Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TEORI BELAJAR PIAGET DAN BRUNER

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pembelajaran Matematika

Dosen Pengampu : Veronika Fitri Rianasari S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh :

Kelompok V :

 Gristi Damaiyanti P (151414024)


 Hani Noviyanti (171414041)
 Anastasia Melisa Raharjo (171414053)
 Rosiana Serlin Matul (171414055)
 Novelyn Trisnawati R (171414058)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Di dalam makalah ini, kami mengambil informasi melalui buku-buku dan


jurnal mengenai teori belajar Piaget dan Bruner.

Terlepas dari semua itu, kami juga meminta maaf jika di dalam makalah ini
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah teori belajar Piaget dan Bruner
ini dapat memberikan manfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi pembaca.

Yogyakarta, 15 September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................... ........................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..... .......................................................................... 2
C. Tujuan Dan Manfaat ............................................................................ 2

BAB II TEORI BELAJAR PIAGET DAN BRUNER ................................ 3

A. Teori Belajar Piaget.............................................................................. 3


B. Penerapan Teori Belajar Piaget Dalam Pembelajaran Matematika ..... 4
C. Teori Belajar Bruner ............................................................................ 6
D. Penerapan Teori Belajar Bruner Dalam Pembelajaran Matematika .... 7

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 21

A. Kesimpulan .......................................................................................... 21
B. Saran ..................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan dunia pendidikan sangat ditentukan oleh pendidik. Pendidik harus
memiliki kemampuan khusus agar materi yang disampaikannya ke peserta didik
dapat dipahami dengan baik. Namun, pada saai ini masih ada pendidik yang
belum mengetahui pemahaman akan pentingnya pendidikan untuk mengatasi
masalah-masalah sosial dan budaya, serta bagaimana metode mengajar yang
sesuai untuk siswa dengan beragam kemampuan intelektual.
Dari permasalahan di atas, kita menyadari bahwa, sebuah teori pembelajaran
terutama mengenai teori perkembangan kognitif sangat dibutuhkan untuk
membimbing siswa. Maka dari itu, perlu adanya penjelasan dan pembahasan
terkait dengan teori pembelajaran. Agar lebih spesifik dan terfokus, dalam
makalah ini akan menguraikan dan menjelaskan satu dari beberapa teori
pembelajaran yang sudah ada, yaitu pada Teori Pembelajaran Kognitif menurut
dua ahli yaitu Piaget dan Bruner dan diharapkan bisa memberikan pemahaman,
menambah wawasan, dan dapat diterapkan dalam proses pembelajaran khususnya
bagi para pendidik dan calon pendidik sehingga diharapkan siswa dapat menerima
pembelajaran yang disampaikan dengan baik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori belajar Piaget?
2. Bagaimana penerapan teori belajar Piaget dalam pembelajaran matematika?
3. Bagaimana teori belajar Bruner?
4. Bagaimana penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika?

C. Tujuan Dan Manfaat


1. Mengetahui teori belajar Piaget.

4
2. Mengetahui penerapan teori belajar Piaget dalam pembelajaran matematika.
3. Mengetahui teori belajar Bruner.
4. Mengetahui penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Piaget


Jean Piaget ialah seorang ahli epistemologi dan psikologi perkembangan yang
lahir pada 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Beliau mengawali karirnya
menjadi seorang penulis pada usia 10 tahun. Beliau melanjutkan pendidikan
perguruan tinggi di Universitas Nauchatel. Dalam perjalanannya, beliau dilantik
menjadi ketua “Swiss Society for Psychologist”. Beliau terkenal dengan teori
pembelajarannya yang berdasarkan tahap perkembangan intelegensi anak, yang
disebut dengan “Teori Belajar Piaget”.
Teori belajar Piaget ini merupakan aliran psikologi kognitif menyatakan
bahwa anak belajar itu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mantalnya
(Zubaidah Amir dan Risnawati, 2016: 62). Artinya, dalam memberikan
pengajaran, guru harus menyesuaikannya dengan tahap perkembangan mental
peserta didiknya. Dalam penelitiannya, Piaget meyakini bahwa terdapat
perbedaan proses pemikiran anak dan orang dewasa. Perbedaan proses pemikiran
itu terjadi karena dalam proses perkembangan kognitif anak sampai menjadi
dewasa mengalami beberapa tahapan.
1. Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget
Dalam penelitiannya, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan kognitif
seseorang melalui sebuah proses dan dikelompokkan dalam tahapan-tahapan.
Teori tahapan Piaget mengetengahkan asumsi-asumsi tertentu :
 Masing-masing tahapan mempunyai ciri khas, berbeda, dan terpisah.
Transisi satu tahapan ke tahapan berikutnya bukan merupakan
percampuran yang berangsur-angsur atau penggabungan yang
berkelanjutan.
 Perkembangan struktur kognitif bergantung pada perkembangan
sebelumnya.

6
 Usia seseorang berada pada tahapan tertentu dapat berbeda-beda sattu
sama lain.
a. Struktur Kognitif (Skemata)
Kognitif atau kognisi merupakan suatu kemampuan yang mencakup segala
bentuk pengenalan, kesadaran, pengertian yang bersifat mental pada diri
individu yang digunakan dalam interaksinya antara kemampuan potensial
dengan lingkungan, seperti dalam aktivitas mengamati, menafsirkan
memperkirakan, mengingat, menilai dan lain-lain.
Skemata biasa disebut oleh banyak orang sebagai suatu pemahaman atau
pengetahuan. istilah skema atau skemata adalah struktur kognitif
(pengetahuan) yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri
terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual yang
berhubungan dengan ingatan.
Setiap individu akan mengalami dan melewati setiap tahapan
perkembangan struktur kognitif yang dapat mendorong anak menjadi
mudah untuk beradaptasi diri secara intelektual, oleh Piaget disebut: (a)
asimilasi, (b) akomodasi, dan (c) ekuilibrasi.
1) Asimilasi
Asimilasi merupakan proses peleburan (penggabungan) informasi baru
yang diperoleh individu ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.
Artinya, terjadinya suatu obyek atau ide baru ditafsirkan sehubungan
gagasan atau tindakan yang telah diperoleh anak.
Contoh :
Seorang anak yang diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah
itu diperlihatkan segitiga yang lain yaitu segitiga sama kaki. Asimilasi
terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga sama kaki yang
diperlihatkan adalah segitiga sama sisi. Hal ini karena bentuk itu
dikenal anak lebih awal sementara segitiga sama kaki diperoleh
kemudian. Selain itu, dilihat secara langsung kedua jenis segitiga itu
sama-sama berbantuk segitiga, sisinya ada 3. Jika menyangkut masalah

7
ukuran dari bentuk tersebut asimilasi tidak akan terjadi karena tidak
cocok dengan gagasan yang telah ada. Tetapi jika segitiga sama sisi itu
dilihat sebagaimana adanya segitiga sama sisi hal ini merupakan
proses akomodasi.
2) Akomodasi
Akomodasi merupakan proses yang terjadi apabila anak mencoba
mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak dapat dilakukan karena
tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini anak akan
menciptakan skema baru atau mengubah skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan stimulus tersebut. Akomodasi dapat dikatakan
sebagai proses pembentukan skema baru atau perubahan skema yang
telah ada.
Contoh :
Seorang anak melihat segitiga sama sisi dan segitiga sama kaki. Anak
dapat dikatakan sampai pada tahap akomodasi pada saat anak dapat
melihat segitiga sama sisi sebagaimana adanya segitiga sama sisi,
karena segitiga sama kaki tidak memiliki skema yang cocok dengan
segitiga sama sisi. Artinya anak sudah dapat membedakan bahwa
segitiga sama sisi bukan merupakan segitiga yang sama dengan
segitiga sama kaki dengan stimulus baru, misalnya berupa karakteristik
masing-masing segitiga.
3) Ekuilibrasi
Ekuilibrasi merupakan proses yang terjadi apabila individu memiliki
kemampuan untuk mengatur diri individu agar ia mampu
mempertahankan keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Agar terjadi ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan,
maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu,
bersama-sama dan komplementer.
Ekuilibrasi yang baik akan menata pengetahuan dengan baik dalam
diri individu. Sebaliknya jika ekuilibrasi seorang individu kurang baik,

8
maka ia kurang bisa menata pengetahuannya dengan baik dan
pemikirannya akan cenderung ruwet sehingga sangat dibutuhkan suatu
pendampingan khusus.
Contoh:
Sorang anak diberi soal menentukan sebuah sudut pada segitiga. Jika
sudut A = 70˚ dan sudut B = 70˚, maka berapakah besar sudut C pada
segitiga tersebut? dan apa jenis segitiga tersebut?
Nah, ekuilibrasi akan terjadi jika seorang anak mampu menjawab besar
sudut C = 180˚- (70˚+ 70˚) = 40˚ dan merupakan segitiga sama kaki,
melalui pengetahuan tentang karakteristik masing-masing jenis
segitiga yang sudah diperoleh anak pada tahap asimilasi dan
akomodasi. Hal ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara intelektual.

b. Tahap Perkembangan Kognitif menurut Piaget


Berikut ini adalah empat tahap perkembangan kognitif menurut Piaget :
1. Tahap sensorimotorik
Tahap sensorimotor terjadi pada usia antara 0-2 tahun, mulai pada
masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas motorik
dalam mengenal lingkungannya. Pada masa ini, bayi masih sangat
bergantung pada orang lain bahkan tidak berdaya, akan tetapi alat-alat
inderanya sudah dapat berfungsi. Intelegensi anak nampak dalam
bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam
tahapan ini, yang penting adalah tindakan-tindakan konkrit secara
perlahan-lahan melalui pengulangan dan pengalaman sehingga konsep
yang permanen lama kelamaan akan terbentuk. Periode ini ditandai
dengan perubahan cepat. Pada akhir tahapan ini, anak- anak telah
mencapai perkembangan kognitif yang memadai untuk berlanjut ke
karakteristik pikiran konseptual-simbolik dari tahapan pra-operasional
( Wadsworth, 1996).

9
2. Tahap pra-operasional
Tahap ini terjadi pada usia 2-7 tahun. Pada tahapan ini, anak-anak
sudah mampu membayangkan masa mendatang dan berpikir tentang
masa yang telah lewat meskipun presepsi mereka masih sangat
berorientasi pada masa sekarang. Anak-anak pada tahap pra-
operasional memperlihatkan ireversibilitas, yaitu ketika sesuatu telah
dilakukan, maka tidak dapat diubah kembali dengan kata lain, anak
belum bisa memutar arah berpikirnya misalnya dalam soal matematika
2+8 = 10 ,pikiran mereka hanya berhenti sampai menemukan jawaban
10, mereka belum bisa memperoleh 10 – 2 = 8. Mereka juga masih
kesulitan membedakan antara fantasi dan kenyataan. Tahapan ini
adalah periode perkembangan bahasa yang pesat. Karakteristik lain
pada tahapan ini adalah anak-anak lebih tidak egosenteris. Mereka
menyadari bahwa orang-orang lain mungkin berpikir dan merasakan
hal yang berbeda dengan yang mereka pikirkan dan rasakan.
Karakteristik lain dari tahap pra-oprasional yaitu cara berpikir yang
sangat memusat (centralized). Bila anak dihadapkan dengan situasi
yang multi dimentional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya
pada satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya contohnya ketika
anak sedang bermain boneka dan disaat yang bersamaan orangtuanya
berbicara, si anak akan fokus dengan bonekanya dan tidak terlalu
mendengarkan perkataan orangtuanya. Selain itu, cara berpikir anak
bukan induktif atau deduktif, tetapi kurang logis. Anak belum
mengenal lebih dalam mengenai hubungan sebab-akibat dari suatu
pengetahuan tersebut..
3. Tahap operasional konkrit
Tahap ini pada usia 7-11 tahun. Tahapan ini ditandai dengan
pertumbuhan kognitif yang luar biasa dan merupakan tahapan formatif
dalam pendidikan sekolah karena pada masa ini bahasa dan penugasan
keterampilan-keterampilan dasar anak bertambah cepat secara

10
dramatis. Anak-anak sudah mulai menunjukkan pemikiran abstrak
walaupun hanya melalui tindakan-tindakan. Anak-anak juga
memperlihatakan pikiran yang sudah tidak egosentris dan menjadi
semakin bersifat sosial. Pola berpikir yang tadinya irevesibilitas
menjadi reversibilitas yang diperoleh dengan klasifikasi dan
perangkaian konsep-konsep yang mendasar bagi penugasan dan
keterampilan matematika contohnya seperti pada contoh ireversibilitas
namun pada tahap ini anak sudah mampu memperoleh 10 – 2 = 8. Cara
berpikir juga tidak didominasi oleh presepsi, anak-anak menggunakan
pengalaman sebagai acuan dan tidak selalu bingung dengan apa yang
mereka pahami.
4. Tahap operasional formal
Tahap ini terjadi pada usia 11 tahun ke atas. Pikiran anak pada
tahapan initidak lagi terfokus pada hal-hal yang dapat dilihat.Anak-
anak mampu berpikir tentang situasi-situasi, hipotesis atau
pengandaian. Kapabilitas penalaran juga meningkat, mereka dapat
berpikir lebih dari satu dimensi dan karakter-karakter abstrak.
Perkembangan lain pada tahap ini ialah kemampuannya untuk berfikir
secara sistematis, dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan
secara teratur atau sistematis untuk memecahkan masalah.

c. Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran


Di sekolah Guru bertugas untuk menciptakan suatu keadaan atau
lingkungan belajar yang memadai, agar siswa dapat menemukan
pengalaman – pengalaman nyata dan terlibat langsung dengan alat dan
media. Guru sangat berperan penting untuk menciptakan situasi belajar
sesuai dengan teori Piaget. Dalam buku Psikologi Pembelajaran
Matematika yang di tulis oleh Zubaidar Amir dan Dr. Risnawati, ada
beberapa implikasi teori Piaget dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut :

11
1. Memfokuskan pada proses berpikir anak, tidak sekedar pada produknya.
Di samping itu dalam pengecekan kebenaran jawaban siswa, guru harus
memahami proses yang digunakan anak sampai pada jawaban tersebut
2. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak – anak yang penting sekali
dalam inisiati – diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
3. Penerimaan individu dalam kemajuan perkembangan. Bahwa seluruh
anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun
mereka memperolehnya pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu
guru harus melakukan upaya khusus untuk lebih menata kegiatan kelas
untuk individu dan kelompok kecil anak – anak daripada kelompok
klasikal. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas tidak
menyajikan pengetahuan melainkan anak didorong untuk menemukan
sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkunannya. Oleh
karena itu, guru di tuntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan
yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung.

Berdasarkan implikasi teori Piaget diatas, sudah jelas bahwa guru


harus mampu menciptakan keadaan siswa yang mampu untuk belajar
sendiri. Arinya, guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar
kepada siswa, tetapi guru dapat membangun siswa agar mampu belajar
dan terlibat aktif dalam pembelajaran. Bahasa dan cara berfikir anak
berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Guru itu
dalam mengajar menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana. Di
kelas anak-anak diberi kesempatan untuk saling berbicara dan berdiskusi
dengan teman-temannya.

B. Penerapan 4 tahap perkembangan kognitif teori belajar Piaget dalam


pembelajaran

12
1. Tahapan sensorimotorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini kemampuan matematika anak dapat dikembangkan. Pada
umur 0-2 tahun anak sering diperkenalkan dengan permainan. Dengan
permainan yang ada bisa dikembangkan menjadi mengenalan angka
terhadap anak. Penerapan tahapan sensorik dalam pembelajaran
matematika antara lain:
a. Anak diberikan permainan yang mengeluarkan suara mengenai
bilangan. Dengan seringnya anak menggunakan tersebut maka
semakin sering juga anak tersebut mendengarkan bilangan sehingga
anak bisa sedikit demi sedikit mengenal bilangan.
b. Orang tua membiasakan menyebutkan bilangan saat berbicara kepada
anak. Walaupun anak belum mengerti tetapi itu dapat membantu
pengenalan bilangan terhadap anak. Misalnya prang btua sering
menyebutkan “wah clara punya lima baju warna pink” “Clara punya
satu kaka perempuan dan dua kaka laki-laki”.
c. Orang tua menyuguhkan tontonan anak kecil mengenai nyanyian
hitung-hitungan sehingga anak dapat mengingat secara audio maupun
visual.
2. Tahapan persiapan operasional (2-7 tahun)
Anak sudah dapat menggunakan simbol atau tanda dalam
merepresentasikan benda pada umur 2 tahun. Penerapan tahapan
persiapan operasional pada umur 2-4 tahun pada pembelajaran
matematika adalah sebagai berikut:
a. Anak disuruh mengamati banyak bola yang terdiri dari dua warna
yang berbeda, lalu anak ditanya bola warna apa yang lebih banyak.
b. Anak diberikan dua kardus berbentuk balok lalu ditanya mana yang
lebih besar dari kedua kardus tersebut.
3. Tahapan Operasional Konkrit (7-12 Tahun)
Pembelajaran matematika dalam tahapan operasional konkrit contohnya
sebagai berikut

13
a. Anak diperintahkan untuk menghitung banyaknya pensil berikut ini
menggunakan penjumlahan

+ +

Diharapkan anak memahami bahwa jawabannya 2+2+2=6


b. Setelah anak dapat menyelesaiakan anak diperintahkan menjawab
soal yang sama tapi menggunakan perkalian. Diharapkan anak
menjawab 3 × 2=6
4. Tahap operasioanl formal (umur 12 tahun-dewasa)
Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir secara abstrak sehingga sudah
dapat diberikan atau dilakukanpembelajaran matematika pada umumnya
di SMP sampai jenjang yang lebih tinggi. Penerapan dalam pembelajaran
matematika adalah Penyelesaian mengenai volume balok menggunakan
soal cerita.

C. Teori Belajar Bruner


Jerome Seymour Bruner dilahirkan pada tanggal 1 oktober 1915 di New York
City. Orang tuanya merupakan imigrasi Polandia, Herman dan Rose
(Gluckmann). Ia merupakan lulusan dari Duke Univercity pada tahun 1937.
Kemudian Ia melanjutkan studinya dan lulus di Harvard Univercity pada
tahun 1947. Ia merupakan ahli pskologi yang mengembangkan psikologi
belajar kognitif da membri dorongan pentingnya pengembangan berpikir.
Bruner memberikan pandangannya tentang perkembangan kognitif
manusia, bagaiman manusia itu belajar, mendapatkan pengetahuan, dan
mentransformasi pengetahuannya. Ia juga menganggap bahwa manusia
sebagai pemproses, pemikir dan menciptakan informasi. Bruner mengatakan
belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk
menemukan hal-hal baru dalam informasi yang diberikan kepada dirinya.

14
1. Gambaran Umum teori Bruner
Jerome Buruner, seorang psikolog perkembangan, memformulasikan
sebuah teori pertumbungan kognitif. Alih-alih mengaitkan perubahan
dalam perkembangan dengan struktur kognotif seperti yang dilakukan
Piaget, Bruner justru menyoroti berbagai cara anak menampilkan
pengetahuan. Pandangan Bruner menampilkan sebuah fungsuinal terkait
dengan perkembangan manusia dan memiliki pengaruh penting bagi
pengajaran dan pembelajaran. Brunner menyatakan belajar merupakan
suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal
baru dibuat informasi yang diberika kepada dirinya. Teori Brunner tentang
kegiatan belajar manisia tidak terkait dengan umur atau tahap
perkembangan.
Menurut Bruner (1964), “Perkembangan fungsi intelektual manusia
dari bayi menuju kesempurnaan dibentuk oleh serangkaian perkembangan
teknologi dalam penggunaan pikiran” (hlm.1 ). Perkembangan teknologi
tergantung pada peningkatan fasilitas bahasa dan pemaparan pada
pengajaran sistematis (BRUNER, 1996). Saat anak-anak berkembang,
tindakan mereka tidak terlalu dibatasi oleh stimulus ;angsung. Proses
kognitif (misalnya pikiran dan keyakinan) mengaitkan hubungan antara
stimulus dan respon sehinggs siswa dapat menjaga respons yang sama
dalam lingkungan yang berubah atau lingkungan yang sama, terganting
pada apa yang dianggap adaptip. Orang-orang menampilkan pengetahuan
dalam tiga cara, yang muncul dalam urutan perkembangan: enactive,
iconic, symbolic (Bruner, 1964, Olver, & Greenfield, 1966). Menurut
Bruner, Teori pembelajaran merupakan teori preskriptif sedangkan teori
belajar merupakan teori deskriptif. Teori pembelajaran merupakan teori
preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan
metode pembelajaran yang optimal. Sedangkan teori belajar merupakan
teori deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan
proses belajar.

15
Dengan bantuan teori belajar matematika, pengajaran matematika
diarahkan agar siswa mampu secara sendiri menyelesaikan masalah-
masalah. Dalam teori belajar Bruner yang diberi judul “Teori
Perkembangan Belajar”, Bruner menekankan pada proses belajar
menggunakan metode mental, yaitu individu yang belajar mengalami
sendiri apa yang dipelajarinya agar proses tersebut dapat direkam dalam
pikirannya dengan caranya sendiri. Discovery learning dan Jerome
Bruner, merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan
pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip
konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar
sendiri secara mandiri. Siswa melakukan pembelajaran dengan
keterlibatan aktif menggunklan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam
memecahkan masalah, dan guru dapat mendampingin serta mendorong
siswa agar mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang
memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri sendiri.
2. Dalil-dalil (teorema) yang berkaitan dengan pembelajaran
matematika menurut Bruner dan Kenvey

 Dalil Penyusunan
Dalam dalil penyusunan siswa selalu mempunyai definisi, teorema,
konsep dan kemampuan matematis lainnya. Dengan begitu siswa
dapat mempelajari konsep dan prinsip dalam matematika dengan cara
menkonstruksi atau menyusun sendiri konsep dan prinsip yang
dipelajari.
 Dalil Notasi
Dalam dalil notasi, notasi matematika yang digunakan harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental anak (enaktif,
ikonik, dan simbolik)
 Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman (variasi)

16
Dalam dalil pengkotrasan dan keanekaragaman (variasi) suatu konsep
harus dikontraskan dengan konsep lain dan harus disajikan dengan
contoh-contoh yang bervariasi. Misalnya untuk memahami konsep
bilangan 2, siswa diberi kegiatan untuk membuat kelompok benda
yang beranggotakan 2. Selain itu juga diberi kegiatan untuk membuat
kelompok yang tidak beranggotakan 2. Bisa juga memilih kelompok-
kelompok mana yang merupakan kelompok 2 benda, dan kelompok-
kelompok mana yang bukan 2 benda.
 Dalil Pengaitan
Dalam dalil pengaitan suatu konsep matematika yang satu dan
matematika yang lain harus memiliki kaitan yang erat, baik dari segi
isi maupun dari segi penggunakaan rumus-rumus. Misalnya rumus
luas persegi panjang merupakan materi prasyarat untuk penemuan
rumus luas jajargenjang yang diturunkan dari rumus persegi panjang.

3. Tahap Perkembangan Belajar menurut Bruner


Dalam teorinya yang berjudul ” Teori Perkembangan Belajar ”, Bruner
menekankan pada proses belajar menggunakan metode mental, yaitu
individu yang belajar mengalami sendiri apa yang dipelajarinya agar
proses tersebut dapat direkam dalam pikirannya dengan cara sendiri.
Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan
memberikan kesempatan bagi siswa tersebut untuk melaksanakan
penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner menekankan
bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahap yaitu sebagai
berikut :
a. Tahap enaktif ( enactive ).
Dalam tahap ini anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (
mengotak – atik ) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin

17
mengenalkan konsep bilangan pecahan, kita dapat menggunakan
sebuah apel yang di bagi dua sama besar.
b. Tahap iconik ( iconic ).
Dalam tahap inikegiatan yang dilakukan anak sudah berhubungan
dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek / benda yang
dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti
yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan
pada sajian berupa grafik.

c. Tahap simbolik ( symbolic ).


Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi
atau simbol tanpa ketergantungan terhadap objek real.

4. Penerapan 3 Tahap perkembangan menurut Bruner dalam


pembelajaran matematika
Contoh penerapan teori Bruner menurut Zubaidah Amir dan
Risnawati (2016: 62), yaitu mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah.
a. Tahap enaktif
Pada tahap ini, peserta didik memepalajari dan memahami
konsep penjumlahan dua bilangan cacah menggunakan benda-benda
konkrit yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuannya agar peserta didik dapat terlibat aktif, belajar mandiri, dan
berpikir kritis. Misanya, soal menghitung penjumlahan yaitu 3 + 5.
Maka, agar peserta didiknya mudah memahami konsep penjumlahan
tersebut, guru dapat menggunakan benda sekitar Piaget sebanyak 3+5
melalui benda nyata seperti buku. Jadi, peserta didik diminta untuk
menggabungkan 3 buku dengan 5 buku lainnya dan kemudin
menghitung jumlah buku tersebut.
b. Tahap ikonik

18
Pada tahap ini, kegiatan belajar mengajar dilanjutkan dengan
menggunakan pembayangan visual (gambar atau diagram) yang
mewakili 3 buku dengan 5 buku yang digabungkan dan kemudian
dihitung. Jadi, peserta didik dapat berlatih secara perlahan-lahan untuk
mulai berpikir abstrak.
c. Tahap simbolik.
Pada tahap ini, peserta didik mulai berpikir abstrak, tidak lagi
menggunakan benda-benda konkrit dan pembayangan visual. Namun,
peserta didik mengerjakan soal penjumlahan tersebut menggunakan
lambang-lambang bilangan seperti, 3 + 5 = 8. Jadi, untuk menuju
tahapan ini sebaiknya guru mengulang kembali lambang-lambang
bilangan yang sudah dipelajari sebelumnya.
Contoh penerapan teori Bruner dalam pembelajaran matematika
SMP dalam mengajarkan siswa mengenai definisi himpunan.
a. Tahap enaktif
Pada tahap ini, peserta didik memepalajari dan memahami
definisi himunan dengan menggunakan benda-benda konkrit yang
sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya, guru
mengajak atau menyuruh siswa untuk mengelompokkan beberapa
benda-benda yang sejenis. Misalnya, mengelompokkan pulpen bertinta
hitam, biru, dan lainnya. Lalu siswa diminta untuk menyebutkan nama
kelompok dari benda-benda yang mereka kumpulkan.
b. Tahap ikonik
Pada tahap ini, kegiatan belajar mengajar dilanjutkan dengan
menggunakan pembayangan visual (gambar atau diagram). Pada tahap
ini guru menggambarkan di papan tulis pulpen yang bertinta hitam
dengan spidol warna hitam, dan pulpen dengan tinta berwarna biru
dengan menggunakan spidol warna biru. Lalu siswa diminta untuk
menyebutkan nama kelompok dari benda-benda yang digambarkan
tersebut.

19
c. Tahap simbolik.
Pada tahap ini, peserta didik mulai berpikir abstrak, tidak lagi
menggunakan benda-benda konkrit dan pembayangan visual. Jadi,
guru akan memberikan arahan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
siswa dalam mengelompokkan benda-benda yang sejenis tersebut
merupakan kegiatan membentuk suatu kelompok atau himpunan. Jadi,
guru akan menyimpulkan bahwa himpunan adalah kumpulan benda-
benda tertentu yang menjadi satu kesatuan karena memiliki suatu
kesamaan.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Dalam teori Piaget, ada 4 tahap perkembangan kognitif yang diurutkan
berdasarkan usia yaitu tahap sensorimotorik, pra-operasional, operasional
konkrit, dan operasional formal. Setiap tahap memiliki karakteristik
masing-masing.
2. Penerapan pembelajaran matematika pada teori Piaget menyesuaikan
karakteristik kognitif anak pada tahapan yang sesuai usiannya melaui
permainan, menggunakan simbol, dan juga soal cerita.
3. Dalam teori Bruner, ada 4 tahap perkembangan kognitif yang diurutkan
berdasarkan usia yaitu tahap sensorimotorik, pra-operasional, operasional
konkrit, dan operasional formal. Setiap tahap memiliki karakteristik
masing-masing.
4. Penerapan pembelajaran matematika pada teori Bruner sejalan dengan
teori konstruktivisme dan menyesuaikan karakteristik kognitif anak pada
tahapan yang sesuai usiannya. Pembelajaran lebih mrnggunakan objek
nyata seperti alat peraga untuk mempermudah anak dalam memahami
materi.

B. Saran
Makalah ini merupakan makalah yang ditulis menurut sudut pandang
mahasiswa tentang teori belajar Piaget dan Bruner yang memerlukan diskusi
lebih lanjut mengenai materi ini. Oleh karena itu, diperlukan saran dari dosen
dan mahasiswa lain mengenai penyempurnaan makalah secara menyeluruh
dan terperinci, serta tanggapan yang membangun dalam penyempurnaan
makalah. Selain itu, sangat disarankan bagi pembaca untuk menggali
informasi lebih lanjut mengenai teori-teori belajar untuk menambah wawasan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anak, A. K. (1995). Psikologi Perkembangan. Bandung: Mandar Maju.

Wati, W. (2010). Makalah Strategi Pembelajaran Teori Belajar dan Pembelajaran.


Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang.

Schunk, Dale.H.2012. Learning Theories an Edicational Perspektive. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar

Sumantri, M. (2014). Perkembangan peserta didik. In: Pertumbuhan dan


Perkembangan Anak. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-52.

Hawa, S. 2008. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD,. Jakarta : Dirjen Dikti


Depdiknas.

Amir, Zubaidah dan Risnawati. 2016. Psikologi Pembelajaran Matematika.


Yogyakarta : Aswaja Pressindo

22
PERTANYAAN

1. Daystera Jeskris Lawalata (171414060) dan Berlinda Taroreh (171414069)


 Pada tahap operasional konkret (7-12 tahun) pada perkembangan kognitif,
bagaimana jika pada umur segitu anak cenderung pemalu?
Jawab :
Untuk anak yang cenderung pemalu, dapat disiasati dengan belajar kelompok,
di dalam kelompok pasti anak yang pemalu menjadi mau berbicara dengan
temannya dalam satu kelompok. Selain itu, juga anak tersebut bisa diminta
untuk maju mengerjakan soal didepan, membaca puisi, bernyanyi maupun
aktivitas lain yang dilakukan di depan kelas dan disaksikan teman-teman
sekelasnya. Dengan demikian, sifat pemalunya dapat berangsur-angsur
menghilang dan anak juga dapat berproses dengan baik.
 Jelaskan apa yang dimaksud irreversibilitas pada tahap persiapan operasional
dan reversibilitas pada tahap operasional konkret?
Jawab :
Ireversibilitas artinya tidak mampu membalik arah berpikir ke konsep awal
contohnya : Pada tahap pra operasional jika anak dihadapkan pada soal
matematika 2+3=5. Anak hanya berhenti sampai memperoleh jawaban 5.
Anak belum bisa membalik arah berpikir 3 = 5 – 2. Sebaliknya pada tahap
operasional konkret, anak sudah memperlihatkan ireversibilitas dan bisa
membalik arah berpikirnya sehingga memperoleh 3 = 5 – 2.

2. Lia Dewi Asterina (171414059) dan Winarko (1514140)


 Sebutkan apa saja kelebihan dari teori piaget?
Jawab :
Kelebihan dari teori Piaget sebagai berikut :
a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri melalui pengalamannya secara
langsung.
b. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.

23
c. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah
(problem solving) yang dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
 Sebutkan apa saja kekurangan dari teori piaget?
Jawab :
Kekurangan dari teori Piaget sebagai berikut :
a. Teori belajar ini sulit diterapkan kepada anak yang berkebutuhan khusus.
Jadi, perkembangan atau tahapan kognitif dalam teori ini difokuskan atau
disesuaikan terhadap perkembangan kognitif pada anak atau individu yang
normal.
b. Bimbingan guru dan pendidik sangat dibutuhkan khususnya pada tahapan
anak-anak menuju remaja (0-12 tahun) dalam menanggapi struktur
kognitif yang baru dibentuk seorang anak .

3. Dewi Isabella Palma (171414044)


 Jelaskan apa yang dimaksud karakteristik sentralistik dan tidak
multidimensional pada tahap persiapan operasional?
Jawab :
Yang dimaksudkan dengan karakteristik sentralistik dan tidak
multidimensional pada tahap persiapan operasional yaitu karakteristik siswa
pada tahapan itu dalam berpikir hanya bisa fokus pada suatu hal yang menjadi
daya tariknya. Artinya anak belum bisa berpikir berbagai hal dalam waktu
bersamaan. Misalnya, seorang guru mengajar materi penjumlahan kepada
siswa SD kelas I, ketika mengajar guru mengenakan baju yang warnanya
mencolok dan di lengkapi dengan aksesoris yang terlihat heboh. Maka siswa
akan cenderung lebih memperhatikan penampilan si guru dibandingkan materi
yang di sampaikan oleh guru tersebut. Jadi anak akan berpikir hanya pada satu
dimensi yang menarik perhatiannya.

4. Lily Maria Martubongs (171414064) dan Donata Agustin (171414049)

24
 Bagaimana cara mengaplikasikan teori belajar Bruner dalam pembelajaran
matematika SD?
Jawab :
a. Tahap enaktif
Pada tahap ini, peserta didik memepalajari dan memahami konsep
penjumlahan dua bilangan cacah menggunakan benda-benda konkrit yang
sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misanya, soal menghitung
penjumlahan yaitu 3 + 5. Maka, agar peserta didiknya mudah memahami
konsep penjumlahan tersebut, guru dapat menggunakan benda sekitar
Piaget sebanyak 3+5 melalui benda nyata seperti buku. Jadi, peserta didik
diminta untuk menggabungkan 3 buku dengan 5 buku lainnya dan
kemudin menghitung jumlah buku tersebut.
b. Tahap ikonik
Pada tahap ini, kegiatan belajar mengajar dilanjutkan dengan
menggunakan pembayangan visual (gambar atau diagram) yang mewakili
3 buku dengan 5 buku yang digabungkan dan kemudian dihitung. Jadi,
peserta didik dapat berlatih secara perlahan-lahan untuk mulai berpikir
abstrak.
c. Tahap simbolik
Pada tahap ini, peserta didik mulai berpikir abstrak, tidak lagi
menggunakan benda-benda konkrit dan pembayangan visual. Namun,
peserta didik mengerjakan soal penjumlahan tersebut menggunakan
lambang-lambang bilangan seperti, 3 + 5 = 8. Jadi, untuk menuju tahapan
ini sebaiknya guru mengulang kembali lambang-lambang bilangan yang
sudah dipelajari sebelumnya.
 Bagaimana cara menjelaskan mengenai luas bangun datar persegi panjang
kepada siswa dengan menggunakan teori belajar Bruner?
Jawab :
a. Tahap enaktif

25
Pada tahap ini, peserta didik memepalajari dan memahami konsep luas
persegi panjang menggunakan benda-benda konkrit yang sering kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misanya, menggunakan sebuah buku
yang berbentuk persegi panjang. Jadi, setiap peserta didik diminta untuk
mengukur panjang dan lebar bukunya masing-masing menggunakan
penggaris. Setelah itu anak diminta untuk mengukur ukuran atau besar
permukaan buku dengan mengalikan panjang dan lebar buku yang sudah
ia dapatkan sebelumnya.
b. Tahap ikonik
Pada tahap ini, kegiatan belajar mengajar dilanjutkan dengan
menggunakan pembayangan visual (gambar atau diagram) yang mewakili
ukuran buku tersebut dan kemudian dihitung. Jadi, peserta didik dapat
berlatih secara perlahan-lahan untuk mulai berpikir abstrak.
c. Tahap simbolik
Pada tahap ini, peserta didik mulai berpikir abstrak, tidak lagi
menggunakan benda-benda konkrit dan pembayangan visual. Namun,
peserta didik mengerjakan soal penjumlahan tersebut menggunakan
lambang-lambang atau simbol. Jadi dalam mengukur luas persegi panjang
anak tidak lagi mengukurnya secara langsung atau menggunakan gambar,
namun bisa menghitung luas persegi panjang menggunakan simbol p dan
ℓ saja yang menyatakan panjang dan lebar, sehingga tanpa gambar dan
pengukuran langsung anak akan paham bahwa luas persegi panjang yaitu
L = p x ℓ.

5. Novly Prinando (171414056), Veronika Nervi P. (171414052), dan Georgia


Deputi A. (171414040)
 Bagaimana cara menerapkan teori belajar piaget pada anak berkebutuhan
khusus (ABK), misalnya pada anak tunagrahita?
Jawab :

26
Menurut kami teori belajar Piaget belum bisa di terapkan pada anak yang
berkebutuhan khusus, karena tahapan dari teori Piaget ini hanya
diperuntukkan bagi anak yang normal.

6. Guna Sudarma (151414070)


 Apakah tahapan-tahapan menurut Piaget tersebut harus diterapkan secara
runtut/urut? kalau diharuskan runtut/urut, bagaimana tahapan perkembangan
untuk anak yang terlahir secara cacat (apakah secara urut atau melompat-
lompat)?
Jawab :
Secara umum teori belajar Piaget susah diterapkan untuk orang yang tidak
normal. Tapi bukan berarti semua orang cacat tidak bisa menerimanya. Cacat
fisik ringan, seperti tidak memiliki jari kaki itu masih bisa mengikuti tahap-
tahap perkembangan secara urut. Tetapi cacat berat seperti Tunarungu dan
yang lainnya itu mungkin susah untuk diterapkannya teori belajar dari Piaget.
 Adakah tahap perkembangan yang menjadi permasalahan terhambatnya
perkembangan anak yang terlahir cacat tersebut??
Jawab :
Jika anak tersebut tidak mengikuti tahap belajar dari Piaget itu tidak akan
menghambat perkembangannya jika ada tahap perkembangan yang lain yang
memungkinkan diterapkan pada anak yang berkekurangan tersebut.

27

Anda mungkin juga menyukai