Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dipandang dari sudut linguistik, manusia tidak lahir bebas. Ia mewarisi
suatu bahasa yang penuh dengan ungkapan-ungkapan pelik, kata-kata kuno
dan tata bahasa yang membosankan; bahkan lebih penting lagi, ia mewarisi
cara-cara mapan tertentu dalam berbicara yang mungkin membelenggu
pikiran-pikirannya. Dan hal ini tentunya ada kaitannya atau berhubungan
dengan antara bahasa dan budaya.
Berbicara mengenai bahasa dan budaya. Ada pelbagai teori mengenai
hubungan bahasa dan budaya, ada yang mengatakan bahasa itu bagian dari

budaya, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan budaya adalah
dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang erat sehingga tidak
dapat dipisahkan. Ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang ada dalam budaya akan
tercermin di dalam bahasa. Ada juga yang mengatakan sebaliknya, yaitu
budaya sangat dipengaruhi oleh bahasa, bahkan bahasa juga mempengaruhi
cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Bahasa?


2. Apa itu Budaya
3. Bagaimana Hubungan antara Bahasa dan Budaya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Bahasa
2. Untuk mengetahui apa itu Budaya
3. Untuk mengenai Hubungan antara Bahasa dan Budaya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa
1. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Arab adalah al-lughoh
al-lughoh.. Dalam Mu’jam at-
Takrifat, memiliki makna ‫ضه‬ ‫غر‬ ‫ر بها كل قوم عن‬‫ي‬
‫ا ي‬, yaitu alat yang
digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan apa yang diinginkan
manusia. Kata bahasa dalam bahasa Indonesa memiliki lebih dari satu
makna atau pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Untuk lebih
jelasnya coba perhatikan dalam kalimat-kalimat di bawah ini.
1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang.

2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan bianatang tidak.


3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu
4. Dalam kasus itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai bahasa
yang sama.
5. Pertikaian itu tidak bisa diselesaikan dengan bahasa militer.
6. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata daripada dan
akhiran ken.
Kata bahasa pada kalimat (1) jelas menunjuk pada bahasa tertentu.
Jadi, menurut persitilahan de Saussure adalah sebuah langue
langue.. Pada kalimat

(2) menunjuk pada bahasa pada umumnya; jadi, suatu langage langage.. Pada
kalimat (3) kata bahasa berarti sopan santun. Pada kalimat (4) kata bahasa
berarti kebijaksanaan dalam bertindak. Pada kalimat (5) bahasa berarti
‘dengan cara’. Pada kalimat (6) kata bahasa berarti ujarannya yang sama
dengan parole
parole.. Dari keterangan di atas bisa disimpulkan hanya pada
kalimat (1) (2) (6) saja kata bahasa itu digunakan secara harfiah,
sedangkan pada kalimat lain digunakan secara kias.
Pengertian atau definisi bahasa juga bisa kita dapat dari hakikat atau
penjabaran ciri dan sifat dari bahasa itu sendiri. Jika di ja
jabarkan,
barkan, salah satu

sifat atau ciri dari bahasa antara lain:

2
1. Bahasa itu sebuah sistem
2. Bahasa itu berwujud lambang
3. Bahasa itu berupa bunyi atau suara

4. Bahasa itu bersifat arbiter (acak)


5. Bahasa itu mempunyai makna di dalamnya
6. Bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial dan berkomunikasi
Jika disimpulkan dari penjabaran diatas. Bahasa dapat diartikan
sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, yang digunakan
sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi dengan sekitarnya.
2. Fungsi-Fungs
Fungsi-Fungsii Bahasa
Secara umum, fungsi bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik
secara lisan maupun komunikasi tulis. Namun, lebih khusus fungsi bahasa

dapat digolongkan dalam beberapa bagian, antara lain, bahasa mempunyai


fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan, fungsi perorangan, dan fungsi
pendidikan (Nababan, 1991: 38). Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki
fungsi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Fungsi informasi
Fungsi ini untuk menyampaikan informasi timbal-balik
antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat. Berita,
pengumuman, petunjuk pernyataan lisan ataupun tulisan melalui media
massa ataupun elektronik merupakan wujud fungsi bahasa sebagai

fungsi informasi.
b. Fungsi ekspresi diri
Fungsi ini untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau
tekanan-tekanan perasaan pembicara. Bahasa sebagai alat
mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan
eksistensi (keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi dan
untuk menarik perhatian orang.
c. Fungsi adaptasi dan integrasi
Fungsi ini untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan

anggota masyarakat. Melalui bahasa seorang anggota masyarakat

3
sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup,
perilaku dan etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan diri dengan
semua ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa.

Kalau seorang mudah beradaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya


maka dengan mudah pula ia akan membaurkan diri (integrasi) dengan
kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan bahasa manusia dapat saling bertukar pengalaman dan
menjadi bagian dari pengalaman itu. Mereka memanfaatkan
pengalaman itu untuk kehidupannya. Dengan demikian mereka saling
terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya. Bahasa menjadi
alat integrasi (pembauran) bagi tiap manusia dengan masyarakatnya.
d. Fungsi kontrol sosial

Fungsi ini bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan


pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan
den gan baik, maka semua
s emua
kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Sebagai contoh
pendapat seorang tokoh masyarakat akan didengar dan ditanggapi
dengan tepat bila ia dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dan
persuasif. Kegagalannya dalam menggunakan bahasa akan
menghambat pula usahanya dalam mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain. Dengan bahasa seseorang dapat mengembangkan
kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih berkualitas.

Setiap bahasa memiliki fungsi khusus. Bahasa Indonesia sebagai


bahasa nasional mempunyai fungsi khusus yang sesuai dengan
kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
a. Alat untuk menjalankan administrasi negara.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat untuk menjalankan
administrasi negara terlihat dalam surat-surat resmi, surat keputusan,
peraturan dan perundang-undangan,
perundang-undangan, pidato dan pertemuan resmi.
b. Alat pemersatu berbagai suku
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu berbagai suku

yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda.

4
c. Wadah penampung kebudayaan.
Semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan harus diajarkan dan
diperdalam dengan mempergunakan bahasa Indonesia sebagai

medianya. Ragam bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang


wacana. Dengan dasar ini ragam bahasa dapat dibedakan atas; a)
ragam ilmiah yaitu bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah,
ceramah, tulisan-tulisan ilmiah; b) ragam populer yaitu bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tulisan populer.
Ragam bahasa dapat digolongkan menurut sarana dibagi atas
ragam lisan dan ragam tulisan. Makna ragam lisan diperjelas dengan
intonasi yaitu, tekanan, nada, tempo suara dan perhentian. Sedangkan
penggunaan ragam
ra gam tulisan dipengaruhi oleh bentuk, pola kalimat, dan

tanda baca. Ragam bahasa dari sudut pendidikan dapat dibagi atas
bahasa baku dan bahasa tidak baku. Ragam baku menggunakan kaidah
bahasa yang lebih lengkap dibandingkan dengan ragam tidak baku.
Ciri ragam bahasa baku adalah a) memiliki sifat kemantapan dinamis
artinya konsisten dengan kaidah dan aturan yang tetap, b) memiliki
sifat kecendekiaan, 3) bahasa baku dapat mengungkapkan penalaran
atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahasa berperan penting
dalam segala aspek kehidupan. la dapat membantu manusia dalam

menjalankan tugasnya. Era globalisasi yang telah datang pada awal 2003
membawa berbagai pembaharuan dalam dunia budaya dan teknologi.
Masalahnya adalah dapatkah bahasa Indonesia tetap diakui keberadaannya
di tanah airnya sendiri. Agar tetap eksis tentu saja banyak tantangannya
karena bahasa Asing dalam aspek tertentu lebih diterima oleh masyarakat
daripada bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa yang kalah cepat dengan
perkembangan teknologi industri dan ilmu pengetahuan telah
memunculkan masalah baru. Masalah ini adalah Bagaimana Bahasa
Indonesia dapat berperan maksimal sebagai sarana komunikasi dalam era

globalisasi.

5
Secara tradisional ada tiga fungsi bahasa yang seharusnya terpisah tapi
pada kenyataannya agak tumpang tindih, ada banyak kemiripan pada
fungsi bahasa ini tetapi ada juga beberapa perbedaannya, dan perbedaan

itu terletak pada macam informasi yang disampaikan oleh tiap fungsi
bahasa itu.
a. Fungsi kognitif yaitu fungsi bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan
gagasan, konsep, dan pemikiran. Fungsi ini sejalan dengan fungsi
bahasa secara umum sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan
ide atau gagasan.
b. Fungsi Evaluatif yaitu fungsi bahasa untuk menyalurkan atau
mengantarkan sikap serta nilai-nilai dalam komunikasi.
c. Fungsi Afektif yaitu fungsi yang mengalihkan emosi serta perasaan

dalam komunikasi.
Penggunaan bahasa pada lingkungan ilmu pengetahuan membagi
fungsi-fungsi kebahasaan sesuai dengan kegunaannya, pada ilmu
Linguistik dan ilmu Filsafat cenderung memfokuskan diri pada fungsi
kognitif, ilmu Sosiologi dan Psikologi Sosial lebih cenderung pada fungsi
evaluatif sedang pada ilmu Psikologi dan Kritik Sastra cenderung
memfokuskan diri pada fungsi afektif dari bahasa tersebut.
t ersebut.

B. Budaya

1. Pengertian Budaya
Muhammad Afifudin Dimyathi memberikan pengertian budaya dalam
bukunya; Pengertian budaya menurut para ahli sosiolog dan ilmu
antropologi dan para ilmuwan pendidikan adalah segala sesuatu yang
dibuat atau diciptakan oleh akal manusia, dan awalya manusia hidup
dengannya. Hal ini mencangkup diantaranya bahasa, agama, adat
istiadat, tradisi, fashion (gaya berpakaian), dan gaya arsitektur dan
transportasi. Dalam bukunya, Afifudin juga mengutip pengertian budaya
menurut Robert. Budaya adalah kumpulan dari segala sesuatu yang

6
dibuat berdasarkan apa yang kita pikirkan, atau apa yang kita lakukan
atau apa yang kita miliki sebagai anggota masyarakat.
Tylor juga memberikan definisi budaya. Menurutnya budaya adalah

suatu keseluruhan rumit yang mencangkup bidang-bidang pengetahuan,


kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat, serta kebiasaan dan
kemampuan lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota
masyarakat. Kalau kita membuka buku-buku antropologi dan buku-buku
tentang kebudayaan, maka akan menemukan definisi yang berbeda-beda.
Perbedaan ini terjadi karena biasanya penyusun melihat budaya itu dari
aspek yang berbeda. Kroeber dan Kluckhom telah mengumpulkan puluhan
definisi dari budaya dan mengelompokkannya menjadi enam golongan
menurut sifat definisi itu. Yaitu definisidiskriptif,
definisidiskriptif definisi yang

menekankan pada unsur-unsur kebudayaan. Definisi historis,


historis,definisi
definisi yang
menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
Definisi normatif, definisi yang menekankan hakikat kebudayaaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku. Definisi psikologis
psikologis,, definisi yang
menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada
lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup. Definisi struktural,
definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang
berpola dan teratur.
te ratur. Definisi genetik, definisi yang menekankan terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Tanpa melihat bagaimana rumusan definisi-definisi yang


dikumpulkan satu persatu itu sudah dapat diketahui dari pengelompokan
itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua aspek dan segi kehidupan
manusia. Lalu, kalau dilihat dari definisi genetik, maka bisa dikatakan apa
saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan akibatnya adalah termasuk
dalam konsep kebudayaan. Ini memang berbeda dengan konsep
kebudayaan yang tercangkup dan diurus oleh Direktorat Jendral
Kebudayaan yang ada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sebab
yang diurus oleh Direktorat tadi hanyalah yang berkaitan dengan kesenian,

7
dan tidak mengurusi pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti bidang
ekonomi, teknologi, hukum dan lain-lain.
Koentjaraningrat mengungkapkan, bahwa kebudayaan hanya dimiliki

oleh manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat


manusia. Untuk menjelaskannya, Koentjaraningrat menggunakan sesuatu
yang disebut “kerangka kebudayaan” yang memiliki dua aspek, yaitu
wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Dalam hal ini wujud kebudayaan
dapat dijelaskan adanya a) wujud gagasan; sistem budaya yang bersifat
abstrak; b) perilaku; sistem sosial yang bersifat konkrit; dan c) fisik atau
benda, kebudayaan fisik bersifat sangat konkrit. Lebih jauh dijelaskan
Koentjaraningrat, bahwa isi kebudayaan terdiri atas tujuh unsur yang
bersifat universal, maksudnya ketujuh unsur tersebut terdapat dalam setiap
set iap

masyarakat kebudayaan manusia yang ada di dunia. Ketujuh unsur itu


adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau
ekonomi, organisasi sosisal, sistem pengetahuan, sistem religi, dan
kesenian.
2. Unsur Unsur Kebudayaan
a. Sistem kepercayaan
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup,
komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan
mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto,

2007), yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan


dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap
perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi
seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.
Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi
maupun pengalaman sosial.
Sifat-sifat nilai menurut Daroeso (dalam Kalangie, 1994) adalah
sebagai berikut.

8
1) Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia.
Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat
diamati hanyalah objek yang bernilai.

2) Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan,


cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal.
Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia
dalam bertindak.
3) Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah
pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh
nilai yang diyakininya.
b. Sistem pengetahuan
Pengetahuan merupakan hal yang mendasar dalam unsur

kebudayaan. Pengetahuan dianggap penting karena dengan


pengetahuan, seseorang dapat mengetahui kebudayaannya sendiri
maupun orang lain. Adanya pengetahuan dalam seorang individu dapat
memicu timbulnya ide-ide yang baru dan kreatif sehingga budaya
tersebut dapat dipertahankan.
c. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
Teknologi dan peralatan kesehatan adalah sarana prasarana yang
diperlukan untuk tindakan pelayanan, meliputi: ketersedian,
keterjangkauan dan kualitas alat. Keterjangkauan meliputi: 1)

keterjangkauan fisik, keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat


pelayanan lebih mudah menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat
sasaran; 2) keterjangkauan ekonomi, keterjangkauan ekonomi ini
dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya
untuk memperoleh pelayanan menjadi bagian penting bagi klien; 3)
keterjangkauan psikososial, keterjangkauan psikososial ini
dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan partisipasi masyarakat
secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider, pengambil
kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat; 4) keterjangkauan

pengetahuan, keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar

9
masyarakat mengetahui tentang kebutuhannya. Dengan budaya yang
berkembang, sehingga timbulnya peralatan-peralatan baru yang bisa
digunakan sebagai pelengkap dan juga sebagai keindahan tersendiri.

d. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.


Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia
sebagai homo economicus yang mejadikan kehidupan manusia terus
meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia
sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi
kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak
yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang serakah.
Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis
pekerjaan dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002). Terlahir karena

manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan
selalu ingin lebih sehingga budaya dimanfaatkan untuk hal tersebut.
e. Sistem kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan merupakan sistem yang muncul karena
kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang
paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan
masing-masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi
dan bersatu. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang
meliputi: kekerabatan, organisasi politik, norma atau hukum,

perkawinan, kenegaraan, kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistim


organisasi adalah bagian kebudayaan yang berisikan semua yang telah
dipelajari yang memungkinkan bagi manusia mengkoordinasikan
perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan orang
lain (Syani, 1995).
f. Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat
tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan

menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya

10
atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri
dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan
sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk

masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi


menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
g. Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan
sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga
lahirlah kesenian yang dapat memuaskan hati setiap orang. Kesenian
mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia

menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana


hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi:
seni patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal,
musik/seni suara, bangunan, kesusastraan, dan drama
(Koentrajaningrat, 2002).

C. Hubungan antara Bahasa dan Budaya


Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan.
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif,

suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada


pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) malah
menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang melekat pada
manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia
di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai sarana. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) juga mempersoalkan
bagaimana hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan, apakah bersifat

subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana

11
yang menjadi main sistem (sistem atasan) dan mana pula yang menjadi
subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa
kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya

merupakan subsistem.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada
dua hal yaitu hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar
siam, dua buah fenomena yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan
sisi yang lain pada sekeping uang logam (Silzer dalam Crista, 2012: 1). Jadi,
pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua
fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat
dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik
dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat

controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis
Sapir dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir
dan Whorf, adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta
dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi
nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial
dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan
bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan

cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari
bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan
ja lan pikiran yang berbeda
pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut
bersumber dari perbedaan bahasa. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan
jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan
tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa
Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu,
misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan
terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur

karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena

12
dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu,
seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah
sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.

Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan


oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan
terlihat kenyataan secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab
tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-Whorf ini diterima,
maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu
pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh
Masinsmbouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau
menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa
tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang dinyatakan

oleh hipotesis Sapir-Whorf.


Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa
membuat pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa
bahasa sangat berperan dalam menentukan jalan pikiran manusia, bahkan
bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan landasan, telah
menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep
tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita
mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk
konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan Whorf. Akan tetapi,

penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali hipotesis


tersebut. Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama,
karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan
yang sejauh itu. Kedua, diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan
beberapa kesalahan teknis dalam kajian. Silzer (1990) menyatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua
anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem
bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang
tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya.

Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa lainnya, yang tidak mengenal

13
kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata yaitu rice,
untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada
kosakata untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya

Indonesia ada karena ada budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia
mempunyai kata yang berbeda untuk keempat konsep itu.
Masyarakat Inggris tentunya mengerti akan adanya perbedaan
konsep beras, padi, gabah, dannasi itu: tetapi mereka tidak merasa perlu, atau
belum merasa perlu untuk saat ini, untuk menciptakan istilah baru untuk
keempat konsep itu. Contoh lain mengenai adanya hubungan antara bahasa
dan budaya dapat juga kita lihat dari peribahasa atau pepatah Melayu.
Katanya, peribahasa atau pepatah Melayu ini mencerminkan sifat, sikap, dan
keadaan bangsa Melayu (pada waktu dulu). Umpamanya, peribahasa, Di mana

bumi dipijak di situ langit dijunjungmengungkapkan


dijunjungmengungkapkan bahwa orang Melayu
selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau situasi dimana dia
berkunjung. Pepatah yang mengatakan, Lain ladang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya menunjukkan bahwa orang Melayu sangat memahami bahwa
setiap daerah atau bangsa mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang
berbeda.
Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa
Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya,
adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada

sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka


meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin,
enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam
perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Mereka
menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang secara alami,
yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita
adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa

Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai

14
dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat bahwa
bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua,
bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus

belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang
harus dipelajari dari orang lain.
Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau
menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang
asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa, karena ingin selalu
menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa asing dan
menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi menghargai orang
asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintahan pun bertuliskan kata-
kata welcome bukan selamat datang; pintu-pintu di atas

bertuliskan in atau exit, dan bukan masuk atau keluar; dan di pintu yang
daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan petunjuk push dan pull, dan
bukannya dorong dan tarik. Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku
peril aku
berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa.
Ujaran-ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu atau Dia punya dua mobil
sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai
dengan kaidah yang ada. Harusnya berbunyi, Kemauannya tidak
demikian, dan Dia mempunyai dua buah mobil.
Sikap tidak mau bertanggung jawab menurut Koentjaraningrat (1992)

tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau memerhatikan penalaran


bahasa yang benar. Kalimat seperti Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan
karena sudah lama tidak naik, sering kita dengar. Kalau mau menalar dan
bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak
naik, mungkin, misalnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya-biaya
yang harus dikeluarkan. Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa, artinya,
dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi kalimat itu. Sifat latah atau
ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan
orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pemimpin) yang sebenarnya secara

gramatikal tidak benar. Umpamanya karena adanya gerakan yang

15
bersemboyankan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat maka diikuti ucapan itu. Padahal secara semantik dan gramatikal
ungkapan, memasyarakatkan olahraga memang benar, yakni berarti

menjadikan olah raga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat; tetapi


ungkapan, mengolahragakan masyarakat,tidak benar, sebab ungkapan itu
berarti masyarakat itu jadi olah raga. Kalau yang dimaksud adalah menjadikan
masyarakat itu berolah raga, maka bentuknya haruslah, memperolahragakan
masyarakat. Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh
Koentjaraningrat (1990) di atas, ternyata yang memengaruhi perilaku
berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan
sikap yang dimiliki oleh penutur. Untuk lebih memahami adanya hubungan
budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama,

sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut.
Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya
dengan mengatakan Bajumu bagus sekali!, atau Wah rumah saudara besar
sekali, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak
merendah, misalnya dengan mengatakan Ah, ini cuma baju murah
kok dan Yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!. Akan tetapi kalau
itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata
kat a Terima
kasih!. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat
mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini

atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki
maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia,
informasi-informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan
secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat,
tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan
alat komunikasi verbal.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan antara bahasa dan budaya sangatlah erat dan tidak dapat
dipisahkan. Bahasa bisa dikatakan bagian dari budaya sebagaimana seperti
kesimpulan dari Kroeber dan Kluckhom menegenai pengertian budaya, dan
sebagaimana paparan dari Koentjoroningrat dan Nababan. Hubungan lain
antara bahasa adalah bahwa bahasa dapat mempengaruhi budaya sebagaimana
paparan hipotesis Edward-Whorf. Dan sebaliknya, yaitu budayalah yang
mempengaruhi bahasa seperti paparan dari Silzer yang didukung banyak
kalangan.

Oleh karenanya bahasa dan budaya ini saling berhubungan erat dan saling
mempengaruhi satu sama lain, dan tentunya sangat sulit untuk dipisahkan.
Bahasa yang baik, akan membentuk budaya yang baik, dan budaya yang baik
akan tercermin dari bahasa baik.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat saya sampaiakan kurang lebihnya mohon di
maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan, jika ada
kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan saya ke

depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita
semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani, Ali Muhammad. 1413. Mu’jam at-Takrifat. Dubai:Dar al-Fadhilah

Aslinda. Leni Syafyahya. 2014. Pengatar Sosiolinguistik. Bandung:Refika


Aditama

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum.


Umum. Jakarta:Rineka Cipta

Chaer, Abdul. Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.


Jakarta:PT Rineka Cipta

Dimyathi, Muhammad Afifudin. 2016. Madkhol Ila Ilm al-Lughoh al-Ijtima’i.


Malang:Lisan Arobi

18
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini


Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah
memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik
baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, September 2017

Penyusun

i
19
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ............................................


..................................................................
...............................
......... i
DAFTAR ISI ............................................
..................................................................
............................................
........................
.. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................
........................................................................................
........................... 1
B. Rumusan Masalah.........................................................
...................................................................................
.......................... 1
C. Tujuan .....................................................................................................
..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Bahasa .............................................
...................................................................
............................................
........................
.. 2

B. Budaya ............................................
..................................................................
............................................
........................
.. 6
C. Hubungan antara Bahasa dan Budaya .........................................
...........................................
.. 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................................
............................................................................................. 17
B. Saran ......................................................................................................
...................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

ii

20
MAKALAH
KEBUDAYAAN INDONESIA
“Hubungan Bahasa dan Budaya”

Disusun Oleh :
Dwi
Witri Sunarti
Aziz Trio Al-Kautsar
Olva

Dosen Pengampu:
Meddyari Heriadi, M.Pd

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU

2017

21

Anda mungkin juga menyukai