Anda di halaman 1dari 165

URAIAN MATERI

1. Hakikat Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok
sosial tertentu untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang berupa sistem
simbol bunyi yang dihasilkan dari ucapan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan manusia lainnya di masyarakat, untuk
kepentingan interaksi sosial itu, maka dibutuhkan suatu wahana komunikasi yang disebut
bahasa.

Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu:


a. bahasa itu adalah sebuah sistem;
b. bahasa itu berwujud lambing;
c. bahasa itu berupa bunyi;
d. bahasa itu bersifat arbitrer;
e. bahasa itu bermakna;
f. bahasa itu bersifat konvensional;
g. bahasa itu bersifat unik;
h. bahasa itu bersifat universal;
i. bahasa itu bersifat produktif;
j. bahasa itu bervariasi;
k. bahasa itu bersifat dinamis.
a. Bahasa itu adalah Sebuah Sistem
Bahasa sendiri adalah sistem, terdiri jadi beberapa komponen yang memiliki fungsi tertentu
dan memiliki tujuan/makna. sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. b. Bahasa itu Berwujud Lambang

Bahasa merupakan perwujudan dari lambang bunyi. Terlihat jelas pada saat bahasa
tulis, penulisan huruf merupan lambng dari bahasa. c. Bahasa itu Berupa Bunyi

Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari
getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa

1
adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Akan tetapi juga tidak semua bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa. Bunyi bahasa merupakan bunyi
yang dihasilkan alat ucap manusia yang bermakna.

d. Bahasa itu Bersifat Arbitrer


Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana
suka’. Air dalam bahasa Indonesia artinya cairan, air dalam bahasa Inffris artinya udara.

e. Bahasa itu Bermakna


Bahasa harus bermakna, memiliki arti dan maksud tertentu. Contoh:
[malam], [adik], [ibu], [lampu], [santai]: bermakna => bahasa
[dmal], [qwer], [ikikl], [ykow]: tidak bermakna => bukan Bahasa

f. Bahasa itu Bersifat Konvensional


Bahasa memang mana suka, sewenang-wenang, tapi sifatnya disepakati oleh kelompok
tertentu.

g. Bahasa itu Bersifat Unik


Bahasa bersifat unik, artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh
bahasa lainnya. Ciri khasnya sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan
kalimat, atau sistem-sistem lainnya.

h. Bahasa itu Bersifat Universal


Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama
yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang
paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan
konsonan. i. Bahasa itu Bersifat Produktif

Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi
dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak
terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya,

2
kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat
kita hasilkan satuan-satuan bahasa:

/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/

j. Bahasa itu Bervariasi


Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai
status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka
bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:

1) Idiolek: Ragam bahasa yang bersifat perorangan.


2) Dialek: Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada
suatu tempat atau suatu waktu.

3) Ragam: Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu.


Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.

k. Bahasa itu Bersifat Dinamis


Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang
keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena
keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di
dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah,
menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah
baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.

2. Fungsi Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi sosial yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan dari
alat ucap manusia. Bahasa adalah salah satu sarana untuk berinteraksi antarsesama manusia.
Setiap masyarakat memiliki bahasanya masingmasing. Dalam berkomunikasi, alat yang sering

3
digunakan adalah bahasa, baik berupa bahasa tulis maupun bahasa lisan. Bahasa sebagai
sarana komunikasi mempunyai fungsi berdasarkan kebutuhan seseorang secara sadar atau
tidak sadar yang digunakannya. Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan diri, alat
komunikasi, dan sarana untuk kontrol sosial.
Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki empat fungsi sebagai berikut:
a) Fungsi Informasi
Bahasa berfungsi untuk menyampaikan informasi timbal balik antaranggota keluarga
maupun anggota-anggota masyarakat. Wujud fungsi bahasa sebagai fungsi informasi
misalnya: berita, pengumuman, petunjuk pernyataan lisan ataupun tulisan melalui media
massa, baik media cetak (koran, majalah, dan lain-lain) ataupun elektronik (televisi, radio,
website/blog, dan lain-lain).

Contoh fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam fungsi informasi:


1) Kita mendapatkan informasi dari berita televisi maupun koran;
2) pengumuman hasil seleksi tes CPNS diumumkan melalui website;
b) Fungsi Ekspresi Diri
Bahasa memiliki fungsi ekspresi diri berarti bahwa bahasa berfungsi untuk
menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan pembicara. Bahasa
sebagai alat untuk mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan
keberadaan (eksistensi) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi, dan untuk menarik
perhatian orang lain.

c) Fungsi Adaptasi dan Integrasi


Bahasa memiliki fungsi adaptasi dan integrasi yaitu untuk menyesuaikan dan
membaurkan diri dengan anggota masyarakat. Melalui bahasa, seseorang dapat belajar tentang
adat istiadat, pola hidup, perilaku, dan etika dalam suatu masyarakat. Jika seseorang mudah
beradaptasi dengan masyarakat, maka dengan mudah juga dia akan membaurkan diri
(integrasi) dengan kehidupan masyarakat tersebut.

d) Fungsi Kontrol Sosial


Bahasa berfungsi mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Apabila fungsi ini
berlaku dengan baik maka semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik juga.

4
Tentunya dengan penyampaian bahasa yang komunikatif dan persuasif. Sebagai contoh,
pendapat seorang Kepala Desa akan ditanggapi dengan baik oleh masyarakatnya. Dengan
bahasa, seseorang bisa mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang
lebih berkualitas.

3. Kedudukan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa yang penting di negara kita. Pentingnya peranan
bahasa Indonesia antara lain bersumber dari ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dan pasal 36
UUD 1945. Penutur Bahasa Indonesia di negara kita menduduki peringkat teratas, baik
digunakan sebagai Bahasa pertama ataupun kedua. Hal ini akan terus bertambah karena
disebabkan oleh arus urbanisasi, perkawinan antar suku, ‘keputusan’ orang tua masa kini, dari
berbagai latar belakang budaya yang ingin menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.

Penggunaan Bahasa Indonesia lebih luas penyebaraannya bila dibandingkan dengan


bahasa Nusantara lainnya dan menduduki tempat teratas. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
kedua dipakai dari Sabang sampai Merauke. Di beberapa daerah, bahasa Indonesia dijadikan
Bahasa setempat, seperti di pantai Timur Sumatra, Riau, Bangka, daerah pantai Kalimantan.
Bahkan bahasa Indonesia dipakai dan dipelajari di beberapa negara seperti Australia, Filipina,
Jepang, Korea, Rusia, India, Ceko, Jerman, Prancis, Nerlandia, Inggris, Amerika, sebagai
Bahasa asing.

Kedudukan Bahasa Indonesia diidentifikasikan menjadi bahasa persatuan, bahasa


nasional, bahasa negara, dan bahasa standar. Keempat posisi bahasa Indonesia itu mempunyai
fungsi masing-masing seperti berikut:

a. Bahasa Persatuan
Bahasa persatuan adalah alat pemersatu suku bangsa, yaitu pemersatu suku, agama,
rasa dan antar golongan (SARA) bagi suku bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Fungsi pemersatu ini (heterogenitas/kebhinekaan) sudah dicanangkan dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928.

b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

5
Bahasa Nasional adalah fungsi jati diri Bangsa Indonesia bila berkomunikasi dengan
negara luar. Fungsi bahasa nasional ini dirinci sebagai berikut:

1) Lambang kebanggaan kebangsaan Indonesia


2) Identitas nasional dimata internasional
3) Sarana hubungan antarwarga, antardaerah, dan antar budaya, dan
4) Pemersatu lapisan masyarakat: sosial, budaya, suku bangsa, dan bahasa.

c. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara


Fungsi Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara:
1) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan. Sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai dalam acara resmi kenegaraan, seperti pidato
kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

2) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar didalam dunia pendidikan


dimulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.

3) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Bahasa Indonesia sebagai
alat perhubungan didalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan
bahasanya, bukan hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, maupun sebagai alat perhubungan antar daerah dan
antar suku saja.

4) Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu


pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia adalah alat yang memungkinkan kita
membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia
memikili ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan
daerah.

4. Ragam Bahasa
Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat saling
berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan

6
kemampuan intelektual. Bahasa Indonesia memiliki banyak ragamnya yang disebabkan oleh
beragam penutur dan luas pemakaiannya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih
ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.

Ragam bahasa Indonesia di masyarakat sangat beragam. Namun masih bisa dipahami
antar satu dengan lainnya, sebab intisari bersama atau terasnya (ciri dan kaidah tata bunyi,
pembentukan kata, tatamakna) umumnya sama. Bila dilihat dari golongan penutur bahasa,
bahasa Indonesia dirinci menurut patokan daerah (logat/dialek), pendidikan, dan sikap
penutur. Keanekaan logat terlihat dari tekanannya, turun-naiknya nada, dan panjang
pendeknya bunyi bahasa yang menimbulkan aksen yang bermacam-macam. Contohnya adalah
bunyi /t/ dan /d/ pada orang Bali, pelafalan putera Tapanuli, Jawa, dan lain-lain. Ragam Bahasa
juga bisa dilihat dari unsur tatabunyi, perbedaan kosa kata, dan variasi gramatikal.

Pemakaian bahasa Indonesia oleh orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak
berpendidikan formal juga memiliki perbedaan. Dalam tata bunyi misalnya, orang yang
berpendidikan formal akan melafalkan /f/ dengan tepat pada kata-kata berikut: film, fitnah dan
juga bunyi /ks/ pada kata kompleks. Namun berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan
formal. Mereka akan melafalkannya menjadi /p/ dan /k/, sehingga menjadi pilem, pitnah, dan
komplek.

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbedabeda menurut
topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan,
serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Seiring dengan perkembangan zaman
yang sekarang ini banyak masyarakat yang mengalami perubahan. Bahasa pun juga
mengalami perubahan. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai
keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang
cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000).

Sikap penutur juga menciptakan keberagaman Bahasa Indonesia. Sikap ini sering
disebut dengan lagam bahasa atau gaya bahasa yang ditentukan oleh umur penutur, kedudukan
pokok persoalan yang sedang dibicarakan, dan tujuan informasi yang disampaikan. Gaya

7
bahasa akan berbeda ketika memberikan laporan kepada atasan, memarahi orang, membujuk
pacar, maupun menulis surat kepada orangtua.

Ragam bahasa baku dapat berupa: ragam bahasa baku tulis dan ragam bahasa baku
lisan. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman bahasa, diantaranya adalah
faktor budaya atau letak geografis, faktor ilmu pengetahuan, faktor sejarah. Ragam Bahasa
Indonesia dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

a) berdasarkan media, b) berdasarkan cara pandang penutur c) berdasarkan topik pembicaraan.

a. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media


Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam
bahasa terdiri,
1) Ragam bahasa lisan
2) Ragam bahasa tulis
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap manusia (organ of speech) dinamakan ragam
bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf
sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita
berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan bahasa yang
dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan
besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun
demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di
dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam
ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam
memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan
pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan,
ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam
lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-
cirinya tidak menunjukkan ciriciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis,

8
ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-
masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ciri-ciri ragam lisan:


1) Memerlukan orang kedua/teman bicara;
2) Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
3) Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.

4) Berlangsung cepat;
5) Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
6) Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
7) Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya
tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat
yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi
pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis
diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan,
struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam
struktur kalimat.

Ciri-ciri ragam tulis:


1) Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;
2) Tidak tergantung kondisi, situasi, dan ruang serta waktu;
3) Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4) Berlangsung lambat;
5) Selalu memakai alat bantu;
6) Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7) Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda
baca.

b. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur

9
Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa
ragam diantaranya adalah:

1) Ragam dialek
Contoh: ‘Gue udah baca itu buku.’
2) Ragam terpelajar
Contoh: ‘Saya sudah membaca buku itu.’ 3) Ragam
resmi

Contoh: ‘Saya sudah membaca buku itu.’


4) Ragam tak resmi
Contoh: ‘Aku udah baca buku itu.’

c. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan


Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam diantara nya
adalah:

1. Ragam bahasa ilmiah


2. Ragam hukum
3. Ragam bisnis
4. Ragam agama
5. Ragam sosial
6. Ragam kedokteran
Menurut Bachman (1990), “ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian,
yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan
bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara.”

1) Ragam Bahasa (RB)


2) Cara Pandang Penutur
3) Ragam Dialek
4) Ragam Pendidikan (Baku dan tidak baku)
5) RB menurut Sikap Penutur (faktor Usia, Kedudukan, Sikap, Pokok

1
0
Persoalan, Tujuan Penyampaian Informasi)
6) Media
7) RB Media Lisan, seperti (Cakapan, Pidato, kuliah, atau Panggung).
8) RB Media Tulisan seperti (Teknis, UU, Catatan, atau Surat)
9) Topik Pembicaraan
10) Ragam Hukum
11) Ragam Bisnis
12) Ragam Sastra
13) Ragam Kedokteran
14) Jurnalistik
15) Ragam Ilmiah

5. Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak


Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses yang berlaku di
dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Prosesproses ketika anak sedang
memperoleh bahasa ibunya terdiri dari dua aspek (1) aspek performance yang terdiri dari
aspek- aspek pemahaman dan pelahiran; (2) aspek kompetensi. Proses pemahaman melibatkan
kemampuan mengamati dan mempersepsi setiap kalimat yang didengar sedangkan proses
pelahiran melibarkan melibatkan kemampuan mengucapkan kalimat. Jika kedua kemapuan
mengamati dan mengucapkan telah dikuasai dengan baik maka akan menjadi kemampuan
lingusitiknya. Kemampuan ini terjadi dari tiga komponen, yaitu kemampuan pemerolehan
fonologi, semantik, dan kalimat. Ketiga komponen ini diperoleh anak secara bersamaan.

Pembelajaran bahasa merupakan proses-proses dimana seseorang sedang mempelajari


bahasa baru setelah ia selesai memperoleh bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa melibatkan
bahasa pertama sedangkan pembelajaran bahasa melibatkan bahasa kedua atau bahasa asing.

Berdasarkan pengamatan dan kajian para ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa
manusia telah dilengkapi sesuatu yang khusus dan secara alamiah untuk dapat berbahasa
dengan cepat dan mudah. Miller dan Chomsky (1957) menyebutkan LAD (language
acquisition device) yang intinya bahwa setiap anak telah memiliki LAD yang dibawa sejak

1
1
lahir. LAD ini merupakan suatu perangkat intelek yang khusus untuk menguasai bahasa ibu
dengan mudah dan cepat. Sedangkan benda yang diperoleh adalah kemampuan dan
penampilan berbahasa. Kemampuan adalah tata bahasa atau pengetahuan bahasa anak yang
terdiri dari tiga komponen, yakni fonologi, semantik dan sintaksis.

6. Teori-teori tentang Pemerolehan Anak


a. Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme mempelajari perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung
dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang
efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi
suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan.

Bahasa adalah hal yang sangat mendasar dari keseluruhan perilaku manusia. para
psikolog behaviorisitik menelitinya dan berusaha merumuskan teori-teori konsisten mengenai
pemerolehan bahasa pertama. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa Pertama) dan
B2 (Bahasa Kedua) sangat bervariasi. Pendekatan behavioristik terfokus pada aspek-aspek
yang dapat diamati langsung dari perilaku linguistik dan berbagai hubungan antara
respon-respon dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Jika sebuah respon tertentu
dirangsang berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau terkondisikan. Maka,
akan semakin terbiasa si anak tersebut sehingga dalam mempelajari bahasa Indonesia akan
terkondisikan secara sendirinya.

b. Teori Nativisme
Chomsky yang merupakan tokoh nativisme berpendapat bahwa bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia. Pendapat ini didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku
berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik). Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam
waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data
yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa. Aliran ini
mempercayai setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan alat untuk memperoleh bahasa
(Language Acquisition Device, disingkat LAD) dan mempunyai empat ciri utama, yaitu (1)
kemampuan untuk membedakan bunyi-bunyi yang lain; (2) kemampuan mengorganisasikan
peristiwa-peristiwa linguistik ke dalam berbagai kelas; (3) pengetahuan mengenal jenis sistem

1
2
linguistik tertentu sajalah yang mungkin mengungkapkan hal itu, sedangkan yang lain-lainnya
tidak; (4) kemampuan memanfaatkan secara konstan evaluasi untuk membangun sistem yang
mungkin paling sederhana dari data yang ditemukan. Bahasa yang akan diperoleh anak akan
bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar.

Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Tanpa LAD, tidak
mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai
sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi
bahasa dan bukan bunyi bahasa.

c. Teori Kognitivisme
Teori ini berpendapat bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah
melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih
umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan
perkembangan bahasa. Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan
bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur
bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa
harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah


perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan
berbahasa. Usia 0-18 bulan anak belum mengenal bahasa, pada usia ini anak hanya mengenal
benda yang dilihatnya secara langsung. Pada usia satu tahun, anak sudah mulai mengerti
bahwa benda memiliki sikap permanen sehingga anak menggunakan simbol untuk
mempresentasikan benda benda tersebut, kemudian simbol tersebut berkembang menjadi kata-
kata awal yang diucapkan oleh anak.

d. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil
interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan
bahasa berhubungan dengan interaksi antara input dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

1
3
Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir tetapi tanpa masukan yang tidak sesuai anak tidak
dapat menguasai bahasa secara otomatis. Bahasa yang dihasilkan anak-anak sebagian didesak
oleh berbagai hal yang mereka pikirkan mengenai hal itu.

e. Teori Fungsional.
Teori ini bertolak belakang dengan teori nativis yang menekankan bahwa kaidah-
kaidah yang ditawarkan adalah abstrak, formal, eksplisit, dan sangat logis, tetapi baru
bersentuhan dengan bentuk-bentuk bahasa dan tidak menghiraukan makna. Teori ini
beranggapan bahwa bahasa harus dikaitkan dengan konteks sosial yang bersifat pragmatis
yang penuh dengan bentuk-bentuk.

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak


Anak dalam pemerolehan bahasa pertama bervariasi, ada yang lambat, sedang, bahkan
ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut ini:

a. Faktor Alamiah
Setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan
Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Potensi tersebut akan berkembang setelah
mendapatkan stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui LAD sifatnya
alamiah sehingga jika tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasapun anak akan mampu
menerima bahasa yang ada di sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir
ini bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan
oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang
memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.

b. Faktor Biologis
Faktor biologis yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak adalah otak (sistem syaraf
pusat), alat dengar, dan alat ucap.

c. Faktor Lingkungan Sosial


Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis tetapi didapatkan dari
lingkungan yang menggunakan bahasa, sehingga anak memerlukan orang lain untuk

1
4
mendapatkan bahasa atau menerima dan mengirim simbol-simbol bahasa dalam bentuk
suara secara fisik.

d. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Intelegensi
juga dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah.
Meskipun, anak yang bernalar lebih tinggi tidak dapat dipastikan akan lebih sukses
daripada anak yang berdaya nalar pas-pasan dalam hal pemerolehan bahasa.

e. Faktor Motivasi
Sumber motivasi pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu motivasi dari dalam atau
internal dan motivasi dari luar diri atau eksternal. Dalam belajar bahasa seorang anak
tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang
bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986;
Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari
dalam diri anak sendiri.

8. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Anak


Di tahun pertama kehidupan, manusia tampaknya memproduksi bahasa dengan
bergerak maju melewati tahap- tahap berikut:

a. Mendekut ( kebanyakan mengandung bunyi vokal)


Bayi-bayi sanggup memproduksi bunyi dari dirinya sendiri. Yang paling jelas, aspek-
aspek komunikatif dari tangisan –entah diniatkan atau tidak- berfungsi cukup efektif.
Namun berdasarkan kemahiran berbahasanya, mendekutnya bayi-bayi yang paling
membingungkan ahli-ahli bahasa. Mendekut (cooing) adalah ekspresi oral bayi
mengeksplorasi pemroduksian bunyi vocal. Bayi normal dan bayi yang tuli tidak bisa
dibedakan mendekutnya. Bayi-bayi bisa membuat pilihan fonetik yang tidak bisa
dibedakan oleh orang dewasa dan hanya dimengerti oleh mereka.

b. Meraban/ mengoceh (mengandung bunyi konsonan dan bunyi vokal) Meraban (babbling)
adalah produksi yang dipilih bayi terkait fonem-fonem yang terpilih –entah bunyi vokal

1
5
maupun konsonannya- yang merupakan ciri bahasa asal bayi (Locke, 1994; petitto &
Marentette,1991). Di tahap ini bayibayi tuli tidak lagi mengucapkan bunyi vokal. Bunyi
diproduksi berdasarkan perubahan di dalam pendengaran bayi. Oleh karena itu,
mendekutnya bayi diseluruh dunia esensinya sama, namun merabannya bayi berbeda.
Selama tahap Ini, kemampuan bayi untuk mencerap dan memproduksi fon-fon selain
fonem semakin memudar.

c. Ucapan Satu Kata


Pada akhirnya, bayi mengucapkan kata pertamanya. Ini diikuti dengan singkat oleh satu
dua kata lagi. Segara sesudahnya, beberapa kata lagi menyusul. Ucapan ini terbatas pada
bunyi vokal dan konsonan yang digunakan (Ingram, 1999). Bayi menggunakan satu kata
ini –yang disebut holo frase- untuk menyampaikan intense, keinginan dan tuntutan.
Biasanya, kata-kata adalah kata benda yang melukiskan objek yang dikenal, yang biasa
dilihat anak (seperti mobil, buku, bola,dll) atau keinginan (seperti mama. Papa, jus, kue,
dll). Usia 18 bulan anak sudah memiliki kosakata 3 sampai 100 kata, namun belum
kosakata tersebut belum bisa menggambarkan keseluruhan keinginannya. Akibatnya
adalah anak-anak banyak melakukan kesalah. Sebuah kekeliruan melebih-lebihkan isi
(overextension error) adalah perluasan sacara keliru makna kata-kata dari dalam leksikon
untuk menuangkan hal-hal dan gagasan-gagasan tetapi masih belum mrmiliki kata baru
untuk mengekspresikannya.
d. Ucapan Dua Kata dan Ujaran Telegrafik
Secara bertahap, antara usia 1,5 sampai 2,5 tahun, anak-anak mulai mengombinasikan
kata-kata tunggal untuk menghasilkan ucapan dua kata. Komunikasi-komunikasi awal ini
tampaknya lebih lebih mirip telegram ketimbang percakapan. Kata depan, kata sambung
dan morfem-fungsi lainnya biasanya ditinggalakan. Oleh karena itu, para ahli bahasa
menyebut ucapanucapan awal ini mirip ujaran di dalam telegram. Ujaran telegrafis ini
dapat digunakan untuk menggambarkan ujaran dua atau tiga kata bahkan yang sedikit
lebih panjang, namun tidak memiliki fungsi.

e. Struktur Kalimat dasar Orang Dewasa

1
6
Kosakata mengembang dengan cepat. Ia berlipat lebih dari tiga kali, dari sekitar 300 kata
pada usia 2 tahun menjadi 1.000 kata pada usia 3 tahun. Kemudian kemampuan anak akan
mencapai fondasi dan struktur bahasa orang dewasa pada usia 4 tahun. Pada usia 5 tahun,
kebanyakan anak juga bisa mengerti dan memroduksi konstruksi kalimat yang cukup
kompleks dan tidak lazim. Pada usia 10 tahun, bahasa anak secara fundamental sudah
samaaseperti orang dewasa. Proses Perkembangan Bahasa Anak

a. Fonologi
Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyibunyi yang
belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan
bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu
mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.

b. Morfologi
Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan
fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering
terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia
sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.

c. Sintaksis
Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat
gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan,
melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan
kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.

d. Semantik
Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan
bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya
mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut
untuk semua jenis jam.

1
7
9. Pembelajaran Bahasa Anak
a. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia ialah proses mengajarkan bahasa indonesia. Tujuan
utamanya adalah agar siswa mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baik
secara lisan maupun tertulis. Dalam mempelajari bahasa Indonesia, siswa sudah memiliki
bahasa pertama. Dengan demikian, pembelajaran bahasa indonesia merupakan pemerolehan
bahasa kedua.

Agar pengajaran dapat mencapai tujuan secara optimal, ada sejumlah tahap pengajaran
yang harus dirumuskan lebih awal. Agar perumusan itu dapat menghasilkan serangkaian teori
landasan pengajaran bahasa dan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu, tahap-tahap pengajaran bahasa Indonesia dapat dirumuskan
setelah seseorang memiliki pengetahuan tentang teori landasan pengajaran bahasa dan teori
pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.

b. Fungsi Pengajaran Bahasa Indonesia.


Pengajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Sekolah Dasar adalah mengajarkan
bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Untuk itu,
fungsi pengajaran bahasa Indonesia, selain untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
siswa ada fungsi lain, antara lain:

1) Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa.


2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam
rangka pelestarian dan pengembangan budaya.

3) Sarana peningkatan pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi


dan seni.
4) Sarana penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai
dengan konteks untuk berbagai keperluan dan berbagai masalah.

5) Sarana pengembangan kemampuan intelektual (penalaran) (Depdiknas, 1994).

Oleh karena itu, pengajaran bahasa Indonesia dapat dipandang sebagai upaya
mengindonesiakan anak-anak Indonesia melalui bahasa Indonesia.

1
8
10. Perbedaan Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Anak
Perbedaan pemerolehan dengan pembelajaran bahasa dapat dijelaskan dalam tabel
berikut. Dian Indihadi (2007: hal 16)
Pemerolehan Pembelajaran
1. Tidak formal, seperti anak 1. Formal, bahasa target
memperoleh bahasa pertama direncanakan sesuai dengan

2. Kemampuan berbahasa dimiliki tujuan tertentu


tanpa disadari. 2. Kemampuan berbahasa dimiliki
3. Pemerolehan pengetahuan atau kaidah secara sadar setelah mempelajari
bahasa secara implisit. data bahasa target

4. Pengajaran bahasa formal tidak 3. Pemerolehan pengetahuan


membantu pemerolehan bahasa target. 4. bahasa secara eksplisit.

Pengajaran formal sangat


membantu pemerolehan bahasa
target

1
9
2
0
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
1. Menganalisis fonologi dalam bahasa Indonesia
2. Menganalisis morfologi dalam bahasa Indonesia
3. Menganalisis sintaksis dalam bahasa Indonesia
4. Menganalisis semantik dalam bahasa Indonesia
5. Menganalisis keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis)

2
1
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan
1. Mendeskripsikan tentang hakikat fonologi
2. Menganalisis fonetik dan fonemik
3. Mendeskripsikan tentang hakikat morfologi
4. Menganalisis morfem dan kata
5. Mendeskripsikan tentang hakikat sintasis
6. Menmbedakan frase, klausa, dan kalimat
7. Mendeskripsikan tentang hakikat semantik
8. Menguraikan jenis-jenis makna (leksikal, gramatikal, denotatif, konotatif,
idiom, peribahasa)

9. Mengaitkan pertalian makna (sinonim, antonim, homonim, polisemi,


homoponim, ambiguitas, dan redundansi)

10. Mendeskripsikan perubahan makna generalisasi, spesialisasi, ameliorasi,


peyorasi, asosiasi, sinestesia.

11. Membedakan majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas


perualangan/penegasan.

12. Menguraikan keterampilan menyimak


13. Menguraikan keterampilan berbicara
14. Menguraikan keterampilan membaca
15. Menguraikan keterampilan menulis

2
2
C. Pokok-pokok Materi
1. Hakikat fonologi
2. Fonetik dan fonemik
3. Hakikat morfologi
4. Morfem dan kata

5. Hakikat sintasis
6. Frase, klausa, kalimat, dan wacana
7. Mendeskripsikan tentang hakikat semantik
8. Jenis-jenis makna (leksikal, gramatikal, denotatif, konotatif, idiom,
peribahasa)

9. Pertalian makna (sinonim, antonim, homonim, polisemi, homoponim,


ambiguitas, dan redundansi)

10. Perubahan makna generalisasi, spesialisasi, ameliorasi, peyorasi, asosiasi,


sinestesia.

11. Majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas


perualangan/penegasan.

12. Keterampilan menyimak


13. Keterampilan berbicara
14. Keterampilan membaca 15. Keterampilan menulis

2
3
I. FONOLOGI

A. Batasan dan Kajian Fonologi


Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’.
Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa
yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut
tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang disebut tata fomen (fonemik).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya.
Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.

B. Beberapa Pengetian Mengenai Tata Bunyi


1. Fonem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna.
Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa macaam lafal yang bergantung pada
tempatnya dalam kata atau suku kata. Contoh fonem /t/ jika berada di awal kata atau suku
kata, dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/, fonem /t/ dilafalkan lepas. Namun jika berada
di akhir kata, fonem /t/ tidak diucapkan lepas. Bibir kita masih tetap rapat tertutup saat
mengucapkan bunyi, misal pada kata /buat/.

2. Alofon
Varian fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan dan
makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan
alofon. Alofon dituliskan diantara dua kurung siku […]. Kalau [p] yang lepas kita tandai
dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka kita dapat
berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan
[p>].

3. Kajian Fonetik
a. Klasifikasi Bunyi
1. Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran
suara.
a) Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami
rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi.

2
4
b) Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat
arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi.

c) Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk


konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum
membentuk konsonan murni.

2. Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.


a) Bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara
ke luar melalui rongga mulut dan membuka jalan agar arus udara
dapat keluar melalui rongga hidung.

b) Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan mengangkat


ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi
rongga hidung, sehingga arus udara keluar melalui mulut.

C. Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di artikulasikan.

1. Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu diartikulasikan disertai
ketegangan kuat arus.

2. Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu diartikulasikan tidak disertai
ketegangan kuat arus.

D. Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau


diartikulasikan

1. Bunyi panjang
2. Bunyi pendek

E. Berdasarkan derajat kenyaringannya

2
5
Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak nyaring. Derajat kenyaringan
ditentukan oleh luas atau besarnya ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas
ruang resonansi saluran bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi derajat
kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
F. Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
1. Bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata (semua bunyi
vokal atau monoftong dan konsonan).

2. Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku kata.
Bunyi rangkap terdiri dari

3. Diftong (vokal rangkap): [ai], [au], [ei], dan [oi].


4. Klaster (gugus konsonan): [pr], [kr], [tr], [str], [bl], dsb.
G. Berdasarkan arus udara
1. Bunyi egresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara
dari dalam paru-paru. Bunyi egresif dibedakan menjadi :

a. Bunyi egresif pulmonik: dibentuk dengan mengecilkan ruang paruparu,otot,


perut dan rongga dada.

b. Bunyi egresif glotalik: terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga
glotis dalam keadaan tertutup.

2. Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menghisap udara ke dalam
paru-paru.

(1) Ingresif glotalik: pembentukannya sama dengan egresif glotalik


tetapi berbeda pada arus udara.

(2) Ingresif velarik: dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah


ditempatkan pada langit-langit lunak.

Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.


b. Pembentukan Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster
1) Pembentukan Vokal

2
6
Vokal dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah
yang bergerak, bentuk bibir, dan strikturnya. Berikut ini jenis-jenis
vokal berdasarkan cara pembentukannya, yakni:
a) Berdasarkan bentuk bibir: vokal bulat, vokal netral, dan vokal tak
bulat;

b) Berdasarkan tinggi rendahnya lidah: vokal tinggi, vokal madya


(sedang), dan vokal rendah;

c) Berdasarkan bagian lidah yang bergerak: vokal depan, vokal tengah,


dan vokal belakang;

d) Berdasarkan strikturnya: vokal tertutup, vokal semitertutup, vokal


semi-terbuka, dan vokal terbuka.

2) Pembentukan Konsonan
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni
daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan
keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
a) Berdasarkan daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio dental,
apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;

b) Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar,


lateral, nasal, dan semi-vokal;

c) Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan konsonan


tak bersuara;

d) Berdasarkan jalan keluarnya udara : konsonan oral dan konsonan


nasal.

3) Pembentukan Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan pada saat
diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan diftong
adalah terletak pada cara hembusan nafasnya.
Diftong dalam bahasa indonesia adalah sebagai berikut:
a) Diftong /au/, pengucapannya [aw].

2
7
Contohnya:
[harimaw] /harimau/, [kerbaw] /kerbau/
b) Diftong /ai/, pengucapannya [ay].
Contohnya:
[santay] /santai/, [sungay] /sungai/
c) Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya :
[amboy] /amboi/, [asoy] /asoi/
d) Diftong /ei/, pengucapanya [ey]. Contohnya:
[survey] /survei/, [geyser] /geiser/

4) Pembentukan Kluster
Gugus atau kluster adalah deretan konsonan yang terdapat bersama
pada satu suku kata.
a) Gugus konsonan pertama: /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan /d/.
b) Gugus konsonan kedua: /l/,/r/ dan /w/.
c) Gugus konsonan ketiga: /s/,/m/,/n/ dan /k/.
d) Gugus konsonan keduanya adalah konsonan lateral /l/, misalnya:

(1) /pl/ [pleno] /pleno/


(2) /bl/ [blaƞko] /blangko/
(3) dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan
/w/.
e) Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama selalu /s/, yang
kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/ atau /l/. Contohnya :

(1) /spr/ [sprey] /sprei


(2) /skr/ [skripsi] /skripsi/
(3) /skl/ [sklerosis] /sklerosis/
4. Kajian Fonemik
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang
bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan

2
8
makna. Fonem juga dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang bersifat distingtif
atau unit bunyi yang signifikan.

Dalam hal ini perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan
bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan
demikian fonemisasi itu bertujuan untuk (1) menentukan struktur fonemis
sebuah bahasa, dan (2) membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah
bahasa.
Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat
fungsional atau fonem, biasanya dilakukan melalui “ kontras pasangan
minimal”. Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentukbentuk bahasa
yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata
tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Sekurang-
kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni (1) bunyi
bahasa dipengaruhi lingkungannya, (2) bunyi bahasa itu simetris, (3) bunyi
bahasa yang secara fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang
berbeda, dan (4) bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan
ke dalam kelas fonem yang sama. a. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari ciri atau satuan fonologis,
yakni fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi fonem erat kaitannya dengan variasi fonem.
Variasi fonem merupakan salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara
segmental fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan konsonan.
b. Variasi Fonem
Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari
fonem. Ujud variasi suatu fonem yang ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang
komplementer disebut varian alofonis atau alofon.

II. MORFOLOGI

A. Pengertian Morfologi
Morfologi disebut juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata. Verhaar
(1984:52) berpendapat bahwa morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan
bagian kata secara gramatikal. Morfologi juga tediri dari dua bahasan (1) bidang linguistik
yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa
yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem.

2
9
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem yang satu dengan morfem
yang lain untuk membentuk sebuah kata.
B. Kedudukan Morfologi dalam Linguistik
Morfologi merupakan bidang kajian bahasa yang mempelajari struktur-struktur atau
bentuk penyusunan kata. Morfologi dalam hirarki ilmu kebahasaan berada di antara kajian-
kajian yang lainnya,
Wacana
Sintaksis
Morfologi
Fonologi
Dengan demikian kajian morfologi mempunyai keterkaiatan dengan fonologi
maupun sintaksis. Keterkaitan dengan fonologi terletak pada adanya kajian morfonologi
atau merfofonemik yaitu proses morfologi dengan munculnya fonem /y/ pada dasar hari bila
diberi sufiks –an. hari + an hariyan
Atau pindahnya konsonan /b/ pada jawab apabila diberi sufiks –an. jawab +
ja.wa.ban
Keterkatan dengan sintaksis terlihat pada kajian morfosintaksis (gabungan
kata morfologi dan sintaksis). Contoh: kata dalam kajian morfologi merupakan
satuan terbesar, dengan kata dalam kajian sintaksis merupakan satuan terkecil
dalam pembentukan kalimat
(sintaksis). Jadi, satuan bahasa yang disebut kata itu, menjadi objek dalam kajian
morfologi dan kajian sintaksis.
Pembentukan struktur kata atau bentuk kata disebut juga proses morfologis dalam bahasa
Indonesia melalui afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.
1. Afiksasi
Afikasasi adalah penggabungan akar kata dengan pokok afiks. Afiks ada tiga jenis,
yaitu awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), dan gabungan awalan dan akhiran
(konfiks). a. Prefiks (Awalan)
1) Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi be- dan
bel-.
Be(R)- berubah menjadi be- jika (a) kata yang dilekatinya diawali dengan
huruf r dan (b) suku kata pertama diakhiri dengan er yang di depannya
konsonan.

3
0
be(R)- + renang → berenang .
be(R)+ ternak → beternak be(R)+
kerja →bekerja

2) Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu
mem-, men-, meny-,meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah
menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/, /f/, /p/,
dan /v/, misalnya, me(N)- + baca →membaca me(N)- + pijat → memijat
Prefiks me(N)- berubah menjadi men- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /d/, /t/, /j/, dan /c/, misalnya, me(N)- + data →
mendata, me(N)- + tulis → menulis, me(N)- + jadi → menjadi,
me(N)- + cari → mencari.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, me(N)- + sindir → menyindir, me(N)-
+ sisir → menyisir.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang
diawali dengan huruf /k/ dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas → mengupas
me(N)- + goreng → menggoreng.
Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung dengan kata
yang terdiri dari satu suku kata, misalnya, me(N)- + lap → mengelap,
me(N)- + bom→ mengebom, me(N)- + bor → mengebor.
3) Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R).
Perhatikan contoh berikut!
berawat→ perawat
bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)-
berubah menjadi pe jika bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan
kata yang suku katanya berakhiran er, misalnya, pe(R)- + rawat →perawat
dan pe(R)- + kerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata ajar,
misalnya, pe(R)- + ajar → pelajar.
4) Prefiks pe(N)-

3
1
Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar
dengan prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-,
peng-, pe-, dan penge-.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/, misalnya, penuduh, pendorong,
pencuci, dan penjudi. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung
dengan kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/, misalnya, pebaca dan
pemukul. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, penyaji. Prefiks pe(N)- berubah
menjadi peng- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /g/ dan
/k/, misalnya, penggaris dan pengupas.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata
yang terdiri atas satu suku kata, misalnya, pengebom, pengepel, dan
pengecor. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /m/, /l/, dan /r/, misalnya, pemarah, pelupa, dan
perasa.
5) Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel,
misalnya, terbaca, ternilai, tertinggi, dan telanjur.

b. Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam
bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-, dan –er-.
1) Infiks -el-, misalnya, geletar, gelembung; 2) Infiks -er-, misalnya, gerigi,
seruling; dan

3) Infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar


c. Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti wan, wati,
man. Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan, dan –i.
1) sufiks -an, misalnya, dalam, makanan, pujian, jajanan;
2) sufiks -i, misalnya, dalam pukuli, bisiki, pinjami, lukai;
3) sufiks -kan, misalnya, dalam berikan, lemparkan; dan
4) sufiks -nya, misalnya, dalam mudahnya, jiwanya, berdirinya.
d. Konfiks

3
2
Konfiks adalah “gabungan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang
merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul
secara serempak pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna
gramatikal pada kata bentukan itu.
Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
1) Konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perdamaian, perubahan,
2) Konfiks pe(N)-an misalnya, dalam pendinginan, pendaratan,
3) Konfiks ke-an misalnya, kedaulatan, kemanusian,
4) Konfiks be(R)-an misalnya, berdekatan, berbantuan.
2. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata dasar baik keseluruhan
maupun sebagian. Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat dibagi sebagai
berikut:

1) Pengulangan seluruh
Dalam bahasa Indonesia perulangan seluruh adalah perulangan bentuk dasar
tanpa perubahan fonem dan tidak dengan proses afiks.
Misalnya:
anak → anak-anak hati
→ hati-hati

2) Pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian morfem dasar, baik
bagian awal maupun bagian akhir morfem.
Misalnya: saji →
sesaji berapa →
beberapa

3) Pengulangan dengan perubahan fonem


Pengulangan dengan perubahan fonem adalah morfem dasar yang diulang
mengalami perubahan fonem.
Misalnya:

3
3
sayur → sayur-mayur ramah
→ ramah-tamah

4) Pengulangan berimbuhan.
Pengulangan berimbuhan adalah pengulangan bentuk dasar diulang
secara keseluruhan dan mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks yang
dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks, atau konfiks.
Misalnya :
buah → buah-buahan kuning →
kekuning-kuningan tarik →
tarik-menarik

3. Pemajemukan/ Kata Mejemuk


Dua buah kata yang digabungkan kemudian menimbulkan arti/ makna baru.
Contoh:

sapu tangan  terdiri dari kata sapu dan tangan memiliki makna berbeda dengan
kata sapu tangan.
meja makan  meja memiliki makna tidak hanya tempat makan, makan tidak
memiliki makna tempat. Ketika digabungkan memiliki makna baru.

A. Konstruksi Morfologis
1. Endosentris dan Eksosentris
Endosentris ialah konstruksi morfologis yang salah satu atau semua unsurnya
mempunyai distribusi yang sama dengan konstruksi tersebut, sedangkan konstruksi
eksosentris ialah unsur-unsurnya tidak sama dengan konstruksi tersebut (Samsuri, 181:200;
Prawirasumantri, 1986:19). Endosentris dan eksosentris dalam tatanan morfologi terdapat
pada kata majemuk sedangkan dalam tatanan sintaksis terdapat pada frase. Agar pengertian
endosentris dan eksosentris lebih terpahami perhatikan contoh berikut !

a. 1). Rumah sakit itu baru dibangun.


2). Rumah itu baru dibangun.
b. 1). Mereka mengadakan jual beli. 2).
Mereka mengadakan jual. *) c).

3
4
Mereka mengadakan beli. *) Dengan
mengadakan perbandingan kalimat 1a
dan 1b, kita dapat menyimpulkan
bahwa konstruksi rumah sakit
mempunyai distribusi yang sama
dengan dengan salah satu unsurnya,
yaitu rumah. Pada kalimat 2a ada
konstruksi jual beli. Kedua unsurnya
yakni jual dan beli tidak memilki
distribusi yang sama. Hal itu terbukti
bahwa kalimat 2b dan 2c bukan
merupakan kalimat bahasa Indonesia.
Kita tidak akan menemukan dua
kalimat seperti itu. Konstruksi rumah
sakit merupakan contoh endosentris,
sedangkan konstruksi jual beli
merupakan contoh eksosentris.

6. Komposisi dalam Morfologis


Komposisi adalah proses penggabungan dasar dengan dasar (biasanya berupa akar
maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi suatu “konsep” yang belum tertampung
dalam sebuah kata. Proses komposisi ini dalam bahasa Indonesia merupakan satu
mekanisme yang cukup penting dalam pembentukan dan pengayaan kosakata yang kita
ketahui sangat terbatas. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia kita sudah punya kata merah,
yaitu salah satu jenis warna. Namun, dalam kehidupan kita warna merah itu tidak semacam,
ada warna merah seperti warna darah; warna merah seperti warna jambu; warna merah
seperti warna delima, dan sebagainya. Maka untuk membedakan semuanya kita buatlah
gabungan kata merah darah, merah jambu, merah delima, dan sebegainya.

a. Komposisi Verbal
Komposisi verbal adalah komposisi yang pada satuan klausa berkategori verbal.
Komposisi verbal dapat dibentuk dari dasar:
1) Verba + verba, seperti duduk termenung, menyanyi menari, makan minum.

3
5
2) Verba + nomina, seperti gigit jari, tolak peluru, lompat galah.
3) Verba + ajektifa, seperti terbaring gelisah, jalan cepat, loncat jauh.
4) Adverbia + verba, seperti sudah bangun, belum makan , masih tidur.
b. Komposisi Nomina
Komposisi nomina adalah komposisi yang pada satuan klausa berkategori
nomina. Komposisi nomina dapat dibentuk dari dasar 1) Nomina + nomina,
seperti adik kaka, sate ayam, meja kayu.
2) Nomina + verba, seperti mesin cuci, buku ajar, meja belajar.
3) Nomina + ajektifa, seperti guru muda, mobil kecil, meja hijau.
4) Adverbial + nomina, seperti bukan koin, banyak serigala, beberapa orang.

c. Komposisi Ajektiva
Komposisi ajektiva adalah komposisi yang pada satuan klausa, berkategori
ajektiva. Komposisi ajektiva dapat dibentuk dari dasar:
1) Ajektiva + ajektiva, seperti besar kecil, tua muda, putih abu-abu.
2) Ajektiva + nomina, seperti merah darah, keras hati, biru laut.
3) Ajektiva + verba, seperti takut pegi, malu menjawab, berani tanding.
4) Adverbia + ajektiva, seperti, tidak ramah, agak iri, sangat menyenangkan.

7. Morfofonemik
Morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari perubahan bunyi yang
diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem. Nelson Francis (1958) mengatakan
bahwa morfofonemik mempelajari variasivariasi yang tampak pada struktur fonemik
alomorf-alomorf sebagai akibat pengelompokkan menjadi kata (Ahmadslamet, 1982:69).
Pengertian lain dilontarkan oleh Samsuri (1982:201) bahwa morfofonemik merupakan studi
tentang perubahan-perubahan fonem yang disebabkan hubungan dua morfem atau lebih
serta pemberian tanda-tandanya.
Morfofonernis bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu: (1)
penghilangan bunyi; (2) penambahan bunyi; (3) perubahan bunyi; (4) perubahan dan pe
nambahan bunyi; (5) perubahan dan penghilangan bunyi; dan (6) peloncatan bunyi. a.
Penghilangan Bunyi
Proses penghilangan bunyi dapat terjadi atas:

3
6
1) Bunyi /N/ pada meN- dan peN- yang hilang karena pertemuan kedua morfem
tersebut dengan bentuk dasar yang berbunyi atau berfonem awal /r, l, y, w/
dan nasal.

Misalnya:
meN- + rinci meN- → merinci
+ lucu meN- + → melucu
yakini meN- + → meyakini
→ mewangi
wangi meN- +
menyanyi
nyanyi meN- + →
meminyak
minyak meN- + → mengeong
ngeong meN- + → menanti
nanti →

2) Fonem /r/ pada morfern ber-, ter-, dan per- hilang bila yang berbunyi atau
berfonem awal /r/ atau yang suku pertamanya berakhir dengan bunyi /r/.
misalnya:
ber- + roda ber- → beroda
+ serta ber- + → beserta
kerja ter- + rasa → bekerja
ter- + pedaya → terasa
ter- + rayu → terpedaya
→ terayu
b. Penambahan Bunyi
Proses penambahan bunyi terjadi pada:
1) Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an, menyebabkan timbulnya
fonem atau bunyi bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/.
Misalnya:
-an + sapa → sapaan ke-an + sama →
kesamaan
per-an + kata → perkataan
Catatan
Jika peN-an dipertemukan dengan bentuk dasar yang diawali bunyi
/p, t, k, dan s/ dan diakhiri oleh vocal maka morfofonemis yang terjadi
berupa perubahan, penghilangan dan penambahan bunyi.
Contoh:
peN-an + tanda → penandaan

3
7
peN-an + padu → pemaduan peN-an + kaji
→ pengajian
peN-an + sampai → penyampaian

2) Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang
berakhir dengan bunyi /i/ akan menyebabkan timbulnya bunyi

/y/.
Misalnya:
-an + hari → arian
ke-an + serasi → keserasian
per-an + api → perapian

3) Pertemuan antara morfem , ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang berkhir
dengan fonem /u, o/ akan menyebabkan timbulnya fonem /w/.

Misalnya:
-an + jamu ke-an → jamuan
+ lucu per-an + → kelucuan
sekutu -an + kilo → persekutuan
ke-an + loyo per- → kiloan
an + toko → keloyoan
→ pertokoan

c. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi akan terjadi pada:
1) Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem atau bunyi /d/ dan bunyi /s/ khusus pada bentuk dasar yang berasal
dari bahasa asing akan terjadi perubahan bunyi /N/ menjadi /n/.

Misalnya :
meN- + datang meN- → mendatang
+ survai peN- + → mensurvei
damar peN- + supply → pedamar
→ pensupply

3
8
2) Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang berawal dengan
bunyi atau fonem /b, f/ akan terjadi perubahan bunyi /N menjadi /m/.
Misalnya:
meN- + buru meN- → memburu
+ fitnah peN- + → memfitnah
buang peN- + fitnah→ pembuang
→ pemfitnah
3) Pertemuan morfem meN- den peN- dengan bentuk dasar yang berawal
dengan fonem /c, j/, maka fonem /N/ akan berubah menjadi

/n/
Misalnya:
meN- + cakar → mencakar meN- + jajal →
menjajal peN- + ceramah → penceramah

4) Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan. bentuk dasar yang berbunyi
awal /g, h, x/ dan voka1 , maka fonem /N/ akan berubah menjadi /η/.
Misalnya:
meN- + garap → menggarap
meN- + hasut → menghasut
meN- + khayal → mengkhayal
meN- + ambil → mengambil
meN- + intip → mengintip
meN- + ukur → mengukur
meN- + ekor → mengekor
meN- + orbit peN- → mengorbit
+ garis peN- + → penggaris
harum peN- + → pengharum

khianat peN- + pengkhianat

angkat peN- + isap pengangkat

peN- + umpat pengisap

peN- + olah pengumpat

pengolah
5) Pertemuan morfem ber- dan per— pada bentuk dasar ajar mengakibatkan
perubahan bunyi /r/ men jadi /1/. Peristiwa ini sebenarnya merupakan

3
9
peristiwa unik, sebab hanyac terjadi pada bentuk dasar ajar sehingga ada
yang mengatakan suatu

“kekecualian”.
Perhatikanlah:
ber- + ajar → Belajar
per- + ajar → Pelajar
6) Pertemuan morfem ke-an dan -i dengan bentuk dasar berfonem akhir /?/
menyebabkan fonem tersebut berubah menjadi /k/.

Misalnya:
duduk /dudu?/ + ke-an → kedudukan
bedak /beda?/ + -i → bedaki

d. Perubahan dan Penambahan Bunyi


Proses perubahan dan penambahan fonem dapat terjadi pada: 1) Pertemuan
morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang terdiri atau satu suku kata
menyebabkan perubahan bunyi /N/ menjadi /η/ dan penambahan bunyi /∂/.
Misalnya:
meN- + bel meN- → Mengebel
+ cat meN- + tik → mengecat
→ mengetik
2) Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar berfonem awal /d, c, j/ dan
berfonem akhir /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan
bertambahnya /?, y, w/.

Contonnya:
peN-an + data peN-an → Pendataan
+ dahulu peN-an + → pendahuluan
cahaya peN-an + cari → pencahayaan
peN-an + calo peN-an → pencarian
+ jaga peN-an + juri → pencaloan
→ penjagaan
→ penjurian

4
0
3) Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /b, f/ dan
berfonem akhir vokal /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m/
dan bertambahnya bunyi /?, y, w/.

Contohnya:
peN-an + buka peN-an → Pembukaan
+ beri peN-an + buku → pemberian
peN-an + blangko peN- → pembukuan
→ pemblangkoan
an + fakta peN-an +
fakta foto
foto →

4) Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /g, h, kh/
dan berfonem akhir vocal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m
/ dan bertaoibahnya bunyi /?, Y, w/.

Contohnya:
peN-an + guna peN-an → Penggunaan
+ gali peN-an + gadai → penggalian
peN-an + ganggu peN- → penggadaian
an + harga peN-an + → penggangguan
hijau → penghargaan
→ penghijauan

5) Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang dimulai oleh vokal dan
diakhiri oleh vokal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi / dan
bertambahnya bunyi /?, y, w/.

Contohnya:
peN-an + ada peN-an + → Pengadaan
adu peN-an + andai → pengaduan
peN-an + utama peN-an → pengandaian
+ urai peN-an + intai → pengutamaan
peN-an + operasi → penguraian
→ pengintaian
→ pengoprasian

4
1
e. Perubahan dan Penghilangan Bunyi
Proses perubahan dan penghilangan bunyi terjadi pada:
1) Pertemuan peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh fonem /p/
akan perubahan /N/ menjadi /m/ dan fonem awal bentuk dasar hilang.

Contohnya:
peN- + peras → Pemeras
meN- + paksa → Memaksa
2) Pertemuan morfem peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem /t/ akan mengakibatkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar.

Contohnya:
peN- + tari → Penari meN- + tendang →
Menendang 3) Pertemuan morfem peN- dan
meN- pada bentuk dasar yang diawali fonem /k/
akan mengakibatkan perubahan fonem /N/
menjadi /η/ dan hilangnya fonem awal bentuk
dasar.
Contohnya:
peN- + karang → Pengarang meN- +
kurung → Mengurung
4) Pertemuan morfem peN— dan meN— pada bentuk dasar yang diawali fonem
/s/ akan mengakibatkan perubahan fonem /N/ menjadi
/η/ dan hilangnya fonem awal bentuk dasar yang bersangkutan. Contohnya:
peN- + sayang → Penyayang
meN- + saring → Menyaring

f. Peloncatan Bunyi
Prawirasumantri (1986:40) menambahkan satu lagi bentuk
morfofonemik bahasa Indonesia yaitu peloncatan burnyi. Peloncatan fonem
ini terjadi apabi1a dua atau 1ebih bertukar tempat akibat petemuan morfem-
morfem dalam bahasa Indonesia ditemukan sebuah gejala ini, yakni
peloncatan fonem /a/ dan /m/ pada kata padma dalam merah padam.

SINTAKSIS

4
2
A. Hakikat Sintaksis
Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari struktur gramatikal dari frase, klausa,
kalimat, dan wacana.
Alat-alat sintaksis adalah alat-alat untuk menghubungkan kata-kata menjadi
kelompok dengan struktur tertentu. Adapun yang dimaksudkan dengan struktur adalah
hubungan setara dan bertingkat dari kelompok tersebut. Jadi, eksistensi struktur sintaksis
terkecil ditopang oleh alat bantu yang berupa urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan
konjungsi. Peranan alat-alat sintaksis itu tampaknya tidak sama antara bahasa yang satu
dengan bahasa yang lain. Ada bahasa yang lebih mementingkan urutan, ada yang lebih
mementingkan bentuk kata atau intonasi.
Ada beberapaa alat sintaksis, yang pertama adalah urutan. Pada umumnya dalam
setiap bahasa peranan, urutan kata ikut menentukan makna gramatikal.
Contoh:
1. Roti makan ibu.
2. Ibu makan roti.
Dari dua contoh di atas penutur bahasa Indonesia, dapat dikenali bahwa urutan “Roti
makan ibu” tidak berterima, sedangkan urutan “Ibu makan roti” dengan mudah dapat
dipahami oleh penutur bahasa Indonesia.
Alat sintaksis yang kedua berupa bentuk kata. Pada umumnya bentuk kata dapat
dikenali dengan melekatnya afiks pada kata tersebut. Afiks-afiks ini memperlihatkan makna
gramatikal yang bermacam-macam antara lain: jumlah, persona, jenis, kala, aspek, modus,
diatesis, aktif, pasif.
Contoh :
Dari urutan “Roti makan ibu” kata makan diberi afiks sehingga menjadi dimakan.
Alat sintaksis yang ketiga adalah intonasi. Dalam ragam lisan intonasi berperan
penting untuk mengungkapkan makna. Misalnya, “Ali guru SD”, diantara Ali dan guru SD
terdapat jedah yang membatasi antara Ali dan guru SD.
Alat sintaksis yang lain adalah partikel atau kata tugas. Partikel atau kata tugas sebagai
unsur bahasa memiliki ciri-ciri antara lain :
1. Biasanya tidak menglami proses morfologis
2. Biasanya tidak memiliki makna leksikal
3. Keanggotaannya tertutup
4. Jumlahnya terbatas

B. Satuan Sintaksis

4
3
Sintaksis sebagai subsistem bahasa mencakup kata dan satuansatuan yang lebih
besar serta hubungan-hubungan diantaranya. Pada umumnya pembicaraan yang lebih
meluas dan mendalam dalam studi sintaksis selain alat-alat sintaksis adalah satuan-satuan
sintaksis. Kata merupakan satuan terkecil dalam sintaksis. Satuan yang lebih besar dari kata,
sebagai yang umum dibicarakan dalam sintaksis, berturut-turut ialah frase, klausa dan
kalimat.
1. Kata
Dalam tataran gramatikal, kata adalah satuan terkecil daalm kalimat. Kata memiliki
potensi untuk berdiri sendiri, dan dapat berubah/berpindah dalam kalimat. Dalam kalimat
jawaban misalnya “sudah” (“jawaban: sudahkah engkau belajar? Atau dalam kalimat
seruan, misalnya ambil” (suruhan kepada seorang murid untuk mengambil buku). Demikian
juga halnnya dengan ciri dapat berpindah dalam kalimat. Misalnya kata
“semalam”, dapat berpindah di awal kalimat, di tengah atau di akhir kalimat. Contohnya:
a. Semalam hujan turun
b. Hujan semalam turun
c. Hujan turun semalam

2. Frase
Satuan sintaksis yang lebih besar dari kata adalah frase. Frase adalah satuan gramatikal
yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak berciri klausa, atau tidak memiliki ciri
predikat, dan pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Seperti halnya dengan kata frase
memiliki potensi untuk berdiri sendiri menjadi kalimat. a. Klasifikasi Frase
1) Berdasrkan tipe strukturnya, frase dibedakan atas:
a) Frase eksosentris
Frase eksosentris adalah frase yang tidak memiliki inti frase.
Memiliki ciri menggunakan kata depan.
Contoh: di rumah ke
sekolah dari pasar
pada meja kepada
orang tua

4
4
Frase endosentris adalah frase yang memiliki inti frase, dibagi menjadi
tiga,
1. Frase endosentris koordinatif: frase yang memiliki unsur setara,
keduanya memiliki unsur inti. Frase ini memiliki ciri dan atau Contoh:

Sawah ladang
Kaya miskin
Tua muda
2. Frase endosentris atrbitif: frase yang tidak setara karena ada inti dan
bukan inti (atribut). Frase ini dibagi menjadi dua
Frase endosentris atrbitif Frase endosentris atrbitif tak
berimbuhan berimbuhan

Anak tertua, raris pembatas, Sedang belajar, sedang bekerja,


guru kesenian, model akan pergi, sepatu baru, kursi
pembelajaran. goyang.

3. Frase endosentrid apostif: frase yang atributnya berupa keterangan


tambahan.

Contoh:
Mang Jali, Tukang cukur yang baik itu akan pergi naik haji. Indonesia,
tanah airku sedang dilanda krisis kepemiminan.

Klausa
Satuan sintaksis yang lebih besar dari frase adalah klausa. Klausa adalah satuan
gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase, dan yang memiliki satu predikat. Pada
umumnya klausa merupakan unsur pembentuk (konstituan) kalimat.
Contoh:
a. Alya membaca buku itu….
b. Aldo mahasiswa ….
c. Alys dan Aldo membaca buku itu….
Klausa dapat menjadi kalimat, jika ke dalam klausa itu diberikan intonasi final atau
kalau dalam klausa diakhiri dengan titik.

4
5
Contoh:
a. Aldo membaca buku itu.
b. Aldo melihat Alya datang.
Klausa juga dapat diubah dengan diperluas dan perluasan itu dengan menambahkan
keterangan waktu, tempat, cara, dan lain-lain.
Contohnya:
a. Kemarin Aldo membaca buku itu.
b. Alya menulis surat sejelas-jelasnya.

3. Kalimat
Satuan sintaksis yang lebih besar dari klausa adalah kalimat. Kalimat adalah satuan
gramatikal yang disusun oleh konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen dasar itu dapat
berupa klausa, frase, maupun kata.
Contohya:
a. Aldo membeli buku (klausa)
b. Buku baru! (frase)
c. Buku! (kata)
Kalimat di atas jika dilafakan maka akan jelas peranan intonasi final dalam
menentukan status kalimat. Kalimat satuan sintaksis dapat diperluas dengan menambah
klausa dengan sifat hubungan parataktis koordinatif atau subordinatif.

a. Klasifikasi Kalimat
1) Berdasarkan jumlah klausanya kalimat dibedakan atas kalimat tunggal,
kalimat bersusun, dan kalimat majemuk. a) Kalimat Tunggal

Kalimat tunggal adalah kalmat yang terdri dari satu klausa bebas.
Contoh :
(1) Dia datang dari Bandung.
(2) Nenekku masih sehat.

4
6
(3) Saya sedang membaca buku di kamar.

b) Kalimat Bersusun
Kalimat bersusun adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas dan
sekurang-kurangnya satu kalimat terikat. Ada beberapa sebutan untuk
sebutan kalimat bersusun, misalnya kalimat majemuk bertingkat, atau
kalimatmajemuk subordinatif.
Contoh :
(1) Kalau Alya menangis, Aldo pun ikut menangis.
(2) Aldo tidak pergi ke sekolah karena sedang sakit.
(3) Karena ada banyak tidak siap, ujian dibatalkan.
c) Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas
yang disebut juga sebagai kalimat setara.
Contoh :
(1) Alya membuka jendel kamar lalu membersihkan tempat tidur..
(2) Aldo hobi bermian bola dan sering menciptaakan gol.
2) Berdasarkan struktur klausanya kalimat dibedakan atas:
a) Kalimat Lengkap
Kalimat lengkap adalah kalimat yang mengandung klausa
lengkap.Sekurang-kurangnya terdapat unsur objek dan predikat.
Contoh :
(1) Ibu guru mengajar bahasa Indonesia di depan kelas.
(2) Adik bermain sepeda di halaman rumah.

b) Kalimat Tak Lengkap


Kalimat tak lengkap dalah kalimat ang tidak lengkap, hanya trdiri dari
subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangna saja.
Contoh :
(1) Selamat Pagi!
(2) Silahkan antre.
(3) Alya!

4
7
Berdasarkan amanat wacana kalimat dibedakan atas:
a) Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif adalah kalimat ang mengandung intonasi deklaratif yang
dalam ragam tulis diberi tanda titik.
Contoh :
(1) Gaji guru honor tidak dinaikan.
(2) Dalam bulan ramadhan kaum muslim berpuasa.
b) Kalimat Introgatif
Kalimat introgatif adalah kalimat yang mengandung intonasi introgatif,
yang dalam ragam tulis biasanya diberi tanda tanya) Contoh :
(1) Apakah anda seorang duru?
(2) Di mana tempat terjadinya Perang Dunia II?
c) Kalimat imtratif
Kalimat imtratif adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif yang
dalam ragam tulis biasanya diberi tanda seru.
Contoh :
(1) Berikan hadiah ini kepada temanmu!
(2) Bukalah pintu itu!
d) Kalimat aditif
Kalimat adiitf adalah kalimat terikat ang bersambung pada kalimat
pernyataan, dapat lengkap dapat tidak.
Contoh :
(1) Sedangkan bulan Mei, terang hujan tidak ada.
(2) Cuma belum punya anak.
e) Kalimat Responsif
Kalimat responsif adalah kaliamt terikat yang bersambung pada kalimat
pertanyaan, dapat lengkap dapat tidak.
Contoh :
(1) Ya!
(2) Tadi malam!
Kalimat interjektif

4
8
Kalimt interjektif adalah kalimat yang dapat terikat atau tidak.
Contoh :
(1) Wah ini baru namanya penampilan!
(2) Semoga Allah memberikan pentunjuk!

3) Berdasarkan pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahnnya


kalimat dibedakan atas kalimat ini dan bukan inti. a) Kalimat Inti
Kalimat inti yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap, bersifat
deklaratif, aktif, netral, atau afirmatif. Biasanya disebut kalimat dasar.
Contoh :
(1) FN + FV : Bapak datang
(2) FN + FV + FN : Ibu membeli sayur
(3) FN + FN : Ayah guru.
b) Kalimat Noninti
Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat nonin ti dengan berbagai
proses transformasi: pemasifan, pengingkaran, penanyaan, pemerintahan,
penginversian, pelesapan, dan penambahan.
Contoh :
(1) Buku dibaca oleh Alya.
(2) Alyatidak membaca buku.
(3) Apakah Alyamembaca buku?

4) Berdasarkan jenis klausa, kalimat dibedakan atas kalimat verbal dan kalimat
nonverbal. a) Kalimat verbal

Kalimat verbal adalah kalimat kalimat yang dibentuk dari klausa verbal.
Contoh:

(1) Alya menulis surat,


(2) Ibu bertamu ke rumah bibi.
(3) Surat dutulis Alya.
b) Kalimat nonverbal

4
9
Kalimat nonverbal adalah kalimat yang dibentuk oleh klausa non verbal
sebagai kontituen dasarnya.
Contoh :
(1) Nenekku pensiunan guru.
(2) Mereka di kamar depan.
(3) Ibu guru itu cantik sekali.
5) Berdasarkan fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraph, kalimat
dibedakan atas:

a) Kalimat Bebas.
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi
ujaran lengkap, atau kalimat yang dapat memulai sebuah paragraf wacana
tanpa konteks lain yang memberi penjelasan.
b) Kalimat Terikat
Kalimat terikat adalah kalimat ang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran
lengkap.
Contoh :
Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan ikannya,
telurnya pun sangat sukar dipeloreh (2). Kalau pun bisa diperoleh,
harganya melambung selangit (3). Makanya, ada kecemasan masyarakat
nelayan di sana bahwa terubuk yang spesifik itu akan punah (4).
Kalimat 1 pada teks di atas sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk adalah satu
contoh kalimat bebas. Tanpa harus diikuti kalimat (2), (3), dan (4), kalimat sudah
dapat menjadi ujaran lengkap yang bisa dipahami. Sedangkan kalimat (2), (3),
dan (4) pada teks itu adalah kalimat terikat. Ketiga kalimat itu secara sendiri-
sendiri tidak dapat dipahami, sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah
ujaran.

Wacana
Jenis wacana dapat dibedakan: Deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi, persuasi.
a. Deskripsi
Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti menggambarkan atau
memerikan sesuatu hal. Dari segi istilah,deskrpsi adalah suatu bentuk karangan yanng
melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga pembaca dapat
mencitrai

5
0
(melihat,mendengar,mencim dan merasakan)apa yang dilikiskan itu sesuai dengan citra
penulisannya.
Deskripsi atau pemerian merupakan sebauh bentuk tulisan yang bertalian dengan
usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari obyek yang sedang
dibicarakan. Kata deskripsi berasal dari kata latin describe yang berarti menulis tentang,
atau membeberkan sesuatu hal. Sebaliknya kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi
pemerian yang berasal dari kata peri-memerikan yang berarti melukiskan sesuatu hal.
(Keraf, 1981.hlm. 93)
Deskripsi adalah pelukisan atau pengggambaran melalui kata-kata tentang suatu
benda, tempat, suasana, atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembaca
melalui tulisannya, dapat melihat apa yang dilihatnya, dapat mendengar apa yang
didengarnya, merasakan apa yang dirasakannya, serta sampai kepada kesimpulan yang
sama.
Ciri-ciri karangan deskripsi
Menurut Semi (2003:41) ciri penanda deskripsi sekaligus sebagai pembeda
dengan jenis karangan yang lain adalah sebagai berikut:
1) Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek.
Maksudnya, untuk menghasilkan tulisan deskripsi yang baik seorang penulis
harus mampu memperlihatkan suatu objek secara detail dan lebih terperinci.
Misalnya, penulis ingin menuliskan tentang seorang anak perempuan, maka
penulis harus mampu melukiskan berapa umur gadis itu, bagaiamana
pakaiannya, bagaimana rambutnya dan sebagainya.

2) Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivisme dan membentuk


imajinasi pembaca. Maksudnya, pembaca ikut merasakan tentang objek yang
dilukiskan itu seolah-olah dapat dirasakan dengan imajnasi (daya khayal) yang
disuguhkan penulis. Misalnya penulis ingin menggambarkan kampus yang
indah.

3) Deskripsi disampaikan dengan gaya yang memikat dan dengan pilihan kata yang
menggugah. Maksudnya, pilihan kata dalam tulisan deskripsi dapat menggugah
perasaan pembaca, setelah membaca sebuah tulisan deskripsi maka imajinasi
pembaca akan terpancing. Misalnya penulis ingin melukiskan suasana di dalam
sebuah kereta api yang sesak, maka ia harus mampu memilih diksi dan gaya
bahasa yang tepat, sehingga imajinasi pembaca terpansing.

5
1
4) Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang didengar, dilihat, dan
dirasakan sehingga objeknya pada umumnya benda, alam, warna dan manusia.

5) Organisasi penyampaian lebih banyak menggunakan susunan ruang (spartial


order). Maksudnya, tulisan yang melukiskan tentang suatu tempat, suatu ruang
dan sebagainya.

a. Macam-macam deskripsi
Berdasarkan kategori yang lazim, ada dua objek yang diungkapkan dalam
deskripsi, yakni orang dan tempat. Atas dasar itu, karangan deskripsi dipilih atas dua
kategori, yakni karangan deskripsi orang dan karangan deskripsi tempat. 1) Karangan
deskripsi orang a) Deskripsi keadaan fisik
Deskripsi fisik bertujuan memberi gambaran yang sejelas-jelasnya tentang
keadaan tubuh seorang tokoh.deskripsi ini banyak bersifat objektif.
b) Deskripsi keadaan sekitar
Deskripsi keadaan sekitar, yaitu penggambaran keadaan yang mengelilingi sang tokoh,
misalnya penggambaran tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan, pekerjaan atau jabatan,
pakaian, tempat kediaman, dan kendaraan, yang ikut menggambarkan watak seseorang. 2)
Karangan deskripsi tempat
Tempat memegang peranan yang sangat penting dalam setiap peristiwa.
Tidak ada peristiwa yang terlepas dari lingkungan dan tempat. Semua kisah akan
selalu mempunyai latar belakang tempat. Jalannya sebuah peristiwa akan lebih
menarik jika dikaitkan dengan tempat terjadinya peristiwa (Akhadiah,1997)
Dalam memilih cara yang paling baik untuk melukiskan tempat, perlu
kita pertimbangkan beberapa pokok persoalan untuk menyusun deskripsinya
yaitu harus memperhatikan suasana hati, pengarang harus dapat menetapkan
suasana hati manakah yang paling menonjol untuk dijadikan landasan. Sikap
pengarang ketika membuat karangan deskripsi mengenai tempat menunjukan
sifat dan suasana hati yang menguasai pikiran pengarang pada waktu itu. Sikap
dan suasan hati itu dipertajam dengan penglaman sehari-hari sehingga
mempengaruhi penerapan terhadap objek deskripsi.
b. Langkah-langkah menulis karangan Deskripsi
Untuk mempermudah pendeskripsian, berikut ini disajikan ramburambu
yang dapat kita ikuti
1) Menentukan apa yang akan dideskripsikan: Apakah akan mendeskripsikan orang
atau tmpat.

5
2
2) Merumuskan tujuan pendeskripsian: Apakah deskripsi dilakukan sebagai alat
bantu karangan narasi, eksposisi, argumentasi, atau persuasi.

3) Menetapkan bagian yang akan dideskripsikan: Jika yang dideskripsikan orang,


apakah yang akan dideskripsikan itu. Ciri-ciri fisik, watak, gagasannya, atau
benda-benda yang di sekitar tokoh, jika yang dideskripsikan tempat, apakah
yang akan dideskripsikan, keseluruhan tempat atau hanya bagian-bagian tertentu
saja yang menarik.

4) Memerinci dan menyistematiskan hal-hal yang menunjang kekuatan bagian


yang akan dideskripsikan: hal-hal apa saja yang akan ditampilkan untuk
membantu memunculkan kesan dan gambaran kuat mengenai sesuatu yang
dideskripsikan. Pendekatan apa yang akan digunakan penulis.

Contoh 1
Rumah kuno itu sunyi. Ruang tengah senantiasa ada dalam suasana remang-
remang karena jendela di pnggir pada diambl oleh kamar-kamar di kanan
kirinya. Meja murmer yang dengan kaki rampingnya berdiri seperti kijang kena
pesona dewa-dewa, terletak tepat dibawah mahkota lampu minyak yang sudah
tak ada lampuna lagi. Cahaya sedikit yang ada dalam ruangan itu datangnya dari
sumber di penjuru lain: sebuah baloon lampu yang dipasang di atas lubang pintu,
lebih atas lagi daripada lukisan huruf arab yang berbunyi “Allah” dan seuntai
kulit ketupat yang sudah kering. Cahaya suram 25 watt yang dengan susah payah
menerangi kelam yang mengental di ruangan antik itu, tambah muram pula oleh
debu dan sarang laba-laba yang kecuali di situ juga merajalela di segenap sudut.
Di kesua pojok belakang berdiri dua almari yang tak serupa. Yang satu pintunya
berkaca, tapi ditutupi oleh sehelai kain biru yang usang, sehingga tamu-tamu
boleh menerka-nerka isi almari itu barang-barang porselan yang mahal, kuih-
kuih yang lezat ataukah kosong sama sekali. Alamri yang satu hitam besar lagi
pula bergembok gede seperti gembok gudang pelabuhan. Kursi goyang rapuh di
sudut depan, hidup rukun dengan tetangganya: sebuah clubfauteuli hitam besar
yang bersalut perlak yang di tengahnya sudah habis, sehingga kelihatan goni
yang menonjol-nonjol oleh desakan pegas di bawahnya.
(Nugroho Notosusanto, Tayuban)
Contoh 2
Wina membuka pintu kelasnya perlahan-lahan. Dilihatnya sebuah jendela
yang terbuka. Di bawah jendela, tampak sebuah meja guru yang memakai
tapalak putih. Di atas taplak putih itu ada sebuah vas bunga dari kayu. Vas bunga

5
3
tersebut bergambar beberapa kuntum bunga matahari seperti bunga yang ada
didalamnya. Disebelahnya tergeletak sebuah agenda kelas yang terbuka dan
kalender duduk.
Wina lalu memasuki ruang kelasnya dengan langkah yang lambat. Dia
memalingkan pandangan ke arah kanan. Tampak satu buah white board yang
bersih tanpa coretan. Di sebelah kiri white board tersebut, terpasang sebuah
tempat spidol berwarna biru muda, serasi dengan dinding yang bercatut biru tua.
Dan disebelah kanan white board terpasang satu papan madding yang penuh
tulisan-tulisan karya siswa.
Wina memutar pandanganya ke belakang kelas. Ada sebuah pribahasa
berbahasa inggris yang berwarna kuning bertuliskan ‘practice make perpect’
dibawahnya terpasang sebuah system periodik unsurunsur di kiri kananya juga
terpasng sebuah denah duduk dan daftar kelompok belajar.
Selain itu, ditatapnya dinding kiri kelas. Di sana terpasang struktur
organigram dan sebuah daftar regu kerja dari karton berwarna kuning. Struktur
organigram dan daftar regu kerja tersebut ditutupi oleh plastic bening.
Wina berpaling kedinding kanan. Disana tergantung daftar pelajaran
berwarna kuning. Daftar pelajaran itu disusun tak berurutan, hurf-hurufnya pun
dari guntingan majalah. Meski tampak tidak rapi, namun cukup bagus dan
menarik.
Wina menyusuri deretan bangku kosong didepanya. Tak usah dihitung lagi
karena pasti ada 40 meja dan 80 kursi. Dan tanpa kata wina berjalan kebangkunya
sendiri, dan duduk manis disana. (Rahayu Setianingsih, 2013)

b. Eksposisi (paparan)
Eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti membuka.dapat pula diartikan
sebagai tulisan yang bertujuan untuk memberitahu ,mengupas,menguraikan, atau
menerangkan sesuatu. Dalam karangan eksposisi masalah yang dikomunikasikan adalah
informasi. Hal dikomunikasikan adalah: (a) Data faktual, (b) suatu analisis atau suatu
penafsiran yang objektif terhadap seperangkat fakta. (c) mungkin sekali berupa fakta tentang
seseorang yang berpegang teguh pada suatu pendirian yang khusus. Asalkan tujuan
utamanya untuk memberikan informasi.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam membuat eksposisi adalah sebagai
berikut: (1) menentukan topik karangan, (2) menentukan tujuan penulisan, dan (3)
merencanakan paparan dengan membuat kerangka yang lengkap dan tersusun baik.
Contoh 1
Ikan merupakan salah satu binatang yang biasa diprlihara oleh manusia. Ikan sangat
beragam mulai dari warna, jenis juga harganya.

5
4
Dengan memelihara ikan, akan memberikan ketenangan,kesegaran bagi pemiliknya begitu
juga orang melihatnya. Dalam memelihara ikan kita harus berhati-hati, karena jika
perawatannya tidak sesuai maka ikan air tawar, jenis dan warna ikan air laut juga lebih
beragam.
Untuk memelihara ikan,hal pertama yang harus disiapkan yaitu akuarium. Akuarium
harus ditata seindah mungkin dan sesuai dengan keadaan sebenarnya, dengan begitu ikan-
ikan akan merasa betah. Setelah akuarium diisi dengan air, selanjutnya ikan dimasukan ke
akuarium tersebut. Dalam memilih ikan sebaiknya yang masih segar, dan kondisinya baik
tanpa ada cacat ataupun goresan.
Dalam memberi makan ikan harus teratur,jangan terlalu banyak karena akan
membuat air keruh, oleh dan ikan akan mati. Memberi makanikan sebaiknya dilakukan tiga
atau sampai empat kali sehari, pilihlah makanan ikan yang sesuai dan bergizi.
Air untuk ikan air tawar makin lama makin keruh, oleh karena itu harus diganti
minimal sekali dalam seminggu. Ketika mengganti air akuarium, ikan-ikan harus
dipindahkan terlebih dahulu ke dalam ember yang berisi air bersih.
Hati-hati dalam memilih jenis ikan, jangan sampai ikan yang besar disatukan dengan
ikan kecil, bisa-bisa ikan besar tersebut memangsa ikan kecil. Akuarium juga dapat
diletakan diruang tamu, hal ini dapat memberikan nilai tambahyaitu membuat asri suasana
dan juga memberikan kesegaran bagi orang yang melihatnya. Kesegaran yang diberikan
oleh pemandangan di akuarium dapat membuat orang yang stress menjadi bugar,dan
bersemangat kembali.tak heranlah banyak orang yang mempunyai hobi memelihara ikan,
baik ikan air tawar maupun ikan air laut

c. Argumentasi (bahasan)
Tulisan argumentasi adalah karangan yang terdiri atas paparan alasan dan
penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan.Karangan ini ditulis dengan
maksud untuk memberikan alasan, memperkuat atau menolak sesuatu pendapat, pendirian ,
gagasan.
Karangan argumentasi dikembangkan dengan dua teknik, yaitu: (1) teknik induktif
adalah penyusunan argumentasi yang dilakukan dengan mengemukakan lebih dahulu bukti-
bukti, kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum, dan (2) teknik deduktif adalah
dimulai dengan suatu kesimpulan umum yang kemudian disusul uraian mengenai hal-hal
yang khusus, alasan-alasan atau bukti-bukti yang terdapat dalam argumentasi deduktif ini
disebut premis.
Contoh 1
Pantai Parangtritis memang memiki keindahan eksotis yang membuat wisatawan
ramai berkunjung, tetapi juga sering menelan korban. Yang disayangkan, sebagian
masyarakat Indonesia masih saja menganggap peristiwa tersebut berkaitan dengan hal-hal
mistis, yakni dikarenakan Ratu Pantai Selatan meminta tumbal. Padahal, ada penjelasan

5
5
ilmiah di balik musibah tersebut. Para praktisi ilmu kebumian menegaskan bahwa penyebab
utama hilangnya sejumlah wisatawan di Pantai Parangtritis, Bantul, adalah akibat terseret
rip current. Dengan kecepatan mencapai 80 kilometer per jam, arus balik tidak hanya kuat,
tetapi juga mematikan.
Jadi, banyaknya korban tenggelam tidak ada kaitannya sama sekali dengan anggapan
para masyarakat. Ali Susanto, Komandan SAR Pantai Parangtritis, juga menambahkan
bahwa di sepanjang Pantai Parangtritis juga banyak terdapat palung (pusaran air) yang
tempatnya selalu berpindah-pindah dan sulit diprediksi. Kondisi inilah yang sering banyak
menimbulkan korban mati tenggelam.

d. Narasi (kisahan)
Narasi atau naratif adalah tulisan berbentuk karangan yang menyajikan serangkaian
peristiwa atau kejadian menurut urutan terjadinya (kronologis) dengan maksud memberi
makna kepada sebuah atau rentetan kejadian sehingga pembaca dapat memetik hikmah dari
cerita itu. Prinsip-prinsip narasi
1) Alur (plot)
Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain,
bagaimana suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden yang lain, dan
bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalm tindakan-
tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu. Oleh karena itu, baik
tidaknya penggarapan sebuah alur dapat dinilaii dari beberapa hal berikut: (1)
apakah tiap insiden susul-menyusul secara logis dan alamiah; (2) aoakah tiap
pergantian insiden sudah cukup terbayang dan dimatangka dalam insiden
sebelumnya; (3) atau apakah insiden terjadi secara kebetulan. (Keraf, 1983)
2) Penokohan
Salah satu ciri khas narasi ialah mengisahkan tokoh cerita bergerak dalam
suatu rangkaian perbuatan atau mengisahkan tokoh ceria terlibat dalam suatu
peristiwa dan kejadian. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang pasti perihal
jumlah tokoh dalam narasi. Pertimbangan utama ialah fungsional atau tidaknya
tokoh tersebut membina kesatuan kesan. Ada pengarang yang membatasi kepada
satu tokoh sentral, tetapi ada juga yang memilih lebih dari satu tokoh. Yang
penting pemilihan dan pembatasan tokoh harus tetap dilakukan agar tindakan
atau peristiwa yang ditampilkan tidak berlaku pada banyak tokoh sehingga
arahnya tetap terkontrol.
3) Latar (setting)
Latar ialah tempat atau waktu terjadinya perbuatan tokoh atau peristiwa yang
dialami tokoh. Dalam karangan narasi terkadang tidak disebutkan secara jelas
tempat tokoh berbuat atau mengalami peristiwa tertentu. Sering kita jumpai
cerita hanya mengisahkan latar secara umum, misalnya dikatakan: di tepi hutan,

5
6
di sebuah desa atau di sebuah pulau. Dalam latar waktu, misalnya disebutkan:
jaman dahulu, pada suatu senja, pada suatu malam atau pada suatu hari. Namun
demikian, ada juga yang menyebutkan latar tempat dan waktu secara pasti.
Penyebutan nama latar secara pasti atau secara umum dalam narasi sebenarnya
menyangkut esensi dan tujuan yang hendak dicapai narasi itu sendiri.
4) Sudut Pandang
Sudut pandang dalam narasi menjawab pertanyaan siapakah yang
menceritakan kisah. Apapun sudut pandang yang dipilih pengarang akan
menentukan sekali gaya dan corak cerita. Sebab, watak dan pribadi pencerita
akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca.
a. Langkah-langkah menulis karangan narasi
1) Menentukan tema dan amanat yang akan disampaikan.
2) Tetapkan sasaran pembaca.
3) Rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk sekema
alur.

4) Bagi peristiwa utama itu kedalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita.

5) Rinci peristiwa-peristiwa utama kedalam detail-detail peristiwa sebagai


pendukung cerita.

6) Susun tokoh dan perwatakan, latar dan sudut pandang.


Contoh 1
Tepat ketika tanggal 10 Maret, sekolahku libur selama sembilan hari dan
akan berakhir pada tanggal 18 Maret. Aku dan seluruh keluargaku tidak menyia-
nyiakan waktu ini untuk mengadakan liburan keluarga. Ketika itu aku memilih
berlibur ke Pantai Parangtritis.
Pagi-pagi aku telah berbenah dan menyiapkan semua perbekalan yang
nantinya diperlukan. Sepanjang perjalanan, aku iringi dengan nyanyian lagu
riang. Betapa senangnya aku ketika sampai di pantai tersebut. Dengan hati suka
ria, aku sambut Pantai Parangtritis dengan senyumku. Pantai Parangtritis, pantai
nan elok yang menjadi favoritku. Tanpa menyia-nyiakan waktu, aku mengajak
kakakku untuk bermain air. Kuambil air dan aku ayunkan ke mukanya. Dengan
canda tawa, kami saling berbalasan. Puas rasanya, terasa hilang semua
kepenatan karena kesibukan tiap harinya. Di sana, aku dan seluruh keluargaku
saling berfoto-foto untuk mengabadikan momen yang indah ini. Tak terasa
waktu berjam-jam telah ku habiskan di sana. Hari pun mulai sore menandakan

5
7
perpisahan dan kembali pulang. Tak rela rasanya kebahagiaan ini akhirnya
selesai. Dalam benakku, aku kan kembali esok.

e. Persuasi
Tulisan yang bermaksud mempengaruhi orang lain dalam persuasi selain logika
perasaan juga memegang peranan penting.
Untuk dapat menyusun karangan persuasi yang efektif, diperlukan
kemampuan menciptakan persuasi, yaitu kemampuan memanfaatkan alat-alat
persuasi sebagai berikut:
1. Bahasa, bahasa adalah alat komunikasi, sebagai alat bahasa sangat luwes dalam
menjalankan fungsinya. Artinya, bahasa dapat dipakai oleh pemakainya untuk
kepentingan apa saja selama dalam batas-batas fungsinya sebagai alat
komunikasi.

2. Nada, yang dimaksud disini adalah nada pembicaraan. Nada tersebut berkaitan
denga sikap pengarang dalam menyampaikan gagasannya.

3. Detail, dalam karangan persuasi, detail cukup penting dalam kedudukannya


dalam alat persuasi. Yang dimaksud detail adalah uraian terhadap ide pokok
sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Untuk memilih detail pengembangan
persuasi perlu kita pertimbangkan hal-hal berikut:

a) Penting-tidaknya detail itu untuk keperluan persuasi dan pemahaman


pembaca;

b) Jumlah detail yang harus dikumpulkan untuk mendukung ide pokok;


c) Macam detail yang harus diangkat untuk mendukung ide pokok;
d) Kapan setiap detail itu dihadirkan;
e) Ada tidaknya korelasi dan relevansi detail dengan ide pokok yang sebaiknya
di angkat.

Detail yang baik adalah detail yang esensial dalam mendukung tujuan persuasi.
a. Organisasi, organisasi ini menyangkut masalah pengaturan detail dalam sebuah
karangan. Dalam persuasi, pengaturan detail menggunakan prinsip “mengubah
keyakinan dan pandangan”. Artinya, detail-detail itu bagaimana pun

5
8
pengaturannya harus kita usahakan mampu mengarahkan keyakinan dan
pandangan pembaca. Penataan detail-

detail ini ada beberapa cara, antara lain, cara induktif, cara deduktif, cara
kronologi, dan cara penonjolan.
b. Kewenangan, kewenangan (authority) dapat kita sebut sebagai alat persuasi.
Kewenangan tidak selalu berkaitan dengan kewenangan hukum. Kewenangan
menyangkut “penerimaan dan kesadaran” pembaca terhadap pengarang.
Seorang pengarang diyakini pembacanya sebagai orang yang berwenang apabila
dia:

1) Mempunyai dasar hukum menduduki jabatan-jabatan tertentu, 2) Berkecimpung


dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu, dan 3) Mampu menunjukka pola pikir
yang bermutu tinggi.

Contoh 1
Indonesia adalah negeri yang beraneka ragam. bangsa yang multikultur,
banyak sekali kebudayaan yang tersebar dari ujung barat ampai ujung timur.
Kebudayan nasional yang menjadi ciri khas bangsa khususnya.sebagai warga
yang hidup di Indonesia, sebaiknya saat ini kita harus berpikir bahwa
kebudayaan Indonesia mulai harus dijaga. Kenapa kebudayaanbangsa Indonesia
harus dijaga? Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebudayaan Indonesia
harus dijaga.
Diantaranya, banyak orang yang tidak mengenal budayanya sendiri.
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia lebih banyak
menyebabkan seseorang malas untuk mengetahui bahkan untuk mengenalnya.
sehingga tak heran jika ada orang yang tidak tahu tentang kebudayaan Indonesia.
Bahkan dia sempat aneh dan terheranheran jika melihat tari kecak misalnya atau
mendengarkan lagu soleram. karena dia tak pernah mengetahuinya dan memang
tak pernah mau tahu.
Tak hanya itu, globalisasi atau medernisasi yang terjadi pada dunia saat
ini mempunyai pengaruh besar terhadap kelestarian budaya Indonesia. Melalui
modernisasi kebudayaan dengan mudah kebudayaan asing dapat masuk ke
Indonesia. Dan memang tidak mengherankan, kita bisa lihat dengan jelas dari
beberapa media, kebudayaan asing telah merambah luas ke seluruh penjuru
nusantara. Kebudayaan-kebudayaan asing ini ternyata lebih mudah membudaya
dari pada kebudayaan asli yang sudah ada. Contohnya saja dalam cara
berpakaian, kita lebih sering mengikuti orang-orang di luar sana untuk cara
berpakaian.

5
9
Dengan masuk dan berkembangnya budaya asing ke Indonesia membuat
kebudayaan-kebudayaan daerah tersingkir. tak jarang banyak kebudayaan
daerah yang tidak lagi dimunculkan atau malah dapat dikatakan menghilang.
Kebudayaan-kebudayaan daerah ini mulai meredup setelah kedatangan
kebudayaan asing. Seperti ayang yang sekarang jarang sekali kita dapat
menyaksikan pertunjukan wayang secara langsung. Atau tari jaipong yang
benar-benar asli, karena yang sering kita lihat adalah tari jaipong yang sudah
banyak mengalami perubahan.
Generasi muda Indonesia pun ternyata lebih menyukai kebudayaan
asing. Mereka kurang mencintai kebudayaannya sendiri, bahkan ada yang
menganggapnya kampungan. Terlihat bahwa generasi muda sekarang lebih
bergaya hidup hedonistikatau gaya hidup penuh hura-hura. Generasi muda saat
ini lebih menyenangi kebebasan tanpa batas daripada kebebasan dengan batasan
norma. Musik yang mereka dengarkan bukn lagi gending karismen atau tanjidor
tapi musik yang mereka dengarkan adalah house music atau musik DJ, R&B,
Hiphop, metal dan lain-lain. Tarian mereka bukan lagi jaipongan, kecak, atau
pendet tapi tarian mereka dengarkan adalah modern dance, break dance dan lain-
lain.
Oleh karena itu, memang sudah saatnya kita sebagai orang Indonesia
umumnya dan sebagai generasi muda terpelajar khusunya, harus mulai berpikir
untuk menjaga kebudayaan Indonesia. Karena kebudayaan Indonesia adalah ciri
khas bangsa Indonesia yang menjadi kebanggaan tersendiri dari bangsa Indonesia.
Masyarakat dan pemerintah adalah pelaku sentral dalam proses pelestarian
kebudayaan nasional.
Kebudayaan indonesi sebaiknya kita pelihara, kita juga dan kita
lestarikan bersama-sama. Jangan sampai kita kehilangan budaya kita sendiri.
Marilah kita sama-sama menjaga kebudayaan Indonesia agar jangan sampai
terkubur dan hanya menjadi sejarah anak cucu kita di masa yang akan dating.
Marilah kita bersama-sama menjaganya!

6
0
IV. SEMANTIK

A. Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata benda) yang berarti tanda
atau lambang, yang mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis,
semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Kata semantik kemudian
disepakatai sebagai istilah yang digunakan dalam bidang lnguistik yang mempelajari makna
atau arti dalam bahasa. Kata semantik juga diartikan sebagai ilmu tentang makna atau
tentang arti, yaitu salah satu dari tiga analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan semantik.
Selain semantik, adapula istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi,
sememik, dan semik yang juga mempelajari tentang makna atau arti dalam suatu tanda atau
lambang. Namun, istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena
istilah yang lain mempunyai cakupan objek yang lebih luas seperti tanda lalu lintas, kode
morse, tanda dalam matematika dan sebagainya. Sedangkan cakupan semantik hanyalah
makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. (abdul chaer)

B. Manfaat Semantik
Manfaat yang diperoleh dari studi semantik tergantung dari bidang pekerjaan kita
sehari-hari. Misalnya bagi seorang guru atau calon guru bahasa, pengetahuan mengenai
semantik, akan memberi manfaat teoritis dan juga manfaat praktis. Manfaat teoritis karena
sebagai guru bahasa akan banyak materi atau penegtahuan yang diajarkan, teori-teori
semantik ini akan menolongnya memahami dengan lebih baik bahasa yang akan
diajarkannya itu. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi
dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada muridmuridnya. Seorang guru bahasa, selain
harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas mengenai segala aspek bahasa, juga
harus memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia
tidak dapat menjelaskan dengan tepat perbedaan dan persamaan semantis dalam dua buah
bentuk kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar.
Bagi seorang wartawan yang bekerja untuk sebuah surat kabar dan
pemberitaan, pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih
dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Sedangkan untuk orang awam, pengetahuan
tentang dasar-dasar semantik diperlukan untuk dapat memahami dunia di
sekelilingnya. Semua informasi yang ada di lingkungan didapat melalui
bahasa. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup
tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa.
(abdul chaer)

C. Makna Bahasa

6
1
1. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa
tersebut. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik
untuk menyebut satuan-bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih
dapat disamakan dengan istilah kata yang bisaanya digunakan dalam studi
morfologi dan sintaksis, dan yang lazim didefinisikan sebagai satuan
gramatikal bebas terkecil. Perbedaannya, leksem dapat berupa sebuah kata
seperti kata meja, kucing dan makan; dapat pula berupa gabungan kata seperti
meja hijau, dalam arti ‘pengadilan’ dan bertekuk lutut dalam arti
‘menyerah’.
Untuk mencari makna leksikal, kita dapat memeriksanya di dalam kamus
untuk mengetahui makna leksikal dari sebuah leksem yang belum kita ketahui
karena kamus bisaanya akan menyajikan makna leksikal di awal pada sebuah
entri. Sementara makna lain, seperti makna polisemi, makna kias, dan lainnya
disajikan setelah makna leksikal itu. Misalnya, kata tikus makna leksikalnya
adalah ‘sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya
penyakit tifus’. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam
kucing, atau dalam kalimat Panen kalli ini gagal akibat serangan hama tikus.
Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan
kepada yang lain. Sementara dalam kalimat Sudah terlalu banyak tikus
berdasi di negara ini bukanlah makna leksikal karena merujuk pada seoran
manusia, yang perbuatannya mirip dengan perbuatan tikus.

2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses
gramatika, seperti afiksasi, redupliksi, dan komposisi. Jadi, makna gramatikal
merupakan makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuat kata di
dalam kalimat.
Proses afiksasi dapat menimbulkan makna gramatikal. Misalnya, proses
afikasi awalan ter- pada kata angkat dalam batu seberat itu terangkat juga oleh
adik melahirkan makna ‘dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik,
papan itu terangkat keatas melahirkan makna gramatikal ‘tidak sengaja’.
Kedua merupakan proses reduplikasi, Proses reduplikasi digunakan dalam
menyatakan makna ‘jamak’ di Bahasa Indonesia. Seperti kata buku yang
bermakna ‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang bemakna ‘banyak buku’.
Terakhir, pada proses komposisi atau penggabungan dalam Bahasa Indonesia
juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal komposisi sate
ayam tidak sama dengan komposisi sate madura. Yang pertama menyatakan
‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan ‘asal tempat’. Begitu jgua
komposisi anak asuh tidak sama maknanya dengan komposisi orangtua asuh.

6
2
Yang pertama bermakna ‘anak yang diasuh’ sedangkan yang kedua bermakna
‘orangtua yang mengasuh’.

3. Makna Denotatif
Makna denotatif merupakan makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman
lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual
objektif. Oleh karena itu, makna denotatif sering disebut sebagai makna
sebenarnya, bukan kiasan atau perumpamaan. Contohnya kata perempuan
dan wanita yang memiliki makna denotatif yang sama, yaitu ‘manusia
dewasa bukan laki-laki’.

4. Makna Konotatif
Makna konotatif merupakan kata yang mempunyai “nilai rasa”, baik positif
maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki
konotasi. Misalnya terdapat pada kedua kalimat ini:
a. Perempuan itu ibu saya
b. Ah, dasar perempuan
Makna denotatif terdapat pada kata perempuan, yang berarti
‘manusia dewasa bukan laki-laki’. Sedangkan makna konotatif juga terdapat
pada kedua kalimat. Pada kalimat kedua secara psikologis perempuan
mengandung makna suka bersolek, suka pamer, egoistis. Sedangkan pada
makna kalimat pertama makna perempuan mengandung sifat keibuan, kasih
sayang, dan lemah lembut.

5. Makna Konstektual
Yang dimaksud dengan makna konstekstual adalah, pertama, makna
penggunaan sebuah kata (atau gabungan kata) dalam konteks kalimat tertentu;
kedua,, makna keseluruhan kaalimat (ujaran) dalam konteks situasi tertentu.

Contoh:
a. Semester ini saya tidak mengambil mata kuliah statistika (kata mengambil
bermakna ‘mengikuti’

b. Diam-diam dia mengambil uang saya dari laci meja (kata mengambil
bermakna ‘mencuri’)

6
3
c. Tahun depan perusahaan kami akan mengambil 20 orang peawai baru (kata
mengambil bermakna ‘menerima’)

d. Kaarnya pak lurah akan mengambil pemuda itu sebagai menantunya (kata
mengambil bermakna ‘menjadikan’)

e. Pak Guru mengmbil buku itu dari lemari dan meletakkannya di meja (kata
mengambil bermakna ‘memindahkan’)

Dari seluruh kalimat tersebut, kata mengambil memiliki makna


yang berbeda. Dalam semantik makna dari sebuah kata yang berbeda-beda
ini disebut makna polisemi.
Dalam percakapan, seringkali makna percakapan atau ujaran itu tidak
digunakan menurut makna harfiahnya, melainkan
“makna lain” yang sesuai dengan konteks situasinya. Misalnya, kalua pada
pagi hari seorang suami berkata pada istrinya, “Bu, sudah hamper pukul
tujuh”. Maka makna ujaran itu bukanlah untuk memberiktahukan tenang
waktu kepada isitrinya, melainkan bermakna bahwa si suami memberi tahu
istrinya, bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor. Jadi, si istri
diminta untuk menyiapkan sarapan. Dalam kajian tutur makna seperti ini
disebut makna perlokusi, yaitu makna yang dimaui oleh pihak penutur.
Masalah terakhir dalam kajian makna kontekstual adalah masalah
adanya satuan ujaran yang dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah pendengar
atau pembaca menurut pemahaman atau tafsirannya masing-masing. Makna
yang dipahami oleh pendengar dan pembaca ini dalam kajian tindak tutur
disebut makna ilokusi. Hal ini dalam kajian semantic lazim disebut
ketaksaan (ambiguitas). Terdapat banyak penyebab sehingga terjadinya
kasus ketaksaan ini. Diantaranya adalah karena kekurangan konteks, baik
konteks kalimat maupun konteks situasi. Contohnya, ujaran “Minggu lalu
kami bertemu paus”, dapat dimaknai (oleh pendengar maupun pembacca)
sebagai, minggu lalu kami bertemu dengan ikan besar yang disebut paus.
Atau juga, minggu lalu kami bertemu dengan pemimpin agama katolik Roma
yang disebut paus. Maka kalimat tersebut haruslah diberi pelengkap
sehingga tidak menimbulkan ketaksaan.
a. Minggu lalu, ketika berlayar di laut lepas itu, kami bertemu paus.

b. Minggu lalu, ketika berkunjung ke roma, kami bertemu paus.

6. Makna Idiom

6
4
Idiom adalah ungkapan bahasa yang artinya tidak secara langsung dapat
dijabarkan dari unsur-unsurnya ( Moeliono, 1984:
177). Menurut Badudu ( 1989: 47). “... idiom adalah bahasa yang teradatkan
...” Oleh karena itu, setiap kata yang membentuk idiom berarti didalamnya
sudah ada kesatuan bentuk dan makna. Dengan kata lain, idiom adalah
ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase) yang maknanya sudah
menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna unsur yang
membentuknya.
Contoh:
1) selaras dengan, insaf akan, berbicara tentang, terima kasih atas,
berdasarkan pada/kepada.

2) membanting tulang, bertekuk lutut, mengadu domba, menarik hati,


keras kepala

Pada contoh (1) terlihat bahwa kata tugas dengan, akan, tentang, atas,
dan pada/kepada dengan kata-kata yang digabunginya merupakan ungkapan
tetap sehingga tidak dapat diubah atau digantikan dengan kata tugas yang
lain. Demikian pula pada contoh (2). Idiom-idiom tersebut tidak dapat
diubah dengan kata-kata yang lain.

7. Peribahasa
Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang
tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Beberapa
peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat
jelas karena ia didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak, seperti,
laksana, macam, bagai dan umpama.
Sedangkan definisi peribahasa menurut arti kata adalah kelompok kata atau
kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam
peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan)
Bentuk-bentuk peribahasa antara lain:
1) Pepatah, adalah jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ujaran dari orang
tua.

Contoh:
Air tenang menghanyutkan. Berarti orang pendiam, tetapi banyak ilmu.

6
5
2) Perumpamaan, adalah jenis peribahasa yang berisi
perbandingan.

Contoh:
Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak
mati. Berarti serba sulit dalam menentukan sikap.

3) Pameo, adalah jenis peribahasa yang dijadikan semboyan.


Contoh :
Patah Sayap, bertongkat paruh. Berarti tidak putus asa.

Berikut adalah contoh peribahasa yang lain beserta artinya :


1) Besar pasak daripada tiang.
Artinya: Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. bisa dibilang orang
yang tidak bisa mengatur keuangan
2) Ada uang abang di sayang, tak ada uang abang ditendang.
Artinya: Hanya mau bersama disaat senang saja tetapi tidak mau tahu disaat
sedang susah.
3) Air beriak tanda tak dalam.
Artinya: Orang yang banyak bicara biasanya tidak banyak ilmunya.
4) Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan nama.

Artinya: Setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai
dengan perbuatannya di dunia.
5) Bagai pungguk merindukan bulan.
Artinya: Seseorang yang membayangkan atau menghayalkan sesuatu yang
tidak mungkin.
6) Bagai Makan Buah Simalakama.
Artinya: Bagai seseorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat
sulit untuk dipilih.
7) Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Artinya: Kalah ataupun menang sama-sama menderita.

6
6
8) Bagaikan abu di atas tanggul.
Artinya: Orang yang sedang berada pada kedudukan yang sulit dan mudah
jatuh.
9) Ada Padang ada belalang, ada air ada pula ikan.
Artinya: Di mana pun berada pasti akan tersedia rezeki buat kita. 10) Adat
pasang turun naik.
Artinya: Kehidupan di dunia ini tak ada yang abadi, semua senantiasa silih
berganti.
11) Membagi sama adil, memotong sama panjang.
Artinya: Jika membagi maupun memutuskan sesuatu hendaknya harus adil
dan tidak berat sebelah.

D. Pertalian Makna
1. Sinonim
Secara etomologi kata sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu
onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’ maka secara
harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’
secara sematik. Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama.
Venhaar (1978) mengatakan sinonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain.
Selain itu, menurut ( Nunung dan Mahmud, 2011 hal 89) sinonim adalah
suatu istilah yang mengandung pengertian (1) telaah mengenai
bermacammacam kata yang memiliki makna yang sama, (2) keadaan yang
menunjukan keadaan yang menunjukan dua kata atau lebih memiliki makna
yang sama, dan (3) nama lain untuk benda yang sama. Dengan demikian,
sinonim dapat diartikan sebagai kata-kata yang memiliki makna yang sama
antara ungkapan yang lain. Dengan kata lain, sinonim juga dapat dikatakan
sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain
berupa kata, kelompok kata, maupun kalimat .
Contohnya:
a) mati, tewas, wafat dan meninggal.
b) Pintar, cerdas, cerdik, cakap, pandai.
c) Cantik, bagus, baik, indah, puspa, molek, bunga, kembang
d) Benar, betul.

6
7
Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Apabila kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang
bersinonim dengan kata bunga.
Pada uraian diatas dikatakan sinonim memiliki makana yang mirip.
Hal ini berarti bahwa dua kata atau lebih yang bersinonim kesamaan
maknanya tidak seratus persen harus sama. Kata nasib dan takdir mempunyai
makna yang kurang lebih sama atau makna kedua kata itu mirip. Dengan
memperthatikan contoh di atas, jelas bahwa kata-kata yang bersinonim itu
tidak mutak memiliki makna yang persis sama, Oleh karena itu, kata-kata
yang dapat di pertukarkan begitu saja jarang ada. Pada suatu tempat kita
mungkin dapat menukarkan kata mati dan meninggal, tetapi di tempat
laintidak dapat. Menurut (Nunung dan mahmud, 2011 : 91) Ada beberapa
faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukarkan sebuah kata
dengan kata lain yang bersinonim, yaitu sebagai berikut.
a. Faktor waktu
b. Faktor tempat dan daerah
c. Faktor sosial
d. Faktor kegiatan
e. Faktor nuansa makna

2. Antonim
Kata antonim berasal dari kata yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’ dan anti yang berarti ‘melawan’ maka antonim berarti ‘nama lain
untuk benda lain pula’. Secara sematik Veehaar (1978) mendefinisikan
sebagai: ungkapan (bisaanya kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Selain itu, menurut (Nunung dan Mahmud, 2011: 92) antonin adalah dua
buah kata yang mengandung makna berlawanan. Oleh kaena itu, kata-kata
yang memiliki makna berlawanan sering di sebut antonim.
Contohnya:
a) siang >< malam
b) laki-laki >< perempuan
c) panas >< dingin
d) tinggi >< rendah
Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna kata yang
berantonimpun bersifat dua arah. Jadi, apabila kata bagus berantonim dengan

6
8
kata buruk, kata buruk berantonim dengan kata bagus. Begitu pula jika kata
mahal berantonim dengan kata murah, kata murahpun berantonim dengan
kata mahal.

3. Homonim
Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya’nama’
dan homo yang artinya’sama’. Secara harfiah homonim dapat di artikan
sebagai ‘ nama sama untuk benda atau hal lain.Secara sematik, Vehaar (1987)
memberi definisi homonim sebagai ungkapan (berupa kata,frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain ( juga brupa kata, frase
atau kalimat ) tetapi maknanya tidak sama. Selain itu, menurut ( Nunung dan
Mahmud, 2011 : 101) homonimi adalah dua kata atau lebih yang memiliki
bentuk yang sama.
Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimini, yaitu
1) Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek
yang berlainan.

2) Bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses


morfologi

Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, tataran kalimat.
Contohnya : Bang untuk panggilan laki-laki dewasa bank tempat untuk
menabung.

4. Polisemi
Menurut ( Nunung dan Mahmud, 2011: 99 ) polisemi adalah relasi makna
yang berbeda-beda, tetapi masih dalam suatu aluran arti .Polisemi merupakan
suatu unsure fundamental tutur manusia yang dapat muncul dengan berbagai
cara. Terdapat lima sumber, empat diantaranya terletak pada bahasa yang
bersangkutan sedangkan yang satu lagi muncul dari pengaruh bahasa asing.
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari
satu.
Contohnya:
Kepala: kata kepala dalam bahasa indonesia memiliki makna

6
9
1) Bagian tubuh
2) Pemimpin
Polisemi sangat dekat dengan istilah lain, yaitu homonimi yang berarti dua
kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama. Dalam polisemi atau
homonimi kita berhadapan dengan dua kata atau lebih. Masalah bagaimana
kita membedakan apakah kata itu polisemi atau homonim adalah bahwa
polisemi adalah kata yang memiliki beberapa arti, sedangkan homonimi
adalah dua kata atau lebih yang kebetulan tulisan dan bunyinya sama, atau
tulisan sama bunyinya berbeda, atau tulisan berbeda tetapi bunyinya sama.

5. Hoponim
Kata hoponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onama berarti ‘nama’
dan hypo berati ‘di bawah’ secara semantik Verhaar (1978: 137 ) menyatakan
hoponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna suatu ungkapan lain. hoponim ialah semacam relasi antarkata yang
berujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen
yang lain . kelas atau mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil ,
sedangkan kelas bawah merupakan komponen-komponen yang tercakup
dalam kelas atas.
Contohnya: Kata anggrek dan bunga. Kata anggrek berhiponim terhadap
bunga, sebab anggrek adalah salah satu jenis bunga, kemudian kata tongkol
hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada termasuk dalam
makna kata ikan, sedangkan ikan bukan hanya tongkol melainkan juga
termasuk bandeng, tenggiri, teri dll

6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna
ganda atau memiliki dua arti. Konsep ini tidak salah, namun juga kurang tepat
sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Keduanya sama-sama
bermakna sama, hanya kalau polisemi kegandaan maknanya berasal dari kata,
sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatika
yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat
penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Contohnya, frase orang malas
lewat di sana dapat diartikan sebagai (1) jarang ada orang yang lewat sana,
atau (2) hanya orang-orang malas yang lewat sana.

7. Redundansi

7
0
Istilah redundansi sering diartikan sebagai penggunaan kata yang berlebih
dalam suatu kalimat. Contohnya kalimat Roti dimakan Alvin maknanya tidak
akan berubah bila dikatakan Roti ditendang oleh Alvin. Pemakaian kata oleh
pada kalimat kedua dianggap sebagai suatu redundansi, yang berlebih-
lebihan atau mubazir dan sebenarnya tidak perlu. Karena makna dari kedua
kalimat itu sama saja.
Contoh lain, kalimat Gadis itu mengenakan baju berwarna biru adalah
redundans dari kalimat Gadis itu berbaju biru. Atau kalimat Inilah obat satu-
satunya yang paling mujarab adalah redundans dari kalimat Inilah obat yang
paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana
dituntut dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-
kalimat redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Dan lebih baik
menggunakan kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata.

E. Perubahan Makna
1. Meluas (generalisasi)
Perubahan makna meluas merupakan gejala yang terjadi pada sebuah kata
atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’, tetapi
karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Misalnya kata
ibu, mulanya bermakna ‘orangtua yang melahirkan kita’ .Kemudian
berkembang menjadi ‘perempuan yang dainggap derajat lebih tinggi ’.
Akibatnya, perempuan yang mengajar di sekolah kita sebut ibu.

2. Menyempit (spesialisasi)
Perubahan menyempit merupakan gejala yang terjadi pada sebuah
kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian
berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata
sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’,
kemudian hanya berarti ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi tingkat strata
satu (S-1)’.

3. Peninggian (ameliorasi)
Menurut ( Nunung dan Mahmud, 2011 : 110 ) makna amelioratif
adalah suatu proses perubahan makna yang pada mulanya memiliki makna
lebih rendah daripada makna sekarang. Dengan kata lain, makna baru lebih
tinggi atau lebih baik dari pada makna dahulu. Misalnya, kata wanita,
sekarang maknanya dirasakan lebih tinggi daripada kata perempuan. Kata
isteri dan nyonya, maknanya lebih tinggi daripada kata bini. Kata suami
maknanya lebih tinggi dari pada kata laki.

7
1
Contoh lain, kata gambaran yang semula hanya mangandung makna hasil
kegiatan menggambar, dengan masuknya kata abstraksi, kata gambaran
akhirnya dapat mengandung perngertian pembayangan secara
imajinatif,kata anda lebih baik daripada kau. Kata tunanetra lebih baik dari
pada kata buta, kata narapidana lebih baik dari pada kata orang hukuman,
kata hamil lebih baik dari pada kata bunting, kata pembantu lebih baik dari
pada kata babu, kata melahirkan lebih baik dari pada kata beranak, kata
tunasusila lebih baik dari pada kata pelacur, kata tunarungu lebih baik
daripada kata tuli.

4. Penurunan (penyorasi)
Peyorasi adalah perubahan makna yang mengakibatkan sebuah kata atau
ungkapan menggambarkan sesuatu yang kurang baik, kurang enak, kurang
menyenangkan, atau kurang bermutu dibandingkan dengan makna semula
(dulu). Dalam peyorasi makna baru dirasakan lebih rendah nilainya daripada
makna yang lama. Misalnya, kata tuli mengalami peyorasi karena dulu tidak
dirasakan mengandung makna yang jelek. Sekarang maknanya dirasakan
kurang baik, kurang sopan dan terasa kasar. Ungkapan kaki tangan dipakai
dalam arti yang kurang baik, yaitu pembantu dalam kejahatan atau pembantu
pihak yang tidak disukai seperti tampak dalam kaki tangan musuh, kaki
tangan imperialis. Kata bini yang pada mualnya dianggap lebih baik yang
berarti perempuan kemudian berarti perempuan yang telah menikah sekarang
dirasakan kurang hormat. Ungkapan laki-bini dulu setingkat dengan suami-
isteri, sekarang dalam hubungan yang baik umpamanya dalam surat
undangan tidak pernah dipaiak laki-bini tetapi suami-isteri atau beserta
nyonya. Kata ngamar semula mengandung makna berda di kamar tetapi
akhirnya mengandung pengertian negatif sehingga pemakaiannya pun
berusaha di hindari.

5. Pemahaman (asosiasi)
Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena adanya
persamaan sifat sehinga suatu kata atau istilah dapat dipakai unuk pengertian
yang lain. Misalnya, kata lintah darat dipakai untuk menyebut orang yang
mempunyai sifat seperti lintah, yaitu yang menghisap harta benda orang lain.
Kata biang keladi dipakai untuk menyebut orang yang menjadi penyebab
atau pemimpin perbuatan jahat. Kata benalu digunakan untuk orang yang
mempunyai sifat seperti benalu, yaitu yang selalu ikut menumpang pada
keluarga yang lain secara cuma-Cuma. Agar lebih jelas makna kata-kata
tersebut, perhatikanlah pemakaiannya pada kalimat dibawah ini!
a) Orang yang tinggi besar itu menjadi lintah darat dikampungnya

7
2
b) Siapa yang menjadi biang keladi dalam keributan ini?
c) Apa kerja benalu di sini?
Sebagai contoh lain, perhatikan pula beberapa contoh asosiasi
dibawah ini!
a) Kursi itu telah perebukan tokoh politik
b) Rasakan, kini dia kena getahnya
c) Bapak naik garuda ke Singapura

6. Pertukaran (sinestesia)
Sinestesia berasal dari bahasa yunani sun artinya sama dan
aisthetikas artinya nampak. Perubahan makna akibat adanya kecenderungan
untuk mengubah tanggapan dengan tujuan untuk menegaskan maksud
disebut sinestesia. Dengan kata lain, sinestesia adalah pertukaran tanggapan
antara indera yang satu dan indera yang lainnya. Misalnya, rasa pedas yang
seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi
dianggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-
katanya cukup pedas.
Contoh lain :
a) Wajaha enak dipandang
b) Wajahnya dingin sekali
c) Hatimu jelek benar
d) Kata-katanya pedih sekali
e) Ceritamu menggelikan kami
f) Nama guru kami harum benar
g) Suaranya empuk didengar
h) Mukanya manis sekali
i) Kedengarannya memang nikmat
j) Pandangannya sangat tajam

7
3
7
4
V. KETERAMPILAN MENYIMAK

A. Definisi Keterampilan Menyimak


Hakikatnya keterampilan menyimak adalah melatih pendengaran dan daya ingat.
Aspek keterampilan menyimak bertujuan agar siswa mampu menangkap, memilih,
memahami, mengingat dan mengumpulkan informasi dari apa yang disimak atau didengar.
“Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang tidak disampaikan oleh si
pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan”. (Tarigan:
1983)
Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambanglambang lisan
dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh
informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah di
sampaikan oleh pembicara.
Sedangkan dalam pembelajaran disekolah, daya simak siswa sangat mempengaruhi
keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, dan menelaah informasi. Menyimak juga
mempengaruhi ketiga keterampilan bahasa yang lain. Menyimak juga merupakan proses
awal anak dapat mengenal bahasa. Dari menyimak anak dapat berbicara, membaca, dan
menulis.
Selain itu, siswa dapat pula melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Misalnya
dari pembacaan sebuah cerita. Selama proses menyimak, siswa seolah-olah terbawa oleh
alur yang dibuat oleh pengarang cerita. Dari penyimakan tersebut pula siswa dapat
mengidentifikasi permasalahan dan solusi dari cerita.

B. Perbedaan menyimak, mendengar dan mendengarkan


Menyimak, mendengar dan mendengarkan merupakan sebuah kegiatan yang hampir sama,
namun sebenarnya terdapat perebdaan dari ketiga aktivitas tersebut. Menurut Akhadiat
(dalam Sutari dkk 1997: hlm. 1819) menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan
mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, dan mereaksi atas makna
yang terkandung di dalamnya.
Kemudian menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi,
serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi serta memahami makna
komuniksi yang disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Sutari, (1998: hlm. 16) menyimpulkan bahwa mendengar mempunyai makna, dapat
menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau ada bunyi, alat

7
5
pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut. Proses mendengar terjadi tanpa
perencanaan, tetapi datang secara kebetulan,mungkin juga tidak.
Sedangkan mendengarkan adalah merespon atau menerima bunyi secara disengaja.
Memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan oleh orang lain yang sudah mulai
melibatkan unsure kejiwaan yang berarti aktivitas mental sudah muncul, hanya belum
setinggi aktivitas menyimak.

C. Tujuan Menyimak
Adapun tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam, antara lain:
1. Menyimak untuk belajar
2. Menyimak untuk menikmati
3. Menyimak untuk mengevaluasi
4. Menyimak untuk mengapresiasi
5. Menyimak untuk mengkomunikasikan ide-ide
6. Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi
7. Menyimak untuk memecahkan masalah
8. Menyimak untuk meyakinkan

D. Manfaat Menyimak
Menurut Setiawan (dalam Darmawan 2001: hlm. 11-12) manfaat menyimak ada banyak
antara lain sebagai berikut :
1. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang berharga bagi
kemanusiaan sebab menyimak memiliki nilai informatif yaitu memberikan
masukan-masukan tertentu yang menjadikan kita lebih berpengalaman.

2. Meningkatkan intelektualita serta memperdalam penghayatan keilmuan dan


khazanah ilmu kita.

3. Memperkaya kosa kata, menambah perbendaharann ungkapan yang tepat,


bermutu dan puitis. Orang yang banyak menyimak komunikasinya menjadi lebih
lancar dan kata-kata yang digunakan lebih variatif.

7
6
4. Memperluas wawasan, mengingkatkan penghayatan hidup, serta membina sifat
terbuka dan objektif.

5. Meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial.


6. Meningkatkan citra artistik jika yang kita simak itu merupakan bahan simakan
yang isinya halus. Banyak menyimak dapatmenumbuh suburkan sikap apresiatif,
sikap menghargai karya atau pendapat orang lain dan kehidupan ini serta
meningkatkan selera estetis.

7. Menggugah kreativitas dan semangat mencipta untuk menghasilkan ujaran-


ujaran dan tulisan-tulisan yang berjati diri. Jika banyak menyimak, kita akan
mendapat ide-ide yang cemerlang dan segar, pengalaman hidup yang berharga.
Semua itu akan menodorng kita untuk giat berkarya dan kreatif.

E. Tahap-tahap Menyimak
Ruth G. Stricland dalam Tarigan (1986) menyimpulkan ada sembilan tahapan menyimak,
mulai dari yang tidak ketentuan sampai pada yang amat bersungguh-sungguh, yaitu sebagai
berikut:
1. Menyimak berkala, yang terjadi pada saat anak merasakan keterlibatan langsung
dalam pembicaraan mengenai dirinya.
2. Menyimak dengan perhatian dangkal, karena sering mendapat gangguan dengan
adanya selingan-selingan perhatian kepada hal-hal di luar pembicaraan.

3. Setengah menyimak karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan untuk


mengekspresikan isi hati anak.

4. Menyimak serapan karena anak keasikan menyerap hal-hal yang kurang penting,
jadi merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya.

5. Menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang di simak, karena


perhatiannya terganggu oleh keasikan lain dan hanya mendengarkan hal-hal yang
menarik saja.

7
7
6. Menyimak asosiatif; hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi secara
konstan, yang mengakibatkan penyimak benar-benar tidak memberi reaksi
terhadap pesan yang di sampaikan pembicara.

7. Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan memberi komentar


maupun pertanyaan.

8. Menyimak secara seksama, mengikuti jalan pikiran pembicara dengan sungguh-


sungguh.

9. Menyimak secara aktif untuk mendapatkan serta menemukan pikiran, pendapat,


dan gagasan pembicara.

Terdapat pakar lain yang mengemukakan adanya tujuh tahapan dalam menyimak:
1. Isolasi : Pada tahapan ini, penyimak mencatat aspek-aspek individual kata lisan
dan memisah-misahkan atau mengisolasikan bunyibunyi, ide-ide, fakta-fakta,
organisasi-organisasi khusus, begitu pula stimulus-stimulus lainnya.

2. Identifikasi: Sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna atau
identitas pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu.

3. Integrasi: kita mengintegrasikan atau menyatupadukan sesuatu yang kita dengar


dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak kita. Oleh
karena itulah, pengetahuan umum sangat penting dalam tahap ini. Kalau proses
menyimak berlangsung, kita harus terlebih dahulu mempunyai beberapa latar
belakang atau pemahaman mengenai bidang pokok pesan tertentu. kalau kita
tidak memiliki bahan penunjang yag dapat dipergunakan untuk
mengintegrasikan informasi yang baru itu, jelas kegiatan menyimak itu akan
menemui kesulitan atau kendala.

4. Inspeksi: pada tahap ini, informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan
dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal
tersebut. Proses ini akan menjadi paling mudah berlangsung kalau informasi
baru justru menunjang prasangka atau prakonsepsi kita. Akan tetapi, kalau
informasi baru itu bertentangan dengan ide-ide kita sebelumnya mengenai

7
8
sesuatu, kita harus mencari serta memilih hal-hal tertentu dari informasi itu yang
lebih mendekati kebenaran.

5. Interpretasi: pada tahapan ini, kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita
dengar dan menelusuri dari mana datangnya semua itu. Kita pun mulai menolak
dan menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut
dengan sumber-sumbernya.

6. Interpolasi : selama tidak ada pesan yang membawa makna dalam dan member
informasi, tanggung jawab kitalah untuk menyediakan serta memberikan data-
data dan ide-ide penunjang dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman kita
sendiri untuk mengisi serta memenuhi butir-butir pesan yang kita dengar.

7. Introspeksi : dengan cara merefleksikan dan menguji informasi baru, kita


berupaya untuk mempersonalisasikan informasi tersebut dan menerapkannya
pada situasi kita sendiri. (Hunt; 1981: hlm. 18-19).

F. Hal-hal yang Perlu Disimak


Khusus mengenai bahasa, sebagai pelajar haruslah menyimak serta mengenal dan memahami
hal-hal berikut:
1. Bunyi-bunyi fonemis atau bunyi-bunyi distingtif bahasa yang bersangkutan, dan
pada akhirnya variasi-variasi fonem yang bersifat personal atau dialek seperti
dipakai atau diucapkan oleh beberapa pembicara asli, penduduk pribumi

2. Urutan-urutan bunyi beserta pengelompokan-pengelompokannya; panjangnya


jeda, pola-pola intonasi

3. Kata-kata tugas beserta perubahan-perubahan bunyi sesuai dengan posisinya di


depan kata-kata lain.

4. Infeksi-infeksi untuk menunjukkan jamak, waktu, milik, dan sebagainya


5. Perubahan-perubahan bunyi dan pertukaran-pertukaran fungsi yang
ditimbulkanoleh derivasi, misalnya adil, keadilan, pengadilan, mengadili, dan
diadili.

7
9
6. Pengelompokkan-pengelompokkan structural, misalnya yang
berhubungan dengan frasa-frasa verbal, preposisional

7. Petunjuk-petunjuk urutan kata yang menyangkut fungsi dan makna


8. Makna kata-kata yang bergantung pada konteks atau situasi pembicaraan,
misalnya: kaki, dan sop kaki

9. Kata-kata salam, kata-kata sapaan, kata-kata pendahuluan, dan katakata keraguan


yang terdapat dalam ujaran atau pembicaraan

10. Makna budaya (cultural meaning) yang terkandung atau tersirat dalam suatu pesan
atau ujaran

G. Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak

Dalam upaya meningkatkan kemampuan menyimak terdapat beberapa strategi.


Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Guru dapat
memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di kelas. Namun, sebelum membaca, guru
harus mendiskusikan etika atau sopan santun dalam menyimak dan perbedaan antara kritik
yang konstruktif atau negatif. Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar murid-
murid saling menghormati dan membina kesetiakawanan.
Setelah membacakan cerita atau artikel, guru hendaknya mengadakan diskusi
mengenai bagian-bagian cerita atau artikel tersebut yang patut dipuji atau perlu diperbaiki.
Guru sebaiknya mendaftar segi-segi positif dan negatif tersebut di papan tulis atau dengan
menggunakan projektor, sehingga setiap anak dapat melihat dan mendengar hal-hal penting
yang sedang di diskusikan. Pada saat inilah guru dapat menekankan kepada murid-murid
untuk mengajukan pertanyaan dengan cara yang sopan dan pada saat inilah guru dapat
memberikan dorongan kepada anak untuk memperbaiki pertanyaannya agar menjadi jelas
dan menggunakan bahasa yang baku. Apabila tidak ada anak-anak yang memberikan
komentar terhadap cerita atau artikel yang telah dibacakan, guru dapat menyarankan agar
mereka berperan seolah-olah menjadi pengarang cerita atau artikel tersebut. Komentar apa
yang mereka inginkan dari pembaca seandainya mereka menjadi pengarang cerita atau
artikel yang telah dibacakan oleh guru (Yeager, 1991: hlm. 96).

H. Peran yang Harus Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan


Menyimak
1. Peran guru sebagai penyimak

8
0
Dalam kelas yang efektif, guru memberikan penekanan pada
keterampilam menyimak seperti halnya pada keterampilan membaca dan
menulis. Menyimak merupakan saran yang utama untuk belajar, oleh karena itu
kebiasaan perlu dikembangkan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan
murid-murid sebagai penyimak efektif. Tunggulan sampai suatu pertanyaan
dikemukakan secara lengkap sebelum menjawab pertanyaan murid. Demikian
juga murid-murid dibiasakan melakukan hal yang serupa. Ringkasan apa yang
anda dengar, yakinkan diri bahwa Anda dan pembicara memiliki pemahaman
yang sama terhadap suatu informasi. Apabila perlu dikemukakan kembali,
pertanyaan yang harus Anda jawab atau yang harus dijawab oleh orang lain.
Berikan dorongan untuk saling bertukar pendapat. Ingatkan muridmurid bahwa
menjadi penyimak yang baik sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang
efektif (Yeager, 1991: hlm. 98).
2. Partisipasi kelompok
Dalam kelas yang berdasarkan pendekatan pembelajaran bahasa secara
holistik, murid-murid lebih banyak bekerja dalam kelompok. Kelompok-
kelompok tersebut bersifat informal, misalnya bekerja secara berpasang-
pasangan untuk diskusi atau persiapan bermain peran. Dapat pula berupa
kelompok yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk tujuan tertentu,
misalnya menyelesaikan suatu proyek. Kelompok dapat diarahkan untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara khusus, dapat pula untuk menolong anak-
anak yang ingin meningkatkan keterampilan tertentu misalnya meningkatkan
kemampuan menyimak.
Kerja kelompok dapat menolong murid-murid mengembangkan sikap
sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan berbahasa yang
spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan pembelajaran sebaik mungkin.
Selama setahun setiap anak akan menjadi anggota kelompok yang berbeda-beda.
Keuntungan dari kelompok tersebut terletak pada bantuan dari teman dan
terjadinya kegiatan belajar. Keberhasilan kelompok biasanya merupakan
pencerminan perencanan dan upaya-upaya guru. Keberhasilan suatu kempok
sangat tergantung pada anggota-anggotanya. Sebaiknya guru mulai dengan
memberikan tugas yang jelas berupa keterampilan tertentu yang perlu
ditingkatkan dalam suatu kelompok, kemudian baru memiliki anggota
kelompok.

I. Indikator Menyimak
Indikator Menyimak di Kelas Rendah
Kelas satu (5 1/2 – 7 tahun)
1. Menyimak untuk menjelaskan, menjernihkan pikiran dan untuk mendapat jawaban
atas pertanyaan.

8
1
2. Dapat mengulangi secara tepat apa-apa yang telah didengarkan.
3. Menyimak bunyi-bunyi tertentu pada kata-kata lingkungan.

Kelas dua (6 1/2 – 8 tahun)


1. Menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat.
2. Membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan pertanyaan untuk mengecek
pengertiannya.

3. Sadar akan situasi, bila sebaiknya menyimak atau sebaliknya.


Indikator Menyimak di Kelas Tinggi
Kelas tiga dan empat (7 1/2 – 10 tahun)
1. Sungguh-sungguh sadar akan nilai menyimak sebagai sumber informasi dan
kesenangan.

2. Menyimak pada laporan orang lain, dengan maksud tertentu serta dapat
menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan itu.

3. Memperlihatkan keangkuhan dengan kata-kata atau ekspresi yang tidak mereka


pahami maknanya.

Kelas lima dan enam (91/2 – 11 tahun)


1. Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan, kesalahan, propaganda, dan petunjuk
yang keliru.

2. Menyimak pada aneka ragam cerita puisi, rima kata-kata, dan memperoleh
kesenangan dalam menemui dalam tipe-tipe baru.

J. Jenis-jenis Menyimak
Menyimak berdasarkan sumber suara yang disimak:
1. Menyimak intra personal listening atau menyimak intra pribadi, yaitu sumber
suara yang disimak dapat berasal dari diri sendiri.

8
2
2. Menyimak inter personal listening atau menyimak antarpribadi, yaitu sumber
suara yang disimak berasal dari luar diri penyimak.

Menyimak berdasarkan taraf aktivitas penyimak


1. Kegiatan bertaraf rendah/ silent listening, dalam kegiatan bertaraf rendah
penyimak baru samapai pada kegiatan memberikan dorongan, perhatian, dan
menunjang pembicaraan. Biasanya aktivitas itu bersifat non-verbal (mengangguk-
angguk, senyum, sikap tertib dan penuh perhatian atau melalui ucapan-ucapan
pendek seperti benar, saya setuju, ya dan sebagainya).
2. Kegiatan bertaraf tinggi/ active listening, penyimak sudah dapat mengutarakan
kembali isi bahan simakan yang berarti penyimak sudah memahami isi bahan
simakan.

Menyimak berdasarkan taraf hasil simakan:


1. Menyimak tanpa mereaksi, yaitu penyimak mendengar sesuatu beruoa suara
atau teriakan, namun yang bersangkutan tidak memberikan reaksi apa-apa.

2. Menyimak terputus-putus, yaitu pikiran penyimak bercabang, tidak terpusat


kepada bahan simakan. Penyimak sebentar menyimak sebentar tidak
menyimak kemudian menyimak kembali dan seterusnya

3. Menyimak terpusat, yaitu yaitu pikiran penyimak terfokus pada sesuatu


misalnya pada aba-aba untuk mengetahui bila saatnya mengerjakan sesuatu.

4. Menyimak pasif, yaitu menyimak hampir sama dengan menyimak tanpa


mereaksi namun dalam menyimak pasif sudah ada reaksi walau sedikit.

5. Menyimak dangkal, yaitu penyimak hanya menangkap sebagian isi simakan.


Bagian-bagian penting tidak disimak, mungkin karena sudah mengetahui,
menyetujui atau menerima.

8
3
6. Menyimak untuk membandingkan, yaitu penyimak menyimak sesuatu pesan
kemudian membandingkan pesan tersebut dengan pengalaman dan
pengetahuan penyimak yang relevan.

7. Menyimak organisasi materi, yaitu penyimak berusaha mengetahui


organisasi materi yang disampaikan pembicara, ide pokoknya beserta detail
penunjangnya.

8. Menyimak kritis, yaitu penyimak menganalisis secara kritis terhadap materi


yang disampaikan pembicara. Bila diperlukan, penyimak minta data atau
keterangan terhadap pernyataan yang disampaikan pembicara.
9. Menyimak kreatif dan apresiatif, yaitu penyimak memberikan responsi
mental dan fisik yang asli terhadap bahan simakan yang diterima.

(Green and Petty, 1969: hlm. 162)

8
4
VI. KETERAMPILAN BERBICARA

A. Pengertian Keterampilan Berbicara


Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dalam menggunakan bahasa lisan.
Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik diperlukan suatu proses. Cook
(dalam Murcia & Olshtain, 2001: 164) menyebutkan bahwa lisan terjadi karena dihasilkan
dan diproses secara langsung, tidak ada pengulangan dan perubahan atau penataan kembali
kata-kata sebagaimana di dalam menulis, tidak ada waktu istirahat dan berfikir, dan selagi
berbicara atau menyimak, kita tidak dapat mengulang dan memperhatikan sebuah wacana.
Bailey dan Savage (dalam Celce Murcia, 2001: 103) mengemukakan kemampuan
berbicara pada suatu bahasa sama dengan mengenali bahasa itu, karena berbicara merupakan
alat komunikasi manusia yang paling dasar. Brown (2001: 267) menyatakan bahwa
keterampilan berbicara sangat erat berhubungan dengan keterampilan menyimak. Interaksi
antara kedua performansi keterampilan tersebut diterapkan dengan kuat dalam percakapan.
Hal tersebut menyatakan bahwa keterampilan berbicara tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman menyimak. Secara umum, semakin baik pemahaman menyimak siswa akan
tercermin keterampilan berbicara yang lebih baik. Faktor-faktor, kondisi, dan komponen-
komponen yang mendasari keefektifan berbicara perlu diperhatikan. Input bahasa dan
aktivitas berbicara yang cukup, secara perlahan akan membantu siswa untuk mampu
berbicara dengan fasih dan akurat.
Gorys Keraf (dalam Depdikbud, 1996: 33) menerangkan hakikat keterampilan
berbicara adalah sebagai berikut.
1. Keterampilan berbicara adalah keterampilan yang sangat penting untuk
berkomunikasi.

Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan keterampilan berbicara.


Keterampilan berbicara adalah wujud komunikasi yang utama. Dengan
keterampilan berbicara kita mengontrol proses komunikasi.
2. Keterampilan berbicara adalah suatu proses yang kreatif.
Dengan keterampilan berbicara kita dapat menyampaikan berbagai macam
informasi (fakta, peristiwa, gagasan, pendapat, tanggapan, dan sebagainya), kita
dapat mengemukakan kemauan dan keinginan, serta mengungkapkan berbagai
macam perasaan dengan komunikasi yang aktif dan kreatif.
3. Keterampilan berbicara adalah hasil proses belajar. Keterampilan berbicara perlu
sekali dikuasai oleh para siswa di sekolah. Keberhasilan berbicara yang baik dapat
dikuasai melalui proses belajar dan berlatih secara teratur. Untuk itu diperlukan
perencanaan pengajaran yang baik yang disusun berdasarkan kurikulum yang

8
5
digunakan. Dalam perencanaan pengajaran keterampilan berbicara yang baik
dikemukakan dengan jelas tujuan pengajaran yang hendak dicapai, materi, metode
dan teknik serta kegiatan pembelajaran, serta menilai keberhasilan siswa.

4. Keterampilan berbicara adalah media untuk memperluas wawasan.


Keterampilan berbicara merupakan media untuk memperluas pengetahuan
dan wawasan siswa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan keterampilan
berbicara yang baik siswa dapat memperoleh informasi tentang apa, siapa, di
mana, bilamana, mengapa, dan bagaimana mengenai berbagai hal yang siswa
temui, baik lingkungan sekolah maupun masyarakat.
5. Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan berbagai topik.
Dengan mengambil topik pembicaraan dari mata pelajaran lain, pengajaran
keterampilan berbicara akan memperoleh berbagai manfaat. Pertama, kegiatan
pembelajaran keterampilan berbicara akan lebih bersifat fungsional dalam
menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti berbagai macam kegiatan
pembelajaran di sekolah. Kedua, jangkauan topik pembicaraan yang diangkat
dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara menjadi lebih luas
sehingga topik yang dibicarakan bias bervariasi. Ketiga, pembelajaran
keterampilan berbicara bisa merupakan salah satu wahana untuk mewujudkan
keinginan untuk menghubungkan pengajaran Bahasa Indonesia dengan mata-
mata pelajaran yang lain.
Berdasarkan pengertian keterampilan dan pengertian berbicara di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk mengekspresikan,
menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami oleh orang lain. Aktivitas siswa
yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara adalah dengan
berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, salah satunya
dengan bermain sosiodrama. Dengan sosiodrama siswa dapat berkomunikasi, menemukan
pengalaman, meningkatkan pengetahuan, dan mengembangkan bahasanya sehingga
keterampilan berbicara siswa dapat meningkat.

A. Keterampilan Berbicara Siswa di SD


Menurut Tarigan (2015: 16) berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-
bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan ataumenyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari bahasan ini dapat dikatakan bahwa
berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang
terlihat (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi
maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara adalah
suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun dan dikembangkan

8
6
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan
instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah
sang pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para
penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta bisa menyesuaikan diri atau tidak, pada saat
dia mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias atau
tidak, Mulgrave (dalam Tarigan, 2015: 16).
Onch & Winker (dalam Tarigan, 2015: 17) mengatakan bahwa pembicaraan atau
berbicara merupakan gaungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula mungkin sekaligus
menghibur dan meyakinkan. Berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan
berbicara, yaitu membutuhkan paling sedikit dua orang, mempergunakan suatu sandi
linguistik yang dipahami bersama, menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum,
merupakan suatu pertukaran antara partidipan, menghubungkan setiap pembicara dengan
yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera, berhubungan atau berkaitan dengan
masa kini, hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus), secara tidak pandang
bulu mengahdapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.
Pembelajaran berbicara harus berlandaskan konsep dasar berbicara sebagai sarana
berkomunikasi dan sejumlah landasan lainnya. Menurut Logan (dalam Resmini dkk (2009:
151) konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi mencakup beberapa hal, yakni:

1. Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal


Kegiatan menyimak pasti diawali dengan kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara
baru berarti bila diikuti kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara dan menyimak saling
melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi,
bertelepon, tanya jawab dan sebagainya.
2. Berbicara adalah proses individu berkomunikasi
Berbicara digunakan sebagai alat komunikasi, apabila dikaitkan dengan fungsi
bahasa maka berbicara digunakan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mengadaptasi,
mempelajari lingkungannya, dan mengontrol lingkungannya.

3. Berbicara adalah ekspresi kreatif


Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan ide, tetapi
juga memanifestasikan kepribadiannya. Berbicara bukan hanya mengkomunikasikan ide, tapi
juga alat untuk menciptakan dan memformulasikan ide baru.
4. Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
Siswa memerlukan kesempatan berlatih dan belajar berbicara tidak ada orang yang
langsung terampil berbicara tanpa melalui latihan. Berbicara adalah tingkah laku yang harus
dipelajari, baru bisa dikuasai. Menurut Tarigan (dalam Resmini dkk 2009:152) keterampilan

8
7
berbicara siswa harus dibina oleh guru melalui latihan pengucapan, pelafalan, pengontrolan
suara, pengendalian diri, pengontrolan gerak-gerik tubuh, pemilihan kata, kalimat dan
pelafalannya, pemakaian bahasa yang baik, dan pengorganisasian ide.

5. Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman


Berbicara adalah ekspresi diri, bila seorang pembicara kaya dengan pengalaman,
maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan atau pengalamannya.
Bila pembicara miskinpengetahuan dan pengalaman maka yang bersangkutan akan
mengalami kesukaran berbicara.
6. Berbicara sarana memperluas cakrawala
Berbicara dapat digunakan untuk mengekspresikan ide, perasaan, imajinasi dan
untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Dari rasa takjub
terhadap keadaan sekitarnya, anak akan terus bertanya sehingga akan bertambah cakrawala
mereka.
7. Kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat
Anak merupakan produk lingkungan, jika dalam lingkungan hidupnya ia sering
diajak berbicara dan segala pertanyaan diperhatikan dan dijawab, serta lingkungan itu
sendiri menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih berbicara maka dapat
diharapkan anak tersebut terampil berbicara.
8. Berbicara adalah pancaran pribadi
Salah satu aspek yang dapat dijadikan acuan kepribadian adalah bagaimana seseorang
itu berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada dalam hati, pikiran,
perasaan, keinginan, ide dan lain-lain.
Oleh karena itu, berbicara merupakan gambaran kepribadian.

Pembicaraan merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula


mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan (Ochs and Winker dalam Tarigan, 2015:17)
. berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara menurut Tarigan
(2015:17), antara lain:
1. Membutuhkan paling sedikit dua orang
Pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi, misalnya
oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa beserta maknanya.
2. Mempergunakan satu sandi linguistik yang dipahami bersama Bahkan
andaikatapun dipergunakan dua bahasa, namun saling pengertian, pemahaman
bersama itu tidak kurang pentingnya.

8
8
3. Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum
Darah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah dikenal/ditentukan,
namun pembicaraan menerima kecenderungan untuk menemukan satu
diantarana.
4. Merupakan suatu pertukaran antar partisipan
Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam pembicaraan saling
bertukar sebagai pembicara dan penyimak.
5. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada
lingkungannya dengan segera.

Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang nyata
atau yang diharapkan, dari sang penyimak, dan sebaliknya.
Jadi hubungan itu bersifat timbal balik atau dua arah.
6. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini
Hanya dengan bantuan berkas grafis material, bahasa dapat luput dari kekinian
dan kesegeraan.
7. Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus)
Walau kegiatan-kegiatan dalam pita audio-lingual dapat melepaskan gerak-visual
dan grafik material, namun sebaliknya tidak akan terjadi.
8. Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan
apa yang diterima sebagai dalil.

Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan mencakup


bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi juga secara tidak terbatas
dunia gagasan yang lebih luas yang harus mereka masuki karena mereka dan manusia
berbicara sebagai titik pertemuan kedua wilayah ini tetap memerlukan penelaahan serta
uraian yang lebih lanjut dan mendalam (Brooks dalam Tarigan, 2015:18).
Menurut Tarigan (2015:16), tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi.
Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami
makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Ada tujuh tujuan berbicara yang
dikemukakan Tarigan, yaitu:
1. Berbicara untuk menghibur

8
9
Difokuskan pada kegiatan berbicara untuk menyenangkan pendengar dengan
bebagai cara. Biasanya berbicara dengan tujuan menghibur ini banyak
dilakukan oleh pelawak atau orang yang biasanya melucu.
2. Berbicara untuk menginformasikan
Dilaksanakan bila seseorang ingin menjelaskan suatu proses, menguraikan,
menafsirkan atau mengionterpretasikan sesuatu hal, memberi, meneybarkan
atau menanamkan pengetahuan, menjelaskan kaitan hubungan relasi antar
benda atau peristiwa.
3. Berbicara untuk menstimulasi
Pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, meyakinkan pendengarnya agar
turut pada keingina pembicara.
4. Berbicara untuk meyakinkan
Berbicara untuk meyakinkan pendengarannya akan sesuatu agar apa yang
dibicarakan dapat dituruti dan dipahami kebenarannya.

5. Berbicara untuk menggerakan


Berbicara dengan tujuan menstimulasi dan meyakinkan pada akhirnya dapat
menggerakan pendengar yang mendengarkan.

Menurut Tarigan (2015), paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam
mengkasifikasi berbicara. Kelima landasan tersebut adalah situasi, tujuan metode
penyampaian, jumlah penyimak, peristiwa khusus, dan situasi. Aktivitas berbicara tidak
mungkin berlangsung tanpa situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu
dapat bersifat formal atau resmi maupun bersifat imformal atau tak resmi. Dalam situasi
formal pembicara dituntut berbicara secara formal, sebaliknya dalam situasi tak formal
pembicara harus berbicara secara tak formal.
Jenis-jenis kegiatan berbicara informal meliputi:
1. Tukar pengalaman
2. Percakapan
3. Menyampaikan berita
4. Menyampaikan pengumuman
5. Bertelepon
6. Memberi petunjuk (logan dkk, dalam Tarigan 2015)

9
0
Selain itu, ada pula jenis-jenis kegiatan berbicara formal, yaitu:
1. Ceramah
2. Perencanaan dan penilaian
3. Wawancara
4. Prosedur parlementer
5. Bercerita (Logan dkk, dalam Tarigan 2015)

Arsjad (1987:35), menuliskan bahwa jenis-jenis berbicara antara lain diskusi


kelompok meliputi diskusi panel, simposium, seminar, lokakarya, brainstorming, pidato dan
ceramah. Untuk dapat berdiskusi, disamping menguasai matri juga dituntut mempunyai
pengetahuan tentang diskusi tersebut. Memiliki kemampuan berbicara dalam kelompok
akan membantu keterampilan berbicara secara individual.
Tarigan (2015: 24) mengatakan bahwa secara garis besar, berbicara dapat dibagi atas:
1. Berbicara dimuka umum pada masyarakat (public speaking) yang mencakup
empat jenis, yaitu:

a. Berbicara dalam situasi-situasi yang memberitahukan atau melaporkan.

b. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan atau pesahabatan.

c. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mengajak, mendesak,


dan meyakinkan.

d. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan


hati-hati.

2. Berbicara pada konferensi (conference speaking) yang meliputi:


a. Diskusi kelompok (group discussion), yang dapat dibedakan menjadi:

- Tidak resmi (informal), dan masih dapat diperinci lagi atas:


• Kelompok studi (study group)
• Kelompok pembuat kebijaksanaan (policy making groups)
• Komik
- Resmi (formal) yang mencakup:
• Konferensi

9
1
• Diskusi panel
• Simposium
b. Prosedur parlementer (parlementary prosedure)
c. Debat

Menurut Arsjad (1987:87) untuk mengefektifkan berbicara, pembicara perlu


memperhatikan faktor kebahasaan dan non kebahasaan.
Faktor kebahasaaan antara lain:
1. Ketepatan ucapan, yang meliputi ketepatan pengucapan vokal dan konsonan.

Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa


secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkanperhatianpendengar. Artikulasi dan pola ucapan setiap siswa berbeda,
masing-masing orang mempunyai ciri tersendiri.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun upaya
kearah tersebut sudah lama dikemukakan, bahwa ucapan atau lafal yang baku
dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciriciri dialek setempat atau
ciri-ciri lafal daerah. Misalnya dalam pelafalan huruf, suku kata dan kata yang
belum sesuai dengan pelafalan dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya pelafalan
/c/ dengan /se/, dalam kata WC dilafalkan /we-se/ seharusnya /we-ce/, kata AC
dilafalkan /a-se/ seharusnya /a-ce/.
2. Penempatan tekanan.
Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai akan
menunjukkan daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan merupakan faktor
penentu dalam keefektifan berbicara. Kurang tepatnya pembicara dalam
peempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme akan menimbulkan perhatian
pendengar berbalih kepada cara berbicara pembicara, sehingga topik atau pokok
pembicaraan kurang diperhatikan.
3. Penempatan persendian.
4. Penggunaan nada taua irama.
5. Pilihan kata.
6. Pilihan ungkapan.
7. Variasi kata.
Kata dan ungkapan yang digunakan dalam berbicara hendaknya baik,
konkret dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik akan sesuai dengan

9
2
keadaan pendengarnya. Pilihlah kata yang jelas agar mudah dipahami oleh
pendengar.
8. Tata bentukan.
9. Struktur kalimat.
Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan atau
uraian tentang sesuatu. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan lebih
memudahkan pendangar menangkap isi pembicaraan.
10. Ragam kalimat.

Sementara itu, faktor nonkebahasaan yang dimaksudkan antara lain yaitu:


1. Keberanian dan semangat.
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau pendapat
secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang sesuatu diperlukan
keberanian. Seseorang yang mengemukakan ide atau pendapat, harus memiliki
keberanian untuk mengungkapkannya.
2. Kelancaran.
Dalam berbicara harus memiliki sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku.
Bersikap wajar berbarti bersikap biasa sebagaimana adanya tidak mengada-ada.
Sikap yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak
gugup, dan tidak tergesa-gesa. Dan sikap tenang dapat menjadikan jalan pikiran
dan pembicaraan menjadi lebih lancar.
3. Kenyaringan suara.
Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang
keaktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan dengan
situasi, tempat, jumlah pendengar yang ada.
4. Pandangan mata.
Pada waktu berbicara pandangan harus diarahkan pada lawan pembicara, baik
dalam pembicaraan perseorangan ataupun kelompok.
5. Gerak-gerik dan mimik.
Salah satu kelebihan dalam kegiatan berbicara dibandingkan dengan kegiatan
berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik yang dapat
memperjelas atau menghidupkan pembicaraan.
6. Keterbukaan.
Keterbukaan dalam menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau
mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar ataupun tidak.

9
3
7. Penalaran.
Seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu, cara
berfikir yang logis untuk sampai pada simpulan. Hal itu menunjukkan bahwa
dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-pokok pikiran
logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya.
8. Penguasaan topik.
Penguasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok pembicaraan.
Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memiliki kesanggupan untuk
mengemukakan topik itu kepada para pendengar.

Taraf kemampuan berbicara peserta didik ketika masuk persekolahan sangat


bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap, atau kurang. Ada peserta didik
yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit atau letih. Bahkan mungkin
dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu wadah dalam taraf sederhana. Beberapa
peserta didik lainnya masih malu-malu dan takut berdiri di hadapan teman sekelasnya.
Bahkan tidak jarang kita lihat beberapa peserta didik berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa
segalanya bila ia dihadapkan peserta didik pada lainnya Djago Tarigan, dalam Resmini
(2012). Kondisi peserta didik seperti ini digambarkan tadi, hendaknya menjadi landasan
ketika guru melaksanakan pembelajaran berbicara di kelas. Artinya kemampuan peserta
didik itu beragam sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Oleh karena itu,
kemampuan awal peserta didik dalam berbicara harus menjadi catatan guru pada waktu
pembelajaran berbicara dilaksanakan. Hal ini keliru bila seorang guru memperlakukan setiap
peserta didik sama pada waktu berbicara. Bila itu terjadi, maka peserta didik yang masih
malumalu atau takut berbicara di hadapan temannya tetapi disamakan dengan peserta didik
yang sudah lancar dan berani berbicara, akan mendapat hambatan. Sebaliknya kemampuan
setiap peserta didik diukur dari awal kemampuan peserta didik itu sendiri yang jelas
berbeda-beda.
Menurut Ari (2012) berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang
berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan
pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari dan dipahami secara
berkelanjutan terutama di sekolah. Berbicara berhubungan dengan perkembangan kosa-kata
yang diperoleh sang anak melalui kegiatan menyimak dan membaca di sekolah. Siswa yang
belum matang dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam
kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu disadari bahwa keterampilan-keterampilan yang
diperlukan bagi kegiatan berbicara efektif dalam keterampilan berbahasa yang lainnya.
Anak SD sudah mampu memahami tata bahasa dengan baik, kosa kata yang
dikuasai mencapai kurang lebih seribu kata. Pada masa ini, anakanak jarang menggunakan
kalimat-kalimat pasif, serta kalimat-kalimat yang menyatakan lampau. Pada usia ini,
kemampuan berbicara anak menjadi sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka berbicara
dalam kalimat yang lebih panjang dan lebih rumit. Mereka lebih banyak menggunakkan kata

9
4
hubung, kata depan dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan dapat
menangani semua bagian pembicaraan. Selain itu, anak-anak pada usia SD berbicara dengan
lancar, benar dan dapat dimengerti.
Berikut ini merupakan tahapan perkembangan bicara anak (Ari:
2012)
1. Kurang dari 1 tahun
a. Belum dapat mengucapkan kata-kata
b. Belum dapat mengungkapkan bahasa dalam arti yang sebenarnya
c. Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa
2. Usia 1 tahun
a. Mulai mengoceh
b. Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)

c. Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik


d. Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri
perkembangan yang universal

e. Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki
arti konkret (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak)

f. Mulai pengenalan semantik


3. Usai 2 tahun
a. Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata
b. Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam
ucapan-ucapan tanpa kata petunjuk, kata depan atau betnuk lain yang
seharusnya digunakan

c. Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan betnuk
bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya
peristiwa.

d. Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.


4. Usia taman kanak-kanak
a. Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata

9
5
b. Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai
betnuk kalimat

c. Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru


5. Usia sekolah dasar
a. Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis

b. Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa


6. Usia remaja
a. Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri

b. Usia ini merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa


7. Usia dewasa
a. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan
yang lainnya dalam perkembangan bahasa sesuai dengan tingkat pendidikan,
peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan.

Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan agar siswa dapat mengungkapkan


pikiran, perasaan, dan informasi sesuai dengan konteks peristiwa tutur secara efektif dan
santun. Pembelajaran keterampilan berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam berkomunikasi yang bersifat produktif lisan secara efektif, baik
yang dilakukan di luar kelas maupun di dalam kelas. Di luar kelas, siswa yang terampil
berbicara tentunya akan lebih mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik
dan santun. Adapun di dalam kelas, keterampilan berbicara sangat penting dalam menunjang
keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran lain yang menuntut siswa untuk terampil
melakukan diskusi, melaporkan, menceritakan kembali, menjelaskan, mendeskripsikan, dan
menjawab pertanyaan guru, dan berbagai bentuk kegiatan berbicara lainnya. Tentu saja,
keterampilan berbicara tidak hanya terkait dengan aspek berbahasa produktif lisan saja,
namun siswa juga dituntut memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang luas yang
mendukung kualitas pembicaraan yang dilakukannya.
Dalam standar kompetensi lulusan untuk keterampilan berbicara adalah
menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam
kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon,
diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi,
cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk
anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. Standar kompetensi lulusan tersebut
dicapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berdasarkan
standar kompetensi mulai kelas I sampai dengan kelas VI.

9
6
Menurut Soelestijono (2012), dalam pembelajaran berbicara, halhal yang penting
diperhatikan guru antara lain:
1. Upaya kegiatan berbahasa yang dilakukan bersiat alamiah dan kontekstual

2. Pastikan pembelajaran berbicara dilakukan dalam bentuk aktivitas berbicara


atau mengucapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan oleh siwsa

3. Kegiatan berbicara mensyaratkan siswa untuk berani mengungkapkan pikiran,


perasaan, dan informasi secara lisan. Sebelum penugasan kegiatan berbicara,
pastikan bahwa siswa yang bersangkutan telah memiliki keberanian untuk
berbicara. Jika belum, guru dapat melatih keberanian berbicara dulu melalui
berbagai metode dan strategi pembelajaran. Coba diskusikan dengan teman di
samping Saudara tentang metode dan strategi pembelajaran yang dapat
dilakukan guru untuk membiasakan siswa berani berbicara.

4. Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran


berbicara disarankan dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran aspek
keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun antarmata pelajaran

VII. KETERAMPILAN MEMBACA

A. Pengertian Keterampilan Membaca


Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk
menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Hal ini berarti membaca
merupakan proses berpikir untuk memahami isi teks yang dibaca. Oleh sebab itu, membaca
bukan hanya sekedar melihat kumpulan huruf yang telah membentuk kata, kelompok kata,
kalimat, paragraf, dan wacana saja tetapi lebih dari itu bahwa membaca merupakan kegiatan
memahami dan menginterpretasikan lambang/tanda/tulisan yang bermakna sehingga pesan
yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca.
Menurut Tarigan (2015, hlm. 7) “membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta
dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh
penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis”. Membaca juga merupakan kegiatan
berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan dalam bentuk cetakan (Resmini, 2007, hlm. 75).
Menurut Nurgiyantoro (dalam Kurniawati, 2012, hlm. 2) membaca merupakan aktivitas
mental untuk memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan.

9
7
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian membaca adalah
suatu proses pengolahan yang bermula dari kata untuk memperoleh pesan tertulis dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan dan merupakan
kegiatan komunikasi tidak langsung antara penulis dan pembaca.

1. Tujuan Membaca
Menurut Tarigan (2015, hlm. 9) tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta
memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Berikut ini, tujuan
membaca menurut Anderson (dalam Tarigan, 2015, hlm. 9-11):
a. Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang telah
dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang telah terjadi
pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh
tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh perincian-
perincian atau fakta-fakta

(reading for details or facts).


b. Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik dan
menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari atau yang
dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh tokoh untuk
mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh
ide-ide utama (reading for main ideas).

c. Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian
cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya – setiap
tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah, adegan-adegan dan kejadian,
kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca untuk mengetahui urutan atau
susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization).

d. Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh merasakan


seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh pengarang kepada
para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para
tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal. Ini disebut membaca untuk
menyimpulkan, membaca referensi (reading for inference).

9
8
e. Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak
wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita
itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk mengelompokkan,
membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify).

f. Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau hidup dengan ukuran-
ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh, atau
bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut membaca menilai,
membaca mengevaluasi (reading to evaluate).

g. Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana


hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita
mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini disebut
membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to
compare or contrast).

Untuk mencapai tujuan membaca, perlu digunakan beberapa cara dan penekanan yang tepat
agar citra rasa dalam membaca benar-benar dapat dirasakan dengan baik. Adapun
pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Yastuti, 2012, hlm. 4):
a. Membaca harus selektif, artinya kita tidak bisa melaksanakan segala sesuatu yang
kita sukai dipaksakan harus disukai oleh orang lain. Bahan bacaan yang kita
senangi belum tentu disenangi oleh orang lain (siswa).

b. Individual, artinya citra rasa juga bersifat selektif bagi setiap orang. Citra rasa
terbentuk oleh karena ada kesamaan jiwa pengarang dengan pembaca.

2. Jenis-jenis Membaca
Menurut Tarigan (Dalman, 2014, hlm. 63) mengemukakan bahwa secara garis besar
membaca dibagi menjadi dua yaitu: a. Membaca Nyaring
Membaca nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan alat bagi
guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar
untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran, dan perasaan seorang
pengarang.
b. Membaca dalam Hati
Secara umum membaca dalam hati dibagai menjadi dua, yaitu:

9
9
1) Membaca ekstensif
Membaca ekstensif berarti membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak
mungkin teks dalam waktu yang sesingkat mungkin, meliputi:
a) Membaca survey
Membaca survey merupakan membaca yang ditujukan untuk meneliti
terlebih dahulu apa yang akan ditelaah. Hal ini biasanya dilakukan sebelum
mulai membaca secara keseluruhan.
b) Membaca sekilas
Membaca sekilas atau skimming adalah sejenis membaca yang membuat
mata bergerak dengan cepat, melihat, memperhatikan bahan tertulis untuk
mencari dan mendapatkan informasi.
c) Membaca dangkal
Membaca dangkal ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang dangkal
yang bersifat luaran dan tidak mendalam dari suatu bacaan.
2) Membaca intensif
Membaca intensif dibagi menjadi dua, yaitu: a)
Membaca telaah isi
Membaca telaah isi ditujukan untuk mengetahui dan menelaah isi dari teks
secara mendalam.
b) Membaca telaah bahasa
Membaca telaah bahasa dibedakan menjadi dua, yaitu membaca bahasa dan
membaca sastra.
.

B. Komponen Kegiatan Membaca


Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa kegiatan membaca terdiri dari dua
komponen yaitu: a) proses membaca, dan b) produk membaca.
a. Proses Membaca
Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa proses membaca terdiri
dari 9 aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran,
pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Proses sensori visual menurut Farida
Rahim (2008: 12) diperoleh dengan pengungkapan simbol-simbol grafis melalui
indra penglihatan. Anakanak belajar membedakan secara visual simbol-simbol
grafis (huruf atau kata) yang digunakan untuk mempresentasikan bahan lisan.

1
0
Kegiatan perceptual dijelaskan Farida Rahim (2008: 12) sebagai aktivitas
mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan pengalaman yang
lalu. Aspek urutan merupakan kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang
tersusun secara linear, yang umumnya tampil dalam satu halaman dari kiri ke
kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman merupakan aspek penting dalam
proses membaca. Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa anak-anak
yang memiliki pengalaman banyak akan mempunyai kesempatan yang lebih luas
dalam mengembangkan pemahaman kosakata dan konsep yang mereka hadapi
dalam membaca dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pengalaman
terbatas. Untuk memahami makna bacaan, pembaca terlebih dahulu harus
memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya. Kemudian pembaca
membuat simpulan dengan menghubungkan isi preposisi yang terdapat dalam
materi bacaan. Agar proses ini dapat berlangsung pembaca harus berpikir
sistematis, logis, dan kreatif.
Guru dapat membimbing siswa meningkatkan kemampuan berpikir melalui
membaca dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Adapun pertanyaan pertanyaan yang
diberikan sehubungan dengan bacaan tidak hanya pertanyaan yang menghasilkan
jawaban yang berupa fakta. Proses membaca selanjutnya yaitu aspek asosiasi
meliputi mengenal hubungan antara simbol dengan bunyi bahsa dan makna
(Farida Rahim, 2008: 13). Selanjutnya, Farida Rahim (2008: 13) menerangkan
bahwa masih ada aspek proses membaca yang lain yaitu sikap atau afektif
berkenaan dengan kegiatan memusatkan perhatian, membangkitkan kegemaran
membaca, menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang membaca. Motivasi
dan kesenangan membaca sangat membantu siswa untuk memusatkan perhatian
pada membaca.
Aspek dari proses membaca yang terakhir menurut Farida Rahim (2008:
13) adalah pemberian gagasan dimulai dengan penggunaan sensori dan
perseptual dengan latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta
membangun makna teks yang dibacanya secara pribadi. Makna dibangun
berdasarkan pada teks yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya ditemui di dalam
teks. Pembaca akan menghasilkan makna yang berbeda dari teks yang sama jika
pengalaman dan reaksi afektif dari pembaca tersebut berbeda (Farida Rahim,
2008:14).
b. Produk Membaca
Komponen kegiatan membaca yang kedua yaitu produk membaca. Farida
Rahim (2008: 12) menjelaskan bahwa produk membaca merupakan komunikasi
dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca. Komunikasi juga bisa
terjadi dari konstruksi pembaca melalui integrasi pengetahuan yang telah dimiliki
pembaca dengan informasi yang disajikan dalam teks. Komunikasi dalam
membaca tergantung pada pemahaman yang dipengaruhi oleh seluruh aspek
proses membaca.

1
0
C. Aspek-aspek Membaca
Henry Guntur Tarigan (1985: 11) menjelaskan ada dua aspek penting dari membaca
yaitu keterampilan yang bersifat mekanis dan keterampilan yang bersifat pemahaman.
Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills) yaitu keterampilan yang berada
pada kedudukan yang lebih rendah. Aspek ini menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11)
mencakup pengenalan bentuk huruf, pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem, kata, frase,
pola klausa, kalimat, dan lain-lain), pengenalan hubungan/ korespondensi pola ejaan dan
bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis), dan kecepatan membaca bertaraf lambat.
Adapun keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) menurut Henry
Guntur Tarigan (1985: 11) yaitu keterampilan yang berada pada kedudukan yang lebih
tinggi. Aspek ini mencakup memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal,
retorikal), memahami signifikasi atau makna, evaluasi atau penilaian, kecepatan membaca
fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan.

D. Prinsip-prinsip Membaca
Burns (1982) mengemukakan 14 prinsip pengajaran membaca. Prinsip-prinsip yang
dikemukakan didasarkan pada generalisasi hasil penelitian tentang pengajaran membaca dan
pada hasil observasi praktik membaca. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mengarahkan
guru dalam merencanakan pengajaran membaca. Berikut dipaparkan keempat belas prinsip
tersebut.
1. Membaca adalah tindakan kompleks dengan banyak faktor yang harus
dipertimbangkan.

2. Membaca merupakan proses interpretasi terhadap makna dari simbolsimbol yang


tertulis

3. Membaca melibatkan kegiatan mengkonstruksi makna dari passage makna dari


bagian yang tertulis

4. Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk mengajarkan membaca
5. Belajar membaca merupakan proses yang berkelanjutan
6. Siswa harus diajari pengenalan kata yang memungkinkan mereka dapat mengenali
pelafalan dan makna kata-kata sulit secara independen

7. Guru harus mendiagnosis kemampuan membaca siswa dan menggunakan hasil


diagnosisi tersebut sebagai dasar untuk merencanakan pengajaran

1
0
8. Membaca dann keterampilan berbahasa lainnya sangat berkaitan
9. Membaca merupakan bagian integral dari semua area isi pengajaran dalam
program pendidikan.

10. Siswa perlu untuk mengetahui mengapa membaca itu penting


11. Kesenangan membaca harus dianggap sebagai hal yang penting
12. Kesiapan membaca harus dipertimbnagkan dalam semua level pembelajaran

13. Membaca harus diajarkan melalui cara yang menngarahkan siswa untuk
mengalami kesuksesan
14. Pentingnya dorongan untuk mengarahkan dan memantau diri dalam proses
Membaca

E. Indikator Membaca di Kelas Rendah


1. Pengertian membaca di kelas rendah
Pembelajaran membaca pada kelas rendah (kelas 1,2,3) merupakan pembelajaran
membaca tahap awal. Kemampuan membaca pada kelas rendah tersebut akan menjadi dasar
pembeljaran membaca di kelas-kelas berikutnya.
Membaca permulaan menekankan pada proses penyandian membaca secara
mekanikal. Membaca permulaan mengacu pada proses recoding dan decoding . Membaca
merupakan suatu proses yang bersifat fisik dan psikologis. Proses yang bersifat fisik berupa
kegiatan mengamati tulisan secara visual. Dengan indera visual, pembaca mengenali dan
membedakan gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Melalui proses recoding, pembaca
mengasosiasikan gambar-gambar bunyi beserta kombinasinya itu dengan bunyi-bunyinya.
Dengan proses tersebut, rangkaian tulisan yang dibacanya menjelma menjadi rangkaian
bunyi bahasa dalam kombinasi kata, kelompok kata, dan kalimat yang bermakna.
Disamping itu, pembaca mengamati tanda-tanda baca untuk membantu memahami
maksud baris-baris tulisan. Proses psikologis berupa kegiatan berpikir dalam mengolah
informasi. Melalui proses decoding, gambar-gambar bunyi dan kombinasinya diidentifikasi,
diuraikan kemudian diberi makna. Proses ini melibatkan knowledge of the world dalam
skemata yang berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan
dalam gudang ingatan. Menurut La Barge dan Samuels proses membaca permulaan
melibatkan tiga komponen, yaitu (a) visual memory (vm), (b) phonological memory (pm),
dan (c) semantic memory (sm). Lambang lambang fonem tersebut adalah kata, dan kata
dibentuk menjadi kalimat. Proses pembentukan tersebut terjadi pada ketiganya. Pada tingkat
visual memory (VM), huruf, kata dan kalimat terlihat sebagai lambang grafis, sedangkan
pada tingkat phonological memory

1
0
(PM) terjadi proses pembunyian lambang. Lambang tersebut juga dalam bentuk kata, dan
kalimat. Proses pada tingkat ini bersumber dari visual memory (VM) dan phonological
memory (PM). Akhirnya pada tingkat semantic memory (SM) terjadi proses pemahaman
terhadap kata dan kalimat.

Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memperoleh kemampuan membaca


diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b)
penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam kemahiran
bahasa. Pada tingkatan membaca permulaan, pembaca belum memiliki ketrampilan
kemampuan membaca yang sesungguhnya, tetapi masih dalam tahap belajar untuk
memperoleh ketrampilan atau kemampuan membaca.
Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar mengenal bahasa tulis.
Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan lambang-lambang bunyi bahasa
tersebut,untuk memperoleh kemampuan membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan
membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan
(c) memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Membaca permulaan merupakan suatu
proses ketrampilan dan kognitif. Proses ketrampilan menunjuk pada pengenalan dan
penguasaan lambang-lambang fonem, sedangkan proses kognitif menunjuk pada
penggunaan lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu
kata atau kalimat.

2. Tujuan Membaca Permulaan


Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I, II, dan III. Tujuannya adalah
agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang
wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Tujuan membaca permulaan juga
dijelaskan dalam
(Depdikbud, 1994:4) yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana
dengan lancar dan tepat“.
Pelaksanaan membaca permulaan di kelas I Sekolah Dasar dilakukan dalam dua
tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan menggunakan buku.
Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan
media atau alat peraga selain buku misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu
kalimat. Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan
menggunakan buku sebagai bahan pelajaran.

3. Pentingnya membaca permulaan


Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari

1
0
kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan
perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut siswa akan
mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai. Padahal
kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang ingin memperluas
pengetahuan dan pengalaman, mempertinggi daya pikir, mempertajam penalaran, dan
memperluas wawasan, untuk mencapai kemajuan dan peningkatan diri. Oleh sebab itu,
bagaimana pun guru kelas rendah (kelas 1,2,3) harusah berusaha sungguh-sungguh agar ia
dapat memberikan dasar kemampuan membaca yang memadai kepada anak didik. Hal itu
akan dapat tewujud melalui pelaksanaan pembelajaran yang baik. Untuk dapat
melaksanakan pembelajaran yang baik, perlu ada perencanaan baik materi, metode, maupun
pengembangannya.

4. Perkembangan Membaca Permulaan


Kemampuan awal membaca mungkin diperoleh melalui interaksi sosial bukan melalui
pembelajaran formal. Dalam kegiatan membaca cerita yang dilakukan oleh orang tua,
tampak baik orang tua maupun anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Orang tua
menggunakan berbagai teknik agar anak memusatkan perhatian, mengajukan pertanyaan,
dan mendorong agar anak mencoba membaca.
Orang tua juga berperan sebagai guru sebaiknya memperkenalkan buku-buku cerita
kepada anak sedini mungkin. Tentu saja buku yang digunakan adalah yang banyak
gambarnya dan berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada awalnya memang
anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku tersebut. Namun, apabila
orang tua kadang-kadang membacakan cerita yang ada di samping gambar-gambar tersebut,
hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan ceritanya.
Di samping kegiatan membaca yang dilakukan orang tua, acara acara televisi ada
yang bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan membaca. Sebagai contoh dora dan
A Ba Ta Tsa (Neno Warisman). Melalui kegiatan-kegiatan tersebut anak-anak secara tidak
langsun mempelajari tulisan-tulisan yang mengandung informasi yang mereka peroleh.
Ada beberapa fase perkembangan membaca, yaitu:
a. Fase pramembaca (3-6 tahun) anak-anak mengenal huruf dan mempelajari
perbedaan huruf dan angka. Kebanyakan anak akan mengenal nama jika ditulis.

b. Fase ke-1 (7-8 tahun) kira-kira anak kelas dua, anak-anak memperoleh
pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata sederhana melalui cerita.

c. Fase ke-2 kira-kira kelas tiga dan empat anak-anak dapat menganalisis kata-kata
yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan.

1
0
d. Fase ke-3 dari kelas empat sampai kelas dua SMP, anak dapat memahami
bacaan.

e. Fase ke-4 pada akhir SMP sampai SMA anak mampu mneyimpulkan dan
mengenal maksud penulisan dalam bacaan.

f. Fase ke-5 pada tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, orang dewasa dapat
mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dan menanggapi materi bacaan secara
kritis.

5. Persiapan membaca permulaan Langkah-langkahnya yaitu :

a. Penguatan prosedur kelas (siswa focus dan tenang) dan etika membaca (menjaga
kebersihan buku, berbagi bila buku digunakan bersama).
b. Cara duduk siswa (posisi duduk tegak)
c. Cara membuka buku (dari halaman depan ke belakang)
d. Mengatur jarak mata ke buku (jarak pandang antara mata dan buku ±
40 cm)
e. Melatih cara membaca dari kiri ke kanan.

6. Faktor yang menyebabkan anak kesulitan membaca permulaan


Membaca merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak (Spodek dan
Sacacho, 1994 dalam http://digilib.unnes.ac.id). Dalam praktek lapangan, banyak kita
jumpai pada anak usia SD, terutama di kelas rendah masih terhitung banyak siswa yang
mengalami kesulitan belajar dalam hal membaca bacaan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik faktor internal (yang berasal dari diri pembaca) maupun faktor eksternal (yang
berasal dari luar diri pembaca). Faktor internal antara lain meliputi : minat baca, kepemilikan
kompetensi pembaca, motivasi dan kemampuan pembacanya. Sedangkan faktor eksternal
antara lain meliputi unsur-unsur yang berasal dari lingkungan baca.

a. Faktor Internal
1) Minat baca
Minat merupakan kegiatan siswa dengan penuh kesadaran terhadap
suatu objek, oleh karena itu minat perlu dikembangkan dan dilatih

1
0
dengan pembiasaan- pembiasaan terus menerus. Jika minat baca
anak rendah maka tingkat keberhasilan anak dalam membaca akan
sulit tercapai. Minat baca anak harus ditumbuhkembangkan sejak
dini. Dan untuk membangkitkan minat baca siswa, guru harus
memberikan motivasi dan bimbingan pada diri siswa.

2) Motivasi
Kegiatan pembelajaran akan berhasil dan tercapai tujuannya jika
dalam diri siswa tertanam motivasi. Motivasi dalam proses
pembelajaran berfungsi untuk: fungsi membangkitkan (arousal
function) yaitu mengajak siswa belajar, fungsi harapan (expectasi
function) yaitu apa yang harus bisa dilakukan setelah berakhirnya
pengajaran, fungsi intensif (incentive function) yaitu memberikan
hadiah pada prestasi yang akan datang, (4) fungsi disiplin (disciplinary
function) yaitu menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengontrol
tingkah laku yang menyimpang (Abd. Rachman, 1993 : 115 dalam
http://digilib.unnes.ac.id)

3) Kepemilikan Kompetensi Membaca


Keterampilan berbahasa ada empat, yaitu : keterampilan
membaca, berbicara, menyimak dan menulis. Keterampilan dalam
membaca diperlukan latihan- latihan tahap demi tahap. Kegiatan
membaca terkait dengan pengenalan huruf, bunyi dan huruf atau
rangkaian kata, makna atau maksud dan pemahaman terhadap
makna atau maksud. Jika kegiatan membaca tidak dilakukan secara
teratur maka keterampilan membaca yang dimiliki anak akan
berkurang dengan sendirinya.

b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini meliputi unsur-unsur yang berasal dari
lingkungan baca. Dalam hal ini sekolah sebagai pusat kebudayaan harus
menciptakan siswa yang gemar membaca melalui perpustakaan sekolah.
Sekolah harus dapat menciptakan suasana perpustakaan yang
menyenangkan dan memberi kenyamanan siswa dalam belajar.
Lingkungan baca sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan membaca
anak. Lingkungan baca anak yang menyenangkan akan memberi
kenyamanan bagi si pembaca dan mempermudah anak dalam membaca.

7. Kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca permulaan

1
0
Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi
pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas
rendah. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain : a. Kurang mengenali huruf
b. Ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf-huruf alfabetis seringkali
dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar / kapital dan huruf
kecil.
1) Membaca kata demi kata
Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca setelah membaca
sebuah kata, tidak segera diikuti dengan kata berikutnya. Hal ini
disebabkan oleh :
a) Gagal menguasai keterampilan pemecahan kode
(decoding).
b) Gagal memahami makna kata.
c) Kurang lancar membaca.

2) Pemparafase yang salah


Dalam membaca anak seringkali melakukan pemenggalan (berhenti
membaca) pada tempat yang tidak tepat atau tidak memperhatikan
tanda baca, khususnya tanda koma.

3) Miskin pelafalan
Ketidaktepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak menguasai bunyi-
bunyi bahasa (fonem).

4) Penghilangan
Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak dibaca)
kata atau frasa dari teks yang dibacanya. Biasanya disebabkan
ketidakmampuan anak mengucapkan hurufhuruf yang membentuk
kata.

5) Pengulangan
Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam membaca
disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang menguasai
huruf, bunyi, atau rendah keterampilannya.

1
0
6) Pembalikan
Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan menggunakan
orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu,
pembalikan juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf,
misal huruf b dibaca d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya
dialami oleh anak-anak kidal yang memiliki kecenderungan
menggunakan orientasi dari kanan ke kiri dalam membaca dan
menulis.

7) Penyisipan
Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam kalimat
yang dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca,
misalnya, anak menambah kata seorang dalam kalimat “anak sedang
bermain”.
8) Penggantian
Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan
ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari
makna kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata
mengunyah maka dia menggantinya dengan kata makan.

9) Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerakkan kepala

Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggunakan telunjuk dan


menggerakan kepala sewaktu membaca dapat menghambat
perkembangan anak dalam membaca.

10) Kesulitan konsonan


Kesulitan dalam mengucapkan bunyi konsonan tertentu dan huruf yang
melambangkan konsonan tersebut.

11) Kesulitan vokal


Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan dalam satu
huruf, misalnya e selain melambangkan bunyi e juga melambangkan
bunyi é (dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan sebagainya)
huruf-huruf yang melambangkan beberapa bunyi seringkali menjadi
sumber kesulitan anak dalam membaca.

1
0
12) Kesulitan kluster, diftong dan digraf
Dalam bahasa Indonesia dapat dijumpai adanya kluster (gabungan
dua konsonan atau lebih), diftong (gabungan dua vokal), dan digraf
(dua huruf yang melambangkan satu bunyi). Ketiga hal tersebut
merupakan sumber kesulitan anak yang sedang belajar membaca.
13) Kesulitan menganalisis struktur kata
Anak seringkali mengalami kesulitan dalam mengenali suku kata
yang membangun suatu kata. Akibatnya anak tidak dapat
mengucapkan kata yang dibacanya.

14) Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara


mengucapkannya

Hal ini disebabkan kurangnya penguasaan kosakata, kurangnya


penguasaan struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat
dan hubungan antar kalimat).

8. Bimbingan untuk Mengatasi Kesulitan Anak dalam Membaca Permulaan

Peran guru sebagai fasilitator sangat berpengaruh besar terhadap


perkembangan peningkatan belajar anak. Keberhasilan belajar anak tidak
lepas dari cara guru membimbing dan mendidik siswanya. Bimbingan yang
harus dilakukan guru dalam menghadapi anak yang mengalami kesulitan
membaca antara lain :
a. Bimbingan terhadap anak yang kurang mengenali huruf Langkah yang harus
ditempuh guru dalam membantu anak yang mengalami kesulitan kurang mengenali
huruf ini dapat berupa:

1) Huruf dijadikan bahan nyanyian.


2) Menampilkan huruf dan mendiskusikan bentuk
(karakteristiknya) khususnya huruf-huruf yang memiliki kemiripan
bentuk (misalnya p, b, dan d).

b. Bimbingan terhadap anak yang membaca kata demi kata Langkah yang dilakuan
guru untuk mengatsi anak yang mengalami kesulitan jenis ini adalah :

1) Gunakanlah bacaan yang tingkat kesulitannya rendah.

1
1
2) Anak disuruh menulis kalimat dan membacanya dengan keras.

3) Jika kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya penguasaan kosakata,


maka perlu pengayaan kosakata.

4) Jika anak tidak menyadari bahwa dia membaca kata demi kata,
rekamlah kegiatan anak membaca dan putarlah hasil rekaman tersebut.

c. Bimbingan terhadap anak yang salah memparafrase. Langkah yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan ini yaitu dengan cara:

1) Jika kesalahan disebabkan ketidaktahuan anak terhadap makna


kelompok kata (frasa), sajikan sejumlah kelompok kata dan latihkan
cara membacanya.

2) Jika kesalahan disebabkan oleh ketidaktahuan anak tentang tanda baca,


perkenalkan fungsi tanda baca dan cara membacanya.
3) Berikan paragraf tanpa tanda baca, suruhlah anak untuk membacanya.

4) Selanjutnya ajaklah anak untuk menuliskan tanda baca pada paragraf


tersebut.

d. Bimbingan terhadap anak yang miskin pelafalan


Untuk mengatasi kesulitan pelafalan, guru dapat menggunakan cara berikut
:
1) Bunyi-bunyi yang sulit diucapkan perlu diajarkan secara tersendiri.

2) Bagi anak yang tidak dapat mengucapkan kata secara tepat berikan
latihan khusus pengucapan kata-kata tertentu yang dipandang sulit.

e. Bimbingan terhadap anak yang mengalami penghilangan kata Untuk mengatasi hal
ini ditempuh cara :

1) Anak disuruh membaca ulang.


2) Kenali jenis kata atau frasa yang dihilangkan.

1
1
3) Berikan latihan membaca kata atau frasa.

f. Bimbingan terhadap anak yang sering mengulangi kata Upaya yang dilakukan guru
dalam hal ini antara lain :

1) Anak perlu disadarkan bahwa mengulang kata dalam membaca


merupakan kebiasaan buruk.

2) Kenali jenis kata yang sering diulang.


3) Siapkan kata atau frasa jenis untuk dialatihkan.

g. Bimbingan terhadap anak yang sering melakukan pembalikan kata

Upaya mengatasi kesulitan ini dapat dikukuhkan dengan cara sebagai


berikut :
1) Anak perlu disadarkan bahwa membaca (dalam bahan yang
menggunakan sistem alfabetis) menggunakan orientasi dari kiri ke
kanan.

1
1
2)

Bagi anak yang kurang menguasai hubungan huruf-bunyi, siapkan


kata-kata yang memiliki bentuk serupa untuk dilatihkan.
3) Latihan hendaknya dilakukan dalam bentuk kata yang bermakna,
misalnya : huruf p dan b dilatihkan dengan menggunakan kata pagi
dan bagi
h. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menyisipkan kata

Untuk mengatasi hal ini, bimbinglah anak dengan menyuruh anak


membaca dengan pelan-pelan dan mengingatkan bahwa dia telah
menambahkan kata dalam membaca.

i. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan mengganti suku kata

Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara:


1) Gunakan bahan bacaan yang teramsuk kategori mudah.
2) Identifikasi kata-kata yang sulit diucapkan oleh anak.
3) Latihkan cara mengucapkan kata-kata tersebut.

j. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menggunakan gerak


bibir, jari telunjuk dan menggerakan kepala.

Untuk mengubah kebiasaan anak yang selalu menggerakkan bibir


sewaktu membaca dalam hati, dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1) Anak disuruh mengumumkan suatu kalimat, selanjutnya
suruh anak untuk mengulangi membaca kalimat tersebut
tanpa mengunyam.

2) Jelaskan pada anak bahwa membaca mengunyam dapat


menghambat keefektifan membaca.

k. Sedangkan untuk menghadapi anak yang menggunakan jari telunjuk


dalam membaca, dapat dilakukan kegiatan berikut.

113
2)

1) Perhatikan apakah anak mengalami gangguan mata.


Gunakan bacaan yang cetakannya besar dan jelas.
3) Latihkan teknik membaca prosa.
4) Peringkatkan anak untuk tidak menggunakan jari telunjuk dalam
membaca.

l. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan


dapat dilakukan bimbingan antara lain :

1) Kembangkan anak dalam mendengarkan konsonan yang


sulit misalnya tuliskan kata-kata yang dimulai dengan
konsonan (depan, adat, dapat, diri dan sebagainya).

2) Suruh anak mencari dan mengumpulkan kata yang


didalamnya terkandung konsonan tersebut.

3) Latihkan anak mengucapkan kata-kata yang didalamnya


terkandung 4) Konsonan.

m. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vokal, untuk


mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini dapat dilakukan :

1) Tanamkan pengertian pada diri anak bahwa huruf-huruf


tertentu dalam

2) melambangkan lebih dari satu bunyi misalnya : huruf e


dapat melambangkan bunyi e dan é.

3) Berikan contoh huruf e yang melambangkan bunyi e dan é


dalam kata-kata

4) Ajaklah anak mengumpulkan kata yang didalamnya


terkandung huruf tersebut.

114
2)

n. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan kluster, diftong dan


digraf

Untuk mengatasi kesulitan ini lakuka :


1) Kenalkan kluster (misalnya st, kl, gr, pr, sw), diftong
(misalnya ai, oi, ui) dan digraf (misalnya sy, ng, kh, dan ny)
dalam kata atau kalimat.
Tuliskan kata atau kalimat yang mengandung kluster, diftong, dan
digraf.
3) Mintalah anak untuk mengumpulkan kata-kata yang
di dalamnya terkandung kluster, diftong, dan digraf.

4) Perintahkan anak membacakan kata-kata yang telah


dikumpulkan.

o. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan menganalisis struktur kata

Untuk mengatasi kesulitan ini lakukanlah :


1) Catatlah kata-kata yang seringkali dipandang sulit untuk diucapkan
oleh anak.

2) Perkenalkan kata-kata yang seringkali dipandang sulit untuk


diucapkan oleh anak.

3) Perkenalkan kata-kata tersebut kepada anak dengan memanfaatkan


metode yang ada.

4) Suruhlah anak mencari kata-kata lain yang sejenis dan membacanya.

p. Bimbingan terhadap anak yang sulit mengenali makna kata dalam


kalimat dan cara mengucapkannya.

Untuk mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini lakukan:

115
2)

1) Ambil satu kata dan daftarkan kata turunannya (misalnya kata :


membaca, membacakan, dibaca, dibacakan, bacaan, dan terbaca).

2) Bimbinglah anak untuk mengenali kata baca dan turunannya yang


terdapat dalam bacaan tersebut.

3) Alihkan pada kata lain (misalnya kata tulis, gambar, makan, lari dan
sebagainya).

116
F. Indikator Membaca di Kelas Tinggi
1. Pengertian Membaca di Kelas Tinggi
Pembelajaran membaca pada kelas tinggi (kelas 4,5,6) merupakan
pembelajaran membaca lanjutan. Pembelajaran membaca lanjutan diberikan
di kelas IV, V, VI yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan
menyimak, menginterpretasi, mengevaluasi, memahami ide pokok dari
suatu bacaan.
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis
membaca yang bertujuan untuk memahami:
1. Standar atau norma-norma sesastraahn (letery standards)
2. Resensi kritis (critical review)
3. Drama tulis (printed drama)
4. Pola-pola fiksi (patterns of fiction)
Membaca pemahaman adalah suatu proses untuk mengenali atau
mengidentifikasi teks, kemudian mengingat kembali isi teks. Membaca
pemahaman juga dapat berarti sebagai suatu kegiatan membuat urutan
tentang uraian/menggorganisasi isi teks, bisa mengevaluasi sekaligus dapat
merespon apa yang tersurat atau tersirat dalam teks. Pemahaman
berhubungan laras dengan kecepatan. Pemahaman atau comprehension,
adalah kemampuan membaca untuk mengerti: ide pokok, detail penting, dan
seluruh pengertian.

2. Tujuan Membaca di Kelas Tinggi


Tujuan utama dalam membaca adalah mendapatkan informasi yang
tepat dan benar. Hal ini ditegaskan oleh Rahim (2007: 11) membaca
bertujuan untuk mendapatkan informasi atau pesan dari teks. Membaca
dengan tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan yang tidak
mempunyai tujuan. Menurut Tarigan (2008: 9) tujuan utama dalam
membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi,
memahami makna, arti (meaning) erat sekali hubungannya dengan maksud
tujuan atau intensif kita dalam membaca.
Hal ini sesuai pendapat Nurhayati (2009: 4) bahwa tujuan membaca
mempunyai kedudukan yang sangat penting karena akan berpengaruh pada
proses membaca dan pemahaman membaca. Resmini (2006: 94)
menjelaskan bahwa pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang
jelas. Tujuan tersebut yaitu:
a. menikmati keindahan yang terkandung dalam bacaan.

117
b. membaca bersuara memberikan kesempatan kepada siswa menikmati
bacaan.

c. menggunakan strategi tertentu untuk memahami bacaan.


d. menggali simpanan pengetahuan atau schemata siswa tentang suatu
topik.

e. menghubungkan pengetahuan baru dengan schemata siswa.


f. mencari informasi untuk pembuatan laporan yang akan disampaikan
dengan lisan dan tertulis.

g. melakukan penguatan dan penolakan terhadap ramalanramalan yang


dibuat oleh siswa sebelum melakukan perbuatan membaca.

h. memberikan kesempatan kepada siswa melakukan eksperimentasi


untuk meneliti sesuatu yang dipaparkan dalam sebuah bacaan.

i. mempelajari struktur bacaan.


j. menjawab pertanyaan khususnya yang dikembangkan oleh guru atau
sengaja diberikan oleh penulis bacaan.

Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa tujuan


membaca adalah mendapatkan informasi dari bacaan sesuai dengan tujuan
masing-masing pembaca. Membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih
memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan
dalam membaca, dan akan dengan mudah memperoleh banyak
pengetahuan tentang isi, makna, arti dari suatu bahan bacaan.

3. Tahap Pembelajaran Membaca di Kelas Tinggi


Dalam proses pembelajaran khususnya di kelas tinggi ada beberapa
hal yang mendasari system pengajaran tersebut yaitu : a. Tahap Menyimak
Dalam kegiatan menyimak ada tahapan yang harus dilakukan oleh
penyimak agar penyimak benar-benar memahami informasi yang
disimaknya. Tahapan itu adalah:
(a) Tahap mendengar
Dalam tahap ini, kita baru mendengar segala sesuatu yang
dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya.
Jadi kita masih berada dalam tahap hearing. (b) Tahap memahami

118
Setelah kita mendengar, akan ada keinginan bagi kita untuk
mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang
disampaikan oleh sang pembicara. Maka sampailah, kita dalam
tahap pemahaman.
(c) Tahap menginterpretasi
Dalam tahap ini, penyimak yang baik, yang cermat dan teliti,
belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang
pembicara; dia ingin menafsirkan atau rnenginterpretasikan isi,
butirbutir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu.
Dengan demikian, sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting.
(d) Tahap mengevaluasi
Setelah memahami serta dapat menafsir atau
menginterpretasikan isi pembicaraan, sang penyimak pun mulailah
menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara,
di mana keunggulan dan kelemahan, di mana kebaikan dan
kekurangan sang pembicara; maka dengan demikian sudah sampai
pada tahap evaluating.

b. Tahap Menanggapi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak;
sang penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima
gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran
atau pembicaraannya; sang penyimak pun sampailah pada tahap
menanggapi (responding).
Tanggapan dapat berupa penolakan atau pendapat.

119
KETERAMPILAN MENULIS

A. Pengertian Menulis
Menulis merupakan salahsatu keterampilan berbahasa, menulis merupakan
sebuah kegiatan untuk menuangkan ide atau gagasan ke dalam sebuah tulisan.
Menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan gagasan atau ide ke dalam
bahasa tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa
tahapan yang merupakan sistem yang utuh.
Menulis, seperti juga halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya,
merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman, waktu,
kesempatan, pelatihan keterampilan-keterampilan khusus, dan pengajaran langsung
menjadi penulis.

B. Prinsip Keterampilan Menulis


Dalam rangka mewujudkan pembelajaran menulis yang harmonis, bermutu,
dan bermartabat, harus diketahui terlebih dahulu prinsip-prinsip pembelajaran
menulis. Diharapkan prinsip-prinsip ini akan menjadi pedoman bagi guru dalam
melaksanakan pembelajaran menulis sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Prinsip-prinsip pembelajaran menulis tersebut dikemukakan Brown (2001) sebagai
berikut:
1. Pembelajaran menulis harus merupakan pelaksanaan praktik menulis yang baik.
Dalam hal ini guru harus membiasakan siswa menulis dengan
mempertimbangkan tujuan, memerhatikan pembaca, menyediakan waktu yang
cukup untuk menulis, menerapkan teknik dan strategi menulis yang tepat, dan
melaksanakan menulis sesuai dengan tahapan penulisan.

2. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menyeimbangkan antara


proses dan produk.

3. Pembelajaran menulis harus memperhitungkan latar belakang budaya literasi


siswa.
4. Pembelajaran menulis harus senantiasa dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan whole language khususnya menggabungkan antara membaca dan
menulis.

120
5. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menerapkan kegiatan
menulis otentik seoptimal mungkin, menulis otentik adalah menulis yang
bermakna bagi siswa sekaligus dibutuhkan siswa dalam kehidupannya sehari-
hari.

6. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dalam tiga tahapan yakni tahap


pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis.

7. Gunakan strategi pembelajaran menulis interaktif, kooperatif, dan kolaboratif.

8. Gunakan strategi yang tepat untuk mengkoreksi kesalahan siswa dalam


menulis.

9. Pembelajaran menulis harus dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan


aturan penulisan misalnya jenis tulisan, konvensi tulisan, dan retorika menulis
yang bagaimana yang harus digunakan siswa selama tugas menulis.

Tulisan yang dibuat siswa haruslah tulisan otentik yang bermakna dan
bermanfaat bagi siswa. strategi pembelajaran interaktif, kolaboratif, dan kooperatif
merupakan strategi yang memungkinkan siswa menulis secara tepat. Selanjutnya
guru harus pula memberikan pengetahuan yang memadai tentang jenis tulisan,
konvensi penulisan, retorika dalam menulis sehingga siswa mampu menulis sesuai
dengan tujuan. Terakhir peran guru dalam memberikan umpan balik pada siswa
sangat diperlukan. Guna melaksanakan peran ini guru harus memanfaatkan
penilaian otentik atau penilaian formatif dalam pembelajaran menulis.
Selain beberapa prinsip di atas, masih terdapat beberapa prinsip lain
pembelajaran menulis. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran menulis hendaknya meneraokan pola tulis, pikir, kontrol,
agar siswa terbiasa menulis dan mau menulis.
2. Pembelajaran menulis hendaknya memiliki tujuan jangka panjang agar
siswa kreatif menulis.

3. Pembelajaran menulis hendaknya diikuti dengan penyediaan sarana


publikasi tulisan sehingga siswa lebih termotivasi menulis.

121
4. Pembelajaran menulis hendaknya disertai bentuk penilaian formatif yang
tepat sehingga guru dapat secara tepat sasaran memperbaiki kelemahan
siswa dalam menulis.

5. Pembelajaran menulis hendaknya menekankan kreativitas siswa dalam


menulis meliputi kemampuannya menulis secara orisinal, lancar, luwes, dan
bermanfaat.

6. Pembelajaran menulis hendaknya dilengkapi dengan pemanfaatan teknologi


dalam menulis.

Bertemali dengan prinsip-prinsip pembelajaran menulis diatas, guru harus


benar-benar meningkatkan kompetensinya dalam hal menulis. Kompetensi yang
dimaksud adalah kemampuannya menulis secara langsung dan pengetahuannya
tentang teori menulis. Selain itu, guru harus secara kreatif menciptakan proses
pembelajaran menulis yang mendorong motivasi intrinsik siswa berkembang
sehingga siswa terpacu untuk mau dan bisa menulis. Yang tak kalah penting adalah
guru harus menerapkan proses pembelajaran menulis secara tepat berbasis proses
menulis yang sesungguhnya.

• fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyibunyi


bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi
bahasa secara umum dan fungsional.

• morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem


yang satu dengan morfem yang lain untuk membentuk sebuah kata.

122
• Afiksasi adalah penggabungan akar kata atau pokok dengan afiks. Afiks ada
tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran.

• Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan
kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi secara etimologis sintaksis
berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat.

• Dalam tataran gramatikal, kata adalah satuan terkecil daalm kalimat. Kata
memiliki potensi untuk berdiri sendiri, dan dapat berubah/berpindah dalam
kalimat.

• Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
berciri klausa, atau tidak memiliki ciri predikat, dan pada umumnya menjadi
pembentuk klausa. Seperti halnya dengan kata frase memiliki potensi untuk
berdiri sendiri menjadi kalimat.

• Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase, dan
yang memiliki satu predikat. Pada umumnya klausa merupakan unsur
pembentuk (konstituan) kalimat.

• Jenis wacana dapat dibedakan: Deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi,


persuasi.

• Kata semantik kemudian disepakatai sebagai istilah yang digunakan dalam


bidang lnguistik yang mempelajari makna atau arti dalam

123
• bahasa. Kata semantik juga diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang
arti, yaitu salah satu dari tiga analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan
semantik.

• Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang
tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Beberapa peribahasa
merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena
ia didahului oleh perkataan seolaholah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam,
bagai dan umpama.

• Hakikatnya keterampilan menyimak adalah melatih pendengaran dan daya


ingat. Aspek keterampilan menyimak bertujuan agar siswa mampu
menangkap, memilih, memahami, mengingat dan mengumpulkan informasi
dari apa yang disimak atau didengar.

• Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dalam menggunakan bahasa


lisan. Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik diperlukan
suatu proses.

• Membaca merupakan suatu proses pengolahan simbol-simbol tertulis dengan


tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan
dan merupakan kegiatan komunikasi tidak langsung antara penulis dan
pembaca yang melibatkan berbagai faktor.

• Menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan gagasan atau ide ke
dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam
beberapa tahapan yang merupakan sistem yang utuh

124
Arifindan Junaiyah. (2007). Morfologi . Jakarta: Grasindo.
Arifindan Junaiyah. (2008). Sintaksis. Jakarta: Grasindo.
Badudu, J.S. (1990). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. (1993). Membina Bahasa Indonesia Baku Jilid I dan II.
Bandung: Pustaka Prima.
Badudu, J.S. (1994). Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. (1995). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.

Chaer.(2006). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta


Chaer. (2007). Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer. (2007). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.


Chaer. (2008). Morfologi. Jakarta: RinekaCipta.
Chaer. (2009). Sintaksis. Jakarta: RinekaCipta.
Cummings, L. (2007). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keraf, G. (2004). Komposisi. Flores: Nusa Indah
Keraf, G. (2004). Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah Marsono. (2006). Fonetik.
Yogyakarta: GMU Press.
Muslich. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich. (2008). Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Parera. (2005). Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Parera. (2007). Morfologi Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Putrayasa. (2008). Analisis Kalimat. Bandung: Refika Aditama.
Putrayasa. (2008). Kajian Morfologi. Bandung: Refika Aditama.
Putrayasa. (2009). Kalimat Efektif. Bandung: Refika Aditama.
Rahardi. (2005). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Ramlan. (1995). Sintaksis: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.


Ramlan. (2001). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Resmini, et.al. (2006). Kebahasaan: Fonologi, Morfologi, dan Semantik Bandung: UPI Press.

Sabariyanto, D. (1999). Kebakuan dan Ketidakbakuan Kalimat dalam bahasa Indonesia.


Yogyakarta: MGW.

Sabariyanto, D. (2001_. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku?


Jilid 1 dan 2. Yogyakarta: MGW.
Santosa, et.al. (2008). Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD.
Jakarta: UT.
Soedjito (1995). Kalimat Efektif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sugono, D. (2004). Membina Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Puspa Swara.
Tarigan. (2003). Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.
Tarigan. (2003). Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Tarigan. (2003. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
________ (2008). Menyimak sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
__________ (2008_. Berbicara sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
__________ (2008). Menulis sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.

1
__________ (2008). Membaca sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
__________. (1995). Pengantar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Tompkins, G.E. (1990). Teaching Writing: Balancing Process and Product.
New York: Macmillan Publishing.
Wiseman, D.L. (1992). Learning to Read with Literature. United States:
Allyn and Bacon.
Zuhdi, Darmiyati. (1997_. Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di Kelas Rendah.
Jakarta: Dikti.

2
Modul 5

Apresiasi
SASTRA ANAK

PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)


3
DIREKTORAT JENDERAL PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
2018
A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

Capaian Pembelajaran
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

4
Menguasai hakikat sastra anak secara reseptif
fan produktif.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata


Kegiatan
Setelah mempelajari kegiatan belajar ini, Anda
diharapkan dapat:
1. Mengapresiasi genre sastra anak: puisi,
prosa, dan drama
2. Menjelaskan jenis/ genre sastra anak di
SD
3. Menyusun contoh jenis sastra anak:
puisi, prosa, dan drama.

A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

Pokok

5
Materi
C. Pokok-pokok Materi
1 . Pengertian sastra anak
2 . Perkembangan sastra anak
3 . Jenis-jenis sastra anak
4 . Apresiasi reseptif
5 . Apresiasi produktif

A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

6
Kegiatan Belajar 3

1. Pengertian Sastra Anak

S
astra anak meliputi semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif yang khusus untuk
dibaca dan menghibur anak-anak. Dengan demikian sastra anak menawarkan
kesenangan dan pemahaman bagi anak-anak. Sastra anak erat kaitannya dengan
dunia anak-anak dan bahasa yang digunakannya pun sesuai dengan perkembangan
intelektual dan emosional anak.
Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa
(adult literacy). Keduanya sama pada wilayah sastra yang meliputi segala kehidupan
dengan perasaan, pikiran, dan wawasan kehidupan. Perbedaannya terletak dalam fokus
pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak dalam suatu karya.

7
Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk Huck (1987) mengemukakan
kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang bahwa siapapun yang menulis
menggambarakan dunia rekaan, menghadirkan sastra anak-anak tidak
pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung perlu dipermasalahkan asalkan
nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dalam
dewasa ataupun anakanak. Sastra anak-anak bukan
penggambarannya
dibatasi oleh siapa pengarangnya, melainkan untuk
siapa karya itu diciptakan. Dengan demikian sastra ditekankan pada kehidupan
anak-anak boleh saja hasil karya orang dewasa, tetapi anak yang memiliki nilai
berisikan cerita yang mencerminkan kebermaknaan bagi
mereka. Norton (Hartati,
2017) menjelaskan bahwa
sastra anak-anak adalah
sastra yang mencerminkan
perasaan dan pengalaman
anak-anak melalui
pandangan anak-anak.
Namun demikian, dalam
kenyataannya, nilai
kebermaknaan bagi anakanak
itu terkadang dilihat
dan diukur dari perspektif
orang dewasa.

perasaan anak-anak, pengalaman anak-anak serta dapat


dipahami dan dinikmati oleh anak-anak sesuai dengan
pengetahuan anak-anak. Bacaan seperti itulah yang harus
disediakan sebagai bahan pembelajaran bahasa di Sekolah
Dasar .

8
Kegiatan Belajar 3
Sastra anak-anak menempatkan anak-anak sebagai fokusnya. Ada yang mengartikan
bahwa, sastra anak-anak itu adalah semua buku yang dibaca dan dinikmati oleh anak-anak.
Pernyataan ini kurang disepakati oleh Sutherland dan Arthburnot (Hartati, 2017), karena
sastra anak-anak bukan hanya buku yang dibaca dan dinikmati anak-anak, tetapi juga
ditulis khusus untuk anak-anak dan yang memenuhi standar artistik dan syarat kesastraan.

2. Perkembangan Kemampuan
Mengapresiasi Sastra Anak

1-2
Tahun Usia 1-2 tahun: rima permainan, macam-macam tindakan (sedikit memperhatikan kata-kata).

2-7 7-
Usia 2-7 tahun: anak mampu memahami struktur cerita: secara
simbolik melalui bahasa, permainan dan gambar. Demikian
pula anak memahami alur atau hubungan cerita (pendahuluan,
Tahun
11 klimaks, antiklimaks, dan penutup).

Usia 7-11 tahun (operasi konkret): tanggapan yang fleksibel, memahami


struktur sebuah Tahun buku, alur sorot balik dan identifikasi berbagai sudut pandang
cerita.

11-
Usia 11-13 tahun ke atas (operasi formal): mampu berpikir abstrak, bernalar
13 dari hipotesis ke simpulan logis. Mereka dapat menangkap alur dan subalur
Tahun dalam pikirannya. Adakalanya terjadi perbedaan minat antara anak lelaki dan
perempuan.

3. Jenis Sastra Anak


Sastra anak-anak sebagai sumber pembelajaran bahasa di sekolah dasar terdiri atas
berbagai genre, yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah, fantasi, fiksi ilmiah,
sastra tradisional, puisi, biografi, dan otobiografi. Semua genre tersebut dapat dijadikan
bahan pembelajaran apresiasi asal disesuaikan
a. Prasekolah-Kelas I SD cerita yang digemari adalah cerita-cerita petualangan,
kepahlawanan, biografi, otobiografi, mite, legenda.

dengan kondisi dan tingkat perkembangan anak-anak (Huck, 1987 ; Rothelin,


1991) . Cerita yang sesuai untuk anak-anak:

9
Kegiatan Belajar 3
lugas, singkat yang akrab dengan dunia mereka: fabel, anakanak, rumah,
PRA
manusia, mainan, humor, sajak-sajak dongengan, sajak-sajak merdu
SEKOLAH
dengan rima-rima yang indah.
b. Usia 6-10 Tahun. Kelas I - IV SD: cerita binatang, cerita anak di negeri

6-10
lain, hikayat lama dan baru.

Tahun
c. Usia 11-14 Tahun. Kelas V - VI SD: membutuhkan cerita nyata, cerita
tentang kehidupan orang dewasa, cerita pahlawan, dan cerita-cerita
yang mengajarkan tentang cita-cita pribadi,
11-
14
Tahun
1) Buku Bergambar
Gambar berperan sangat penting bagi anak-anak kelas awal SD sebelum dapat
membaca kata tertulis. Anak-anak TK dan SD awal dapat di- bantu oleh buku bergambar
untuk mengenalkan tulisan yang dapat dibaca. Dengan buku bergambar yang baik, anak-
anak juga akan terbantu memahami dan memperkaya pengalamannya dari cerita (Rothelin,
1991). Oleh karena itu, secara umum buku tipe buku bergambar ini dalam (1) buku abjad,
(2) buku berhitung, (2) buku konsep, (4) buku bermain, dan (5) buku cerita bergambar.
Buku berhitung, abjad, konsep, dan bermain biasanya berisi informasi. Fungsi dari
keempat buku ini adalah untuk memberikan pesan khusus. Setiap gambar yang disajikan
untuk suatu objek atau ide tertentu akan memberikan ilustrasi terhadap objek atau ide itu.

10
Kegiatan Belajar 3
Contohnya adalah gambar burung nuri untuk menunjukan huruf /n/. Gambar lima ekor
gajah untuk menunjukkan angka 5.
Buku cerita bergambar adalah buku bergambar tetapi dalam bentuk cerita, bukan
buku informasi. Dengan demikian buku cerita bergambar sesuai dengan ciri-ciri buku
cerita, mempunyai unsur-unsur cerita (tokoh, plot, alur). Buku cerita bergambar ini dapat
dibedakan menjadi dua jenis (1) buku cerita bergambar dengan kata-kata, (2) buku cerita
bergambar tanpa kata-kata. Kedua buku tersebut biasanya untuk
prasekolah atau murid sekolah dasar kelas awal. Fiksi realistik adalah
tulisan imajinatif yang
merefleksi kehidupan
2) Fiksi Relistik (Realistic Fiction) secara akurat pada masa lampau
Fiksi realistik ini umumnya mengisahkan kehidupan atau sekarang
sekitar anak, mengisahkan tentang (Huck, 1987). Bila disebut fiksi
keluarga, teman, dan kehidupan dalam masyarakat. Cerita realistik realistik kontemporer maka
(kontemporer) sebagai salah satu jenis (genre) sastra anak-anak lebih cenderung
merupakan cerita yang sarat dengan isi yang mengarahkan anak pada berkisar tentang kehidupan
proses, pemahaman, dan pengenalan yang baik tentang alam,
nyata yang terjadi pada masa
lingkungan, serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri
sekarang. Fiksi realistik ini
sendiri maupun orang lain. Tema-tema dalam cerita fiksi realistik
(kontemporer) dapat dibagi dalam beberapa jenis. umumnya
mengisahkan kehidupan
Tema-tema dalam cerita fiksi realistik (kontemporer) dapat
sekitar anak, mengisahkan
dibagi dalam beberapa jenis. Stewig (1980) mengungkapkan tema-
tentang keluarga, teman, dan
tema cerita fiksi realistik tersebut (1) tema keluarga, (2) berteman, (3)
kehidupan dalam masyarakat.
untuk anak-anak diperkaya oleh gambar , baik gambar sebagai alat penceritaan
maupun gambar sebagai alat ilustrasi.

“ Buku-buku bergambar
dimaksudkan untuk
mendorong ke arah apresiasi
dan kecintaan terhadap buku.
Selain ceritanya yang secara
verbal harus menarik, gambar
pun mempengaruhi minat
murid untuk membaca cerita.
Oleh karena itu, gambar
dalam cerita anak-anak harus
hidup dan komunikatif.
DuniaEdukatif.com

Buku bergambar dapat dikelompokkan menjadi


beberapa jenis. Rothelin dan Meinbach (1991) membagi

11
Kegiatan Belajar 3
tumbuh dewasa, (4) petualangan, (5) masalahmasalah manusiawi,
(6) hidup di masyarakat majemuk. Rothelin (1991)
mengungkapkan bahwa tema-tema fiksi realistik berfokus pada
masalah sehari-hari (1) isu keluarga, (2) gaya

kehidupan modern, (3)


pertumbuhan, (4) masalah
interpersonal, (5) rintangan-rintangan, (6) kematian, (7)
persamaan hak pria dan wanita.
lalu/latar waktunya masa lalu (Stewig, 1980;
Rothelin, 1991). Dengan demikian fiksi sejarah
berfungsi untuk menambah pengalaman pembaca
yang dapat dihayati dari kejadian masa lalu,
perspektif untuk masa yang akan datang, dan
memberi pemahaman dan kepercayaan adanya
nilai dan kehidupan masa lalu.
Menurut Stewig (1980) ada beberapa hal
yang harus dipertimbangkan dalam cerita fiksi sejarah (1) cerita sejarah harus menarik dan
memenuhi tuntutan keseimbangan antara fakta dan fiksi, (2) harus secara akurat merefleksi
semangat atau jiwa dan nilai yang terjadi pada waktu itu, (3)
Sumber : Sulastama Library - WordPress.com penulis harus berpijak pada tempat sejarah

(histografi), (4) keotentikan bahasa harus diperhatikan, dan (5) harus mendramatisasi fakta-fakta sejarah.

4) Fiksi Ilmu (Science Fiction)


Fiksi ilmu adalah suatu bentuk fantasi yang berlandaskan hipotesis tentang
ramalan yang masuk akal karena berlandaskan metode ilmiah (Huck, 1987). Alur, tema,
dan latarnya secara imajinatif didasarkan pada pengetahuan, teori, dan spekulasi ilmiah
(Sudjiman, 1984). Misalnya tentang perjalanan ruang angkasa petualangan di planet.
Fiksi ilmu memberi kesempatan anak untuk menghipotesis mengenai keadaan
yang akan datang dengan mengimajinasi dan memprediksikannya. Fiksi ilmu

3) Fiksi Sejarah
Fiksi sejarah adalah cerita realistik yang disandarkan pada masa yang

12
Kegiatan Belajar 3
menantang anak
untuk percaya
dan memperkuat
apa yang dapat
dicapai, sesuatu
yang ada pada
Sumber :
https://id.wikipedia.org
5). Cerita
Fantasi
Cerita
fantasi
merupakan cerita
khayal yang
terdiri atas
beberapa jenis.
Cerita yang sangat bervariasi itu memiliki
persamaan dan perbedaan dan berakar dari cerita
terdahulu, yaitu cerita rakyat, legenda, mitos, dan cerita-cerita kemanusiaan
lainnya.Cerita fantasi memiliki beberapa jenis dan variasi. Setiap jenis ceritanya memiliki
ciri-ciri khusus yang kadang-kadang memiliki unsur kesamaan maupun persamaan jika
dibandingkan dengan jenis cerita lainnya. Stewig (1980) menguraikan jenis-jenis fantasi
yaitu (1) fantasi sederhana untuk anak-anak kelas Sumber : e-sentral.com awal, (2) dongeng rakyat,
(3) cerita binatang dengan kemampuan khusus, (4) ciptaan yang aneh, (5) cerita manusia
dengan kemampuan tertentu, (6) cerita boneka mainan, (7) cerita tentang benda-benda gaib,
(8) cerita petualangan, (9) cerita tentang kekuatan jahat/gaib, dan (10) cerita tumbuhan
dengan kemampuan tertentu.

bayangan atau pikirannya. Hal ini memungkinkan anak mengevaluasi bagaimana


mereka hidup dengan kehidupannya dan perubahan yang bagaimana yang akan
diperbuat.

13
Kegiatan Belajar 3
mengambil buah pisang yang nantinya akan diolah menjadi gorengan, namun wajah
Ibu Lila terlihat sedih. Lila pun keluar menghampiri ibunya dan bertanya, “Ibu...
mengapa wajah ibu murung sekali? Apa yang membuat Ibu sedih dan gundah
Lila dan Pohon Pisang
begitu?” “Pisang-pisang ini terserang hama Nak, sehingga pisang-pisang ini tidak
bisa Ibu olah untuk dijadikan gorengan, dengan begitu Ibu pun tidak bisa berjualan
dan tidak bisa mendapatkan
Di sebuah uang, sedangkan
desa kecil, hiduplah persediaan
seorang anak perempuanberas kita
yang sudah Lila.
bernama habis.”
Ia
Jawab Ibu Lila. Mendengar penjelasan ibunya, Lila juga ikut sedih, ia pun
adalah anak yang baik, jujur, dan ramah. Setiap hari ia selalu menolong ibu dan mulai
berpikir
ayahnya.bagaimana cara untuk
Ibu Lila seorang membantu
penjual ibunya.
gorengan keliling di desanya, sedangkan ayah
Lila adalah
Di pagiseorang pencari kayu
hari berikutnya, Lilabakar di hutan.
berpamitan Meski
kepada mereka
ibunya hidup
untuk sederhana,
pergi mencari
kayu
merekabakar
tak ke hutan,mengeluh,
pernah dari kecil mereka
Lila memang
selalu sudah terbiasa
beryukur atas menemani
semua yangayahnya
sudah
untuk mencari
diberikan olehkayu bakar,
Allah namunNamun
SWT. setelah kebahagiaan
kepergian ayahnya, Lila harus
keluarga kecil berani
Lila pergi
tidak
sendiri. Sesampainya di hutan tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung, seolah-olah
berlangsung lama, ayah Lila meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Lila
menggambarkan bagaimana
dengansuasana hatiayahnya.
Lila saatIaitu. Airmemandangi
hujan pun wajah
mulai
merasa sangat terpukul kepergian sering
berjatuhan perlahan, Lila kemudian berlari untuk mencari tempat berteduh. Tiba-tiba
ibunya. Terlihat wajah ibu Lila sangat sedih, namun beliau tetap tabah dan ikhlas
langkahnya terhenti ketika mendengar ada suara yang memanggilnya. “Hei Nak...
atas kepergian suaminya, sehingga Lila pun bertekad untuk selalu membahagiakan
kemarilah!”, mendengar suara itu Lila terjkejut, ia mencoba mencari tahu dari mana
ibunya.
asal suara itu, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi ia tidak menemukan seorang
pun dan semakin
Pada bingung
suat hari, Lila dari manadari
beranjak asalnya suara
tempat itu. membuka
tidur, Lalu suarajendela
itu terdengar
kamar lagi,
dan
“Aku disiniudara
menghirup nak, sepuluh langkah
segar. Dari balik di belakangmu,
jendela kemarilah.”
ia melihat Jelas
ibunya yang suara misterius
sedang
tersebut. Lila pun bergegas menoleh ke belakang dan berjalan sepuluh langkah, ia
pun mendapati sebatang pohon pisang yang berbuah sangat lebat dan juga memiliki
daun yang lebar-lebar, “Berteduhlah di bawahku Nak,” kata pohon pisang
memanggil Lila untuk berteduh di bawah daunnya sambil melambai-lambaikan
daunnya yang lebar-lebar itu. Tanpa berpikir panjang Lila duduk di bawah salah satu
daun pohon pisang untuk berteduh. Pohon pisang berkata, “Apa yang membuatmu
datang ke hutan ini seorang diri Nak?” tanya pohon pisang, “Aku ingin mencari kayu
bakar, agar bisa dijual dan mengahasilkan uang, aku sangat ingin ikut membantu
ibuku untuk mencari uang karena pisang-pisang di halaman rumahku terserang
hama, sehingga ibuku tidak bisa berjualan gorengan seperti biasanya.” Jawab Lila.
Mendengar jawaban Lila, pohon pisang merasa iba dan berkata, “Ambillah buah di
batangku ini, bawalah pulang dan berikan pada ibumu.” Ujar pohon pisang sambil
tersenyum. “Lalu bagaimana jika buah-buahmu ini habis?” tanya Lila”. Pohon pisang
pun
Berikut salah satu contoh cerita fantasi yang ditujukan untuk anak kelas rendah sekolah
dasar.

14
Kegiatan Belajar 3
menjawab, “Tenanglah, buah pisang di badanku ini akan selalu tumbuh, tidak akan
pernah habis”. Lila pun merasa sangat senang, ia segera mengambil buah pisang itu
satu persatu dan membawanya pulang ke rumah agar bisa diolah menjadi gorengan
oleh ibunya nanti.
Sesampainya di rumah, Ibu Lila terlihat bahagia karena bisa berjualan gorengan
kembali dan juga bisa mendapatkan uang. Sejak hari itu Lila dan ibunya selalu
mengambil buah pisang di hutan hampir setiap hari. Namun, karena Ibu Lila merasa
letih harus bolak balik ke dalam hutan untuk mengambil buah pisang, Ibu Lila pun
memutuskan untuk memindahkan pohon pisang itu ke halaman rumahnya. Ketika
hendak memindahkan, pohon pisang pun berkata, “Kamu boleh mengambil buahku
setiap hari, tapi jangan pindahkan aku, tempatku adalah di sini”. Ujar pohon pisang,
namun Ibu Lila tidak menghiraukan perkataan pohon pisang dan akhirnya pohon
pisang sudah berpindah ke halaman rumah Lila.
Hari demi hari pun berlalu, pohon pisang tidak lagi berbuah seperti biasanya,
Lila dan ibunya mencoba memberikan pupuk agar pohon pisang kembali berbuat
lebat, namun yang terjadi pohon pisang itu akhirnya mati. Lila merasa sangat sedih
dan menyesal telah membiarkan ibunya memindahkan pohon pisang dari tempatnya.
Lila kembali mengingat kebaikan pohon pisang yang selama ini telah membiarkan
Lila mengambil buah yang ada di batangnya, tapi karena ketamakan Lila dan ibunya,
pohon pisang sudah tidak ada lagi. Kini Lila dan ibunya mencoba untuk menanam
tanaman yang lain, tanaman yang bisa menghasilkan uang. Mereka pun bekerja keras
menanam dan merawat sendiri tanpa harus mengaharapkan dan bergantung pada
orang lain.
***
(Karya: Decenni Amelia)

6) Biografi
Biografi adalah kisah tentang riwayat hidup seseorang yang ditulis orang lain
(Sudjiman, 1984). Bila riwayat hidup itu ditulis sendiri, dinamakan autobiografi. Suatu
cerita kehidupan bisa dibuat menjadi sebuah fiksi atau bisa pula dibuat fakta-fakta dan
peristiwa-peristiwa yang dapat didokumentasikan sebagai buku Pendiri Kerajaan

15
Kegiatan Belajar 3
Majapahit karya Soepono, (4) Semasa Kecil karya Sudharmono, dan (5) Bangkitnya
Pejuang Kemanusiaan karya
Junaidi Dirhan.

7) Puisi
Istiah puisi anak-anak memiliki dua pengertian yaitu (1) puisi yang ditulis oleh
orang dewasa untuk anak-anak dan (2) puisi yang ditulis oleh anak-anak untuk
dikonsumsi mereka sendiri. Pada dasarnya puisi anak dan orang dewasa hanya sedikit
perbedaannya, yaitu dalam segi bahasa, tema dan ungkapan emosi yang digambarkannya.
Puisi anak

informasi. Contoh biografi misalnya: (1) Mohamad Toha Pahlawan Bandung


Selatan karya Min Resmana, (2) Imam Bonjol karya B. Waluyo, (3) Raden Wijaya

16
Kegiatan Belajar 3
dilihat dari dunia citraannya digambarkan Sumber :
SadnessBookstore Bandoeng
dalam things dan sign yang
sesuai dengan dunia pengalaman anak. Jika
dicermati

Lebah dan Mawar


Ada seekor lebah

17
Kegiatan Belajar 3
Terbang ke mawar dan sembah
Zum, zum, zum,
zum Hai bunga tolong beri aku
Sedikit dari madumu!

Zum, zum, zum, zum


Lebah silahkan duduk
Tampaknya malu, ia tunduk
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Kembang itu baik peri
Manisan lalu diberikan
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Lebah mengambil manisan
Lalu berpantun hiasan
Hai bidadari puteri
Sekarang kumohon diri
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum,zum, zum
(Karya: A. E.
Wirananta)

4. Pembelajaran Sastra Anak di SD


Salah satu hal penting yang menjadi fokus dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah
pembelajaran abad ke-21. Pada kurikulum 2013 diharapkan dapat diimplementasikan
pembelajaran abad ke-21. Hal ini menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif.
Adapun pembelajaran abad ke-21 mencerminkan empat hal yakni; (1) kemampuan berpikir
kritis (critical thinking skill), (2) Kreativitas pembelajaran sastra dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi
karya sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta
kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan

18
Kegiatan Belajar 3
bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Materi sastra sangat penting untuk disampaikan di sekolah, karena dalam sastra
terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara perspektif, pembaca diberikan
kebebasan mengambil manfaat dari sudut pandangnya sendiri. Melalui karya sastra juga
siswa akan ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra,
dan perkembangan pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra akan
memperkaya perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung
kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi.
Bagi guru, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sastra adalah,
hendaknya guru menyadari prinsip ganda yang terdapat dalam karya sastra yaitu pertama,
sastra sebagai pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah apa saja yang terjadi dalam
kehidupan kita untuk dihayati, dinikmati, dirasakan, dipikirkan sehingga kita dapat lebih
berinisiatif. Kedua, sastra sebagai bahasa. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-simbol
bahasa yang dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra
juga digunakan untuk memberikan informasi, mengatur, membujuk dan bahkan
membingungkan orang lain. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-simbol bahasa yang
dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra juga digunakan
untuk memberikan informasi, mengatur, membujuk dan bahkan membingungkan orang
lain.
Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik guru . Pada dasarnya belajar sastra
dalam
pembelajaran karya sastra anak. Adapun kriteria tersebut antara lain adalah belajar
adalah sebagai berikut; bahasa dalam praktik.
Belajar sastra harus berpangkal
1. Memahami kerakteristik peserta didik mencakup tingkat
pada realisasi
apresiasi, minat, bakat, aspirasi, dan kesulitan. bahwa setiap karya pada
pokoknya merupakan
2. Sebagai pendidik seorang guru harus menguasai bahasa
kumpulan kata yang bagi siswa
(sederhana, konkret) dan isi relevan dengan kehidupan anak. harus diteliti,
ditelusuri, dianalisis, dan
diintegrasikan.

3(creativity
. Memahami), (3) Komunikasi (communication
Kurikulum Bahasa dan Sastra), Indonesia
dan (4) Kolaborasi (collaboration).
4 . Memahami
Kedudukan
sejarah
pembelajaran
dan teori sastra
sastra
Indonesia
berada dalam upaya meningkatkan
5kemampuan
. Memahami kreativitas
jenis sastra peserta
daerah didik. Hal ini dikarenakan di sekolah dasar ,

19
6. Memiliki apresiasi sastra yang tinggi, baik sastra Indonesia, sastra daerah, maupun
asing.

5. Strategi Pembelajaran Sastra


Adapun bentuk strategi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sastra
anak di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
1. Bercerita
2. Berbicara
3. Bercakap-cakap
4. Mengungkapkan pengalaman
5. Membacakan puisi
6. Mengarang terikat & bebas
7. Menulis laporan, menulis narasi, deskripsi, eksposisi & argumentasi
8. Menulis berdasarkan gambar/visual
9. Mendramatisasikan karya sastra
Sedangkan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sastra anak
di sekolah dasar adalah metode; menyimak, membaca (nyaring, dalam hati, bersama
dll) menonton, mengarang, roleplaying, bermain drama, parafrase, dan berbagai
permainan.

Rangkuman A. CAPAIAN

KEGIATAN BELAJAR
KB 3

Sastra anak-anak meliputi semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif yang khusus
untuk dibaca dan menghibur anak-anak. Sastra anak berkorelasi dengan dunia anak-
anak dan bahasa yang digunakan sesuai dengan perkembangan intelektual dan
emosional anak yang menempatkan anak-anak sebagai fokusnya.
Sastra anak sebagai sumber pembelajaran bahasa di sekolah dasar terdiri atas berbagai
genre, yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah, fantasi/fiksi ilmiah, sastra
tradisional, puisi, dan biografi yang difiksikan.
Tujuan pembelajaran sastra anak di sekolah dasar antara lain: memberi kebahagiaan
dan kesenangan, mengembangkan imajinasi, menambah pengetahuan,
mengembangkan berpikir kreatif, mengembangkan karakter, mengembangkan apresiasi
sastra, mengembangkan kesadaran bersastra, dan menginterpretasi bacaan sastra.
Strategi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sastra anak di sekolah dasar
adalah sebagai berikut; bercerita, berbicara, bercakap-cakap, mengungkapkan
pengalaman, membacakan puisi, mengarang terikat & bebas, menulis laporan, menulis
narasi, deskripsi, eksposisi & argumentasi, menulis berdasarkan gambar/visual,
mendramatisasikan karya sastra.
A. CAPAIAN KEGIATAN

BELAJAR Daftar
Rujukan
Hartati, T. (2017). Apresiasi Sastra Anak. Bandung: Pascasarjana UPI.
Huck, Charlote. Dkk. (1987). Children Literature in the Elementary School.
Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Rothelin, Liz, dan A. M. Meinbach. (1991). The Literature Connection. USA: Scott
Foresman Company.
Stewig, J. Warren. (1980). Children and Literature. Chicago: Rand Mc Nally
Publishing.
Sudjiman, P. (1984). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

1
Modul 5

Apresiasi
SASTRA ANAK

PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)


2
DIREKTORAT JENDERAL PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
2018
A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

Capaian Pembelajaran
C. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

3
Menguasai hakikat sastra anak secara reseptif
fan produktif.

D. Subcapaian Pembelajaran Mata


Kegiatan
Setelah mempelajari kegiatan belajar ini, Anda
diharapkan dapat:
1. Mengapresiasi genre sastra anak: puisi,
prosa, dan drama
2. Menjelaskan jenis/ genre sastra anak di
SD
3. Menyusun contoh jenis sastra anak:
puisi, prosa, dan drama.

A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

Pokok

4
Materi
C. Pokok-pokok Materi
1 . Pengertian sastra anak
2 . Perkembangan sastra anak
3 . Jenis-jenis sastra anak
4 . Apresiasi reseptif
5 . Apresiasi produktif

A. CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR

5
Kegiatan Belajar 3

1. Pengertian Sastra Anak

S
astra anak meliputi semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif yang khusus untuk
dibaca dan menghibur anak-anak. Dengan demikian sastra anak menawarkan
kesenangan dan pemahaman bagi anak-anak. Sastra anak erat kaitannya dengan
dunia anak-anak dan bahasa yang digunakannya pun sesuai dengan perkembangan
intelektual dan emosional anak.
Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa
(adult literacy). Keduanya sama pada wilayah sastra yang meliputi segala kehidupan
dengan perasaan, pikiran, dan wawasan kehidupan. Perbedaannya terletak dalam fokus
pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak dalam suatu karya.

6
Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk Huck (1987) mengemukakan
kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang bahwa siapapun yang menulis
menggambarakan dunia rekaan, menghadirkan sastra anak-anak tidak
pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung perlu dipermasalahkan asalkan
nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dalam
dewasa ataupun anakanak. Sastra anak-anak bukan
penggambarannya
dibatasi oleh siapa pengarangnya, melainkan untuk
siapa karya itu diciptakan. Dengan demikian sastra ditekankan pada kehidupan
anak-anak boleh saja hasil karya orang dewasa, tetapi anak yang memiliki nilai
berisikan cerita yang mencerminkan kebermaknaan bagi
mereka. Norton (Hartati,
2017) menjelaskan bahwa
sastra anak-anak adalah
sastra yang mencerminkan
perasaan dan pengalaman
anak-anak melalui
pandangan anak-anak.
Namun demikian, dalam
kenyataannya, nilai
kebermaknaan bagi anakanak
itu terkadang dilihat
dan diukur dari perspektif
orang dewasa.

perasaan anak-anak, pengalaman anak-anak serta dapat


dipahami dan dinikmati oleh anak-anak sesuai dengan
pengetahuan anak-anak. Bacaan seperti itulah yang harus
disediakan sebagai bahan pembelajaran bahasa di Sekolah
Dasar .

7
Kegiatan Belajar 3
Sastra anak-anak menempatkan anak-anak sebagai fokusnya. Ada yang mengartikan
bahwa, sastra anak-anak itu adalah semua buku yang dibaca dan dinikmati oleh anak-anak.
Pernyataan ini kurang disepakati oleh Sutherland dan Arthburnot (Hartati, 2017), karena
sastra anak-anak bukan hanya buku yang dibaca dan dinikmati anak-anak, tetapi juga
ditulis khusus untuk anak-anak dan yang memenuhi standar artistik dan syarat kesastraan.

2. Perkembangan Kemampuan
Mengapresiasi Sastra Anak

1-2
Tahun Usia 1-2 tahun: rima permainan, macam-macam tindakan (sedikit memperhatikan kata-kata).

2-7 7-
Usia 2-7 tahun: anak mampu memahami struktur cerita: secara
simbolik melalui bahasa, permainan dan gambar. Demikian
pula anak memahami alur atau hubungan cerita (pendahuluan,
Tahun
11 klimaks, antiklimaks, dan penutup).

Usia 7-11 tahun (operasi konkret): tanggapan yang fleksibel, memahami


struktur sebuah Tahun buku, alur sorot balik dan identifikasi berbagai sudut pandang
cerita.

11-
Usia 11-13 tahun ke atas (operasi formal): mampu berpikir abstrak, bernalar
13 dari hipotesis ke simpulan logis. Mereka dapat menangkap alur dan subalur
Tahun dalam pikirannya. Adakalanya terjadi perbedaan minat antara anak lelaki dan
perempuan.

3. Jenis Sastra Anak


Sastra anak-anak sebagai sumber pembelajaran bahasa di sekolah dasar terdiri atas
berbagai genre, yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah, fantasi, fiksi ilmiah,
sastra tradisional, puisi, biografi, dan otobiografi. Semua genre tersebut dapat dijadikan
bahan pembelajaran apresiasi asal disesuaikan
a. Prasekolah-Kelas I SD cerita yang digemari adalah cerita-cerita petualangan,
kepahlawanan, biografi, otobiografi, mite, legenda.

dengan kondisi dan tingkat perkembangan anak-anak (Huck, 1987 ; Rothelin,


1991) . Cerita yang sesuai untuk anak-anak:

8
Kegiatan Belajar 3
lugas, singkat yang akrab dengan dunia mereka: fabel, anakanak, rumah,
PRA
manusia, mainan, humor, sajak-sajak dongengan, sajak-sajak merdu
SEKOLAH
dengan rima-rima yang indah.
d. Usia 6-10 Tahun. Kelas I - IV SD: cerita binatang, cerita anak di negeri

6-10
lain, hikayat lama dan baru.

Tahun
e. Usia 11-14 Tahun. Kelas V - VI SD: membutuhkan cerita nyata, cerita
tentang kehidupan orang dewasa, cerita pahlawan, dan cerita-cerita
yang mengajarkan tentang cita-cita pribadi,
11-
14
Tahun
3) Buku Bergambar
Gambar berperan sangat penting bagi anak-anak kelas awal SD sebelum dapat
membaca kata tertulis. Anak-anak TK dan SD awal dapat di- bantu oleh buku bergambar
untuk mengenalkan tulisan yang dapat dibaca. Dengan buku bergambar yang baik, anak-
anak juga akan terbantu memahami dan memperkaya pengalamannya dari cerita (Rothelin,
1991). Oleh karena itu, secara umum buku tipe buku bergambar ini dalam (1) buku abjad,
(2) buku berhitung, (2) buku konsep, (4) buku bermain, dan (5) buku cerita bergambar.
Buku berhitung, abjad, konsep, dan bermain biasanya berisi informasi. Fungsi dari
keempat buku ini adalah untuk memberikan pesan khusus. Setiap gambar yang disajikan
untuk suatu objek atau ide tertentu akan memberikan ilustrasi terhadap objek atau ide itu.

9
Kegiatan Belajar 3
Contohnya adalah gambar burung nuri untuk menunjukan huruf /n/. Gambar lima ekor
gajah untuk menunjukkan angka 5.
Buku cerita bergambar adalah buku bergambar tetapi dalam bentuk cerita, bukan
buku informasi. Dengan demikian buku cerita bergambar sesuai dengan ciri-ciri buku
cerita, mempunyai unsur-unsur cerita (tokoh, plot, alur). Buku cerita bergambar ini dapat
dibedakan menjadi dua jenis (1) buku cerita bergambar dengan kata-kata, (2) buku cerita
bergambar tanpa kata-kata. Kedua buku tersebut biasanya untuk
prasekolah atau murid sekolah dasar kelas awal. Fiksi realistik adalah
tulisan imajinatif yang
merefleksi kehidupan
4) Fiksi Relistik (Realistic Fiction) secara akurat pada masa lampau
Fiksi realistik ini umumnya mengisahkan kehidupan atau sekarang
sekitar anak, mengisahkan tentang (Huck, 1987). Bila disebut fiksi
keluarga, teman, dan kehidupan dalam masyarakat. Cerita realistik realistik kontemporer maka
(kontemporer) sebagai salah satu jenis (genre) sastra anak-anak lebih cenderung
merupakan cerita yang sarat dengan isi yang mengarahkan anak pada berkisar tentang kehidupan
proses, pemahaman, dan pengenalan yang baik tentang alam,
nyata yang terjadi pada masa
lingkungan, serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri
sekarang. Fiksi realistik ini
sendiri maupun orang lain. Tema-tema dalam cerita fiksi realistik
(kontemporer) dapat dibagi dalam beberapa jenis. umumnya
mengisahkan kehidupan
Tema-tema dalam cerita fiksi realistik (kontemporer) dapat
sekitar anak, mengisahkan
dibagi dalam beberapa jenis. Stewig (1980) mengungkapkan tema-
tentang keluarga, teman, dan
tema cerita fiksi realistik tersebut (1) tema keluarga, (2) berteman, (3)
kehidupan dalam masyarakat.
untuk anak-anak diperkaya oleh gambar , baik gambar sebagai alat penceritaan
maupun gambar sebagai alat ilustrasi.

“ Buku-buku bergambar
dimaksudkan untuk
mendorong ke arah apresiasi
dan kecintaan terhadap buku.
Selain ceritanya yang secara
verbal harus menarik, gambar
pun mempengaruhi minat
murid untuk membaca cerita.
Oleh karena itu, gambar
dalam cerita anak-anak harus
hidup dan komunikatif.
DuniaEdukatif.com

Buku bergambar dapat dikelompokkan menjadi


beberapa jenis. Rothelin dan Meinbach (1991) membagi

10
Kegiatan Belajar 3
tumbuh dewasa, (4) petualangan, (5) masalahmasalah manusiawi,
(6) hidup di masyarakat majemuk. Rothelin (1991)
mengungkapkan bahwa tema-tema fiksi realistik berfokus pada
masalah sehari-hari (1) isu keluarga, (2) gaya

kehidupan modern, (3)


pertumbuhan, (4) masalah
interpersonal, (5) rintangan-rintangan, (6) kematian, (7)
persamaan hak pria dan wanita.
lalu/latar waktunya masa lalu (Stewig, 1980;
Rothelin, 1991). Dengan demikian fiksi sejarah
berfungsi untuk menambah pengalaman pembaca
yang dapat dihayati dari kejadian masa lalu,
perspektif untuk masa yang akan datang, dan
memberi pemahaman dan kepercayaan adanya
nilai dan kehidupan masa lalu.
Menurut Stewig (1980) ada beberapa hal
yang harus dipertimbangkan dalam cerita fiksi sejarah (1) cerita sejarah harus menarik dan
memenuhi tuntutan keseimbangan antara fakta dan fiksi, (2) harus secara akurat merefleksi
semangat atau jiwa dan nilai yang terjadi pada waktu itu, (3)
Sumber : Sulastama Library - WordPress.com penulis harus berpijak pada tempat sejarah

(histografi), (4) keotentikan bahasa harus diperhatikan, dan (5) harus mendramatisasi fakta-fakta sejarah.

4) Fiksi Ilmu (Science Fiction)


Fiksi ilmu adalah suatu bentuk fantasi yang berlandaskan hipotesis tentang
ramalan yang masuk akal karena berlandaskan metode ilmiah (Huck, 1987). Alur, tema,
dan latarnya secara imajinatif didasarkan pada pengetahuan, teori, dan spekulasi ilmiah
(Sudjiman, 1984). Misalnya tentang perjalanan ruang angkasa petualangan di planet.
Fiksi ilmu memberi kesempatan anak untuk menghipotesis mengenai keadaan
yang akan datang dengan mengimajinasi dan memprediksikannya. Fiksi ilmu

3) Fiksi Sejarah
Fiksi sejarah adalah cerita realistik yang disandarkan pada masa yang

11
Kegiatan Belajar 3
menantang anak
untuk percaya
dan memperkuat
apa yang dapat
dicapai, sesuatu
yang ada pada
Sumber :
https://id.wikipedia.org
5). Cerita
Fantasi
Cerita
fantasi
merupakan cerita
khayal yang
terdiri atas
beberapa jenis.
Cerita yang sangat bervariasi itu memiliki
persamaan dan perbedaan dan berakar dari cerita
terdahulu, yaitu cerita rakyat, legenda, mitos, dan cerita-cerita kemanusiaan
lainnya.Cerita fantasi memiliki beberapa jenis dan variasi. Setiap jenis ceritanya memiliki
ciri-ciri khusus yang kadang-kadang memiliki unsur kesamaan maupun persamaan jika
dibandingkan dengan jenis cerita lainnya. Stewig (1980) menguraikan jenis-jenis fantasi
yaitu (1) fantasi sederhana untuk anak-anak kelas Sumber : e-sentral.com awal, (2) dongeng rakyat,
(3) cerita binatang dengan kemampuan khusus, (4) ciptaan yang aneh, (5) cerita manusia
dengan kemampuan tertentu, (6) cerita boneka mainan, (7) cerita tentang benda-benda gaib,
(8) cerita petualangan, (9) cerita tentang kekuatan jahat/gaib, dan (10) cerita tumbuhan
dengan kemampuan tertentu.

bayangan atau pikirannya. Hal ini memungkinkan anak mengevaluasi bagaimana


mereka hidup dengan kehidupannya dan perubahan yang bagaimana yang akan
diperbuat.

12
Kegiatan Belajar 3
mengambil buah pisang yang nantinya akan diolah menjadi gorengan, namun wajah
Ibu Lila terlihat sedih. Lila pun keluar menghampiri ibunya dan bertanya, “Ibu...
mengapa wajah ibu murung sekali? Apa yang membuat Ibu sedih dan gundah
Lila dan Pohon Pisang
begitu?” “Pisang-pisang ini terserang hama Nak, sehingga pisang-pisang ini tidak
bisa Ibu olah untuk dijadikan gorengan, dengan begitu Ibu pun tidak bisa berjualan
dan tidak bisa mendapatkan
Di sebuah uang, sedangkan
desa kecil, hiduplah persediaan
seorang anak perempuanberas kita
yang sudah Lila.
bernama habis.”
Ia
Jawab Ibu Lila. Mendengar penjelasan ibunya, Lila juga ikut sedih, ia pun
adalah anak yang baik, jujur, dan ramah. Setiap hari ia selalu menolong ibu dan mulai
berpikir
ayahnya.bagaimana cara untuk
Ibu Lila seorang membantu
penjual ibunya.
gorengan keliling di desanya, sedangkan ayah
Lila adalah
Di pagiseorang pencari kayu
hari berikutnya, Lilabakar di hutan.
berpamitan Meski
kepada mereka
ibunya hidup
untuk sederhana,
pergi mencari
kayu
merekabakar
tak ke hutan,mengeluh,
pernah dari kecil mereka
Lila memang
selalu sudah terbiasa
beryukur atas menemani
semua yangayahnya
sudah
untuk mencari
diberikan olehkayu bakar,
Allah namunNamun
SWT. setelah kebahagiaan
kepergian ayahnya, Lila harus
keluarga kecil berani
Lila pergi
tidak
sendiri. Sesampainya di hutan tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung, seolah-olah
berlangsung lama, ayah Lila meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Lila
menggambarkan bagaimana
dengansuasana hatiayahnya.
Lila saatIaitu. Airmemandangi
hujan pun wajah
mulai
merasa sangat terpukul kepergian sering
berjatuhan perlahan, Lila kemudian berlari untuk mencari tempat berteduh. Tiba-tiba
ibunya. Terlihat wajah ibu Lila sangat sedih, namun beliau tetap tabah dan ikhlas
langkahnya terhenti ketika mendengar ada suara yang memanggilnya. “Hei Nak...
atas kepergian suaminya, sehingga Lila pun bertekad untuk selalu membahagiakan
kemarilah!”, mendengar suara itu Lila terjkejut, ia mencoba mencari tahu dari mana
ibunya.
asal suara itu, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi ia tidak menemukan seorang
pun dan semakin
Pada bingung
suat hari, Lila dari manadari
beranjak asalnya suara
tempat itu. membuka
tidur, Lalu suarajendela
itu terdengar
kamar lagi,
dan
“Aku disiniudara
menghirup nak, sepuluh langkah
segar. Dari balik di belakangmu,
jendela kemarilah.”
ia melihat Jelas
ibunya yang suara misterius
sedang
tersebut. Lila pun bergegas menoleh ke belakang dan berjalan sepuluh langkah, ia
pun mendapati sebatang pohon pisang yang berbuah sangat lebat dan juga memiliki
daun yang lebar-lebar, “Berteduhlah di bawahku Nak,” kata pohon pisang
memanggil Lila untuk berteduh di bawah daunnya sambil melambai-lambaikan
daunnya yang lebar-lebar itu. Tanpa berpikir panjang Lila duduk di bawah salah satu
daun pohon pisang untuk berteduh. Pohon pisang berkata, “Apa yang membuatmu
datang ke hutan ini seorang diri Nak?” tanya pohon pisang, “Aku ingin mencari kayu
bakar, agar bisa dijual dan mengahasilkan uang, aku sangat ingin ikut membantu
ibuku untuk mencari uang karena pisang-pisang di halaman rumahku terserang
hama, sehingga ibuku tidak bisa berjualan gorengan seperti biasanya.” Jawab Lila.
Mendengar jawaban Lila, pohon pisang merasa iba dan berkata, “Ambillah buah di
batangku ini, bawalah pulang dan berikan pada ibumu.” Ujar pohon pisang sambil
tersenyum. “Lalu bagaimana jika buah-buahmu ini habis?” tanya Lila”. Pohon pisang
pun
Berikut salah satu contoh cerita fantasi yang ditujukan untuk anak kelas rendah sekolah
dasar.

13
Kegiatan Belajar 3
menjawab, “Tenanglah, buah pisang di badanku ini akan selalu tumbuh, tidak akan
pernah habis”. Lila pun merasa sangat senang, ia segera mengambil buah pisang itu
satu persatu dan membawanya pulang ke rumah agar bisa diolah menjadi gorengan
oleh ibunya nanti.
Sesampainya di rumah, Ibu Lila terlihat bahagia karena bisa berjualan gorengan
kembali dan juga bisa mendapatkan uang. Sejak hari itu Lila dan ibunya selalu
mengambil buah pisang di hutan hampir setiap hari. Namun, karena Ibu Lila merasa
letih harus bolak balik ke dalam hutan untuk mengambil buah pisang, Ibu Lila pun
memutuskan untuk memindahkan pohon pisang itu ke halaman rumahnya. Ketika
hendak memindahkan, pohon pisang pun berkata, “Kamu boleh mengambil buahku
setiap hari, tapi jangan pindahkan aku, tempatku adalah di sini”. Ujar pohon pisang,
namun Ibu Lila tidak menghiraukan perkataan pohon pisang dan akhirnya pohon
pisang sudah berpindah ke halaman rumah Lila.
Hari demi hari pun berlalu, pohon pisang tidak lagi berbuah seperti biasanya,
Lila dan ibunya mencoba memberikan pupuk agar pohon pisang kembali berbuat
lebat, namun yang terjadi pohon pisang itu akhirnya mati. Lila merasa sangat sedih
dan menyesal telah membiarkan ibunya memindahkan pohon pisang dari tempatnya.
Lila kembali mengingat kebaikan pohon pisang yang selama ini telah membiarkan
Lila mengambil buah yang ada di batangnya, tapi karena ketamakan Lila dan ibunya,
pohon pisang sudah tidak ada lagi. Kini Lila dan ibunya mencoba untuk menanam
tanaman yang lain, tanaman yang bisa menghasilkan uang. Mereka pun bekerja keras
menanam dan merawat sendiri tanpa harus mengaharapkan dan bergantung pada
orang lain.
***
(Karya: Decenni Amelia)

8) Biografi
Biografi adalah kisah tentang riwayat hidup seseorang yang ditulis orang lain
(Sudjiman, 1984). Bila riwayat hidup itu ditulis sendiri, dinamakan autobiografi. Suatu
cerita kehidupan bisa dibuat menjadi sebuah fiksi atau bisa pula dibuat fakta-fakta dan
peristiwa-peristiwa yang dapat didokumentasikan sebagai buku Pendiri Kerajaan

14
Kegiatan Belajar 3
Majapahit karya Soepono, (4) Semasa Kecil karya Sudharmono, dan (5) Bangkitnya
Pejuang Kemanusiaan karya
Junaidi Dirhan.

9) Puisi
Istiah puisi anak-anak memiliki dua pengertian yaitu (1) puisi yang ditulis oleh
orang dewasa untuk anak-anak dan (2) puisi yang ditulis oleh anak-anak untuk
dikonsumsi mereka sendiri. Pada dasarnya puisi anak dan orang dewasa hanya sedikit
perbedaannya, yaitu dalam segi bahasa, tema dan ungkapan emosi yang digambarkannya.
Puisi anak

informasi. Contoh biografi misalnya: (1) Mohamad Toha Pahlawan Bandung


Selatan karya Min Resmana, (2) Imam Bonjol karya B. Waluyo, (3) Raden Wijaya

15
Kegiatan Belajar 3
dilihat dari dunia citraannya digambarkan Sumber :
SadnessBookstore Bandoeng
dalam things dan sign yang
sesuai dengan dunia pengalaman anak. Jika
dicermati

Lebah dan Mawar


Ada seekor lebah

16
Kegiatan Belajar 3
Terbang ke mawar dan sembah
Zum, zum, zum,
zum Hai bunga tolong beri aku
Sedikit dari madumu!

Zum, zum, zum, zum


Lebah silahkan duduk
Tampaknya malu, ia tunduk
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Kembang itu baik peri
Manisan lalu diberikan
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum, zum, zum
Lebah mengambil manisan
Lalu berpantun hiasan
Hai bidadari puteri
Sekarang kumohon diri
Zum, zum, zum, zum
Zum, zum,zum, zum
(Karya: A. E.
Wirananta)

4. Pembelajaran Sastra Anak di SD


Salah satu hal penting yang menjadi fokus dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah
pembelajaran abad ke-21. Pada kurikulum 2013 diharapkan dapat diimplementasikan
pembelajaran abad ke-21. Hal ini menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif.
Adapun pembelajaran abad ke-21 mencerminkan empat hal yakni; (1) kemampuan berpikir
kritis (critical thinking skill), (2) Kreativitas pembelajaran sastra dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi
karya sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta
kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan

17
Kegiatan Belajar 3
bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Materi sastra sangat penting untuk disampaikan di sekolah, karena dalam sastra
terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara perspektif, pembaca diberikan
kebebasan mengambil manfaat dari sudut pandangnya sendiri. Melalui karya sastra juga
siswa akan ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra,
dan perkembangan pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra akan
memperkaya perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung
kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi.
Bagi guru, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sastra adalah,
hendaknya guru menyadari prinsip ganda yang terdapat dalam karya sastra yaitu pertama,
sastra sebagai pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah apa saja yang terjadi dalam
kehidupan kita untuk dihayati, dinikmati, dirasakan, dipikirkan sehingga kita dapat lebih
berinisiatif. Kedua, sastra sebagai bahasa. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-simbol
bahasa yang dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra
juga digunakan untuk memberikan informasi, mengatur, membujuk dan bahkan
membingungkan orang lain. Dalam sastra selalu ditampilkan simbol-simbol bahasa yang
dituntun pemahaman lebih detail. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra juga digunakan
untuk memberikan informasi, mengatur, membujuk dan bahkan membingungkan orang
lain.
Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik guru . Pada dasarnya belajar sastra
dalam
pembelajaran karya sastra anak. Adapun kriteria tersebut antara lain adalah belajar
adalah sebagai berikut; bahasa dalam praktik.
Belajar sastra harus berpangkal
3. Memahami kerakteristik peserta didik mencakup tingkat
pada realisasi
apresiasi, minat, bakat, aspirasi, dan kesulitan. bahwa setiap karya pada
pokoknya merupakan
4. Sebagai pendidik seorang guru harus menguasai bahasa
kumpulan kata yang bagi siswa
(sederhana, konkret) dan isi relevan dengan kehidupan anak. harus diteliti,
ditelusuri, dianalisis, dan
diintegrasikan.

3(creativity
. Memahami), (3) Komunikasi (communication
Kurikulum Bahasa dan Sastra), Indonesia
dan (4) Kolaborasi (collaboration).
4 . Memahami
Kedudukan
sejarah
pembelajaran
dan teori sastra
sastra
Indonesia
berada dalam upaya meningkatkan
5kemampuan
. Memahami kreativitas
jenis sastra peserta
daerah didik. Hal ini dikarenakan di sekolah dasar ,

18
Kegiatan Belajar 3
6. Memiliki apresiasi sastra yang tinggi, baik sastra Indonesia, sastra daerah,
maupun asing.

5. Strategi Pembelajaran Sastra


Adapun bentuk strategi yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran sastra anak di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
10. Bercerita
11. Berbicara
12. Bercakap-cakap
13. Mengungkapkan pengalaman
14. Membacakan puisi
15. Mengarang terikat & bebas
16. Menulis laporan, menulis narasi, deskripsi, eksposisi & argumentasi
17. Menulis berdasarkan gambar/visual
18. Mendramatisasikan karya sastra
Sedangkan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran
sastra anak di sekolah dasar adalah metode; menyimak, membaca (nyaring,
dalam hati, bersama dll) menonton, mengarang, roleplaying, bermain
drama, parafrase, dan berbagai permainan.

Rangkuman A.

CAPAIAN KEGIATAN BELAJAR


KB 3

Sastra anak-anak meliputi semua jenis penulisan kreatif dan imajinatif yang
khusus untuk dibaca dan menghibur anak-anak. Sastra anak berkorelasi
dengan dunia anak-anak dan bahasa yang digunakan sesuai dengan
perkembangan intelektual dan emosional anak yang menempatkan anak-
anak sebagai fokusnya.
Sastra anak sebagai sumber pembelajaran bahasa di sekolah dasar terdiri atas
berbagai genre, yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah,
fantasi/fiksi ilmiah, sastra tradisional, puisi, dan biografi yang difiksikan.
Tujuan pembelajaran sastra anak di sekolah dasar antara lain: memberi
kebahagiaan dan kesenangan, mengembangkan imajinasi, menambah

2
Kegiatan Belajar 3
pengetahuan, mengembangkan berpikir kreatif, mengembangkan karakter,
mengembangkan apresiasi sastra, mengembangkan kesadaran bersastra, dan
menginterpretasi bacaan sastra.
Strategi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sastra anak di
sekolah dasar adalah sebagai berikut; bercerita, berbicara, bercakap-cakap,
mengungkapkan pengalaman, membacakan puisi, mengarang terikat &
bebas, menulis laporan, menulis narasi, deskripsi, eksposisi & argumentasi,
menulis berdasarkan gambar/visual, mendramatisasikan karya sastra.
A. CAPAIAN KEGIATAN

BELAJAR Daftar
Rujukan
Hartati, T. (2017). Apresiasi Sastra Anak. Bandung: Pascasarjana
UPI.
Huck, Charlote. Dkk. (1987). Children Literature in the Elementary
School.
Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Rothelin, Liz, dan A. M. Meinbach. (1991). The Literature Connection.
USA: Scott Foresman Company.
Stewig, J. Warren. (1980). Children and Literature. Chicago: Rand Mc
Nally Publishing.
Sudjiman, P. (1984). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai