Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Semantik yang berjudul
“Pengertian Makna, Teori Pendekatan Dan Pengembangannya”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan, agar dapat
menyempurnakan kembali dimasa yang akan datang.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada Bapak
Ali,S.pd,M.pd selaku dosen pembimbing Semantik dan kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga apa yang
disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan pihak yang
berkepentingan.

Medan, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Makna Dan Pendekatakan Referensial ...................................................... 2
B. Pengertian Makna Dan Pendekatan Ideasional ............................................................ 3
C. Pengertian Makna Dan Pendekatan Behavioral ........................................................... 4
D. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna.........................................................5
BAB III PENUTUP
SIMPULAN ............................................................................................................................. 7
SARAN .................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. .8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Semantik yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to signify atau
memaknai.Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “tetang makna”.Dengan
anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari
linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa , komponen makna dalam hal ini juga
menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat
pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan
terakhir.

Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya
merupakan bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b)
lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hubungan
tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu
mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981: 5).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah pengertian makna dan pendekatan referensial?
2. Bagaimanakah pengertian dalam pendekatan ideasional?
3. Bagaimankah pengertian makna dalam pendekatan behavioral?
4. Bagaimanakah penerapan tiga pendekatan dalam studi makna?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada tujuan yang ingin dicapai.
1. Mengetahui pengertian makna dan pendekatan referensial
2. Mengetahui pengertian dalam pendekatan ideasional
3. Mengetahui pengertian makna dalam pendekatan behavioral
4. Mengetahui penerapan tiga pendekatan dalam studi makna

1
BAB II
PEMBAHASAN

Paparan tentang ciri-ciri bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik memberikan
gambaran keluasan ruang lingkup keberadaan makna. Keluasan ruang lingkup itu ditandai
oleh keterkaitan makna dengan (1) ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan (2) unsur sosial
budaya yang melatari, (3) pemakai, baik sebagai penutur maupun sebagai penanggap, serta
(4) ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan. Akibat keluasan ruang lingkup makna
itu, lebih lanjut juga mengimbulkan berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian
maupun dasar pendekatan yang digunakannya.

A. Pengertian Makna dan Pendekatan Referensial

Berarti telah diketahui, bahasa memiliki berbagai fungsi. Tiga fungsi bahasa yang relevan
diangkat sebagai pijakan awal pembahasan masalah (1) pendekatan referensial (2)
pendekatan ideasional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah, fungsi bahasa sebagai (1)
wakil realitas yang menyertai sebagai proses berfikir manusia secara individual, (2) sebagai
media yang dalam mengolah pesan dan menerima informasi, serta (3) sebagai fakta sosial
yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Apabila fungsi pertama menjadi
pijakan awal pendekatan referensia, fungsi kedua menjadi dasar kajian pendekatan ideasional,
makna fungsi ketiga adalah pusat pandang dari pendekatan behavioral.

Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran
manusia untuk menunjuk dunia luar.Sebagai lebel atau julukan, makna itu hadir karena
adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhanny
berlangsung secara subjektif.Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu,
lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep.
Kata pohon, misalnya, berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan
hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”,
“hidup”, “fana”, sehingga pohon dalam baris puisi Goenawan Muhammad disebutnya....
berbagai dingin di luar jendela/mengekalkan yang esok yang mungkin tak ada.

Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan, dan pemaknaan
tersebut, berlangsung melalui bahasa.Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa
yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau private language (Harman,
1968).Dengan demikian, makna dalam skema konsep dapat merambah ke dunia absurt yang
mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.

2
B. Pengertian Makna Dalam Pendekatan Ideasional

Kelemahan dalam pendekatan referensial, selain telah disebutkan diatas, juga dikaitkan
dengan masalah adanya paradoksal antara keberantungan pada wujud yang diacu dan
subjektifitas dalam memberi julukan. Selain itu, skema konsep yang dianggap bersifat
individual, karena duni kita merupakan dunia yang satu ini juga, pada akhirnya bisa menjadi
milik bersama. Seorang petani adalah salah satu diantara petani lainnya, seorang penyair
adalah satu diantara penyair lainnya. Kelemahan lain yang sangat menarik sehubungan
dengan kajian dalam butir-butir ini adalah meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa
sebagai hubungan antara bentuk dan isi, mencabut makna dari konvensi dan
mengeluarkannya dair konteks komunikasi.

Dalam pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari satu bentuk kabahsaan
yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti.
Gambaran kesatuan hubungan antara makna dan bentuk kebahasaan itu secara jelas dapat
dikaji dalam perumus Grice,..... X meant that P adn X mean that P entail P. Dengan kata lain,
X berarti P dan X memaknakan P seperti dimiliki ole P. X dalam konsep Grice adalah
perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah dimiliki satuan gagasan. Kalimat
yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran tentang
keharusan memaknai X sebgai P seperti yang telah berda dalam konvensi bahwa P adalah P.

Meletakan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti pendekatan
idesional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold J. Katz
mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai unsur-unsur
pembangun kalimat, dapat langsugn diidentifikasi lewat kalimat. Dengan mengidentifikasi
unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan pemaknaan tidak berlangsung
secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pda kesatuan makna yang dapat digunakan dalam
komunikasi (Katz, dalam Steinberg & Jokobovist, 1978: 297). Sebab itulah, apabila X adalah
kata, menurut Grice, X has meaning NN if it is used and comunication (Grice, 1957). Atau
dengan kata lain, kata setelah berada dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang
bermacam-macam. Mungkin makna 1,2,3... N.

Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa yang juga bisa
digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan kegiatan pengolahan pesan lewat bahasa
atau encoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau koding.

Komponen pembabangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja tidak sama
persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti, hubungan linear itu haru diikut daur, yakni
hubunan timbal balik antara penyampai dan penerima pesan yang ditandai oleh adanya
“saling mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk kebahasaan itu dimaknai P oleh
penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras nantinya juga dimaknai P oleh
pendengarnya.

3
C. Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral

Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1) pendekatan
referesial dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran
pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2) pendekatan ideasional lebih
menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dalam
menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan
tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dan
situasional yang oleh kaum behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.

Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang justrul tidak
pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian ideasional yang berkaitan
dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memaknai kode
misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji dianggap
tidak mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan
katifitas pengolahan pesan dan pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak
dari pendekatan behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang
berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil yang
mangandung makna penuh dari keseluruhan atau speech event yang berlangsung dalam
speech situation disebut speech act (Hymes, 1972: 56).

Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan
situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang berbunyi masuk!
Misalnya dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya dalam permainan bulu tangkis,
“berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam” bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi
mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian
harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.

Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll., akhirnya juga
tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky, menganggap bahwa
meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam bahasa dalam rangka menghadirkan makna,
berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang dapat digunakan untuk
mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai suatu sistem adalah “sistem dari
sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon pemakaiannya bukan hanya memperhatikan
kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh refresentasi semantik.
Konponen refresentasi semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung
“sistem luar biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional
sebagai sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai
keseluruahan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah unsur
yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang
pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau phonological rules.
Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian semiotik yang dilaksanakan oleh
Moris.

4
D. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna

Dari ketiga pendekatan yang telah diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses berfikir manusia dalam
memahami realitas lewat bahasa secar benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan
kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat bahas, dan pendekatan ketiga
mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks-sosialsituasional. Dengan
demikian, keberadaan ketiga pendekatan tersebut lebih menyerupai satu rangkaian. Sebab
itulah, Gilbert H. Harman, misalnya, yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah
pendekatan tersebut, lebih puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1968)

Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus berkembang dan
menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama, misalnya yang dilandasi
pemikiran para fisup seperti John Dewey, Rudolf Carnap, maupun Bertad Russell, akhirnya
memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya memahami realitas secara benar. Kajian
yang erat dengan masalah filsafat itupun sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada
umumnya. Hal itu terjadi karena di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk
pencari makna, kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono
diindonesiakan dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and
reflex of converse with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah
bersif.....transedental.

Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena adanya dunia
luar. Kat perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang, adalah kata-kata yang
hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makan dan dunia luar.
Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makna dengan dunia luar memang terdapat
wigati. Sebab itulah dalam kajian semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan pada
awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan
terhadap refresential, konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni
name, ‘bentuk fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen acuan’ tidak lebih hanya
pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure yang digabungkan
dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep yang oleh Ulman diketahui
bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57)

Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana mengolah suatu
realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat pendekatan ideasional
lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan makan lewat struktur
kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan hubungannya dengan realitas”. Pusat
permasalahan dalam pendekatan ideasional itu dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya
perbedaan. Pengkajian semantik yang bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi,
misalnya, meskipun sama-sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap
bahasa adalah a system of rules that expreses the correspondence between sound and
meaning in this language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya
menghadirkan dua kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik
interpretif yang dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan

5
Morris Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach, R
lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).

Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif beranggapan bahwa
komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri sebelum deep strukture.
Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content of lexical item yang akhirnya
membentu post leksikal strukture sebagai butir leksikon yang membangun deep strukture
(Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut tidak sesuai dengan pandangan semanti generatif
yang sebenarnya juga berpijak pada konsep generatif transformasi yang dikembangkan oleh
Chomsky. Bagi mereka, pemilihan tingkat komponen refresentasi sematis lewat struktur
dalam itu pad dasarnya tidak perlu karena keduanya identik.

6
BAB III
PENUTUP

Simpulan

Dapat disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatan pertama mengaitkan
makna dengan masalah nilai proses berpikir manusia dalam memahami realitas lewat bahasa
secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan
mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan
makna dengan fakta pemakaian bahasa dlam konteks sosial-situasional.

Saran

Mengingat terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari
tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya kesalahan dalam
penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun. Adapun kebenaran itu
datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari tim penulis. Tim penulis
berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim penulis buat ini dan pada akhirnya
pembaca akan terus memperdalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga,
tim penulis butuh kritikan dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.

7
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1985, Semantik Pengantar studi tentang makna, Malang: Sinar Baru Algensid.

Anda mungkin juga menyukai