Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SOSIOLINGUISTIK : BAHASA DAN TUTUR,

VERBAL REPERTOIRE, MASYARAKAT TUTUR, BAHASA


DAN TINGKATAN SOSIAL MASYARAKAT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiolinguistik

Dosen Pengampu :
Ichsan Fauzi Rachman., M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 1 Kelas B

1. Ririn Salsabila 222121062


2. Winda Trie Yuliana 222121064
3. Tia Yasinta 222121069
4. Nurhayati Apifah 222121077

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SATRA BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2024
PEMBAHASAN

A. Bahasa dan Tutur


Keterkaitan bahasa dengan bidang yang lainnya tidak lepas dari
pemahaman bahasa mengenai langange, language, dan parole. Hal itu
merupakan istilah dalam ilmu linguistik yang dikemukakan oleh Ferdinand de
Saussure dalam buku Cours de Linguistique Generale (Pengantar Linguistik
Umum). Hakikat bahasa dapat diartikan sebagai sistem, ciri pembeda dengan
bahasa lain, dan bahasa sebagai yang diujarkan oleh penutur.
Istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Sedangkan langue bisa
diartikan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan
berinteraksi sesamanya. Jadi, dapat dikatakan langue mengacu pada sebuah
sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu. Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat
abstrak, maka dalam hal ini parole bersifat konkret, karena parole itu
merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang
dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau
berkomunikasi sesamanya.
Dalam sosiolinguistik, bahasa merujuk pada sistem komunikasi yang
digunakan oleh suatu komunitas, sementara tutur merujuk pada penggunaan
konkret bahasa tersebut dalam percakapan sehari-hari. Kedua konsep ini
membantu memahami bagaimana bahasa berfungsi dalam konteks sosial,
budaya, dan ekonomi. Faktor sosial seperti kelas, etnis, dan gender
memengaruhi penggunaan bahasa dan tutur dalam masyarakat.
Stephen Ulimann (dalam Kinayati Djojosuroto 2007 : 52-54)
menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:
a. Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu
masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada
suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan
tutur adalah penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi
makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan
maknannya) oleh pendengar.
b. Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang
tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak
(memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan
ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi,
sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik,
melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi
nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.
c. Tutur adalah penggunaan bahasa oleh satu orang dalam situasi yang khas
(spesifik), suatu tindakan individual. Sebaliknya bahasa menguasai
individu karena bahasa menjadi milik dan kelengkapan masyarakat secara
luas. Bahasa dapat bertindak sebagai alat komunikasi hanya jika bahasa itu
secara mendasar sama bagi semua penutur.
d. Selaras dengan hal itu, perbedaan lainnya menyangkut sikap tiap penutur
terhadap bahasa dan tutur. Seorang penutur adalah majikan dari tuturnya
sendiri. Tutur bergantung kepada penuturnya, apakah ia ingin
mengatakannya atau tidak, apa yang hendak dikatakannya, bagaimana ia
hendak mengatakannya. Namun, dalam soal bahasa, dia sebenarnya
hanyalah seorang penerima (recipient) yang pasif. Ia mengasimilasikan
(menguasai, berbaur dengan) bahasanya pada masa awal kanak-kanaknya,
dan sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya.
e. Tutur adalah tindak tunggal yang sama sekali terbatas oleh waktu. Tutur
yang panjang berlalu dalam hitungan menit, bahkan detik. Begitu sebuah
kata keluar dari mulut, maka dia tidak dapat disedot kembali. Sebaliknya,
bahasa bergerak lamban sehingga kadang-kadang tampak mandek.
Perubahan sedikit demi sedikit, kalau ada, memerlukan waktu panjang,
bahkan berabad-abad untuk perubahan bunyi dan tata bahasa. Bahasa
adalah gejala sosial yang paling mampu bertahan dibandingkan gejala
sosial yang lain. Lebih mudah membunuhnya daripada memecah-
mecahkan bentuk invidualnya (Sapir, 1921).
f. Tutur itu mempunyai dua segi (wajah), yaitu segi fisik dan psikologi.
Bunyi-bunyi tutor (yang diujarkan dan kita dengar) adalah peristiwa fisik
(berupa gelombang-gelombang bunyi), sedangkan makna yang dibawa
(atau terkandung) oleh bunyi itu merupakan gejala psikologi. Tetapi bahasa
murni bersifat psikologi. Bahasa terbentuk dari kesan-kesan bunyi, kata,
dan unsur-unsur tata bahasa yang tersimpan dalam benak kita dan tetap
tinggal di sana.
Bahasa merujuk pada sistem simbol dan aturan yang digunakan untuk
berkomunikasi, sementara tutur merujuk pada penggunaan bahasa dalam
situasi komunikatif tertentu. Bahasa mencakup tata bahasa, kosakata, dan
aturan-aturan komunikasi yang membentuk sistem komunikasi, sedangkan
tutur melibatkan penerapan konkret dari bahasa tersebut dalam interaksi
sehari-hari.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah potensi
komunikasi yang dimiliki oleh suatu komunitas, sementara tutur adalah
realisasi atau penggunaan bahasa dalam praktik komunikatif yang sebenarnya.
Analisis sosiolinguistik memeriksa bagaimana faktor sosial dapat
memengaruhi variasi dalam tutur, atau penggunaan bahasa dalam konteks
komunikatif spesifik.

B. Verbal Repertoire

Istilah verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi


yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa
tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam
konteks sosialnya. Kemampuan komunikatif ini dimiliki oleh setiap anggota
masyarakat dan menjadi milik kelompok. Kemampuan komunikatif yang
dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal
repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang
dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Yang pertama mengacu pada
alat-alat verbal yang dikuasi oleh seorang penutur, termasuk kemampuan
untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan
fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di
dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi
yang sesuai dengan konteks sosialnya. Jika suatu masyarakat memiliki verbal
repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap
pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat
bahasa.
Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat,
masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
(1) masyarakat monolingual,
(2) masyarakat bilingual, dan
(3) masyarakat multilingual.
Rata-rata orang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah
menguasai bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Selain itu, mungkin
menguasai satu bahasa daerah lain atau lebih dan juga bahasa asing, bahasa
Inggris, atau bahasa lainnya, apabila mereka telah memiliki pendidikan
menengah atau pendidikan tinggi. Semua bahasa beserta ragam-ragamnya
yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini bisa disebut dengan istilah
repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu.
C. Masyarakat Tutur Menurut Para Ahli
Masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya
setidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai
dengan pemakaiannya (Fishman, 1975 : 28). Masyarakat tutur ialah
sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti sewaktu mereka
berbicara (Alwasilah, Ahaedar, 1985:41). Kata masyarakat dalam istilah
masyarakat tutur bersifat relative dan menyangkut masyarakat yang sangat
luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Kata
masyarakat itu kiranya digunakan sama dalam penggunaan “ Masyarakat
desa”, masyarakat kota, masyarakat Jawa Barat, masyarakat Inggris,
Mayarakat Eropa, dan yang hanya menyangkut sejumlah kecil orang seperti
“masyarakat Pendidikan”, atau masyarakat linguistic Indonesia (MLI).
Adanya suatu masyarakat tutur dapat disebabkan oleh hadirnya para
penutur yang memakai bahasa yang sama di suatu daerah atau wilayah dengan
mematuhi norma-norma pada bahasa tersebut sehingga terjalin suatu
komunikasi antar penutur yang berjalan dengan lancar. Misalnya pada
masyarakat tutur bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau nasional suatu
negara yaitu negara Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia itu digunakan di
wilayah negara yang berbeda bahasa oleh sekelompok masyarakat penutur
bahasa Indonesia, 13 maka mereka tetap disebut masyarakat tutur bahasa
Indonesia karena mereka masih menggunakan bahasa yang sama. Keberadaan
bahasa daerah dan bahasa nasional dapat dijadikan sebagai perwakilan
masyarakat tutur tertentu yang ada kaitannya dengan variasi bahasa.
Contohnya pada suatu universitas di Indonesia terdapat mahasiswa yang
kuliah di sana dengan membawa bahasa daerah atau bahasa ibu yang berbeda-
beda, seperti bahasa Jawa, Sunda, Riau dan sebagainya. Ketika mahasiswa
yang berbahasa ibu Jawa berkomuniaksi dengan sesama mahasiswa yang
berbeda bahasa itu, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga pada
saat berinteraksi mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Fisherman (Chaer dan Agustinus, 2004 : 36) mengemukakan bahwa
masyarakat tutur adalah “suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-
tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai
dengan penggunannya”. Dari pernyataan tersebut jelaslah jika suatu
masyarakat di daerah atau tempat tertentu disebut masyarakat tutur apabila di
daerah tersebut sama-sama memakai bahasa yang sama sesuai dengan norma-
norma yang digunakan pada penuturan bahasa itu sendiri.
Dilihat dari verbal repertoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat
bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu: masyarakat monolingual (satu bahasa),
masyarakat bilingual (dua bahasa), dan masyarakat multilingual (lebih dari 2
bahasa). Masyarakat monolingual artinya suatu masyarakat bahasa yang
hanya dapat berkomunikasi dengan satu bahasa. Masyarakat monolingual ini
sudah mulai jarang ditemukan pada zaman sekarang. Masyarakat monolingual
biasanya terdapat di daerah terisolasi. Masyarakat bilingual lebih maju jika
dibandingkan dengan masyarakat monolingual. Hal ini karena masyarakat
bilingual telah dapat berkomunikasi dengan dua bahasa. Artinya, masyarakat
bilingual lebih bersifat komunikatif dibandingkan masyarakat monolingual,
terlebih masyarakat multilingual. Kelompok masyarakat bahasa multilingual
memiliki kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa.
Jenis-Jenis Penutur dalam Masyarakat Tutur
Hymes (1974: 50) dalam Wardhaugh (2006: 123) membedakan
masyarakat tutur menjadi dua yaitu penutur partisipatif dan penutur
berkompeten. Penutur partisipatif (unfully fledge speaker) adalah penutur
yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau
komunikasi. Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang
dalam sebuah masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau
gegar budaya. Contoh: Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke Jawa Barat.
la mendengar seorang tetangganya yang penutur bahasa Jawa mengatakan
"isukan abi moal lebet kuliah." Secara harfiah. kalimat tersebut berarti "Besok
saya tidak akan masuk kuliah." Orang bali tersebut tidak memahami makna
sebenarnya kalimat tersebut sebab ia hanya memahami kalimatnya secara
harfiah, padahal, kalimat tersebut bermakna "Besok saya tidak akan masuk
kuliah."
Penutur berkompeten (fully fledge speaker) adalah yang memiliki
kemampuan menggunakan bahasa dalam berbagai tindak komunikasi baik
dari variasi kosakata, gramatikal bahasa maupun penggunaan bahasa dalam
situasi pertuturan. Seorang penutur yang berkompeten harus memiliki empat
pengetahuan yakni: (1) pengetahuan mengenai gramatikal dan kosakata suatu
bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaiah berbahasa (rules of speaking).
misalnya, pengetahuan bagaimana memulai sebuah pembicaraan, (3)
pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak
tutur yang berbeda-beda, seperti perintah, permohonan atau ucapan terima
kasih, (4) penegetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.

D. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat


Masyarakat bahasa dapat dikaitkan sebagai konsep umum yang
mengacu pada kelompok sosial Masyarakat yang menggunakan bahasa relatif
sama. Pada istilah Masyarakat bahasa juga terdapat keterkaitan bahasa
Masyarakat yang dijauhkan. Bahasa yang ada di dalam masyatrakat ini, sesuai
dengan keberadaan Masyarakatnya. Masyarakat bahasa juga dikenal sebagai
istilah masyarakat yang terwujud adanya saling memahami satu sama lain.
Pada setiap Masyarakat, memiliki persamaan kode dan nilai atas dasar norma
bahasa yang digunakannya. Hubungan sosial merupakan sebuah penekanan
bahasa sebagai pondasi utama dalam membentuk suatu Masyarakat bahasa.
Secara linguistik, Masyarakat bahasa ini tidak semua relavan dengan
penggunaan bahasanya. Dengan demikian, persamaan bahasa dengan
kelompok sosial atau masyarakat memunculkan beberapa masalah. Pada
dasarnya, Masyarakat bahasa yang sama memiliki keberagaman dalam
penggunaan bahasanya. Sehingga, ragam bahasa dapat menunjukkan
kekhassan satu sama lain dalan penggunaan bahasa. Secara konteks
pengertian bahasa dan penggunaan bahasa tutur dapat dibedakan. Pengertian
bahasa atau langange merupakan sebuah lambang bunyi yang menjadi ciri
kemanusiaan sebagai simbol sosial. Bahasa memiliki sifat universal serta
dapat digunakan dalam kehidupan sosialnya. Penggunaan bahasa atau tutur
merupakan sebuah penerapan langue bahasa yang sifatnya terbatas serta
mengacu pada konvensi masyarakat tertentu.
Chaer dan Agustina (2004 : 39) menyatakan : hubungan antara bahasa
dan tingkatan sosial masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-
bentuk bahasa tertentu yang disebut variasi, ragam bahasa atau dialek dengan
penggunannya untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat adanya
tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi ; pertama dari
segi kebangsawanan, kedua dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan
tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Kuntjoroningrat (Chaer 2004 : 39) membagi masyarakat Jawa atas empat
tingkat, (1) wong cilik, (2) wong saudagar, (3) priyayi, dan (4) ndoro;
sedangkan Clifford Gertz (Chaer dan Leonie 2004 : 39) membagi masyarakat
Jawa menjadi 3 tingkat yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tapi berpendidikan,
dan bertempat tinggal di kota, dan ( 3) petani dan orang kota yang tidak
berpendidikan. Dari kedua golongan tersebut menunjukkan bahwa
Masyarakat tutur bahasa jawa memiliki tingkat perbedaan. Dilihat dari
tingkatannya, Masyarakat jawa memiliki berbagai variasi sesuai tingkat
sosialnya. Variasi bahasa tingkat sosial ini dikenal dengan istilah undak usuk.
Dengan adanya Tingkat bahasa yang dikenal dengan undak usuk dapat
menyebabkan suatu penutur bahasa Masyarakat yang lebih mengetahui
tentang kedudukan Tingkat sosial terhadap lawan bicaranya. Uhlen Beck
(Chaer dan Agustina, 2004:49) mengatakan bahwa “seorang pakar bahasa
jawa membagi Tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga pakar yaitu, karma,
madya, dan ngoko”.
Hubungan antara bahasa dengan lingkungan Masyarakat yaitu
kesesuaian landasan antara hubungan bahasa tertentu yang disebut dengan
variasi, ragam bahasa atau dikenal dengan istilah dialek yang memiliki fungsi
tertentu dalam Masyarakat tersebut. Mayarakat memiliki tingkatan sosial
secara tidak langsung serta mempunyai ragam bahasa yang berbeda sesuai
dengan lingkngannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, & Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Budi Utami, S. W., & Handayani, D. (2023). Bahasa Dalam Perspektif


Sosiolinguistik. Airlangga University Press.

Chaer, Abdul, Leonie, & Agustina. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.

Hasyim, M. (2008). Faktor Penentu Penggunaan Bahasa Pada Masyarakat Tutur


Makassar : Kajian Sosiolinguistik di Kabupaten Gowa. Humaniora, 80-82.

Purpasari, A. (n.d.). Masyarakat Bahasa. Universitas Bina Darma.

Anda mungkin juga menyukai