Anda di halaman 1dari 11

Jurnal JUMANJI

PBSI FPBS UPGRIS 2018

KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK:


KETAKSAAN PENGGUNAAN KATA “LAIK JALAN” DALAM
UU NOMOR 22 TAHUN 2009 PASAL 285 AYAT 1

Isa Surya Aji


15410243
085712003655

surya.narendra46@gmail.com

Abstrak

Kajian Linguistik Forensik ini bertujuan untuk 1) menjelaskan makna kata “laik jalan”
dalam UU nomor 22 tahun 2009 pasal 285 ayat 1, 2) memberikan satu pemahaman kepada
masyarakat dan pihak kepolisian tentang kata “laik jalan” sesuai dengan pandangan
kebahasaan,. Proses pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan, wawancara, dan
dokumentasi. Data hasil pengamatan berupa rekaman suara hasil wawancara, transkrip
wawancara, dan data print out UU nomor 22 tahun 2009. Data hasil wawancara berupa respon
dari enam orang responden. Dua responden dari pihak kepolisian dan empat orang responden
dari masyarakat sekitar dengan perbedaan gender, latar sosial, dan latar pendidikan yang
berbeda. Data yang telah diperoleh dipaparkan secara deskriptif. Hasil dari analisis data
menyatakan bahwa 1) kata “laik jalan” berbeda makna dengan kata yang sering disamaartikan
yaitu kata “standar pabrik”, 2) kata “laik jalan memiliki keterkaitan dengan pasal-pasal lain
yang dapat memberikan penjelasan makna yang sebenarnya, 3) makna kata “laik jalan” adalah
‘memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku serta aman untuk dikendarai’.

Kata kunci: ketaksaan kata, laik jalan, layak jalan, lalu lintas, undang-undang nomor 22
tahun 2009.

Abstract

The study of Forensic Linguistics aims to 1) explain the meaning of the words "be eligible
to the road" in Indonesian law number 22 year 2009 article 285 para 1, 2) gives one an
understanding to the people and the police about the word "be eligible to the road" in
accordance with the linguistic. The process of data collection is done by observation,
interviews, and documentation. The data of the observations in the form of sound recording the
results of the interview, a transcript of the interview, and print out the Indonesian law number
22 of the year 2009. Interview results data in the form of response from the six respondents.
Two respondents from the police and four respondents from communities around with gender
differences, social background, and educational background are different. Data that has been
retrieved is displayed are descriptive. The results of data analysis stated that 1) the words "be
eligible to the road" different meanings to the word which is often identified means with “by the
rules of the factory”, 2) the words "be eligible to the road" has linkages with other articles that
can provide an explanation of the actual meaning, 3) the meaning of the words "be eligible to
the road" is ' meet the requirements in accordance with the regulations as well as safe to drive’.

Keywords: ambiguity of the words, be eligible to the road, worth street, traffic, Indonesian law
number 22 year 2009.

358
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
359 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

A. PENGANTAR
Pengguna kendaraan bermotor masing. Berdasarkan data pra penelitian
wajib untuk mematuhi setiap peraturan yang peneliti dapatkan diketahui bahwa
lalu lintas yang berlaku. Hal ini tertuang pasal yang sering digunakan adalah pasal
pada UU No 22 tahun 2009 tentang lalu 285 yang membahas tentang aturan atribut
lintas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun yang digunakan pada sepeda motor.
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Namun, pada kenyataannya
Jalan telah menjadi pedoman utama dalam berdasarkan data pra penelitian yang telah
menindaklanjuti masyarakat yang penulis lakukan masih ditemui polisi
melakukan pelanggaran lalu lintas. yang tetap menilang pengendara
Undang-Undang ini adalah kelanjutan dari kendaraan bermotor roda dua yang surat-
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992. surat kendaraan bermotor dan
Dalam penegakan peraturan lalu kelengkapan atribut motor seperti spion,
lintas, kepolisian satuan lalu lintas sering knalpot, lampu, dan sebagainya lengkap
mengadakan operasi zebra dengan tujuan dengan alasan atribut motornya tidak
menertibkan pengguna kendaraan baik standar pabrik meskipun secara teknis
roda dua atau lebih. Pengguna kendaraan layak untuk dipakai karena tidak
roda dua sering menjadi sasaran utama mengganggu atau membahayakan
dalam operasi zebra karena menurut pengendara lain. Akan tetapi, pihak
penelitian dari Badan Pusat Statistik kepolisian tetap teguh dengan argumen
jumlah sepeda motor di Indonesia “semua atribut sepeda motor harus sesuai
mencapai 105.150.082 lebih banyak dari standar pabrik. Karena laik jalan artinya
jenis kendaraan lainnya. adalah standar dari pabriknya sehingga
Pihak kepolisian sering melanggar UU nomor 22 tahun 2009 pasal
melakukan penilangan bagi pelanggar lalu 285 ayat 1 tentang laik jalan”.
lintas yang tidak mematuhi peraturan lalu Permasalahan ini menimbulkan
lintas dan kelengkapan spesifikasi keambiguan atau ketaksaan kata terhadap
kendaraan bermotor. Penilangan tersebut kata “laik jalan” sehingga kata “laik jalan”
mereka dasari dari UU nomor 22 tahun menjadi seakan memiliki dua arti yang
2009 dengan mengambil pasal-pasal yang diperdebatkan maknanya.
sesuai dengan pelanggaran masing-
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
360 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

Ambiguitas atau ketaksaan makna dilakukan sebelumnya hanya membahas


adalah gejala dapat terjadinya tafsiran tentang teori ambiguitas atau ketaksaan.
lebih dari satu makna. Hal ini dapat terjadi Tujuan penelitian ini adalah untuk
baik dalam ujaran lisan maupun tulisan. membentuk satu pemikiran kepada
Tafsiran lebih dari satu ini dapat masyarakat dan pihak kepolisian tentang
menimbulkan keraguan dan kebingungan kata “laik jalan”. Selain itu, penelitian ini
dalam mengambil keputusan tentang juga bertujuan untuk memutus rantai
makna yang dimaksud. Chaer (2009:104) tindakan pemanfaatan keambiguitasan dari
mengemukakkan bahwa ambiguitas sering kata “laik jalan” ini untuk kepentingan
diartikan sebagai kata yang bermakna tertentu. Penelitian ini mengkaji tentang
ganda atau mendua arti. makna kata. Penelitian ini diharapkan
Sarwiji Suwandi dalam buku menjadi rujukan yang dapat menginspirasi
semantik pengantar kajian makna untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
(2011:144) memaparkan bahwa Penelitian ini dilakukan dengan
ambiguitas mengacu pada sifat konstruksi kajian linguistik forensik yang
yang dapat diberi lebih dari satu menekankan pada aspek semantik dalam
penafsiran. Kebermaknagandaan dalam kebahasaan. Referensi penelitian
ambiguitas berasal dari frasa atau kalimat sebelumnya yang searah dengan penelitian
yang terjadi sebagai akibat penafsiran yang akan dilakukan kali ini antara lain:
sturktur gramatikal yang berbeda. 1. “Linguistik Forensik
Menurut kempson dalam Hasan Alwi Interogasi: Kajian Implikatur
(2002:99), ketaksaan merupakan Percakapan Dari Perspektif Makna
kegandaan makna dari suatu tanda bahasa Simbolik Bahasa Hukum” oleh Sri
yang mengandung oposisi multilateral. Waljinah dari FKIP UMS tahun 2016.
Terlepas dari permasalahan 2. “Ambiguitas Dalam Bahasa
tersebut. Terdapat sisi menarik mengapa Indonesia” oleh Tismanto dari
hal ini peneliti pilih untuk dijadikan Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
sebuah penelitian. Antara lain kajian tahun 2018.
linguistik forensik mengenai ketaksaan 3. :Kajian Semantik: Ketaksaan
kata dalam undang-undang belum pernah Atau Ambiguitas Bahasa Indonesia”
dilakukan, penelitian yang sudah pernah oleh Dian Hayati Rahman dari
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
361 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

Universitas Sebelas Maret Surakarta gawai. Kegiatan pengumpulan data pra


tahun 2014. penelitian ini bertujuan untuk
Penelitian ini merupakan mendapatkan pemahaman yang sering
penelitian kualitatif yang menggunakan digunakan dilapangan terkait dengan
data berupa tuturan dalam interogasi makna kata “laik jalan”.
dengan pihak kepolisian dan masyarakat. 2. Pengumpulan Data Penelitian
Teknik pengambilan sampel dilakukan Setelah mendapatkan data pra
secara acak (random sample) dengan penelitian dilanjutkan dengan
menggunakan metode simak dari rekaman pengumpulan data utama penelitian.
dan dicatat. Pengumpulan data dilakukan Pengumpulan data utama dimulai dengan
dengan menggunakan alat bantu audio mengunduh fail undang-undang nomor 22
untuk dokumentasi, kemudian dibuat tahun 2009 dari internet. Setelah itu,
transkripsi ortografis. dilanjutkan dengan wawancara kepada 6
Adapun metode yang digunakan responden yang terdiri dari 2 responden
dalam penelitian ini meliputi tiga tahap pihak kepolisian dan 4 responden dari
yaitu pengumpulan data pra penelitian, masyarakat sekitar. Wawancara dilakukan
pengumpulan data penelitian, analisis dengan menanyakan makna kata “laik
data, dan penyajian data. Berikut adalah jalan” menurut masing-masing responden.
pemaparan dari setiap tahap. 3. Analisis Data
1. Pengumpulan Data Pra Penelitian Analisis data dilakukan dengan
Pengumpulan data untuk pra mendeskripsikan kata “laik jalan” yang
penelitian diawali dengan melakukan ada di dalam UU nomor 22 tahun 2009
observasi langsung dengan cara pasal 285 ayat 1 dengan cara
mendatangi operasi zebra dari pihak mengidentifikasi kata tersebut berdasarkan
kepolisian dengan menggunakan analisis sematik dalam kajian dimensi
kendaraan bermotor yang telah dipasangi makna. Setelah itu, data dianalisis
atribut yang kurang sesuai. Setelah itu, menggunakan linguistic forensic dengan
peneliti mendokumentasikan secara diam- cara mengaitkan kata “laik jalan” dengan
diam kegiatan dalam operasi zebra dengan pasal-pasal yang berlaku dalam UU nomor
cara menanyai pihak kepolisian tentang 22 tahun 2009 dan peraturan-peraturan
kata “laik jalan” lalu merekamnya dengan yang lainnya. Setelah ditemukan
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
362 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

kaitannya, dibuatlah simpulan dari hasil ketika maknanya jelas tetapi


analisis tersebut. hanya dijelaskan secara
4. Penyajian Data umum saja.
Data penelitian disajikan dalam
d. Lepasnya hubungan
bentuk laporan secara deskriptif terkait
pengkhususan makna butir
makna kata “laik jalan” dalam UU nomor
leksikal, ketika makna
22 tahun 2009. Laporan penelitian
melibatkan pernyataan
dipaparkan secara informal atau dengan
tertentu yang menibulkan
menggunakan uraian kata-kata dari
penulis (Sudaryanto, 1993:145) banyak penafsiran.
Ullmann (dalam Pateda, 2001:
B. JENIS AMBIGUITAS 202; Djajasudarma, 1999: 54)
Menurut Abdul Wahab membagi ambiguitas menjadi tiga tipe
(1995:108), secara garis besar, ada utama, yaitu ambiguitas tingkat
empat jenis utama dari ketaksaan, fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat
anatara lain gramatikal.
a. Kesamaran acuan, yakni a. Ambiguitas tingkat fonetik
ketika makna butir leksikal Ambiguitas tingkat
pada dasarnya cukup jelas, fonetik timbul akibat
tetapi sukar untuk membaurnya bunyi-bunyi bahasa
menentukan apakah butir yang diujarkan, kadang karena
tersebut dapat diterapkan kata-kata yang membentuk
pada benda tertentu atau kalimat diujarkan terlalu cepat
tidak. sehingga orang menjadi ragu
b. Ketidakpastian makna, ketika akan makna kalimat yang
makna itu sendiri terlihat diujarkan (Pateda, 2001: 202).
tidak pasti. Ambiguitas ini berhubungan
c. Kurangnya kekhususan dengan keraguan kita terhadap
dalam makna suatu butir, bunyi bahasa yang kita dengar.
Kadang-kadang karena ragu-
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
363 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

ragu, kita mengambil keputusan adalah ketaksaan yang


yang keliru. terbentuk karena proses
penggabungan satuan-satuan
b. Ambiguitas tingkat leksikal lingual menurut sistem bahasa
Ambiguitas leksikal tertentu. Ambiguitas ini
adalah kegandaan makna yang muncul pada tataran morfologi
ditimbulkan karena adanya butir- dan sintaksis (Djajasudarma,
butir leksikal yang memiliki 1999: 55). Gleason dan Ratner
makna ganda baik karena (1998, dalam Dardjowidjojo,
penerapan pemakaiannya 2005: 77) membagi ambiguitas
maupun karena hal-hal yang gramatikal menjadi dua
bersifat leksidental (Wijana, macam, yaitu:
2008:74). Ambiguitas tingkat 1) Ambiguitas sementara
leksikal ini terjadi karena (local ambiguity), yaitu
penggunaan kata dalam fungsi sintaktik suatu
homonim, homofon dan bentuk leksikal
homograf ( Sudaryono dalam berstatus ambigu
Alwi, 2002:101). Hal ini sampai pada suatu saat
berkaitan dengan makna yang di mana kita
dikandung setiap kata yang dapat memperoleh kata-kata
memiliki lebih dari satu makna tambahan yang
atau mengacu pada sesuatu yang mengudari
berbeda sesuai lingkungan (disambiguate)
pemakaiannya. ambiguitas itu.
c. Ambiguitas tingkat 2) Ambiguitas abadi
Gramatikal (standing ambiguity),
Menurut Wijana dan yaitu kalimat yang tetap
Rohmadi (2008:77), ambigu walaupun telah
Ambiguitas tingkat gramatikal
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
364 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

sampai pada kata latar belakang yang berbeda ditemukan


terakhir. perbedaan penafsiran makna kata “laik
jalan”.
3 dari 4 responden yang peneliti
wawancarai dari pihak masyarakat dengan
latar belakang pekerja swasta dengan usia
C. KETAKSAAN KATA “laik
antara 25 tahun sampai 40 tahun
jalan”
mendefinisikan makna kata ‘laik’ jalan
Berdasarkan data observasi , kata
adalah standar sesuai buatan pabrik.
“laik jalan” dalam UU nonor 22 tahun
Sedangkan 1 dari 4 responden yang lain
2009 diartikan oleh pihak kepolisian yang
dengan latar belakang pelajar atau
bertugas sebagai ‘standar pabrik’
mahasiswa mendefinisikan kata “laik
sedangkan masyarakat ada yang
jalan” adalah layak tanpa harus sesuai
memaknainya sebagai ‘layak jalan’
standar pabrik dan sesuai aturan undang-
sehingga hal ini sering diperdebatkan
undang.
ketika terjadi operasi zebra antara pihak
Data wawancara dengan pihak
polisi lalu lintas dengan masyarakat
kepolisian terdapat perbedaan. Pendapat
awam.
pertama dari komandan satuan polisi lalu
Dari pernyataan di atas dapat
lintas kota semarang menjelaskan bahwa
disimpulkan bahwa jenis ketaksaan kata
makna kata “laik jalan” adalah harus
atau ambiguitas yang terjadi pada kata
sesuai dengan aturan kelayakan yang
“laik jalan” dalam UU nomor 22 tahun
berdasar kepada undang-undang yang
2009 pasal 285 ayat 1 merupakan
berlaku sedangkan 2 dari tiga responden
ambiguitas leksikal karena adanya butir-
yang lain dari pihak kepolisian satuan lalu
butir leksikal yang memiliki makna ganda
lintas mengatakan bahwa laik jalan adalah
baik karena penerapan pemakaiannya
standar pabrik.
maupun karena hal-hal yang bersifat
Ketaksaan ini menimbulkan
leksidental.
kebingungan dalam menentukan makna
Berdasarkan wawancara peneliti
yang sebenarnya. Oleh karena itu,
kepada 8 responden yang terdiri dari 3
dibutuhkan analisis makna dengan
pihak kepolisian dan 5 masyarakat dengan
menggunakan kajian semantik. Menurut
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
365 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

Wijana (2010:34), menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘penuh


makna kalimat tersusun dari keseluruhan konsentrasi’ adalah setiap orang yang
makna leksem-leksem yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
membentuknya dan berbagai unsur yang dengan penuh perhatian dan tidak
terdapat di dalamnya. terganggu perhatiannya karena sakit,
lelah, mengantuk, menggunakan telepon
D. KATA “laik jalan” DALAM UU atau menonton televisi atau video yang
NO 22 TAHUN 2009 PASAL terpasang di Kendaraan, atau meminum

285 AYAT 1 minuman yang mengandung alkohol atau

Kata “laik jalan” yang memiliki obat-obatan sehingga memengaruhi

perbedaan definisi oleh pihak kepolisian kemampuan dalam mengemudikan

dan masyarakat ini terdapat di dalam UU Kendaraan, pasal 48 “(1) Setiap

nomor 22 tahun 2009 pasal 285 ayat 1 Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di

yang berbunyi “Setiap orang yang Jalan harus memenuhi persyaratan teknis

mengemudikan Sepeda Motor di Jalan dan laik jalan. (2) Persyaratan teknis

yang tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri

dan laik jalan yang meliputi kaca spion, atas:

klakson, lampu utama, lampu rem, lampu a. susunan

penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat b. perlengkapan

pengukur kecepatan, knalpot, dan c. ukuran

kedalaman alur ban sebagaimana d. karoseri

dimaksud dalam pasal 106 ayat (3) juncto e. rancangan teknis kendaraan sesuai

pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan peruntukannya

dengan pidana kurungan paling lama 1 f. pemuatan

(satu) bulan atau denda paling banyak g. penggunaan

Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu h. penggandengan Kendaraan

rupiah).” Bermotor, dan/atau

Dari bunyi ayat tersebut dapat i. penempelan Kendaraan Bermotor

diketahui bahwa laik jalan terkait juga (3) Persyaratan laik jalan sebagaimana

dengan persyaratan teknis dalam ayat lain. dimaksud pada ayat 1 ditentukan oleh

Seperti dalam pasal 106 yang berbunyi kinerja minimal Kendaraan Bermotor
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
366 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

yang diukur sekurang-kurangnya terdiri


atas: E. PENGERTIAN KATA “laik
a. emisi gas buang; jalan”
b. kebisingan suara Dikutip dari UU nomor 14 tahun
c. efisiensi sistem rem utama 1992 kata “laik jalan” bermakna
d. efisiensi sistem rem parker persyaratan minimum kondisi suatu
e. kincup roda depan kendaraan yang harus dipenuhi agar
f. suara klakson terjaminnya keselamatan dan mencegah
g. daya pancar dan arah sinar lampu terjadinya pencemaran udara dan
utama kebisingan lingkungan pada waktu
h. radius putar dioperasikan di jalan. Menurut KBBI
i. akurasi alat penunjuk kecepatan daring di laman resmi KBBI
j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi https://kbbi.kemdikbud.go.id/, laik jalan
ban, dan berarti memenuhi persyaratan yang
k. kesesuaian daya mesin penggerak ditentukan serta aman untuk dikendarai di
terhadap berat Kendaraan. jalan (tentang truk, bus, mobil, dan
Ketentuan lebih lanjut mengenai sebagainya).
persyaratan teknis dan laik jalan Berdasarkan dari definisi yang telah
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan dirangkum diatas dapat ditarik simpulan
ayat 3 diatur dengan peraturan bahwa makna kata “laik jalan” adalah
pemerintah. kelayakan jalan dengan memenuhi
Dari penjelasan di atas disimpulkan persyaratan yang telah ditentukan dan
bahwa laik jalan dan persyaratan teknis diatur dalam peraturan-peraturan yang
telah diatur dalam undang-undang no 22 berlaku di Indonesia.
tahun 2009 dan terkait dengan peraturan-
peraturan lainnya misalnya seperti F. MAKNA KATA “laik jalan”
Peraturan Pemerintah tentang persyaratan
BERDASARKAN HASIL
teknis, Peraturan Menteri Negara
ANALISIS
Lingkungan Hidup No. 07 Tahun 2009
Dari hasil pembahasan diatas
tentang ambang batas kebisingan knalpot,
tidak ditemukan makna standar yang dapat
dan sebagainya.
menjadi rujukan untuk mendefinisikan
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
367 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

makna kata “laik jalan”. Jadi, definisi kata


“laik jalan” yang didefinisikan sebagai
standar pabrik tidak bisa digunakan karena
dalam semua Undang-Undang dan
peraturan lainnya yang mendukung tidak
ada yang mendefinisikan laik jalan
sebagai standar pabrik.

G. SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang sudah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa kata
“laik jalan” dapat dimaknai sebagai sesuai
dengan persyaratan yang ada dalam
undang-undang dan aman untuk
dikendarai. Jadi, “laik jalan” tidak berarti
harus sesuai dengan standar pabrik karena
didalam undang-undang sudah tertera
aturan regulasi dan batasan-batasan
tertentu untuk dinyatakan laik jalan.
Memaknai suatu kata tidak boleh
dilakukan secara asal tanpa
memperhatikan hal-hal yang
mempengaruhi pembentukan makna
tersebut. Dalam memaknai kata harus
melihat hal-hal yang menjadi pembentuk
makna tersebut karena apabila kita
mengabaikannya maka akan terjadi
keambiguan makna yang akhirnya
menimbulkan presepsi yang berbeda di
masing-masing individu.
Kajian Linguistik Forensik: Ketaksaan Penggunaan Kata “Laik Jalan” Dalam Uu Nomor 22
368 Tahun 2009 Pasal 285 Ayat 1

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. (2009). Pengantar Semantik Suwandi, S. (2011). Semantik pengantar


Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka kajian makna. Yogyakarta:
Cipta. Lingkar Media.
Fatimah, D. (1993). Semantik 1 Tismanto. (2018). Ambiguitas Dalam
"Pengantar ke arah Ilmu makna". Bahasa Indonesia. Bangun Reka
Bandung: PT Eresco Bandung. Prima.
Hasan, A. (2002). Telaah Bahasa dan Wahab, A. (1995). Teori Semantik.
Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Surabaya: Airlangga University
Indonesia. Pers.
Olsson, J. (2008). Forensic Linguistic Waljinah, S. (2016). Linguistik Forensik
(second edition). New York: Interogasi: Kajian Implikatur
Continnum International Percakapan Dari Prespektif
Publishing Group. Makna Simbolik Bahasa Hukum.
Jurnal Hukum.
Pateda, M. (2001). Semantik Leksikal edisi
kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Wijana, I. D. (2010). Pengantar Semantik
Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Rahman, D. H. (2014). Kajian Semantik: Pustaka Pelajar.
Ketaksaan Atau Ambiguitas
Bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai