Anda di halaman 1dari 23

BAHASA DAN MAYARAKAT

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah sosiolinguistik

Dosen Pengampu Dr. H. Didin Sahidin, M.pd

disusun oleh:

Nuri Yulhani Alviah

18213014

Kelas 2B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU SOSIAL,BAHASA DAN SASTRA
INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA
GARUT
2019
BAHASA DAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan

Satu-satunya alat komunikasi yang paling sering digunakan manusia ialah bahasa.
Bahasa merupakan alat penghubung ketika manusia akan berkomunikasi. Selama ini patut
disadari, bahasa tidak akan dapat lepas dari ruang gerak manusia dan segala aktifitasnya.
Dalam kehidupan masyarakat, manusia dan bahasa merupakan suatu kesatuan yang utuh,
keduanya tidak dapat dipisahkan, sebab manusia akan sulit berinteraksi tanpa
menggunakan bahasa. Nihayatuzzein (2012:1) menjelaskan bahwa bahasa memiliki arti
suatu alat komunikasi yang menghubungkan ujaran dari para pengujar, sedangkan
manusia merupakan makhluk sosial, berakal, saling membutuhkan dan memiliki tujuan
hidup. Dari penyatuan kedua unsur ini, maka lahirlah suatu masyarakat bahasa.
Bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang bertemu di satu titik, artinya antara
bahasa dan masyarakat tidak akan pernah terpisahkan. Bahasa sebagai sistem lambang
bunyi yang arbitrer, digunakan oleh anggota masayarakat sebagai alat komunikasi dan
berinteraksi. Bahasa begitu melekat erat, menyatu jiwa di setiap penutur di dalam
masyarakat. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi dalam arti
alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan di dalam
masyarakat.
Bahasa dan Masyarakat, Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa itu juga
mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat mengidentifikasi diri (Chaer,
1995:19). Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi bahasa ada dua, yaitu:
1. Sebagai alat interaksi sosial, dan
2. Sebagai alat untuk mengidentifikasi diri
Bahasa sebagai alat interaksi sosial berarti bahasa digunakan sebagai alat komunikasi
antar anggota masyarakat dalam lingkungan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
merupakan alat untuk menyampaikan gagasan dari pembicara kepada pendengar.
Contoh, di lingkungan sekolah, bahasa berfungsi sebagai alat interaksi antar guru
dengan murid, guru dengan kepala sekolah, dan murid dengan murid. Tentunya dalam
interaksi tersebut, ada informasi atau pesan yang ingin disampaikan oleh pembicara
kepada pendengar, misal materi pembelajaran. Di sisi lain, bahasa juga sebagai alat

1
untuk mengidentifikasi diri, baik pribadi maupun kelompok. Jadi, keberadaan bahasa
dalam masyarakat, merupakan cerminan dari masyarakat tersebut. Setiap anggota
masyarakat (atau bahkan secara individu), memiliki karakteristik masing-masing dalam
berbahasa. Dalam kelompok, kita mengenal istilah dialek, yaitu variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya elatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau
area tertentu (Chaer, 1995:83). Jadi wilayah atau tempat di mana bahasa itu digunakan
mempengaruhi penggunaan bahasa tersebut. Contoh, bahasa kelompok masyarakat
pesisir akan berbeda dengan bahasa pada kelompok masyarakat pesantren. Karena
kondisi geografis dan lingkungan menentukan perbedaan penggunaan bahasa oleh
penuturnya.
B. Bahasa dan Tutur
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga
membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.
Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1. Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2. Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam
pikiran orang lain.
3. Suatu kesatuan sistem makna.
4. Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara
bentuk dan makna.
5. Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh:
perkataan,kalimat, dan lain-lain.)
Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
2004:30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah
yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim
dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian
yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan
bahasa.
Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa
sebagai lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesama. Jadi, penggunaan langage pada istilah bahasa tersebut tidak mengacu pada

2
bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa secara umum sebagai alat komunikasi
manusia.
Istilah kedua yang digunakan oleh Ferdinand De Saussure yakni langue. langue
dimaksud sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat
tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya. langue mangacu pada
suatu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu.
Istilah ketiga yaitu parole. parole bersifat konkret, karena parole merupakan
pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran dan tuturan yang dilakukan oleh para
anggota masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya.
Dalam studi linguistik yang menjadi kajiannya adalah langue, sebagai suatu
sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan dengan parole karena parole dapat diamati secara
empiris sedangkan langue tidak bisa diamati. Dari ketiga istilah di atas, langage, langue,
dan parole terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung
beban konsep yang amat berat, karena istilah itu berasal dari bahasa Prancis maka dapat
dipadankan dengan satu kata bahasa meski harus dalam konteks yang berbeda.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu
tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri
keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat
tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual
intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk
yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan di lereng Gunung Salak,
Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena
mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau
berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan yang
berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan
satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti itu disebabkan karena adanya kesamaan sistem dan
subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole
yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang,
dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan

3
sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk
di Garut Selatan dengan penduduk di Banyumas tidak ada saling mengerti secara verbal
di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di
antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun
subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa
ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem
langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Garut
Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa
Sunda di Garut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda
sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara
verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus
ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku
menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk
Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada
persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk
Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia
menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan
berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia
dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di
daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik
bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi
dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap
huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama.
Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi
nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan
di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian
English.
Sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di
Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih

4
terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut.
Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus
ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari
sebuah bahasa yang sama. Irwan (2011:22) menjelaskan bahwa dialek merupakan variasi
dari sebuah bahasa menurut pemakaiannya. Oleh karena itu, secara konkret lazim dikatan
sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda
dialek Bogor. Begitu juga di Minang, ada bahasa Minang dialek Sungai Tarab, Minang
dialek Lima Kaum, atau Minang dialek Padang Luar, dll.
Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa
(berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata,
penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau
kita akrab dengan seseorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan
mendengar suaranya saja (orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca
tulisannya saja (namanya tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang
disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.
Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa
sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah
idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah
sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara
politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.
Stephen Ulimann (dalam Mahliana, 2011:2) menjelaskan perbedaan bahasa dan
tutur itu sebagai berikut:
1. Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan
tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu.
Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah penyandian (enkode),
yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian
didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.
2. Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi),
merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap
diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat
fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi

5
dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-
bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.
Bahasa dapat dipandang sebagai suatu indikator untuk menjelaskan hubungan antara
bahasa dengan masyarakat. Lewat bahasa, suatu ide atau gagasan dari individu
disampaikan kepada individu lain dalam berinteraksi Indonesia hari ini sudah selayaknya
mampu dalam menghadapi beragam tantangan dari gelombang arus globalisasi. Betapa
takjub sebuah kebudayaan dihadapan globalisasi yang sangat besar pengaruhnya terhadap
aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi hingga praktik politik ketatanegaraan. Semakin
besar pengaruh media elektronik seperti televisi maupun internet membuat masyarakat
tidak peduli terhadap budaya lokalnya sendiri terbukti hari ini dalam kehidupan sehari-
hari merupakan cerminan kehidupan di era abad 21 ini, sebut saja era kekinian. Bahasa
daerah sangat terancam eksistensinya di masa kini, banyak masyarakat sudah mulai
meninggalkan bahasa daerah karena telah terkontaminasi berbagai macam bahasa
termasuk bahasa Asing. Bahasa Asing dianggap lebih penting daripada bahasa daerah,
lihat saja dunia pendidikan kita hari ini, betapa takjub terhadap bahasa asing sehingga
banyak peserta didik yang lebih memilih belajar bahasa asing daripada belajar bahasa
daerah dan bahasa Indonesia. Pemertahanan bahasa juga dipengaruhi oleh faktor bahasa
pertama, bahasa pertama yang dimaksud adalah bahasa ibu. Bahasa ibu di masa sekarang
bukan lagi bahasa Daerah melainkan bahasa Indonesia, inilah salah satu indikator
mengapa begitu sulit mempertahankan bahasa Daerah.
Dinamisasi kebudayaan serta perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh
modernisasi yang sangat menonjol dan tantangan dalam mempertahankan eksistensi
kebudayaan lokal. Kini modernisasi telah mengancam eksistensi budaya lokal, termasuk
bahasa. Bahasa daerah semakin terpinggirkan oleh berbagai bahasa yang mempengaruhi
eksistensinya. Pengklasifikasian bahasa di Indonesia meliputi, bahasa Indonesia, bahasa
Daerah, dan bahasa Asing. Eksistensi bahasa daerah sudah mulai tergerus oleh pengaruh
bahasa luar, bahasa luar yang dimaksud adalah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia
dan bahasa Asing yang secara struktural sudah mempengaruhi keoriginalan sebuah
bahasa daerah. Sosiolinguistik sangat berpengaruh dalam masalah ini. Sosiolinguistik
lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta
hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu
masyarakat Kridalaksana dalam (Chaer 2014:3).

6
Masyarakat Indonesia sudah tidak peduli lagi dengan bahasa daerah karena dianggap
tidak penting bagi kebutuhan dunia pendidikan. Pendidikan Indonesia abad 21 ini sudah
melupakan satu klasifikasi bahasa yaitu bahasa Daerah, yang seharusnya tetap ada dalam
pelajaran muatan lokal namun realitas sangat jauh dari harapan kita, nilai historis
terhadap bahasa daerah kian berkurang potensinya terhadap generasi selanjutnya, di
Sekolah Menengah Atas (SMA) muatan lokal telah dihilangkan dari kurikulum
pendidikan SMA ini berarti nilai bahasa lokal kini mulai tergeser eksistensinya akibatnya
para peserta didik juga mulai meninggalkan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan
sesamanya. Dampak dari masalah itu banyak masyarakat yang notabene adalah peserta
didik tidak peduli lagi akan eksistensi bahasa daerah apalagi nilai historis. Secara
sosiolinguistik ini disebut sebagai pergeseran bahasa (language shift) menyangkut
masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa
terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain
(Chaer, 2014:142).
C. Verbal Repertoire
Verbal repertoire merupakan rangkaian semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang
dimiliki atau dikuasai seseorang penutur.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa
sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan
komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi
kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan
bahasa tersebut sesuai dengan. fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks
sosialnya.
Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa
dibedakan menjadi tiga, yaitu
1. Masyarakat monolingual (satu bahasa)
2. Masyarakat bilingual (dua bahasa)
3. Masyarakat multilingual.(lebih dari 2 bahasa)
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal
repertoire. Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal
repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat

7
memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap
pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa
Verbal repertoire ada dua macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual,
dan yang merupakan milik masyarakat tutur bahasa secara keseluruhan. Yang pertama
mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai seorang penutur, termasuk kemampuan
untuk memilih norma-norma social bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang
kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada pada masyarakat, beserta
dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
D. Masyarakat Tutur
Dalam bahasa Inggris, masyarakat tutur memiliki padanan istilah yakni speech
community. Masyarakat tutur secara teori termasuk ke dalam variasi atau ragam bahasa
dalam konteks sosial. Ragam bahasa dalam konteks sosial memiliki dua hal yang saling
berkaitan yaitu verbal repertoire dan masyarakat tutur.
Berdasarkan penjelasan Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:34-35), dapat
diambil kesimpulan bahwa verbal repertoire merupakan kemampuan komunikatif di mana
kemampuan ini terbagi dua yaitu kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh setiap
penutur secara individu dan kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh masyarakat tutur
secara keseluruhan. Adapun kemampuan komunikatif setiap penutur ditentukan oleh
masyarakat di mana ia merupakan anggotanya, dan kemampuan komunikatif suatu
masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan komunikatif seluruh penutur dalam
masyarakat menjadikan pengertian masyarakat tutur bukan sekadar kelompok orang yang
mempergunakan bentuk bahasa yang sama. Akan tetapi, kelompok orang-orang yang juga
mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.
Selanjutnya Poedjosoedarmo (1985) melakukan pembenahan yang tentunya disesuai-
kan dengan keadaan nyata di Indonesia. Beliau menemukan adanya tiga belas komponen
dalam sebuah tuturan, yaitu (1) pribadi si penutur atau O1, (2) anggapan penutur terhadap
kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara, (3) kehadiran orang
ketiga, (4) maksud dan kehendak si penutur, (5) warna emosi si penutur, (6) nada suasana
bicara, (7) pokok pembicaraan, (8) urutan bicara, (9) bentuk wacana, (10)sarana tutur,
(11) adegan tutur, (12) lingkungan tutur, (13) norma kebahasaan lainnya. Penggunaan
variasi bahasa tersebut secara sadar ataupun tidak sadar hidup dan digunakan dalam
masyarakat. Wardhaugh (1988:22) mengemukakan bahwa variasi bahasa adalah

8
seperangkat pola tuturan manusia, yaitu bunyi, kata, dan ciri-ciri gramatikal yang secara
unik dapat dihubungkan dengan faktor eksternal seperti daerah geografi dan faktor sosial.
Faktor sosial dapat dipengaruhi oleh situasi berbahasa, pemakai bahasa, keperluan
penutur, dan lain sebagainya.
Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang
relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma
pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan
kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat
tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama,
melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan
bentuk bentuk bahasa.
Abd. Syukur Ibrahim (1993:126) menjelaskan bahwa masyarakat tutur adalah
kelompok manusia yang ditandai oleh interaksi regular dan sering, dengan menggunakan
isyarat-isyarat verbal dan terpisahkan dari kelompok-kelompok yang lain menurut
perbedaan dalam penggunaan bahasa.
Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya peranan diantara para
penuturnya, bahwa mereka merasa tutur yang sama. Fishman dalam Abdul Chaer dan
Leonie Agustina (2004:36), memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta
norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat
tutur bersifat netral dalam arti dapat digunakan secara luas dan besar serta dapat pula
digunakan dalam menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan
bahasa relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dengan pemakaian bahasanya.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari
pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu.
Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi
simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah.
Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat
tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional
dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan
variasi kebahasaan.

9
Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua
macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih
luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat
tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup
yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk
juga perbedaan variasinya.
Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk
kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Masyarakat modern
mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung
menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan masyarakat
tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa
bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan
faktor kurtural.
Bahasa dan sosiolinguistik dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah
sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem
kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai. Dalam
masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik
yang berupa organ bicara (organ of speech) yang berbeda-beda yang pada gilirannya nanti
menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya
dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan
wujud dan cara bahasa yang berlainan. Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan
melahirkan bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Akhirnya,
status sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek
yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat
keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud
bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa
dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang
lebih kecil. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek
dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang
berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek.

10
Holmes (1992:11), menyebutkan bahwa se- tidaknya ada empat faktor sosial yang
mempengaruhi cara seseorang dalam mengekspresi-kan tuturannya, yaitu (1) partisipan
(pihak yang terlibat dalam penuturan), misalnya antara suami dan istri, pimpinan dan
buruh, (2) latar dan konteks sosial (waktu dan situasi tuturan berlangsung), misalnya di
rumah, di sekolah, dan di kantor, (3) topik (masalah yang dibicarakan) misalnya masalah
politik, ekonomi, (4) fungsi (maksud dan tujuan penuturan), misalnya untuk memuji,
memberi informasi.
Bloomfield mengemukakan bahwa bilingual- isme menunjuk pada gejala penguasaan
bahasa kedua dengan derajat penguasaan yang sama seperti penutur asli bahasa itu
(1995:54). Jadi, menurut Bloomfield ini, seseorang disebut bili- ngual apabila dapat
menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Batasan Bloomfield
mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang, seperti Robert Lado (1964:214)
misalnya, mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa
oleh seseorang dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya, yang secara teknis
mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagai- manapun tingkatnya”. Jadi, menurut
Lado peng- uasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya. Seorang pakar
lain, Mackey (1970:12), mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktek
penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh
seorang penutur.
Kajian mengenai bilingualisme berhubungan erat dengan kajian mengenai gejala
diglosia. Dislogia adalah sebuah istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Ferguson
(1969), yang me- nunjuk pada ragam bahasa yang masing-masing mempunyai peran dan
fungsi yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat tutur.
Dalam kacamata Fishman (1972:75), diglo- sia tidak hanya semata-mata merupakan
gejala yang terdapat dalam masyarakat monolingual melainkan lebih dari itu diglosia juga
mengacu keadaan pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan fungsi dan peran yang
tidak sama pula. Menurut Wijana ( 2000:13), varietas bahasa yang digunakan di dalam
sitausi diglosia dapat berupa satu bahasa tertentu dengan dialeknya, atau satu bahasa
tertentu dengan bahasa lainnya yang berbeda atau yang tidak saling paham (mutually
unintelegible).
Suwito (1983:39) telah menunjukkan bahwa apabila terdapat dua bahasa atau lebih
digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama akan terjadilah kontak bahasa.

11
Dikatakan demikian karena memang terjadi peristiwa saling kontak antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lainnya (language contacts) dalam peristiwa komunikasi.
E. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
a. Tingkat Tutur
Walaupun hampir setiap bahasa di dunia ini memiliki bentuk-bentuk tertentu
(honorifiks) untuk mengungkapkan rasa hormat, tetapi tidak banyak yang memiliki
bentuk sekompleks dan serumit kelima bahasa yang ada di Indonesia, yaitu: Bahasa Jawa,
Bahasa Bali, Bahasa Madura, Bahasa Sunda dan Bahasa Sasak. Kekomplekan itu
disebabkan karena ke-5 bahasa tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda atau
secara umum sering disebut dengan Tingkat Tutur (TT). Beberapa ahli (Wessing, 1974;
Anderson, 1997 dan Karepun, 2007) menghipotesiskan bahwa TT pertama kali ditemukan
pada budaya suku Jawa yang kemudian menyebar ke suku Sunda, suku Madura, suku
Bali dan suku Sasak. TT memberikan pilihan bagi seorang penutur untuk berinteraksi
dengan petutur terkait dengan hubungan status sosial penutur - petutur. Secara normatif
jika petutur memiliki status sosial yang lebih tinggi, maka penutur memakai TT yang
lebih halus (sopan) untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan, petutur bisa memilih TT
lepas hormat. Dengan kata lain, TT merupakan penanda bagi perbedaan hierarki sosial
antara penutur dan petutur. Penentuan status sosial pada masyarakat tutur bahasa di Bali
terbilang unik jika dibandingkan dengan masyarakat tutur lain. Hal ini terjadi karena
selain posisi sosial, pekerjaan atau umur, masyarakat tutur Bahasa di Bali masih
menempatkan wangsa sebagai elemen yang sangat dominan dalam penentuan status
sosial. Menurut Suastra (1997), wangsa merupakan pengelompokan suatu masyarakat
yang bersifat vertikal dan didasarkan atas 3 hal: (a) kelahiran, (b) kekuasaan raja dan (c)
perkawinan. Wangsa itu sendiri dibagi atas 4 dengan urutan dari atas ke bawah, sbb: (a)
brahmana, (b) ksatria, (c) wesia dan (d) jaba.
Ada ketidaksepakatan dalam pembagian TT diantara ahli bahasa (Shadeq, 2007). Hal
ini bisa terjadi karena dasar klasifikasi TT adalah rasa. Walaupun demikian, perbedaan
tersebut tidaklah terlalu penting terutama karena kesenjangan perbedaan klasifikasi
tersebut tidak terlalu besar. Jendra, dkk (1975), misalnya, membagi TT menjadi kasar,
madia dan alus. Bagus (1979) membagi TT menjadi kasar tak sopan, kasar sopan, madia,
alus sor dan alus singgih. Narayana (1983) membagi tingkat tutur menjadi kasar pisan,

12
kasar jabag, andap, madia, alus mider, alus sor dan alus singgih. Sedangkan, Kersten
(1984) membagi TT menjadi bahasa biasa dan bentuk hormat.
TT sesungguhnya ditunjukkan dengan adanya pemakaian kata yang berbeda untuk
mengungkapkan suatu ide yang sama terkait dengan hubungan status antara penutur –
petutur. Dengan kata lain, TT bersifat alternasi leksikal. Misalnya: - Ake lakar ngamah
“Saya akan makan” (Basa Kasar) - Cang lakar medaar “Saya akan makan” (Basa Biasa) -
Tiang pancang ngajeng “Saya akan makan” (Basa Alus) Contoh tersebut jelas
menunjukkan bahwa ada beberapa ekspresi berbeda untuk mengungkapkan satu pesan
sama “Saya akan makan”. Pesan yang sama tersebut diungkapkan dengan pemakaian kata
(TT) yang berbeda dan TT tersebut menunjukkan bagaimana penutur – petutur terkait
secara sosial. Keberadaan TT ini pada masyarakat tutur Bahasa di Bali mengindikasikan
adanya norma sopan santun berbahasa yang sangat ketat, sehingga seorang penutur perlu
untuk tahu status petutur sebelum interaksi lebih lanjut. Sapaan yang sering dipakai untuk
menanyakan status (wangsa) seseorang adalah Ampurayang, nawegang antuk linggih!
“Mohon maaf, boleh saya tahu status anda!”. Pertanyaan ini akan dijawab, misalnya,
Nggih, tiang nak jaba! “Saya orang Jaba”. Pilihan varietas (bahasa) bagi penutur bahasa
di Bali menjadi semakin beragam dengan keberadaan bahasa ndonesia (BI).
BI merupakan bahasa resmi yang telah dikukuhkan menjadi bahasa nasional sejak
kemerdekaan. Sebagai bahasa resmi, BI dijamin pemakaiannya oleh negara pada ranah-
ranah resmi, seperti di kantor publik (pemerintahan), sekolah dll. Bahkan, banyak yang
sudah menggungkapkan (Purwoko, 2008) bahwa BI juga telah memasuki ranah-ranah tak
resmi, seperti keluarga dan tempat bermain (ketetanggaan) Perbedaan yang paling
mencolok antara BI dan BB adalah pada ketiadaan TT pada bahasa Indonesia. Hal ini
mengindikasikan bahwa BI bersifat netral dan mengepankan persamaan. Sifat ini tentu
saja sangat sesuai dengan nuansa masyarakat modern yang menghindari nuansa
tradisional dan feodalisme yang menjadi ciri TT bahasa Bali. Hal ini mengakibatkan BI
menjadi “satu-satunya bahasa komunikasi yang paling bergengsi” yang telah banyak
menggeser fungsi-fungsi bahasa lokal (Purwoko, 2008)
Hymes (1972) telah menunjukkan adanya delapan komponen yang dianggapnya ber-
pengaruh terhadap pemilihan kode dalam bertutur, yang disebut Components of Speech
yang pada intinya meliputi (1) tempat dan suasana tutur, (2) peserta tutur, (3) tujuan tutur,

13
(4) pokok tuturan, (5) nada tutur, (7) norma tutur, dan (8) jenis tuturan. Untuk
memudahkan peng- hafalan atas komponen-komponen tutur itu, Hymes merangkumnya
dalam sebuah konsep yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni S (setting and
scene), P (participants), E (ends purpose and goal), A (act sequences), K (key : tone or
spirit of act), I (instrumentalities), N (norms of interaction and interpretation), G (genres).
b. Bahasa dan tingkat sosial
Variasi penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi aktif sangat dipengaruhi oleh
struktur sosial penuturnya, dan begitu pula sebaliknya, struktur sosial juga sangat
dipengaruhi oleh perilaku dan struktur bahasa penuturnya. Dengan demikian, bahasa dan
struktur sosial memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Keeratan hubungan
antara keduanya ini dapat dilihat dari perbedaan struktur bahasa yang ada dalam suatu
komunitas masyarakat yang majemuk, dan biasanya, perbedaan-perbedaan ini dijadikan
sebagai standar dalam labelisasi kelas sosial penuturnya.
Menurut Wardhaugh, ada beragam kemungkinan keterkaitan antara bahasa dan
masyarakat. Dari beragam kemungkinan tersebut, ia menunjuk empat pendapat dalam
melihat kemungkinan keterkaitan antarkeduanya: Pertama, sebuah struktur sosial
masyarakat bisa mempengaruhi sekaligus menentukan struktur dan perilaku berbahasa;
Kedua, struktur dan perilaku berbahasa bisa mempengaruhi dan menentukan struktur
masyarakat; Ketiga, kemungkinan keterkaitan antara bahasa dan masyarakat bersifat
timbal-balik (interrelationship) atau dua arah (bidirectional);Keempat, tidak ada
hubungan sama sekali antara struktur bahasa dengan struktur masyarakat;
Keduanya, menurut pendapat ini, sama-sama mandiri dan tidak saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lain. Tabiat manusia yang mengakui adanya perbedaan kelas
sosial, telah membuatnya membagi bahasa menjadi beberapa varian dengan berdasarkan
status sosial ini. Bahkan dalam penggunaan bahasa standar, terkadang masih terdengar
kata-kata yang menunjukkan perbedaan kelas penutur dengan lawan bicaranya. Dalam
masyarakat Jawa, misalnya, kata inggih yang menunjukkan persetujuan dengan ungkapan
lawan bicara, masih sering terungkap jika lawan bicara mempunyai status sosial lebih
tinggi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bahasa memang mampu mengungkap wujud
asli kepribadian seseorang, dan selanjutnya mengungkap status sosial orang itu. Saat
berkomunikasi, orang dengan status sosial tinggi cenderung lebih “angkuh” dan
menganggap dirinya lebih tinggi dari lawan bicaranya, sehingga tidak ada beban

14
psikologis yang dirasakannya. Sebaliknya, lawan bicara yang lebih rendah status
sosialnya akan “berjuang” semampu mungkin untuk mengimbangi gaya bicara lawannya.
Kondisi psikologis inilah yang membuat lawan bicara menjadi lebih tertekan, sehingga
suatu saat akan terucap kata “inggih”, yang bertujuan untuk menunjukkan perilaku
kesopanan.
Hubungan yang terdapat diantara bahasa dengan masyarakat adalah adanya
hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek
dengan penggunaanya untuk fungsi –fungsi tertentu di dalam masyarakat.
Untuk melihat hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh
masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaradiningrat
dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:39), membagi masyarakat Jawa atas
empat tingkat yaitu: wong cilik, wong saudagar, priyayi, dan ndara; sedangkan Clifford
Geertz (ibid.) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat: priyayi, bukan priyayi tapi
berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan petani serta orang kota yang tidak
berpendidikan. Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam
masyarakat tutur bahasa Jawa. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang digunakan
dikalangan wong cilik, tidak sama dengan wong saudagar, dan lain pula dari bahasa yang
digunakan priyayi.
Uhlenbeck, seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi bahasa Jawa
menjadi 3 yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu masing –masing diperinci lagi menjadi
muda krama, kramantara, dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama ;
ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan Clifford Geerz membagi menjadi dua bagian
pokok yaitu krama dan ngoko. Lalu, krama diperinci menjadi krama inggil, krama biasa,
dan krama madya ; sedangkan ngoko diperinci lagi menjadi ngoko madya, ngoko biasa,
dan ngoko sae (yang pemakaiannya agak khusus).
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multiens, tingkat staus sosial
berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada ; atau walaupun ada sudah
tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosialnya
ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibu kota jakarta ada dikenal istilah golongan atas,
golongan menengah, golongan bawah.
Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi dan
penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika serikat telah banyak

15
di lakukan orang. Penelitian pertama adalah barangkali yang dilakukan oleh C.RJ Ross
pada tahun 1956, dalam penelitian itu Ross menemukan adanya perbedaan ucapan
perbedaan tata bahsa, dan pilihan kata dari ragam bahasa inggris lapisan atas (upper class)
dan yang bukan lapusan atas.
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelas sosial ekonomi dengan bahasa
adalah yang dilakukan William Labov di kota New York. Penelitian ini yang dilakukan
dalam bidang fonologi ini adalah pertama tentang pengucapan fonem frikatif /θ/ yang
dalam ortografi dilambangkan dengan grafem /th/ ; kedua tentang pengucapan fonem /r/
pada posisi akhir atau yang berada di depan konsonan. Dalam penelitian ini Labov
membagi anggota masyarakat kota new york atas empat tingkatan yaitu kelas bawah,
kelas pekerja, kelas menengah bawah, kelas menengah atas.
Garis horizontal menunjukkan empat gaya dalam pengucapan <th> yaitu: gaya
berbicara santai, gaya berbicara resmi, gaya membaca teks, dan gaya membaca daftar
kata. Penelitian kedua mengenai fonologi yang dilakukan Labov adalah mengenai
pengucapan fonem /r/ yang terdapat pada posisi akhir atau pada posisi di muka konsonan,
seperti terdapat pada kata kata car, guard, dan lord. Sebelum perang dunia ke dua di kota
new york ada anggapan bahwa ucapan yang baik atau benar adalah ucapan yang tidak
memperdengarkan bunyi /r/ pada kedua posisi tersebut.
Dari uraian mengenai bahasa Jawa dan hasil penelitian Labov dapat dilihat bahwa
memang ada korelasi antara tingkat sosial dalam masyarakat dengan ragam bahasa yang
digunakan. Lalu sejalan dengan kesimpulan itu, adanya hubungan antara kode bahasa
dengan kelas sosial penuturnya, barang kali perlu juga di kemukakan adanya teori dari
hasil bernstein yang dikenal dengan Defict Hypotesis.
Banyak pakar, seperti Stubbs, Labov dan Halliday yang tidak sependapat dengan
hipotesisi Bernstein itu, sebab seperti kita lihat dalam kenyataan, keberhasilan dalam
belajar tidaklah mutlak tergantung pada faktor penguasaan bahsa, melainkan pada banyak
lain (seperi motivasi, intelejensi, dan keadaan sosiokultural) yang turut menentukannya.
1. Aksen Regional Sebagai Penentu Kelas Sosial
Para ahli tata bahasa abad ke-18 meyakini bahwa bahasa standar golongan atas
dan sastra lebih benar, menurut ukuran akal sehat, daripada bentuk bahasa lokal.
Walaupuan begitu, akhirnya diketahui bahwa dialek-dialek lokal ternyata
melestarikan suatu ciri kuno yang tidak terdapat lagi dalam bahasa standar.

16
Menjelang akhir abad ke-18 mulai muncul kamus-kamus dialek yang memaparkan
ciri-ciri khas leksikal bahasa nonstandar. Kemajuan linguistik historis menunjukkan
bahwa bahasa standar sama sekali bukan tipe yang paling tua, melainkan yang telah
timbul, dalam kondisi-kondisi historis tertentu, dari dialekdialek lokal. Bahasa
Inggris standar, misalnya, adalah bentuk modern yang tidak berasal dari bahasa sastra
Inggris Kuno, melainkan dari dialek lokal London kuno. Awal mulanya, bahasa ini
menjadi bahasa standar daerah, lalu selanjutnya menjadi bahasa standar nasional,
dengan menyerap banyak sekali bentuk-bentuk dialek lokal dan dialek daerah lain.
Pendapat ini sekarang berbalik. Karena dialek lokal melestarikan bentuk-bentuk
tertentu yang sudah tidak ada dalam bahasa standar, dialek itu dipandang sebagai
suatu tipe kuno yang masih bertahan, tak berubah. Oleh karena itu, kita
masihmendengar orang berkata bahwa bahasa suatu tempat tertentu yang terpencil
adalah “bahasa Inggris murni zaman Ratu Elizabeth”. Karena pencampuran bentuk-
bentuk dari dialek-dialek lain hanya terlihat dalam bahasa standar, orang melompat
pada kesimpulan bahwa dialek-dialek lokal bebas dari pencampuran ini, maka dalam
arti historis, lebih teratur.
Karena itulah pada tahap ini, kita dapati tata bahasa dialek, yang menunjukkan
hubungan bunyi-bunyi dan infleksi-infleksi dialek lokal dengan bunyi-bunyi dan
infleksi-infleksi suatu tahap yang lebih tua dari bahasa yang dimaksud.3 Dalam
bahasa Indonesia, dialek dan aksen yang standar adalah yang tidak tercampuri oleh
dialek dan aksen regional tertentu, sebagaimana yang terdengar dari para pembawa
siaran berita di televisi nasional. Namun aksen seperti ini tidak mudah ditiru oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia karena, menurut pendapat penulis, mereka
memiliki dialek atau –bahkan– bahasa sendiri yang sama sekali tidak memiliki
kemiripan dengan bahasa Indonesia. Bahasa dan aksen regional ini telah dipelajari
dan dipakai secara terusmenerus sejak mereka dilahirkan, sehingga menjadi suatu
kebiasaan yang sulit diubah. Namun, menurut pengamatan penulis, aksen-aksen
regional Indonesia ini tidak bisa dijadikan ukuran kelas sosial penuturnya.
Kemajemukan etnis dalam masyarakat Indonesia menjadikan bahasa Indonesia hanya
digunakan sebagai alat komunikasi antar penuturnya.
Berbeda dengan bahasa Arab, misalnya, meskipun penuturnya tersebar di
beberapa negara yang berbeda, namun sebagian besar mereka mampu

17
mengucapkannya dengan aksen standar yang sama. Hal ini dikarenakan tingkat
kemiripan yang tinggi antara aksenaksen regional dengan aksen standar bahasa Arab.
Masing-masing penuturnya memang memandang aksennya sebagai yang standar dan
paling prestisius, namun saat berbicara dengan bahasa Arab standar (fushha), mereka
memakai aksen fushha yang menjadikan pendengar terkadang sulit menebak daerah
asal penuturnya. Bahasa dan aksen fushha ini juga dapat dijadikan standar status
sosial penuturnya, karena bahasa dan aksen ini hanya dikuasai oleh masyarakat pada
kelas sosial tinggi. Adapun masyarakat pada kelas sosial rendah, mereka lebih
banyak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ‘amiyah (bahasa pasaran).
Tingkat formalitas (keresmian) tindak bahasa sebenarnya banyak tergantung pada
peserta-peserta berbahasa, keadaan, dan tujuan berbicara. Dalam buku The Five
Clocks, Martin Joos membagi fungsiolek bahasa Inggris berdasarkan lima tingkat
formalitas, atau yang disebutnya dengan style (gaya bahasa). Kelima tingkat itu
adalah frozen, formal, consultative, casual, dan intimate, atau dalam bahasa
Indonesia, berturut-turut, ragam beku, resmi, usaha, santai, dan akrab. Semua bahasa
di dunia ini, menurut penulis, juga tunduk pada lima tingkatan ini.
a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan
dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacaraupacara resmi. Dalam bentuk
tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti
undang-undang dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya. Suatu kalimat
yang dimulai dengan kata bahwa, hatta, dan sebagainya (sebagaimana yang
terdapat dalam alinea 1 teks Pembukaan Undang-undang Dasar 1945) dapat
dianggap sebagai ragam beku. Bentuk kalimat beku adalah lebih kaku, kata-
katanya lengkap, biasanya kalimatnya panjang dan menuntut sikap yang lebih
serius dari penutur dan pendengarnya;
b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato
resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan
pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha
yang berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada
pada tingkat yang paling operasional.

18
d. Ragam santai (casual) ialah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-
bincang, rekreasi, berolah raga, dan sebagainya.
e. Ragam akrab (intimate) ialah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam
keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan
artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek. Hal ini
disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain.
Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah
(kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Perbedaan-
perbedaan di antara kelima ragam ini adalah perbedaan pilihan kata (leksis),
perbedaan bentuk kata (morfologi), dan perbedaan bentuk kalimat keseluruhannya
(sintaksis). Di samping itu, terlihat juga perbedaan-perbedaan yang jelas atau yang
rumit dalam intonasi kalimat dan keseluruhan gaya orangnya (cara berdiri, melihat,
dan bergerak). Hal ini disebabkan oleh karena berbahasa itu adalah suatu tindak laku
(behavior) yang melibatkan penuturnya secara keseluruhan dan utuh.4 Perbedaan
tingkat bahasa inilah, menurut penulis, salah satu penyebab munculnya fenomena
diglossia, sehingga paling tidak di dalam masyarakat terdapat dua varian bahasa,
bahasa resmi dan tidak resmi atau bahasa halus dan kasar. Britannica Concise
Encyclopedia menjelaskan diglossia dengan penjelasan berikut:5 Coexistence of two
varieties of the same language in a speech community, with each variety being more
or less standardized and occupying a distinct sociolinguistic niche. Typically, one
variety is more formal or prestigious while the other is more suited to informal
conversation or is taken as a mark of lower social status or less education. Keresmian
dan kehalusan bahasa ini banyak didasarkan pada unsur kepantasan. Standar
kepantasan yang diterapkan oleh masingmasing bangsa berbeda-beda.
2. Wanita Dalam Perspektif Sosiolinguistik Arab
Shan Wareing berpendapat bahwa bahasa yang seksis adalah bahasa yang
mereprentasikan pria dan wanita secara tidak setara di mana anggota dari kelompok
seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit
hak-haknya daripada anggota dari kelompok seks yang lain. Bahasa seksis biasanya
menyajikan stereotip-stereotip tentang pria dan wanita yang kadang merugikan
keduanya, tetapi lebih sering merugikan kaum wanita. Bahasa seksis dapat dipandang
dari dua sudut, yaitu: pertama, tingkat sejauh mana sistem tata bahasa menunjang

19
terbentuknya bahasa seksis, dan kedua, tingkat sejauh mana aspek lain di luar tata
bahasa digunakan untuk menciptakan bahasa seksis. Jika premis “bahasa adalah
cerminan budaya masyarakat penuturnya” dapat diterima, maka sebenarnya seksisme
dalam bahasa Arab adalah cerminan budaya patriarkis masyarakatnya. Masyarakat
Arab memandang segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita harus dilindungi
dan dijaga, dan pria memiliki peran sentral dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Maka dari itu, dalam bahasa Arab, hampir semua kata yang
menunjukkan wanita (mu’annats) adalah kata bertanda (marked), yang asalnya
adalah kata dengan pengertian laki-laki (mudzakkar). Tanda-tanda yang dibubuhkan
biasanya dalam bentuk ta’ marbûkah, alif maqcûrah, dan alif mamdûdah.
Seperti dalam bahasa-bahasa lain, sebagian besar nama-nama wanita dalam
bahasa Arab juga memiliki arti “keindahan”, “kecantikan”, dan “kebaikan”. Namun
demikian, tidak semua keindahan, kecantikan, dan kebaikan itu didasarkan pada
makna leksikal kata-katanya, tetapi terkadang didasarkan pada konteks
kesejarahannya. Nama “Maryam”, misalnya, yang tersebut dalam al-Quran sebanyak
34 kali, memiliki makna “kesucian” dan “kebaikan”, jika dilihat dari sejarah hidup
Nabi Isa as. Pemakaiannya sebagai nama wanita lebih banyak dimaksudkan untuk
mengikuti sifat-sifat Maryam Putri Imran yang salihah dan suci daripada makna
leksikalnya, yaitu “tinggi”. Kata ini sebenarnya tidak banyak dicantumkan dalam
kamuskamus Arab sebagai entrinya, karena memang bukan berasal dari bahasa Arab.
“Maryam” adalah kata serapan dari bahasa Siryani. Louis Ma’lûf dalam kamusnya,
al-Munjid, menyebutkan bahwa bentuk jamaknya adalah “maryamât”.18 Karena kata
ini dipakai dengan arti suci, salihah, dan baik, maka dapat disimpulkan bahwa
pemakaiannya tidak berdasarkan pada makna leksikalnya, tetapi lebih pada makna
kontekstualnya. Di antara nama-nama Arab yang menunjukkan kecantikan tubuh
adalah Lamyâ’ (warna hitam manis pada bibir), Najla’ (bola mata yang besar dan
indah), Badr (bulan purnama), Umm Kultsûm (daging yang terdapat di paha dan
wajah), ‘Abîr (bau yang wangi), dan lain sebagainya.19 Setelah turunnya agama
Islam, pemberian nama-nama baik dalam bahasa Arab ini bisa dikatakan tidak lepas
dari perintah Rasulullah saw. untuk selalu menamai anak dengan nama yang baik.
Bahkan jika suatu nama dianggap buruk, maka harus diganti dengan yang lebih baik.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:

20
“Dahulu nama Zainab adalah Barrah, lalu dikatakan bahwa nama tersebut
memberikan sebuah indikasi bahwa seolah-olah ia menganggap dirinya orang yang
baik dan tidak pernah melakukan kesalahan. Lalu Rasulullah saw. mengganti nama
itu dengan Zainab” (HR. Muslim)

21
Daftar Pustaka

Abd. Syukur Ibrahim. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Offset
Printing.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Pineka Cipta.

Irwan. 2011. Pengantar Perkuliahan Sosiolinguistik. Batusangkar: STAIN Batusangkar


Press.

Mahliana. 2011. Sosiolinguistik (Bahasa dan Tutur, Verbal Refertoire). Available in


http://mahliana-himai.blogspot.com, retrieved on September 19, 2013.

Nihayatuzzein Iskandar. 2012. Masyarakat Tutur. Available in http://sastraarab-


nihayatuzzein.blogspot.com, retrieved on September 19, 2013.

Hasyim, Munira, 2008. Jurnal FAKTOR PENENTU PENGGUNAAN BAHASA PADA


MASYARAKAT TUTUR MAKASSAR: Kajian Sosiolinguistik di Kabupaten Gowa.
Vol.20 hal. 75-88.

Prasetyo, Hari, 2015. Bahasa dalam Masyarkat. Mojokerto: Yayasan Pendidikan


Uluwiyah

Zaid, Hafiz, Abdul. 2012. Jurnal Bahasa dan Struktur Sosial. Instritut Studi Islam
Darussalam. Vol.7. No. 1

22

Anda mungkin juga menyukai