukannya, karena batas akhir masa perjalanannya kali ini adalah kepulangan Salwa ke Pulau Lombok. Dia memilih tidak memberi tahu rencananya pada mertuanya. Dia tidak mau ada orang yang tidak memihak kepadanya melakukan sesuatu yang semakin mempersulit pencariannya. Sambil menenteng tas pakaiannya, Wawan keluar meninggalkan rumah mertuanya, tanpa pamit, dan membiarkan keluarga
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

503

istrinya memandang kepergiannya dalam kebisuan yang penuh cela. Di luar, di antara deru sepeda motornya, dia merasakan udara malam menjadi semakin dingin pada setiap detik yang berlalu. Wawan bersyukur karena hanya akan menempuh perjalanan selama sepuluh menit. Perjalanan ini terhitung singkat, bahkan jika perjalanannya pagi tadi tidak ikut diperhitungkan. Dua kali menempuh perjalanan selama satu jam lebih dalam sapuan udara dingin, sungguh merupakan pengalaman yang tidak akan pernah mau diambilnya seandainya semua ini bukan tentang satu-satunya gadis yang bisa ia percayai kesuciannya. Yang tidak pernah ia duga adalah Salwa ternyata terlalu mempertahankan kesuciannya, bahkan dari Suaminya. Perjalanan pagi tadi masih merupakan kemewahan dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuhnya waktu kembali ke Selong. Pagi tadi, meskipun udaranya dingin, matahari dapat memberikan pemandangan yang baik serta kehangatan yang perlahan-lahan mulai merambat datang. Ditambah lagi dia masih memiliki harapan menemukan Salwa di Mataram. Sedangkan waktu pulang, dia terpaksa merasakan udara dingin yang menjadi semakin dingin sampai benar-benar kehilangan kehangatannya. Perjalanan itu juga harus ditempuh dengan kecepatan terbatas, mengingat jalur antarprovinsi itu melewati banyak desa yang sedikit sekali memiliki penerangan di pinggir jalannya. Dan yang paling menyakitkan,
Johan M.

504

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

perjalanan itu harus ditempuh setelah seharian lelah menelusuri gang-gang di sekitar Gomong, dan mendapatkan dua berita paling buruk dalam hidupnya tentang ke mana Salwa melarikan diri, serta tentang ada orang lain yang mengetahui siapa sosok paling istimewa dalam hidup wanita yang sudah dinikahinya. Wawan tidak banyak menceritakan pengalamannya. Setelah memberitahukan rencana perjalanannya, dia segera berbaring dan cepat terlelap karena kelelahan. Keesokan harinya, dia dibangunkan oleh ibunya pukul 03.30 pagi, setengah jam lebih awal dari waktu yang dia minta. Kedua matanya masih berat. Dia amat memerlukan waktu istirahat tambahan selama setengah jam yang sekarang sudah tidak lagi dimilikinya. Setelah berpamitan pada kedua ibunya, Wawan lalu melaju menembus udara pagi yang lebih dingin dari hari sebelumnya. Kemarin, usai berbuka puasa dan salat Magrib, Wawan langsung ke bandara Selaparang untuk memesan tiket pesawat. Dia tidak bisa memberikan kejutan dengan bus malam. Hanya dengan memakai pesawat terbang dia bisa berharap akan sampai di Yogyakarta lebih cepat dari Salwa. Setelah mengetahui harga tiket pesawat terbang MataramYogyakarta untuk semua penerbangan ternyata hampir setengah harga tiket Mataram Surabaya, Wawan lalu memilih strategi penumpang berkantong pas-pasan untuk mengejar Salwa. Dia membeli tiket BATAVIA AIR untuk pemberangkatan pukul 07.05 ke Surabaya. Dari Bandara Internasional
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

505

Juanda, perjalanannya ke Yogyakarta akan ditempuh dengan mobil travel berbiaya seperempat harga tiket pesawat terbang MataramSurabaya. Perlu waktu delapan jam untuk sampai ke Yogyakarta. Dia bisa tidur lagi sepanjang perjalanan itu. Jika bus yang ditumpangi Salwa baru sampai Bungurasih pada pukul 07.00 pagi, maka saat itu, pesawatnya juga sudah mendarat. Wawan tidak tahu, berapa lama bus yang ditumpangi Salwa akan singgah di Bungurasih. Dia berharap tidak akan ada keterlambatan dengan penerbangannya. Kalau saja dia tahu bus apa yang ditumpangi oleh Salwa, menunggu dan menemukannya di Bungurasih mungkin merupakan pilihan yang lebih tepat, selain hemat, juga lebih cepat. *** Setelah mengetahui siapa yang menelepon, Mariana mengambil gagang telepon itu dari tangan ibunya. "Kau ke mana saja?" "Maaf, ceritanya panjang. Singkatnya, aku melarikan diri dari suamiku." "Kedengarannya sangat buruk. Sekarang kau di mana?" "Masih di Bungur, mungkin sore nanti baru sampai Yogya. Aku perlu bantuanmu." "Katakan saja." "Coba tolong cek, apa aku masih bisa melanjutkan kuliahku."
Johan M.

506

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Oh, tentang itu," kata Mariana. "Kau tidak perlu meminta. Begitu mengetahui kau menikah, dan tidak muncul berita apa pun sampai dua minggu berikutnya, aku langsung menghubungi Pak Untoro. Aku menjelaskan padanya sebatas yang aku tahu. Dia kecewa, tentu saja. Tetapi dia pria yang baik. Pertanyaan pertamanya setelah aku selesai berbicara adalah 'Apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?' Aku lalu meminta supaya dia membantuku mengurus cuti kuliahmu. Hasilnya bisa ditebak. Kau bisa melanjutkan di semester ini. Oh, ya, ada ucapan selamat berbulan madu darinya." "Terima kasih. Kalau ada cerita lain, kau bisa menambahkannya nanti setelah kita bertemu. Apa hari ini kau ke kampus?" "Ya. Kebetulan, baru mau berangkat. Apa kau ingin kita bertemu di tempat biasa?" "Entahlah, jangan lupa bawa ponselmu. Nanti kuhubungi lagi." "Tidakkah suamimu tahu ke mana kau melarikan diri?" "Itulah yang kukhawatirkan. Untuk sementara, aku belum yakin ke mana aku akan pergi." "Bagaimana aku akan menghubungimu?" "Tunggu saja sampai aku yang menelepon." "Baiklah. Jaga dirimu." *** Wawan menutup pintu mobil travel yang membawanya. Kantuknya sudah hilang sekarang setelah sempat tertidur di dalam kendaraan yang mengantarnya
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

507

dari Bandara Intenasional Juanda Surabaya. Tetapi dia memerlukan air untuk membasuh muka agar bisa terlihat segar. Sambil berjalan mendekati gedung AMIK ASTER dia mencari-cari keran air taman. Ketika menemukan apa yang dicarinya, dia lalu melepaskan tasnya di pinggir taman. Tanpa mempedulikan pandangan aneh dari beberapa mahasiswa yang melintas di dekatnya, Wawan terus terus menyiramkan air ke wajahnya. Dia baru berhenti setelah merasakan pori-pori wajahnya mulai menerima sentuhan lembuh hembusan angin yang juga meniup daun-daun bunga taman. Ketika melangkah kembali untuk mengambil tas pakaiannya, dia tersandung oleh sesuatu yang setelah diperhatikan ternyata sebuah parang. Wawan mengambilnya lalu menyimpannya. Petugas taman yang meninggalkan parang itu, mungkin melupakan peralatannya setelah terlalu lelah menebas dahan-dahan pohon yang menghalangi sinar matahari yang diperlukan oleh bunga-bunga di bawahnya. Kebetulan, pikir Wawan, karena dia melihat hanya ada satu orang staf wanita di lobi, duduk di balik meja layanan setengah lingkaran berwarna biru, dengan latar belakang nama lembaganya, dalam kotak warna kuning dengan sisi-sisi berwarna hitam. "Ada yang bisa saya bantu?" Wawan duduk di atas salah satu kursi besi ringan dengan bantalan busa empuk dalam lapisan kain berwarna sama dengan mejanya tanpa menunggu dipersilakan.
Johan M.

508

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Saya ingin tahu, apakah istri saya sudah ke sini hari ini." "Siapa namanya dan apa kuliah yang diikutinya sekarang?" "Kebetulan untuk sementara dia berhenti." "Cuti kuliah maksudnya?" "Nah, itu dia yang mau saya katakan. Namanya" "Kalau dia memang cuti kuliah, berarti data dirinya dibekukan untuk sementara waktu. Saya tidak bisa menunjukkan apakah dia sudah pernah ke sini atau tidak,karena mahasiswa yang sedang dalam masa cuti kuliah tidak mendapatkan hak-haknya atas semua fasilitas yang kami sediakan di sini." "Oh, kalau begitu, mungkin saya bisa mendapatkan alamat istri saya?" "Alamat istri Anda?" tanya Staf itu. Dia terlihat sekali tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kalau Anda memang suaminya, bukankah Anda yang seharusnya paling tahu dibandingkan dengan orang lain?" "Saya tidak sedang bercanda. Namanya Siti Salwa Hidayati. Tolong dicarikan?" "Maaf," kata Wanita itu. Dia seperti sudah terlatih untuk menangani berbagai macam penipuan. "Permintaan Anda sangat tidak biasa. Bolehkan saya melihat surat nikah atau apa pun yang membuktikan bahwa Anda memang suaminya." Wawan berpikir sejenak. Dia tidak ingat membawa surat-surat yang diperlukan itu. Akhirnya, dia mencoba sekali lagi melakukan bujukan dengan alasan yang jujur,
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

509

"Kami baru saja menikah. Saya tidak melarang dia melanjutkan kuliahnya di sini. Hanya saja, saya mau kami memiliki anak dulu. Tetapi dia memaksa. Dia ingin segera menyelesaikan studinya. Setelah dia melarikan diri, saya pikir, saya tidak terlalu bijaksana. Jadi, saya ingin segera menemuinya untuk menjelaskan padanya bahwa dia boleh melanjutkan kuliahnya. Cuma masalahnya, saya tidak tahu di mana dia tinggal di sini. Saya yakin, lembaga Anda memiliki datanya." "Surat nikahnya?" Wawan membuka tas pakaiannya. Dia mengeluarkan parang yang tadi ditemukannya di taman bunga. Parang itu diletakkan di atas meja. Dia belum mengucapkan apa pun ketika wanita di depannya berteriak panik dan menimbulkan keributan yang segera mengundang perhatian. *** Mariana berlari keluar dari kerumunan ketika mendengan nada dering panggilan di ponselnya. "Hallo, kau di mana? Kau pasti tidak percaya dengan apa yang akan kukatakan." "Apa yang terjadi?" "Suamimu datang ke kampus membuat keributan. Dia sekarang sudah diamankan dan masih dikerumuni orang-orang. Aku heran, mengapa kau bisa menikah dengan lelaki pemarah seperti itu?" "Aku dilarikan. Nanti kujelaskan maksudnya. Sekarang, aku akan menghilang untuk sementara waktu."
Johan M.

510

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Apa?" Mariana menambahkan pertanyaannya. "Kau pasti tidak serius bukan?" Terdengar isak tangis di seberang sana. "Nanti kuhubungi lagi. Cukup itu dulu yang perlu kau tahu. Sampai jumpa Maria." "Jaga dirimu." *** "Mana bapak?" tanya Salwa, begitu mendengar suara Sila di telepon. "Kak Salwa di mana sekarang?" "Panggilkan bapak. Cepat!" Salwa lalu mendengar Sila berteriak memanggil "Bapak...! Telepon?" Sementara bapaknya datang, Sila masih mendesak dengan pertanyaan yang sama. "Kak Salwa sekarang ada di mana?" "Sudah sampai di Yogya." "Astaga!" terdengar keributan kecil antara Sila yang masih mempertahankan telepon dengan bapaknya yang mau segera berbicara dengan anak keduanya. "Ya, Salwa?" suara bapaknya terdengar bertanya. "Bagaimana? Bapak sudah pergi ke pengadilan?" tanya Salwa. "Sudah. Permohonan perceraianmu sudah diajukan. Kita tinggal menunggu surat panggilan." "Berapa lama?" "Mungkin satu atau dua bulan." "Lama ya?" "Itu waktu tercepat. Sekarang kamu di mana?" "Sudah di Yogya. Kak Wan juga ternyata sudah ada di Yogya."
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

511

Terdengar keluhan samar di seberang sana. "Paman Subki-nya datang. Jadi, bapak beritahu dia, tetapi setelah sore, sehingga harapan bapak, kamu baru bisa disusul besok siang." "Ternyata dia sudah datang." "Kalian bertemu?" "Tidak. Saya belum ke kampus. Ada teman yang memberi tahu, katanya Kak Wan membuat keributan di kampus. Mungkin tidak lama lagi dia akan ke kos dan membuat keributan lagi di sana. Jadi, saya memilih meninggalkan Yogya dulu untuk sementara waktu." "Mau ke mana?" "Mencari tempat yang tidak aman. Tolong bapak kasi tahu Paman Subki tentang permohonan perceraian itu, biar Kak Wan pulang mengurusnya dan tidak terusmenerus di Yogya mengejar saya." "Kamu mau ke mana?" "Bapak tidak usah khawatir. Saya punya banyak teman." Salwa mengakhiri percakapannya setelah berjanji akan menelepon satu kali dalam seminggu untuk mengecek surat panggilan dari pengadilan. *** Wawan dibebaskan setelah mendapatkan peringatan keras, tidak boleh lagi memasuki area AMIK ASTER selama tidak sedang bersama istrinya. Parang yang bukan miliknya itu diambil kembali oleh petugas taman yang karena insiden itu terpaksa jadi ikut mendapat peringatan serius dari Pembantu Direktur II.
Johan M.

512

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Sore harinya, Wawan memaksa diri duduk menunggu di luar pintu masuk halaman kampus. Dia masih berharap Salwa akan datang ke kampus setelah sempat sedikit beristirahat di kosnya. Seorang mahasiswa datang mendekatinya setelah matahari hampir tenggelam. "Anda suami Salwa bukan?" "Ya." "Anda masih membawa parangnya?" "Tentu tidak. Tadi itu hanya untuk mengembalikannya," katanya. Setelah menambahkan penjelasannya dengan cerita seperti yang terakhir kali dia utarakan di depan staf yang berteriak ketakutan itu, Wawan kemudian memperoleh simpani yang diharapkannya. Mahasiswa itu tidak hanya memberitahukan alamat Salwa, tetapi juga menawarkan diri untuk mengantarnya. Keberuntungan, batin Wawan, selalu datang pada orang-orang yang ditakdirkan untuk menerimanya. Cerita yang sudah berhasil mengundang simpati mahasiswa yang mengantarnya itu, ia ulangi sekali lagi. Pemilik kamar yang disewa oleh Salwa juga luluh dan akhirnya memberikan kunci cadangan. Ketika membuka pintu kamar yang ditempati oleh Salwa sebelum menjadi istrinya, Wawan menyumpahi staf berhati batu dan amat teliti itu. Wawan menemukan kunci lemari di dalam salah satu sepatu yang diletakkan dalam kantung sepatu plastik yang menggantung di belakang pintu. Dia mengacak-acak pakaian Salwa, berharap menemukan
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

513

sesuatu yang dapat dijadikan sebagai penjelasan atas keberaniannya melarikan diri. Tidak mungkin gadis lugu dan polos yang dikenalnya, kini menjadi berani meninggalkan keluarga hanya untuk lari dari suaminya. Pasti ada alasan lain. Wawan merasa tersiksa setelah melihat potret-potret Salwa yang dibuat dengan latar belakang beberapa tempat di Yogyakarta. Gadis kecilnya kini berubah menjadi semakin sempurna. Membaca buku-buku catatan Salwa membuat perutnya bertambah mual. Nama Liwa bisa ditemukan di setiap halaman, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah. Setelah selesai dengan buku-buku itu, dia mulai menyusuri sudut-sudut kamar. Pelan-pelan, apa yang tadi tidak terlihat, kini mulai nampak semakin banyak dan semakin banyak. Kalau tidak dengan nama Liwa, ada huruf-huruf L yang mudah ditemukan, di sisi luar meja dan lemari, pada benda-benda kecil, dan juga pada tastas kuliahnya. Dengan tenaga yang hampir habis oleh lelah dan kemarahan, Wawan terus mencari-cari lagi apa yang selama ini berusaha dipendam dan dirahasiakan oleh Salwa. Kotak sepatu itu, yang diletakkan di bawah dipan dan tersembunyi oleh sisi lemari yang diatur merapat dengan dipan itu, tidak akan menarik perhatian Wawan kalau saja tidak ada huruf L berukuran besar yang diapit oleh huruf-huruf L berukuran kecil. Wawan mengambil kotak itu, lalu membukanya. Isinya ternyata kertaskertas surat bermotif sangat bagus. Semua kertas itu sudah tertulis dengan tulisan tangan yang sangat apik.
Johan M.

514

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Tanggal di bagian akhir surat menjelaskan bahwa Salwa menulisnya hanya sela dua atau tiga hari. Surat itu berisi cerita tentang pengalaman-pengalamannya yang unik, menarik, menyedihkan, juga amat menggembirakan. Bahasa tulisannya nyaris seperti buku harian kalau saja di bagian awalnya tidak ada larik yang secara khusus menunjukkan untuk siapa surat-surat itu ditulis: untuk kekasihku yang membuat dunia terasa seperti surga pertamaLiwaul Hamdi. *** Setelah dua minggu, Salwa menjadi lebih mengenal tempat-tempat di sekitar kebun salak milik Bapak dan Ibu Karwo, dua petani tua yang kini sudah dianggapnya sebagai orang tua kedua setelah bapak dan ibunya di Lombok. Dua petani itu ditemuinya secara tidak sengaja, ketika dia tersesat di lereng Gunung Turgo. Setelah lelah berjalan kaki, dia duduk di tepi jalan untuk beristirahat. Begitu melihat ada orang yang akan melintas di depannya, Salwa menyapa mereka. Dia hanya menjelaskan perjalanannya yang tanpa tujuan, dan tibatiba sudah diajak ke tempat tinggal mereka, sebelum ada alasan yang sempat diungkapkan. Salwa berusaha membuat kedua orang tua yang mengaku tidak punya anak itu merasa senang dengan kehadirannya. Dia membantu Bu Karwo menyiapkan makanan di pagi hari, selesai salat Subuh, untuk dibawa ke kebun. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu seharian di antara pohon-pohon salak yang sudah berbuah.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

515

Melihat buah salak yang masih ada di pohonnya merupakan keajaiban bagi Salwa. Jari-jari tangannya sempat tergores duri-duri di sekitar buah, beberapa kali, sebelum menguasai cara yang lebih aman untuk memetik salak. Lamunannya sering mengganggu keceriaan mereka bertiga. Alangkah indahnya bisa melihat semua ini bersama Liwa. Lebih indah lagi jika bisa memintanya memetik buah-buah salak itu untuk dimakan berdua. Dengan seizin kedua orang tua itu, Salwa membuat tempat berteduh sendiri, di atas permukaan tanah yang agak tinggi. Dia mengumpulkan batang-batang kayu sebesar pangkal lengan orang dewasa. Kayu-kayu itu dibuatnya menjadi rangka balai-balai yang diberi atap daun-daun salak kering yang berhasil dikumpulkannya dari seluruh kebun. Tempat itu menjadi semakin baik setelah setiap hari, tiap kali menempatinya, dia menambahkan sesuatu untuk membuatnya menjadi lebih nyaman. Hari-hari berikutnya kemudian terasa cepat berlalu setelah rumah kecilnya berubah menjadi tempat berteduh yang sempurna, tidak hanya untuk beristirahat, tetapi untuk melamunkan keajaiban-keajaiban indah, dan mengingat lagi saat-saat bersama kekasih hatinya, sebagai cara untuk mengobati kerinduannya pada Liwa. Pada akhir minggu ketiga, ketika dia merasa sudah waktunya untuk kembali ke Yogyakarta, dia menyaksikan dua orang tua angkatnya menangis, dan terus mencoba mencegah kepergiannya.
Johan M.

516

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Tetaplah di sini," kata Bu Karwo. "Di sinilah kamu seharusnya ada untuk membahagiakan kami. Atau, apakah kamu tidak bahagia bersama kami?" "Saya bahagia bersama Bapak dan Ibu. Entah bagaimana cara membalas semua kebaikan yang sudah saya terima selama ada di sini. Tetapi saya harus kembali. Masih ada urusan yang menunggu saya di Yogya. Insya Allah, sekali waktu, saya akan datang lagi ke sini." "Jenguklah kami, dengan perasaan yang kau miliki ketika mengunjungi rumah orang tuamu," kata Bu Karwo. "Paling tidak, kalau kau tidak bisa datang setiap tahun, datanglah sekali dalam lima tahun." Permintaan Pak Karwo itu membuat Salwa tidak bisa membendung air matanya. Dia memeluk ibu angkatnya, sangat lama, lalu mencium tangan bapak angkatnya, sebelum melambaikan tangan pada mereka. *** Wawan datang memenuhi panggilan itu. Dia sudah duduk lama di ruang tunggu BP4 sambil terus berharap Salwa akan muncul. Paman Subki sudah menjelaskan padanya bahwa tujuan pemanggilan itu lebih sebagai usaha untuk mendamaikan mereka berdua daripada memisahkan mereka. Karena alasan itulah dia memulai harinya dengan bersemangat dan mendatangi kantor BP4 sambil terus-menerus tersenyum. Keterlambatan satu jam bisa dianggap biasa. Dua jam mundur dari jadwal juga masih bisa dimaklumi asal ada alasan yang bagus. Tetapi setelah hampir lewat tengah
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

517

hari, yang berarti keterlambatan empat jam, Wawan mulai menjadi gelisah. Dia lalu meminta izin menggunakan telepon kantor BP4 untuk menghubungi pamannya. Dia tidak mau salah langkah. Persoalan hukum tentang perceraian tidak terlalu dipahaminya. Salah satu tujuan menikahi Salwa adalah untuk menghindari urusan hukum, untuk menghindari hari ini, yang ternyata oleh takdir telah ditetapkan untuk dijalani menjadi bagian dari kehidupannya. Staf yang kebetulan menangani kasusnya mengizinkannya menggunakan telepon kantor dengan wajah cemberut. Pamannya memberikan nasihat yang segera ia laksanakan begitu menutup teleponnya. Pemanggilan hari itu segera dianggap gagal. Masih ada satu kesempatan upaya perdamaian lagi sebelum pengadilan agama menggelar sidang perceraian mereka. "Apa yang harus kita lakukan agar masalah saya dengan Salwa tidak sampai ke ruang sidang?" tanya Wawan. Paman Subki kembali lagi ke meja kerjanya setelah menutup pintu kantornya. "Seharusnya kamu bisa membawa dia pulang." "Saya tidak menemukan jejaknya, sementara saya tidak bisa tinggal terlalu lama di sana. Baru hari kedua saja saya sudah mendapatkan ancaman dari bos. Dia tidak mengatakan akan memecat, cuma dia mengingatkan, ada banyak orang dalam antrian menunggu panggilan kerja."
Johan M.

518

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

"Mengapa kamu tidak mulai mengajar? Gunakan ijazahmu S1-mu." "Akan saya coba semester berikutnya," kata Wawan. "Jadi, seandainya pada panggilan yang kedua dia tidak datang, apakah berarti kami sudah tidak memiliki kesempatan kembali menjadi suami-istri." "Begitulah. Tidak menghadiri panggilan yang bermaksud mendamaikan hubungan yang terganggu, lebih sering diartikan tidak adanya keinginan baik dari kedua belah pihak. Dan pada situasi seperti itu, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu." "Tetapi saya tidak mau menceraikannya. Saya sudah lelah mengurus dan menjaganya. Saya tidak bisa membiarkan dia begitu saja menjadi lebih gampang dimiliki oleh orang lain." "Kalau begitu, usahakan agar dia datang memenuhi panggilan berikutnya. Mulai sekarang, pikirkan caranya. Sebab kalau Salwa tidak berhasil didatangkan ke pengadilan, perceraian tidak akan bisa dihindari. Dan menurut paman, jangan sekali-kali mempermalukan dirimu. Pada saat panggilan ketiga, jangan biarkan ada kesan bahwa kamu yang diceraikan. Buat kesan sebaliknya, meskipun kita berdua tahu, bukan begitu kenyataannya." *** Panggilan kedua dari BP4 datang setelah dia bekerja satu bulan di Katering Al Maaidah. Siang yang cerah kemudian dengan cepat berubah menjadi mendung dengan ribuan gumpalan awan yang menggunung. Panggilan itu, tidak bisa tidak mengganggu, meskipun
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

519

Salwa sudah berusaha menenangkan dirinya. Kesibukan sebagai karyawan yang ditugaskan membuat kue brownies, tidak banyak membantunya melupakan masalah yang mestinya tidak perlu ada seandainya dulu dia pernah punya cukup keberanian untuk pergi sebelum dirinya berhasil diikat dalam pertalian yang disucikan di bawah paksaan. Sebagai orang yang sangat menginginkan perceraian itu, demi keselamatannya, dan demi cinta sejatinya, dia tidak sabar menunggu panggilan berikutnya, yang diharapkannya bisa benar-benar menjadi panggilan yang terakhir. Cukup sudah penderitaan yang harus dialami sebagai konsekuensi atas penyalahgunaan produk budaya di tempat ia dilahirkan. Ia merindukan datangnya hari-hari untuk memupuk kembali cinta yang sudah tumbuh dari persemaian hatinya dan hati Liwa tanpa ada tambahan rasa berdosa. Salwa menoleh ketika mendengar pintu ruang produksi berderit terbuka. Dia tersenyum pada Sundari, gadis yang sama-sama bekerja di situ dengannya tetapi di bagian desain kemasan. Mereka berdua sekarang tinggal di tempat yang sama, kamar Sundari di bawah, sedangkan kamar Salwa ada di lantai dua, yang merupakan lantai teratas. Sundari sering naik menemui Salwa, terutama di malam minggu, untuk memberi tahu ada teman-teman kuliahnya yang mencarinya. Salwa tidak pernah mau turun menemui teman laki-lakinya. Dia melakukannya bukan karena statusnya yang masih menjadi istri seseorang. Sejak dulu, kesetiaan hatinya,
Johan M.

520

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

telah mendorongnya menjaga semua yang ada pada dirinya, sampai Tuhan mengizinkannya menyatu dengan Liwa. Dia tidak tahu, bagaimana cara membalas cinta seseorang selain yang dapat dilakukannya untuk akhirnya bisa bergerak ke dalam pelukan Liwa. Hanya Liwa yang bisa membuat malam-malam menjadi selalu panjang karena rasa rindu. Hanya mengingat Liwa yang membuat dia tetap merasa teduh walaupun berjalan di bawah sinar matahari. Hanya Liwa yang dia percaya dapat membuatnya bahagia. Pengungkapan hati mereka, yang akhirnya menjadi pertemuan dua arus cinta yang sudah lama saling mencari, membuktikan bahwa semuanya murni dari dalam hati. Liwa adalah orang yang sudah dipilih hatinya untuk menjadi kekasih, begitu juga dirinya, telah dipilih oleh hati Liwa untuk menjadi kekasihnya. "Waw," Sundari memutar badannya sambil berkata, "Apa yang sudah kau lakukan ini? Kukira sejak tadi kerjamu cuma mengaduk adonan." "Aku sedang merindukannya," kata Salwa. Dia menatap kertas-kertas tissue yang ditempelnya di sekeliling dinding ruangan produksi setelah dituliskan nama Liwa. "Hanya dengan begini aku lebih merasa sedang bersamanya." "Aku paham. Aku mengerti. Kau harus tahu, aku juga pernah merasakan apa yang disebut sebagai rindu. Bahkan perasaan semacam itu sangat tidak asing bagiku. Tetapi, kerinduanku, tidak akan membuatku menempel
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

521

kertas tissue di seluruh dinding dan oh Tuhan, semoga Ummi tidak melihatnya!" "Jangan dicabut," kata Salwa, begitu melihat Sundari bermaksud melakukannya. "Nanti aku yang akan menjelaskan pada Ummi bahwa tissue-tissue yang bertulis nama kekasihku adalah resep terakhir yang menjadi rahasia kekhasan citarasa brownies buatanku. Nanti biar aku sendiri yang mencabutnya supaya bisa kutempel lagi." "Gawat betul perasaanmu. Jangan teralu begitu. Tidak baik. Nanti kalau kau tidak jadi menikah dengannya, maka tidak ada lagi cara yang dapat kau temukan untuk membahagiakan dirimu." "Aku sudah pernah menceritakannya padamu." "Yeah," Sundari lalu berkata, "Aku percaya sekarang." *** Wawan menggunakan jas terbaik yang bisa dipinjam dari bosnya. Dulu, waktu menikah, dia terpaksa memakai jas yang dipinjam dari Paman Subki. Jas itu agak buram, khas selera kepala sekolah, dan ukurannya membuat tubuh Wawan nyaris tenggelam. Celananya pun terpaksa harus dilipat ke dalam dan dijahit dengan tangan menggunakan tusuk sum. Kalau waktu itu ada pilihan lain, jas yang lebih baru dan pas di badan, dia akan senang hati mencampakkan jas Paman Subki. Sekarang, jas milik bosnya terasa sedikit lebih nyaman di badan meskipun efek tenggelam yang ditimbulkannya tidak terhindarkan.
Johan M.

522

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Dia mematut dirinya sekali lagi di muka cermin sebelum memutuskan sudah saatnya berangkat ke kantor pengadilan agama. Dia dan Paman Subki sudah mengupayakan pembatalan dan penundaan sidang, bahkan dengan mencoba mengalihkan persidangan ke Yogyakarta, tetapi hasilnya nihil. Peraturan hukum menghendaki pelaksanaan sidang kasus perceraian hanya bisa dilaksanakan di wilayah pengadilan tempat pernikahan pernah dilangsungkan. Surat panggilan terakhir dari pengadilan agama, diletakkan pada bagian teratas dari tumpukan bukti persidangan. Semua berkas yang berhasil dikumpulkannya dimasukkan ke dalam amplop plastik transparan. Dia perlu bekerja seminggu penuh untuk mengumpulkan apa pun yang pernah ditulis oleh dan untuk Salwa, yang berisi tentang alasan-alasan yang akan dikemukakannya nanti dalam persidangan sebagai argumen untuk memohon perceraian yang sebenarnya sangat tidak diinginkannya. Hanya karena tidak mau dikenal sebagai laki-laki yang diceraikan dia akhirnya melakukan sesuatu yang bagi dirinya saja nampak sangat menghancurkan semua harapan baik untuk kembali membangun pondasi pernikahannya yang tengah goyah. Dia tidak terkejut menemukan Salwa dan bapak mertuanya sudah tiba di kantor pengadilan agama lebih dahulu, setengah jam lebih cepat dari jadwalan persidangan. Pamannya tiba sepuluh menit kemudian dengan memakai jas yang dulu pernah dipinjamkan kepadanya. Wawan menjadi agak rapuh melihat
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

523

kenyataan itu. Separuh kesiapan presentasinya lenyap bersama kecemasannya yang mulai muncul. Wawan merasa malu jika akan diketahui oleh calon mantan istrinya bahwa dulu ternyata pernah meminjam jas pada Paman Subki pada acara akad nikah mereka yang memang dipersiapkan terburu-buru. Hakim memberikan kesempatan berbicara pertamatama pada Salwa selaku pihak penggugat. Karena Wawan selalu memotong setiap penjelasan yang diuraikan, Salwa akhirnya mengalah dan memohon pada hakim agar dia diperkenankan tidak melanjutkan penyampaian gugatannya. Setelah hakim mengabulkan perintaan itu, Wawan lalu membeberkan fakta tentang surat-surat cinta yang ditulis oleh Salwa untuk kekasih gelapnya, sebagai bukti bahwa istrinya telah berbuat serong. Dia sengaja tidak menjelaskan kapan dan di mana surat-surat itu ditemukan, yang nanti bisa membuktikan bahwa suratsurat itu sebenarnya tidak pernah dikirim, dan suratsurat itu sebenarnya ditulis sebelum Salwa menikah. Wawan lalu melengkapi bukti-buktinya dengan menyerahkan printout e-mail, dari dan untuk Salwa, yang dianggapnya sebagai bukti-bukti sangat jelas mengenai banyak perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya. Apa pun yang dikeluhkan oleh Salwa, yang mungkin sempat membuat hakimnya simpati, sepertinya sekarang sudah lenyap dan digantikan oleh rasa benci pada sosok istri yang berbuat serong. Simpati itu yang dikejar oleh Wawan. Dia ingin tampil sebagai pria yang tahu benar
Johan M.

524

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

dengan kenakalan istrinya tetapi dengan rasa cinta yang amat besar dalam dirinya dia merasa sanggup menanggung semua derita itu dan siap memberikan maaf demi keutuhan keluarga yang telah dibangunnya. Hal terakhir yang dilakukan Wawan kemudian ialah menumpuk foto-foto jarum suntik yang diklaimnya sebagai jarum suntik narkoba yang diakuinya didapatkan dalam kemasan tersembunyi di dalam laci meja rias istrinya. Salwa menyaksikan pertunjukan itu dengan kecemasan baru. Apakah pikiran bahwa kalau aku tidak memiliki maka semua laki-laki juga tidak boleh memilikinya dan untuk itu aku harus memenjaranya kalau tidak sanggup mebunuhnya, telah merasuki jiwa Wawan? Salwa berusaha tidak membuat banyak gerakan di tempat duduknya. Dia tidak mengajukan keberatan apa pun. Inilah saatnya mengatakan apa yang seharusnya diucapkan oleh wanita yang tidak mau kembali ke dalam pelukan suaminya. Saya bukan wanita yang baik untuk terus menjadi istrinya. Buatlah agar kami segera resmi bercerai. Bukan begitu, kata Wawan. Dia berusaha mengambil alih kesempatan memberikan penjelasan. Saya sadar bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang sangat buruk. Bahkan banyak hal yang sangat buruk, tetapi saya ingin tetap menjadi suaminya, karena hanya dengan tetap menjadi suaminya saya bisa leluasa membantunya pulih kembali menjadi wanita baik-baik.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

525

Perceraian selalu melahirkan kepedihan, kalau bukan bagi keduanya, pasti bagi salah satunya. Hakim yang masih muda itu, untuk sesaat tidak mengatakan apa pun juga. Dia sepertinya sedang berusaha mengamati siapa yang berbahagia dan siapa yang berduka. Setelah keduanya diberi kesempatan duduk berdua di dalam ruang sidang itu selama hampir setengah jam, akhirnya hakim membacakan keputusannya. Salwa berjalan cepat ke arah pintu, membuka kedua daun pintu itu sendirian. Entah bagaimana, ia sekarang lebih merasa menjadi seperti gadis ketimbang menjadi janda.

Johan M.

526

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

Epilog
Ciuman pertama itu terasa lembut, hangat, dekat, dan melumpuhkan. Liwa maju, menahan dagu Salwa dengan tangan kirinya, sebelum membiarkan bibir mereka menyatu dalam pagutan pertama yang terasa seperti tidak akan pernah dapat dipisahkan. Ketika akhirnya dia berhasil menjauh, Liwa melihat kedua mata Salwa masih terpejam. Sebuah tarikan napas lembut, terdengar seperti isyarat kenikmatan, membuat ciuman itu menyerupai ritual yang tidak seharusnya pernah diakhiri, setelah dimulai. Sesaat setelah ciuman itu, tidak ada di antara keduanya yang sanggup saling menatap, seperti sebelum kepolosan hasrat itu terungkap dan berhasil menyibak banyak rahasia. Mereka perlu menunggu beberapa menit berlalu, untuk kembali bisa berbicara, dan saling mendengarkan. "Kau bahagia bersamaku?" tanya Liwa.
Johan M.

Sebuah Novel Kritik Sosial berjudul Bisikan Tetesan Hujan

527

Tanpa ciuman itu, yang masih memunculkan getaran-getaran lembut di seluruh tubuhnya, dia tetap akan memberikan jawaban yang sama, seperti sebelumnya. "Kau pikir mengapa aku lari, kalau bukan untuk menjemput kebahagiaan yang hanya bisa diraih jika aku tetap bersama denganmu?" Setelah itu, kata-kata lebih banyak tertahan dalam pikiran, lalu hilang digantikan oleh bahasa senyuman dan tatapan.

-tamat-

Johan M.

Anda mungkin juga menyukai