Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SOSIOLINGUISTIK

BAHASA DAN TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT TUTUR

Disusun Oleh:
Novalia
1904420021

Dosen Pengampu:
Edi Suryadi, S.Pd., M. Pd.

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TRIDINANTI
PALEMBANG
2021
A. Latar Belakang
Pada bab yang lalu telah dibicarakan hakikat bahasa secara linguistik,
secara sosiolinguistik, dan hakikat bahasa dilihat sebagai alat komunikasi
manusia; serta pembicaraan mengenai kelebihan atau keistimewaan bahasa
sebagai alat komunikasi dibandingkan dengan alat-alat komunikasi yang lain
atau yang dimiliki makhluk sosial lainnya. Dalam bab ini akan dibicarakan
dulu penggunaan istilah bahasa dalam bahasa Indonesia agar dapat dipahami
dengan lebih baik uraian-uraian berikutnya yang berkenaan dengan hubungan
bahasa dengan masyarakat, serta berbagai aspek yang muncul sebagai akibat
dari hubungan itu.

B. Pembahasan
1. Bahasa dan Masyarakat
a. Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang di
sebut langage, langue, dan parole. Ketiga istlah yang berasa dari
bahasa prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim
di padankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya
Mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya
memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa
Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai
sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi
dan berinteraksi secara Verbal diantara sesamanya. Langage ini
bersifat abstrak. Barangkali istilah diantara dapat dipadankan dengan
kata bahasa seperti terdapat dalam kalimat “manusia mempunyai
bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam
kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada
salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya.
Sebagai alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan
komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa (lihat kembali
bab yang lalu).
Istilah kedua dari Ferdinand De saussure yakni langue
dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi
dan berinteraksi sesamanya. Jadi, mengacu pada sebuah sistem
lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu yang barangkali dapat dipadankan dengan kata
bahasa dan kalimat "Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika
belajar bahasa Inggris" sama dengan langage yang bersifat abstrak,
langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage
adalah suatu sistem pola keteraturan, atau kaidah yang ada atau
dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka
istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret karena parole itu
merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan
yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi
atau berkomunikasi sesamanya. Parole disini barangkali dapat
dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat. kalau beliau berbicara
bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken ". Jadi, sekali
lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati
secara empiris.
Perlu dicatat yang menjadi objek studi linguistik adalah langue,
sebagai suatu sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan melalui parole.
Mengapa? Karena parole inilah yang dapat di observasi secara
empiris. Itu tidak dapat diamati secara empiris karena sifatnya yang
abstrak: padahal setiap penelitian harus dilakukan melalui Data
empiris itu.
Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue dan parole
diatas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia
menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang
berasal dari bahasa Perancis itu dapat dipadankan dengan satu kata
bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda. Beban
konsep atau makna yang ditanggung kata bahasa itu, memang sangat
berat karena selain menanggung konsep istilah langage, langue, dan
parole itu juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan
penggunaan kata bahasa dalam kalimat kalimat berikut!
- Sesama aparat penegak hukum haruslah Ada kesamaan bahasa, agar
keputusan yang diambil tidak bertentangan.
- Bahasa militer tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan di
sana.
- Nyatakanlah rasa cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti akan
lebih baik.
- Sang raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui
bahasa sang permaisuri telah tiada.
- Agak sukar juga berbicara dengan orang yang tergila-gila bahasa itu.
Kelima kata bahasa diatas tidak ada hubungannya baik dengan
kata langage, langue, maupun parole. Yang pertama berarti
'kebijakan, pandangan': yang kedua berarti"cara": yang ketiga berarti
'alat komunikasi': yang keempat berarti 'bahwa': dan kelima berarti
'agak'.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, Sebab Dia
adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada
umumnya bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa
tertentu. Tetapi sebagai langit bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri
keuniversalannya, bersifat terbatas pada suatu masyarakat tertentu.
Satu masyarakat tertentu ini Memang agak sukar rumusannya;
namun ada ciri-ciri saling mengerti (Mutual intelligible) barangkali
bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk
yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan di
lereng gunung Salak Bogor, masih berada dalam satu masyarakat
bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti
dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau
berinteraksi secara verbal. yang berada di Banyumas dengan yang
berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada
dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada
saling mengerti diantara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk di Garut Selatan
dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya kesamaan
sistem dan subsistem fonologi morfologi sintaksis, leksikon dan
semantik diantara parole parole yang mereka gunakan. Begitu juga
dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang, dan Surabaya,
mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan
kesamaan sistem dan subsistem dalam parole yang mereka gunakan.
Tetapi antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di
Banyumas tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka
sesamanya. Hal ini terjadi karena paru-paru yang digunakan diantara
penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem
maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem
diantara ke-2 masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak
terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem lainnya yang
berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di
Garut Selatan dan di Banyumas itu kita menyebutnya ada dua buah
sistem lainnya yaitu bahasa Sunda di Garut Selatan dan bahasa Jawa
di Banyumas.
Dengan demikian kita menyebut dua paralel dari dua
masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda
adalah karena adanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini
adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus
ada ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling
mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda
dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat
saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik
ada persamaan sistem dan subsistem diantara kedua parole yang
digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa
Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya
berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Malaysia Bukankah berdasarkan kriteria
linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang
digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan
di Indonesia adalah bahasa Indonesia. Kasus serupa terjadi di Swedia
Norwegia dan Skandinavia. Secara linguistik bahasa yang digunakan
oleh penduduk di 3 negara itu adalah sebuah bahasa tetapi secara
politis penduduk di 3 negara itu mengaku memiliki bahasa Masing-
masing. Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku
bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi
verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka
berbeda. tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan
baik, karena sistem tulisan mereka sama yaitu bersifat ideografis.
Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna,
meskipun wujud bunyinya tidak sama. Atau Kalau mengikuti
peristilahan De saussure 1916 setiap huruf melambangkan signifie',
meskipun signifiant nya tidak sama. dalam kasus bahasa Inggris
dewasa ini sudah tampak adanya usaha untuk memberi nama
berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di
Amerika dan di Australia dengan munculnya nama British English
dan American English dan Australian English. Kiranya ada Anda
dapat mengamati atau mendiskusikan masa depan Bahasa Inggris
yang digunakan di ketiga negara itu.
Di atas sudah dikemukakan bahwa parole yang digunakan
penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan dibagi di Bogor adalah
berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih
terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem diantara parole ketiga
tempat tersebut. jadi, di dalam "keberadaan" mereka masih terdapat
"Kesaling-mengertian". Dalam kasus ini, parole parole yang
digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari
sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatakan sebagai.
Dua bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan
bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh diatas kita
menemukan bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek
Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya. tentang dialek dan
ragam bahasa lebih jauh lihat bab 5.
Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri
dalam berbahasa atau berbicara atau menulis. Kekhasan ini dapat
mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan
penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita
akrab dengan seseorang kita akan dapat mengenali orang itu hanya
dengan mendengar suaranya saja orangnya tidak tampak, atau hanya
dengan membaca tulisannya saja namanya tidak disebutkan dalam
tulisan itu. ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek.
Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.
Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan
bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah
dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu
juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah
sebuah bahasa, Karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling
mengerti: tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa
yang berbeda contohnya bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia.

b. Verbal Repetoire
Di atas sudah dibicarakan bahwa Ferdinand De saussure
membedakan antara language dan parole antara bahasa sebagai sebuah
sistem yang sifatnya abstrak dan bahasa Dalam penggunaannya secara
nyata di dalam masyarakat yang bisa kita sebut tuturan (Inggris:
speech). Pakar lain, Chomsky, tokoh tata bahasa generatif
transformasi, menyebutkan adanya kompetens (Inggris: competence)
di samping performans (Inggris performance). yang dimaksud dengan
kompetensi adalah kemampuan, yakni Pengetahuan yang dimiliki
pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performance adalah
perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan
yang sebenarnya di dalam masyarakat. Halliday, tokoh linguistik
sistemik, yang banyak menaruh perhatian pada segi kemasyarakatan
bahasa tidak secara eksplisit membedakan bahasa sebagai sistem dan
bahasa atau tuturan sebagai keterampilan dia hanya menyebut adanya
kemampuan komunikatif Inggris (communicative competence), yang
kira-kira merupakan perpaduan atau gabungan antara kedua
pengertian itu, yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif
adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan
bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma
penggunaan bahasa dengan konteks situasi dari konteks sosialnya
(halliday 1972:269-293). Jadi, untuk dapat disebut mempunyai
kemampuan komunikatif seseorang itu haruslah mempunyai
kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan
yang tidak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih
bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, mampu
memilih ungkapan yang sesuai dengan tingkah laku dan situasi, serta
tidak hanya menginterprestasikan makna referensial (makna acuan)
tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situsional.
Setiap penutur suatu bahasa, tentunya dengan berbagai taraf gradasi,
mempunyai kemampuan komunikatif itu.
Kemampuan komunikatif seseorang ternyata juga bervariasi,
setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan berbagai variasinya atau
ragamnya: dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa Ibu, juga
sebuah bahasa lain atau lebih utama yang diperoleh sebagai hasil
pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar
lingkungannya. Rata-rata seorang Indonesia yang pernah menduduki
bangku sekolah menguasai bahasa Ibunya dan bahasa Indonesia.
Selain itu, mungkin menguasai satu bahasa daerah lain atau lebih, dan
juga bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya Apabila mereka
telah memasuki pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Semua
bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang
penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal
repertoir dari orang itu.
Verbal repertoire Sebenarnya ada dua macam yaitu yang
dimiliki setiap penutur secara individual dan yang merupakan milik
masyarakat tutur secara keseluruhan. yang pertama mengacu pada
alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk
kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan
situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat
verbal yang ada di dalam suatu masyarakat beserta dengan norma-
norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem
interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut
sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan
kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik
korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976:22). Kedua jenis
sosiolinguistik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan yang
sangat erat tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling bergantung.
Maksudnya, verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh
masyarakat dimana' dia berada; sedangkan verbal repertoir suatu
masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur
di dalam masyarakat itu.

c. Masyarakat Tutur
Kalau suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai
verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan
di dalam masyarakat itu maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang
itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (Inggris:
Speech Community). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya
sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama melainkan
kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi yang patut dicatat,
untuk dapat disebut satu. masyarakat tutur adalah adanya perasaan
diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur
yang sama (lihat Djokokentjono 1982). Dengan konsep adanya
perasaan menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek
yang secara linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua
bahasa dari dua masyarakat tutur yang berbeda. Misalnya, bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia, yang masing-masing oleh para
penuturnya dianggap dua bahasa yang berbeda.
Fishman (1976:28) menyebut "masyarakat tutur adalah suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan
penggunaannya". Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur
bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan
dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Kata
masyarakat itu kiranya digunakan sama dalam
penggunaan"masyarakat desa","masyarakat kota","masyarakat Jawa
Barat","masyarakat Inggris","masyarakat Eropa", dan yang hanya
menyangkut sejumlah kecil orang seperti "masyarakat pendidikan",
atau "masyarakat linguistik Indonesia".
Dengan pengertian terhadap kata masyarakat seperti itu, maka
setiap kelompok orang yang karena tempat atau daerahnya,
profesinya, hobinya, dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa
yang sama, serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-
norma pemakaian bahasa itu mungkin membentuk suatu masyarakat
tutur. Begitu juga masyarakat tutur dalam ranah sosial seperti rumah
tangga, pemerintahan, keagamaan dan sebagainya. Sebaliknya,
masyarakat tutur itu mungkin meliputi pemakaian bahasa dalam satu
Negara atau beberapa negara, apabila masyarakat di dalam negara
atau negara-negara itu mempunyai perasaan bahwa mereka
menggunakan bahasa yang sama. Contohnya, masyarakat tutur bahasa
Indonesia adalah satu negara, masyarakat tutur bahasa Inggris
meliputi berbagai Negara. malah dalam kasus di Negara Belgia, kita
lihat bahwa bangsa Belgia mempunyai negara, tetapi tidak
mempunyai bahasa. Sebagian orang Belgia masuk anggota
masyarakat tutur bahasa Perancis, dan sebagian lagi masuk anggota
masyarakat tutur bahasa Belanda (dialek Vlam).
Bahasan mengenai masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam,
yang barangkali antara satu dengan yang lainnya agak sukar untuk di
pertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan "sekelompok
orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama". Batasan
Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik
sebab, terutama dalam masyarakat modern banyak orang yang
menguasai lebih dari satu ragam bahasa; dan di dalam masyarakat itu
sendiri terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, batasan yang
diberikan oleh Labov (1972:158) yang mengatakan"satu kelompok
orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa",
dianggap terlalu luas dan terbuka. Untuk memahami lebih jauh dan
lebih luas, lihat Wardhaugh 1990:113-126.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal
repertoir nya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal
langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara
referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti
integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara bangsa atau
daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah Negara, bangsa, atau daerah
membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu.
Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa
daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya
dengan variasi kebahasaan. Dalam hal ini ada baiknya dikemukakan
di sini contoh yang diberikan Fishman (1975: 30) apa yang terjadi di
Amerika. Setiap hari beratus-ratus penduduk connecticut, yang
terletak diluar kota New York, bekerja di kota metropolitan New
York. Setiap hari mereka berinteraksi verbal dengan rekan kerja
mereka penduduk asli New York yang dialeknya lain dengan mereka.
Dalam interaksi ini mereka menggunakan "bahasa" yang bukan dialek
mereka dan bukan dialek New York milik lawan bicara mereka.
Kedua pihak menggunakan suatu bahasa yang disebut"bahasa
Amerika standar". Bahasa Amerika standar ini bukan milik rakyat
Amerika secara keseluruhan sebab tiap-tiap daerah di Amerika
mempunyai dialek masing-masing. Meskipun begitu, karena bahasa
Amerika standar merupakan satu variasi yang mempunyai fungsi
sebagai integrasi simbolis bangsa Amerika dan repertoire
kebahasaannya, maka setiap daerah (termasuk daerah Connenticut)
mewakili masyarakat tutur bahasa Amerika standar. Situasi seperti
yang terjadi di Amerika itu terdapat pula di Indonesia. Setiap hari
ribuan tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai
bahasa daerah yang berlainan, bekerja di pabrik-pabrik di Jakarta dan
di sekitar Jakarta, mereka sesama rekan sekerjanya menggunakan
bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Jadi, mungkin mereka berbahasa
ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat tutur bahasa
Indonesia. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari fungsi ganda
bahasa Indonesia: sebagai bahasa nasional, dan bahasa negara, dan
bahasa persatuan.
Kalau kita melihat kasus masyarakat tutur bahasa Indonesia di
atas, maka bisa dikatakan bahwa bisa terjadi suatu masyarakat tutur
itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang
sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya
komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap mengakui
kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa
atau variasi bahasa yang digunakan (Lihat juga Gumperz 1964:37-53)
dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa kompleksnya suatu
masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi
bahasa di dalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap
para penutur di mana variasi itu berada. Lalu verbal repertoir suatu
masyarakat tutur merupakan refleksi dari repertoire seluruh
penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman 1975:32).
Refleksi ini menyangkut luas jangkauan, kedalaman, pemahaman, dan
Keluwesan repertoir itu.
Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat
dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu
(1) masyakarat tutur yang repertoir pemakainya lebih luas, dan
menunjukan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula; dan
(2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai
pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan
menunjukan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit,
termasuk juga perbedaan variasinya.
Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyakarat
yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan
modern. Hanya, seperti dikatakan Fishman (1973:33) dan juga
Gumperz (1964:37-53), masyarakat modern mempunyai
kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan
cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama;
sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan
cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor
kultural.

d. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat


Sudah dibicarakan dimuka bahwa pokok pembicaraan
sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya
di dalam masyarakat. Hubungan yang bagaimanakah yang terdapat di
antara bahasa dan masyarakat itu? Jawabnya adalah adanya hubungan
antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau
dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam
masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan
ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari dirumah kita menggunakan
ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam
usaha, dan untuk kegiatan mencipta karya seni puisi atau novel kita
menggunakan ragam sastra. Pertanyaan kita sekarang adalah: Adakah
hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat?
Untuk menjawabnya, kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan
tingkatan sosial didalam masyarakat itu. Adanya tingkatan sosial
didalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi
kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial
yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan
perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan
lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf
perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. saja Taraf
pendidikannya lebih baik, namun, taraf perekonomian nya kurang
baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi
memiliki taraf perekonomian yang baik.
Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dan
bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa jawa. Mengenai
tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi
masyarakat jawa atas empat tingkat, yaitu
(1) wong cilik,
(2) wong sudagar,
(3) priyayi, dan
(4) ndara;
sedangkan Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed.)
1976) membagi masyarakat jawa menjadi tiga tingkatan, yaitu
(1) priyayi,
(2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota,
dan
(3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat
dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat itu, maka
dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang
digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam
bahasa yang digunakan dikalangan wong cilik tidak sama dengan
wong Saudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para
priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang
berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim juga
disebut sosiolek (Nababan 1984). Perbedaan variasi bahasa dapat juga
terjadi apabila yang terlibat dalam peraturan itu mempunyai tingkat
sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan
priyayi atau ndara; tahu petani yang tidak berpendidikan berbicara
dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing
menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat
sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi,
yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan
tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko.
Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-
tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak-
usuk. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undak-usuk ini
menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa tersebut
untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap
lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah.
Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebih tinggi kedudukan
sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan
sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan bicaranya.
Kesulitan ini ditambah pula dengan semacam kode etik, bahwa
seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa
yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dilihat betapa rumitnya
pemilihan variasi bahasa untuk berbicara dalam bahasa Jawa.
Sehubungan dengan undak-usuk ini bahasa Jawa terbagi dua
yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah.
Namun, di antara keduanya masih terdapat adanya tingkat-tingkat
antara. Uhlenbeck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi
tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga, yaitu krama, Madya, dan
ngoko. Lalu, masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama,
kramantara, dan Wreda krama Madyangoko, madyantara, dan madya
krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan Clifford Greetz
(1976:168) membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan
ngoko. Lalu krama diperinci menjadi krama inggil, krama biasa, dan
krama madya; sedangkan ngoko diperinci lagi menjadi ngoko madya,
ngoko biasa, dan ngoko sae, (yang pemakaiannya agak khusu). Untuk
jelasnya simak contoh berikut yang diangkat dari Suwito (1983). Pada
contoh berikut dapat dilihat bedanya variasi bahasa krama dan ngoko
dilihat dari si penanya. Kalau si penanya mempunyai status sosial
yang lebih rendah dari si penjawab, maka biasanya digunakan bentuk
krama sedangkan Si penjawab menggunakan bentuk ngoko; kalau si
penanya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari si penjawab,
maka dia menggunakan bentuk ngoko, sedangkan menjawab
menggunakan bentuk krama,; Kalau status sosial penanya dan
penjawab sederajat, Maka kalau si penanya menggunakan bentuk
krama, si penjawab pun harus menggunakan bentuk krama; dan kalau
si penanya menggunakan bentuk ngoko maka si penjawab pun harus
menggunakan bentuk ngoko. Kalimat pertanyaan, jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, adalah, "Anda hendak pergi ke mana?",
dan kalimat jawaban adalah,"mau pulang."

A B
Anda mau pergi kemana? Mau pulang
Variasi Kedu Vaiasi
-
dukan
- Kra 1. Sampeyan ajeng + Ngo 1. Arep
ma teng pundi ko mulih
2. Panjenengan badhe 2. Arep
tindak (dhateng) mulih
pundi? - Kra 1. Ajeng
ma wangs
+ 1. Kowe arep ul
+ Ngo menyang endi? 2. Badhe
ko 2. Slirane/panjene wangs
Kra ngan arep ul
ma tindak/menyan
g endi? + Kra 1. Ajeng
1. Sampeyan ajeng ma wangsul
Ngo teng pundi 2. Badhe
ko 2. Panjenengan badhe wangsul
tindak (dhateng) - Ngo 3. Arep
pundi? ko mulih
3. Kowe arep 4. Arep
menyang endi? mulih
4. Slirane/panjenenga
n arep
tindak/menyang
endi?

Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multi etnis,


tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsaan dan mungkin
sudah tidak ada; atau Walaupun ada sudah tidak dominan lagi diketik
sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial
ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibu kota Jakarta ada dikenal
istilah golongan atas golongan menengah dan golongan bawah. Siapa
saja yang masuk golongan atas golongan menengah dan golongan
bawah adalah relatif, agak sukar ditentukan; Tetapi kalau dilihat
golongan sosial ekonominya, maka anggota ketiga golongan itu bisa
ditentukan. maka masalah kita sekarang: Adakah hubungan antara
kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dengan penggunaan bahasa.
Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara kelas sosial
ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa
dan Amerika telah banyak dilakukan orang.

Penelitian pertama adalah barangkali yang dilakukan C. R. J


Ross tahun 1956 (dimuat dalam make black the important of language
1962). Dalam penelitian itu Ross menemukan adanya perbedaan
ucapan, perbedaan tata bahasa, dan pilihan kata dari ragam bahasa
Inggris lapisan atas (upper class) dan yang bukan lapisan ata (Non-
Upper Class). Penelitian lain, Trudgill (1974:44) memberikan angka
statistik persentase kelompok lapisan masyarakat yang menggunakan
bentuk tanpa /s/ untuk yang sebenarnya menggunakan /s/, seperti
kalimat-kalimat

- She like him very much


- He don't know a lot, do he?
- It go ever so fast
Perhatikan tabel berikut, yang berisi persentase penggunaan kata /s/
di Norwich, inggris, dan Detroit, Amerika Serikat.
Norwich Detroit
MMC 0% UMC 1%
LMC 2% LMC 10%
UWC 70% UWC 57%
MWC 87% -
LWC 97% LWC 71%

Keterangan:
Norwich MMC = golongan menengah menengah
LMC = golongan menengah rendah
UWC = Golongan buruh atas
MWC = golongan buruh menengah
LWC = golongan buruh rendah
Detroit UMC = golongan menengah atas
LMC = golongan menengah rendah
UWC = golongan buruh atas
LWC = golongan buruh rendah
Hasil penelitian itu menunjukkan terdapatnya dua korelasi yang
bermakna, yakni
(1) semakin tinggi kelas sosial masyarakatnya, semakin jarang
terdapat bentuk tanpa /-S/; dan
(2) perbedaan yang terbesar terdapat antara golongan UWC dan LMC:
di Norwich UWC 70% sedangkan LMC 2%; dan Detroit UWC
57% sedangkan LMC 10%. Hal ini menunjukkan adanya jurang
kemasyarakatan antara golongan buruh atas (UWC) dan golongan
menengah rendah (LMC) yang lebih besar daripada antara
golongan-golongan yang lain.
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi
dengan bahasa adalah yang dilakukan oleh William labov di kota New
York. Penelitian yang dilakukan dalam bidang fonologi ini adalah
pertama tentang pengucapan fonem frikatif /Φ/ yang dalam ortografi
dilambangkan dengan grafem <th>; kedua tentang pengucapan
fonem /r/ pada posisi akhir atau yang berada di depan konsonan.
Dalam penelitian ini Labov membagi anggota masyarakat kota New
York atas 4 tingkatan, yaitu kelas bawah (Lower class), kelas pekerja
(Working Class), kelas menengah bawah (Lower middle class), dan
kelas menengah atas (Upper middle Class). Hasil penelitian mengenai
pengucapan fonem Φ seperti terdapat pada kata-kata Thin, Think, dan
Thing menunjukkan bahwa pengucapan fonem tersebut ternyata
berbeda-beda. Ada yang mengucapkan sebagai konsonan frikatif [Φ],
ada yang mengucapkan sebagai konsonan aplikatif [tΦ] dan ada juga
yang mengucapkan sebagai konsonan letupan [t].
Garis horizontal menunjukan empat gaya dalam pemgucapan
<th> yaitu (A) gaya berbicara santai, (B) gaya berbicara resmi, (C)
gaya membaca teks, dan (D) gaya membaca daftar kata. Kelas-kelas
sosial ekonomi ditunjukan oleh garis-garis bertanda; (KB) untuk kelas
bawah, (KP) untuk kelas pekerja, (KMB) kelas menengah-bawah, dan
KM untuk kelas menengah atas. Lalu, garis vertikal menunjukkan
angka indeks th rata-rata. Angka ini didapat dengan cara memberi
angka satu untuk setiap munculnya bunyi aprikot, dan angka dua
angka untuk setiap munculnya bunyi letupan, sedangkan munculnya
bunyi frikatif tidak diberi angka, karena secara normatif ucapan itulah
yang dianggap benar. Hasilnya dikalikan dengan angka 100; dan hasil
perkalian ini dibagi dengan semua jumlah variasi pengucapan th itu
yang terdapat dalam contoh atau sampel. Kalau kita simak grafik
tersebut akan tampak adanya hubungan yang jelas antara sosial
ekonomi dengan variasi pengucapan fonem <th> itu. Makin tinggi
kelas sosial ekonomi penutur, makin dekat ucapannya dengan ucapan
yang ideal yakni bunyi frikatif. Dari grafik itu terlihat pula adanya
variasi berdasarkan gaya dalam pengucapannya. Apabila gaya
semakin tidak resmi, maka penyimpanan dari ucapan yang ideal yaitu
predikatif, menjadi semakin bertambah.
Penelitian kedua mengenai fonologi yang dilakukan labov
adalah mengenai pengucapan air yang terdapat pada posisi akhir atau
pada posisi dimuka konsonan, seperti terdapat pada kata-kata car,
guard, door, dan. Sebelum Perang Dunia kedua di kota New York ada
anggapan bahwa ucapan yang baik atau benar adalah ucapan yang
tidak memperdengarkan bunyi /r/ pada kedua posisi tersebut. tetapi
kini anggapan itu sudah berubah; yang dianggap baik adalah justru
yang memperdengarkan bunyi /r/ itu. Hasil penelitian mengenai
pengucapan fonem /r/ itu di Bagankan dalam grafik tersebut.
Garis-garis horizontal menunjukkan lima macam gaya
pengucapan, yakni empat (A, B, C, D), sama dengan gaya yang sudah
disebut di atas dan ditambah dengan gaya membaca pasangan minimal
e, seperti pa.sangan dock X dark, god X guard; dan dan sauce X
source. sedangkan garis vertikal menunjukkan persentase pengucapan
fonem /r/. Dari grafik tersebut terlihat semakin resmi gaya yang
digunakan maka semakin ideal pengucapan fonem /r/ itu. Namun,
dapat juga dilihat bahwa golongan KMA meskipun dalam gaya santai
masih tetap memperdengarkan ucapan fonem /r/ tersebut, padahal
kelompok yang lain sudah tidak lagi, atau hanya sedikit.
Dari uraian mengenai bahasa Jawa dan hasil penelitian Labov
dapat dilihat bahwa memang ada korelasi antara tingkat sosial didalam
masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan. Lalu, sejalan
dengan kesimpulan itu, adanya hubungan antara kode bahasa dengan
kelas sosial penuturnya, barangkali perlu juga dikemukakan adanya
teori dari Basil Bernstein yang dikenal dengan deficit hypotesis
(Nababan 1984 menyebutnya hipotesis kerugian).
Teori ini yang mengangkat nama Bernstein menjadi terkenal
sejak 1959 didasarkan atas adanya perbedaan kode bahasa yang
digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak
golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang
berbentuk lengkap (Elaborated code) di rumah, sedangkan anak-anak
golongan buruh rendah dibesarkan dalam lingkungan variasi bahasa
yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap (Restricted Code). Di
dalam pendidikan formal di sekolah digunakan sebagai bahasa
pengantar bahasa ragam baku yang mirip atau dekat dengan variasi
bahasa yang berbentuk lengkap. Oleh karena itu sama anak-anak dari
golongan buru rendah yang di rumah tidak berbahasa lengkap, dan
harus mempelajari bahasa ragam baku diluar pelajaran-pelajaran lain,
menjadi kurang berhasil bila dibandingkan dengan anak-anak dari
golongan menengah. Mereka menjadi dirugikan dengan latar belakang
bahasa mereka yang berbentuk tidak lengkap itu. Jadi hipotesis
berstein ini menyatakan ada hubungan antara keberhasilan dalam
belajar di sekolah dengan latar belakang kebahasaan anak-anak dalam
lingkungannya di rumah.
Banyak pakar seperti Stubbs (1976:48), Trudgill (1975) Laboy
(1970:2) dan halliday (1976, 1978) yang tidak sependapat dengan
hipotesis itu, sebab seperti kita lihat dalam kenyataan, keberhasilan
dalam belajar tidaklah mutlak tergantung pada faktor penguasaan
bahasa, melainkan pada banyak faktor lain (seperti motivasi,
intelegensi, dan keadaan sosiokultural) yang turut menentukannya.

C. Simpulan
Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue dan parole diatas
terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung
beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa
Perancis itu dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus
dalam konteks yang berbeda. yang berada di Banyumas dengan yang berada
di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa
dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti diantara
mereka sesamanya.
Verbal Repetoir Di atas sudah dibicarakan bahwa Ferdinand De saussure
membedakan antara language dan parole antara bahasa sebagai sebuah sistem
yang sifatnya abstrak dan bahasa Dalam penggunaannya secara nyata di
dalam masyarakat yang bisa kita sebut tuturan Inggris pic akar lain, Q, tokoh
tata bahasa generatif transformasi, menyebutkan adanya kompetens Inggris
kompetensi di samping performa Inggris performance. yang dimaksud
dengan kompetensi adalah kemampuan, yakni Pengetahuan yang dimiliki
pemakai bahasa mengenai bahasanya.
Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya
dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyakarat tutur yang repertoir
pemakainya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoir setiap penutur lebih
luas pula; dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai
pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukan
pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan
variasinya.

Daftar Pustaka

chaer, a. (2010). Sosiolinguistik : Perkenalan Awal (rev ed.). Jakarta: Rineka


Cipta.

Anda mungkin juga menyukai