Anda di halaman 1dari 167

KEGIATAN BELAJAR 1: HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA

ANAK UNTUK MI/SD

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Setelah Bapak/Ibu mempelajari materi dalam kegiatan belajar ini,


diharapkan mampu untuk menguraikan konsep dasar tentang hakikat, fungsi,
kedudukan, ruang lingkup, dan ragam bahasa Indonesia untuk MI/SD. Selain itu,
Bapak/Ibu diharapkan mampu memahami hakikat pemerolehan bahasa peserta
didik di MI/SD untuk kepentingan penyusunan desain pembelajaran Bahasa
Indonesia untuk MI/SD dengan pendekatan tematik integratif dalam konteks
pendidikan abad 21.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Adapun subcapaian dalam kegiatan pembelajaran ini adalah:


1. Menelaah hakikat, fungsi, kedudukan, dan ragam bahasa Indonesia untuk
MI/SD serta hakikat pemerolehan bahasa anak MI/SD;
2. Mengidentifikasi perkembangan bahasa Indonesia dan pemerolehan bahasa
anak;
3. Memahami paradigma baru pembelajaran Bahasa Indonesia dan pemerolehan
bahasa anak;
4. Menilai konsep Bahasa Indonesia dan pemerolehan bahasa anak sebagai
displin ilmu;
5. Menguraikan ruang lingkup kajian bahasa Indonesia pada kurikulum MI/SD;
6. Merancang Materi Bahasa Indonesia dalam konteks pendidikan abad 21;
7. Mengidetifikasi metode, model dan media untuk pembelajaran Bahasa
Indonesia di MI/SD;
8. Menelaah penilaian hasil belajar Bahasa Indonesia untuk MI/SD.

C. Uraian Materi
1. Hakikat Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh kelompok sosial tertentu untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang
berupa sistem simbol bunyi yang dihasilkan dari ucapan manusia. Manusia
sebagai makhluk sosial membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan
manusia lainnya di masyarakat, untuk kepentingan interaksi sosial itu, maka
dibutuhkan suatu wahana komunikasi yang disebut bahasa lambang dari
bahasa. Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu: bahasa itu adalah sebuah
sistem; bahasa itu berwujud lambang; bahasa itu berupa bunyi; bahasa itu
bersifat arbitrer; bahasa itu bermakna; bahasa itu bersifat konvensional;

6
bahasa itu bersifat unik; bahasa itu bersifat universal; bahasa itu bersifat
produktif; bahasa itu bervariasi; dan bahasa itu bersifat dinamis.
a. Bahasa itu adalah sebuah sistem terdiri dari beberapa komponen yang
memiliki fungsi tertentu dan memiliki tujuan/makna. Sistem berarti
susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang
bermakna atau berfungsi.
b. Bahasa itu Berwujud Lambang
Bahasa merupakan perwujudan dari lambang bunyi. Terlihat jelas pada
saat bahasa tulis, penulisan huruf merupakan lambang dari bahasa.
c. Bahasa itu Berupa Bunyi
Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf
sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang
dihasilkan alat ucap manusia. Akan tetapi juga tidak semua bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa. Bunyi bahasa
merupakan bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia yang bermakna.
d. Bahasa itu Bersifat Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan 'sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak
tetap, mana suka'. Air dalam bahasa Indonesia artinya cairan, air dalam
bahasa Inffris artinya udara.
e. Bahasa itu Bermakna
Bahasa harus bermakna, memiliki arti dan maksud tertentu. Contoh:
[malam], [adik], [ibu], [lampu], [santai]: bermakna => bahasa [dmal],
[qwer], [ikikl], [ykow]: tidak bermakna => bukan Bahasa
f. Bahasa itu Bersifat Konvensional
Bahasa memang mana suka, sewenang-wenang, tapi sifatnya disepakati
oleh kelompok tertentu.
g. Bahasa itu Bersifat Unik
Bahasa bersifat unik, artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khasnya sistem bunyi, sistem
pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem
lainnya.
h. Bahasa itu Bersifat Universal
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri
yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini.
Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa
itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
i. Bahasa itu Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu
terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat

7
dibuat satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai
dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil
fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat
fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/
j. Bahasa itu Bervariasi
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang
dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak
sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi
bervariasi. Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian
dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola menyerupai pola
umum bahasa induksinya. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
1) Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep
Idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya
masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,
pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat;
2) Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Ada tiga jenis dialek
diantaranya adalah (a) dialek temporal yang merupakan variasi bahasa
yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu; (b) dialek
sosial adalah bahasa yang berkenan dengan status, golongan, dan kelas
sosial penutur;
3) Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu.
Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.
k. Bahasa itu Bersifat Dinamis
Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia
sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya
dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu
dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat
kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah,
menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa
pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan
perubahan-perubahan lainnya.
2. Fungsi Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi sosial yang berupa simbol bunyi yang
dihasilkan dari alat ucap manusia. Bahasa adalah salah satu sarana untuk

8
berinteraksi antarsesama manusia. Setiap masyarakat memiliki bahasanya
masing-masing. Dalam berkomunikasi, alat yang sering digunakan adalah
bahasa, baik berupa bahasa tulis maupun bahasa lisan. Bahasa sebagai sarana
komunikasi mempunyai fungsi berdasarkan kebutuhan seseorang secara
sadar atau tidak sadar yang digunakannya. Bahasa merupakan alat untuk
mengekspresikan diri, alat komunikasi, dan sarana untuk kontrol sosial.
Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki empat fungsi sebagai
berikut:
a) Fungsi Informasi
Bahasa berfungsi untuk menyampaikan informasi timbal balik
antaranggota keluarga maupun anggota-anggota masyarakat. Contoh
fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam fungsi informasi: 1) kita
mendapatkan informasi dari berita televisi maupun koran; 2)
pengumuman hasil seleksi tes CPNS diumumkan melalui website;
b) Fungsi Ekspresi Diri
Bahasa memiliki fungsi ekspresi diri berarti bahwa bahasa berfungsi
untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-
tekanan pembicara. Bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri ini
dapat menjadi media untuk menyatakan keberadaan (eksistensi) diri,
membebaskan diri dari tekanan emosi, dan untuk menarik perhatian
orang lain;
c) Fungsi Adaptasi dan Integrasi
Bahasa memiliki fungsi adaptasi dan integrasi yaitu untuk menyesuaikan
dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat. Melalui bahasa,
seseorang dapat belajar tentang adat istiadat, pola hidup, perilaku, dan
etika dalam suatu masyarakat. Jika seseorang mudah beradaptasi dengan
masyarakat, maka dengan mudah juga dia akan membaurkan diri
(integrasi) dengan kehidupan masyarakat tersebut. Wujud fungsi bahasa
sebagai fungsi informasi misalnya: berita, pengumuman, petunjuk
pernyataan lisan ataupun tulisan melalui media massa, baik media cetak
(koran, majalah, dan lainlain) ataupun elektronik (televisi, radio,
website/blog, dan lain-lain);
d) Fungsi Kontrol Sosial
Bahasa berfungsi mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Apabila
fungsi ini berlaku dengan baik maka semua kegiatan sosial akan
berlangsung dengan baik juga. Tentunya dengan penyampaian bahasa
yang komunikatif dan persuasif. Sebagai contoh, pendapat seorang
Kepala Desa akan ditanggapi dengan baik oleh masyarakatnya. Dengan
bahasa, seseorang bisa mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai
sosial kepada tingkat yang lebih berkualitas.

9
3. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang penting di negara kita.
Pentingnya peranan bahasa Indonesia antara lain bersumber dari ikrar ketiga
Sumpah Pemuda 1928 dan pasal 36 UUD 1945. Penggunaan Bahasa Indonesia
lebih luas penyebaraannya bila dibandingkan dengan bahasa Nusantara
lainnya dan menduduki tempat teratas. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
kedua dipakai dari Sabang sampai Merauke. Di beberapa daerah, Bahasa
Indonesia dijadikan Bahasa setempat, seperti di pantai Timur Sumatra, Riau,
Bangka, daerah pantai Kalimantan. Bahkan bahasa Indonesia dipakai dan
dipelajari di beberapa negara seperti Australia, Filipina, Jepang, Korea, Rusia,
India, Ceko, Jerman, Prancis, Irlandia, Inggris, Amerika, sebagai Bahasa
asing. Kedudukan Bahasa Indonesia diidentifikasikan menjadi bahasa
persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa standar. Keempat
posisi bahasa Indonesia itu mempunyai fungsi masing-masing seperti
berikut:
a. Bahasa Persatuan
Bahasa persatuan adalah alat pemersatu suku bangsa, yaitu pemersatu
suku, agama, rasa dan antar golongan (SARA) bagi suku bangsa
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Fungsi pemersatu ini sudah
dicanangkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Bahasa Nasional adalah fungsi jati diri Bangsa Indonesia bila
berkomunikasi dengan negara luar. Fungsi bahasa nasional ini dirinci
sebagai berikut:
1) Lambang kebanggaan kebangsaan Indonesia;
2) Identitas nasional dimata internasional;
3) Sarana hubungan antarwarga, antardaerah, dan antar budaya, dan;
4) Pemersatu lapisan masyarakat: sosial, budaya, suku bangsa, dan
bahasa.
c. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Fungsi Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara:
1) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai dalam
acara resmi kenegaraan, seperti pidato kenegaraan baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan;
2) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar di dalam dunia
pendidikan dimulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan
tinggi;
3) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan

10
pembangunan. Bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan di dalam
masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya,
bukan hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, maupun sebagai alat perhubungan
antar daerah dan antar suku saja;
4) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penutur Bahasa Indonesia di
negara kita menduduki peringkat teratas, baik digunakan sebagai
Bahasa pertama ataupun kedua. Hal ini akan terus bertambah karena
disebabkan oleh arus urbanisasi, perkawinan antar suku, 'keputusan'
orang tua masa kini, dari berbagai latar belakang budaya yang ingin
menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia adalah alat yang memungkinkan kita membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia
memikili ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya
dari kebudayaan daerah. Bahasa Indonesia adalah alat yang
memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan
nasional sedemikian rupa sehingga ia memikili ciri-ciri dan
identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah.

4. Ragam Bahasa
Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia
dapat saling berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dari
yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Bahasa Indonesia
memiliki banyak ragamnya yang disebabkan oleh beragam penutur dan luas
pemakaiannya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih ragam
bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.
Ragam bahasa Indonesia di masyarakat sangat beragam. Namun
masih bisa dipahami antar satu dengan lainnya, sebab intisari bersama atau
terasnya (ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tatamakna)
umumnya sama. Bila dilihat dari golongan penutur bahasa, bahasa Indonesia
dirinci menurut patokan daerah (logat/dialek), pendidikan, dan sikap
penutur. Keanekaan logat terlihat dari tekanannya, turun-naiknya nada, dan
panjang pendeknya bunyi bahasa yang menimbulkan aksen yang bermacam-
macam. Contohnya adalah bunyi /t/ dan /d/ pada orang Bali, pelafalan
putera Tapanuli, Jawa, dan lain-lain. Ragam Bahasa juga bisa dilihat dari
unsur tatabunyi, perbedaan kosa kata, dan variasi gramatikal.
Pemakaian bahasa Indonesia oleh orang yang berpendidikan formal
dengan yang tidak berpendidikan formal juga memiliki perbedaan. Dalam
tata bunyi misalnya, orang yang berpendidikan formal akan melafalkan /f/
dengan tepat pada kata-kata berikut: film, fitnah dan juga bunyi /ks/ pada

11
kata kompleks. Namun berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan
formal. Mereka akan melafalkannya menjadi /p/ dan /k/, sehingga menjadi
pilem, pitnah, dan komplek.
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan
pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium
pembicara (Bachman, 1990). Seiring dengan perkembangan zaman yang
sekarang ini banyak masyarakat yang mengalami perubahan. Bahasa pun
juga mengalami perubahan. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa
yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi
fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul
mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan
tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000). Sikap penutur juga
menciptakan keberagaman Bahasa Indonesia. Sikap ini sering disebut dengan
ragam bahasa atau gaya bahasa yang ditentukan oleh umur penutur,
kedudukan pokok persoalan yang sedang dibicarakan, dan tujuan informasi
yang disampaikan. Gaya bahasa akan berbeda ketika memberikan laporan
kepada atasan, memarahi orang, membujuk pacar, maupun menulis surat
kepada orangtua.
Ragam bahasa baku dapat berupa: ragam bahasa baku tulis dan ragam
bahasa baku lisan. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman
bahasa, diantaranya adalah faktor budaya atau letak geografis, faktor ilmu
pengetahuan, faktor sejarah. Ragam Bahasa Indonesia dibagi menjadi 3 jenis
yaitu: a) berdasarkan media, b) berdasarkan cara pandang penutur c)
berdasarkan topik pembicaraan.

a. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan


bahasa, ragam bahasa terdiri,
1) Ragam bahasa lisan;
2) Ragam bahasa tulis.
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga
kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak
mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam
pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam
kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri
kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan
menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang
disampaikan secara lisan.

12
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah
kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau
santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat
disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya
saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat
dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun
direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat
dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam
tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap manusia (organ of speech)
dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan
ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan
lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan bahasa yang
dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur
dasarnya. Adapun ciri-ciri ragam lisan adalah:
1) Memerlukan orang kedua/teman bicara;
2) Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
3) Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi
serta bahasa tubuh;
4) Berlangsung cepat;
5) Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
6) Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
7) Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang
diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan
ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang
oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan
unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku
tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata,
penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta
kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

b. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur

Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri


dari beberapa ragam diantaranya adalah:
1) Ragam dialek
Contoh: 'Gue udah baca itu buku.’
2) Ragam terpelajar

13
Contoh: 'Saya sudah membaca buku itu.'
3) Ragam resmi
Contoh: 'Saya sudah membaca buku itu.'
4) Ragam tak resmi
Contoh: 'Aku udah baca buku itu.'
5) Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
6) Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya
terbantu dengan tanda baca.

c. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan

Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari beberapa


ragam diantaranya adalah:
1) Ragam bahasa ilmiah;
2) Ragam hukum;
3) Ragam bisnis;
4) Ragam agama;
5) Ragam sosial;
6) Ragam kedokteran.
Menurut Bachman (1990), “ragam bahasa adalah variasi bahasa
menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan,
menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan,
serta menurut medium pembicara.” Ragam Bahasa berdasarkan topik
pembicara terdiri dari:
1) Ragam Bahasa (RB);
2) Cara Pandang Penutur;
3) Ragam Dialek;
4) Ragam Pendidikan (Baku dan tidak baku);
5) RB menurut Sikap Penutur (faktor Usia, Kedudukan, Sikap, Pokok
Persoalan, Tujuan Penyampaian Informasi);
6) Media;
7) RB Media Lisan, seperti (Cakapan, Pidato, kuliah, atau Panggung);
8) RB Media Tulisan seperti (Teknis, UU, Catatan, atau Surat);
9) Topik Pembicaraan;
10) Ragam Hukum;
11) Ragam Bisnis;
12) Ragam Sastra;
13) Ragam Kedokteran;
14) Jurnalistik;
15) Ragam Ilmiah;

14
5. Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa didefinisikan sebagai proses penguasaan bahasa
yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa
ibunya. (Dadjowidjojo, 2005). Pemerolehan bahasa tersebut merupakan
proses bawah sadar, atau proses mental yang mengarah pada kompetensi
berbahasa dan penguasaan tata bahasa (Richard, 2002). Kajian terhadap
pemerolehan bahasa pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu (1) bahasa
apakah yang diperoleh anak, serta (2) bagaimana anak memperleh bahasa
(Taylor, 2003). Cara anak memperoleh bahasa dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Teori Behavioristik
Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan
kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.
Sebagai contoh, jika siswa belum dapat membaca Al- Quran, padahal dia
sudah berusaha belajar dengan tekun dan gurunya juga sudah
mengajarkan dengan keras, maka dia belum dianggap belajar. Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus
dan keluaran atau output yang berupa respons.

Sumber : http://www.karyatulisku.com/2016/04/konsep-dasar-belajar-dan-
pembelajaran.html
Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud stimulus dan respon dalam
proses pembelajaran?

15
STIMULUS adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya
daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu,
untuk membantu belajar siswa, sedangkan RESPON adalah reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.

Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan


respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati
dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan
respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa
saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan
dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang
dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan
(positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap
dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya
ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan
tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam
belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru
meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan
penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan
merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan)
atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
Teori behavioristik berangkat dari aliran psikologi behaviorisme
yang menyimpulkan perilaku manusia itu bisa dibentuk menjadi baik atau
buruk oleh lingkungan. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada
dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian
belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka

Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli


a. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang

16
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain
yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu
reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar
tersebut, maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari
kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati,
atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Teori belajar Thorndike ini disebut teori “Connectionism”, karena
belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara
stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut teori “Trial and Error”
karena dalam proses eksperimennya, thorndike mengalami proses
trial and error berkali-kali sampai ditemukan teori yang dapat
disimpulkannya. Untuk teorinya ini, Thorndike melakukan
eksperimen yang menggunakan hewan terutama kucing untuk
mengetahui fenomena belajar.

PENGUATAN

STIMULUS PROSES RESPON

PENGUATAN

Gambar 1. Teori Stimulus-Respon Thorndike


Dalam proses eksperimennya yang melalui proses trial and error,
Thorndike menemuka 3 hukum pokok, yaitu:
a) Hukum Latihan (The law of exercise)
Hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa hubungan
antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering
digunakan (law of use), dan sebaliknya akan menjadi lemah jika tidak
digunakan (law of disuse). Dari hukum tersebut dapat disimpulkan
bahwa dalam proses pembelajaran dibutuhkan adanya latihan
untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan respon, oleh
karena itu pemberian ulangan/tes yang diberikan oleh guru
merupakan implementasi dari hukum tersebut
b) Hukum Akibat (The law of effect)
Hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa satu tindakan
atau perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan
cenderung diulang, sebaliknya tindakan atau perbuatan
menghasilkan rasa tidak puas (tidak menyenangkan) akan

17
cendeung tidak diulang. Dari hukum tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemberian hadiah adalah tindakan yang menyenangkan
siswa, sehingga siswa cenderung mau melakukan lagi perbuatan
yang menyebabkan dia mendapatkan hadiah tersebut. Sebaliknya
pemberian hukuman adalah tindakan yang tidak menyenangkan
siswa, sehingga siswa cenderung tidak mengulang atau
menghentikan perbuatan yang menyebabkan dia mendapatkan
hukuman.
c) Hukum Kesiapan (The law of readiness)
Hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa proses belajar
akan berhasil dengan baik apabila siswa memiliki kesiapan, yaitu
kecenderungan untuk bertindak.Dari hukum tersebut dapat
disimpulkan bahwa belajar akan lebih efektif apabila siswa
memiliki kesiapan untuk belajar, baik kesiapan dari aspek
kematangan mental maupun kesiapan karena pemberian motivasi
yang diberikan oleh gurunya.
Selain hukum-hukum tersebut, Thorndike juga menemukakan 4
hukum tambahan, yaitu:
a) Law of multiple response, yaitu individu mencoba berbagai respon
sebelum mendapat respon yag tepat;
b) Law of attitude, yaitu pross belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan
mental yang positif pada siswa;
c) Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi scara selektif
terhadap kemungkinan-kemngkinan yang ada dalam situasi tertentu.
Individu dapat memilih dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-
hal ang pokok dan meninggalan hal-hal yang kecil/tidak pokok;
d) Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi
yang sama terhadap situasi baru yang mirip dengan situasi yang
dihadapinya waktu yang lalu.
b. Teori Belajar Menurut John Broades Watson (1878-1958)
J.B. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang
datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon
yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati
(observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai
faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa

18
perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun
semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau
belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau
biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa,
hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan
perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:
Emosi manusia yang fundamental Pavlov mendemonstrasikan
(yang tidak dipelajari) adalah hewan dapat merespon tingkah
ketakutan, kemarahan dan cinta laku melalui pengkondisian

Perasaan-perasaan ini dapat Manusia juga dapat dikondisikan


melekat pada objek melalui untuk menghasilkan respons fisik
pengondisian stimulus-respons terhadap objek dan peristiwa

Perasaan-perasaan ini dapat


Siapapun terlepas dari
melekat pada objek melalui
pengondisian stimulus-respons sifatnya, dapat dilatih
menjadi apapun

Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak


memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat
diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika
belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
c. Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Sebagaimana tokoh behavioristik lainnya, Edwin Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Dijelaskannya bahwa hubungan
antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh
sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering mungkin
diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat
lebih tetap. Dia juga mengemukakan, agar respon yang muncul
sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai
macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada

19
saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku
seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan
mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam
teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
d. Teori Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak
diperbincangkan, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner
tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang
dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan
konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.

Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang


terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya akan menimbulkan
perubahan tingkah laku.

Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada


seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus
tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan.
Demikian juga dengan respon yang dimunculkan ini pun akan
mempunyai beberapa konsekuensi. Konsekuensi inilah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan
munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku
seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan
antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan
timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan
menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut
oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini,
teori Skinerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program- program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor
20
penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Reinforcement atau penguatan bisa digunakan untuk
menguatkan atau melemahkan hubungan antara stimulus dan respon.
Penguatan positif (positive reinforcement) bisa diberikan dalam bentuk
pujian, dukungan, atau hadiah dengan tujuan untuk menguatkan
hubungan antara S-R. Sebaliknya penguatan negative (negative
reinforcement) bertujuan untuk melemahkan hubungan antara S-R yang
bisa diberikan dalam bentuk pengurangan bahkan sampai
penghilangan stimulus menyenangkan yang pada awalnya diterima
oleh siswa.
e. Kelemahan Teori Belajar Behavioristik
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Contohnya, seorang siswa yang diberikan hadiah berupa
uang berkali-kali atas prestasi belajar yang diraihnya, maka dia tidak
merasakan lagi hadiah uang ini sebagai sesuatu yang memuaskannya
apabila jumlah uangnya sama atau bahkan lebih kecil, sehingga hadiah
uang tersebut tidak lagi menyebabkan dia semangat untuk meraih
prestasi yang baik.
Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak
mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan
antara stimulus dan respon ini. Namun kelemahan teori behavioristik
ini dapat diminimalisir dengan memberikan stimulus yang berbeda
terhadap suatu prestasi yang dicapai oleh siswa dengan
memperhatikan kebutuhan siswa dan jenis prestasi yang diraihnya.
Pandangan behavioristik ini juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk

21
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup
ini yang mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak
sesederhana yang dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam
kegiatan belajar. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat
negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk
bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat
bersifat sementara;
b) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
c) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain,
hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguatan negatif yang tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada akibatnya, bila hukuman diberikan
(sebagai stimulus) untuk menghentikan respon siswa yang dianggap
tidak baik, sedangkan penguatan negatif diberikan sebagai stimulus
untuk mengurangi secara perlahan respon siswa yang dianggap tidak
baik, dan ketika respon yang tidak baik itu sudah berkurang, maka
guru harus mengurangi pemberian stimulus yang tidak
menyenangkan itu.
f. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Berdasarkan beberapa teori dari para ahli di atas, ada beberapa
prinsip yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran,
diantaranya:
a) Pemberian ulangan atau tes diperlukan dalam pembelajaran untuk

22
melatih siswa dalam memahami hubungan antara pertanyaan
dengan jawaban atau hubungan antara masalah dengan solusinya;
b) Dalam pembelajaran perlu adanya proses pengulangan (repetition)
materi, karena dapat membentuk pembiasaan;
c) Pemberian stimulus yang menyenangkan terhadap tindakan baik
siswa (mis. prestasi belajar yang bagus) harus dilakukan untuk
memotivasi agar terus mempertahankan prestasinya. Sebaliknya
pemberian stimulus yang tidak menyenangkan terhadap
Tindakan siswa yang tidak baik (mis. prestasi belajar yang jelek
karena males belajar) juga harus dilakukan untuk memotivasi
siswa agar lebih giat lagi, sehingga nilanya lebih baik;
d) Pemberian hukuman dan hadiah diperlukan dalam rangka
menciptakan disiplin kelas yang kondusif untuk proses
pembelajaran, sehingga tujuan pebelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efsien;
e) Pemberian hadiah atau hukuman harus dilakukan secara variatif,
sehingga tidak menimbulkan kebosanan pada siswa yang
menerimanya;
f) Proses pembelajaran akan berjalan secara efektif jika siswa sudah
memiliki kesiapan untuk mengikuti proses belajar, baik kesiapan
mental maupun kesiapan menerima materi yang baru, oleh karena
itulah pemberian appersepsi sebelum memulai proses
pembelajaran menjadi penting.

Teori Belajar Kognitif


Teori belajar kognitif menekankan pada perhatian terhadap tahapan
perkembangan anak. Namun tahukah Bapak/Ibu apa yang dimaksud
dengan teori kognitif? Pada kegiatan belajar ini, bapak/ibu akan
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan teori belajar kognitif.

Pengertian Belajar Kognitif


Teori Belajar Kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari
itu belajar dengan teori kognitif melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks (Nugroho, 2015: 290). Model belajar kognitif mengatakan bahwa
tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.

23
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu
situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi
komponen-komponen yang kecil- kecil dan mempelajarinya secara
terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa
belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan
stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif
yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang
berdasarkan pemahaman dan pengalaman- pengalaman sebelumnya.
Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam
bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai
sikap yang bersifat relatif dan berbekas (Given, 2014: 188).
Teori belajar kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu
dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi
kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan
lingkungan, dan hal itu terjadi terus menerus sepanjang hayatnya. Kognisi
adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat”
penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai
masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik
simpulan dan sebagainya (Nugroho, 2015: 291). Dalam praktek
pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan- rumusan
seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget,
Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi
belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut
akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.

Teori Belajar Kognitif menurut Para Ahli


1) Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980)
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar
pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif
lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu
proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya
umur seseorang, maka makin kompleks susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang

24
menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-
perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya.
Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu
yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa
daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda
pula secara kualitatif. Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran
Piaget sebagai berikut:

Gambar 2. Perkembangan Kognitif Piaget


Bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada
umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan
antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui dengan apa yang
mereka lihat pada suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau
persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi
situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak,
dia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara
simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang
ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur
kognitif sehingga dapat dipahami. Asimilasi dan akomodasi akan
terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif atau suatu
ketidakimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang
dilihat atau dialaminya sekarang. Menurut Piaget, proses belajar akan
terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses

25
pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur
kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi
merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah
pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya,
maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu
menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif
yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa
proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami
gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak
pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-
putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah
terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif.
Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola
dan tahap- tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan
tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan
urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada
di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif ini menjadi empat yaitu:
a) Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan
motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok
perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah
demi langkah.
b) Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada
penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya
konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu
preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun).
Pada tahap ini anak telah mampu menggunakan bahasa
dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat
sederhana, sehingga sering terjadi kesalahan dalam memahami
obyek.
Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun).
Pada tahap ini, anak telah dapat memperoleh pengetahuan
berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik

26
kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh
sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi
hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki
pengalaman yang luas.
c) Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak
sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan
ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki
kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda
yang bersifat konkrit. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk
memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam dirinya.
Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi
informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif.
Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan,
karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model
“kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu.
Namun sungguh pun anak telah dapat melakukan
pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah
(ordering problems), dia tidak sepenuhnya menyadari adanya
prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf
berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak
memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk
menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran
konkrit, sehingga ia mampu menelaah persoalan. Sungguhpun
demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai
berpikir abstrak.
d) Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun).
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak
sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan
pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe
hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak,
dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan
mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini mula-mula Piaget
percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling
lambat pada usia 15 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian maupun
studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan
mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat
melakukan formal-operations.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap

27
sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang
dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasiaonal, dan akan
berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap
operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada
pada tahap operasional formal.
Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif
seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara
berpikirnya. Guru seharusnya memahami tahap-tahap
perkembangan kognitif para muridnya agar dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-
tahap tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
tidak sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak
akan ada maknanya bagi siswa.
2) Teori Belajar Menurut Jerome Bruner (1915-2016)
Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif,
khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Dia menandai
perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan
dalam menanggapi suatu rangsangan;
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem
penyimpanan informasi secara realis;
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan
berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata
atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan
dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri
sendiri;
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua
dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya;
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa
merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami
konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan
untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain;
f. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk
mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih
tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan
dalam berbagai situasi.
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan

28
teorinya yang disebut free discovery learning, dia mengatakan bahwa
proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang
dijumpai dalam kehidupannya.
Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner
menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya
terhadap perkembangan kognitif seseorang.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi
melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,
yaitu; enactive, iconic, dan symbolic.
1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya
melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan- gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami
dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa,
logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan
dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang
seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem
simbolnya. Meskipun begitu, tidak berarti seseorang tidak lagi
menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media
dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih
diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan
menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut.
Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai
suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro,
menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari
mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali

29
mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci.
Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci yang
dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk
penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap
perkembangan kognitif orang yang belajar.
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam
Degeng, 1989), menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan
pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh
kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa- peristiwa) ke dalam kelas
dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman
konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam
pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk
membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan
penemuan konsep.
Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan
seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui
semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama, 2) Contoh-contoh baik
yang positif maupun yang negatif, 3) Karakteristik, baik yang pokok
maupun tidak, 4) Rentangan karakteristik, dan 5) Kaidah. Pemikiran
Bruner (Collin, 2012) dapat digambarkan sebagai berikut:

Menjadi tahu merupakan sebuah proses bukan suatu produk.


3) Teori Belajar Menurut David Ausubel (1918-2008)
Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak
menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar
demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar seharusnya
merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau
materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau
penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat
mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada yang
meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat
dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang
30
menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk
belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam
tingkat ke dua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu
pada pengetahuan yang telah dimilikinya berdasarkan pengalaman
dalam hidupnya, maka dalam hal ini akan terjadi belajar bermakna.
Tetapi siswa dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi
baru itu tanpa menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada
dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini akan terjadi belajar
hafalan.
Bagi Ausebel belajar bermakna merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna,
informasi baru a, b, c dikaitkan pada konsep-konsep relevan dalam
struktur kognitif (subsume A, B, C). Menurut Ausubel dan juga Novak
(1977), ada tiga kebaikan dalam belajar bermakna, yaitu: (1). Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (2).
Informasi yang tersubsumsi berakibatkan pada peningkatan
deferensiasi dari subsume subsume, jadi memudahkan proses belajar
berikutnya untuk materi belajar yang mirip, (3). Informasi yang
dilupakan sesudah subsumsi akan mempermudah belajar hal-hal yang
mirip walaupun telah terjadi lupa.
Faktor faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan
kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada
waktu tertentu. Sifat sifat struktur kognitif menentukan validitas dan
kejelasan arti arti yang timbul saat informasi baru masuk ke dalam
struktur kognitif, demikian pula proses interaksi yang terjadi.
Prasyarat belajar bermakna sebagai berikut: (1) materi yang akan
dipelajari harus bermakna secara potensial, (b) siswa yang akan belajar
harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna, tujuan siswa
merupakan factor utama dalam belajar bermakna.
Belajar hafalan akan terjadi bila dalam struktur kognitif
seseorang tidak terdapat konsep konsep relevan atau subsume-
susumer relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan dan tidak
ada usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep
konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan
seseorang dalam struktur hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan

31
yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi pengetahuan
yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan yang
lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang,
akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih
rinci. Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi pelajaran dari
umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut
sebagai subsumptive sequence menjadikan belajar lebih bermakna bagi
siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel
merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam
merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai
kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam
bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa
yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada
dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance
organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang
baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang
dikemukakan oleh Ausubel tersebut, dikembangkanlah oleh para
pakar teori kognitif suatu model yang lebih eksplisit yang disebut
dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata berfungsi
untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-
pisah, atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru.
Skemata memiliki fungsi asimilatif, artinya bahwa skemata
berfungsi untuk mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam
hirarkhi pengetahuan yang secara progresif lebih rinci dan spesifik
dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar yang paling
dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam skemata
yang tersusun secara hirarkis. Struktur kognitif yang dimiliki individu
menjadi faktor utama yang mempengaruhi kebermaknaan dari
perolehan pengetahuan baru. Dengan kata lain, skemata yang telah
dimiliki oleh seseorang menjadi penentu utama terhadap pengetahuan
apa yang akan dipelajari oleh orang tersebut. Oleh sebab itu maka
diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi isi atau materi
pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat
memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur
kognitif orang yang belajar.
Mendasarkan pada konsepsi di atas, Mayer (dalam Degeng, 1993)

32
menggunakan pengurutan asimilatif untuk mengorganisasi
pembelajaran, yaitu mulai dengan menyajikan informasi-informasi
yang sangat umum dan inklusif menuju ke informasi-informasi yang
hkusus dan spesifik. Penyajian informasi pada tingkat umum dapat
berperan sebagai kerangka isi bagi informasi-informasi yang lebih
rinci.
Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa skemata dapat
dimodifikasi oleh pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga
menghasilkan makna baru. Anderson (1980) dan Tennyson (1989)
mengatakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki individu
selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-masing
individu. Semakin besar jumlah dasar pengetahuan yang dimiliki
seseorang, makin besar pula peluang yang dimiliki untuk memilih.
Demikian pula, semakin baik cara penataan pengetahuan di dalam
dasar pengetahuan, makin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri
dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan.
4) Teori Belajar menurut Gagne (1916-2002)
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 67), belajar konsep
merupakan suatu bagian dari suatu hierarki delapan bentuk belajar.
Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar bergantung pada tingkat-
tingkat sebelumnya. Hierarki belajar dari Gagne tersebut adalah:
a. Belajar tanda sinyal (signal learning);
b. Belajar stimulus respon (stimulus response learning);
c. Belajar merangkai tingkah laku (behaviour chaining learning);
d. Belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning);
e. Belajar diskriminasi (discrimination learning);
f. Belajar konsep (concept learning);
g. Konsep terdefinisi;
h. Belajar memecahkan masalah (problem solving).
Terkait dengan hasil belajar, Gagne mengemukakan ada lima
macam hasil belajar, tiga di antaranya bersifat kognitif, satu bersifat
afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik (Dahar, 2011, hlm. 118).
Menurut Gagne, ada lima kemampuan hasil belajar, yaitu:
a) Keterampilan intelektual
Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-
simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas belajar keterampilan

33
intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah dasar
(sekolah taman kanak-kanak) dan dilanjutkan sesuai dengan
perhatian dan kemampuan intelektual seseorang.
b) Strategi kognitif
Strategi kognitif adalah suatu keterampilan intelektual
khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan
berpikir. Strategi kognitif dikelompokkan sesuai dengan
fungsinya, dan pengelompokkan yang disarankan oleh Weinstein
dan Mayer (dalam Dahar, 2011, hlm. 122) adalah sebagai berikut:
a. Strategi menghafal. Siswa melakukan latihan mereka sendiri
tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling
sederhana, seperti mengulangi nama-nama dalam suatu urutan
(nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain).
b. Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan
dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia.
c. Strategi pengaturan. Menyusun materi yang akan dipelajari ke
dalam suatu kerangka teratur merupakan teknik dasar strategi
ini.
d. Strategi metakognitif. Meliputi kemampuan siswa untuk
menentukan tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan
pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatif-alternatif untuk
mencapai tujuan itu.
e. Strategi afektif. Teknik ini digunakan para siswa untuk
memusatkan dan mempertahankan perhatian untuk
mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara
efektif.
c) Sikap
Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan
dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda,
kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap
yang penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu,
Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh
sikap-sikap sosial tersebut.
d) Informasi verbal
Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Menurut
teori, pengetahuan verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-
proposisi. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di
sekolah dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari

34
membaca, radio, televisi dan media lainnya.
e) Keterampilan motorik
Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan
fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan
keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis,
memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains
menggunakan berbagai macam alat seperti mikriskop, alat-alat
listrik, dan lain sebagainya.
f) Aplikasi Teori Belajar Kognitif dalam pembelajaran
Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para
ahli penganut kognitivisme di atas, ada beberapa implikasi yang
harus diterapkan dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respon, tetapi lebih dari itu belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks;
2. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses
berpikirnya, tetapi mereka mengalami perkembangan kognitif
melalui tahap-tahap tertentu;
3. Siswa harus diberikan kesempatan untuk belajar sesuai
dengan kemampuannya, sehingga pemberian waktu belajar
untuk setiap siswa harus lebih fleksibel;
4. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat
belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda
kongkrit;
5. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif
seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara
berpikirnya;
6. Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-
contoh yang dijumpai dalam kehidupannya;
7. Perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap
perkembangan kognitif seorang anak;
8. Penyusunan materi pelajaran harus diatur dari yang sudah
diketahui menuju kepada yang baru, dari yang sederhana
menuj kepada yang kompleks, dan dari yang mudah menuju
kepada yang sulit;

35
9. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar
menghafal;
10. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu
diperhatiakan, karena faktor ini sangat mempengaruhi
keberhasilan belajar siswa.

D. Latihan

Setelah Bapak/Ibu membaca dan memahami materi utama dan


penunjang. Langkah selanjutnya agar supaya terlatih dan lebih memahami
kegiatan belajar 1, silahkan Bapak/Ibu mengerjakan tugas berikut:
1. Menjelaskan hakikat bahasa Indonesia melalui ilustrasi kasus.
Kasus:
Bacalah kasus berikut!
Siswa Kelas I sekolah A mempunyai bahasa ibu yang berbeda-beda, yaitu:
bahasa Batak, Minang, Jawa, dan sebagainya. Menyikapi hal itu, guru kelas
hendaknya melaksanakan proses pembelajaran yang dapat mengadopsi
keragaman bahasa yang dimiliki oleh siswa. Sebagai alternative
pembelajaran, guru kelas menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya banyak siswa yang kurang
paham dengan penjelasan yang disampaikan guru. Dampaknya, interaksi
dalam proses pembelajaran kurang berjalan dengan baik.

Perintah:
Susunlah langkah-langkah pembelajaran yang efektif mengadopsi
keragaman bahasa siswa, sehingga interaksi dalam proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik. Berikan penjelaan tentang indikator moderasi beragama
yang mungkin dapat diintegrasikan dalam pembeljaran tersebut.
2. Mengemukakan hakikat pemerolehan bahasa melalui ilustrasi kasus.
Kasus:
Bacalah paragraf berikut!
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara
verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Melalui pemerolehan
bahasa, perbendaharaan kata anak akan bertambah. Dalam perjalanannya,
perbendaharaan kata anak ada yang bertambah dengan pesat, ada juga yang
bertambah secara lambat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya dalam
membantu percepatan perbendaharaan kata anak melalui proses
pemerolehan bahasa anak secara tepat.

36
Perintah:
a. Identifikasilah faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak!
b. Jelaskan pula upaya yang dapat dilakukan agar perbendaharaan kata anak
bertambah secara pesat melalui pemerolehan bahasa!

Selamat mengerjakan!
Untuk menambah wawasan anda tentang materi tersebut di atas, anda
dapat melihat tautan video maupun bahan presentasi berikut:
1. https://www.youtube.com/watch?v=exXiy4f3-O8,
2. https://www.youtube.com/watch?v=B6T-Qp5ZEEw,
3. https://www.youtube.com/watch?v=LzWCi9dDjbM,
4. https://www.youtube.com/watch?v=gkCsY9c32Rg

E. Referensi Tambahan

Untuk lebih jelasnya Bapak/Ibu dapat mempelajari materi penunjang KB 1


melalui tautan mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia untuk MI/SD di bawah
ini. Selamat belajar semoga bermafaat.
● Artikel/Jurnal/Buku/Modul:
1. http://digilib.unila.ac.id/3528/11/BAB%20II.pdf ,
2. http://arifwiyat.staff.ummgl.ac.id/wp-
content/uploads/sites/6/2018/09/Modul-1-Hakikat-Bahasa.pdf,
3. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/semiba/article/view/11151,
https://repository.unja.ac.id/6453/1/DHEA%20ANNISA%20OKTARI
ZKA%20%28A1D118163%29.pdf
4. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA
_INDONESIA/196711031993032-
NOVI_RESMINI/HAKIKAT_DAN_FUNGSI_BAHASA_INDONESIA,_
PJJ.pdf
Selain materi di atas, Bapak/Ibu dapat menambah pengayaan materi
melalui sumber lain yang berkaiatan dengan materi tersebut sehingga
pemahaman Bapak/Ibu menjadi lebih baik.

37
KEGIATAN BELAJAR 2: ASPEK KEBAHASAAN DAN KETERAMPILAN
BERBAHASA

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Setelah Bapak/Ibu mempelajari materi dalam kegiatan belajar ini,


diharapkan mampu untuk menguraikan konsep dasar tentang aspek kebahasaan
untuk MI/SD. Selain itu, BApak/Ibu diharapkan mampu memahami aspek
keterampilan berbahasa peserta didik di MI/SD untuk kepentingan penyusunan
desain pembelajaran Bahasa Indonesia untuk MI/SD dengan pendekatan tematik
integratif dalam konteks pendidikan abad 21.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Adapun subcapaian dalam kegiatan pembelajaran ini adalah:


1. Menelaah hakikat fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik untuk MI/SD
serta hakikat aspek keterampilan berbahasa untuk peserta didik MI/SD;
2. Mengidentifikasi perkembangan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
serta keterampilan berbahasa Indonesia;
3. Memahami paradigma baru fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia;
4. Menilai konsep fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia sebagai displin ilmu;
5. Menguraikan ruang lingkup kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik serta keterampilan berbahasa Indonesia pada kurikulum MI/SD;
6. Merancang materi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia dalam konteks pendidikan abad 21;
7. Mengidetifikasi metode, model dan media untuk pembelajaran fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik serta keterampilan berbahasa Indonesia di
MI/SD;
8. Menelaah penilaian hasil belajar Bahasa Indonesia untuk MI/SD.

C. Uraian Materi
Pada Kegiatan belajar 2, Bapak/Ibu akan belajar mengenai konsep dasar
tentang aspek kebahasaan untuk MI/SD. Selain itu, Bapak/Ibu diharapkan
mampu memahami aspek keterampilan berbahasa peserta didik di MI/SD dari
sudut pandang Islam. Berikut uraian materi pada kegiatan belajar 2:
ASPEK KEBAHASAAN: FONOLOGI, MORFOLOGI, SINTAKSIS, SEMANTIK
1. FONOLOGI
a) Batasan dan Kajian Fonologi

6
Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos
= ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan
bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang
pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua
mengkaji fonem yang disebut tata fomen (fonemik). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang
mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya.
Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
b) Beberapa Konsep Mengenai Tata Bunyi
1) Fonem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa
macaam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku
kata. Contoh fonem /t/ jika berada di awal kata atau suku kata,
dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/, fonem /t/ dilafalkan lepas.
Namun jika berada di akhir kata, fonem /t/ tidak diucapkan lepas. Bibir
kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi, misal pada kata
/buat/.
2) Alofon
Varian fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama
pada kata makan dan makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem
yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan
diantara dua kurung siku […]. Kalau [p] yang lepas kita tandai dengan
[p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka kita
dapat berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai
dua alofon, yakni [p] dan [p>].
3) Kajian Fonetik
a. Klasifikasi Bunyi
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam
saluran suara.
− Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak
mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi.
− Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal
ini terjadi artikulasi.

7
− Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk
konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum
membentuk konsonan murni.
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.
− Bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup
arus udara keluar melalui rongga mulut dan membuka jalan
agar arus udara dapat keluar melalui rongga hidung.
− Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan
mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak
untuk menutupi rongga hidung, sehingga arus udara keluar
melalui mulut.
Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di
artikulasikan.
− Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu
diartikulasikan disertai ketegangan kuat arus.
− Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu
diartikulasikan tidak disertai ketegangan kuat arus.
Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau
diartikulasikan
− Bunyi panjang
− Bunyi pendek
Berdasarkan derajat kenyaringannya
Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak
nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya
ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang
resonansi saluran bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi
derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
− Bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku
kata (semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan).
− Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam
satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari
− Diftong (vokal rangkap): [ai], [au], [ei], dan [oi].
− Klaster (gugus konsonan): [pr], [kr], [tr], [str], [bl], dsb.
Berdasarkan arus udara
− Bunyi egresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara
mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru. Bunyi egresif
dibedakan menjadi :

8
a) Bunyi egresif pulmonik: dibentuk dengan mengecilkan
ruang paruparu,otot, perut dan rongga dada.
b) Bunyi egresif glotalik: terbentuk dengan cara merapatkan
pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup.
− Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara
menghisap udara ke dalam paru-paru.
a) Ingresif glotalik: pembentukannya sama dengan egresif
glotalik tetapi berbeda pada arus udara.
b) Ingresif velarik: dibentuk dengan menaikkan pangkal
lidah ditempatkan pada langit-langit lunak. Kebanyakan
bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
b. Pembentukan Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster
Pembentukan Vokal
Vokal dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya lidah,
bagian lidah yang bergerak, bentuk bibir, dan strikturnya. Berikut
ini jenis-jenis vokal berdasarkan cara pembentukannya, yakni:
− Berdasarkan bentuk bibir: vokal bulat, vokal netral, dan vokal
tak bulat;
− Berdasarkan tinggi rendahnya lidah: vokal tinggi, vokal
madya (sedang), dan vokal rendah;
− Berdasarkan bagian lidah yang bergerak: vokal depan, vokal
tengah, dan vokal belakang;
− Berdasarkan strikturnya: vokal tertutup, vokal semitertutup,
vokal semi-terbuka, dan vokal terbuka.
Pembentukan Konsonan
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor,
yakni daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan
jalan keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
− Berdasarkan daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio
dental, apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan
laringal;
− Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar,
lateral, nasal, dan semi-vokal;
− Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan
konsonan tak bersuara;
− Berdasarkan jalan keluarnya udara : konsonan oral dan
konsonan nasal.
Pembentukan Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan
pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan

9
diftong adalah terletak pada cara hembusan nafasnya. Diftong
dalam bahasa indonesia adalah sebagai berikut:
− Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya: [harimaw]
/harimau/, [kerbaw] /kerbau/
− Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya: [santay]
/santai/, [sungay] /sungai/
− Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya : [amboy]
/amboi/, [asoy] /asoi/
− Diftong /ei/, pengucapanya [ey]. Contohnya: [survey]
/survei/, [geyser] /geiser/
Pembentukan Kluster
Gugus atau kluster adalah deretan konsonan yang terdapat
bersama pada satu suku kata.
− Gugus konsonan pertama: /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan
/d/.
− Gugus konsonan kedua: /l/,/r/ dan /w/.
− Gugus konsonan ketiga: /s/,/m/,/n/ dan /k/.
− Gugus konsonan keduanya adalah konsonan lateral /l/,
misalnya:
/pl/ [pleno] /pleno/
/bl/ [blaƞko] /blangko/
dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan
/w/.
− Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama selalu
/s/, yang kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/
atau /l/. Contohnya :
/spr/ [sprey] /sprei
/skr/ [skripsi] /skripsi/
/skl/ [sklerosis] /sklerosis/
4) Kajian Fonemik
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Fonem juga dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang
bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan.
Dalam hal ini perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk
menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan
makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu bertujuan untuk (1)
menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan (2) membuat ortografi
yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.

10
Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang
bersifat fungsional atau fonem, biasanya dilakukan melalui “ kontras
pasangan minimal”. Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan
bentukbentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa
(biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi
berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali
sebuah fonem, yakni (1) bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya, (2)
bunyi bahasa itu simetris, (3) bunyi bahasa yang secara fonetis mirip,
harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan (4) bunyi
bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas
fonem yang sama.
a. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari
ciri atau satuan fonologis, yakni fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi
fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan
salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara segmental
fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan konsonan.
b. Variasi Fonem
Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat
maupun tak bersyarat dari fonem. Ujud variasi suatu fonem yang
ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang komplementer
disebut varian alofonis atau alofon.
5) Gejala Fonologi Bahasa Indonesia
a. Penambahan Fonem
Penambahan fonem pada suatu kata pada umumnya berupa
penambahan bunyi vokal. Penambahan ini dilakukan untuk
kelancaran ucapan.
b. Penghilangan Fonem
Penghilangan fonem adalah hilangnya bunyi fonem pada awal,
tengah dan akhir sebuah kata tanpa mengubah makna. Penghilangan
ini biasanya berupa pemendekan kata.
c. Perubahan Fonem
Perubahan fonem adalah berubahnhya bunyi atau fonem pada
sebuah kata agar menjadi terdengar jelas untuk tujuan tertentu
d. Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau
lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau
pengganti fonem.
11
e. Analogi
Analogi adalah pembentukan suatu kata baru berdasarkan
suatu contoh yang sudah ada (Keraf, 1987)
f. Fonem Suprasegmental
Fonem vokal dan konsoan merupakan fonem segmental karena
dapat diruas-ruas. Fonem tersebut hanya bosa terwujud bersama-sama
dengan ciri-ciri supersegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di
samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri
supersegmental lain, yakni intonasi dan ritme. Pada tataran kata,
tekanan, jangka, dn nada dalam bahasa Indonesia tidak membedakan
makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tekanan,
dan nada akan terasa janggal.

2. MORFOLOGI
a) Pengertian Morfologi
Morfologi disebut juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk
kata. Verhaar (1984:52) berpendapat bahwa morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari susunan bagian kata secara gramatikal.
Morfologi juga tediri dari dua bahasan (1) bidang linguistik yang mempelajari
morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem. Berdasarkan definisi-
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem yang satu dengan
morfem yang lain untuk membentuk sebuah kata.
b) Kedudukan Morfologi dalam Linguistik
Morfologi merupakan bidang kajian bahasa yang mempelajari
struktur-struktur atau bentuk penyusunan kata. Morfologi dalam hirarki
ilmu kebahasaan berada di antara kajian-kajian yang lainnya, yakni:
Wacana
Sintaksis
Morfologi
Fonologi
Dengan demikian kajian morfologi mempunyai keterkaiatan dengan
fonologi maupun sintaksis. Keterkaitan dengan fonologi terletak pada adanya
kajian morfonologi atau merfofonemik yaitu proses morfologi dengan
munculnya fonem /y/ pada dasar hari bila diberi sufiks –an. Contohnya
sebagai berikut.
hari + an hariyan

12
Atau pindahnya konsonan /b/ pada jawab apabila diberi sufiks –an.
jawab + ja.wa.ban
KeterkaItan dengan sintaksis terlihat pada kajian morfosintaksis
(gabungan kata morfologi dan sintaksis). Contoh: kata dalam kajian
morfologi merupakan satuan terbesar, dengan kata dalam kajian sintaksis
merupakan satuan terkecil dalam pembentukan kalimat (sintaksis). Jadi,
satuan bahasa yang disebut kata itu, menjadi objek dalam kajian morfologi
dan kajian sintaksis.
Pembentukan struktur kata atau bentuk kata disebut juga proses
morfologis dalam bahasa Indonesia melalui afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan.
1) Afiksasi
Afikasasi adalah penggabungan akar kata dengan pokok afiks. Afiks
ada tiga jenis, yaitu awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks),
dan gabungan awalan dan akhiran (konfiks).
a. Prefiks (Awalan)
Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi
be- dan bel-. Be(R)- berubah menjadi be- jika (a) kata yang dilekatinya
diawali dengan huruf r dan (b) suku kata pertama diakhiri dengan er
yang di depannya konsonan.
be(R)- + renang → berenang .
be(R)+ ternak → beternak
be(R)+ kerja →bekerja
Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu
mem-, men-, meny-,meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah
menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/,
/f/, /p/, dan /v/, misalnya,
me(N)- + baca →membaca
me(N)- + pijat → memijat
Prefiks me(N)- berubah menjadi men- jika bergabung dengan
kata yang diawali oleh huruf /d/, /t/, /j/, dan /c/, misalnya,
me(N)- + data → mendata,
me(N)- + tulis → menulis,
me(N)- + jadi → menjadi,
me(N)- + cari → mencari.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya,
me(N)- + sindir → menyindir,
13
me(N)- + sisir → menyisir.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan
kata yang diawali dengan huruf /k/ dan /g/, misalnya,
me(N)- + kupas → mengupas
me(N)- + goreng → menggoreng.
Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung
dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya,
me(N)- + lap → mengelap,
me(N)- + bom→ mengebom,
me(N)- + bor → mengebor.
Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R).
Perhatikan contoh berikut!
berawat→ perawat
bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)-
berubah menjadi pe jika bergabung dengan kata yang diawali
huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran er. Contohnya
sebagai berikut.
pe(R)- + rawat →perawat dan pe(R)- + kerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata
ajar, misalnya:
pe(R)- + ajar → pelajar.
Prefiks pe (N)-
Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar
dengan prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-,
peny-, peng-, pe-, dan penge-.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/, misalnya:
Penuduh
Pendorong
Pencuci
Penjudi
Prefiks pe(N)- berubah menjadi 14 pem- jika bergabung dengan
kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/, misalnya:
Pebaca
Pemukul
Prefiks pe(N)- berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya: penyaji.

14
Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/, misalnya, penggaris dan
pengupas.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata
yang terdiri atas satu suku kata, misalnya:
Pengebom
Pengepel
pengecor.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /m/, /l/, dan /r/, misalnya, pemarah,
pelupa, dan perasa.
Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel- ,
misalnya, terbaca, ternilai, tertinggi, dan telanjur.
b. Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif.
Infiks dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-,
dan –er-.
Infiks -el-, misalnya, geletar, gelembung;
Infiks -er-, misalnya, gerigi, seruling; dan
Infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar
c. Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti
wan, wati, man. Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan,
dan –i.
sufiks -an, misalnya, dalam, makanan, pujian, jajanan;
sufiks -i, misalnya, dalam pukuli, bisiki, pinjami, lukai;
sufiks -kan, misalnya, dalam berikan, lemparkan; dan
sufiks -nya, misalnya, dalam mudahnya, jiwanya, berdirinya.
d. Konfiks
Konfiks adalah “gabungan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang
merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks
gabungan 15 itu muncul secara serempak pada morfem dasar dan
bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata
bentukan itu. Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa
Indonesia.
Konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perdamaian, perubahan,
Konfiks pe(N)-an misalnya, dalam pendinginan, pendaratan,

15
Konfiks ke-an misalnya, kedaulatan, kemanusian,
Konfiks be(R)-an misalnya, berdekatan, berbantuan.
2) Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata dasar baik keseluruhan
maupun sebagian. Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Pengulangan seluruh
Dalam bahasa Indonesia perulangan seluruh adalah perulangan
bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan tidak dengan proses
afiks. Misalnya: anak → anak-anak hati → hati-hati
b. Pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian morfem
dasar, baik bagian awal maupun bagian akhir morfem. Misalnya:
saji → sesaji berapa → beberapa
c. Pengulangan dengan perubahan fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem adalah morfem dasar yang
diulang mengalami perubahan fonem. Misalnya: sayur → sayur-
mayur ramah → ramah-tamah
d. Pengulangan berimbuhan
Pengulangan berimbuhan adalah pengulangan bentuk dasar diulang
secara keseluruhan dan mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks
yang dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks, atau konfiks. Misalnya
: buah → buah-buahan kuning → kekuning-kuningan tarik → tarik-
menarik
e. Pemajemukan/ Kata Mejemuk
Dua buah kata yang digabungkan kemudian menimbulkan arti/
makna baru. Contoh: terdiri dari kata sapu dan tangan memiliki
makna◊sapu tangan berbeda dengan kata sapu tangan. meja
memiliki makna tidak hanya tempat makan, makan◊meja makan
tidak memiliki makna tempat. Ketika digabungkan memiliki makna
baru.
c) Konstruksi Morfologis
1) Endosentris dan Eksosentris
Endosentris ialah konstruksi morfologis yang salah satu atau semua
unsurnya mempunyai distribusi yang sama dengan konstruksi tersebut,
sedangkan konstruksi eksosentris ialah unsur-unsurnya tidak sama
dengan konstruksi tersebut (Samsuri, 181:200; Prawirasumantri, 1986:19).

16
Endosentris dan eksosentris dalam tatanan morfologi terdapat pada kata
majemuk sedangkan dalam tatanan sintaksis terdapat pada frase. Agar
pengertian endosentris dan eksosentris lebih terpahami perhatikan contoh
berikut!
a. 1). Rumah sakit itu baru dibangun.
2). Rumah itu baru dibangun.
b. 1). Mereka mengadakan jual beli.
2). Mereka mengadakan jual. *)
3). Mereka mengadakan beli. *)
Dengan mengadakan perbandingan kalimat 1a dan 1b, kita dapat
menyimpulkan bahwa konstruksi rumah sakit mempunyai distribusi yang
sama dengan dengan salah satu unsurnya, yaitu rumah. Pada kalimat 2a
ada konstruksi jual beli. Kedua unsurnya yakni jual dan beli tidak memilki
distribusi yang sama. Hal itu terbukti bahwa kalimat 2b dan 2c bukan
merupakan kalimat bahasa Indonesia. Kita tidak akan menemukan dua
kalimat seperti itu. Konstruksi rumah sakit merupakan contoh endosentris,
sedangkan konstruksi jual beli merupakan contoh eksosentris.
2) Komposisi dalam Morfologis
Komposisi adalah proses penggabungan dasar dengan dasar
(biasanya berupa akar maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi
suatu “konsep” yang belum tertampung dalam sebuah kata. Proses
komposisi ini dalam bahasa Indonesia merupakan satu mekanisme yang
cukup penting dalam pembentukan dan pengayaan kosakata yang kita
ketahui sangat terbatas. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia kita sudah
punya kata merah, yaitu salah satu jenis warna. Namun, dalam kehidupan
kita warna merah itu tidak semacam, ada warna merah seperti warna
darah; warna merah seperti warna jambu; warna merah seperti warna
delima, dan sebagainya. Maka untuk membedakan semuanya kita buatlah
gabungan kata merah darah, merah jambu, merah delima, dan sebagainya.
a. Komposisi Verbal
Komposisi verbal adalah komposisi yang pada satuan klausa
berkategori verbal. Komposisi verbal dapat dibentuk dari dasar:
− Verba + verba, seperti duduk termenung, menyanyi menari,
makan minum.
− Verba + nomina, seperti gigit jari, tolak peluru, lompat galah.
− Verba + ajektifa, seperti terbaring gelisah, jalan cepat, loncat
jauh.

17
− Adverbia + verba, seperti sudah bangun, belum makan , masih
tidur.
b. Komposisi Nomina
Komposisi nomina adalah komposisi yang pada satuan klausa
berkategori nomina. Komposisi nomina dapat dibentuk dari dasar:
− Nomina + nomina, seperti adik kaka, sate ayam, meja kayu.
− Nomina + verba, seperti mesin cuci, buku ajar, meja belajar.
− Nomina + ajektifa, seperti guru muda, mobil kecil, meja hijau.
− Adverbial + nomina, seperti bukan koin, banyak serigala,
beberapa orang.
c. Komposisi Ajektiva
Komposisi ajektiva adalah komposisi yang pada satuan klausa,
berkategori ajektiva. Komposisi ajektiva dapat dibentuk dari dasar:
− Ajektiva + ajektiva, seperti besar kecil, tua muda, putih abu-
abu.
− Ajektiva + nomina, seperti merah darah, keras hati, biru laut.
− Ajektiva + verba, seperti takut pegi, malu menjawab, berani
tanding.
− Adverbia + ajektiva, seperti, tidak ramah, agak iri, sangat
menyenangkan.
3) Morfofonemik
Morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari
perubahan bunyi yang diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem.
Nelson Francis (1958) mengatakan bahwa morfofonemik mempelajari
variasivariasi yang tampak pada struktur fonemik alomorf-alomorf
sebagai akibat pengelompokkan menjadi kata (Ahmadslamet, 1982:69).
Pengertian lain dilontarkan oleh Samsuri (1982:201) bahwa morfofonemik
merupakan studi tentang perubahan-perubahan fonem yang disebabkan
hubungan dua morfem atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.
Morfofonernik bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi enam macam
yaitu: (1) penghilangan bunyi; (2) penambahan bunyi; (3) perubahan
bunyi; (4) perubahan dan pe nambahan bunyi; (5) perubahan dan
penghilangan bunyi; dan (6) peloncatan bunyi.
a. Penghilangan Bunyi
Proses penghilangan bunyi dapat terjadi atas:
Bunyi /N/ pada meN- dan peN- yang hilang karena pertemuan kedua morfem
tersebut dengan bentuk dasar yang berbunyi atau berfonem awal /r, l, y, w/
dan nasal. Misalnya:
meN- + rinci → merinci

18
meN- + lucu → melucu
meN- + yakini → meyakini
meN- + wangi → mewangi
meN- + nyanyi → menyanyi
meN- + minyak → meminyak
meN- + ngeong → mengeong
meN- + nanti → menanti
Fonem /r/ pada morfern ber-, ter-, dan per- hilang bila yang berbunyi atau
berfonem awal /r/ atau yang suku pertamanya berakhir dengan bunyi /r/.
misalnya:
ber- + roda → beroda
ber- + serta → beserta
ber- + kerja → bekerja
ter- + rasa → terasa
ter- + pedaya → terpedaya
ter- + rayu → terayu
b. Penambahan Bunyi
Proses penambahan bunyi terjadi pada:
Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an, menyebabkan timbulnya fonem
atau bunyi bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/. Misalnya:
-an + sapa → sapaan
ke-an + sama → kesamaan
per-an + kata → perkataan
Catatan:
Jika peN-an dipertemukan dengan bentuk dasar yang diawali bunyi /p, t, k,
dan s/ dan diakhiri oleh vocal maka morfofonemis yang terjadi berupa perubahan,
penghilangan dan penambahan bunyi. Contoh:
peN-an + tanda → penandaan
peN-an + padu → pemaduan
peN-an + kaji → pengajian
peN-an + sampai → penyampaian
Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang
berakhir dengan bunyi /i/ akan menyebabkan timbulnya bunyi /y/. Misalnya:
-an + hari → arian
ke-an + serasi → keserasian
per-an + api → perapian

19
Pertemuan antara morfem , ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang berkhir
dengan fonem /u, o/ akan menyebabkan timbulnya fonem /w/. Misalnya:
-an + jamu → jamuan
ke-an + lucu → kelucuan
per-an + sekutu → persekutuan
-an + kilo → kiloan
ke-an + loyo → keloyoan
per-an + toko → pertokoan
c. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi akan terjadi pada:
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem atau bunyi /d/ dan bunyi /s/ khusus pada bentuk dasar yang berasal dari
bahasa asing akan terjadi perubahan bunyi /N/ menjadi /n/. Misalnya:
meN- + datang → mendatang
meN- + survai → mensurvei
peN- + damar → pedamar
peN- + supply → pensupply
Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang berawal dengan
bunyi atau fonem /b, f/ akan terjadi perubahan bunyi /N menjadi /m/. Misalnya:
meN- + buru → memburu
meN- + fitnah → memfitnah
peN- + buang → pembuang
peN- + fitnah → pemfitnah
Pertemuan morfem meN- den peN- dengan bentuk dasar yang berawal
dengan fonem /c, j/, maka fonem /N/ akan berubah menjadi /n/. Misalnya:
meN- + cakar → mencakar
meN- + jajal → menjajal
peN- + ceramah → penceramah
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan. bentuk dasar yang berbunyi
awal /g, h, x/ dan voka1 , maka fonem /N/ akan berubah menjadi /η/. Misalnya:
meN- + garap → menggarap
meN- + hasut → menghasut
meN- + khayal → mengkhayal
meN- + ambil → mengambil
meN- + intip → mengintip
meN- + ukur → mengukur
meN- + ekor → mengekor

20
meN- + orbit → mengorbit
peN- + garis → penggaris
peN- + harum → pengharum
peN- + khianat → pengkhianat
peN- + angkat → pengangkat
peN- + isap → pengisap
peN- + umpat → pengumpat
peN- + olah → pengolah

Pertemuan morfem ber- dan per— pada bentuk dasar ajar mengakibatkan
perubahan bunyi /r/ men jadi /1/. Peristiwa ini sebenarnya merupakan peristiwa
unik, sebab hanyac terjadi pada bentuk dasar ajar sehingga ada yang mengatakan
suatu “kekecualian”. Perhatikanlah:
ber- + ajar → Belajar
per- + ajar → Pelajar

Pertemuan morfem ke-an dan -i dengan bentuk dasar berfonem akhir /?/
menyebabkan fonem tersebut berubah menjadi /k/. Misalnya:
duduk /dudu?/ + ke-an → kedudukan
bedak /beda?/ + -i → bedaki
d. Perubahan dan Penambahan Bunyi
Proses perubahan dan penambahan fonem dapat terjadi pada:

Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang terdiri atau satu
suku kata menyebabkan perubahan bunyi /N/ menjadi /η/ dan penambahan bunyi
/∂/. Misalnya:
meN- + bel → Mengebel
meN- + cat → mengecat
meN- + tik → mengetik

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar berfonem awal /d, c, j/ dan
berfonem akhir /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan
bertambahnya /?, y, w/. Contonnya:
peN-an + data → Pendataan
peN-an + dahulu → pendahuluan
peN-an + cahaya → pencahayaan
peN-an + cari → pencarian
peN-an + calo → pencaloan
peN-an + jaga → penjagaan

21
peN-an + juri → penjurian

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /b, f/ dan
berfonem akhir vokal /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m/ dan
bertambahnya bunyi /?, y, w/. Contohnya:
peN-an + buka → Pembukaan
peN-an + beri → pemberian
peN-an + buku → pembukuan
peN-an + blangko → pemblangkoan
peN-an + fakta → fakta
peN-an +foto → foto

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /g, h, kh/
dan berfonem akhir vocal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m / dan
bertaoibahnya bunyi /?, Y, w/. Contohnya:
peN-an + guna → Penggunaan
peN-an + gali → penggalian
peN-an + gadai → penggadaian
peN-an + ganggu → penggangguan
peN-an + harga → penghargaan
peN-an + hijau → penghijauan

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang dimulai oleh vokal dan
diakhiri oleh vokal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi / dan
bertambahnya bunyi /?, y, w/. Contohnya:
peN-an + ada → Pengadaan
peN-an + adu → pengaduan
peN-an + andai → pengandaian
peN-an + utama → pengutamaan
peN-an + urai → penguraian
peN-an + intai → pengintaian
peN-an + operasi → pengoprasian
e. Perubahan dan Penghilangan Bunyi
Proses perubahan dan penghilangan bunyi terjadi pada:
Pertemuan peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh fonem /p/
akan perubahan /N/ menjadi /m/ dan fonem awal bentuk dasar hilang.
Contohnya:
peN- + peras → Pemeras

22
meN- + paksa → Memaksa

Pertemuan morfem peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem /t/ akan mengakibatkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar. Contohnya:
peN- + tari → Penari
meN- + tending → Menendang

Pertemuan morfem peN- dan meN- pada bentuk dasar yang diawali fonem
/k/ akan mengakibatkan perubahan fonem /N/ menjadi /η/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar. Contohnya:
peN- + karang → Pengarang
meN- + kurung → Mengurung

Pertemuan morfem peN— dan meN— pada bentuk dasar yang diawali fonem
/s/ akan mengakibatkan perubahan fonem /N/ menjadi /η/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar yang bersangkutan. Contohnya:
peN- + sayang → Penyayang
meN- + saring → Menyaring
f. Peloncatan Bunyi
Prawirasumantri (1986:40) menambahkan satu lagi bentuk
morfofonemik bahasa Indonesia yaitu peloncatan burnyi. Peloncatan
fonem ini terjadi apabi1a dua atau 1ebih bertukar tempat akibat
petemuan morfem-morfem dalam bahasa Indonesia ditemukan
sebuah gejala ini, yakni peloncatan fonem /a/ dan /m/ pada kata
padma dalam merah padam.

3. SINTAKSIS
a) Hakikat Sintaksis
Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari struktur gramatikal
dari frase, klausa, kalimat, dan wacana. Alat-alat sintaksis adalah alat-alat
untuk menghubungkan kata-kata menjadi kelompok dengan struktur
tertentu. Adapun yang dimaksudkan dengan struktur adalah hubungan
setara dan bertingkat dari kelompok tersebut. Jadi, eksistensi struktur
sintaksis terkecil ditopang oleh alat bantu yang berupa urutan kata, bentuk
kata, intonasi, dan konjungsi. Peranan alat-alat sintaksis itu tampaknya tidak
sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Ada bahasa yang

23
lebih mementingkan urutan, ada yang lebih mementingkan bentuk kata atau
intonasi. Ada beberapa alat sintaksis, yakni:
Pertama adalah urutan. Pada umumnya dalam setiap bahasa peranan, urutan
kata ikut menentukan makna gramatikal. Contoh:
Roti makan ibu.
Ibu makan roti.
Dari dua contoh di atas penutur bahasa Indonesia, dapat dikenali
bahwa urutan “Roti makan ibu” tidak berterima, sedangkan urutan “Ibu
makan roti” dengan mudah dapat dipahami oleh penutur bahasa Indonesia.
Kedua berupa bentuk kata. Pada umumnya bentuk kata dapat dikenali dengan
melekatnya afiks pada kata tersebut. Afiks-afiks ini memperlihatkan makna
gramatikal yang bermacam-macam antara lain: jumlah, persona, jenis, kala,
aspek, modus, diatesis, aktif, pasif. Contoh :
Dari urutan “Roti makan ibu”. Kata makan diberi afiks sehingga menjadi
dimakan.
Ketiga adalah intonasi. Dalam ragam lisan intonasi berperan penting untuk
mengungkapkan makna. Misalnya, “Ali guru SD”, di antara Ali dan guru SD
terdapat jeda yang membatasi antara Ali dan guru SD.
Alat sintaksis yang lain adalah partikel atau kata tugas. Partikel atau
kata tugas sebagai unsur bahasa memiliki ciri-ciri antara lain:
Biasanya tidak menglami proses morfologis
Biasanya tidak memiliki makna leksikal
Keanggotaannya tertutup
Jumlahnya terbatas

b) Satuan Sintaksis
Sintaksis sebagai subsistem bahasa mencakup kata dan satuansatuan
yang lebih besar serta hubungan-hubungan diantaranya. Pada umumnya
pembicaraan yang lebih meluas dan mendalam dalam studi sintaksis selain
alat-alat sintaksis adalah satuan-satuan sintaksis. Kata merupakan satuan
terkecil dalam sintaksis. Satuan yang lebih besar dari kata, sebagai yang
umum dibicarakan dalam sintaksis, berturut-turut ialah frase, klausa dan
kalimat.
1) Kata
Dalam tataran gramatikal, kata adalah satuan terkecil daalm kalimat.
Kata memiliki potensi untuk berdiri sendiri, dan dapat
berubah/berpindah dalam kalimat. Dalam kalimat jawaban misalnya
“sudah” (“jawaban: sudahkah engkau belajar? Atau dalam kalimat seruan,

24
misalnya ”ambil” (suruhan kepada seorang murid untuk mengambil
buku). Demikian juga halnnya dengan ciri dapat berpindah dalam
kalimat. Misalnya kata “semalam”, dapat berpindah di awal kalimat, di
tengah atau di akhir kalimat. Contohnya:
Semalam hujan turun
Hujan semalam turun
Hujan turun semalam
2) Frase
Satuan sintaksis yang lebih besar dari kata adalah frase. Frase adalah
satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak berciri
klausa, atau tidak memiliki ciri predikat, dan pada umumnya menjadi
pembentuk klausa. Seperti halnya dengan kata frase memiliki potensi
untuk berdiri sendiri menjadi kalimat.
Klasifikasi Frase
Berdasarkan tipe strukturnya, frase dibedakan atas frase eksosentris dan
frase endosentris. Frase eksosentris adalah frase yang tidak memiliki inti
frase. Memiliki ciri menggunakan kata depan. Contoh:
di rumah
ke sekolah
dari pasar
pada meja
kepada orang tua
Adapun frase endosentris adalah frase yang memiliki inti frase. Frase
endosentris dibagi menjadi tiga, yakni:
− Frase endosentris koordinatif, yakni frasa yang memiliki potensi
untuk dihubungkan dengan konjungsi koordinatif, seperti: dan, atau, atau
baik …. Contoh:
Sawah ladang
Kaya miskin
Tua muda
− Frase endosentris subordinatif, yakni meskipun memiliki
kedudukan unsur yang setara, frasa ini tidak tersusun atas unsur-unsur
yang setara sehingga tidak dapat dihubungkan dengan konjungsi.
Conyoh:
Agak kaku
Sangat cepat
Lebih muda
25
− Frase endosentris apostif, yakni menggunakan aposisi untuk
menandakan dua unsur pusat yang saling merujuk. Contoh:
Agus, anak Bu Sari, sedang belajar mengemudi.
Bahasaku, Bahasa Indonesia
Dia menulis surat untuk Shinta, kakaknya.
3) Klausa
Satuan sintaksis yang lebih besar dari frase adalah klausa. Klausa adalah
satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase, dan yang
memiliki satu predikat. Pada umumnya klausa merupakan unsur
pembentuk (konstituan) kalimat. Contoh:
Alya membaca buku itu….
Aldo mahasiswa ….
Alys dan Aldo membaca buku itu….

Klausa dapat menjadi kalimat, jika ke dalam klausa itu diberikan intonasi
final atau kalau dalam klausa diakhiri dengan titik. Contoh:

Aldo membaca buku itu.


Aldo melihat Alya datang.

Klausa juga dapat diubah dengan diperluas dan perluasan itu dengan
menambahkan keterangan waktu, tempat, cara, dan lain-lain. Contoh:

Kemarin Aldo membaca buku itu.


Alya menulis surat sejelas-jelasnya.
4) Kalimat
Satuan sintaksis yang lebih besar dari klausa adalah kalimat. Kalimat
adalah satuan gramatikal yang disusun oleh konstituen dasar dan
intonasi final. Konstituen dasar itu dapat berupa klausa, frase, maupun
kata. Contoh:

Aldo membeli buku (klausa)


Buku baru! (frase)
Buku! (kata)

Kalimat di atas jika dilafakan maka akan jelas peranan intonasi final
dalam menentukan status kalimat. Kalimat satuan sintaksis dapat
diperluas dengan menambah klausa dengan sifat hubungan parataktis
koordinatif atau subordinatif.
a. Klasifikasi Kalimat
Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan atas: kalimat
tunggal, kalimat bersusun, dan kalimat majemuk.

26
− Kalimat Tunggal, yakni kalimat yang terdri dari satu klausa bebas.
Contoh:

Dia datang dari Bandung.


Nenekku masih sehat.
Saya sedang membaca buku di kamar.

− Kalimat Bersusun, yakni kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas
dan sekurang-kurangnya satu kalimat terikat. Ada beberapa
sebutan untuk sebutan kalimat bersusun, misalnya kalimat
majemuk bertingkat, atau kalimatmajemuk subordinatif. Contoh:

Kalau Alya menangis, Aldo pun ikut menangis.


Aldo tidak pergi ke sekolah karena sedang sakit.
Karena ada banyak tidak siap, ujian dibatalkan.

− Kalimat Majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi


dari beberapa klausa bebas yang disebut juga sebagai kalimat setara.
Contoh :

Alya membuka jendel kamar lalu membersihkan tempat tidur.


Aldo hobi bermian bola dan sering menciptaakan gol.
Berdasarkan struktur klausanya, kalimat dibedakan atas: kalimat
lengkap dan kalimat tak lengkap.

− Kalimat Lengkap, yakni kalimat yang mengandung klausa lengkap.


Sekurang-kurangnya terdapat unsur objek dan predikat. Contoh:

Ibu guru mengajar bahasa Indonesia di depan kelas.


Adik bermain sepeda di halaman rumah.

− Kalimat Tak Lengkap, yakni kalimat yang tidak lengkap, hanya


terdiri dari subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangna
saja. Contoh:

Selamat Pagi!
Silahkan antre.
Alya!
Berdasarkan amanat wacana, kalimat dibedakan atas:
− Kalimat Deklaratif, yakni kalimat yang mengandung intonasi
deklaratif yang dalam ragam tulis diberi tanda titik. Contoh:

Gaji guru honor tidak dinaikan.


Dalam bulan ramadhan kaum muslim berpuasa.

27
− Kalimat Introgatif, yakni kalimat yang mengandung intonasi
introgatif, yang dalam ragam tulis biasanya diberi tanda tanya).
Contoh:

Apakah anda seorang guru?


Di mana tempat terjadinya Perang Dunia II?

− Kalimat imtratif, yakni kalimat yang mengandung intonasi


imperatif yang dalam ragam tulis biasanya diberi tanda seru.
Contoh:

Berikan hadiah ini kepada temanmu!


Bukalah pintu itu!

− Kalimat aditif , yakni kalimat terikat yang bersambung pada kalimat


pernyataan, dapat lengkap dapat tidak. Contoh:

Sedangkan bulan Mei, terang hujan tidak ada.


Cuma belum punya anak.

− Kalimat Responsif, yakni kalimat terikat yang bersambung pada


kalimat pertanyaan, dapat lengkap dapat tidak. Contoh:

Ya!
Tadi malam!

− Kalimat interjektif, yakni kalimat yang dapat terikat atau tidak.


Contoh:

Wah ini baru namanya penampilan!


Semoga Allah memberikan pentunjuk!
Berdasarkan pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahnnya kalimat,
dibedakan atas kalimat ini dan bukan inti.

− Kalimat Inti, yakni kalimat inti yang dibentuk dari klausa inti yang
lengkap, bersifat deklaratif, aktif, netral, atau afirmatif. Biasanya
disebut kalimat dasar. Contoh:

FN + FV : Bapak datang
FN + FV + FN : Ibu membeli sayur
FN + FN : Ayah guru.

− Kalimat Noninti, yakni kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat


noninti dengan berbagai proses transformasi: pemasifan,
pengingkaran, penanyaan, pemerintahan, penginversian,
pelesapan, dan penambahan. Contoh:

28
Buku dibaca oleh Alya.
Alyatidak membaca buku.
Apakah Alyamembaca buku?
Berdasarkan jenis klausa, kalimat dibedakan atas kalimat verbal dan
kalimat nonverbal.

− Kalimat verbal, yakni kalimat yang dibentuk dari klausa verbal.


Contoh:

Alya menulis surat,


Ibu bertamu ke rumah bibi.
Surat dutulis Alya.

− Kalimat nonverbal, yakni kalimat yang dibentuk oleh klausa non


verbal sebagai kontituen dasarnya. Contoh:

Nenekku pensiunan guru.


Mereka di kamar depan.
Ibu guru itu cantik sekali.
Berdasarkan fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraf, kalimat dibedakan
atas: kalimat bebas dan kalimat terikat.

− Kalimat Bebas. yakni Kalimat bebas adalah kalimat yang


mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau kalimat
yang dapat memulai sebuah paragraf wacana tanpa konteks lain
yang memberi penjelasan.

− Kalimat Terikat. Yakni kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri


sebagai ujaran lengkap. Contoh:

Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan


ikannya, telurnya pun sangat sukar dipeloreh (2). Kalau pun
bisa diperoleh, harganya melambung selangit (3). Makanya, ada
kecemasan masyarakat nelayan di sana bahwa terubuk yang
spesifik itu akan punah (4).
Kalimat 1 pada teks di atas Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk
adalah satu contoh kalimat bebas. Tanpa harus diikuti kalimat (2), (3),
dan (4), kalimat sudah dapat menjadi ujaran lengkap yang bisa
dipahami. Sedangkan kalimat (2), (3), dan (4) pada teks itu adalah
kalimat terikat. Ketiga kalimat itu secara sendiri-sendiri tidak dapat
dipahami, sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah ujaran.
5) Wacana
Jenis wacana dapat dibedakan: Deskripsi, eksposisi, argumentasi,
narasi, persuasi.

29
a. Deskripsi

Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti


menggambarkan atau memerikan sesuatu hal. Dari segi
istilah,deskrpsi adalah suatu bentuk karangan yanng melukiskan
sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga pembaca
dapat mencitrai (melihat,mendengar,mencim dan merasakan)apa
yang dilikiskan itu sesuai dengan citra penulisannya. Deskripsi atau
pemerian merupakan sebauh bentuk tulisan yang bertalian dengan
usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari obyek
yang sedang dibicarakan. Kata deskripsi berasal dari kata latin
describe yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu hal.
Sebaliknya kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian yang
berasal dari kata peri-memerikan yang berarti melukiskan sesuatu hal.
(Keraf, 1981.hlm. 93). Deskripsi adalah pelukisan atau pengggambaran
melalui kata-kata tentang suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan.
Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembaca melalui tulisannya,
dapat melihat apa yang dilihatnya, dapat mendengar apa yang
didengarnya, merasakan apa yang dirasakannya, serta sampai kepada
kesimpulan yang sama. Ciri-ciri karangan deskripsi menurut Semi
(2003:41) ciri penanda deskripsi sekaligus sebagai pembeda dengan
jenis karangan yang lain adalah sebagai berikut:
− Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian
tentang objek. Maksudnya, untuk menghasilkan tulisan deskripsi
yang baik seorang penulis harus mampu memperlihatkan suatu
objek secara detail dan lebih terperinci. Misalnya, penulis ingin
menuliskan tentang seorang anak perempuan, maka penulis harus
mampu melukiskan berapa umur gadis itu, bagaiamana
pakaiannya, bagaimana rambutnya dan sebagainya.
− Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivisme dan
membentuk imajinasi pembaca. Maksudnya, pembaca ikut
merasakan tentang objek yang dilukiskan itu seolah-olah dapat
dirasakan dengan imajnasi (daya khayal) yang disuguhkan penulis.
Misalnya penulis ingin menggambarkan kampus yang indah.
− Deskripsi disampaikan dengan gaya yang memikat dan dengan
pilihan kata yang menggugah. Maksudnya, pilihan kata dalam
tulisan deskripsi dapat menggugah perasaan pembaca, setelah
membaca sebuah tulisan deskripsi maka imajinasi pembaca akan
terpancing. Misalnya penulis ingin melukiskan suasana di dalam
sebuah kereta api yang 35 sesak, maka ia harus mampu memilih

30
diksi dan gaya bahasa yang tepat, sehingga imajinasi pembaca
terpansing.
− Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang
didengar, dilihat, dan dirasakan sehingga objeknya pada umumnya
benda, alam, warna dan manusia.
− Organisasi penyampaian lebih banyak menggunakan susunan
ruang (spartial order). Maksudnya, tulisan yang melukiskan tentang
suatu tempat, suatu ruang dan sebagainya.
Macam-macam deskripsi berdasarkan kategori yang lazim, ada
dua objek yang diungkapkan dalam deskripsi, yakni orang dan
tempat. Atas dasar itu, karangan deskripsi dipilih atas dua kategori,
yakni karangan deskripsi orang dan karangan deskripsi tempat.
Karangan deskripsi orang dibedakan sebagai berikut.
− Deskripsi keadaan fisik. Deskripsi fisik bertujuan memberi
gambaran yang sejelas-jelasnya tentang keadaan tubuh seorang
tokoh.deskripsi ini banyak bersifat objektif.
− Deskripsi keadaan sekitar Deskripsi keadaan sekitar, yaitu
penggambaran keadaan yang mengelilingi sang tokoh, misalnya
penggambaran tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan, pekerjaan
atau jabatan, pakaian, tempat kediaman, dan kendaraan, yang ikut
menggambarkan watak seseorang.
Adapun sehubungan dengan karangan deskripsi tempat,
tempat memegang peranan yang sangat penting dalam setiap
peristiwa. Tidak ada peristiwa yang terlepas dari lingkungan dan
tempat. Semua kisah akan selalu mempunyai latar belakang tempat.
Jalannya sebuah peristiwa akan lebih menarik jika dikaitkan dengan
tempat terjadinya peristiwa (Akhadiah, 1997). Dalam memilih cara
yang paling baik untuk melukiskan tempat, perlu kita pertimbangkan
beberapa pokok persoalan untuk menyusun deskripsinya yaitu harus
memperhatikan suasana hati, pengarang harus dapat menetapkan
suasana hati manakah yang paling menonjol untuk dijadikan
landasan. Sikap pengarang ketika membuat karangan deskripsi
mengenai tempat menunjukan sifat dan suasana hati yang menguasai
pikiran pengarang pada waktu itu. Sikap dan suasan hati itu
dipertajam dengan penglaman sehari-hari sehingga mempengaruhi
penerapan terhadap objek deskripsi. Untuk mempermudah
pendeskripsian, berikut ini disajikan rambu-rambu/langkah-langkah
menulis karangan Deskripsi yang dapat kita ikuti.
− Menentukan apa yang akan dideskripsikan: Apakah akan
mendeskripsikan orang atau tempat.

31
− Merumuskan tujuan pendeskripsian: Apakah deskripsi dilakukan
sebagai alat bantu karangan narasi, eksposisi, argumentasi, atau
persuasi.
− Menetapkan bagian yang akan dideskripsikan: Jika yang
dideskripsikan orang, apakah yang akan dideskripsikan itu. Ciri-ciri
fisik, watak, gagasannya, atau benda-benda yang di sekitar tokoh,
jika yang dideskripsikan tempat, apakah yang akan dideskripsikan,
keseluruhan tempat atau hanya bagian-bagian tertentu saja yang
menarik.
− Memerinci dan menyistematiskan hal-hal yang menunjang
kekuatan bagian yang akan dideskripsikan: hal-hal apa saja yang
akan ditampilkan untuk membantu memunculkan kesan dan
gambaran kuat mengenai sesuatu yang dideskripsikan. Pendekatan
apa yang akan digunakan penulis.

Contoh 1
Rumah kuno itu sunyi. Ruang tengah senantiasa ada
dalam suasana remang-remang karena jendela di pinggir pada
diambl oleh kamar-kamar di kanan kirinya. Meja murmer yang
dengan kaki rampingnya berdiri seperti kijang kena pesona dewa-
dewa, terletak tepat dibawah mahkota lampu minyak yang sudah tak
ada lampuna lagi. Cahaya sedikit yang ada dalam ruangan itu
datangnya dari sumber di penjuru lain: sebuah baloon lampu yang
dipasang di atas lubang pintu, lebih atas lagi daripada lukisan huruf
arab yang berbunyi “Allah” dan seuntai kulit ketupat yang sudah
kering. Cahaya suram 25 watt yang dengan susah payah menerangi
kelam yang mengental di ruangan antik itu, tambah muram pula
oleh debu dan sarang laba-laba yang kecuali di situ juga merajalela
di segenap sudut. Di kesua pojok belakang berdiri dua almari yang
tak serupa. Yang satu pintunya berkaca, tapi ditutupi oleh sehelai
kain biru yang usang, sehingga tamu-tamu boleh menerka-nerka isi
almari itu barang-barang porselan yang mahal, kuih-kuih yang
lezat ataukah kosong sama sekali. Alamri yang satu hitam besar lagi
pula bergembok gede seperti gembok gudang pelabuhan. Kursi
goyang rapuh di sudut depan, hidup rukun dengan tetangganya:
sebuah clubfauteuli hitam besar yang bersalut perlak yang di
tengahnya sudah habis, sehingga kelihatan goni yang menonjol-
nonjol oleh desakan pegas di bawahnya.
(Nugroho Notosusanto, Tayuban)

32
Contoh 2
Wina membuka pintu kelasnya perlahan-lahan.
Dilihatnya sebuah jendela yang terbuka. Di bawah jendela, tampak
sebuah meja guru yang memakai tapalak putih. Di atas taplak putih
itu ada sebuah vas bunga dari kayu. Vas bunga tersebut bergambar
beberapa kuntum bunga matahari seperti bunga yang ada
didalamnya. Di sebelahnya tergeletak sebuah agenda kelas yang
terbuka dan kalender duduk. Wina lalu memasuki ruang kelasnya
dengan langkah yang lambat. Dia memalingkan pandangan ke arah
kanan. Tampak satu buah “white board” yang bersih tanpa coretan.
Di sebelah kiri “white board” tersebut, terpasang sebuah tempat
spidol berwarna biru muda, serasi dengan dinding yang bercatut
biru tua. Dan di sebelah kanan “white board” terpasang satu papan
mading yang penuh tulisan-tulisan karya siswa. Wina memutar
pandanganya ke belakang kelas. Ada sebuah pribahasa berbahasa
inggris yang berwarna kuning bertuliskan ‘practice make perpect’
di bawahnya terpasang sebuah system periodik unsur- 38 unsur di
kiri kananya juga terpasng sebuah denah duduk dan daftar
kelompok belajar. Selain itu, ditatapnya dinding kiri kelas. Di sana
terpasang struktur organigram dan sebuah daftar regu kerja dari
karton berwarna kuning. Struktur organigram dan daftar regu
kerja tersebut ditutupi oleh plastik bening. Wina berpaling ke
dinding kanan. Di sana tergantung daftar pelajaran berwarna
kuning. Daftar pelajaran itu disusun tak berurutan, huruf-
hurufnya pun dari guntingan majalah. Meski tampak tidak rapi,
namun cukup bagus dan menarik. Wina menyusuri deretan bangku
kosong di depanya. Tak usah dihitung lagi karena pasti ada 40 meja
dan 80 kursi. Dan tanpa kata Wina berjalan ke bangkunya sendiri,
dan duduk manis di sana. (Rahayu Setianingsih, 2013)

b. Eksposisi (paparan)

Eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti


membuka.dapat pula diartikan sebagai tulisan yang bertujuan untuk
memberitahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu.
Dalam karangan eksposisi masalah yang dikomunikasikan adalah
informasi. Hal dikomunikasikan adalah: (a) Data faktual, (b) suatu
analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap seperangkat
fakta. (c) mungkin sekali berupa fakta tentang seseorang yang
berpegang teguh pada suatu pendirian yang khusus. Asalkan tujuan
utamanya untuk memberikan informasi. Langkah-langkah yang dapat
ditempuh dalam membuat eksposisi adalah sebagai berikut: (1)

33
menentukan topik karangan, (2) menentukan tujuan penulisan, dan (3)
merencanakan paparan dengan membuat kerangka yang lengkap dan
tersusun baik.
Contoh 1
Ikan merupakan salah satu binatang yang biasa
diprlihara oleh manusia. Ikan sangat beragam mulai dari warna,
jenis juga harganya. Dengan memelihara ikan, akan memberikan
ketenangan, kesegaran bagi pemiliknya begitu juga orang
melihatnya. Dalam memelihara ikan kita harus berhati-hati,
karena jika perawatannya tidak sesuai maka ikan air tawar, jenis
dan warna ikan air laut juga lebih beragam.
Untuk memelihara ikan, hal pertama yang harus
disiapkan yaitu akuarium. Akuarium harus ditata seindah
mungkin dan sesuai dengan keadaan sebenarnya, dengan begitu
ikan-ikan akan merasa betah. Setelah akuarium diisi dengan air,
selanjutnya ikan dimasukan ke akuarium tersebut. Dalam
memilih ikan sebaiknya yang masih segar, dan kondisinya baik
tanpa ada cacat ataupun goresan.
Dalam memberi makan ikan harus teratur,jangan
terlalu banyak karena akan membuat air keruh, olehnya ikan akan
mati. Memberi makan ikan sebaiknya dilakukan tiga atau sampai
empat kali sehari, pilihlah makanan ikan yang sesuai dan bergizi.
Air untuk ikan air tawar makin lama makin keruh, oleh
karena itu harus diganti minimal sekali dalam seminggu. Ketika
mengganti air akuarium, ikan-ikan harus dipindahkan terlebih
dahulu ke dalam ember yang berisi air bersih.
Hati-hati dalam memilih jenis ikan, jangan sampai ikan
yang besar disatukan dengan ikan kecil, bisa-bisa ikan besar
tersebut memangsa ikan kecil. Akuarium juga dapat diletakan di
ruang tamu, hal ini dapat memberikan nilai tambah yaitu
membuat asri suasana dan juga memberikan kesegaran bagi orang
yang melihatnya. Kesegaran yang diberikan oleh pemandangan di
akuarium dapat membuat orang yang stress menjadi bugar,dan
bersemangat kembali. Tak heranlah banyak orang yang
mempunyai hobi memelihara ikan, baik ikan air tawar maupun
ikan air laut.

c. Argumentasi (bahasan)

Tulisan argumentasi adalah karangan yang terdiri atas paparan


alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu
kesimpulan.Karangan ini ditulis dengan maksud untuk memberikan

34
alasan, memperkuat atau menolak sesuatu pendapat, pendirian ,
gagasan. Karangan argumentasi dikembangkan dengan dua teknik,
yaitu: (1) teknik induktif adalah penyusunan argumentasi yang
dilakukan dengan mengemukakan lebih dahulu bukti-bukti,
kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum, dan (2) teknik
deduktif adalah dimulai dengan suatu kesimpulan umum yang
kemudian disusul uraian mengenai hal-hal yang khusus, alasan-alasan
atau bukti-bukti yang terdapat dalam argumentasi deduktif ini disebut
premis.
Contoh 1
Pantai Parangtritis memang memiki keindahan
eksotis yang membuat wisatawan ramai berkunjung, tetapi juga
sering menelan korban. Yang disayangkan, sebagian masyarakat
Indonesia masih saja menganggap peristiwa tersebut berkaitan
dengan hal-hal mistis, yakni dikarenakan Ratu Pantai Selatan
meminta tumbal. Padahal, ada penjelasan ilmiah di balik
musibah tersebut. Para praktisi ilmu kebumian menegaskan
bahwa penyebab utama hilangnya sejumlah wisatawan di Pantai
Parangtritis, Bantul, adalah akibat terseret “rip current”.
Dengan kecepatan mencapai 80 kilometer per jam, arus balik
tidak hanya kuat, tetapi juga mematikan.
Jadi, banyaknya korban tenggelam tidak ada kaitannya
sama sekali dengan anggapan para masyarakat. Ali Susanto,
Komandan SAR Pantai Parangtritis, juga menambahkan bahwa
di sepanjang Pantai Parangtritis juga banyak terdapat palung
(pusaran air) yang tempatnya selalu berpindah-pindah dan sulit
diprediksi. Kondisi inilah yang sering banyak menimbulkan
korban mati tenggelam.

d. Narasi (kisahan)

Narasi atau naratif adalah tulisan berbentuk karangan yang


menyajikan serangkaian peristiwa atau kejadian menurut urutan
terjadinya (kronologis) dengan maksud memberi makna kepada
sebuah atau rentetan kejadian sehingga pembaca dapat memetik
hikmah dari cerita itu. Prinsip-prinsip narasi adalah sebagai berikut.
− Alur (plot). Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus
bertalian satu sama lain, bagaimana suatu insiden mempunyai
hubungan dengan insiden yang lain, dan bagaimana situasi dan
perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalm tindakan-tindakan
itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu. Oleh karena itu, baik
tidaknya penggarapan sebuah alur dapat dinilaii dari beberapa hal

35
berikut: (1) apakah tiap insiden susul-menyusul secara logis dan
alamiah; (2) apakah tiap pergantian insiden sudah cukup
terbayang dan dimatangka dalam insiden sebelumnya; (3) atau
apakah insiden terjadi secara kebetulan. (Keraf, 1983)
− Penokohan. Salah satu ciri khas narasi ialah mengisahkan tokoh
cerita bergerak dalam suatu rangkaian perbuatan atau
mengisahkan tokoh ceria terlibat dalam suatu peristiwa dan
kejadian. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang pasti perihal
jumlah tokoh dalam narasi. Pertimbangan utama ialah fungsional
atau tidaknya tokoh tersebut membina kesatuan kesan. Ada
pengarang yang membatasi kepada satu tokoh sentral, tetapi ada
juga yang memilih lebih dari satu tokoh. Yang penting pemilihan
dan pembatasan tokoh harus tetap dilakukan agar tindakan atau
peristiwa yang ditampilkan tidak berlaku pada banyak tokoh
sehingga arahnya tetap terkontrol.
− Latar (setting). Latar ialah tempat atau waktu terjadinya perbuatan
tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh. Dalam karangan narasi
terkadang tidak disebutkan secara jelas tempat tokoh berbuat atau
mengalami peristiwa tertentu. Sering kita jumpai cerita hanya
mengisahkan latar secara umum, misalnya dikatakan: di tepi
hutan, di sebuah desa atau di sebuah pulau. Dalam latar waktu,
misalnya disebutkan: jaman dahulu, pada suatu senja, pada suatu
malam atau pada suatu hari. Namun demikian, ada juga yang
menyebutkan latar tempat dan waktu secara pasti. Penyebutan
nama latar secara pasti atau secara umum dalam narasi sebenarnya
menyangkut esensi dan tujuan yang hendak dicapai narasi itu
sendiri.
− Sudut Pandang. Sudut pandang dalam narasi menjawab
pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah. Apapun sudut
pandang yang dipilih pengarang akan menentukan sekali gaya
dan corak cerita. Sebab, watak dan pribadi pencerita akan banyak
menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca.
Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah menulis
karangan narasi adalah sebagai berikut.
− Menentukan tema dan amanat yang akan disampaikan.
− Tetapkan sasaran pembaca.
− Rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam
bentuk sekema alur.
− Bagi peristiwa utama itu kedalam bagian awal, perkembangan,
dan akhir cerita.

36
− Rinci peristiwa-peristiwa utama kedalam detail-detail peristiwa
sebagai pendukung cerita.
− Susun tokoh dan perwatakan, latar dan sudut pandang.
Contoh 1
Tepat ketika tanggal 10 Maret, sekolahku libur selama
sembilan hari dan akan berakhir pada tanggal 18 Maret. Aku dan
seluruh keluargaku tidak menyia-nyiakan waktu ini untuk
mengadakan liburan keluarga. Ketika itu aku memilih berlibur ke
Pantai Parangtritis.
Pagi-pagi aku telah berbenah dan menyiapkan semua
perbekalan yang nantinya diperlukan. Sepanjang perjalanan, aku
iringi dengan nyanyian lagu riang. Betapa senangnya aku ketika
sampai di pantai tersebut. Dengan hati suka ria, aku sambut
Pantai Parangtritis dengan senyumku. Pantai Parangtritis,
pantai nan elok yang menjadi favoritku. Tanpa menyia-nyiakan
waktu, aku mengajak kakakku untuk bermain air. Kuambil air dan
aku ayunkan ke mukanya. Dengan canda tawa, kami saling
berbalasan. Puas rasanya, terasa hilang semua kepenatan karena
kesibukan tiap harinya. Di sana, aku dan seluruh keluargaku
saling berfoto-foto untuk mengabadikan momen yang indah ini.
Tak terasa waktu berjam-jam telah ku habiskan di sana. Hari pun
mulai sore menandakan perpisahan dan kembali pulang. Tak rela
rasanya kebahagiaan ini akhirnya selesai. Dalam benakku, aku kan
kembali esok.

e. Persuasi

Tulisan yang bermaksud mempengaruhi orang lain dalam


persuasi selain logika perasaan juga memegang peranan penting.
Untuk dapat menyusun karangan persuasi yang efektif, diperlukan
kemampuan menciptakan persuasi, yaitu kemampuan memanfaatkan
alat-alat persuasi sebagai berikut. Alat-alat persuasi mencakup: (1)
Bahasa, bahasa adalah alat komunikasi, sebagai alat bahasa sangat
luwes dalam menjalankan fungsinya. Artinya, bahasa dapat dipakai
oleh pemakainya untuk kepentingan apa saja selama dalam batas-
batas fungsinya sebagai alat komunikasi; (2) Nada, yang dimaksud
disini adalah nada pembicaraan. Nada tersebut berkaitan denga sikap
pengarang dalam menyampaikan gagasannya; serta (3) Detail, dalam
karangan persuasi, detail cukup penting dalam kedudukannya dalam
alat persuasi.
Adapun yang dimaksud detail dalam hal ini adalah uraian
terhadap ide pokok sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Untuk

37
memilih detail pengembangan persuasi, hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah: (1) Penting-tidaknya detail itu untuk
keperluan persuasi dan pemahaman pembaca; (2) Jumlah detail yang
harus dikumpulkan untuk mendukung ide pokok; (3) Macam detail
yang harus diangkat untuk mendukung ide pokok; (4) Kapan setiap
detail itu dihadirkan; serta (5) Ada tidaknya korelasi dan relevansi
detail dengan ide pokok yang sebaiknya di angkat.
Detail yang baik adalah detail yang esensial dalam mendukung
tujuan persuasi, yakni: (1) Organisasi, menyangkut masalah
pengaturan detail dalam sebuah karangan. Dalam persuasi,
pengaturan detail menggunakan prinsip “mengubah keyakinan dan
pandangan”. Artinya, detail-detail itu bagaimana pun pengaturannya
harus kita usahakan mampu mengarahkan keyakinan dan pandangan
pembaca. Penataan detaildetail ini ada beberapa cara, antara lain, cara
induktif, cara deduktif, cara kronologi, dan cara penonjolan; serta (2)
Kewenangan (authority), dapat kita sebut sebagai alat persuasi.
Kewenangan tidak selalu berkaitan dengan kewenangan
hukum. Kewenangan menyangkut “penerimaan dan kesadaran”
pembaca terhadap pengarang. Seorang pengarang diyakini
pembacanya sebagai orang yang berwenang apabila dia: (1)
Mempunyai dasar hukum menduduki jabatan-jabatan tertentu; (2)
Berkecimpung dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu; dan
(3) Mampu menunjukka pola pikir yang bermutu tinggi.
Contoh 1
Indonesia adalah negeri yang beraneka ragam. bangsa
yang multikultur, banyak sekali kebudayaan yang tersebar dari
ujung barat sampai ujung timur. Kebudayan nasional yang
menjadi ciri khas bangsa khususnya. Sebagai warga yang hidup
di Indonesia, sebaiknya saat ini kita harus berpikir bahwa
kebudayaan Indonesia mulai harus dijaga. Kenapa kebudayaan
bangsa Indonesia harus dijaga? Ada beberapa faktor yang
menyebabkan kebudayaan Indonesia harus dijaga. Diantaranya,
banyak orang yang tidak mengenal budayanya sendiri.
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia lebih
banyak menyebabkan seseorang malas untuk mengetahui bahkan
untuk mengenalnya. sehingga tak heran jika ada orang yang tidak
tahu tentang kebudayaan Indonesia. Bahkan dia sempat aneh dan
terheran-heran jika melihat tari kecak misalnya atau
mendengarkan lagu soleram. karena dia tak pernah
mengetahuinya dan memang tak pernah mau tahu.

38
Tak hanya itu, globalisasi atau modernisasi yang terjadi
pada dunia saat ini mempunyai pengaruh besar terhadap
kelestarian budaya Indonesia. Melalui modernisasi kebudayaan
dengan mudah kebudayaan asing dapat masuk ke Indonesia. Dan
memang tidak mengherankan, kita bisa lihat dengan jelas dari
beberapa media, kebudayaan asing telah merambah luas ke seluruh
penjuru nusantara. Kebudayaan-kebudayaan asing ini ternyata
lebih mudah membudaya dari pada kebudayaan asli yang sudah
ada. Contohnya saja dalam cara berpakaian, kita lebih sering
mengikuti orang-orang di luar sana untuk cara berpakaian.
Dengan masuk dan berkembangnya budaya asing ke
Indonesia membuat kebudayaan-kebudayaan daerah tersingkir.
Tak jarang banyak kebudayaan daerah yang tidak lagi
dimunculkan atau malah dapat dikatakan menghilang.
Kebudayaan-kebudayaan daerah ini mulai meredup setelah
kedatangan kebudayaan asing. Seperti wayang yang sekarang
jarang sekali kita dapat menyaksikan pertunjukannya secara
langsung. Atau tari jaipong yang benar-benar asli, karena yang
sering kita lihat adalah tari jaipong yang sudah banyak mengalami
perubahan.
Generasi muda Indonesia pun ternyata lebih menyukai
kebudayaan asing. Mereka kurang mencintai kebudayaannya
sendiri, bahkan ada yang menganggapnya kampungan. Terlihat
bahwa generasi muda sekarang lebih bergaya hidup hedonistic
atau gaya hidup penuh hura-hura. Generasi muda saat ini lebih
menyenangi kebebasan tanpa batas daripada kebebasan dengan
batasan norma. Musik yang mereka dengarkan bukan lagi
gendang, karismen atau tanjidor tapi musik yang mereka
dengarkan adalah “house music” atau musik DJ, R&B, Hiphop,
metal dan lain-lain. Tarian mereka bukan lagi jaipongan, kecak,
atau pendet tapi tarian mereka dengarkan adalah modern dance,
break dance dan lain-lain.
Oleh karena itu, memang sudah saatnya kita sebagai
orang Indonesia umumnya dan sebagai generasi muda terpelajar
khusunya, harus mulai berpikir untuk menjaga kebudayaan
Indonesia. Karena kebudayaan Indonesia adalah ciri khas bangsa
Indonesia yang menjadi kebanggaan tersendiri dari bangsa
Indonesia. Masyarakat dan pemerintah adalah pelaku sentral
dalam proses pelestarian kebudayaan nasional.
Kebudayaan Indonesia sebaiknya kita pelihara, kita juga
dan kita lestarikan bersama-sama. Jangan sampai kita kehilangan
budaya kita sendiri. Marilah kita sama-sama menjaga kebudayaan
39
Indonesia agar jangan sampai terkubur dan hanya menjadi sejarah
anak cucu kita di masa yang akan dating. Marilah kita bersama-
sama menjaganya!

4. SEMANTIK

a) Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata benda) yang
berarti tanda atau lambang, yang mengandung makna to signify atau
memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi
tentang makna”. Kata semantik kemudian disepakatai sebagai istilah yang
digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam
bahasa. Kata semantik juga diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang
arti, yaitu salah satu dari tiga analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan
semantik.
Selain semantik, adapula istilah lain seperti semiotika, semiologi,
semasiologi, sememik, dan semik yang juga mempelajari tentang makna atau
arti dalam suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih umum
digunakan dalam studi linguistik karena istilah yang lain mempunyai cakupan
objek yang lebih luas seperti tanda lalu lintas, kode morse, tanda dalam
matematika dan sebagainya. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna
atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. (abdul
chaer)
b) Manfaat Semantik
Manfaat yang diperoleh dari studi semantik tergantung dari bidang
pekerjaan kita sehari-hari. Misalnya bagi seorang guru atau calon guru bahasa,
pengetahuan mengenai semantik, akan memberi manfaat teoritis dan juga
manfaat praktis. Manfaat teoritis karena sebagai guru bahasa akan banyak
materi atau penegtahuan yang diajarkan, teori-teori semantik ini akan
menolongnya memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya
itu. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi
dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada muridmuridnya. Seorang guru
bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas
mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori
semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak dapat menjelaskan
dengan tepat perbedaan dan persamaan semantis dalam dua buah bentuk kata,
serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan
benar.
Bagi seorang wartawan yang bekerja untuk sebuah surat kabar dan
pemberitaan, pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih

40
dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Sedangkan untuk orang awam, pengetahuan
tentang dasar-dasar semantik diperlukan untuk dapat memahami dunia di
sekelilingnya. Semua informasi yang ada di lingkungan didapat melalui
bahasa. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup
tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa.
(abdul chaer)
c) Makna Bahasa
1) Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem dari
bahasa tersebut. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi
semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna. Istilah leksem ini
kurang lebih dapat disamakan dengan istilah kata yang bisaanya digunakan
dalam studi morfologi dan sintaksis, dan yang lazim didefinisikan sebagai
satuan gramatikal bebas terkecil. Perbedaannya, leksem dapat berupa
sebuah kata seperti kata meja, kucing dan makan; dapat pula berupa
gabungan kata seperti meja hijau, dalam arti ‘pengadilan’ dan bertekuk lutut
dalam arti ‘menyerah’.
Untuk mencari makna leksikal, kita dapat memeriksanya di dalam
kamus untuk mengetahui makna leksikal dari sebuah leksem yang belum
kita ketahui karena kamus biasanya akan menyajikan makna leksikal di
awal pada sebuah entri. Sementara makna lain, seperti makna polisemi,
makna kias, dan lainnya disajikan setelah makna leksikal itu. Misalnya, kata
tikus makna leksikalnya adalah ‘sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit tifus’. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk
kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Sementara dalam kalimat
Sudah terlalu banyak tikus berdasi di negara ini bukanlah makna leksikal karena
merujuk pada seoran manusia, yang perbuatannya mirip dengan perbuatan
tikus.
2) Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses
gramatika, seperti afiksasi, redupliksi, dan komposisi. Jadi, makna
gramatikal merupakan makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya
sebuat kata di dalam kalimat.
Proses afiksasi dapat menimbulkan makna gramatikal. Misalnya,
proses afikasi awalan ter- pada kata angkat dalam batu seberat itu terangkat
juga oleh adik melahirkan makna ‘dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu

41
ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ‘tidak
sengaja’. Kedua merupakan proses reduplikasi, proses reduplikasi
digunakan dalam menyatakan makna ‘jamak’ di Bahasa Indonesia. Seperti
kata buku yang bermakna ‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang bemakna
‘banyak buku’. Terakhir, pada proses komposisi atau penggabungan dalam
Bahasa Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna
gramatikal komposisi sate ayam tidak sama dengan komposisi sate madura.
Makna kata pertama menyatakan ‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan
‘asal tempat’. Begitu juga komposisi anak asuh tidak sama maknanya dengan
komposisi orangtua asuh. Makna kata pertama ‘anak yang diasuh’ sedangkan
yang kedua bermakna ‘orangtua yang mengasuh’.
3) Makna Denotatif
Makna denotatif merupakan makna yang sesuai dengan hasil
observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-
informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotatif sering disebut
sebagai makna sebenarnya, bukan kiasan atau perumpamaan. Contohnya
kata perempuan dan wanita yang memiliki makna denotatif yang sama, yaitu
‘manusia dewasa bukan laki-laki’.
4) Makna Konotatif
Makna konotatif merupakan kata yang mempunyai “nilai rasa”, baik
positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak
memiliki konotasi. Misalnya terdapat pada kedua kalimat berikut ini:
Perempuan itu ibu saya
Ah, dasar perempuan!
Makna denotatif terdapat pada kata perempuan, yang berarti ‘manusia
dewasa bukan laki-laki’. Sedangkan makna konotatif juga terdapat pada kedua
kalimat. Pada kalimat kedua secara psikologis perempuan mengandung
makna suka bersolek, suka pamer, egoistis. Sedangkan pada makna kalimat
pertama makna perempuan mengandung sifat keibuan, kasih sayang, dan
lemah lembut.
5) Makna Konstektual
Maksud makna konstekstual adalah: pertama, makna penggunaan
sebuah kata (atau gabungan kata) dalam konteks kalimat tertentu; kedua,,
makna keseluruhan kalimat (ujaran) dalam konteks situasi tertentu. Contoh:
Semester ini saya tidak mengambil mata kuliah statistika (kata mengambil
bermakna ‘mengikuti’)

42
Diam-diam dia mengambil uang saya dari laci meja (kata mengambil
bermakna ‘mencuri’)
Tahun depan perusahaan kami akan mengambil 20 orang pegawai baru (kata
mengambil bermakna ‘menerima’)
Kabarnya pak lurah akan mengambil pemuda itu sebagai menantunya (kata
mengambil bermakna ‘menjadikan’)
Pak Guru mengambil buku itu dari lemari dan meletakkannya di meja (kata
mengambil bermakna ‘memindahkan’)
Dari seluruh kalimat tersebut, kata mengambil memiliki makna yang
berbeda. Dalam semantik makna dari sebuah kata yang berbeda-beda ini
disebut makna polisemi.
Dalam percakapan, seringkali makna percakapan atau ujaran itu
tidak digunakan menurut makna harfiahnya, melainkan “makna lain” yang
sesuai dengan konteks situasinya. Misalnya, kalau pada pagi hari seorang
suami berkata pada istrinya, “Bu, sudah hampir pukul tujuh”. Maka makna
ujaran itu bukanlah untuk memberiktahukan tentang waktu kepada
isitrinya, melainkan bermakna bahwa si suami memberi tahu istrinya,
bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor. Jadi, si istri diminta untuk
menyiapkan sarapan. Dalam kajian tutur makna seperti ini disebut makna
perlokusi, yaitu makna yang dimaui oleh pihak penutur.
Masalah terakhir dalam kajian makna kontekstual adalah masalah
adanya satuan ujaran yang dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah
pendengar atau pembaca menurut pemahaman atau tafsirannya masing-
masing. Makna yang dipahami oleh pendengar dan pembaca ini dalam
kajian tindak tutur disebut makna ilokusi. Hal ini dalam kajian semantik
lazim disebut ketaksaan (ambiguitas). Terdapat banyak penyebab sehingga
terjadinya kasus ketaksaan ini. Di antaranya adalah karena kekurangan
konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi. Contohnya, ujaran
“Minggu lalu kami bertemu paus”, dapat dimaknai (oleh pendengar maupun
pembaca) sebagai, minggu lalu kami bertemu dengan ikan besar yang disebut
paus. Atau juga, minggu lalu kami bertemu dengan pemimpin agama katolik Roma
yang disebut paus. Maka kalimat tersebut haruslah diberi pelengkap sehingga
tidak menimbulkan ketaksaan.
Minggu lalu, ketika berlayar di laut lepas itu, kami bertemu paus.
Minggu lalu, ketika berkunjung ke roma, kami bertemu paus.
6) Makna Idiom
Idiom adalah ungkapan bahasa yang artinya tidak secara langsung
dapat dijabarkan dari unsur-unsurnya (Moeliono, 1984: 177). Menurut

43
Badudu (1989: 47). “... idiom adalah bahasa yang teradatkan ...” Oleh karena
itu, setiap kata yang membentuk idiom berarti didalamnya sudah ada
kesatuan bentuk dan makna. Dengan kata lain, idiom adalah ungkapan
bahasa berupa gabungan kata (frase) yang maknanya sudah menyatu dan
tidak dapat ditafsirkan dengan makna unsur yang membentuknya. Contoh:
selaras dengan, insaf akan, berbicara tentang, terima kasih atas, berdasarkan
pada/kepada.
membanting tulang, bertekuk lutut, mengadu domba, menarik hati, keras
kepala
Pada contoh (1) terlihat bahwa kata tugas dengan, akan, tentang, atas,
dan pada/kepada dengan kata-kata yang digabunginya merupakan
ungkapan tetap sehingga tidak dapat diubah atau digantikan dengan kata
tugas yang lain. Demikian pula pada contoh (2) Idiom-idiom tersebut tidak
dapat diubah dengan kata-kata yang lain.
7) Peribahasa
Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai
susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah.
Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna
yang sangat jelas karena ia didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak,
seperti, laksana, macam, bagai dan umpama.
Sedangkan definisi peribahasa menurut arti kata adalah kelompok
kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud
tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan).
Bentuk-bentuk peribahasa antara lain:
− Pepatah, adalah jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ujaran dari
orang tua. Contoh: Air tenang menghanyutkan. Berarti orang
pendiam, tetapi banyak ilmu.
− Perumpamaan, adalah jenis peribahasa yang berisi perbandingan.
Contoh: Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak mati. Berarti serba sulit dalam menentukan sikap.
− Pameo, adalah jenis peribahasa yang dijadikan semboyan. Contoh:
Patah Sayap, bertongkat paruh. Berarti tidak putus asa.
Berikut adalah contoh peribahasa yang lain beserta artinya:
− Besar pasak daripada tiang.
Artinya: Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Bisa dibilang
orang yang tidak bisa mengatur keuangan
− Ada uang abang di sayang, tak ada uang abang ditendang.

44
Artinya: Hanya mau bersama disaat senang saja tetapi tidak mau tahu
disaat sedang susah.
− Air beriak tanda tak dalam.
Artinya: Orang yang banyak bicara biasanya tidak banyak ilmunya.
− Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan nama.
Artinya: Setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang
sesuai dengan perbuatannya di dunia.
− Bagai pungguk merindukan bulan.
Artinya: Seseorang yang membayangkan atau menghayalkan sesuatu
yang tidak mungkin.
− Bagai Makan Buah Simalakama.
Artinya: Bagai seseorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sangat sulit untuk dipilih.
− Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Artinya: Kalah ataupun menang sama-sama menderita.
− Bagaikan abu di atas tanggul.
Artinya: Orang yang sedang berada pada kedudukan yang sulit dan
mudah jatuh.
− Ada Padang ada belalang, ada air ada pula ikan.
Artinya: Di mana pun berada pasti akan tersedia rezeki buat kita.
− Adat pasang turun naik.
Artinya: Kehidupan di dunia ini tak ada yang abadi, semua
senantiasa silih berganti.
− Membagi sama adil, memotong sama panjang.
Artinya: Jika membagi maupun memutuskan sesuatu hendaknya
harus adil dan tidak berat sebelah.
d) Pertalian Makna
1) Sinonim
Secara etomologi kata sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu
onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’ maka secara
harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’
secara sematik. Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama.
Verhaar (1978) mengatakan sinonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan
lain. Selain itu, menurut ( Nunung dan Mahmud, 2011 hal 89) sinonim
adalah suatu istilah yang mengandung pengertian (1) telaah mengenai
bermacammacam kata yang memiliki makna yang sama, (2) keadaan yang
menunjukan keadaan yang menunjukan dua kata atau lebih memiliki
makna yang sama, dan (3) nama lain untuk benda yang sama. Dengan

45
demikian, sinonim dapat diartikan sebagai kata-kata yang memiliki makna
yang sama antara ungkapan yang lain. Dengan kata lain, sinonim juga dapat
dikatakan sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan
bentuk lain berupa kata, kelompok kata, maupun kalimat. Contohnya:
mati, tewas, wafat dan meninggal.
pintar, cerdas, cerdik, cakap, pandai.
cantik, bagus, baik, indah, puspa, molek, bunga, kembang
benar, betul.
Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Apabila kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang
bersinonim dengan kata bunga.
Pada uraian di atas dikatakan sinonim memiliki makana yang mirip.
Hal ini berarti bahwa dua kata atau lebih yang bersinonim kesamaan
maknanya tidak seratus persen harus sama. Kata nasib dan takdir
mempunyai makna yang kurang lebih sama atau makna kedua kata itu
mirip. Dengan memperthatikan contoh di atas, jelas bahwa kata-kata yang
bersinonim itu tidak mutak memiliki makna yang persis sama, Oleh karena
itu, kata-kata yang dapat di pertukarkan begitu saja jarang ada. Pada suatu
tempat kita mungkin dapat menukarkan kata mati dan meninggal, tetapi di
tempat laintidak dapat. Menurut (Nunung dan mahmud, 2011:91) Ada
beberapa faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukarkan
sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim, yaitu: faktor waktu, faktor
tempat dan daerah, faktor social, faktor kegiatan, serta faktor nuansa makna

2) Antonim
Kata antonim berasal dari kata yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’ dan anti yang berarti ‘melawan’ maka antonim berarti ‘nama lain
untuk benda lain pula’. Secara sematik Veehaar (1978) mendefinisikan
sebagai: ungkapan (bisaanya kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Selain itu, menurut (Nunung dan Mahmud, 2011: 92) antonim adalah dua
buah kata yang mengandung makna berlawanan. Oleh karena itu, kata-kata
yang memiliki makna berlawanan sering disebut antonim. Contohnya:
siang >< malam
laki-laki >< perempuan
panas >< dingin
tinggi >< rendah
Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna kata yang
berantonimpun bersifat dua arah. Jadi, apabila kata bagus berantonim

46
dengan kata buruk, kata buruk berantonim dengan kata bagus. Begitu pula
jika kata mahal berantonim dengan kata murah, kata murahpun berantonim
dengan kata mahal.

3) Homonim
Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang
artinya’nama’ dan homo yang artinya’sama’. Secara harfiah homonim dapat
di artikan sebagai ‘ nama sama untuk benda atau hal lain.Secara sematik,
Vehaar (1987) memberi definisi homonim sebagai ungkapan (berupa
kata,frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga
brupa kata, frase atau kalimat ) tetapi maknanya tidak sama. Selain itu,
menurut (Nunung dan Mahmud, 2011 : 101) homonimi adalah dua kata
atau lebih yang memiliki bentuk yang sama. Ada dua kemungkinan sebab
terjadinya homonimini, yaitu
− Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau
dialek yang berlainan.
− Bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses
morfologi
Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, tataran kalimat.
Contohnya : Bang untuk panggilan laki-laki dewasa bank tempat untuk
menabung.

4) Polisemi
Menurut (Nunung dan Mahmud, 2011: 99) polisemi adalah relasi
makna yang berbeda-beda, tetapi masih dalam suatu aluran arti .Polisemi
merupakan suatu unsur fundamental tutur manusia yang dapat muncul
dengan berbagai cara. Terdapat lima sumber, empat diantaranya terletak
pada bahasa yang bersangkutan sedangkan yang satu lagi muncul dari
pengaruh bahasa asing. Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa
yang memiliki makna lebih dari satu. Contohnya:
Kepala: kata kepala dalam bahasa indonesia memiliki makna
Bagian tubuh
Pemimpin
Polisemi sangat dekat dengan istilah lain, yaitu homonimi yang
berarti dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama. Dalam
polisemi atau homonimi kita berhadapan dengan dua kata atau lebih.
Masalah bagaimana kita membedakan apakah kata itu polisemi atau
homonim adalah bahwa polisemi adalah kata yang memiliki beberapa arti,
sedangkan homonimi adalah dua kata atau lebih yang kebetulan tulisan dan

47
bunyinya sama, atau tulisan sama bunyinya berbeda, atau tulisan berbeda
tetapi bunyinya sama.

5) Hiponim
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onama berarti
‘nama’ dan hypo berati ‘di bawah’ secara semantik Verhaar (1978: 137 )
menyatakan hoponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. hoponim ialah
semacam relasi antarkata yang berujud atas bawah, atau dalam suatu makna
terkandung sejumlah komponen yang lain . kelas atau mencakup sejumlah
komponen yang lebih kecil , sedangkan kelas bawah merupakan komponen-
komponen yang tercakup dalam kelas atas. Contohnya:
Kata anggrek dan bunga.
Kata anggrek berhiponim terhadap bunga, sebab anggrek adalah salah satu
jenis bunga, kemudian kata tongkol hiponim terhadap kata ikan sebab makna
tongkol berada termasuk dalam makna kata ikan, sedangkan ikan bukan
hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri dan lain-
lain.

6) Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang
bermakna ganda atau memiliki dua arti. Konsep ini tidak salah, namun juga
kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Keduanya
sama-sama bermakna sama, hanya kalau polisemi kegandaan maknanya
berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal
dari satuan gramatika yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi
sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Contohnya,
frase orang malas lewat di sana dapat diartikan sebagai (1) jarang ada orang
yang lewat sana, atau (2) hanya orang-orang malas yang lewat sana.

7) Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai penggunaan kata yang
berlebih dalam suatu kalimat. Contohnya kalimat Roti dimakan Alvin
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Roti ditendang oleh Alvin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai suatu
redundansi, yang berlebih-lebihan atau mubazir dan sebenarnya tidak
perlu. Karena makna dari kedua kalimat itu sama saja.
Contoh lain, kalimat Gadis itu mengenakan baju berwarna biru adalah
redundansi dari kalimat Gadis itu berbaju biru. Atau kalimat Inilah obat satu-
satunya yang paling mujarab adalah redundansi dari kalimat Inilah obat yang
paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana

48
dituntut dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-
kalimat redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Dan lebih baik
menggunakan kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata.
e) Perubahan Makna
1) Meluas (generalisasi)
Perubahan makna meluas merupakan gejala yang terjadi pada
sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah
‘makna’, tetapi karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain.
Misalnya kata ibu, mulanya bermakna ‘orangtua yang melahirkan kita’
.Kemudian berkembang menjadi ‘perempuan yang dianggap derajat lebih
tinggi ’. Akibatnya, perempuan yang mengajar di sekolah kita sebut ibu.
2) Menyempit (spesialisasi)
Perubahan menyempit merupakan gejala yang terjadi pada sebuah
kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian
berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata
sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’,
kemudian hanya berarti ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi tingkat
strata satu (S-1)’.
3) Peninggian (ameliorasi)
Menurut (Nunung dan Mahmud, 2011 : 110 ) makna amelioratif
adalah suatu proses perubahan makna yang pada mulanya memiliki makna
lebih rendah daripada makna sekarang. Dengan kata lain, makna baru lebih
tinggi atau lebih baik dari pada makna dahulu. Misalnya, kata wanita,
sekarang maknanya dirasakan lebih tinggi daripada kata perempuan. Kata
isteri dan nyonya, maknanya lebih tinggi daripada kata bini. Kata suami
maknanya lebih tinggi dari pada kata laki.
Contoh lain, kata gambaran yang semula hanya mengandung makna
hasil kegiatan menggambar, dengan masuknya kata abstraksi, kata
gambaran akhirnya dapat mengandung perngertian pembayangan secara
imajinatif,kata anda lebih baik daripada kau. Kata tunanetra lebih baik dari
pada kata buta, kata narapidana lebih baik dari pada kata orang hukuman, kata
hamil lebih baik dari pada kata bunting, kata pembantu lebih baik dari pada
kata babu, kata melahirkan lebih baik dari pada kata beranak, kata tunasusila
lebih baik dari pada kata pelacur, kata tunarungu lebih baik daripada kata
tuli.
4) Penurunan (peyorasi)
Peyorasi adalah perubahan makna yang mengakibatkan sebuah kata
atau ungkapan menggambarkan sesuatu yang kurang baik, kurang enak,
kurang menyenangkan, atau kurang bermutu dibandingkan dengan makna
semula (dulu). Dalam peyorasi makna baru dirasakan lebih rendah nilainya

49
daripada makna yang lama. Misalnya, kata tuli mengalami peyorasi karena
dulu tidak dirasakan mengandung makna yang jelek. Sekarang maknanya
dirasakan kurang baik, kurang sopan dan terasa kasar. Ungkapan kaki
tangan dipakai dalam arti yang kurang baik, yaitu pembantu dalam
kejahatan atau pembantu pihak yang tidak disukai seperti tampak dalam
kaki tangan musuh, kaki tangan imperialis. Kata bini yang pada mualnya
dianggap lebih baik yang berarti perempuan kemudian berarti perempuan
yang telah menikah sekarang dirasakan kurang hormat.
Ungkapan laki-bini dulu setingkat dengan suami-isteri, sekarang
dalam hubungan yang baik umpamanya dalam surat undangan tidak
pernah dipakai laki-bini tetapi suami-isteri atau beserta nyonya. Kata
ngamar semula mengandung makna berada di kamar tetapi akhirnya
mengandung pengertian negatif sehingga pemakaiannya pun berusaha di
hindari.
5) Pemahaman (asosiasi)
Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena adanya
persamaan sifat sehinga suatu kata atau istilah dapat dipakai unuk
pengertian yang lain. Misalnya, kata lintah darat dipakai untuk menyebut
orang yang mempunyai sifat seperti lintah, yaitu yang menghisap harta
benda orang lain. Kata biang keladi dipakai untuk menyebut orang yang
menjadi penyebab atau pemimpin perbuatan jahat. Kata benalu digunakan
untuk orang yang mempunyai sifat seperti benalu, yaitu yang selalu ikut
menumpang pada keluarga yang lain secara cuma-cuma. Agar lebih jelas
makna kata-kata tersebut, perhatikanlah pemakaiannya pada kalimat di
bawah ini!
Orang yang tinggi besar itu menjadi lintah darat di kampungnya
Siapa yang menjadi biang keladi dalam keributan ini?
Apa kerja benalu di sini?
Sebagai contoh lain, perhatikan pula beberapa contoh asosiasi di bawah ini!
Kursi itu telah perebukan tokoh politik
Rasakan, kini dia kena getahnya
Bapak naik garuda ke Singapura
6) Pertukaran (sinestesia)
Sinestesia berasal dari bahasa yunani sun artinya sama dan aisthetikas
artinya nampak. Perubahan makna akibat adanya kecenderungan untuk
mengubah tanggapan dengan tujuan untuk menegaskan maksud disebut
sinestesia. Dengan kata lain, sinestesia adalah pertukaran tanggapan antara
indera yang satu dan indera yang lainnya. Misalnya, rasa pedas yang
seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar

50
menjadi dianggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam
ujaran kata-katanya cukup pedas.
Contoh lain:
Wajahnya enak dipandang
Wajahnya dingin sekali
Hatimu jelek benar
Kata-katanya pedih sekali
Ceritamu menggelikan kami
Nama guru kami harum benar
Suaranya empuk didengar
Mukanya manis sekali
Kedengarannya memang nikmat
Pandangannya sangat tajam

KETERAMPILAN BERBAHASA: MENYIMAK, BERBICARA, MEMBACA, DAN


MENULIS
1. KETERAMPILAN MENYIMAK
a) Definisi Keterampilan Menyimak
Hakikatnya keterampilan menyimak adalah melatih pendengaran dan
daya ingat. Aspek keterampilan menyimak bertujuan agar siswa mampu
menangkap, memilih, memahami, mengingat dan mengumpulkan informasi
dari apa yang disimak atau didengar.
“Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-
lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk
memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi
yang tidak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan”.
(Tarigan: 1983) menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan
lambanglambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta
interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta
memahami makna komunikasi yang telah di sampaikan oleh pembicara.
Sedangkan dalam pembelajaran di sekolah, daya simak siswa sangat
mempengaruhi keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, dan
menelaah informasi. Menyimak juga mempengaruhi ketiga keterampilan
bahasa yang lain. Menyimak juga merupakan proses awal anak dapat mengenal
bahasa. Dari menyimak anak dapat berbicara, membaca, dan menulis.
Selain itu, siswa dapat pula melatih kepekaan terhadap lingkungan
sekitar. Misalnya dari pembacaan sebuah cerita. Selama proses menyimak, siswa

51
seolah-olah terbawa oleh alur yang dibuat oleh pengarang cerita. Dari
penyimakan tersebut pula siswa dapat mengidentifikasi permasalahan dan
solusi dari cerita.
b) Perbedaan menyimak, mendengar dan mendengarkan
Menyimak, mendengar dan mendengarkan merupakan sebuah kegiatan
yang hampir sama, namun sebenarnya terdapat perebdaan dari ketiga aktivitas
tersebut. Menurut Akhadiat (dalam Sutari dkk 1997: hlm. 18- 65 19) menyimak
adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa,
mengidentifikasi, menginterpretasi, dan mereaksi atas makna yang terkandung
di dalamnya.
Kemudian menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan menyimak adalah
suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh
informasi, menangkap isi serta memahami makna komuniksi yang disampaikan
oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Sutari, (1998: hlm. 16) menyimpulkan bahwa mendengar mempunyai
makna, dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau
ada bunyi, alat pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut. Proses
mendengar terjadi tanpa perencanaan, tetapi datang secara kebetulan,mungkin
juga tidak.
Sedangkan mendengarkan adalah merespon atau menerima bunyi secara
sengaja. Memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan oleh orang lain yang
sudah mulai melibatkan unsur kejiwaan yang berarti aktivitas mental sudah
muncul, hanya belum setinggi aktivitas menyimak.
c) Tujuan Menyimak
Adapun tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam, antara lain:
menyimak untuk belajar, menyimak untuk menikmati, menyimak untuk
mengevaluasi, menyimak untuk mengapresiasi, menyimak untuk
mengkomunikasikan ide-ide, menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi,
menyimak untuk memecahkan masalah, dan menyimak untuk meyakinkan
d) Manfaat Menyimak
Menurut Setiawan (dalam Darmawan 2001: hlm. 11-12) manfaat
menyimak ada banyak antara lain sebagai berikut :
− Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang berharga bagi
kemanusiaan sebab menyimak memiliki nilai informatif yaitu memberikan
masukan-masukan tertentu yang menjadikan kita lebih berpengalaman.
− Meningkatkan intelektualitas serta memperdalam penghayatan keilmuan
dan khazanah ilmu kita.

52
− Memperkaya kosakata, menambah perbendaharan ungkapan yang tepat,
bermutu dan puitis. Orang yang banyak menyimak komunikasinya menjadi
lebih lancar dan kata-kata yang digunakan lebih variatif.
− Memperluas wawasan, mengingkatkan penghayatan hidup, serta membina
sifat terbuka dan objektif.
− Meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial.
− Meningkatkan citra artistik jika yang kita simak itu merupakan bahan
simakan yang isinya halus. Banyak menyimak dapat menumbuhsuburkan
sikap apresiatif, sikap menghargai karya atau pendapat orang lain dan
kehidupan ini serta meningkatkan selera estetis.
− Menggugah kreativitas dan semangat mencipta untuk menghasilkan ujaran-
ujaran dan tulisan-tulisan yang berjati diri. Jika banyak menyimak, kita akan
mendapat ide-ide yang cemerlang dan segar, pengalaman hidup yang
berharga. Semua itu akan mendorong kita untuk giat berkarya dan kreatif.
e) Tahap-tahap Menyimak
Ruth G. Stricland dalam Tarigan (1986) menyimpulkan ada sembilan
tahapan menyimak, mulai dari yang tidak memiliki ketentuan sampai pada
yang sangat bersungguh-sungguh, yaitu sebagai berikut:
− Menyimak berkala, yang terjadi pada saat anak merasakan keterlibatan
langsung dalam pembicaraan mengenai dirinya.
− Menyimak dengan perhatian dangkal, karena sering mendapat gangguan
dengan adanya selingan-selingan perhatian kepada hal-hal di luar
pembicaraan.
− Setengah menyimak karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan
untuk mengekspresikan isi hati anak.
− Menyimak serapan karena anak keasikan menyerap hal-hal yang kurang
penting, jadi merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya.
− Menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang di simak,
karena perhatiannya terganggu oleh keasikan lain dan hanya mendengarkan
hal-hal yang menarik saja.
− Menyimak asosiatif; hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi
secara konstan, yang mengakibatkan penyimak benar-benar tidak memberi
reaksi terhadap pesan yang di sampaikan pembicara.
− Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan memberi
komentar maupun pertanyaan.
− Menyimak secara seksama, mengikuti jalan pikiran pembicara dengan
sungguh-sungguh.
− Menyimak secara aktif untuk mendapatkan serta menemukan pikiran,
pendapat, dan gagasan pembicara.

53
Terdapat pakar lain yang mengemukakan adanya tujuh tahapan dalam
menyimak:
− Isolasi:
Pada tahapan ini, penyimak mencatat aspek-aspek individual kata lisan dan
memisah-misahkan atau mengisolasikan bunyi-bunyi, ide-ide, fakta-fakta,
organisasi-organisasi khusus, begitu pula stimulus-stimulus lainnya.
− Identifikasi:
Sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna atau identitas
pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu.
− Integrasi:
Kita mengintegrasikan atau menyatupadukan sesuatu yang kita dengar
dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak kita.
Oleh karena itulah, pengetahuan umum sangat penting dalam tahap ini.
Kalau proses menyimak berlangsung, kita harus terlebih dahulu mempunyai
beberapa latar belakang atau pemahaman mengenai bidang pokok pesan
tertentu. Kalau kita tidak memiliki bahan penunjang yang dapat
dipergunakan untuk mengintegrasikan informasi yang baru itu, jelas
kegiatan menyimak itu akan menemui kesulitan atau kendala.
− Inspeksi:
Pada tahap ini, informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan
dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal
tersebut. Proses ini akan menjadi paling mudah berlangsung kalau informasi
baru justru menunjang prasangka atau prakonsepsi kita. Akan tetapi, kalau
informasi baru itu bertentangan dengan ide-ide kita sebelumnya mengenai
sesuatu, kita harus mencari serta memilih hal-hal tertentu dari informasi itu
yang lebih mendekati kebenaran.
− Interpretasi:
Pada tahapan ini, kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita dengar dan
menelusuri dari mana datangnya semua itu. Kita pun mulai menolak dan
menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut
dengan sumber-sumbernya.
− Interpolasi:
Selama tidak ada pesan yang membawa makna dalam dan member informasi,
tanggung jawab kitalah untuk menyediakan serta memberikan data-data dan
ide-ide penunjang dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman kita
sendiri untuk mengisi serta memenuhi butir-butir pesan yang kita dengar.
− Introspeksi: dengan cara merefleksikan dan menguji informasi baru, kita
berupaya untuk mempersonalisasikan informasi tersebut dan
menerapkannya pada situasi kita sendiri. (Hunt; 1981: hlm. 18-19).

54
f) Hal-hal yang Perlu Disimak
Khusus mengenai bahasa, sebagai pelajar haruslah menyimak serta
mengenal dan memahami hal-hal berikut:
− Bunyi-bunyi fonemis atau bunyi-bunyi distingtif bahasa yang bersangkutan,
dan pada akhirnya variasi-variasi fonem yang bersifat personal atau dialek
seperti dipakai atau diucapkan oleh beberapa pembicara asli, penduduk
pribumi
− Urutan-urutan bunyi beserta pengelompokan-pengelompokannya;
panjangnya jeda, pola-pola intonasi
− Kata-kata tugas beserta perubahan-perubahan bunyi sesuai dengan posisinya
di depan kata-kata lain.
− Infeksi-infeksi untuk menunjukkan jamak, waktu, milik, dan sebagainya
− Perubahan-perubahan bunyi dan pertukaran-pertukaran fungsi yang
ditimbulkanoleh derivasi, misalnya adil, keadilan, pengadilan, mengadili,
dan diadili.
− Pengelompokkan-pengelompokkan structural, misalnya yang berhubungan
dengan frasa-frasa verbal, preposisional
− Petunjuk-petunjuk urutan kata yang menyangkut fungsi dan makna
− Makna kata-kata yang bergantung pada konteks atau situasi pembicaraan,
misalnya: kaki, dan sop kaki
− Kata-kata salam, kata-kata sapaan, kata-kata pendahuluan, dan katakata
keraguan yang terdapat dalam ujaran atau pembicaraan
− Makna budaya (cultural meaning) yang terkandung atau tersirat dalam suatu
pesan atau ujaran
g) Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak
Dalam upaya meningkatkan kemampuan menyimak terdapat beberapa
strategi. Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
menyimak. Guru dapat memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di kelas.
Namun, sebelum membaca, guru harus mendiskusikan etika atau sopan santun
dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif atau negatif.
Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar murid-murid saling
menghormati dan membina kesetiakawanan.
Setelah membacakan cerita atau artikel, guru hendaknya mengadakan
diskusi mengenai bagian-bagian cerita atau artikel tersebut yang patut dipuji
atau perlu diperbaiki. Guru sebaiknya mendaftar segi-segi positif dan negatif
tersebut di papan tulis atau dengan menggunakan projektor, sehingga setiap
anak dapat melihat dan mendengar hal-hal penting yang sedang di diskusikan.
Pada saat inilah guru dapat menekankan kepada murid-murid untuk
mengajukan pertanyaan dengan cara yang sopan dan pada saat inilah guru

55
dapat memberikan dorongan kepada anak untuk memperbaiki pertanyaannya
agar menjadi jelas dan menggunakan bahasa yang baku. Apabila tidak ada anak-
anak yang memberikan komentar terhadap cerita atau artikel yang telah
dibacakan, guru dapat menyarankan agar mereka berperan seolah-olah menjadi
pengarang cerita atau artikel tersebut. Komentar apa yang mereka inginkan dari
pembaca seandainya mereka menjadi pengarang cerita atau artikel yang telah
dibacakan oleh guru (Yeager, 1991: hlm. 96).
h) Peran yang Harus Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan
Menyimak
Peran guru sebagai penyimak
Dalam kelas yang efektif, guru memberikan penekanan pada
keterampilam menyimak seperti halnya pada keterampilan membaca dan
menulis. Menyimak merupakan sarana yang utama untuk belajar, oleh karena
itu kebiasaan perlu dikembangkan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan
murid-murid sebagai penyimak efektif. Tunggulah sampai suatu pertanyaan
dikemukakan secara lengkap sebelum menjawab pertanyaan murid. Demikian
juga murid-murid dibiasakan melakukan hal yang serupa. Ringkasan apa yang
anda dengar, yakinkan diri bahwa Anda dan pembicara memiliki pemahaman
yang sama terhadap suatu informasi. Apabila perlu dikemukakan kembali,
pertanyaan yang harus Anda jawab atau yang harus dijawab oleh orang lain.
Berikan dorongan untuk saling bertukar pendapat. Ingatkan muridmurid
bahwa menjadi penyimak yang baik sama pentingnya dengan menjadi
pembicara yang efektif (Yeager, 1991: hlm. 98).
Partisipasi kelompok
Dalam kelas yang berdasarkan pendekatan pembelajaran bahasa secara
holistik, murid-murid lebih banyak bekerja dalam kelompok. Kelompok-
kelompok tersebut bersifat informal, misalnya bekerja secara berpasang-
pasangan untuk diskusi atau persiapan bermain peran. Dapat pula berupa
kelompok yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk tujuan
tertentu, misalnya menyelesaikan suatu proyek. Kelompok dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran secara khusus, dapat pula untuk
menolong anak-anak yang ingin meningkatkan keterampilan tertentu misalnya
meningkatkan kemampuan menyimak.
Kerja kelompok dapat menolong murid-murid mengembangkan sikap
sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan berbahasa yang
spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan pembelajaran sebaik mungkin.
Selama setahun setiap anak akan menjadi anggota kelompok yang berbeda-
beda. Keuntungan dari kelompok tersebut terletak pada bantuan dari teman dan
terjadinya kegiatan belajar. Keberhasilan kelompok biasanya merupakan

56
pencerminan perencanan dan upaya-upaya guru. Keberhasilan suatu kelompok
sangat tergantung pada anggota-anggotanya. Sebaiknya guru mulai dengan
memberikan tugas yang jelas berupa keterampilan tertentu yang perlu
ditingkatkan dalam suatu kelompok, kemudian baru memiliki anggota
kelompok.
i) Indikator Menyimak
Indikator Menyimak di Kelas Rendah
Kelas satu (5 1 /2 – 7 tahun)
− Menyimak untuk menjelaskan, menjernihkan pikiran dan untuk
mendapat jawaban atas pertanyaan.
− Dapat mengulangi secara tepat apa-apa yang telah didengarkan.
− Menyimak bunyi-bunyi tertentu pada kata-kata lingkungan.
Kelas dua (6 1 /2 – 8 tahun)
− Menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat.
− Membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan pertanyaan untuk
mengecek pengertiannya.
− Sadar akan situasi, bila sebaiknya menyimak atau sebaliknya.
Indikator Menyimak di Kelas Tinggi
Kelas tiga dan empat (7 1 /2 – 10 tahun)
− Sungguh-sungguh sadar akan nilai menyimak sebagai sumber informasi
dan kesenangan.
− Menyimak pada laporan orang lain, dengan maksud tertentu serta dapat
menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan itu.
− Memperlihatkan keangkuhan dengan kata-kata atau ekspresi yang tidak
mereka pahami maknanya.
Kelas lima dan enam (91 /2 – 11 tahun)
− Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan, kesalahan, propaganda, dan
petunjuk yang keliru.
− Menyimak pada aneka ragam cerita puisi, rima kata-kata, dan
memperoleh kesenangan dalam menemui dalam tipe-tipe baru.
j) Jenis-jenis Menyimak
Menyimak berdasarkan sumber suara yang disimak:
Menyimak intra personal listening atau menyimak intra pribadi, yaitu
sumber suara yang disimak dapat berasal dari diri sendiri.
Menyimak inter personal listening atau menyimak antarpribadi, yaitu sumber
suara yang disimak berasal dari luar diri penyimak.
Menyimak berdasarkan taraf aktivitas penyimak

57
Kegiatan bertaraf rendah/ silent listening, dalam kegiatan bertaraf
rendah penyimak baru samapai pada kegiatan memberikan dorongan,
perhatian, dan menunjang pembicaraan. Biasanya aktivitas itu bersifat non-
verbal (mengangguk-angguk, senyum, sikap tertib dan penuh perhatian atau
melalui ucapan-ucapan pendek seperti benar, saya setuju, ya dan sebagainya).
Kegiatan bertaraf tinggi/ active listening, penyimak sudah dapat mengutarakan
kembali isi bahan simakan yang berarti penyimak sudah memahami isi bahan
simakan.
Menyimak berdasarkan taraf hasil simakan:
− Menyimak tanpa mereaksi, yaitu penyimak mendengar sesuatu beruoa
suara atau teriakan, namun yang bersangkutan tidak memberikan reaksi
apa-apa.
− Menyimak terputus-putus, yaitu pikiran penyimak bercabang, tidak
terpusat kepada bahan simakan. Penyimak sebentar menyimak sebentar
tidak menyimak kemudian menyimak kembali dan seterusnya.
− Menyimak terpusat, yaitu yaitu pikiran penyimak terfokus pada sesuatu
misalnya pada aba-aba untuk mengetahui bila saatnya mengerjakan
sesuatu.
− Menyimak pasif, yaitu menyimak hampir sama dengan menyimak tanpa
mereaksi namun dalam menyimak pasif sudah ada reaksi walau sedikit.
− Menyimak dangkal, yaitu penyimak hanya menangkap sebagian isi
simakan. Bagian-bagian penting tidak disimak, mungkin karena sudah
mengetahui, menyetujui atau menerima.
− Menyimak untuk membandingkan, yaitu penyimak menyimak sesuatu
pesan kemudian membandingkan pesan tersebut dengan pengalaman
dan pengetahuan penyimak yang relevan.
− Menyimak organisasi materi, yaitu penyimak berusaha mengetahui
organisasi materi yang disampaikan pembicara, ide pokoknya beserta
detail penunjangnya.
− Menyimak kritis, yaitu penyimak menganalisis secara kritis terhadap
materi yang disampaikan pembicara. Bila diperlukan, penyimak minta
data atau keterangan terhadap pernyataan yang disampaikan pembicara.
− Menyimak kreatif dan apresiatif, yaitu penyimak memberikan responsi
mental dan fisik yang asli terhadap bahan simakan yang diterima. (Green
and Petty, 1969: hlm. 162)
2. KETERAMPILAN BERBICARA
a) Pengertian Keterampilan
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dalam menggunakan
bahasa lisan. Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik
diperlukan suatu proses. Cook (dalam Murcia & Olshtain, 2001: 164)

58
menyebutkan bahwa lisan terjadi karena dihasilkan dan diproses secara
langsung, tidak ada pengulangan dan perubahan atau penataan kembali kata-
kata sebagaimana di dalam menulis, tidak ada waktu istirahat dan berfikir, dan
selagi berbicara atau menyimak, kita tidak dapat mengulang dan
memperhatikan sebuah wacana.
Bailey dan Savage (dalam Celce Murcia, 2001: 103) mengemukakan
kemampuan berbicara pada suatu bahasa sama dengan mengenali bahasa itu,
karena berbicara merupakan alat komunikasi manusia yang paling dasar. Brown
(2001: 267) menyatakan bahwa keterampilan berbicara sangat erat berhubungan
dengan keterampilan menyimak. Interaksi antara kedua performansi
keterampilan tersebut diterapkan dengan kuat dalam percakapan.
Hal tersebut menyatakan bahwa keterampilan berbicara tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman menyimak. Secara umum, semakin baik
pemahaman menyimak siswa akan tercermin keterampilan berbicara yang lebih
baik. Faktor-faktor, kondisi, dan komponen-komponen yang mendasari
keefektifan berbicara perlu diperhatikan. Input bahasa dan aktivitas berbicara
yang cukup, secara perlahan akan membantu siswa untuk mampu berbicara
dengan fasih dan akurat.
Gorys Keraf (dalam Depdikbud, 1996: 33) menerangkan hakikat
keterampilan berbicara adalah sebagai berikut.
− Keterampilan berbicara adalah keterampilan yang sangat penting untuk
berkomunikasi.
Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan keterampilan berbicara.
Keterampilan berbicara adalah wujud komunikasi yang utama. Dengan
keterampilan berbicara kita mengontrol proses komunikasi.
− Keterampilan berbicara adalah suatu proses yang kreatif.
Dengan keterampilan berbicara kita dapat menyampaikan berbagai macam
informasi (fakta, peristiwa, gagasan, pendapat, tanggapan, dan sebagainya),
kita dapat mengemukakan kemauan dan keinginan, serta mengungkapkan
berbagai macam perasaan dengan komunikasi yang aktif dan kreatif.
− Keterampilan berbicara adalah hasil proses belajar.
Keterampilan berbicara perlu sekali dikuasai oleh para siswa di sekolah.
Keberhasilan berbicara yang baik dapat dikuasai melalui proses belajar dan
berlatih secara teratur. Untuk itu diperlukan perencanaan pengajaran yang
baik yang disusun berdasarkan kurikulum yang digunakan. Dalam
perencanaan pengajaran keterampilan berbicara yang baik dikemukakan
dengan jelas tujuan pengajaran yang hendak dicapai, materi, metode dan
teknik serta kegiatan pembelajaran, serta menilai keberhasilan siswa.
− Keterampilan berbicara adalah media untuk memperluas wawasan.

59
Keterampilan berbicara merupakan media untuk memperluas pengetahuan
dan wawasan siswa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan keterampilan
berbicara yang baik siswa dapat memperoleh informasi tentang apa, siapa, di
mana, bilamana, mengapa, dan bagaimana mengenai berbagai hal yang siswa
temui, baik lingkungan sekolah maupun masyarakat.
− Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan berbagai topik.
Dengan mengambil topik pembicaraan dari mata pelajaran lain, pengajaran
keterampilan berbicara akan memperoleh berbagai manfaat. Pertama,
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara akan lebih bersifat fungsional
dalam menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti berbagai macam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Kedua, jangkauan topik pembicaraan yang
diangkat dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara menjadi lebih
luas sehingga topik yang dibicarakan bias bervariasi. Ketiga, pembelajaran
keterampilan berbicara bisa merupakan salah satu wahana untuk
mewujudkan keinginan untuk menghubungkan pengajaran Bahasa
Indonesia dengan mata-mata pelajaran yang lain.
Berdasarkan pengertian keterampilan dan pengertian berbicara di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk
mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi
hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami
oleh orang lain. Aktivitas siswa yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan
keterampilan berbicara adalah dengan berinteraksi atau berkomunikasi dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya, salah satunya dengan bermain sosiodrama.
Dengan sosiodrama siswa dapat berkomunikasi, menemukan pengalaman,
meningkatkan pengetahuan, dan mengembangkan bahasanya sehingga
keterampilan berbicara siswa dapat meningkat.
b) Keterampilan Berbicara Siswa di SD
Menurut Tarigan (2015: 16) berbicara adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan
ataumenyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari
bahasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-
tanda yang dapat didengar (audible) dan yang terlihat (visible) yang
memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud
dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara
adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun
dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau
penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada
penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami
atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah
dia bersikap tenang serta bisa menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia

60
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta
antusias atau tidak, Mulgrave (dalam Tarigan, 2015: 16).
Onch & Winker (dalam Tarigan, 2015: 17) mengatakan bahwa
pembicaraan atau berbicara merupakan gaungan dari melaporkan dan
menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan. Berikut
ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, yaitu
membutuhkan paling sedikit dua orang, mempergunakan suatu sandi
linguistik yang dipahami bersama, menerima atau mengakui suatu daerah
referensi umum, merupakan suatu pertukaran antara partisipan,
menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada
lingkungannya dengan segera, berhubungan atau berkaitan dengan masa kini,
hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus), secara
tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan
apa yang diterima sebagai dalil.
Pembelajaran berbicara harus berlandaskan konsep dasar berbicara
sebagai sarana berkomunikasi dan sejumlah landasan lainnya. Menurut Logan
(dalam Resmini dkk (2009: 151) konsep dasar berbicara sebagai sarana
berkomunikasi mencakup beberapa hal, yakni:
− Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal
Kegiatan menyimak pasti diawali dengan kegiatan berbicara. Kegiatan
berbicara baru berarti bila diikuti kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara
dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi
lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab dan
sebagainya.
− Berbicara adalah proses individu berkomunikasi
Berbicara digunakan sebagai alat komunikasi, apabila dikaitkan dengan
fungsi bahasa maka berbicara digunakan sebagai sarana memperoleh
pengetahuan mengadaptasi, mempelajari lingkungannya, dan
mengontrol lingkungannya.
− Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan
ide, tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Berbicara bukan
hanya mengkomunikasikan ide, tapi juga alat untuk menciptakan dan
memformulasikan ide baru.
− Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
Siswa memerlukan kesempatan berlatih dan belajar berbicara karena
tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui latihan.
Berbicara adalah tingkah laku yang harus dipelajari, baru bisa dikuasai.
Menurut Tarigan (dalam Resmini dkk 2009:152) keterampilan berbicara

61
siswa harus dibina oleh guru melalui latihan pengucapan, pelafalan,
pengontrolan suara, pengendalian diri, pengontrolan gerak-gerik tubuh,
pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya, pemakaian bahasa yang baik,
dan pengorganisasian ide.
− Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Berbicara adalah ekspresi diri, bila seorang pembicara kaya dengan
pengalaman, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan
pengetahuan atau pengalamannya. Bila pembicara miskin pengetahuan
dan pengalaman maka yang bersangkutan akan mengalami kesukaran
berbicara.
− Berbicara sarana memperluas cakrawala
Berbicara dapat digunakan untuk mengekspresikan ide, perasaan,
imajinasi dan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala
pengalaman. Dari rasa takjub terhadap keadaan sekitarnya, anak akan
terus bertanya sehingga akan bertambah cakrawala mereka.
− Kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat
Anak merupakan produk lingkungan, jika dalam lingkungan hidupnya
ia sering diajak berbicara dan segala pertanyaan diperhatikan dan
dijawab, serta lingkungan itu sendiri menyediakan kesempatan untuk
belajar dan berlatih berbicara maka dapat diharapkan anak tersebut
terampil berbicara.
− Berbicara adalah pancaran pribadi
Salah satu aspek yang dapat dijadikan acuan kepribadian adalah
bagaimana seseorang itu berbicara. Berbicara pada hakikatnya
melukiskan apa yang ada dalam hati, pikiran, perasaan, keinginan, ide
dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara merupakan gambaran
kepribadian.
Pembicaraan merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu
begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan (Ochs and Winker
dalam Tarigan, 2015:17). Berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari
kegiatan berbicara menurut Tarigan (2015:17), antara lain:
− Membutuhkan paling sedikit dua orang
− Pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi,
misalnya oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa
beserta maknanya.
− Mempergunakan satu sandi linguistik yang dipahami bersama
− Bahkan andaikatapun dipergunakan dua bahasa, namun saling
pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya.
− Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum

62
− Daerah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah
dikenal/ditentukan, namun pembicaraan menerima kecenderungan
untuk menemukan satu diantarana.
− Merupakan suatu pertukaran antar partisipan
− Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam
pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak.
− Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada
lingkungannya dengan segera.
− Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang
nyata atau yang diharapkan, dari sang penyimak, dan sebaliknya. Jadi
hubungan itu bersifat timbal balik atau dua arah.
− Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini
− Hanya dengan bantuan berkas grafis material, bahasa dapat luput dari
kekinian dan kesegeraan.
− Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus)
− Walau kegiatan-kegiatan dalam pita audio-lingual dapat melepaskan
gerak-visual dan grafik material, namun sebaliknya tidak akan terjadi.
− Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang
nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.
Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan
mencakup bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi
juga secara tidak terbatas dunia gagasan yang lebih luas yang harus mereka
masuki karena mereka dan manusia berbicara sebagai titik pertemuan kedua
wilayah ini tetap memerlukan penelaahan serta uraian yang lebih lanjut dan
mendalam (Brooks dalam Tarigan, 2015:18). Menurut Tarigan (2015:16), tujuan
utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan
pikiran secara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala
sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Ada tujuh tujuan berbicara yang
dikemukakan Tarigan, yaitu:
− Berbicara untuk menghibur
Difokuskan pada kegiatan berbicara untuk menyenangkan pendengar
dengan bebagai cara. Biasanya berbicara dengan tujuan menghibur ini
banyak dilakukan oleh pelawak atau orang yang biasanya melucu.
− Berbicara untuk menginformasikan
Dilaksanakan bila seseorang ingin menjelaskan suatu proses,
menguraikan, menafsirkan atau mengionterpretasikan sesuatu hal,
memberi, meneybarkan atau menanamkan pengetahuan, menjelaskan
kaitan hubungan relasi antar benda atau peristiwa.
− Berbicara untuk menstimulasi

63
Pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, meyakinkan
pendengarnya agar turut pada keingina pembicara.
− Berbicara untuk meyakinkan Berbicara untuk meyakinkan
pendengarannya akan sesuatu agar apa yang dibicarakan dapat dituruti
dan dipahami kebenarannya.
Berbicara untuk menggerakan Berbicara dengan tujuan menstimulasi dan
meyakinkan pada akhirnya dapat menggerakan pendengar yang
mendengarkan.
Menurut Tarigan (2015), paling sedikit ada lima landasan yang
digunakan dalam mengkasifikasi berbicara. Kelima landasan tersebut adalah
situasi, tujuan metode penyampaian, jumlah penyimak, peristiwa khusus, dan
situasi. Aktivitas berbicara tidak mungkin berlangsung tanpa situasi, dan
lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau
resmi maupun bersifat imformal atau tak resmi. Dalam situasi formal
pembicara dituntut berbicara secara formal, sebaliknya dalam situasi tak
formal pembicara harus berbicara secara tak formal. Jenis-jenis kegiatan
berbicara informal meliputi: tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan
berita, menyampaikan pengumuman, bertelepon, dan memberi petunjuk
(logan dkk, dalam tarigan 2015). Selain itu, ada pula jenis-jenis kegiatan
berbicara formal, yaitu: ceramah. perencanaan dan penilaian, wawancara,
prosedur parlementer, dan bercerita (Logan dkk, dalam Tarigan 2015).
Arsjad (1987:35), menuliskan bahwa jenis-jenis berbicara antara lain
diskusi kelompok meliputi diskusi panel, simposium, seminar, lokakarya,
brainstorming, pidato dan ceramah. Untuk dapat berdiskusi, di samping
menguasai maetri juga dituntut mempunyai pengetahuan tentang diskusi
tersebut. Memiliki kemampuan berbicara dalam kelompok akan membantu
keterampilan berbicara secara individual. Tarigan (2015: 24) mengatakan
bahwa secara garis besar, berbicara dapat dibagi atas:
Berbicara dimuka umum pada masyarakat (public speaking) yang mencakup
empat jenis, yaitu:
− Berbicara dalam situasi-situasi yang memberitahukan atau
melaporkan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan atau
pesahabatan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mengajak,
mendesak, dan meyakinkan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan
tenang dan hati-hati.
Berbicara pada konferensi (conference speaking) yang meliputi:

64
Diskusi kelompok (group discussion), yang dapat dibedakan menjadi (1) tidak
resmi atau informal: kelompok studi (study group), kelompok pembuat
kebijaksanaan (policy making groups), dan komik, serta (2) resmi (formal) yang
mencakup: konferensi, diskusi panel, dan symposium, prosedur parlementer
(parlementary prosedure), serta debat.
Menurut Arsjad (1987:87) untuk mengefektifkan berbicara, pembicara
perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor
kebahasaaan antara lain:
− Ketepatan ucapan, yang meliputi ketepatan pengucapan vokal dan
konsonan.
Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkanperhatianpendengar. Artikulasi dan pola ucapan setiap siswa
berbeda, masing-masing orang mempunyai ciri tersendiri.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun
upaya kearah tersebut sudah lama dikemukakan, bahwa ucapan atau lafal
yang baku dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciriciri
dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah. Misalnya dalam pelafalan huruf,
suku kata dan kata yang belum sesuai dengan pelafalan dalam bahasa
Indonesia, seperti misalnya pelafalan /c/ dengan /se/, dalam kata WC
dilafalkan /we-se/ seharusnya /we-ce/, kata AC dilafalkan /a-se/
seharusnya /a-ce/.
− Penempatan tekanan.
Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai
akan menunjukkan daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan
merupakan faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Kurang tepatnya
pembicara dalam peempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme akan
menimbulkan perhatian pendengar berbalih kepada cara berbicara
pembicara, sehingga topik atau pokok pembicaraan kurang diperhatikan.
− Penempatan persendian.
− Penggunaan nada taua irama.
− Pilihan kata.
− Pilihan ungkapan.
− Variasi kata.
Kata dan ungkapan yang digunakan dalam berbicara hendaknya
baik, konkret dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik akan
sesuai dengan keadaan pendengarnya. Pilihlah kata yang jelas agar mudah
dipahami oleh pendengar.
− Tata bentukan.

65
− Struktur kalimat.
Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan
atau uraian tentang sesuatu. Pembicaraan yang menggunakan kalimat
efektif akan lebih memudahkan pendangar menangkap isi pembicaraan.
− Ragam kalimat.
Sementara itu, faktor nonkebahasaan yang dimaksudkan antara lain
yaitu:
− Keberanian dan semangat.
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau
pendapat secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang
sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang yang mengemukakan ide atau
pendapat, harus memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
− Kelancaran.
Dalam berbicara harus memiliki sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku.
Bersikap wajar berbarti bersikap biasa sebagaimana adanya tidak mengada-
ada. Sikap yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak
gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Dan sikap tenang dapat
menjadikan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar.
− Kenyaringan suara.
Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang
keaktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan
dengan situasi, tempat, jumlah pendengar yang ada.
− Pandangan mata.
Pada waktu berbicara pandangan harus diarahkan pada lawan pembicara,
baik dalam pembicaraan perseorangan ataupun kelompok.
− Gerak-gerik dan mimik.
Salah satu kelebihan dalam kegiatan berbicara dibandingkan dengan
kegiatan berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik
yang dapat memperjelas atau menghidupkan pembicaraan.
− Keterbukaan.
Keterbukaan dalam menghargai pendapat orang lain berarti menghormati
atau mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar ataupun
tidak.
− Penalaran.
Seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu, cara
berfikir yang logis untuk sampai pada simpulan. Hal itu menunjukkan
bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-
pokok pikiran logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya.
− Penguasaan topik.

66
Penguasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok
pembicaraan. Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memiliki
kesanggupan untuk mengemukakan topik itu kepada para pendengar.
Taraf kemampuan berbicara peserta didik ketika masuk persekolahan
sangat bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap, atau kurang.
Ada peserta didik yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit
atau letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu
wadah dalam taraf sederhana. Beberapa peserta didik lainnya masih malu-
malu dan takut berdiri di hadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita
lihat beberapa peserta didik berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya
bila ia dihadapkan peserta didik pada lainnya Djago Tarigan, dalam Resmini
(2012). Kondisi peserta didik seperti ini digambarkan tadi, hendaknya menjadi
landasan ketika guru melaksanakan pembelajaran berbicara di kelas. Artinya
kemampuan peserta didik itu beragam sesuai dengan latar belakangnya
masing-masing. Oleh karena itu, kemampuan awal peserta didik dalam
berbicara harus menjadi catatan guru pada waktu pembelajaran berbicara
dilaksanakan. Hal ini keliru bila seorang guru memperlakukan setiap peserta
didik sama pada waktu berbicara. Bila itu terjadi, maka peserta didik yang
masih malu-malu atau takut berbicara di hadapan temannya tetapi disamakan
dengan peserta didik yang sudah lancar dan berani berbicara, akan mendapat
hambatan. Sebaliknya kemampuan setiap peserta didik diukur dari awal
kemampuan peserta didik itu sendiri yang jelas berbeda-beda.
Menurut Ari (2012) berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa
yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh
keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara
atau berujar dipelajari dan dipahami secara berkelanjutan terutama di sekolah.
Berbicara berhubungan dengan perkembangan kosa-kata yang diperoleh sang
anak melalui kegiatan menyimak dan membaca di sekolah. Siswa yang belum
matang dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan
dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu disadari bahwa keterampilan-
keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara efektif dalam
keterampilan berbahasa yang lainnya.
Anak SD sudah mampu memahami tata bahasa dengan baik, kosa
kata yang dikuasai mencapai kurang lebih seribu kata. Pada masa ini,
anakanak jarang menggunakan kalimat-kalimat pasif, serta kalimat-kalimat
yang menyatakan lampau. Pada usia ini, kemampuan berbicara anak menjadi
sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka berbicara dalam kalimat yang
lebih panjang dan lebih rumit. Mereka lebih banyak menggunakkan kata
hubung, kata depan dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan

67
dapat menangani semua bagian pembicaraan. Selain itu, anak-anak pada usia
SD berbicara dengan lancar, benar dan dapat dimengerti.
Berikut ini merupakan tahapan perkembangan bicara anak (Ari:
2012)
Kurang dari 1 tahun
− Belum dapat mengucapkan kata-kata
− Belum dapat mengungkapkan bahasa dalam arti yang sebenarnya
− Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa
Usia 1 tahun
− Mulai mengoceh
− Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
− Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik
− Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-
ciri perkembangan yang universal
− Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan
memiliki arti konkret (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar
anak)
− Mulai pengenalan semantik
Usai 2 tahun
− Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata
− Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan
dalam ucapan-ucapan tanpa kata petunjuk, kata depan atau betnuk lain
yang seharusnya digunakan
− Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan
betnuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu
terjadinya peristiwa.
− Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
Usia taman kanak-kanak
− Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata
− Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan
berbagai betnuk kalimat
− Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru
Usia sekolah dasar
− Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis
− Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa
Usia remaja
− Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya
identitas diri
− Usia ini merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa

68
Usia dewasa
− Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu
dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa sesuai dengan
tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan.

Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan agar siswa dapat


mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi sesuai dengan konteks
peristiwa tutur secara efektif dan santun. Pembelajaran keterampilan berbicara
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi
yang bersifat produktif lisan secara efektif, baik yang dilakukan di luar kelas
maupun di dalam kelas. Di luar kelas, siswa yang terampil berbicara tentunya
akan lebih mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan
santun. Adapun di dalam kelas, keterampilan berbicara sangat penting dalam
menunjang keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran lain yang
menuntut siswa untuk terampil melakukan diskusi, melaporkan, menceritakan
kembali, menjelaskan, mendeskripsikan, dan menjawab pertanyaan guru, dan
berbagai bentuk kegiatan berbicara lainnya. Tentu saja, keterampilan berbicara
tidak hanya terkait dengan aspek berbahasa produktif lisan saja, namun siswa
juga dituntut memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang luas
yang mendukung kualitas pembicaraan yang dilakukannya.
Dalam standar kompetensi lulusan untuk keterampilan berbicara
adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan,
dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana,
wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan
benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil
pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak
berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. Standar kompetensi lulusan
tersebut dicapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran keterampilan
berbicara berdasarkan standar kompetensi mulai kelas I sampai dengan kelas
VI. Menurut Soelestijono (2012), dalam pembelajaran berbicara, halhal yang
penting diperhatikan guru antara lain:
− Upaya kegiatan berbahasa yang dilakukan bersiat alamiah dan
kontekstual
− Pastikan pembelajaran berbicara dilakukan dalam bentuk aktivitas
berbicara atau mengucapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara
lisan oleh siwsa
− Kegiatan berbicara mensyaratkan siswa untuk berani mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan. Sebelum penugasan
kegiatan berbicara, pastikan bahwa siswa yang bersangkutan telah
memiliki keberanian untuk berbicara. Jika belum, guru dapat melatih
keberanian berbicara dulu melalui berbagai metode dan strategi

69
pembelajaran. Coba diskusikan dengan teman di samping Saudara
tentang metode dan strategi pembelajaran yang dapat dilakukan guru
untuk membiasakan siswa berani berbicara.
− Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif,
pembelajaran berbicara disarankan dilakukan secara terpadu dengan
pembelajaran aspek keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun
antarmata pelajaran
3. KETERAMPILAN MEMBACA
a) Pengertian Keterampilan Membaca
Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya
untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Hal ini
berarti membaca merupakan proses berpikir untuk memahami isi teks yang
dibaca. Oleh sebab itu, membaca bukan hanya sekedar melihat kumpulan huruf
yang telah membentuk kata, kelompok kata, kalimat, paragraf, dan wacana saja
tetapi lebih dari itu bahwa membaca merupakan kegiatan memahami dan
menginterpretasikan lambang/tanda/tulisan yang bermakna sehingga pesan
yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca.
Menurut Tarigan (2015, hlm. 7) “membaca adalah suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang
hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis”.
Membaca juga merupakan kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan
dalam bentuk cetakan (Resmini, 2007, hlm. 75). Menurut Nurgiyantoro (dalam
Kurniawati, 2012, hlm. 2) membaca merupakan aktivitas mental untuk
memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
membaca adalah suatu proses pengolahan yang bermula dari kata untuk
memperoleh pesan tertulis dengan tujuan memperoleh pemahaman yang
bersifat menyeluruh tentang isi bacaan dan merupakan kegiatan komunikasi
tidak langsung antara penulis dan pembaca.
Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran membaca dibedakan menjadi dua
tingkatan, yaitu: (1) membaca di kelas awal (untuk kelas 1, 2, 3), dan (2)
membaca dan menulis di kelas tinggi (untuk kelas 4, 5, dan 6). Di kelas awal
keterampilan membaca lebih fokus pada membaca lancar yang diwujudkan
dengan membaca nyaring untuk membaca teknis (Widyastuti, 2017). Sementara
itu, di kelas tinggi keterampilan membaca dititikberatkan pada membaca
pemahaman dalam konteks membac adalam hati, serta membaca estetis dalam
konteks membaca nyaring. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa membaca
dalam Kurikulum 2013 di jenjang MI/SD digolongkan menjadi dua yaitu: (1)
membaca permulaan (di kelas awal), dan (2) membaca pemahaman dan menulis
ilmiah serat menulis kreatif (di kelas tinggi).

70
b) Tujuan Membaca
Menurut Tarigan (2015, hlm. 9) tujuan utama membaca adalah untuk
mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan.
Berikut ini, tujuan membaca menurut Anderson (dalam Tarigan, 2015, hlm. 9-
11):
− Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang
telah dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang
telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah
yang dibuat oleh tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk
memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts).
− Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik
dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari
atau yang dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh
tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca
untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas).
− Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap
bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan
ketiga/seterusnya – setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah,
adegan-adegan dan kejadian, kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca
untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence
or organization).
− Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh
merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh
pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-
kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal.
Ini disebut membaca untuk menyimpulkan, membaca referensi (reading for
inference).
− Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa,
tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau
apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk
mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify).
− Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau hidup dengan
ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat
oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut
membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading to evaluate).
− Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana
hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita
mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini
disebut membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan
(reading to compare or contrast).

71
Untuk mencapai tujuan membaca, perlu digunakan beberapa cara dan
penekanan yang tepat agar citra rasa dalam membaca benar-benar dapat
dirasakan dengan baik. Adapun pendekatan-pendekatan yang dimaksud
adalah (Yastuti, 2012, hlm. 4):
− Membaca harus selektif, artinya kita tidak bisa melaksanakan segala sesuatu
yang kita sukai dipaksakan harus disukai oleh orang lain. Bahan bacaan yang
kita senangi belum tentu disenangi oleh orang lain (siswa).
− Individual, artinya citra rasa juga bersifat selektif bagi setiap orang. Citra rasa
terbentuk oleh karena ada kesamaan jiwa pengarang dengan pembaca.
c) Jenis-jenis Membaca
Menurut Tarigan (Dalman, 2014, hlm. 63) mengemukakan bahwa secara
garis besar membaca dibagi menjadi dua yaitu: membaca Nyaring dan membaca
dalam hati. Membaca Nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang
merupakan alat bagi guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan
orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi,
pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Adapun membaca dalam hati secara
umum dibagai menjadi dua, yaitu:
Membaca ekstensif, yakni membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak
mungkin teks dalam waktu yang sesingkat mungkin, meliputi:
− Membaca survey, merupakan membaca yang ditujukan untuk meneliti
terlebih dahulu apa yang akan ditelaah. Hal ini biasanya dilakukan sebelum
mulai membaca secara keseluruhan.
− Membaca sekilas (skimming), yakni sejenis membaca yang membuat mata
bergerak dengan cepat, melihat, memperhatikan bahan tertulis untuk
mencari dan mendapatkan informasi.
− Membaca dangkal, membaca ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang
dangkal yang bersifat luaran dan tidak mendalam dari suatu bacaan.
Membaca intensif, dibagi menjadi:
− Membaca telaah isi Membaca telaah isi ditujukan untuk mengetahui dan
menelaah isi dari teks secara mendalam.
− Membaca telaah bahasa Membaca telaah bahasa dibedakan menjadi dua,
yaitu membaca bahasa dan membaca sastra.

d) Komponen Kegiatan Membaca


Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa kegiatan membaca terdiri
dari dua komponen yaitu: a) proses membaca, dan b) produk membaca.
1) Proses Membaca
Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa proses membaca
terdiri dari 9 aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran,
pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Proses sensori visual menurut
Farida Rahim (2008: 12) diperoleh dengan pengungkapan simbol-simbol
72
grafis melalui indra penglihatan. Anak- anak belajar membedakan secara
visual simbol-simbol grafis (huruf atau kata) yang digunakan untuk
mempresentasikan bahan lisan.
Kegiatan perceptual dijelaskan Farida Rahim (2008: 12) sebagai
aktivitas mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan
pengalaman yang lalu. Aspek urutan merupakan kegiatan mengikuti
rangkaian tulisan yang tersusun secara linear, yang umumnya tampil dalam
satu halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman
merupakan aspek penting dalam proses membaca. Farida Rahim (2008: 12)
menyampaikan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman banyak akan
mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan
pemahaman kosakata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pengalaman terbatas.
Untuk memahami makna bacaan, pembaca terlebih dahulu harus
memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya. Kemudian pembaca
membuat simpulan dengan menghubungkan isi preposisi yang terdapat
dalam materi bacaan. Agar proses ini dapat berlangsung pembaca harus
berpikir sistematis, logis, dan kreatif.
Guru dapat membimbing siswa meningkatkan kemampuan berpikir
melalui membaca dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Adapun pertanyaan
pertanyaan yang diberikan sehubungan dengan bacaan tidak hanya
pertanyaan yang menghasilkan jawaban yang berupa fakta. Proses
membaca selanjutnya yaitu aspek asosiasi meliputi mengenal hubungan
antara simbol dengan bunyi bahsa dan makna (Farida Rahim, 2008: 13).
Selanjutnya, Farida Rahim (2008: 13) menerangkan bahwa masih ada aspek
proses membaca yang lain yaitu sikap atau afektif berkenaan dengan
kegiatan memusatkan perhatian, membangkitkan kegemaran membaca,
menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang membaca. Motivasi dan
kesenangan membaca sangat membantu siswa untuk memusatkan
perhatian pada membaca.
Aspek dari proses membaca yang terakhir menurut Farida Rahim
(2008: 13) adalah pemberian gagasan dimulai dengan penggunaan sensori
dan perseptual dengan latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif
serta membangun makna teks yang dibacanya secara pribadi. Makna
dibangun berdasarkan pada teks yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya
ditemui di dalam teks. Pembaca akan menghasilkan makna yang berbeda
dari teks yang sama jika pengalaman dan reaksi afektif dari pembaca
tersebut berbeda (Farida Rahim, 2008:14).

73
2) Produk Membaca
Komponen kegiatan membaca yang kedua yaitu produk membaca.
Farida Rahim (2008: 12) menjelaskan bahwa produk membaca merupakan
komunikasi dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca.
Komunikasi juga bisa terjadi dari konstruksi pembaca melalui integrasi
pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan
dalam teks. Komunikasi dalam membaca tergantung pada pemahaman
yang dipengaruhi oleh seluruh aspek proses membaca.
e) Aspek-aspek Membaca
Henry Guntur Tarigan (1985: 11) menjelaskan ada dua aspek penting dari
membaca yaitu keterampilan yang bersifat mekanis dan keterampilan yang
bersifat pemahaman. Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills)
yaitu keterampilan yang berada pada kedudukan yang lebih rendah. Aspek ini
menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) mencakup pengenalan bentuk huruf,
pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan
lain-lain), pengenalan hubungan/ korespondensi pola ejaan dan bunyi
(kemampuan menyuarakan bahan tertulis), dan kecepatan membaca bertaraf
lambat. Adapun keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills)
menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) yaitu keterampilan yang berada pada
kedudukan yang lebih tinggi. Aspek ini mencakup memahami pengertian
sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), memahami signifikasi atau makna,
evaluasi atau penilaian, kecepatan membaca fleksibel, yang mudah disesuaikan
dengan keadaan.
f) Prinsip-prinsip Membaca
Burns (1982) mengemukakan 14 prinsip pengajaran membaca. Prinsip-
prinsip yang dikemukakan didasarkan pada generalisasi hasil penelitian
tentang pengajaran membaca dan pada hasil observasi praktik membaca.
Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mengarahkan guru dalam merencanakan
pengajaran membaca. Berikut dipaparkan keempat belas prinsip tersebut.
− Membaca adalah tindakan kompleks dengan banyak faktor yang harus
dipertimbangkan.
− Membaca merupakan proses interpretasi terhadap makna dari simbolsimbol
yang tertulis
− Membaca melibatkan kegiatan mengkonstruksi makna dari passage makna
dari bagian yang tertulis
− Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk mengajarkan membaca
− Belajar membaca merupakan proses yang berkelanjutan
− Siswa harus diajari pengenalan kata yang memungkinkan mereka dapat
mengenali pelafalan dan makna kata-kata sulit secara independen

74
− Guru harus mendiagnosis kemampuan membaca siswa dan menggunakan
hasil diagnosisi tersebut sebagai dasar untuk merencanakan pengajaran
− Membaca dann keterampilan berbahasa lainnya sangat berkaitan
− Membaca merupakan bagian integral dari semua area isi pengajaran dalam
program pendidikan.
− Siswa perlu untuk mengetahui mengapa membaca itu penting
− Kesenangan membaca harus dianggap sebagai hal yang penting
− Kesiapan membaca harus dipertimbnagkan dalam semua level pembelajaran
− Membaca harus diajarkan melalui cara yang menngarahkan siswa untuk
mengalami kesuksesan
− Pentingnya dorongan untuk mengarahkan dan memantau diri dalam proses
Membaca
g) Indikator Membaca di Kelas Rendah (Membaca Permulaan)
1) Pengertian membaca di kelas rendah
Pembelajaran membaca pada kelas rendah (kelas 1, 2, 3) merupakan
pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca pada kelas
rendah tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca di kelas-kelas
berikutnya.
Membaca permulaan menekankan pada proses penyandian membaca
secara mekanikal. Membaca permulaan mengacu pada proses recoding dan
decoding. Membaca merupakan suatu proses yang bersifat fisik dan
psikologis. Proses yang bersifat fisik berupa kegiatan mengamati tulisan
secara visual. Dengan indera visual, pembaca mengenali dan membedakan
gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Melalui proses recoding,
pembaca mengasosiasikan gambar-gambar bunyi beserta kombinasinya itu
dengan bunyi-bunyinya. Dengan proses tersebut, rangkaian tulisan yang
dibacanya menjelma menjadi rangkaian bunyi bahasa dalam kombinasi kata,
kelompok kata, dan kalimat yang bermakna.
Selain itu, pembaca mengamati tanda-tanda baca untuk membantu
memahami maksud baris-baris tulisan. Proses psikologis berupa kegiatan
berpikir dalam mengolah informasi. Melalui proses decoding, gambar-
gambar bunyi dan kombinasinya diidentifikasi, diuraikan kemudian diberi
makna. Proses ini melibatkan Knowledge of the World dalam skemata yang
berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan
dalam gudang ingatan. Menurut La Barge dan Samuels proses membaca
permulaan melibatkan tiga komponen, yaitu (a) Visual Memory (VM), (b)
Phonological Memory (PM), dan (c) Semantic Memory (SM). Lambang lambang
fonem tersebut adalah kata, dan kata dibentuk menjadi kalimat. Proses
pembentukan tersebut terjadi pada ketiganya. Pada tingkat Visual Memory
(VM), huruf, kata dan kalimat terlihat sebagai lambang grafis, sedangkan

75
pada tingkat Phonological Memory (PM) terjadi proses pembunyian lambang.
Lambang tersebut juga dalam bentuk kata, dan kalimat. Proses pada tingkat
ini bersumber dari Visual Memory (VM) dan Phonological Memory (PM).
Akhirnya pada tingkat Semantic Memory (SM) terjadi proses pemahaman
terhadap kata dan kalimat.
Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memperoleh kemampuan
membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a)
lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c)
memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Pada tingkatan membaca
permulaan, pembaca belum memiliki ketrampilan kemampuan membaca
yang sesungguhnya, tetapi masih dalam tahap belajar untuk memperoleh
ketrampilan atau kemampuan membaca.
Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar mengenal
bahasa tulis. Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan
lambang-lambang bunyi bahasa tersebut,untuk memperoleh kemampuan
membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a)
lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c)
memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Membaca permulaan
merupakan suatu proses ketrampilan dan kognitif. Proses ketrampilan
menunjuk pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem,
sedangkan proses kognitif menunjuk pada penggunaan lambang-lambang
fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat.
2) Tujuan Membaca Permulaan
Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I, II, dan III.
Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan
menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat
membaca lanjut. Tujuan membaca permulaan juga dijelaskan dalam
(Depdikbud, 1994:4) yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat
sederhana dengan lancar dan tepat“.
Pelaksanaan membaca permulaan di kelas I Sekolah Dasar dilakukan
dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan
menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan
cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku
misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu kalimat.
Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan
menggunakan buku sebagai bahan pelajaran.
3) Pentingnya membaca permulaan
Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan
akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai
kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan

76
membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika
dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami
kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai.
Padahal kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang
ingin memperluas pengetahuan dan pengalaman, mempertinggi daya pikir,
mempertajam penalaran, dan memperluas wawasan, untuk mencapai
kemajuan dan peningkatan diri. Oleh sebab itu, bagaimana pun guru kelas
rendah (kelas 1,2,3) harusah berusaha sungguh-sungguh agar ia dapat
memberikan dasar kemampuan membaca yang memadai kepada anak didik.
Hal itu akan dapat tewujud melalui pelaksanaan pembelajaran yang baik.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang baik, perlu ada perencanaan
baik materi, metode, maupun pengembangannya.
4) Perkembangan Membaca Permulaan
Kemampuan awal membaca mungkin diperoleh melalui interaksi
sosial bukan melalui pembelajaran formal. Dalam kegiatan membaca cerita
yang dilakukan oleh orang tua, tampak baik orang tua maupun anak
berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Orang tua menggunakan berbagai
teknik agar anak memusatkan perhatian, mengajukan pertanyaan, dan
mendorong agar anak mencoba membaca.
Orang tua juga berperan sebagai guru sebaiknya memperkenalkan
buku-buku cerita kepada anak sedini mungkin. Tentu saja buku yang
digunakan adalah yang banyak gambarnya dan berwarna-warni sehingga
menarik perhatian anak. Pada awalnya memang anak hanya memperhatikan
gambar-gambar yang ada pada buku tersebut. Namun, apabila orang tua
kadang-kadang membacakan cerita yang ada di samping gambar-gambar
tersebut, hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang
susunan ceritanya.
Selain kegiatan membaca yang dilakukan orang tua, acara acara
televisi ada yang bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan membaca.
Sebagai contoh dora dan A Ba Ta Tsa (Neno Warisman). Melalui kegiatan-
kegiatan tersebut anak-anak secara tidak langsun mempelajari tulisan-tulisan
yang mengandung informasi yang mereka peroleh. Ada beberapa fase
perkembangan membaca, yaitu:
− Fase pramembaca (3-6 tahun) anak-anak mengenal huruf dan mempelajari
perbedaan huruf dan angka. Kebanyakan anak akan mengenal nama jika
ditulis.
− Fase ke-1 (7-8 tahun) kira-kira anak kelas dua, anak-anak memperoleh
pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata sederhana melalui cerita.
− Fase ke-2 kira-kira kelas tiga dan empat anak-anak dapat menganalisis
kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan.

77
− Fase ke-3 dari kelas empat sampai kelas dua SMP, anak dapat memahami
bacaan.
− Fase ke-4 pada akhir SMP sampai SMA anak mampu mneyimpulkan dan
mengenal maksud penulisan dalam bacaan.
− Fase ke-5 pada tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, orang dewasa
dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dan menanggapi materi
bacaan secara kritis.
5) Persiapan membaca permulaan
Berbagai tahapan dalam membaca permulaan perlu diketahui oleh
para guru. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan para guru untuk
melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang disarankan oleh para ahli.
Berikut dijelaskan tahapan-tahapan dalam membaca permulaan:
a. Darmiyati dan Budiasih menjelaskan bahwa membaca permulaan
diberikan secara bertahap. Pertama, pramembaca. Pada tahap ini, siswa
diajarkan: (1) sikap duduk yang baik, (2) cara meletakan/menempatkan
buku di meja, (3) cara memegang buku, (4) cara membalik halaman buku
yang tepat, dan (5) melihat/memperhatikan gambar atau tulisan. Kedua,
membaca. Pada tahap ini, siswa diajarkan : (a) lafal dan inotasi data dan
kalimat sederhana (menirukan guru), (b) huruf-huruf yang banyak
digunakan dalam kata dan kalimat sederhana yang sudah dikenal siswa
(huruf-huruf diperkenalkan secara bertahap sampai pada 14 huruf
(Darmiyati dan Budiasih, 1997)
b. Menurut Supriyadi, dkk., seorang guru mengajarkan membaca
permulaan anak dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut: (1) latihan lafal, baik vokal maupun konsonan; (2) latihan
nada/lagu ucapan; (3) latihan penguasaan tanda-tanda baca; (4) latihan
pengelompokkan kata/frase ke dalam satuan-satuan ide (pemahaman);
(5) latihan kecepatan mata; (6) latihan ekspresi (membaca dnegan
perasaan) (Supriyadi, 1992).
c. Sabarti Akhidah menyebutkan lima langkah dalam membaca permulaan,
yaitu: (1) menentukan tujuan pokok bahasan yang akan diberikan; (2)
mengembangkan bahan pengajaran (kartu huruf, kartu kata, kartu
kalimat); (3) cara penyamapaiannya (cara mengaktifkan dan metode yang
digunakan); (4) tahap latihan (menggunakan kartu huruf dan siswa juga
bisa dikelompokkan); (5) evaluasi (merefleksi pembelajaran dan menilai
kemampuan membaca permulaan siswa) (Sabarti, 1993)
6) Faktor yang menyebabkan anak kesulitan membaca permulaan
Membaca merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak
(Spodek dan Sacacho, 1994 dalam http://digilib.unnes.ac.id). Dalam praktek
lapangan, banyak kita jumpai pada anak usia SD, terutama di kelas rendah

78
masih terhitung banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam hal
membaca bacaan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor
internal (yang berasal dari diri pembaca) maupun faktor eksternal (yang
berasal dari luar diri pembaca). Faktor internal antara lain meliputi: minat
baca, kepemilikan kompetensi pembaca, motivasi dan kemampuan
pembacanya. Sedangkan faktor eksternal antara lain meliputi unsur-unsur
yang berasal dari lingkungan baca.
Faktor Internal
− Minat baca Minat merupakan kegiatan siswa dengan penuh
kesadaran terhadap suatu objek, oleh karena itu minat perlu
dikembangkan dan dilatih dengan pembiasaan- pembiasaan terus
menerus. Jika minat baca anak rendah maka tingkat keberhasilan
anak dalam membaca akan sulit tercapai. Minat baca anak harus
ditumbuhkembangkan sejak dini. Dan untuk membangkitkan minat
baca siswa, guru harus memberikan motivasi dan bimbingan pada
diri siswa.
− Motivasi Kegiatan pembelajaran akan berhasil dan tercapai
tujuannya jika dalam diri siswa tertanam motivasi. Motivasi dalam
proses pembelajaran berfungsi untuk: (1) fungsi membangkitkan
(arousal function) yaitu mengajak siswa belajar, (2) fungsi harapan
(expectasi function) yaitu apa yang harus bisa dilakukan setelah
berakhirnya pengajaran, (3) fungsi intensif (incentive function) yaitu
memberikan hadiah pada prestasi yang akan datang, (4) fungsi
disiplin (disciplinary function) yaitu menggunakan hadiah dan
hukuman untuk mengontrol tingkah laku yang menyimpang (Abd.
Rachman, 1993 : 115 dalam http://digilib.unnes.ac.id)
− Kepemilikan Kompetensi Membaca Keterampilan berbahasa ada
empat, yaitu : keterampilan membaca, berbicara, menyimak dan
menulis. Keterampilan dalam membaca diperlukan latihan- latihan
tahap demi tahap. Kegiatan membaca terkait dengan pengenalan
huruf, bunyi dan huruf atau rangkaian kata, makna atau maksud dan
pemahaman terhadap makna atau maksud. Jika kegiatan membaca
tidak dilakukan secara teratur maka keterampilan membaca yang
dimiliki anak akan berkurang dengan sendirinya.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini meliputi unsur-unsur yang berasal dari
lingkungan baca. Dalam hal ini sekolah sebagai pusat kebudayaan harus
menciptakan siswa yang gemar membaca melalui perpustakaan sekolah.
Sekolah harus dapat menciptakan suasana perpustakaan yang

79
menyenangkan dan memberi kenyamanan siswa dalam belajar. Lingkungan
baca sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan membaca anak. Lingkungan
baca anak yang menyenangkan akan memberi kenyamanan bagi si pembaca
dan mempermudah anak dalam membaca.
7) Kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca permulaan
Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi
pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas
rendah. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain: (a) kurang mengenali huruf
dan (b) ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf-huruf alfabetis
seringkali dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar/kapital
dan huruf kecil. Ketidakmampuan tersebut adalah sebagai berikut.
− Membaca kata demi kata. Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca
setelah membaca sebuah kata, tidak segera diikuti dengan kata berikutnya.
Hal ini disebabkan oleh gagal menguasai keterampilan pemecahan kode
(decoding), gagal memahami makna kata, dan kurang lancar membaca.
− Parafase yang salah. Dalam membaca anak seringkali melakukan
pemenggalan (berhenti membaca) pada tempat yang tidak tepat atau tidak
memperhatikan tanda baca, khususnya tanda koma.
− Miskin pelafalan. Ketidaktepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak
menguasai bunyi-bunyi bahasa (fonem).
− Penghilangan. Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak
dibaca) kata atau frasa dari teks yang dibacanya. Biasanya disebabkan
ketidakmampuan anak mengucapkan hurufhuruf yang membentuk kata.
− Pengulangan. Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam membaca
disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang menguasai huruf,
bunyi, atau rendah keterampilannya.
− Pembalikan. Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan
menggunakan orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu,
pembalikan juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf, misal
huruf b dibaca d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya dialami oleh
anak-anak kidal yang memiliki kecenderungan menggunakan orientasi
dari kanan ke kiri dalam membaca dan menulis.
− Penyisipan. Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam
kalimat yang dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca,
misalnya, anak menambah kata seorang dalam kalimat “anak sedang
bermain”.
− Penggantian. Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan
ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari makna
kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata mengunyah
maka dia menggantinya dengan kata makan.

80
− Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerakkan kepala.
Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggunakan telunjuk dan
menggerakan kepala sewaktu membaca dapat menghambat
perkembangan anak dalam membaca.
− Kesulitan konsonan. Kesulitan dalam mengucapkan bunyi konsonan
tertentu dan huruf yang melambangkan konsonan tersebut.
− Kesulitan vocal. Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan
dalam satu huruf, misalnya e selain melambangkan bunyi e juga
melambangkan bunyi é (dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan
sebagainya) huruf-huruf yang melambangkan beberapa bunyi seringkali
menjadi sumber kesulitan anak dalam membaca.
− Kesulitan kluster, diftong dan digraph. Dalam bahasa Indonesia dapat
dijumpai adanya kluster (gabungan dua konsonan atau lebih), diftong
(gabungan dua vokal), dan digraf (dua huruf yang melambangkan satu
bunyi). Ketiga hal tersebut merupakan sumber kesulitan anak yang sedang
belajar membaca.
− Kesulitan menganalisis struktur kata. Anak seringkali mengalami kesulitan
dalam mengenali suku kata yang membangun suatu kata. Akibatnya anak
tidak dapat mengucapkan kata yang dibacanya.
− Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya. Hal ini
disebabkan kurangnya penguasaan kosakata, kurangnya penguasaan
struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat dan hubungan antar
kalimat).
8) Bimbingan untuk Mengatasi Kesulitan Anak dalam Membaca Permulaan
Peran guru sebagai fasilitator sangat berpengaruh besar terhadap
perkembangan peningkatan belajar anak. Keberhasilan belajar anak tidak
lepas dari cara guru membimbing dan mendidik siswanya. Bimbingan yang
harus dilakukan guru dalam menghadapi anak yang mengalami kesulitan
membaca antara lain :
− Bimbingan terhadap anak yang kurang mengenali huruf Langkah yang
harus ditempuh guru dalam membantu anak yang mengalami kesulitan
kurang mengenali huruf ini dapat berupa: huruf dijadikan bahan
nyanyian; menampilkan huruf dan mendiskusikan bentuk
(karakteristiknya) khususnya huruf-huruf yang memiliki kemiripan
bentuk (misalnya p, b, dan d).
− Bimbingan terhadap anak yang membaca kata demi kata Langkah yang
dilakuan guru untuk mengatsi anak yang mengalami kesulitan jenis ini
adalah: Gunakanlah bacaan yang tingkat kesulitannya rendah; Anak
disuruh menulis kalimat dan membacanya dengan keras; Jika kesulitan ini
disebabkan oleh kurangnya penguasaan kosakata, maka perlu pengayaan

81
kosakata; serta Jika anak tidak menyadari bahwa dia membaca kata demi
kata, rekamlah kegiatan anak membaca dan putarlah hasil rekaman
tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang salah memparafrase. Langkah yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini yaitu dengan cara: Jika kesalahan
disebabkan ketidaktahuan anak terhadap makna kelompok kata (frasa),
sajikan sejumlah kelompok kata dan latihkan cara membacanya; Jika
kesalahan disebabkan oleh ketidaktahuan anak tentang tanda baca,
perkenalkan fungsi tanda baca dan cara membacanya; Berikan paragraf
tanpa tanda baca, suruhlah anak untuk membacanya; serta selanjutnya
ajaklah anak untuk menuliskan tanda baca pada paragraf tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang miskin pelafalan. Untuk mengatasi
kesulitan pelafalan, guru dapat menggunakan cara berikut: Bunyi-bunyi
yang sulit diucapkan perlu diajarkan secara tersendiri; Bagi anak yang
tidak dapat mengucapkan kata secara tepat berikan latihan khusus
pengucapan kata-kata tertentu yang dipandang sulit.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami penghilangan kata Untuk
mengatasi hal ini ditempuh cara: Anak disuruh membaca ulang; Kenali
jenis kata atau frasa yang dihilangkan; Berikan latihan membaca kata atau
frasa.
− Bimbingan terhadap anak yang sering mengulangi kata Upaya yang
dilakukan guru dalam hal ini antara lain: Anak perlu disadarkan bahwa
mengulang kata dalam membaca merupakan kebiasaan buruk; Kenali jenis
kata yang sering diulang; Siapkan kata atau frasa jenis untuk dialatihkan.
− Bimbingan terhadap anak yang sering melakukan pembalikan kata. Upaya
mengatasi kesulitan ini dapat dikukuhkan dengan cara sebagai berikut:
Anak perlu disadarkan bahwa membaca (dalam bahan yang
menggunakan sistem alfabetis) menggunakan orientasi dari kiri ke kanan;
Bagi anak yang kurang menguasai hubungan huruf-bunyi, siapkan kata-
kata yang memiliki bentuk serupa untuk dilatihkan; serta Latihan
hendaknya dilakukan dalam bentuk kata yang bermakna, misalnya : huruf
p dan b dilatihkan dengan menggunakan kata pagi dan bagi.
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menyisipkan kata.
Untuk mengatasi hal ini, bimbinglah anak dengan menyuruh anak
membaca dengan pelan-pelan dan mengingatkan bahwa dia telah
menambahkan kata dalam membaca.
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan mengganti suku kata.
Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara: Gunakan bahan
bacaan yang teramsuk kategori mudah; Identifikasi kata-kata yang sulit
diucapkan oleh anak; Latihkan cara mengucapkan kata-kata tersebut.

82
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menggunakan gerak
bibir, jari telunjuk dan menggerakan kepala. Untuk mengubah kebiasaan
anak yang selalu menggerakkan bibir sewaktu membaca dalam hati, dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut: Anak disuruh mengumumkan
suatu kalimat, selanjutnya suruh anak untuk mengulangi membaca
kalimat tersebut tanpa mengunyam; Jelaskan pada anak bahwa membaca
mengunyam dapat menghambat keefektifan membaca. Sedangkan untuk
menghadapi anak yang menggunakan jari telunjuk dalam membaca, dapat
dilakukan kegiatan: Perhatikan apakah anak mengalami gangguan mata;
Gunakan bacaan yang cetakannya besar dan jelas; Latihkan teknik
membaca prosa; dan Peringkatkan anak untuk tidak menggunakan jari
telunjuk dalam membaca.
− Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan
dapat dilakukan bimbingan antara lain: Kembangkan anak dalam
mendengarkan konsonan yang sulit misalnya tuliskan kata-kata yang
dimulai dengan konsonan (depan, adat, dapat, diri dan sebagainya); Suruh
anak mencari dan mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung
konsonan tersebut; Latihkan anak mengucapkan kata-kata yang di
dalamnya terkandung Konsonan.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vokal, untuk
mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini dapat dilakukan: Tanamkan
pengertian pada diri anak bahwa huruf-huruf tertentu dalam
melambangkan lebih dari satu bunyi misalnya : huruf e dapat
melambangkan bunyi e dan é; Berikan contoh huruf e yang melambangkan
bunyi e dan é dalam kata-kata; Ajaklah anak mengumpulkan kata yang di
dalamnya terkandung huruf tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan kluster, diftong dan
digraph. Untuk mengatasi kesulitan ini lakukan: Kenalkan kluster
(misalnya st, kl, gr, pr, sw), diftong (misalnya ai, oi, ui) dan digraf
(misalnya sy, ng, kh, dan ny) dalam kata atau kalimat; Tuliskan kata atau
kalimat yang mengandung kluster, diftong, dan digraf.
− Mintalah anak untuk mengumpulkan kata-kata yang di dalamnya
terkandung kluster, diftong, dan digraf; Perintahkan anak membacakan
kata-kata yang telah dikumpulkan.
− Bimbingan terhadap anak yang kesulitan menganalisis struktur kata
Untuk mengatasi kesulitan ini lakukanlah: Catatlah kata-kata yang
seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak; Perkenalkan kata-
kata yang seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak;
Perkenalkan kata-kata tersebut kepada anak dengan memanfaatkan

83
metode yang ada; Suruhlah anak mencari kata-kata lain yang sejenis dan
membacanya.
− Bimbingan terhadap anak yang sulit mengenali makna kata dalam kalimat
dan cara mengucapkannya. Untuk mengatasi anak yang mengalami
kesulitan ini lakukan: Ambil satu kata dan daftarkan kata turunannya
(misalnya kata : membaca, membacakan, dibaca, dibacakan, bacaan, dan
terbaca).
− Bimbinglah anak untuk mengenali kata baca dan turunannya yang
terdapat dalam bacaan tersebut. Alihkan pada kata lain (misalnya kata
tulis, gambar, makan, lari dan sebagainya).
h) Indikator Membaca di Kelas Tinggi
1) Pengertian Membaca di Kelas Tinggi
Pembelajaran membaca pada kelas tinggi (kelas 4,5,6) merupakan
pembelajaran membaca lanjutan. Pembelajaran membaca lanjutan diberikan
di kelas IV, V, VI yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan menyimak,
menginterpretasi, mengevaluasi, memahami ide pokok dari suatu bacaan.
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca
yang bertujuan untuk memahami: Standar atau norma-norma sesastraahn
(letery standards); Resensi kritis (critical review); Drama tulis (printed drama);
serta Pola-pola fiksi (patterns of fiction).
Membaca pemahaman adalah suatu proses untuk mengenali atau
mengidentifikasi teks, kemudian mengingat kembali isi teks. Membaca
pemahaman juga dapat berarti sebagai suatu kegiatan membuat urutan
tentang uraian/menggorganisasi isi teks, bisa mengevaluasi sekaligus dapat
merespon apa yang tersurat atau tersirat dalam teks. Pemahaman
berhubungan laras dengan kecepatan. Pemahaman atau comprehension,
adalah kemampuan membaca untuk mengerti: ide pokok, detail penting, dan
seluruh pengertian.
2) Tujuan Membaca di Kelas Tinggi
Tujuan utama dalam membaca adalah mendapatkan informasi yang
tepat dan benar. Hal ini ditegaskan oleh Rahim (2007: 11) membaca bertujuan
untuk mendapatkan informasi atau pesan dari teks. Membaca dengan tujuan,
cenderung lebih memahami dibandingkan dengan yang tidak mempunyai
tujuan. Menurut Tarigan (2008: 9) tujuan utama dalam membaca adalah
untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami
makna, arti (meaning) erat sekali hubungannya dengan maksud tujuan atau
intensif kita dalam membaca.
Hal ini sesuai pendapat Nurhayati (2009: 4) bahwa tujuan membaca
mempunyai kedudukan yang sangat penting karena akan berpengaruh pada
proses membaca dan pemahaman membaca. Resmini (2006: 94) menjelaskan

84
bahwa pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan
tersebut yaitu:
− Menikmati keindahan yang terkandung dalam bacaan.
− Membaca bersuara memberikan kesempatan kepada siswa
menikmati bacaan.
− Menggunakan strategi tertentu untuk memahami bacaan.
− Menggali simpanan pengetahuan atau schemata siswa tentang suatu
topik.
− Menghubungkan pengetahuan baru dengan schemata siswa.
− Mencari informasi untuk pembuatan laporan yang akan disampaikan
dengan lisan dan tertulis.
− Melakukan penguatan dan penolakan terhadap ramalanramalan
yang dibuat oleh siswa sebelum melakukan perbuatan membaca.
− Memberikan kesempatan kepada siswa melakukan eksperimentasi
untuk meneliti sesuatu yang dipaparkan dalam sebuah bacaan.
− Mempelajari struktur bacaan.
− Menjawab pertanyaan khususnya yang dikembangkan oleh guru
atau sengaja diberikan oleh penulis bacaan.
Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa tujuan
membaca adalah mendapatkan informasi dari bacaan sesuai dengan tujuan
masing-masing pembaca. Membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih
memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan
dalam membaca, dan akan dengan mudah memperoleh banyak pengetahuan
tentang isi, makna, arti dari suatu bahan bacaan.
3) Tahap Pembelajaran Membaca di Kelas Tinggi
Dalam proses pembelajaran khususnya di kelas tinggi ada beberapa
hal yang mendasari sistem pengajaran tersebut yaitu:
Tahap Menyimak. Dalam kegiatan menyimak ada tahapan yang harus
dilakukan oleh penyimak agar penyimak benar-benar memahami informasi
yang disimaknya. Tahapan itu adalah:
− Tahap mendengar
− Dalam tahap ini, kita baru mendengar segala sesuatu yang
dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau
pembicaraannya. Jadi kita masih berada dalam tahap hearing.
− Tahap memahami
− Setelah kita mendengar, akan ada keinginan bagi kita untuk mengerti
atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh
sang pembicara. Maka sampailah, kita dalam tahap pemahaman.
− Tahap menginterpretasi

85
− Dalam tahap ini, penyimak yang baik, yang cermat dan teliti, belum
puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang
pembicara; dia ingin menafsirkan atau rnenginterpretasikan isi,
butirbutir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu.
Dengan demikian, sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting.
− (d)Tahap mengevaluasi
− Setelah memahami serta dapat menafsir atau menginterpretasikan isi
pembicaraan, sang penyimak pun mulailah menilai atau
mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara, di mana
keunggulan dan kelemahan, di mana kebaikan dan kekurangan sang
pembicara; maka dengan demikian sudah sampai pada tahap
evaluating.
Tahap Menanggapi
− Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak; sang
penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima
gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam
ujaran atau pembicaraannya; sang penyimak pun sampailah pada
tahap menanggapi (responding). Tanggapan dapat berupa penolakan
atau pendapat.
4. KETERAMPILAN MENULIS
a) Pengertian Menulis
Menulis merupakan salahsatu keterampilan berbahasa, menulis
merupakan sebuah kegiatan untuk menuangkan ide atau gagasan ke dalam
sebuah tulisan. Menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan
gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses
menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang merupakan sistem yang
utuh. Menulis, seperti juga halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya,
merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman,
waktu, kesempatan, pelatihan keterampilan-keterampilan khusus, dan
pengajaran langsung menjadi penulis.
b) Prinsip Keterampilan Menulis
Dalam rangka mewujudkan pembelajaran menulis yang harmonis,
bermutu, dan bermartabat, harus diketahui terlebih dahulu prinsip-prinsip
pembelajaran menulis. Diharapkan prinsip-prinsip ini akan menjadi
pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran menulis sehingga
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Prinsip-prinsip pembelajaran menulis
tersebut dikemukakan Brown (2001) sebagai berikut:
− Pembelajaran menulis harus merupakan pelaksanaan praktik menulis
yang baik. Dalam hal ini guru harus membiasakan siswa menulis
dengan mempertimbangkan tujuan, memerhatikan pembaca,

86
menyediakan waktu yang cukup untuk menulis, menerapkan teknik
dan strategi menulis yang tepat, dan melaksanakan menulis sesuai
dengan tahapan penulisan.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menyeimbangkan
antara proses dan produk.
− Pembelajaran menulis harus memperhitungkan latar belakang budaya
literasi siswa.
− Pembelajaran menulis harus senantiasa dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan whole language khususnya
menggabungkan antara membaca dan menulis.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menerapkan
kegiatan menulis otentik seoptimal mungkin, menulis otentik adalah
menulis yang bermakna bagi siswa sekaligus dibutuhkan siswa dalam
kehidupannya sehari-hari.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dalam tiga tahapan yakni
tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis.
− Gunakan strategi pembelajaran menulis interaktif, kooperatif, dan
kolaboratif.
− Gunakan strategi yang tepat untuk mengkoreksi kesalahan siswa
dalam menulis.
− Pembelajaran menulis harus dilakukan dengan terlebih dahulu
menjelaskan aturan penulisan misalnya jenis tulisan, konvensi tulisan,
dan retorika menulis yang bagaimana yang harus digunakan siswa
selama tugas menulis.
Tulisan yang dibuat siswa haruslah tulisan otentik yang bermakna dan
bermanfaat bagi siswa. strategi pembelajaran interaktif, kolaboratif, dan
kooperatif merupakan strategi yang memungkinkan siswa menulis secara
tepat. Selanjutnya guru harus pula memberikan pengetahuan yang memadai
tentang jenis tulisan, konvensi penulisan, retorika dalam menulis sehingga
siswa mampu menulis sesuai dengan tujuan. Terakhir peran guru dalam
memberikan umpan balik pada siswa sangat diperlukan. Guna melaksanakan
peran ini guru harus memanfaatkan penilaian otentik atau penilaian formatif
dalam pembelajaran menulis. Selain beberapa prinsip di atas, masih terdapat
beberapa prinsip lain pembelajaran menulis. Beberapa prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
− Pembelajaran menulis hendaknya meneraokan pola tulis, pikir,
kontrol, agar siswa terbiasa menulis dan mau menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya memiliki tujuan jangka panjang agar
siswa kreatif menulis.

87
− Pembelajaran menulis hendaknya diikuti dengan penyediaan sarana
publikasi tulisan sehingga siswa lebih termotivasi menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya disertai bentuk penilaian formatif
yang tepat sehingga guru dapat secara tepat sasaran memperbaiki
kelemahan siswa dalam menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya menekankan kreativitas siswa
dalam menulis meliputi kemampuannya menulis secara orisinal,
lancar, luwes, dan bermanfaat.
− Pembelajaran menulis hendaknya dilengkapi dengan pemanfaatan
teknologi dalam menulis.
Bertemali dengan prinsip-prinsip pembelajaran menulis di atas, guru
harus benar-benar meningkatkan kompetensinya dalam hal menulis.
Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuannya menulis secara langsung
dan pengetahuannya tentang teori menulis. Selain itu, guru harus secara
kreatif menciptakan proses pembelajaran menulis yang mendorong motivasi
intrinsik siswa berkembang sehingga siswa terpacu untuk mau dan bisa
menulis. Yang tak kalah penting adalah guru harus menerapkan proses
pembelajaran menulis secara tepat berbasis proses menulis yang
sesungguhnya.

D. Latihan
Setelah Bapak/Ibu membaca dan memahami materi utama dan penunjang.
Langkah selanjutnya agar supaya terlatih dan lebih memahami kegiatan belajar
KB 2, silahkan bapak/Ibu mengerjakan tugas berikut:
“Homonim, Homofon, dan Homograf”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai penggunaan
suatu kata yang memiliki makna berbeda, tetapi lafal dan ejaannya
sama. Untuk hal demikian, kita sebut sebagai homonim. Ada juga kata
yang diucapkan sama dengan kata lain, tetapi berbeda ejaan dan
maknanya. Untuk hal ini, kita menyebutnya homofon. Sementara kata
yang ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya
disebut homograf. Buatlah masing-masing 3 contoh homonim,
homofon, dan homograf beserta. Buat juga penerapannya dalam suatu
kalimat berpola SPOK (Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan).
1. Mengkategorikan berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa.
Kasus:
Bacalah teks berikut!
Bu Siti meminta setiap siswa menceritakan gambar seri
yang dipajangnya di depan kelas. Berdasarkan tugas tersebut,

88
sebagian besar siswa kurang lancar dan kurang percaya diri dalam
menceritakan gambar. Dengan demikian, tujuan pembelajaran
yang dirumuskan Bu Siti belum dapat tercapai dengan baik.
Berdasarkan kenyataan itu, Bu Siti harus menciptakan proses
pembelajaran yang dapat membantu permasalahan yang dihadapi
sebagian besar siswanya.
Perintah:
a. Analisislah permasalahan yang dihadapi siswa pada kasus di atas sehingga
mereka kurang lancar dan kurang percaya diri dalam menceritakan gambar!
b. Tentukan pula proses pembelajaran yang efektif yang dapat dilakukan Bu
Siti dalam membantu permasalahan sebagian besar siswanya!

2. Menegaskan keterampilan membaca di kelas rendah dan kelas tinggi dan


menyimpulkan jenis-jenis membaca melalui sebuah kasus.
Kasus:
Bacalah teks berikut!
Beni adalah siswa kelas V Sekolah Dasar (SD). Ia
ditugaskan membaca teks yang ada di buku siswa. Beni membaca
teks dengan suara keras dan tangan menunjuk setiap baris bacaan.
Guru membiarkan cara Beni membaca yang demikian. Setelah
membaca teks, Beni diminta menjawab soal-soal yang
berhubungan dengan isi teks. Hasil analisis jawaban Beni,
diperoleh bahwa Beni hanya benar 2 dari 5 soal yang diberikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Beni mempunyai
kemampuan yang rendah dalam memahami isi teks.
Perintah:
a. Analisislah kesalahan Beni dalam membaca teks seperti kasus di atas
sehingga ia mempunyai kemampuan yang rendah dalam memahami isi
bacaan!
b. Kemukakan pula teknik membaca yang tepat yang harus dilakukan Beni
agar pemahaman terhadap isi teks yang dibaca meningkat!

3. Mengkategorikan menyimak sebagai suatu keterampilan berbahasa.


Kasus:
Bacalah teks berikut!
Pak Udin mengajar di kelas V SD. Pada suatu ketika, pak
Udin mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan topic
bercerita fiksi (dongeng) tentang anak durhaka. Materi tersebut

89
disampaikan dengan teknik bercerita diselingi Tanya jawab
tentang anak durhaka yang tidak mengakui ibu kandungnya
sendiri. Selama proses pembelajaran berlangsung, pak Udin
melihat beberapa siswa kurang berminat untuk mengikuti
pelajaran, mereka terlihat bercanda dengan kawan sebelahnya.
Namun, pak Udin kurang peduli terhadap anak yang kurang
perhatian tersebut. Setelah kegiatan belajar berlangsung sekitar 40
menit, pak Udin mengakhiri ceritanya dan memberikan
pertanyaan tertulis kepada siswa yang berkaitan dengan materi
yang diceritakan tadi. Pada saat mengerjakan tugas tersebut,
beberapa siswa terlihat saling bertanya tentang jawaban dari
pertanyaan yang diajukan. Pak Udin sendiri kurang peduli
terhadap apa yang dilakukan siswa ketika menjawab pertanyaan.
Pada saat pelajaran selesai, pak Udin langsung memerintahkan
kepada siswa untuk segera mengumpulkan pekerjaannya.
Perintah:
Cara mengajar pak Udin di atas kurang tepat. Sebutkan langkah-langkah
yang seharusnya dilakukan oleh pak Udin agar proses pembelajaran berjalan
secara efektif!

4. Mengkategorikan menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa.


Kasus:
Bacalah teks berikut dengan teliti!
Siswa kelas V menulis deskripsi tentang benda-benda di
sekitar. Setelah siswa selesai menulis, hasil tulisan siswa langsung
dikumpulkan dan dinilai. Berdasarkan perolehan nilai hasil
tulisan, sebagian besar tulisan siswa kurang menggambarkan
deskripsi benda secara utuh. Banyak bagian benda yang belum
dideskripsikan dengan baik. Berdasarkan permasalahan ini
disimpulkan bahwa siswa belum mampu menulis deskripsi sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Perintah:
a. Analisislah kesulitan yang dihadapi siswa ketika menulis deskripsi
berdasarkan ilustrasi kasus di atas!
b. Tentukan pula proses pembelajaran yang efektif yang dapat dilakukan guru
agar siswa mampu mendeskripsikan benda secara utuh!
c. Apakah pembelajaran di atas dapat mengadopsi salah satu dari indikator
moderasi beragama? Jelaskan pendapat saudara!

90
E. Referensi Tambahan
Untuk lebih jelasnya Bapak/Ibu dapat mempelajari materi penunjang KB
2 melalui tautan mengenai dibawah ini. Selamat belajar semoga bermafaat.
● Artikel/Jurnal/Buku/Modul:
1. https://nasiroh-ilmu.blogspot.com/2011/01/tahap-tahap-
pemerolehan-bahasa.html,
2. https://obsesi.or.id/index.php/obsesi/article/download/160/118,
https://journal.iain-
samarinda.ac.id/index.php/lentera_journal/article/view/429
3. http://research.unissula.ac.id/file/publikasi/211315023/3959t__PEME
ROLEHAN_BAHASA_PADA_ANAK.pdf,
● Video:
1. https://www.youtube.com/watch?v=TVrTQtD_4XM,
2. https://www.youtube.com/watch?v=oO_ijdIzLtc
3. https://www.youtube.com/watch?v=IOuYyiYgR98
4. https://www.youtube.com/watch?v=-smPsBInmxA
5. https://www.youtube.com/watch?v=bCUdwZ3pnuo
Selain materi di atas Bapak/Ibu dapat menambah pengayaan materi
melalui sumber lain yang berkaiatan dengan materi tersebut sehingga
pemahaman Bapak/Ibu menjadi lebih baik.

91
KEGIATAN BELAJAR 3: SASTRA ANAK

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Setelah Bapak/Ibu mempelajari materi dalam kegiatan belajar ini,


diharapkan mampu untuk menguraikan konsep dasar tentang hakikat sastra
anak secara reseptif dan produktif untuk kepentingan penyusunan desain
pembelajaran Bahasa Indonesia untuk MI/SD dengan pendekatan tematik
integratif dalam konteks pendidikan abad 21.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Adapun subcapaian dalam kegiatan pembelajaran ini adalah:


1. Menelaah hakikat sastra anak untuk MI/SD
2. Mengidentifikasi perkembangan sastra anak
3. Memahami paradigma baru pembelajaran sastra anak di MI/SD
4. Menilai konsep sastra anak sebagai displin ilmu
5. Menguraikan ruang lingkup kajian sastra anak pada kurikulum MI/SD
6. Merancang materi sastra anak dalam konteks pendidikan abad 21
7. Mengidetifikasi metode, model dan media untuk pembelajaran sastra
anak di MI/SD
8. Menelaah penilaian hasil belajar sastra anak untuk MI/SD

C. Uraian Materi

Pada bagian ini, Bapak/Ibu diajak untuk memahami kembali konsep


tentang pengertian sastra anak, perkembangan sastra anak, jenis-jenis sastra anak,
apresiasi reseptif, apresiasi produktif, dan integrasi sastra anak dalam pespektif
Islam. Berikut uraian materi pada kegiatan belajar 3:
1) Pengertian Sastra Anak
Sastra anak mencakup semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif yang
diperuntukkan sebagai bacaan dan hiburan buat anak-anak. sastra anak
menawarkan kesenangan dan pemahaman bagi anak-anak. Sastra anak erat
kaitannya dengan dunia anak-anak dan bahasa yang digunakannya pun sesuai
dengan perkembangan intelektual dan emosional anak.
Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra
orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama pada wilayah sastra yang
meliputi segala kehidupan dengan perasaan, pikiran, dan wawasan
kehidupan. Perbedaannya terletak dalam fokus pemberian gambaran
kehidupan yang bermakna bagi anak dalam suatu karya.
Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan
paparan bahasa tertentu yang menggambarakan dunia rekaan, menghadirkan

124
pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu
yang bisa dibuat oleh orang dewasa ataupun anakanak. Sastra anak-anak
bukan dibatasi oleh siapa pengarangnya, melainkan untuk siapa karya itu
diciptakan. Dengan demikian sastra anak-anak boleh saja hasil karya orang
dewasa, tetapi berisikan cerita yang mencerminkan perasaan anak-anak,
pengalaman anak-anak serta dapat dipahami dan dinikmati oleh anak-anak
sesuai dengan pengetahuan anak-anak. Bacaan seperti itulah yang harus
disediakan sebagai bahan pembelajaran bahasa di Sekolah Dasar.
Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak-
anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya
ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi
mereka. Norton (Hartati, 2017) menjelaskan bahwa sastra anak-anak adalah
sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui
pandangan anak-anak. Namun demikian, dalam kenyataannya, nilai
kebermaknaan bagi anakanak itu terkadang dilihat dan diukur dari perspektif
orang dewasa.
Sastra anak-anak menempatkan anak-anak sebagai fokusnya. Ada yang
mengartikan bahwa, sastra anak-anak itu adalah semua buku yang dibaca dan
dinikmati oleh anak-anak. Pernyataan ini kurang disepakati oleh Sutherland
dan Arthburnot (Hartati, 2017), karena sastra anak-anak bukan hanya buku
yang dibaca dan dinikmati anak-anak, tetapi juga ditulis khusus untuk anak-
anak dan yang memenuhi standar artistik dan syarat kesastraan.

2) Perkembangan Sastra Anak


Dalam Buku yang berjudul Pedoman Penelitian Sastra Anak yang
ditulis oleh Riris K. Toha Sarumpaet dijelaskan bahwa sejak masa prasejarah
hingga abad 15, semua kisah boleh kita sebut masih beredar melalui
penceritaan lisan dan sastra anak secara formal dan institusional dimulai pada
abad 19. Bermula dari tradisi lisan hingga ke tradisi tulis dengan mulai
dicetaknya buku cerita, apakah yang terjadi dalam sejarah sastra anak?
Menurut Muck, Hepler, dan Hickman (1993), penceritaan lisan tetap digemari
dan digunakan hingga abad 19. Hadirnya mesin cetak ciptaan Gutenberg pada
1450-an mendorong William Caxton, seorang pengusaha dari Inggris untuk
mencetak antara lain Book of Courtesy (1477) dan Aesop's Fables (1484).^ Masa
abad 15- 16, anak mulai diperkenalkan pada buku "sastra" yang pertama,
dengan hadirnya hornbook yang terbuat dari kayu "ditempeli perkamen berisi
alfabet, vokal (huruf hidup), dan Doa Bapa Kami" (Muck, Hepler, dan Hickman
1993: 111). Pada abad 17 dan 18, kalangan Puritan" hanya mengeluarkan buku
ajaran agama demi keselamatan jiwa anak-anak yang membacanya. Pada masa
itu, sejak dini anak-anak diajari untuk takut kepada Tuhan. Buku-buku serupa
ini berlanjut hingga datangnya kisah-kisah mengenai peri dan petualangan,

125
seperti Tales of Mother Goose yang diterbitkan oleh Charles Perrault pada
1697. Demikian pula John Newbery mulai menerbitkan buku untuk anak pada
1744, misalnya yang berjudul A Little Pretty Pocket BookJ Betapa pun masih
sangat didaktis, upaya secara khusus menulis untuk anak pada masa itu
merupakan gerakan yang sangat besar dan berdampak. Makin terasa bahwa
sastra anak makin diperlukan dan makin diperlakukan secara benar.
Hans Christian Andersen menulis Wonderful Stories for Children pada
1846. Mulailah pada abad ini kita kenal cerita keluarga berjudul Little Women
karya Louisa May Alcott(1869),^ kisah petualangan The Swiss Family
Robinson karya Johann David Wyss (1814), cerita-cerita binatang, sajak-sajak,
dan kisah fantasi yang termashur serta betul-betul hanya berurusan dengan
perasyikan Alice's Adventure in Wonderland (1864). Demikian seterusnya
berkembang kehidupan sastra anak di dunia (terutama negara maju), dan
menjadi sangat maju dan bergengsi seperti sekarang ini. Penelitian sastra anak
berlangsung secara akademik. Teori-teori juga berkembang. Komunitas ilmiah
sastra anak juga bertumbuh subur.( Riris K. Toha Sarumpaet, 2010).
Di Indonesia perkembangan sastra anak belum jelas kapan mulai ada.
Hasil penelitian Chistantiowati menunjukkan bahwa pada tahun 1800-an
sudah ada bacaan yang diperuntukkan untuk anak-anak. Berdasarkan
penelitian setelah kemerdekaan, bacaan anak-anak Indonesia belum begitu
mendapatkan perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga berada banyak
memiliki dan membaca karya-karya sastra. Pada tahun 1970-an pemerintah
mengadakan proyek pengadaan buku INPRES untuk mendukung
pertumbuhan perbukuan dan sastra anak di Indonesia. Kemudian secara
konsisten sastra anak semakin berkembang di Indonesia. Pada tahun 1997
terbitlah penghargaan Adikarya IKAPI yang hingga saat ini masih rutin
menilai dan menghargai bacaan anak yang terbit di Indonesia. Hingga saat ini
penerbitan buku anak semakin membaik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra
memberikan banyak manfaat dalam kehidupan ini baik untuk orang dewasa
maupun untuk anak (Purbarani Jatining Panglipur, dkk, 2017).
Adapun tahap perkembangan Kemampuan Mengapresiasi Sastra Anak
sebagai berikut:
a. Usia 1-2 tahun: rima permainan, macam-macam tindakan (sedikit
memperhatikan kata-kata)
b. Usia 2-7 tahun: anak mampu memahami struktur cerita: secara simbolik
melalui bahasa, permainan dan gambar. Demikian pula anak memahami
alur atau hubungan cerita (pendahuluan, klimaks, antiklimaks, dan
penutup).

126
c. Usia 7-11 tahun (operasi konkret): tanggapan yang fleksibel, memahami
struktur sebuah buku, alur sorot balik dan identifikasi berbagai sudut
pandang cerita.
d. Usia 11-13 tahun ke atas (operasi formal): mampu berpikir abstrak, bernalar
dari hipotesis ke simpulan logis. Mereka dapat menangkap alur dan
subalur dalam pikirannya. Adakalanya terjadi perbedaan minat antara
anak lelaki dan perempuan.

3) Jenis-jenis sastra anak


Sastra anak-anak sebagai sumber pembelajaran bahasa di sekolah dasar
terdiri atas berbagai genre, yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah,
fantasi, fiksi ilmiah, sastra tradisional, puisi, biografi, dan otobiografi. Semua
genre tersebut dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi asal disesuaikan
dengan kondisi dan tingkat perkembangan anak-anak (Huck, 1987; Rothelin,
1991). Cerita yang sesuai untuk anak-anak:
− Prasekolah-Kelas I SD cerita yang digemari adalah cerita-cerita lugas,
singkat yang akrab dengan dunia mereka: fabel, anakanak, rumah,
manusia, mainan, humor, sajak-sajak dongengan, sajak-sajak merdu
dengan rima-rima yang indah.
− Usia 6-10 Tahun. Kelas I - IV SD: cerita binatang, cerita anak di negeri
lain, hikayat lama dan baru.
− Usia 11-14 Tahun. Kelas V - VI SD: membutuhkan cerita nyata, cerita
tentang kehidupan orang dewasa, cerita pahlawan, dan cerita-cerita
yang mengajarkan tentang cita-cita pribadi, petualangan,
kepahlawanan, biografi, otobiografi, mite, legenda.
a) Buku Bergambar
Gambar berperan sangat penting bagi anak-anak kelas awal SD
sebelum dapat membaca kata tertulis. Anak-anak TK dan SD awal dapat di
bantu oleh buku bergambar untuk mengenalkan tulisan yang dapat dibaca.
Dengan buku bergambar yang baik, anak-anak juga akan terbantu
memahami dan memperkaya pengalamannya dari cerita (Rothelin, 1991).
Oleh karena itu, secara umum buku untuk anak-anak diperkaya oleh
gambar, baik gambar sebagai alat penceritaan maupun gambar sebagai alat
ilustrasi.
Buku-buku bergambar dimaksudkan untuk mendorong ke arah
apresiasi dan kecintaan terhadap buku. Selain ceritanya yang secara verbal
harus menarik, gambar pun mempengaruhi minat murid untuk membaca
cerita. Oleh karena itu, gambar dalam cerita anak-anak harus hidup dan
komunikatif.
Buku bergambar dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis.
Rothelin dan Meinbach (1991) membagi tipe buku bergambar ini dalam (1)

127
buku abjad, (2) buku berhitung, (2) buku konsep, (4) buku bermain, dan (5)
buku cerita bergambar. Buku berhitung, abjad, konsep, dan bermain
biasanya berisi informasi. Fungsi dari keempat buku ini adalah untuk
memberikan pesan khusus. Setiap gambar yang disajikan untuk suatu objek
atau ide tertentu akan memberikan ilustrasi terhadap objek atau ide itu.
Contohnya adalah gambar burung nuri untuk menunjukan huruf /n/.
Gambar lima ekor gajah untuk menunjukkan angka 5.
Buku cerita bergambar adalah buku bergambar tetapi dalam bentuk
cerita, bukan buku informasi. Dengan demikian buku cerita bergambar
sesuai dengan ciri-ciri buku cerita, mempunyai unsur-unsur cerita (tokoh,
plot, alur). Buku cerita bergambar ini dapat dibedakan menjadi dua jenis (1)
buku cerita bergambar dengan kata-kata, (2) buku cerita bergambar tanpa
kata-kata. Kedua buku tersebut biasanya untuk prasekolah atau murid
sekolah dasar kelas awal.
b) Fiksi Relistik (Realistic Fiction)
Fiksi realistik ini umumnya mengisahkan kehidupan sekitar anak,
mengisahkan tentang keluarga, teman, dan kehidupan dalam masyarakat.
Cerita realistik (kontemporer) sebagai salah satu jenis (genre) sastra anak-
anak merupakan cerita yang sarat dengan isi yang mengarahkan anak pada
proses, pemahaman, dan pengenalan yang baik tentang alam, lingkungan,
serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri maupun
orang lain.
Fiksi realistik adalah tulisan imajinatif yang merefleksi kehidupan
secara akurat pada masa lampau atau sekarang (Huck, 1987). Bila disebut
fiksi realistik kontemporer maka lebih cenderung berkisar tentang
kehidupan nyata yang terjadi pada masa sekarang. Fiksi realistik ini
umumnya mengisahkan kehidupan sekitar anak, mengisahkan tentang
keluarga, teman, dan kehidupan dalam masyarakat.
Tema-tema dalam cerita fiksi realistik (kontemporer) dapat dibagi
dalam beberapa jenis. Tema-tema dalam cerita fiksi realistik (kontemporer)
dapat dibagi dalam beberapa jenis. Stewig (1980) mengungkapkan tema-
tema cerita fiksi realistik tersebut (1) tema keluarga, (2) berteman, (3)
tumbuh dewasa, (4) petualangan, (5) masalahmasalah manusiawi, (6) hidup
di masyarakat majemuk. Rothelin (1991) mengungkapkan bahwa tema-tema
fiksi realistik berfokus pada masalah sehari-hari (1) isu keluarga, (2) gaya
kehidupan modern, (3) pertumbuhan, (4) masalah interpersonal, (5)
rintangan-rintangan, (6) kematian, (7) persamaan hak pria dan wanita.
c) Fiksi Sejarah
Fiksi sejarah adalah cerita realistik yang disandarkan pada masa yang
lalu/latar waktunya masa lalu (Stewig, 1980; Rothelin, 1991). Dengan
demikian fiksi sejarah berfungsi untuk menambah pengalaman pembaca
128
yang dapat dihayati dari kejadian masa lalu, perspektif untuk masa yang
akan datang, dan memberi pemahaman dan kepercayaan adanya nilai dan
kehidupan masa lalu.
Menurut Stewig (1980) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam cerita fiksi sejarah (1) cerita sejarah harus menarik
dan memenuhi tuntutan keseimbangan antara fakta dan fiksi, (2) harus
secara akurat merefleksi semangat atau jiwa dan nilai yang terjadi pada
waktu itu, (3) penulis harus berpijak pada tempat sejarah (histografi), (4)
keotentikan bahasa harus diperhatikan, dan (5) harus mendramatisasi fakta-
fakta sejarah.
d) Fiksi Ilmu (Science Fiction)
Fiksi ilmu adalah suatu bentuk fantasi yang berlandaskan hipotesis
tentang ramalan yang masuk akal karena berlandaskan metode ilmiah
(Huck, 1987). Alur, tema, dan latarnya secara imaj inatif didasar kan pada
pengetahuan, teori, dan spekulasi ilmiah (Sudjiman, 1984). Misalnya tentang
perjalanan ruang angkasa petualangan di planet. Fiksi ilmu memberi
kesempatan anak untuk menghipotesis mengenai keadaan yang akan
datang dengan mengimajinasi dan memprediksikannya. Fiksi ilmu
menantang anak untuk percaya dan memperkuat apa yang dapat dicapai,
sesuatu yang ada pada bayangan atau pikirannya. Hal ini memungkinkan
anak mengevaluasi bagaimana mereka hidup dengan kehidupannya dan
perubahan yang bagaimana yang akan diperbuat.
e) Cerita Fantasi
Cerita fantasi merupakan cerita khayal yang terdiri atas beberapa
jenis. Cerita yang sangat bervariasi itu memiliki persamaan dan perbedaan
dan berakar dari cerita terdahulu, yaitu cerita rakyat, legenda, mitos, dan
cerita-cerita kemanusiaan lainnya.Cerita fantasi memiliki beberapa jenis dan
variasi. Setiap jenis ceritanya memiliki ciri-ciri khusus yang kadang-kadang
memiliki unsur kesamaan maupun persamaan jika dibandingkan dengan
jenis cerita lainnya. Stewig (1980) menguraikan jenis-jenis fantasi yaitu (1)
fantasi sederhana untuk anak-anak kelas awal, (2) dongeng rakyat, (3) cerita
binatang dengan kemampuan khusus, (4) ciptaan yang aneh, (5) cerita
manusia dengan kemampuan tertentu, (6) cerita boneka mainan, (7) cerita
tentang benda-benda gaib, (8) cerita petualangan, (9) cerita tentang kekuatan
jahat/gaib, dan (10) cerita tumbuhan dengan kemampuan tertentu.
f) Biografi
Biografi adalah kisah tentang riwayat hidup seseorang yang ditulis
orang lain (Sudjiman, 1984). Bila riwayat hidup itu ditulis sendiri,
dinamakan autobiografi. Suatu cerita kehidupan bisa dibuat menjadi sebuah
fiksi atau bisa pula dibuat fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang dapat
didokumentasikan sebagai buku informasi. Contoh biografi misalnya: (1)

129
Mohamad Toha Pahlawan Bandung Selatan karya Min Resmana, (2) Imam
Bonjol karya B. Waluyo, (3) Raden Wijaya Pendiri Kerajaan Majapahit karya
Soepono, (4) Semasa Kecil karya Sudharmono, dan (5) Bangkitnya Pejuang
Kemanusiaan karya Junaidi Dirhan.
g) Puisi
Istiah puisi anak-anak memiliki dua pengertian yaitu (1) puisi yang
ditulis oleh orang dewasa untuk anak-anak dan (2) puisi yang ditulis oleh
anak-anak untuk dikonsumsi mereka sendiri. Pada dasarnya puisi anak dan
orang dewasa hanya sedikit perbedaannya, yaitu dalam segi bahasa, tema
dan ungkapan emosi yang digambarkannya. Puisi anak dilihat dari dunia
citraannya digambarkan dalam things dan sign yang sesuai dengan dunia
pengalaman anak. Jika dicermati keduanya memiliki implikasi perspektif
dan pengungkapan terhadap dunia anak dengan cukup tajam. Berikut
beberapa contoh puisi anak;

CONTOH PUISI ANAK


Taman Bungaku
Taman bungaku
Bila kupandang
Hatipun senang
Tamanku cantik
Sangatlah menarik
Taman bungaku
Berserilah selalu
Jangan pernah kau layu
Karena aku kan bersedih sedu
Oh angin dari segala rindu
Mampirlah ke tamanku
Sebarkanlah harum bungaku
Ke segala penjuru

Karya: Ni Komang Juniari.Kls.IV,SDN 5 Jungutan,06/03/2015.

4) Pembelajaran Sastra Anak di Sekolah Dasar


Salah satu hal penting yang menjadi fokus dalam implementasi
Kurikulum 2013 adalah pembelajaran abad ke-21. Pada kurikulum 2013
diharapkan dapat diimplementasikan pembelajaran abad ke-21. Hal ini

130
menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif. Adapun pembelajaran
abad ke-21 mencerminkan empat hal yakni; (1) kemampuan berpikir kritis
(critical thinking skill), (2) Kreativitas (creativity), (3) Komunikasi
(communication), dan (4) Kolaborasi (collaboration).
Kedudukan pembelajaran sastra berada dalam upaya meningkatkan
kemampuan kreativitas peserta didik. Hal ini dikarenakan di sekolah dasar,
pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi karya sastra
berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal,
serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara,
membaca dan menulis.
Materi sastra sangat penting untuk disampaikan di sekolah, karena
dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara
perspektif, pembaca diberikan kebebasan mengambil manfaat dari sudut
pandangnya sendiri. Melalui karya sastra juga siswa akan ditempatkan sebagai
pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra, dan perkembangan
pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra akan memperkaya
perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung
kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi
narasi.
Bagi guru, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sastra
adalah, hendaknya guru menyadari prinsip ganda yang terdapat dalam karya
sastra yaitu pertama, sastra sebagai pengalaman. Pengalaman yang dimaksud
adalah apa saja yang terjadi dalam kehidupan kita untuk dihayati, dinikmati,
dirasakan, dipikirkan sehingga kita dapat lebih berinisiatif. Kedua, sastra
sebagai bahasa. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-simbol bahasa yang
dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra
juga digunakan untuk memberikan informasi, mengatur, membujuk dan
bahkan membingungkan orang lain. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-
simbol bahasa yang dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai
dalam karya sastra juga digunakan untuk memberikan informasi, mengatur,
membujuk dan bahkan membingungkan orang lain.
Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pendidik guru
dalam pembelajaran karya sastra anak. Adapun kriteria tersebut antara lain
adalah sebagai berikut;
− Memahami kerakteristik peserta didik mencakup tingkat apresiasi,
minat, bakat, aspirasi, dan kesulitan.

131
− Sebagai pendidik seorang guru harus menguasai bahasa (sederhana,
konkret) dan isi relevan dengan kehidupan anak.
− Memahami Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia
− Memahami sejarah dan teori sastra Indonesia
− Memahami jenis sastra daerah . Pada dasarnya belajar sastra adalah
belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra harus berpangkal pada
realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan
kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan
diintegrasikan

5) Strategi Pembelajaran Sastra


Adapun bentuk strategi yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran sastra anak di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
− Bercerita
− Berbicara
− Bercakap-cakap
− Mengungkapkan pengalaman
− Membacakan puisi
− Mengarang terikat & bebas
− Menulis laporan, menulis narasi, deskripsi, eksposisi & argumentasi
− Menulis berdasarkan gambar/visual
− Mendramatisasikan karya sastra
Sedangkan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran
sastra anak di sekolah dasar adalah metode; menyimak, membaca (nyaring,
dalam hati, bersama dll) menonton, mengarang, roleplaying, bermain drama,
parafrase, dan berbagai permainan.
Berikut ini beberapa contoh minimal yang dapat dilakukan guru untuk
strategi pembelajaran sastra. (Ali Mustadi, 2021)
No Kompetensi Dasar Kategori Strategi & Metode
Sastra Anak Pembelajaran
3.6 Menguraikan kosakata tentang Syair Lagu • Menonton video syair
berbagai jenis benda di lagu dan menuliskan
lingkungan sepenelitir melalui beberapa kosakata di
teks pendek (berupa gambar, papan tulis. - Mengajak
slogan sederhana, tulisan, siswa bernyanyi
dan/atau syair lagu) bersama dan guru
meminta siswa
menuliskan kosakata
dari syair lagu bersama.

132
• Tips: Syair lagu dipilih
merupakan lagu dengan
kosakata lirik yang tidak
telalu panjang dan
mudah diulang-ulang
3.11 Mencermati puisi anak/ syair Puisi Anak • Menyimak pembacaan
lagu (berisi ungkapan puisi dari guru.
kekaguman, kebanggaan, Menonton video
hormat kepada orang tua, kasih pembacaan puisi.
sayang, atau persahabatan) Menyimak audio terkait
yang diperdengarkan dengan pembacaan puisi.
tujuan untuk kesenangan. Apabila singkat dapat
menggunakan strategi
membaca puisi.
• Tips : Menunjuk salah
satu siswa yang sudah
133ancer membaca
untuk membacakan di
hadapan teman-teman.
(bagi siswa yang sudah
133ancer membaca).
4.11 Melisankan puisi anak atau Puisi Anak • Deklamasi puisi
syair lagu (berisi ungkapan Bernyanyi bersama
kekaguman, kebanggaan, • Tips: Guru dapat
hormat kepada orang tua, kasih memberikan pengikatan
sayang, atau persahabatan) social emosional
sebagai bentuk ungkapan diri. learning. Dapat pula
dijadikan sebagai
proyek membuat puisi
dengan orang tua
dengan tujuan
membangun kedekatan
dengan anak.

D. Latihan
Menganalisis jenis-jenis sastra Indonesia, menentukan tema puisi,
melengkapi puisi yang rumpang, dan mengubah puisimenjadi prosa
Kasus:

133
Pada waktu seorang guru memperkenalkan sebuah puisi kepada
siswanya, Guru itu mengharapkan muridnya dapat menentukan tema
puisi, melengkapi puisi yang rumpang, dan menceritakan kembali puisi
tersebut dengan kata-katanya sendiri. Ternyata, sebagian besar siswa
tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik.

Perintah:
Sebagai seorang guru, Saudara tentu perlu memberikan contoh untuk
menentukan tema, melengkapi puisi yang rumpang, dan memparafrasekan
sebuah puisi. Lengkapilah bagian yang rumpang pada puisi dan tentukan tema
puisi berikut dengan tepat! Parafrasekan pula puisi berikut bait demi bait dengan
kata-kata sendiri yang mudah dipahami oleh siswa Saudara!

AKU
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai ...
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini ... jalang
Dari kumpulannya terbuang
... peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang ...
Luka dan bisa kubawa berlari
...
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Materi Diskusi
1. Pada jenjang MI/SD, sastra anak termuat didalam implementasi kurikulum
2013 yang harus dipelajari siswa. Sementara itu, perkembangan zaman tidak
lepas dengan peran teknologi dalam pembelajaran. Kemukakan pendapat
bapak/ibu terkait peran teknologi pada siswa dengan perkembangan sastra
anak pada abad 21?
2. Sastra Anak: Jembatan Kecerdasan Intelektual dan Kebijaksanaan. Kemukakan
pendapat bapak/ibu tentang peran sastra anak dalam pembentukan karakter
siswa? Jelaskan pula, cara mengenalkan sastra anak kepada siswa yang efektif
dan menarik siswa?
134
135
E. Referensi Tambahan
● Artikel/Jurnal/Buku/Modul:
1. https://www.academia.edu/21773890/Definisi_morfologi_fonetik_f
onemik_fonem_morfologi_sintaksis_semantik,
2. https://osf.io/snmfh/download?format=pdf,
3. www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/albayan/article/viewFile
/353/2261, http://eprints.undip.ac.id/48453/

● Video:
1. https://www.youtube.com/watch?v=IOuYyiYgR98,
2. https://www.youtube.com/watch?v=MIHn6753Tzw,
https://www.youtube.com/watch?v=u0FlC7E55yM
3. https://www.youtube.com/watch?v=4rIRr7AZ76I
4. https://www.youtube.com/watch?v=tENZtbytB8Q
Selain materi yang bisa Bapak/Ibu dapatkan di atas, Bapak/Ibu dapat
menambah pengayaan materi melalui sumber lain yang berkaiatan dengan materi
tersebut sehingga pemahaman Bapak/Ibu menjadi lebih baik.

136
6
KEGIATAN BELAJAR 4: PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI MI/SD
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Setelah Bapak/Ibu mempelajari materi dalam kegiatan belajar ini,
diharapkan mampu untuk memahami Memahami karakteristik pembelajaran
Bahasa Indonesia di SD, Memahami pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran bahasa, Menguasai Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD kelas
rendah , serta menguasai Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD kelas tinggi
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Adapun subcapaian dalam kegiatan pembelajaran ini adalah:
1. Menganalisis karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia di SD
2. Menjelaskan pengertian pendekatan pembelajaran bahasa
3. Menjelaskan jenis-jenis pendekatan pembelajaran bahasa
4. Menjelaskan pengertian metode dan teknik pembelajaran bahasa
5. Menyusun rencana pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah
6. Menyusun rencana pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas tinggi
7. Merancang, melaksanakan, dan menilian pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia
C. Uraian Materi
Pada Kegiatan belajar 4, Bapak/Ibu akan belajar mengenai Karakteristik
pembelajaran Bahasa Indonesia di SD, Pengertian pendekatan pembelajaran
bahasa, Jenis-jenis pendekatan pembelajaran bahasa, Pengertian metode dan
teknik pembelajaran satra, Menyusun rencana pembelajaran Bahasa Indonesia di
kelas rendah, Menyusun rencana pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas tinggi,
Merancang, melaksanakan, dan penilaian pembelajaran Bahasa dan Sastra
IndonesiaBerikut uraian materi pada kegiatan belajar 4:
1) Karakteristik Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD
Pembelajaran Bahasa Indonesia seyogiyanya harus memperhatikan
karakteristik pembelajaran bahasa yang akan diajarkan di SD, berikut ini
merupakan karakteristik pelajaran Bahasa Indonesia di SD (Hartati, dkk.
2012)
1. Terintegrasi
2. Menyeluruh
3. Tematik (Kelas rendah 1, 2, dan 3)
4. Kontekstual
5. Komunikatif
6. Mementingkan proses
7. PAIKEM

136
2) Pengertian Pendekatan
Dalam istilah belajar mengajar, kita mengenal pendekatan, metode dan
teknik pembelajaran. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda
walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Anthony
(dalam Ramelan, 1982) mengatakan bahwa pendekatan mengacu pada
seperangkat asumsi yang saling berkaitan dan berhubungan dengan sifat
bahasa serta pengajaran bahasa. Definisi lain menyebutkan bahwa
pendekatan merupakan sikap atau pandangan tentang sesuatu yang biasanya
berupa asumsi atau seperangkat asumsi yang berhubungan dengan sesuatu.
Oleh karena itu, pendekatannya bersifat aksiomatis, artinya tidak perlu
dibuktikan lagi kebenarannya. Di dalam pengajaran bahasa, pendekatan
merupakan pandangan, filsafat atau kepercayaan tentang hakikat bahasa, dab
pengajaran bahasa yang diyakini oleh guru bahasa (Solchan,2008).
Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode. Asumsi
tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap
bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu
sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang
menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah. Asumsi-asumsi tersebut
menimbulkan adanya pendekatanpendekatan yang berbeda, yakni:
1) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti
berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Penekanannya ada pada pembiasaan.
2) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti
berusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Tekanan pembelajarannya terletak apda pemerolehan kemampuan
berkomunikasi.
3) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa dalam pembelajarn bahasa
yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang
mendasari ujaran, tekanan, pembelajaran pada aspek kognitif bahasa,
bukan pada kemampuan menggunakan bahasa (Zuchdi, dkk, 1997).
Dalam penggunaannya, bahasa memiliki wujud yang bervariasi.
Variasi atau ragam bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan pemakai dan
pemakaiannya. Berdasarkan pemakainya, ragam bahasa dapat dilihat dari
segi (a) asal daerah penutur, yang melahirkan dialek geografis, (b) kelompok
sosial, yang melahirkan dialek atau ragam sosial dengan segala variannya,
dan (c) sikap berbahasa, yang melahirkan ragam resmi dan tak resmi atau
keseharian. Bertolak dari pemakaiannya, ragam bahasa dapat dilihat dari
sudut (a) bidang perbincangan, yang melahirkan ragam ilmiah, ragam sastra,
ragam jurnalistik, dan ragam-ragam lainnya, (b)media berbahasa, yang

137
memunculkan ragam lisan dan tulis, serta (c) situasi berbahasa, yang
memunculkan ragam baku dan tak baku. (Solchan, T. W, 2008).
Dalam melaksanakan program KBM, pendekatan yang dipilih pada
dasarnya merupakan tuntutan untuk menjadikan siswa sebagai pusat dari
pembelajaran. Peran guru dalam pembentukan pola KBM di kelas tidak
hanya ditentukan oleh didaktikmetodik “apa yang akan dipelajari saja,
melainkan pada “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalam
belajar anak”. Pengalaman belajar ini diperoleh melalui serangkaian kegiatan
yang mengeksplorasi secara aktif lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan buatan, serta berkonsultasi dengan nara sumber. Dalam
merancang KBM bahasa Indonesia terdapat beberapa pendekatan yang perlu
diperhatikan, antara lain sebagai berikut:

a) Pendekatan Whole language


Pendekatan whole language atau pendekatan menyeluruh teah
diperkenalkan oleh Jerome Harrte dan Carolyn Burke pada tahun 1977,
sesudah itu Doroty Waston menyusul dengan istilah “Teachers Whole
Language” (TAWL) pada tahun 1978 kemudian Ken Goodman
memperkenalkan kaidah ini dengan nama “Whole Language Comperhension
Centered Reading Program” pada tahun 1979 (Syafi’ie, 2009).
Pembelajaran bahasa mengacu pada pendekatan Whole language
sehingga dalam implementasinya digunakan pendekatan integratif.
Syafi’ie (1996) mengemukakan pendapatnya bahwa dalam pengertian
yang luas, integratif dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai aspek ke
dalam satu keutuhan yang padu. pelaksanaan pembelajaran bahasa
berdasarkan konsep integratif mengacu pada pengembangan dan
penyajian materi pelajaran bahasa secara terpadu. lingkungan proses
belajar mengajar bahasa yang dilandasi keterpaduan mengacu pada
pandangan tentang hakikat bahasa whole language.
Keterpaduan dalam pengajaran bahasa mencerminkan adannya
pandangan whole language yaitu pandangan tentang kebenaran mengenai
hakikat proses belajar dan bagaimana mendorong rposes tersebut agar
berlangsung secara optimal di kelas. Godman mengemukakan beberapa
prinsip whole language dalam pengajaran bahasa yaitu (1) program
pembinaan baca-tulis di sekolah harus dikembangkan berdasarkan
kenyataan proses belajar yang sesungguhnya dan memanfaatkan motivasi
yang bersifat intrinsic, (2) strategi membaca dan menulis dikembangkan
dalam pemakaian bahasa yang relevan, fungsional dan bermakna, (3)
perkembangan kemampuan menguasai keterampilan membaca dan
menulis mengikuti dan dimotivasi oleh perkembangan fungsi-fungsi
membaca dan menulis. Robb juga mengemukakan prinsip pengajaran

138
bahasa dengan pendekatan whole language yang berpijak pad a(1)
keterampilan berbahasa diajarkan secara terpadu, (2) isi pembelajaran
dengan pengetahuan dan pengalaman siswa, dan (3) perolehan
pengalaman belajar siswa dengan kenyataan penggunaan bahasa yang
diorientasikan pada wawasan whole language. selain itu terdapat ciri-ciri
pendekatann whole language, yakni (1) menyeluruh (whole/cooperative), (2)
Bermakna (Meanigful), (3) Berfungsi (Function), (4) Alamiah
(Natural/Authentic).
Didasarkan pada pendekatan pengajaran bahasa yang berwawasan
whole language maka pembelajaran bahasa Indonesia harus memiliki
keterpaduan antara (1) pembelajaran komponen kebahasaan, pemahaman,
dan penggunaan, (2) isi pembelajaran dengan pengetahuan dan
pengalaman siswa, dan (3) perolehan pengalaman belajar siswa dengan
kenyataan penggunaan bahasa sesuai dengan aktivitas penggunaan
bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Dengan adanya pendekatan
pengajaran bahasa yang diorientasikan pada wawasan whole language maka
dalam setiap pelaksanaannya, aktivitas pembelajaran bahasa tidak
dilakukan secara fragmentis melainkan utuh, padu sebagai suatu kesatuan.

b) Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri (Von Glaserfeld, 1989, Matthews, 1995, dalam Suparno, 1997).
Piaget (dalam Suparno, 1997) mengatakan bahwa pengetahuan adalah
hasil dari ciptaan manusia yang konstruksikan dari pengalaman yang telah
dialaminya. Proses pembentukannya berlangsung secara terus menerus
dengan menghubungkan antara pengalaman yang baru dan pengalaman
yang telah di dapatkannya sehingga menghasilkan suatu pemahaman
yang baru. Pada dasarnya belajar merupakan (I) Proses berpikir secara
aktif, (2) Proses berpikir sebagai upaya menghubungkan pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki (skemata) dengan informasi atau masalah baru
secara kritis dan kreatif, (3) Proses berpikir yang secara potensial menuju
dan membentuk keutuhan berdasarkan “konstruksi” yang dilakukan, (4)
Proses pembuahan pemahaman yang akan melekat dan terkembangkan
secara terus menerus apabila berlangsung lewat penghayatan dan
internalisasi. Aminuddin (1994) mengemukakan contoh analogi bahwa
sebagai pemahaman dan penghayatan pandangan kontruktivisme, ketika
guru membaca butir pembelajaran dengan kompetensi dasar agar siswa
mampu membaca teks bacaan dan memahami isinya maka guru akan
melakukan kegiatan sebagai berikut:

139
− Berusaha memahami hal apa saja yang berhubungan dengan
membaca teks bacaan dan memahami isinya. Proses
pemahamannya dipandu oleh hasil belajar dan indikator
pencapaian hasil belajar yang ditafsirkan cocok digunakan sebagai
landasan penjabaran butir pembelajaran.
− Berusaha membangkitkan pengalaman serta pengetahuan yang
relevan dengan butir pembelajran tersebut, mempelajari buku
tentang membaca, bertanya kepada orang lain atau teman sejawat
dan berdiskusi denganya.
− Ketika menggambarkan perihal yang berhubungan dengan
membaca teks bacaan dan memahami isinya, tergambar berbagai
kemungkinan yang bisa dipilih. Dalam hal ini guru hanya
memfokuskan perhatian pada jabaran yang (I) sesuan dengan
tingkat pengalaman dan pengetahuan siswa baik yang diperoleh di
dalam kelas maupun kehidupan sehari-harinya, (2) Memiliki
kesatuan hubungan dan menjanjikan terbuahkannya pemahaman
secara utuh, dan (3) Memiliki hubungan dengan aktivitas
kehidupan siswa sehingga jabaran yang dipilih benar-benar
terhayati dan membuahkan pengalaman dan pemahaman yang
terkembangkan secara terus-menerus.
− Menggambarkan bahan ajar yang mesti dipersiapkan untuk
keperluan pembelajaran di kelas, bentuk KBM yang membuahkan
pemahaman, penghayatan, pengalaman, internalisasi, dengan
menyesuaikan alokasi waktu bila dihubungkan dengan rentetan
pertemuan sebelum dan sesudahnya.
Melihat dari apa yang dilakukan guru di atas, dapat diperoleh
gambaran bahwa ketika guru akan melakukan pembelajaran dia harus (I)
Memiliki pengalaman dan pengetahuan menyangkut butir pembelajaran
yang akan dianalisis, (2) mampu menggambarkan pengalaman dan
pengetahuan dalam bentuk-bentuk situasi kongkret sesuai dengan “dunia,
pengalaman, pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari siswa”. (3) Mampu
memetakan berbagai lintas gambaran sehingga menjalin hubungan yang
utuh. (4) Mampu memetakan hubungan antara jabaran butir kompetensi
dasar dengan materi pokok yang dimanfaatkan di kelas, KBM, alokasi
waktu, dan bentuk asesmen yang mungkin dikembangkan, serta (5)
Memprediksi bentuk-bentuk penguasaan isi pembelajaran yang
dibuahkan lewat proses belajar yang ditempuhnya. Sebagai contoh ketika
siswa ditugaskan membaca paragraph dalam bacaan, yang dapat
diperoleh bukan hanya pemahaman informasi menyangkut fakta, gagasan,
pendapat dalam paragraf, tetapi juga tentang kalimat utama, kalimat

140
penjelasan, dan cara yang ditempuh penulisnya dalam pengembangan
paragraf.
Pada dasarnya salah satu sasaran pembelajaran adalah membangun
gagasan saintifik siswa melalui kegiatan iteraksi dengan lingkungan,
peristiwa dan informasi disekitar siswa. Pandangan kontruktivisme
menganggap semua peserta didik mulai dari TK sampai perguruan tinggi
memiliki gagasan/pengetahuan sendiri tentang lingkungan dan
peristiwa/gejala alam di sekitarnya meskipun gagasan/pengetahuan ini
naïf atau kadang-kadang salah. Mereka senantiasa mempertahankan
gagasan/pengetahuan yang dimiliki siswa terkait dengan
gagasan/pengetahuan awal lain yang sudah tebangun dalam wujud
skemata (struktur kognitif) dalam benak siswa. Para ahli pendidikan
berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran
dari “apa yang diketahui siswa”. Guru tidak dapat mendoktrinasi gagasan
spesifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasanya yang
nonsaintifik menajdi pengetahuan/gagasan saintifik. Dengan demikian,
yang mengubah gagasan siswa adalah siswa itu sendiri. Guru hanya
berperan sebagai fasilitator penyedia “kondisi”supaya proses belajar
untuk memperoleh konsep yang benar dapat berlangsung dengan baik
(Puskur, 2002).
Berikut beberapa kondisi belajar yang sesaui dengan filosofi
kontruktivisme antara lain sebagai berikut.
− Diskusi atau curah pendapat yang menyediakan kesempatan agar
semua siswa mampu mengemukakan pendapat dan gagasan
− Demonstrasi dan peragaan praktik keterampilan berbahasa
− Kegiatan praktis lain yang memberi peluang kepada siswa untuk
mempertanyanyakan, memodifikasi, dan mempertajam
gagasannya. Hal tersebut sejalan dengan wawasan whole language,
proses pemebelajan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, memahami kebahasaan dan berapresiasi sastra) disikapi
sebagai constructive process yang berlangsung secara dinamis
(Godman, 1986). Proses pembelajaran yang dilakukan dinyatakan
memuat gambaran wawasan whole language bila (I) Hasil belajar
tentang bunyi, kosakata, struktur, sastra, mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis memiliki kesinambungan dan keterpaduan,
(2) Siswa mempelajari bahasa dalam konteks pemakaian baik secara
lisan maupun tulis, (3) Siswa mempelajari bahasa sesuai dengan
keragaman fungsi dan pemakaian, (4) Proses kreatif anak dalam
berbahasa lebih mendapatkan perhatian dibandingkan pemahaman
ihwal kebahasaan dan (5) guru mengadakan evaluasi proses dan

141
hasil secara integratif dengan menggunakan berbagai cara sebagai
sumber dan bahan penilaian.

c) Pendekatan Komunikatif
Pendekatan Komunikatif dimaksud untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi (yang selanjutnya disebut kompetensi
komunikasi), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dalam konteks yang seutuhnya. Kegiatan utama dalam
kegiatan belajar-mengajar bahasa yang menggunakan pendekatan
komunikasi berupa latihan-latihan yang langsung dapat mengembangkan
kompetensi komunikasi yang dimiliki pembelajar; tidak hanya menguasai
bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta
pemakaiannya. Dalam pendekatan komunikatif pembelajaran berperan
sebagai negosiator antara dirinya dengan temannya, atau dengan obejek
yang dipelajari. Pembelajaran harus aktif berinisiatif melakukan kegiatan
komunikasi. Untuk keperluan ini seringkali disediakan teks, aturan atau
kaidah gramatika tidak dibahas secara eksplisit, pengaturan tempat duduk
seringkali bersifat inkonvensional, pembelajaran diharapkan lebih banyak
berinteraksi dengan pembelajaran lain, dan kesalahan yang tidak
menganggu komunikasi ditolerir (Richard dan Rodgers, 1986). Pendekatan
komunikatif mengikuti pandangan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah
alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Dalam rambu-rambu
pembelajaran, antara lain dikemukakan: (a) Belajar BI pada hakikatnya
adalah belajar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis, (b)
Pembelajaran kebahasaan untuk meningkatkan pemahaman dan
penggunaan BI, dan (c) BI sebagai alat komunikasi digunakan untuk
bermacam-macam fungis sesuai dengan apa yang ingin dikomunikasikan
oleh penutur. Dalam penggunaan BI, faktor-faktor penentu komunikasi
(misalnya: partisipan tutur, topik tutur, tujuan tutur, dan situasi tutur)
harus selalu dipertimbangkan.

d) Pendekatan writing process.


Pendekatan writing process merupakan pendekatan yang terfokus
pada siswa. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat
mengembangkan pengetahuan, sikap, pengalaman dan keterampilan
dalam pembelajarannya. Pendekatan proses menulis merupakan
pendekatan untuk mengamati pembelajaran menulis yang
penekananannya bergeser dari produk pada proses apa yang dipikir dan
ditulis siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Tompkins (1990) yang
menyatakan bahwa pendekatan proses menulis yaitu pendekatan yang
selain mementingkan kualitas hasil tulisan, juga mementingkan tahap-

142
tahap yang dilakukan dalam proses menulis. Adapun tahapan pendekatan
writing process menurut Tompkins (1990), sebagai berikut:
1. Tahap pramenulis
a. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
b. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
c. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis.
d. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis.
e. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan
yang telah mereka tentukan.
2. Tahap Penyusunan Draf Tulisan
a. Membuat draf kasar
b. Menulis konsep utama
c. Lebih menekankan isi dari pada tata tulis
d. Tahap perbaikan
Yang perlu dilakukan oleh siswa pada tahap merevisi tulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Membaca ulang draf kasar
b. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
c. Berpatisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-
teman sekelompok atau sekelas.
d. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan
komentar baik dari yang mengajar maupun teman.
e. Membuat perubahan yang submitif pada draf pertama dan draf
berikutnya, sehingga menghasilkan draf terakhir.
3. Tahap penyuntingan (editing)
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar
adalah sebagai berikut:
a. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan.
b. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan struktur kata.
c. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulisan mereka sendiri.
d. Pembublikasian.
Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau
publikasi adalah sebagai berikut:
a. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk
tulisan yang sesuai.
b. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka
tentukan

143
3) Pengertian Metode dan Teknik Pembelajaran Bahasa Indonesia
Metode pembelajaran berbahasa merupakan rencana pembelajaran
bahasa yang mencakup pemilihan, penentuan dan penyusunan secara
sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remedi
dan bagaimana pengembangannya. Hal itu dimaksudkan agar bahan ajar
mudah dikuasai oleh siswa. Pemilihan, penentuan dan penyusunan bahan
ajar didasarkan pada pendekatan yang akan digunakan. Dengan demikian,
pendekatan merupakan dasar dalam menentukan metode yang akan
digunakan dalam pembelajaran.
Metode pembelajaran mencakup pemilihan, penentuan dan
penyusunan bahan ajar serta kemungkinan pengadaan remedi dan
pengembangan bahan ajar. Setelah guru menetapkan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai, kemudian guru memilih bahan ajar yang telah dipilih itu,
yang kemudian disesuaikan dengan tingkat usia, tingkat kemampuan,
kebutuhan serta latar bekang siswanya. Bahan ajar tersebut kemudian
disusun berdasarkan tingkat kesukaran, dimulai dari yang mudah sampai ke
yang sukar. Di samping itu guru juga harus merencanakan cara
mengevaluasi, mengadakan remedi serta mengembangkan bahan ajar.
Sedangkan teknik adalah upaya guru, usaha-usaha guru, atau cara-cara yang
digunakan oleh guru untuk mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan
pembelajaran di dalam kelas pada saat itu, jadi teknik ini bersifat
implementasional.

4) Jenis-jenis Metode Pembelajaran Bahasa


1. Metode Langsung (The Direct Method)
2. Metode Alamiah (The Natural Method)
3. Metode Sugestipedia (Lozanov Method)
4. Metode Audio-Lingual
5. Metode Tatabahasa Pedagogis
6. Metode Psikologis (The Psychological Method)
7. Metode Fonetis (The Phonetic Method, Oral Method)
8. Metode Membaca (The Reading Method)
9. Metode Tatabahasa (The Grammar Method)
10. Metode Terjemahan (The Transilation Method)
11. Metode Tatabahasa- Terjemahan (The Grammar-Transilation Method)
12. Metode Eklektika (The Eclectic Method)
13. Metode Unit (The Unit Method)
14. Metode Pembatasan Bahasa (The Language Control Method)
15. Metode Mimikri – Memorisasi (The Mimicry-Memorazation Method)
16. Metode Teori-Praktik (The Theory-Practice Method)
17. Metode Cognate (The Cognate Method)

144
18. Metode Bi-Bahasa (The Dual – Language Method)

5) Jenis-jenis Teknik Pembelajaran Bahasa


1. Tanya jawab
2. Diskusi kelompok
3. Pemberian tugas
4. Studi kasus
5. Brainstorming
6. Eksperimen
7. Simulasi
8. Sosiodrama
9. Proyek
10. Portofolio
11. Permainan
12. Bermain peran/roleplaying
13. Conferencing/konferensi
14. Keterampilan proses
15. Demonstrasi
16. Pengalaman
Selain teknik-teknik pembelajaran Bahasa Indonesia di atas, terdapat
pengelompokkan teknik pembelajaran berdasarkan keterampilan berbahasa
sebagai berikut:
a. Teknik pembelajaran menyimak diantaranya: (1) simak-ulang ucap (2)
simak-tulis (dikte) (3) simak-kerjakan (4) simak-terka (5) memperluas
kalimat (6) menyelesaikan cerita (7) membuat rangkuman (8) menemukan
benda (9) bisik berantai (10) melanjutkan cerita (11) parafrase (12) kata
kunci
b. Teknik pembelajaran berbicara diantaranya: (1) ulang-ucap (2) lihat-
ucapkan (3) memerikan (4) menjawab pertanyaan (5) bertanya (6)
pertanyaan menggali (7) melanjutkan (8) menceritakan kembali (9)
percakapan (10) parafrase (11) reka cerita gambar (12) bermain peran (13)
wawancara (14) memperlihatkan dan bercerita 7
c. Teknik pembelajaran membaca (1) membaca survei (2) membaca sekilas (3)
membaca dangkal (4) membaca nyaring (5) membaca dalam hati (6)
membaca kritis (7) membaca teliti (8) membaca pemahaman
d. Teknik pembelajaran menulis (1) menyalin kalimat (2) membuat kalimat
(3) meniru model (4) menulis cerita dengan gambar berseri (5) menulis
catatan harian (6) menulis berdasarkan foto (7) meringkas (8) parafrase (9)
melengkapi kalimat (10) menyusun kalimat (11) mengembangkan kata
kunci.

145
6) Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas Rendah
a) Metode Pembelajaran Menyimak dan Berbicara
Aspek keterampilan menyimak pada hakikatnya adalah melatih
pendengaran dan daya ingatan. Aspek keterampilan menyimak
bertujuan agar siswa mampu menangkap, memilih, memahami,
mengingat dan mengumpulkan informasi dari pada yang disimak atau di
dengar. Di kelas I dan II pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara
mendengarkan cerita yang disampaikan guru lewat story telling untuk
kemudian menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan cerita tersebut,
juga bisa melalui teknik bisik berantai ataupun dikte.
Aspek keterampilan berbicara berkaitan dengan ucapan, baik
ucapan bunyibunyi bahasa, kata atau kalimat. Pengajaran ketermapilan
berbicara bertujuan agar siswa (1) dapat mengucapkan atau melafalkan
dengan ucapan yang benar, (2) dapat melagukan kata atau kalimat sesuai
dengan konteks bahasa yang digunakan, (3) terampil menggunakan
bahasa lisan yang teratur dan baik, dan (4) tumbuh keberaniannya untuk
menyampaikan isi hati, ide dan perasaannya. Kegiatan pembelajaran di
kelas dapat dilakukan melalui kegiatan melafalkan kata atau kalimat
sesuai dengan gambar, lewat kegiatan bercerita atau bercakap-cakap,
Tanya jawab, atau pemberian tugas yang menuntut kemampuan
berbicara siswa.
Peningkatan kemampuan berbicara yang sekaligus diintegrasikan
dengan keterampilan menyimak dapat dilakukan melalui penggunaan
model belajar diskusi, pidato, dialog, bermain peran yang juga diperkaya
melalui simulasi kreatif bahasa (roleplay) yang menyediakan beragam
simulasi bahasa yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan
keterampilan berbahasa siswa. Begitu pula dengan materi pembelajaran
kebahasaan dan kosakata secara implisit terintegrasi dalam uraian materi
empat keterampilan berbahasa di atas.
Berikut ini metode atau strategi pembelajaran menyimak untuk
anak sekolah dasar (Hanum Hanifa Sukma, M. Fakhrur Saifudin,, 2021)
a. Metode Langsung
b. Metode Komunikatif
c. Metode Integratif
1) Simak-Ulang Ucap
2) Simak Kerjakan
3) Simak Terka
4) Simak Tulis
5) Memperluas Kalimat
6) Bisik Berantai
7) Identifikasi Kata Kunci

146
8) Identifikasi Kalimat Topik
9) Menyelesaikan Cerita
10) Menjawab Pertanyaan
11) Merangkum
12) Parafrasa
d. Metode Tematik
e. Metode Konstruktivitas
f. Metode Kontekstual
Sedangkan metode keterampilan berbicara pada kelas awal SD
bisa dimulai dengan memberikan kesempatan siswa untuk berbicara di
depan kelas untuk memperkenalkan diri, tanya jawab dengan teman,
bercerita tentang pengalaman, menceritakan gambar dan lain-lain. Dari
kegiatan itu, akan memperkaya kosakata, memperbaiki kalimat, dan
melatih keberanian siswa dalam berkomunikasi. Begitu pun menurut
Iskandarwassid dan Sunendar (2008: 244) keterlibatan intelektual-
emosional peserta didik dapat dilatihkan dalam beberapa kegiatan
berikut. bermain peran, berbagai bentuk diskusi, wawancara, bercerita
(pengalaman diri, pengalaman hidup, dan pengalaman membaca) ,
pidato, laporan lisan, membaca nyaring , merekam suara, bermain drama.
((Hanum Hanifa Sukma, M. Fakhrur Saifudin,, 2021)
b) Metode Membaca dan Menulis
Permulaan Kaitan antara menulis dan membaca sangat erat
sehingga tidak dapat dipisahkan. Pada waktu guru mengajarkan menulis
kata atau kalimat, siswa tentu akan membaca kata atau kalimat tersebut.
Kemampuan membaca diajarkan sejak dini, sejak siswa masih kelas I
maka kemampuan menulis pun diajarkan sejak dini pula. Kemampuan
menulis diajarkan di sekolah dasar sejak siswa di kelas I sampai kelas IV.
Kemampuan yang diajarkan di kelas I dan II merupakan kemampuan
tahap awal atau permulaan sehingga kegiatan menulis di kelas I dan II
dikenal dengan menulis di kelas permulaan.
Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis pada
hakikatnya sama dengan metode yang digunakan dalam dalam
pembelajaran membaca permulaan. Persyaratan pembelajaran menulis
permulaan seyogyanya siswa sudah bisa membaca apa yang akan mereka
tulis. Seperti pada kegiatan membaca permulaan, pembelajaran menulis
permulaan juga melalui dua tahapan yaitu tahap prapembelajaran
berkaitan dengan kesiapan menulis siswa dan tahap menulis permulaan
melalui kegiatan menjiplak/ mengebat, menyalin/ meniru, menatap,
menulis halus/ indah, dikte/ imlak, dan mengarang sederhana melalui
berbagai bimbingan.

147
Dalam proses pembelajaran membaca permulaan dapat digunakan
berbagai metode mengajar. Guru hendaknya tidak hanya menggunakan
satu metode saja, tetapi dengan multi metode mengajar, dan
menyenangkan supaya siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan
penuh perhatian. Sebelum memulai proses pembelajaran, guru kelas 1
selayaknya melakukan kegiatan persiapan membaca permulaan.
Persiapan Membaca Permulaan
Langkah-langkah persiapan membaca permulaan:
1. Penguatan Prosedur Kelas ( siswa fokus dan tenang) dan Etika
membaca (menjaga kebersihan buku, berbagi bila buku digunakan
bersama)
2. Cara duduk siswa (Posisi duduk tegak)
3. Cara membuka buku (Dari halaman depan ke belakang)
4. Mengatur jarak mata ke buku (Jarak pandang antara mata dan buku ±
40 cm)
5. Melatih cara membaca dari kiri ke kanan.
c) Metode Membaca Permulaan

1. Metode Abjad
Pembelajaran membaca permulaan dengan metode ini dimulai dengan
mengenalkan huruf-huruf secara alphabetis. Huruf-huruf tersebut
dihafalkan dan dilafalkan anak sesuai dengan bunyinya menurut
abjad. Untuk beberapa kasus, anak susah membedakan huruf-huruf b,
d, p, q atau n, u, m, w. Untuk itu guru melatihkan huruf-huruf tersebut
berulang-ulang atau dengan cara memberi warna yang berbeda.
Setelah tahapan itu siswa diajak untuk mengenal suku kata dengan
cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.
Contoh:
b dan a dibaca ba
c dan a dibaca ca
sehingga dua suku kata tersebut dibaca menjadi “baca” (memiliki
makna bagi anak). Proses selanjutnya adalah mengenalkan kalimat
sederhana. Contoh : ani baca buku Proses pembelajaran dari huruf,
suku kata, kata, dan menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip
pendekatan spiral (dari yang mudah ke yang sulit), komunikatif
(bahasa yang digunakan sehari-hari oleh anak), kontekstual ( sesuai
dengan lingkungan terdekat anak), dan konstruktivisme (pengalaman
berbahasa anak).

148
2. Metode Eja/ Metode Bunyi (Spelling Method)
Metode ini hampir sama dengan metode Abjad. Perbedaannya
terletak pada sistem pelafalan abjad atau huruf ( baca: beberapa huruf
konsonan).
Contoh:
Huruf b dilafalkan /eb/ : dilafalkan dengan e pepet, seperti
pengucapan pada kata ‘benar’
Huruf d dilafalkan /ed/
Huruf c dilafalkan /ec/
Huruf g dilafalkan /eg/
Huruf p dilafalkan /ep/
Langkah selanjutnya seperti pada metode abjad.

3. Metode Suku Kata (Syllabic method)


Metode ini diawali dengan pengenalan suku kata seperti ca, ci,
cu, ce, co, da, di, du, de, do ka, ki, ku, ke, ko, dan seterusnya. Suku-
suku kata tersebut , kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata
bermakna.
Contoh:
Cu – ci
da – da
ka – ki
Cu - cu
du – di
ka – ku
Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata
menjadi kalimat sederhana. Contoh perangkaian kata menjadi kalimat
dimaksud, seperti tampak pada contoh di bawah ini : Ka – ki ku – da
Ba – ca bu – ku Cu – ci ka – ki

4. Metode Kata (Whole Word Method)


Metode ini diawali dengan pengenalan kata yang bermakna,
fungsional, dan kontekstual. Sebaiknya dikenalkan dengan kata yang
terdiri dari dua suku kata terlebih dahulu. Kemudian mengenalkan
suku kata tersebut dengan membaca kata secara perlahan, dan
memberikan jeda pada tiap suku kata. Hal ini dapat dikombinasikan
dengan gerakan tepukan tangan pada setiap suku kata. Tujuannya
merangsang motorik anak serta melatih anak mengenal penggalan
suku kata. (Guru tidak mengajarkan teori suku kata dan kata).

149
5. Metode Kalimat (Syntaxis Method)
Metode ini diawali dengan penyajian beberapa kalimat secara
global. Kalimat-kalimatnya didahului dengan cereita guru atau tanya
jawab yang dilakukan antara guru dan siswa. Penyajian metode ini
dapat dibantu dengan gambar tunggal.
Foto seorang ibu ini ibu nani

6. Metode SAS (Structural, Analytic, Syntatic)


Pembelajaran metode ini diawali dengan menampilkan sebuah
kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang
memberi makna lengkap. Hal ini dimaksudkan untuk membangun
konsep-konsep kebermaknaan pada diri anak. Akan lebih baik jika
kalimat struktur kalimat yang disajikan sebagai bahan pembelajaran
adalah kalimat yang digali dari pengalaman berbahasa siswa. Untuk
itu, pada pendahuluan pertemuan, guru melakukan beberapa kegiatan
untuk menggali pengalaman berbahasa siswa. Misalnya dengan tanya
jawab, bercerita, dan menunjukkan gambar. Kemudian melalui proses
analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep kata. Kalimat utuh
tersebut diuraikan menjadi kata, suku kata, dan huruf. Pada tahap
selanjutnya, tahap sintesis dilakukan dengan menyatukan kembali
huruf-huruf tersebut menjadi suku kata, kata, dan kalimat.
Contoh :
ini mama
ini mama
i ni ma ma
i n i m a m a m a
i ni ma ma
ini mama

7. Metode 4 Tahap Steinberg (Four Steps Steinberg Method)


Menurut Steinberg (1982) ada empat tahap (langkah) dalam
pembelajaran membaca permulaan, yaitu:
1) Mengenal kata dan maknanya.
Contoh: membaca kata dengan gambar.
Bola
2) Memahami kata yang dibacanya (membaca kata tanpa gambar)
Contoh:
Bola
3) Membaca frase atau kalimat
Contoh:
ini bola

150
itu bola
ini bola budi
itu bola budi
4) Membaca teks/wacana
Contoh:
bola
ini bola budi
bola budi bagus
bola budi warna merah
budi senang main bola
Berdasarkan jenis-jenis metode di atas, ditinjau dari segi
pedagogi dan psikologi (karakteristik anak), semua metode tersebut
dapat digunakan dengan cara mengkombinasikan antara metode yang
satu dengan lainnya. Di samping itu dapat juga menggabungkan
beberapa metode yang unggul, disesuaikan dengan karakteristik anak
dan kemampuan guru. Gabungan beberapa metode ini disebut metode
eklektik.

d) Persiapan Menulis Permulaan


Langkah-langkah persiapan membaca permulaan:
1. Penguatan Prosedur Kelas (siswa fokus dan tenang) dan Etika
membaca (menjaga kebersihan buku, berbagi bila buku digunakan
bersama)
2. Cara duduk siswa (Posisi duduk tegak)
3. Cara membuka buku (Dari halaman depan ke belakang)
4. Mengatur jarak mata ke buku (Jarak pandang antara mata dan buku
± 40 cm)
5. Cara memegang pensil
6. Melatih cara menggerakan pensil dari kiri ke kanan
7. Latihan membuat bulatan (lingkaran) atau setengah lingkaran.
8. Latihan membuat garis-garis lurus (lurus, miring, datar)
9. Menyambungkan titik-titik menjadi sebuah garis lurus atau garis
lengkung
10. Menyambungkan garis-garis menjadi sebuah bentuk.
11. Latihan menulis di udara
12. Latihan menulis dengan jari di atas pasir, tepung, meja, punggung
teman.
13. Bagi anak yang mengalami kesulitan menulis biasanya motorik
halusnya belum berkembang dengan baik. Untuk mengatasinya
dapat dibantu dengan latihan motorik halus, seperti: meremas bola
tenis, membuat bentuk benda dari plastisin, memainkan jepitan
kertas oleh ibu jari dan jari telunjuk, membuka dan mengancingkan

151
baju dengan tangan kanan, menalikan tali sepatu, bertepuk tangan
sambil mengucapkan atau membaca kata.

e) Metode Menulis Permulaan


Metode menulis permulaan akan mengikuti metode yang
digunakan pada metode membaca permulaan. Misal, jika guru
menggunakan metode abjad pada membaca permulaan maka akan
menggunakan menulis permulaan dengan metode abjad pula Contoh
siswa disuruh menyalin huruf: a, b, c, d, e, f, g, h, I, dst.

CONTOH RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Satuan Pendidikan :
Tema : 3. Kegiatanku
Subtema : 1. Kegiatan di Pagi Hari
Pembelajaran : ke-6
Kelas / Semester : I (Satu) / 1 (Satu)
Alokasi Waktu : 1 x Pertemuan (5 x 35 Menit)

A. KOMPETENSI INTI (KI)


1. Menerima, menjalankan, dan menghargai ajaran agama yang
dianutnya.
2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, santun, percaya diri, peduli,
dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan keluarga,
teman, guru, dan tetangga, dan negara.
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati
mendengar, melihat, membaca dan menanya berdasarkan rasa
ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah,
sekolah.
4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan
logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang
mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

152
B. KOMPETENSI DASAR (KD) DAN INDIKATOR CAPAIAN
KOMPETENSI (ICK)

MATA KOMPETENSI DASAR (KD) INDIKATOR CAPAIAN


PELAJAR KOMPETENSI (ICK)
AN
Bahasa 3.8 Merinci ungkapan penyampaian 3.8.2 Menjelaskan tiga cara
Indonesia terimakasih, permintaan maaf, tolong, dan menyampaikan permintaan
pemberian pujian, ajakan, pemberitahuan, tolong.
perintah, dan petunjuk kepada orang lain
3.8.3 Menjelaskan tiga cara
dengan menggunakan bahasa yang santun
menyampaikan terimakasih
secara lisan dan tulisan yang dapat dibantu
dengan kosakata bahasa daerah.
4.8 Mempraktikan ungkapan terimakasih, 4.8.2 Mempraktikkan cara
permintaan maaf, tolong, dan pemberian menyampaikan permintaan
pujian, dengan menggunakan bahasa yang tolong dengan benar.
santun kepada orang lain secara lisan dan
4.8.3 Mempraktikkan cara
tulis.
menyampaikan terimakasih
dengan benar.
PPKN 3.1 Mengenal simbol sila-sila pancasila dalam 3.1.3 Menjodohkan lima
lambang negara “Garuda Pancasila”. simbol dengan butir sila-sila
pancasila.
4.1 Menceritakan simbolsimbol sila pancasila 4.1.3 Menceritakan simbol sila
pada lambang garuda pancasila. ke-2 pancasila dengan benar.

Matematik 3.1 Menjelaskan makna bilangan cacah sampai 3.1.3 Mengurutkan bilangan
a dengan 99 sebagai banyak anggota suatu cacah 11-20 dengan benar.
kumpulan objek.
4.1 Menyajikan bilangan cacah sampai dengan 4.1.3 Menuliskan lambang
99 yang bersesuaian dengan banyak anggota bilangan sesuai banyak benda
kumpulan objek yang disajikan. dengan benar.

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Dengan metode make a match, siswa dapat menjodohkan lima
simbol dengan sila-sila pancasila.
2. Dengan tanya jawab, siswa dapat menceritakan makna simbol
sila ke-2 pancasila dengan benar.

153
3. Dengan pengamatan video, siswa dapat menjelaskan tiga cara
menyampaikan permintaan tolong.
4. Dengan pengamatan video, siswa dapat menjelaskan tiga cara
menyampaikan terimakasih.
5. Dengan pengamatan video, siswa dapat mempraktikkan cara
menyampaian permintaan tolong dengan benar.
6. Dengan pengamatan video, siswa dapat mempraktikkan cara
menyampaian terimakasih dengan benar.
7. Dengan permainan berantai, siswa dapat mengurutkan bilangan
cacah 11-20 dari bilangan terbesar dengan benar.
8. Dengan permainan berantai, siswa dapat menuliskan lambang
bilangan sesuai banyak benda dengan benar.

D. MATERI PEMBELAJARAN
1. Bahasa Indonesia
Ungkapan
a. Cara menyampaikan permintaan tolong.
b. Cara menyampaikan terima kasih.
2. PPKn
Sila-sila pancasila
c. Simbol sila pancasila.
d. Makna simbol pancasila.
3. Matematika
Bilangan cacah
e. Bilangan 11-20.
f. Urutan bilangan 11-20.

E. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN


1. Pendekatan : Saintifik.
2. Metode/ Strategi : Pengamatan, make a match, tanya jawab dan
permainan berantai.

F. MEDIA, ALAT BANTU DAN SUMBER BELAJAR


1. Media
a. Video ungkapan minta tolong dan terimakasih.
b. Kartu make a match simbol dan sila pancasila dengan gambar
benda yang senilai dengan 11-20.
2. Alat Bantu
a. white board atau papan tulis.
b. Spidol hitam.
c. Proyektor.
d. Laptop.
154
3. Sumber Belajar
a. Kemendikbud RI. 2017. Tema 3 Kegiatanku Buku Tematik Terpadu
Kurikulum 2013 Buku Guru Kelas I SD. Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud RI.
b. Bahan ajar mengenai simbol sila pancasila, meminta tolong,
berterimakasih dan bilangan cacah.
c. Lingkungan sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.

7) Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Kelas Tinggi


a. Pembelajaran Menyimak dan Berbicara
Pembelajaran menyimak dan berbicara di kelas tinggi tidak berbeda
jauh dengan pembelajaran di kelas rendah. Pada pembelajaran menyimak
di kelas tinggi kemampuan menyimak yang harus dimiliki oleh siswa
adalah:
− Menyimak pada laporan orang lain, pita rekaman laporan mereka
sendiri, dan siaran-siaran radio dengan maksud tertentu serta
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan
dengan hal itu.
− Memperhatikan keangkuhan dengan kata-kata atau
ekspresiekspresi yang tidak mereka pahami maknanya.
− Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan,
kesalahankesalahan, proragnda-propaganda, petunjuk-petunjuk
yang keliru.
− Menyimak pada aneka ragam cerita puisi, rima kata-kata, dan
memperoleh kesenangan dalam menemui tipe-tipe baru.
Dalam mempraktikan pembelajaran menyimak, hendaknya juga
mengajarkan kepada siswa mengenai metode khusus yang bisa
dipergunakan ketika menyimak. Metode yang bisa digunakan dalam
pembelajaran menyimak, antara lain adalah: (1) Menyimak komprehensif
(Menciptakan imageri, Mengkatagorisasikan, Mengajukan pertanyaan,
Mencatat, dan Mengarahkan perhatian; (2) Storytelling; (3) Menyimak
apresiatif.
Pada pembelajaran berbicara di kelas tinggi hal yang perlu
ditingkatkan yaitu kepercayaan diri siswa. Berbahasa lisan di kelas tinggi
harus lebih intensif dengan menggunakan metode yang dapat
meningkatkan kepercayaan diri siswa. kegiatan berbahasa lisan mencakup
− Kegiatan berbucara informal, meliputi percakapan, menunjuk
dan menceritakan, serta diskusi,
− Kegiatan berbicara interpretatif meliputi, pengisahan cerita dan
pembacaan drama

155
− Kegiatan lebih formal, meliputi bermain drama, bermain peran,
bermain boneka tangan, penulisan naskah, dan produksi teater,
dan sebagainya.
Adapun strategi lain yang dapat dilakukan dalam upaya
meningkatkan kemampuan berbahasa lisan siswa antara lain sebagai
berikut:
− Ulang- ucap
− Lihat- ucap
− Memerikan
− Menjawab Pertanyaan
− Bertanya
− Pertanyaan Menggali
− Melanjutkan Cerita
− Menceritakan Kembali
− Percakapan
− Parafrase
− Reka Cerita Gambar
− Bercerita
− Memberi Petunjuk
− Melaporkan
− Bermain Peran
− Wawancara
− Diskusi
− Bertelpon
− Dramatisasi

b. Metode Pembelajaran Membaca dan Menulis lanjut


Membaca di sekolah dasar terpilah menjadi dua bagian yaitu
membaca permulaan dan membaca lanjut. Membaca lanjut dilaksanakan
di kelas tinggi sekolah dasar (kelas 4-6). Membaca lanjut menekankan pada
bagaimana anak-anak dapat menangkap pikiran, perasaan orang lain yang
dikemukakan melalui bahasa dan menekankan pada pemahaman isi
bacaan. Oleh karena itu, penguasaan yang lancar dari teknik membaca itu
merupakan syarat pertama yang tidak boleh dilupakan. Jenis-jenis
membaca lanjut:
− Membaca pemahaman
− Membaca memindai
− Membaca layap (sekilas)
− Membaca nyaring (teknis)
− Membaca dalam hati

156
− Membaca indah
− Membaca bersama
− Membaca mandiri
Adapun metode pembelajaran membaca di kelas tinggi sebagai berikut:
− Melagukan puisi
− Memerankan puisi
− Berburu kata konotatif
− Menggambar ilustrasi puisi
− Meneruskan puisi
− Mengawali dan mengakhiri cerita
− Baca-ragakan
− Baca-gambar
− Diskusi konflik cerita
Kegiatan pembelajaran menulis lanjut terdiri dari menulis karya
fiksi dan non fiksi. Menulis karya nonfiksi adalah cerita yang disusun
berdasarkan kenyataan, yang termasuk ke dalam karya nonfiksi adalah
surat, iklan, penguman, pidato, laporan dan makalah. Sedangkan menulis
karya fiksi adalaah tulisan yang dibangun berdasarkan khayalan
pengarangnya. Yang termasuk ke dalam karya fiksi adalah novel atau
cerpen. Jenis-jenis menulis lanjut:
− Menulis Narasi
− Menulis Deskripsi
− Menulis Eksposisi
− Menulis Argumentasi
− Menulis Persuasi
Metode yang dapat diterapkan pada pembelajaran menulis lanjut,
antara lain:
− Menulis bersama
− Menulis kolaboratif
− Menceritakan pengalaman

D. Latihan
Setelah Bapak/Ibu membaca dan memahami materi utama dan penunjang.
Langkah selanjutnya agar supaya terlatih dan lebih memahami kegiatan belajar 4,
silahkan bapak/Ibu mengerjakan tugas berikut:
1. Deskripsikan kemajuan belajar yang telah Bapak/Ibu peroleh setelah
mempelajari KB 4!

157
2. Uraikan bagian dari materi yang esensial dan tidak esensial pada materi
utama dan materi penunjang! Berikan analisis kritis Bapak/Ibu terkait materi
tersebut!
3. Dalam Kurikulum 2013 jenjang MI/SD kelas VI, terdapat KD 3.3: Menggali
informasi dari seorang tokoh melalui wawancara menggunakan daftar
pertanyaan. Kemukakan analisis saudara terkait strategi dan langkah-
langkah pembelajaran agar siswa mampu mencapai kompetensi tersebut.
4. Apakah langkah-langkah pembelajaran tersebut dapat mengadopsi salah satu
indikator moderasi beragama? Berikan analisis saudara!

E. Referensi Tambahan
Artikel/Jurnal/Buku:
Untuk menambah wawasan anda tentang materi tersebut di atas, anda dapat
melihat tautan video maupun bahan presentasi berikut:
1. https://media.neliti.com/media/publications/77090-none-baccecce.pdf
2. https://www.slideshare.net/rizka_pratiwi/hakikat-sastra-anak-sastra-
anak-di-usia-awal
3. https://vdocuments.mx/hakikat-sastra-anak-sastra-anak-di-usia-
awal.html
Video:
1. https://www.youtube.com/watch?v=xSvB0Wh0wVc
2. https://www.youtube.com/watch?v=bQpFMkyWC_Y

158
ANALISIS MATERI AJAR

Lembar Kerja Belajar Mandiri 1.1


Judul Modul Modul GKMI-Bahasa
Indonesia
Judul Kegiatan Belajar (KB) 1. Hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa anak
untuk MI/SD
No Butir Refleksi Respon/jawaban
1. Daftar peta konsep (istilah dan definisi) pada
Kegiatan Belajar (KB) 1
2. Daftar materi yang sulit dipahami pada
Kegiatan Belajar (KB) 1
3. Daftar materi yang sering mengalami
miskonsepsi/tidak dipahami pada Kegiatan
Belajar (KB)

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 2. Aspek kebahasaan dan keterampilan
berbahasa untuk MI/SD
No Butir Refleksi Respon/jawaban
1. Daftar peta konsep (istilah
dan definisi) pada Kegiatan
Belajar (KB) 2
2. Daftar materi yang sulit
dipahami pada Kegiatan
Belajar (KB) 2

3. Daftar materi yang sering


mengalami
miskonsepsi/tidak dipahami
pada Kegiatan Belajar (KB) 2

159
Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia
Judul Kegiatan Belajar (KB) 3. Sastra Anak
No Butir Refleksi Respon/jawaban
1. Daftar peta konsep (istilah dan
definisi) pada Kegiatan Belajar
(KB) 3
2. Daftar materi yang sulit
dipahami pada Kegiatan Belajar
(KB) 3
3. Daftar materi yang sering
mengalami miskonsepsi/tidak
dipahami pada Kegiatan Belajar
(KB) 3

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 4. Pembelajaran Bahasa Indonesia
di MI/SD

No Butir Refleksi Respon/jawaban


1. Daftar peta konsep (istilah dan
definisi) pada Kegiatan Belajar (KB) 4
2. Daftar materi yang sulit dipahami
pada Kegiatan Belajar (KB) 4
3. Daftar materi yang sering mengalami
miskonsepsi/tidak dipahami pada
Kegiatan Belajar (KB) 4

160
Lembar Kerja Belajar Mandiri 1.2

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 1. Hakikat bahasa dan pemerolehan
bahasa anak untuk MI/SD
N Butir Refleksi Respon/jawaban
o
1. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai pemecahan masalah dalam
memahami materi KB 1 yang mengalami
kesulitan
2. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai miskonsepsi pada materi
KB 1

3. Hambatan yang dialami dalam


pembelajaran berbasis masalah pada materi
KB 1

4. Berdasarkan permasalahan diatas, lakukan


identifikasi materi yang sulit di
implementasikan dalam pembelajaran
sehari-hari di sekolah

5. Analisis faktor lain yang mempengaruhi


permasalahan yang muncul tersebut dalam
pembelajaran di kelas (karakterisitk peserta
didik, Sarana dan prasarana, tingkat
kesulitan materi dll.)

6. Kembangkan materi ajar berbasis masalah


yang dianalisis dalam pembelajaran di kelas

161
7. Sebutkan langkah-langkah
pengukuran/evaluasi ketercapaian
perbaikan atas permasalahan tersebut
8. Uraikan tindak lanjut hasil evaluasi yang
dilakukan sehingga berkesinambungan

9. Uraikan refleksi proses PBL yang telah


dilakukan

10. Hal yang dilakukan untuk membantu diri


dalam pembelajaran berikutnya

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 2. Aspek kebahasaan dan keterampilan
berbahasa untuk MI/SD
No Butir Refleksi Respon/jawaban
1. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai pemecahan masalah dalam
memahami materi KB 2 yang mengalami
kesulitan

2. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan


dosen mengenai miskonsepsi pada materi
KB 2

3. Hambatan yang dialami dalam


pembelajaran berbasis masalah pada materi
KB 2

4. Berdasarkan permasalahan diatas, lakukan


identifikasi materi yang sulit di
implementasikan dalam pembelajaran
sehari-hari di sekolah

162
5. Analisis faktor lain yang mempengaruhi
permasalahan yang muncul tersebut dalam
pembelajaran di kelas (karakterisitk peserta
didik, Sarana dan prasarana, tingkat
kesulitan materi dll.)

6. Kembangkan materi ajar berbasis masalah


yang dianalisis dalam pembelajaran di kelas

7. Sebutkan langkah-langkah
pengukuran/evaluasi ketercapaian
perbaikan atas permasalahan tersebut
8. Uraikan tindak lanjut hasil evaluasi yang
dilakukan sehingga berkesinambungan
9. Uraikan refleksi proses PBL yang telah
dilakukan
10. Hal yang dilakukan untuk membantu diri
dalam pembelajaran berikutnya

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 3. Sastra Anak Untuk MI/SD
No Butir Refleksi Respon/jawaban
1. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai pemecahan masalah dalam
memahami materi KB 3 yang mengalami
kesulitan

2. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan


dosen mengenai miskonsepsi pada materi
KB 3

3. Hambatan yang dialami dalam


pembelajaran berbasis masalah pada materi
KB 3

163
4. Berdasarkan permasalahan diatas, lakukan
identifikasi materi yang sulit di
implementasikan dalam pembelajaran
sehari-hari di sekolah

5. Analisis faktor lain yang mempengaruhi


permasalahan yang muncul tersebut dalam
pembelajaran di kelas (karakterisitk peserta
didik, Sarana dan prasarana, tingkat
kesulitan materi dll.)

6. Kembangkan materi ajar berbasis masalah


yang dianalisis dalam pembelajaran di kelas
7. Sebutkan langkah-langkah
pengukuran/evaluasi ketercapaian
perbaikan atas permasalahan tersebut
8. Uraikan tindak lanjut hasil evaluasi yang
dilakukan sehingga berkesinambungan

9. Uraikan refleksi proses PBL yang telah


dilakukan

10. Hal yang dilakukan untuk membantu diri


dalam pembelajaran berikutnya

Judul Modul Modul GKMI-Bahasa Indonesia


Judul Kegiatan Belajar (KB) 4. pembelajaran bahasa indonesia di
mi/sd

No Butir Refleksi Respon/jawaban


1. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai pemecahan masalah
dalam memahami materi KB 4 yang
mengalami kesulitan
2. Uraikan hasil diskusi bersama teman dan
dosen mengenai miskonsepsi pada materi
KB 4

164
3. Hambatan yang dialami dalam
pembelajaran berbasis masalah pada
materi KB 4

4. Berdasarkan permasalahan diatas, lakukan


identifikasi materi yang sulit di
implementasikan dalam pembelajaran
sehari-hari di sekolah
5. Analisis faktor lain yang mempengaruhi
permasalahan yang muncul tersebut
dalam pembelajaran di kelas (karakterisitk
peserta didik, Sarana dan prasarana,
tingkat kesulitan materi dll.)

6. Kembangkan materi ajar berbasis masalah


yang dianalisis dalam pembelajaran di
kelas
7. Sebutkan langkah-langkah
pengukuran/evaluasi ketercapaian
perbaikan atas permasalahan tersebut
8. Uraikan tindak lanjut hasil evaluasi yang
dilakukan sehingga berkesinambungan

9. Uraikan refleksi proses PBL yang telah


dilakukan

10. Hal yang dilakukan untuk membantu diri


dalam pembelajaran berikutnya

Penilaian:
Partisipasi aktif dan penyelesian LK : 25% (skor maksimal 100)
Penyelesaian Self Assesment : 35% (skor maksimal 100)
Produk berupa materi ajar : 40% (skor maksimal 100)
Nilai Akhir diperoleh : (25% x a + x b + 40% x c)

165
DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, S, dkk. (2012). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta:


Erlangga Aminudin. (1994). Pengantar Memahami Unsur-unsur dalam Karya
Sastra. Malang: FPBS IKIP
Ali Mustadi. dkk. (2021). Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dan
Bersastra yang Efektif di Sekolah Dasar. Yogyakarta: UNY Press
Arifin, Zaenal. (2006). Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo
Arifindan Junaiyah. (2007). Morfologi . Jakarta: Grasindo.
Arifindan Junaiyah. (2008). Sintaksis. Jakarta: Grasindo.
Badudu, J.S. (1990). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. (1993). Membina Bahasa Indonesia Baku Jilid I dan II. Bandung: Pustaka
Prima.
Badudu, J.S. (1994). Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. (1995). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.
Badudu, JS.(1983). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.
Chabib Thoha, M. (1991). Teknik evaluasi pendidikan. Semarang: CV. Rajawali.
Damaianti & Vismaia, S. (2007). “Evaluasi dalam Pembelajaran”. Makalah.
Chaer. (2007). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer. (2008). Morfologi. Jakarta: RinekaCipta.
Chaer. (2009). Sintaksis. Jakarta: RinekaCipta.
Chaer.(2006). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer. (2007).
Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, L. (2007). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goodman, K. S. (1986). What's Whole in Whole Language? A Parent/Teacher Guide to
Children's Learning. Heinemann Educational Books, Inc., 70 Court St.,
Portsmouth.
Hanum Hanifa Sukma, M. Fakhrur Saifudin. (2021), Keterampilan Menyimak dan
Berbicara: Teori dan Praktik. K-Media Yogyakarta.
Harsiati, Titik. (2002). “Penilaian Berbasis Kelas dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia”. Makalah.
Harsiati, Titik. (2002). “Penilaian Berbasis Kelas dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia”. Makalah. Hartati, T. dkk (2012). Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di SD Kelas Rendah. Bandung: UPI Press Ibrahim.
Hartati, T. (2017). Apresiasi Sastra Anak. Bandung: Pascasarjana UPI.

166
Hartati, Tatat. (2005). Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak. Bandung: UPI Press
Huck, Charlote. Dkk. (1987). Children Literature in the Elementary School. Chicago:
Rand McNally College Publishing Company.
Iskandarwassid, & Sunendar D. (2011). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT.
RemajaRosdakarya
Karyono. Resmini, et.al. (2006). Kebahasaan: Fonologi, Morfologi, dan Semantik.
Bandung: UPI Press.
Keraf, G. (2004). Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Keraf, G. (2004). Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah
Marsono. (2006). Fonetik. Yogyakarta: GMU Press.
Muslich, Mansur. (2010). Garis-GarisBesar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Bandung: PT. RefikaAditama
Muslich. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich. (2008). Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Parera. (2005).
Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
N & Yanti, P. G. (2017). Bahan Ajar Evaluasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta: UHAMKA
Nurgiyantoro, B. (2014). Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi.
Yogyakarta: BPFE Puskur. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar. Kompetensi
Dasar Mata Pelejaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Balitbang, Depdiknas.
Parera. (2007). Morfologi Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Putrayasa. (2008). Analisis Kalimat. Bandung: Refika Aditama.
Putrayasa. (2008). Kajian Morfologi. Bandung: Refika Aditama.
Putrayasa. (2009). Kalimat Efektif. Bandung: Refika Aditama.
Purbarani Jatining Panglipur, Eka Listiyaningsih. (2017). Sastra Anak Sebagai Sarana Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Untuk Menumbuhkan Berbagai Karakter Di Era Global
Rahardi. (2005). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Ramelan. (1982). Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran. Jakarta: Departemen P
dan K.
Ramlan. (1995). Sintaksis: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Ramlan. (2001). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV
Richard, J. C dan Rodgers, T.S. (1986). Approach and Methods in Language Teaching.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Riris K. Toha Sarumpaet, (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi.
Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional

167
Rothelin, Liz, dan A. M. Meinbach. (1991). The Literature Connection. USA: Scott
Foresman Company.
Sabariyanto, D. (1999). Kebakuan dan Ketidakbakuan Kalimat dalam bahasa Indonesia.
Yogyakarta: MGW.
Sabariyanto, D. (2001). Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku? Jilid 1 dan 2.
Yogyakarta: MGW.
Santosa, et.al. (2008). Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: UT.
Soedjito (1995). Kalimat Efektif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Solchan, T. W. (2008). Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta:
Universitas terbuka.
Stewig, J. Warren. (1980). Children and Literature. Chicago: Rand Mc Nally Publishing.
Sudjiman, P. (1984). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugono, D. (2004). Membina Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Puspa Swara. Tarigan.
(2003). Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.
Sukiman. (2012). Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta: Insan Madani. Suparno, P.
(1997) Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Supriyadi, dkk. (2005). Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta : Depdikbud
Syafi'ie, I. (2009). Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa. Bahasa dan
Seni, 23(2).
Tarigan. (2003). Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Tarigan. (2003. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
________ (2008). Menyimak sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
__________ (2008_. Berbicara sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
__________ (2008). Menulis sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
__________ (2008). Membaca sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
__________. (1995). Pengantar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Tompkins, G. E. (1990).
Teaching Writing: balancing process and product. New York: McMillan
College Publishing Company.
Zuchdi, Darmiyati dan Budiasih. (1997) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas
Rendah. Jakarta: Depdikbud.
Zuhdi, Darmiyati. (1997_. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah.
Jakarta: Dikti.

168
BIBLIOGRAFI

Adaptasi: penyesuaian diri.


Arbitrer: manasuka.
Arbitrer: Sewenang-wenang, mana suka.
Aspirasi: keinginan.
Bahasa baku: ragam bahasa yang ejaan, tata bahasa dan kosa katanya dijadikan norma
pemakaian yang benar.
Baik baik
Baku: standar.
Barometer: tolak ukur.
Dialek: ujaran yang khas daerah tertentu.
Eksistensi: keberadaan.
Ekspresi: pengungkapan maksud, gagasan perasaan.
Emotif: bersifat membangkitkan perasaan.
Fatik: menyapa sekadar untuk mengadakan kontak.
Fonem: bunyi bahasa yang minimal membedakan bentuk dan makna kata.
Fonologi: bagian dari tata bahasa atau ilmu bahasa yang mempelajari bunyi-bunyi
ujaran suatu bahasa.
Fonologi: ilmu tentang bunyi bahasa hubungan wajib antara lambang bahasa dengan
konsep yang dimaksud
Formal: resmi.
Frasa: satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif
Frase: penggabungan dua kata atau lebih menjadi kesatuan yang mendukung sebuah
makna.
Frozen: beku.
Generasi: angkatan.
Geografis: bersangkut-paut dengan geografi.
Globalisasi: proses menuju masyarakat dunia.
Hand phone: telepon genggam.
Harfiah: berdasarkan konteks kalimat.
Hipotesis: sesuatu yang kebenarannya masih harus dibuktikan.
Ide: gagasan.
Identifikasi: penetapan identitas seseorang.
Identitas: ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.

169
Ilmiah: secara ilmu pengetahuan.
Informasi: pemberitahuan.
Inspirasi: gagasan yang muncul dalam ingatan.
Integrasi: pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh.
Intonasi: lagu kalimat.
Isyarat: gerakan yang dipakai sebagai tanda.
Morfologi: cabang linguistik yg mempelajari masalah morfem dan kombinasinya oleh
lambang tersebut
Morfologi: ilmu bahasa tentang seluk-beluk bentuk kata.
Pragmatik: cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
Semantic: bidang studi dalam lingusitik yang mempelajari makna atau tentang arti.
Semantik: ilmu tentang makna kata dan kalimat
Semiotika: ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan
Signifiant: penanda lambang bunyi itu
Signifie: petanda konsep yang dikandung penandanya
Simulasi: rangsangan
Sintagmatik: relasi antarmakna kata dalam satu frasa secara horizontal.
Sintaksis: cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata dalam
Sistematis: teratur menurut sistem; memakai sistem; dengan cara yg diatur
Unik: setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki

170

Anda mungkin juga menyukai