Anda di halaman 1dari 39

Menganalis Sosiologi Sastra dalam Novel Atheis

Karya Achdiat Karta Miharja

MAKALAH ILMIAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa

Fiksi yang diampu Oleh Dr. Agus Hamdani, M.Pd

disusun oleh:

Nuri Yulhani Alviah

18213014

2B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL,BAHASA DAN SASTRA

INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA

GARUT

2019
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan sosial yang terkandung

dalam Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja, yang meliputi: (1) Konteks sosial

pengarang yang tercermin dalam Novel Atheis (2) Gambaran masyarakat yang tercermin

dalam Novel Atheis dan (4) Sosiologi Karya (masalah social) yang terdapat dalam novel

Atheis.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitataif, dengan menggunakan pendekatan

sosiologi sastra. Data yang diperoleh peneliti berasal dari novel Atheis karya Achdiat

Karta Miharja. Data obyektif diperoleh dari novel Atheis sedangkan Validitas data

diperoleh melalui triangulasi teori, yaitu melakukan penelitian topik yang sama

kemudian peneliti mengumpulkan beberapa dokumen atau teori yang berkaitan dengan

objek penelitian. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis Interaktif yang

meliputi: reduksi data, penyajian data,dan penarikan kesimpulan.Simpulan penelitian ini

adalah (1) Konteks sosial pengarang yang tercermin dalam Novel Atheis (2) Gambaran

masyarakat yang tercermin dalam Novel Atheis dan (4) Sosiologi Karya (masalah social)

yang terdapat dalam novel Atheis .

I
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pada zaman modern sekarang ini kedudukan sastra semakin meningkat

dan semakin penting. Sastra tidak hanya memberikan kenikmatan dan

kepuasan batin, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral kepada

masyarakat atas realitas sosial. Karya sastra tercipta dalam kurun waktu tertentu

dapat terjadi penggerak tentang keadaan dan situasi yang terjadi pada masa

penciptaan karya sastra itu, baik sosial budaya, agama, politik, ekonomi, dan

pendidikan, selain itu karya sastra dapat digunakan sebagai dokumen sosial

budaya yang menangkap realita dari masa tertentu, akan tetapi bukan menjadi

keharusan bahwa karya sastra yang tercipta merupakan pencerminan situasi

kondisi pada saat karya sastra ditulis. Salah satu bentuk “susastra” sebagai

penuangan ide kreatif pengarang adalah novel. Karya sastra sebagai potret

kehidupan bermasyarakat merupakan suatu karya sastra yang dapat dinikmati,

dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin pengarang

berupa peristiwa atau problem dunia yang menarik sehingga muncul gagasan

imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan

menyumbangkan tata nilai figur dan tatanan tuntutan masyarakat, hal ini

merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat, walaupun

karya sastra tersebut berupa fiksi, namun pada kenyataannya, sastra juga mampu

memberikan manfaat yang berupa nilai-nilai moral bagi pembacanya. Sastra

selalu menampilkan gambaran hidup dan kehidupan itu sendiri, yang merupakan

1
2

kenyataan sosial. Dalam hal ini, kehidupan tersebut akan mencakup hubungan

antarmasyarakat dengan orang seororag antarmanusia, manusia dengan

TuhanNya, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Sastra merupakan ekspresi masyarakat, oleh sebab itu kemunculan

suatu karya sastra erat hubungannya dengan persoalan-persoalan yang muncul

pada saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan sosial memang

berpengaruh kuat terwujud sastra. Dengan kata lain karya sastra tersebut

adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan

masyarakat. Di dalam era globalisasi ini, peran sastra sangat berarti. Mengenai

hal ini Nani Tutoli (dalam Hasan Alwi dan Dendi Sugono, 2002: 235)

mengemukakan sastra dapat berperan dalam: (1) mendorong dan menumbuhkan

nilai-nilai positif manusia,seperti suka menolong, berbuat baik, beriman dan

bertakwa; (2) memberi pesan kepada pembaca, khususnya pemimpin, agar

dapat berbuat sesuai dengan harapan masyarakat, mencintai keadilan,

kebenaran, dan kejujuran; (3) mengajak orang untuk bekerja keras

demikepentingan dirinya dan kepentingan dirinya, dan ; (4) merangsang

munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat.

Manusia pada dasarnya memiliki problem, kekosongan jiwa, dan ketidak

sehatan mental. Dalam hal ini, karya sastra dapat berperan untuk membentuk

sebagai alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca

kepada kenyataan dan menolongnya untuk mengambil keputusan bila

mengalami masalah. Selain itu dewasa ini banyak masyarakat jauh dari sifat-

sifat kemanusiaan, lupa terhadap kewajiban hidupnya, bersikap masa bodoh

terhadap permasalahan yang terjadi di sekelilingnya. Dalam hal ini melalui

karya sastra (novel) diharapkan dapat digunakan untuk menyadarkan


3

masyarakat (pembaca) untuk kembali pada fitrahnya, pada jalan yang benar.Sastra

merupakan ekspresi masyarakat, oleh sebab itu kemunculan suatu karya sastra

erat hubungannya dengan persoalan-persoalan yang muncul pada saat itu. Hal ini

menunjukkan bahwa persoalan sosial memang berpengaruh kuat terhadap

wujud sastra. Dengan kata lain karya sastra tersebut adalah pantulan hubungan

seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Di dalam era globalisasi

ini, peran sastra sangat berarti. Mengenai hal ini Nani Tutoli (dalam Hasan

Alwi dan Dendi Sugono, 2002: 235) mengemukakan sastra dapat berperan dalam:

(1) mendorong dan menumbuhkan nilai-nilai positif manusia,seperti suka

menolong, berbuat baik, beriman dan bertakwa; (2) memberi pesan kepada

pembaca, khususnya pemimpin, agar dapat berbuat sesuai dengan harapan

masyarakat, mencintai keadilan, kebenaran, dan kejujuran; (3) mengajak orang

untuk bekerja keras demikepentingan dirinya dan kepentingan dirinya, dan ; (4)

merangsang munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat. Perjalanan

hidup di zaman dan tempat di dunia ini, sastra dan masyarakat adalah dua hal yang

keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Sastra akan selalu berhubungan dengan

suatu lapisan masyarakat tertentu dengan sosial budaya tertentu karena itu

karya sastra sering bernafaskan nilai-nilai yang berlaku pada waktu dan tempat-

tempat tertentu.

Lewat novel pilihan yang berjudul Atheis mengajak kepada pembaca

untuk masuk ke dalam ruang imajinasi yang bisa tak terbatas. Novel ini terasa

sebagai fenomena sosial yang telah bersenggama dengan pengalaman tokoh –

tokoh yang terurai secara rinci. Dari judulnya saja, kita akan mampu menafsirkan

bahwa novel ini erat kaitannya dengan keimanan, namun pada dasarnya tidak

menguraikan secara mutlak mengenai keimanan. Tetapi ketidak konsistenan


4

seorang tokoh hasan pada imannya karena keadaan sosial yang membentuk

keimanan seorang tokoh hasan.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana konteks sosial pengarang yang tercermin dalam Novel Atheis Karya

Achdiat Karta Miharja

2. Bagaimanakah gambaran masyarakat yang tercermin dalam Novel Atheis Achdiat

Karta Miharja

3. Bagaimanakah permasalahan social (sosiologi karya) dalam Novel Novel Atheis

karya Achdiat Karta Miharja

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas maka tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan:

1. Konteks sosial pengarang yang tercermin dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta

Miharja

2. Gambaran masyarakat yang tercermin dalam Novel Atheis Achdiat Karta Miharja

3. Permasalahan Sosial (sosiologi karya) dalam Novel Novel Atheis karya Achdiat

Karta Miharja
BAB II

Kajian Pustaka

2.1 Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari suatu anggapan bahwa sastra adalah

ungkapan perasaan masyarakat, yang juga berarti bahwa sastra mencerminkan dan

mengekspresikan kehidupan (Wellek dan Werren, 1990: 110). Dengan demikian

pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan sastra yang mempertimbangkan

segi-segi sosial dan kemasyarakatan yang tercermin dalam karya sastra. Pendekatan

sosiologi bermaksud menjelaskan bahwa karya sastra (novel) pada hakikatnya

merupakan sebuah fakta sosial yang tidak hanya mencerminkan realitas sosial

yang terjadi di masyarakat tempat karya itu dilahirkan, melainkan juga merupakan

tanggapan pengarang terhadap realitas sosial tersebut.

Pendekatan sosiologi ditentukan oleh peningkatan minat yang kita lihat dari

kondisi spiritual dan mental yang menciptakan situasi sosial tertentu. Kesusatraan

tidak dapat dipisahkan dari tren ini, meskipun demikian seseorang harus

mengikutsertakan ke dalam bidang sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan

utama dan gaya penyusunan. Ini disebabkan oleh beberapa alasan, yang paling

utama adalah terbentuknya pendekatan historis dan kritis terhadap kesusastraan

selama abad ke-19.

Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk

mengkaji novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja. Pendekatan sosiologi sastra

merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra

dalam hubungannya dalam realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan

tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat
6

lepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan

oleh Sapardi Djoko Damono (dalam Wiyatmi, 2005: 97), salah seorang ilmuwan

yang mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra

tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra,

dan masyarakat.

Sosiologi sastra oleh Wellek dan Warren (dalam Wiyatmi, 2005: 98)

diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu : sosiologi pengarang, sosiologi karya dan

sosiologi pembaca.

1) sosiologi pengarang yaitu pendekatan yang menelaah mengenai latar belakang

sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari

berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra,

2) sosiologi karya yaitu pendekatan yang menelaah isi karya satra,tujuan, serta hal-

hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan

masalah sosial,

3) sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra yaitu pendekatan yang

menelaah mengenai sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial,

perubahan dan perkembangan sosial.

2.2 Konteks Sosial Pengarang

Sosiologi pengarang yaitu pendekatan yang menelaah mengenai latar belakang

sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai

kegiatan pengarang di luar karya sastra (Walek dan Warren). Konteks sosial sastrawan

ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya

dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor

sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama

diteliti adalah (1) bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian, apakah ia


7

menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja

rangkap, (2) profesionalisme dalam kepengaranga, sejauh mana sastrawan

menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (3) masyarakat yang dituju oleh

sastrawan, dalam hal ini kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting

sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk

dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).

2.3 Sastra dalam masyarakat

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi

pengaruh terhadap masyarakat. Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat,

tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang

didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari

sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial,

seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.

Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut

menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu

dengan permasalahan tertentu pula.Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra

yang paling peka terhadap cerminan masyarakat.

Menurut Johnson (dikutip Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu

gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel

sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang

dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan

terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel

adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi

sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.

Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru
8

bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa

yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang

diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui

penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak

diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (dikutip Ratna, 2003: 63), karya seni

sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada

mempengaruhinya.

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra

adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah

hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan

masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam

kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya

sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

2.4 Sosiologi Karya

Sosiologi karya yaitu pendekatan yang menelaah isi karya satra,tujuan, serta hal-

hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah

social. Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan

atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau

menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga sosial tersebut, sehingga

menyebabkan kepincangan sosial (Soerjono Soekanto, 1990: 40). Menurut Soerjono

Soekanto (Dalam Organisasi Orang Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia

2008,1,www.Organisasi.org.htm) jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada

dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan

kelompok atau masyarakat. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang

mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada.


Bab III

Metode Penelitian

Pada bagian ini dijelaskan metode yang digunakan peneliti dalam melakukan

penelitian. Metode penelitian yang dimaksud, yaitu jenis penelitian, sumber data,

metodedan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan teknik analisis

data. Berikut penjelasan mengenai metode dalam penelitian ini

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul Analisis Sosiologi Karya Sastra terhadap Novel Suti

Karangan Sapardi Djoko Damono Atheis karangan Achdiat Karta Miharja ini termasuk

penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian dengan data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan demikian,

laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran

penyajian laporan tersebut (Moleong, 2006: 11).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,

motivasi, tindakan, dll., secara holistik (utuh), dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006: 6).

Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu penelaahan dokumen

karya sastra. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama,

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apalagi berhadapan dengan kenyataan

jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara

peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan

diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang

dihadapi (Moleong, 2006: 9-10).

9
10

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian yang berjudul

Analisis Sosiologi Karya Sastra terhadap Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja

adalah penelitian deskritif kualitatif. Hal ini berkaitan data-data yang dikumpulkan

berupa kata-kata yang diambil dari novel Atheis karangan Achdiat Karta Miharja. Pada

aspek kualitatif, penelitian ini bermaksud memahami fonemena yang terjadi dalam

novel Atheis karangan Achdiat Karta Miharja. Maka dari itu, penelitian ini termasuk

dalam penelitian deskriptif kualitatif.

3.2 Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Judul buku : Athei

Pengarang : Achdiat Karta Miharja

Tebal Buku : 309 halaman

Tahun Terbit : 1990

Penerbit : Balai Pustaka

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Analisis Sosiologi Karya

Sastra terhadap Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja adalah teknik pustaka

dengan menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku

dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong,

2006: 159). Langkah awal yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu

menyimak dan mencatat. Dalam penelitian ini peneliti menyimak langsung teks sastra

yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Menyimak bertujuan untuk mencatat hal-

hal yang dianggap sesuai dan mendukung peneliti dalam pemecahan rumusan masalah.

Mencatat merupakan tindak lanjut dari teknik simak, hasil pengumpulan data yang

diperoleh yaitu berupa hasil kajian atau analisis struktural dengan menggunakan
11

pendekatan sosiologi sastra. Sumber tertulis penelitian ini yaitu novel Suti karya

Sapardi Djoko Damono.

3.4 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa semua pengetahuan mengenai teori

sosiologi karya sastra untuk menganalisis interaksi sosial antartokoh yang terdapat

dalam novel Atheis karangan Achdiat Karta Miharja. Dengan demikian melalui

instrumen tersebut aspek-aspek yang akan diteliti menjadi lebih mudah untuk

dipahami.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam suatu

pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data (Moleong, 1989: 112).

Analisis yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Analisis Instrinsik dan

Sosiologi Karya Sastra terhadap Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja adalah

analisis deskripsi. Langkah pertama dalam analisis ini adalah menganalisis dan

mendiskripsikan kehidupan sosial tokoh yang terdapat dalam novel.


Bab IV

Hasil dan Pembahasan

4.1 Konteks Sosial Pengarang

Riwayat Hidup

Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932

tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari

mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang

terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater

Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Tahun

1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan

Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr.

Ratulangi).

Achdiat Karta Miharja dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang

feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa

Barat. Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag,

juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan

Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh

minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor

pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang

Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948

kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.

Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili

PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne,

Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman

Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas

12
13

dari Dep. PP&K untuk mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk

penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension courses'. Kesempatan ini

digunakan juga untuk mempelajari seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama

setahun memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney University dalam

rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta

Raya dan memberi kuliah pada FS-UI tentang Kesusastraan Indonesia Modern. Tahun

1961 menjabat sebagai Lektor Kepala padavAustralian National University di

Canberra, mengajar sastra Indonesia Modern dan bahasa Sunda. Sampai sekarang ia

masih tinggal di Australia. Roman Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari

tangan Achdiat K. Mihardja. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kita yang terus

berubah menjadi tema sentral roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih

relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih 30 tahun dan telah mengalami cetakan

yang ketujuh.

4.1.1 Adanya Suatu Kesamaan Tempat Tinggal Pengarang dan Tokoh “Hasan”

“Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah pergunungan

Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau

pohon-pohon jeruk Garut, yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan

hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung itu

terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah besar kecil. Yang kecil yang jauh

lebih besar jumlahnya dari yang besar, adalah kepunyaan buruh-buruh tani

yang miskin, dan yang besar ialah milik petani-petani "kaya" (artinya yang

mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektare) yang di samping bertani,

bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk dan hasil bumi lainnya. Di

antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar dari batu itu, ada lagi

beberapa rumah yang dibikin dari "setengah batu", artinya lantainya dari
14

tegel tapi dindingnya hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu,

sedang ke atasnya dari dinding bambu biasa. Rumah-rumah demikian itu

yang jumlahnya lebih banyak daripada rumah-rumah batu, adalah

kepunyaan penduduk yang "santana", artinya yang mempunyai tanah barang

sehektare dua hektare. Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal

orang tuaku, Raden Wiradikarta.(hal 16)”

Ada keterkaitan yang significant sekali antara pengarang dengan tokoh

utama dalam novel. Salah satunya adalah tempat tinggal Hasan yang berada

di kampong panyeredan dan tempat asal pengarang yaitu dari Cibatu Garut,

Jawa Barat. Latar belakang tempat tinggal pengarang rasanya seprti menjadi

tolok ukur dalam membuat novel ini. Latar yang diambil dalam novel ini

seolah menjadi gambaran nyata pengarang yang ikut mengkhidmati tempat

tinggalnya itu sendiri. Selain itu juga ada gambaran masyarakat yang memang

pada dasarnya tercermin suatu kesederhaan nilai-nilai budaya yang masih

melekat erat.

4.1.2 Acdiat Dibesarkan Dalam Keluarga Menak yang Feodal Ada Kesamaan Pula

dengan Tokoh “Hasan” Dalam Novel

“Jangan Nak, jangan engkau berangan-angan hendak kawin dengan

seorang keturunan "raden" atau "menak". Ingatlah Bustom, seorang

wedana yang kemudian dilepas itu. Bibimu bukan saja dihina oleh seluruh

famili wedana itu tapi juga sesudah kekayaannya habis dihisap oleh

simenak itu, ia dibuang begitu saja." ( hal 61)

Tapi alangkah malangnya bagi kami, karena orang tuanya sama sekali

tidak setuju dengan percintaan kami itu. Memang orang tuaku pun (kalau

mereka tahu, tapi aku belum berani bilang apa-apa kepada mereka) tentu
15

tak akan menyetujuinya. Pendek kata, percintaan kami pada akhirnya

menjadi korban daripada pertentangan antara dua kias, kias feodal dan

kias burjuis. (Begitulah menurut istilah Rusli, ketika tadi kuceritakan hal

riwayat itu kepadanya). (hal 61)

Jika latar belakang pengarang bukanlah seorang keturunan menak

tidaklah ia dapat memberikan penggambaran yang sangat sempurna

mengenai kehidupan menak yang sebenarnya pada saat itu. Inilah bukti

bahwa karya sastra tidak semata-mata berdiri tanpa kekosongan budaya

didalamnya. Ada sumbangan pengalaman pengarang yang memang

tergambar jelas dan kompleks sekali di dalam novel ini. Dalam novel ini

kita mengetahui bahwa kehidupan menak yang feodal pada saat itu benar-

benar berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahkan saat ini jarang

kita menemukan suatu kehidupan yang sekompleks dan sejenis sama

dengan kehidupan menak dulu.

4.1.3 Idiologi Pengarang

Achdiat pernah mendalami agama tarekat (mistik) Dari Kiyai

Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag,

serta mempelajari filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada

Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Selain itu Achdiat

merupakan organisator Partai sosialis Indonesia dan putra dari seorang

pejabat Jabar. Dalam beberapa bagian dalam novel, menjabarkan hal

berkenaan dengan system pemerintahan di Indonesia di masa itu. Sehingga

dapat kita simpulkan bahwa filsafat dan tarekat yang dipelajarinya serta

pengalamannya di partai sosialis membuat dia bergelut dengan pemikiran

agama serta dari mana asal mula tuhan.


16

Sebagai seorang yang tidak hanya berkerabat dengan orang

pribumi, pergaulannya di kancah international ini menggiring dirinya

untuk memperluas pola pikir terhadap wujud tuhan yang menjadi tanda

Tanya besar kerabat Baratnya yang tak bertuhan. Dalam beberapa

karyanya Kita Bisa menjumpai seperti Novel Atheis dan manifesto

khalifatulloh novel Atheis.

Empat tahun Rusli hidup di Singapura. Dan selama empat tahun itu ia

banyak belajar tentang soal-soal politik. Bukan hanya dengan jalan

banyak membaca buku-buku politik saja, akan tetapi juga banyak bergaul

dengan orang-orang pergerakan internasional. sekali dijalankan di suatu

kota "internasional" seperti Singapura. Macam-macam aliran dan stelsel,

serta ideologiideologi politik dipelajarinya dengan sungguh-sungguh,

terutama sekali ideologi Maccism (hal 41)

Dan kalau dulu aku suka memberi uang kepada fakir miskin, apalagi kalau

hari Jumat pulang dari mesjid, maka sekarang aku tidak merasa segan-

segan lagi mengusir orang-orang minta-minta. Sebab, bukankah kata

Mara, bahwa menolong orang-orang miskin itu reaksioner, karena

dengan perbuatan demikian itu kata Marx, kita memperlambat jatuhnya

kapitalisme? Memperlambat, sebab kita menahan-nahan mendalamnya

dan meluasnya kebencian orang terhadap susunan masyarakat sekarang

yang harus dirombak menjadi masyarakat sosialis untuk kemudian

meningkat lagi ke masyarakat komunis yang "serba sempurna" itu. (hal

168-169)

Kecintaan politik tokoh Rusli, kemudian pemikiran para pembasmi

kapitalis yang ingin mengganti dengan sosialis sedikitnya disumbangkan


17

pula oleh pemikiran pengarang yang pada saat itu menjadi organisator

partai sosialis indonesia. Kita juga mengetahui bahwa keadaan indonesia

di dalam novel itu tidak sedang baik-baik saja, harum penjajah masih

semerbak sekali mewangi pada tiap-tiap gambaran dalam novel Atheis.

Dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya melalui novel Atheis

pengarang ingin mencoba mengkritisi penyimpangan akidah yang banyak

terjadi pada masyarakat indonesia pada saat itu. Di samping perjuangan

mewujudkan kemerdekaan indonesia, bangsa kita mulai terdoktrin oleh

paham sosialis liberal bahkan komunis. Hal itu mengharuskan bangsa

Indonesia berpikir serba rasional dan menafikan seluruh hal yang bercorak

tradisi dan kolot termasuk adanya tuhan dan kehidupan setelah mati.

4.2 Keadaan masyarakat yang tercermin dalam novel Atheis

Ketika Kita membaca secara runtut, kondisi masyarakat pada saat itu sedang

berada di puncak kesengsaraan akibat penjajahan jepang yang amat kejam pada bangsa

indonesia. Dan pada saat itulah paham-paham asing dengan mudah mempengaruhi

seluruh tatanan masyarakat indonesia. Rasa benci terhadap imperalis dan kapitalis

mengharuskan mereka untuk mengobarkan semangat berjuang menuju sosialis yang

radikal dengan dalih Sama Rasa Sama jiwa sehingga bermuara pada komunisme.

Ditinjau dari sosial budaya pada hakikatnya novel Atheis menyuguhkan dua macam

anggota masyarakat yang memiliki latar belakang lingkungan hidup yang bertolak

belakang, yaitu kelompok masyarakat panyeredan yang tertutup terhadap budaya lain

dan kelompok masyarakat Bandung yang cenderung terbuka terhadap budaya asing.

4.2.1 Kelompok masyarakat panyenderan tertutup terhadap budaya lain

4.2.1.1 Adanya Suatu Nilai Religious yang Melekat Di Dalam Lingkungan

Masyarakat Kampong Panyenderan


18

Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku sudah mulai

diajari mengaji dan sembahyang.Sebelum tidur, ibuku sudah biasa

menyuruh aku menghafal ayat-ayat atau surat-surat dari Alquran.

Sahadat, selawat dan kulhu, begitu juga fatehah aku sudah hafal dari masa

itu. Juga nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi. (hal 21)

Mereka berguru kepada seorang Kiai di Banten untuk menjadi mistikus. “

Sebulan kemudian ayahnya memecahkan celengannya dan dengan uang

yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke Bnaten bersama-sama ibu.”

(hal 19)

Kehidupan keluarga dan lingkungan tempat tinggal Hasan telah

mewarnai pendidikan yang diterimanya. Dari kecil saat Hasan berumur

lima tahun, ia disuguhkan dengan pendidkan agama yang fanatik. Ajaran

agama yang fanatic ini justru merugikan dirinya sendiri. Pendidikan

Agama yang kuat menjadikan Hasan sebagai orang yang sempit

pengetahuan dan pengalaman hidup. Tingkah laku Hasanpun tertuju ke

arah tercapainya kebutuhan hidup di alam baka, seperti pengakuan Hasan.

Dulu tak ada paduka kegiatan untuk mencari kemajuan di lapangan hidup

di dunia yang fana ini. Segala langkah hidupku ditujukan semata-mata ke

arah hidup di dunia yang baka, di alam akhirat. (hal 129)

Demikian jelaslah, bahwa keadaan masyarakat yang kehidupan

keluarga Raden Wiradikarta, khususnya Hasan, yaitu kehidupan sosial

budaya religius. Sebagai aggota kelompok masyarakat tertutup dengan

latar belakang sosial budaya seperti itu, ternyata Hasan (keluarga Raden

Wiradikarta) tidak mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan arus

modernisasi sehingga dengan mudah melepaskan keimanan yang sudah


19

sejak lama bernaung di dalam raganya.

4.2.1.2 Masyarakat Panyeredan Kental Akan Tradisi

Dan sebagai biasa, maka sebelum kenduri, diadakan dulu pembacaan

riwayat Syech Abdul Kadir Jaelani dari kitab "Manakib". Dan sebagai

biasa pula, yang membacanya itu (sebetulnya menyanyikannya, sebab

riwayat itu dibaca sambil dinyanyikan dalam sajak Dandanggula dan

sebagainya), ialah pamanku, Mang Saca. (hal 30)

Dalam kutipan tersebut terlihatlah bahwa lingkungan tempat

tinggal Hasan menyuguhkan berbagai situasi bercorak tradisi yang kental

sekali. Tradisi memuliakan niat Hasan yan ingin mendalami ilmu tarekat

sehingga harus menggadakan kenduri untuk Syekh Abdul Kadir Zaelani.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk meminta berkat terhadap niat mulia

yang akan dilakukan Hasan. Selain itu juga, kepercayaan bahwa kenduri

ini akan membawa hasan terhadap kelancaran serta keselamatan ketika

menjalankan niatnya. Kemudaian kita telaah kembali ada tradisi

menyanyikan sajak dadanggula, dan memang puisi lama sunda pada saat

itu masih melekat dipakai di lingkungan masyarakat Garut.

4.2.1.3 Perjodohan yang didasarkan atas status sosial

Mengapa pula mereka itu menyuruh aku kawin dengan Fatimah?

Memang aku tahu, bahwa gadis itu sebenarnya hanya seorang saudara

sepupu bagiku, bukan seorang adiksekandung. Tapi oleh karena dia itu

dari kecil bersama-sama hidup dengan aku, maka sudah tak terasa lagi

olehku, bahwa dia itu bukan adik sekandungku. Tak mungkin rasanya

akubisa kawin dengan dia. Dulu orang tuaku itu pernah juga mendesak-

desakkan seorang gadis, anak seorang menak. (hal 210)


20

Dalam novel ini kita akan menemukan sebuah perjodohan yang

didasarkan pada latar belakang social dan ekonomi. Calon pasangan

diharapkan harus sesuai dengan latar belakang keluarga pasangan yang

akan ia nikahi, misalnya jika seseorang itu keturunan menak maka

pasangannyapun harus sama. Kita juga dapat melihat awal mula konflik

kisah cinta Hasan yang berlanjut hingga pada pernikahannya. Sebelum

Hasan membangun mahligai rumah tangga dengan Kartini, ia harus

merasakan sakitnya cinta yang tak sampai dengan Rukmini. Kisah cinta

tersebut tidak mampu terwujud karena Rukmini bukan keturunan menak.

Keluarga Raden beranggapan bahwa menikah dengan latar belakang sama

(seorang menak) ini penting agar pasangan kelak dapat memperhitungkan

kehidupan ekonominya secara tepat. Setelah pernikahan juga diharapkan

tak muncul rasa kecewa dikemudian hari yang bisa menjadi bahan

munculnya permasalahan dalam rumah tangga. Keturunan menak ketika

menikah dengan warga biasa justru tidak akan menghadirkan kedamaian

dan ketentraman dalam berumah tangga. Contohnya dalam kutipan berikut

ini:

Jangan Nak, jangan engkau berangan-angan hendak kawin

dengan seorang keturunan "raden" atau "menak". Ingatlah Bustom,

seorang wedana yang kemudian dilepas itu. Bibimu bukan saja dihina oleh

seluruh famili wedana itu tapi juga sesudah kekayaannya habis dihisap

oleh simenak itu, ia dibuang begitu saja." (hal 61)

4.2.1.4 Bentuk Menghormati Orang yang Kedudukannya Lebih Tinggi

Mendengar keterangan dari Anwar itu, Ayah segeralah mengubah

sikapnya terhadap Anwar. Seolah-olah baginya Anwar itu dengan tiba-


21

tiba sudah menjadi seorang manusia lain.

"Maaf saja Aom, *) bapa kira...."

"Ah kenapa tiba-tiba bilang Aom? (sela Anwar memotongkalimat ayah).

Saya tidak mau disebut Aom. Saya benci kepada sebutan feodal itu! Saya

bukan Aom!" (hal 177)

tentu seorang "menak" atau orang yang berpangkat. Karena itulah mereka

itu menjadi hormat.

"Saya kira......bukan juragan....."

Aku memburu, sambil bertanya, "Siapa kamu?" "Kami ronda, juragan."

"Ah jangan bilang juragan!" sela Anwar. "Bung saja! Saya

Bung Anwar, dan ini Bung Hasan, anak Pak Wiradikarta."

"O Den Hasan ini! Aduh raden, maaf saja raden! Bapak tidak (hal 186)

Dalam dua kutipan tersebut kita dapat memahami bahwa tingkah

laku atau kebiasaan masyarakat tempat tinggal Hasan mengindikasikan

bahwa menghormati orang-orang yang yang berpangkat lebih tinggi

adalah suatu Hal yang konservatif. Mereka meyakini bahwa kebiasaan

feodal adalah suatu implementasi dari nilai-nilai religious yang ia dapatkan

dari ilmu agama dilingkungannya. Tidak cukup hanya dengan tuturan kata

yang sopan tapi sering juga dilakukan dengan menggunakan body

language sebagai bentuk penghormatannya. Seperti dalam kutipan berikut

ini:

"Terima kasih, Raden! Terima kasih! sambil menganggukngangguk

dan membungkuk-bungkuk. "Tak usah bungkuk-bungkuk!" kata Anwar.

"Biasa saja! (kepadaku). Memangnya kita ini le Roi soleil?! Raja

matahari?!" (hal 188)


22

4.2.2 Keadaan Masyarakat Di Bandung yang Cenderung Terbuka Terhadap Arus

Modernisasi

Di kota inilah Hasan bergulat dengan berbagai pemikiran baru, tarik-

menarik dengan pemikiran lamanya yang kolot.

Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut kalau-

kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke jalan pelacuran.

Maklumlah kota Bandung. (hal 29)

Dalam satu kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dahulu kota

Bandung memberikan kesan negative dengan berbagai perspektif. Dalam hal

ini ada beberapa prespektif yang akan dijabarkan sebagai landasan dari kutipan

tersebut.

4.2.2.1 Latar Belakang Kehidupan Kartini

Awal kemunculan tokoh Kartini adalah saat tokoh utama Hasan

mulai menaruh ketertarikan pada Kartini. Ia tertarik sebab Kartini mirip

sekali dengan kekasih tak sampainya dulu yaitu Rukmini. Benih-benih

cinta mulai ia rasakan saat perjumpaan pertama dengan Rusli dan Kartini,

menurut pengakuan Rusli, Kartini adalah adiknya.

Setelah perjumpaan pertama itu, Hasan semakin ingin mengulik

kehidupan Kartini yang sebenarnya. Jika berdasarkan penjelasan Rusli,

Kartini adalah adiknya tapi sangat bertolak belakang sekali dengan

kenyataan yang sebenarnya dahulu. Ketika mereka sama-sama

bersekolah di Hollands Inlandse School tidak pernah tersiar kabar bahwa

Rusli memiliki adik. Hasanpun memutuskan untuk mengunjungi

kediaman Rusli, berniat untuk bersilaturhami dengan kerabat yang agak

karib. Tapi nyatanya ia benar-benar ingin mengulik kehidupan Kartini.


23

Jatuhnya itu semata-mata dilantarankan oleh sesuatu stelsel yang

buruk, yaitu stelsel kapitalisme. Jadi bukan karena memang dasar

budinya jahat. Sekali-kali tidak. Itulah maka Kartini sekarang telah

menjadi seorang wanita pejuang yang insyaf dan sadar untuk menentang

stelsel itu. Ia mulai politik. Ya bung, pengalamannya yang pahit itulah

telah membikin dia menjadi seorang Srikandi yang berideologi tegas dan

radikal. Mungkin dalam mata orang-orang yang kolot dan(hal 47)

Alangkah malangnya bagi Kartini, karena ia sebagai seorang

gadis remaja yang masih suka berplesiran dan belajar dalam suasana

bebas, sesudah kawin dengan Arab tua itu (notabene sebagai istri nomor

empat) seakan-akan dijebloskan ke dalam penjara, karena harus hidup

secara wanita Arab dalam kurungan. (hal 46)

Dan tidaklah mengherankan pula agaknya, kalau ia yang sudah

mengicip-icip pelajaran dan didikan modern sedikit-dikit, kemudian

setelah ia lepas dari "penjara Timur kolot" itu segera menempuh cara

hidup yang kebarat-baratan (hal 46)

Berdasarkan penjabaran dari Rusli, Kartini merupakan seorang

perempuan yang telah di kawin paksa, kebengisan kapitalisme agaknya

telah mengerabik kehidupan utuh seorang perempuan pribumi.

Perkawinannya itu telah membuat dia berubah menjadi perempuan

modern yang tidak lagi mencintai pandangan tradisi. Semenjak itu, Kartini

mulai menginterpretasi perkembangan politik Indonesia dan juga sebuah

Ideologi dengan tidak lagi konservatif. Kartini mulai bergaul dengan orang

yang memiliki kecintaan terhadap politik, untuk menjunjung dirinya agar

tidak lagi ditindas oleh stelsel kapitalisme. Salah satunya Rusli, jika Rusli
24

mengakui bahwa Kartini adalah adiknya, memang benar tapi adik tak seibu

dan sebapa. Hubungannya dengan Rusli adalah hubungan sebuah kerabat

yang mulai terikat karena rasa persaudaraannya. Sebagai seorang yang

menentang keras stelsel kapitalisme, dan melihat perempuan yang menjadi

korban kapitalisme telah mendorong hati Rusli untuk senantiasa menjaga

Kartini. Ketertarikan Kartini terhadap politik juga menjadi salah satu hal

yang dikagumi Hasan, seperti dalam kutipan berikut ini:

Perempuan istimewa dia, pikirku. Tidak banyak perempuan yang

tertarik oleh soal-soal macam begitu, oleh soal-soalpolitik. Dan mengapa

ia berani berjalan malam-malam sendirian? Keheran-anku itu kunyatakan

juga kepadanya. (hal 108)

Kedekatan Rusli dengan Kartini membuat Hasan tidak begitu

menyukainya. Terlepas dari pengakuan kakak-adik tapi Hasan merasa

bahwa mereka bukan kakak-adik pada umumnya. Sampai pada satu waktu

Hasan bertanya langsung pada diri Kartini, apakah Kartini mencintai

Rusli, dan apa sebenarnya pertalian antara mereka. Kartini hanya

menjawab bahwa pertaliannya adalah persahabatan kakak-adik. Inilah

mungkin mengindikasi bahwa mereka bukan kakak-adik sedarah

melainkan kerabat yang menjadi saudara. Dan Kartinipun tidak sampai

hati untuk mencintai Rusli, terlebih Rusli terlalu mengagungkan politiknya

ketimbang kehidupan yang sebenarnya.

sebetulnya pertalian Kartini dengan Rusli itu. Mula-mula sekali, ketika

«ku pertama kali bertemu dengan mereka di muka loketku. Rusli

memperkenalkan Kartini itu sebagai adiknya pula. Tapi kemudian di

rumahnya Rusli menceritakan lebihjauh tentang riwayat Kartini itu. Dan


25

ketika itu tidak dikatakan olehnya, bahwa perempuan itu adiknya.

Kuingat-ingat sebentar percakapan dengan Rusli tentang diri Kartini itu.

Adakah ketika itu dikatakan oleh Rusli bahwa Kartini itu bukan adiknya?

Adakah? Seingatku tidak. Tidakkah mungkin perempuan itu adik Rusli

seayah atau barangkali seibu? Atau mungkin juga adik tiri? Memang aku

tidak mengetahui keluarga Rusli itu sampai kepada segala selukbeluknya.

(hal 110)

Entahlah, tidak kepercayaanku terhadap mungkinnya persahabatan

"kakak-beradik" itu, agaknya membikin aku menjadi pahit. Menjadi sinis.

(hal 164)

4.2.2.2 Kehidupan yang Bebas Antara Perempuan Dengan Laki-Laki

Dalam beberapa kutipan dalam novel Atheis kita akan bisa melihat

begitu bebasnya kehidupan perempuan dan laki-laki yang bahkan tidak

terikat oleh tali perkawinan. Penindasan terhadap masyarakat pribumi

yang dilakukan oleh penjajah telah membelokkan tatanan masyarakat

kita pada saat itu. Bahkan, para serdadu secara terus terang mabuk-

mabukan dan melecehkan perempuan, salah satunya Kartini. Ketika

malam hari Kartini sedang dikejar oleh serdadu mabuk dan bertemu

dengan Hasan.

Serdadu mabuk, Tuan!"

Dan dengan perkataan itu ia sudah berada di sampingku. Ber-kali-kali

ia menoleh ke belakang sambil terus berjalanmenyesuaikan cepatnya

dengan langkahku. "Ada apa?" tanyaku agak cemas bercampur heran.

"Serdadu mabuk, Tuan!"

"Di mana?"
26

"Di warung kopi itu barusan. Saya lewat di sana, tiba-tibadari warung

kopi keluar dua orang serdadu Belanda,menyanyi-nyanyi tak karuan,

manggil-manggil saya. Saya lari." (hal 105)

Kebebasan itu juga berdampak pada masyakat pribumi, bukan

hanya para pejajah. Kartini dan Rusli walaupun tak ada pertalian yang

mengikat mereka, tetapi tanpa canggung mereka menampakkan

kebebasannya itu. Hal ini justru tabu bagi Hasan yang notabanenya

seorang ahli ibadah dan tidak mengenal budaya kebarat-baratan. Hal itu

tergambar dalam kutipan berikut:

Aku tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk ke

kamar. Kamar seorang laki-laki bujangan. Mimpikah aku?Atau

bagaimana ini? .... Sungguh bebas ia! Terlalu bebas, menurut ukuranku.

Aku tidak mengucap apa-apa. Bermacam-macam perasaan simpang siur

dalam hatiku. Menoleh aku kepada Rusli yang sedang runduk

menggulung-gulung rokok kawungnya. Batang ke sekian belas. Heran,

pikirku, si Rusli ini cuma tersenyum-senyum sendirian saja, seperti ada

yang lucu atau menggembirakan. (hal 50)

Merdeka adalah kebebasan, sebagaimana bangsa Indonesia pada

waktu itu yang tengah berada pada situasi kebengisan penjajahan. Tapi

yang dilakukan oleh orang-orang barat pada waktu itu berbeda, bukan

bebas terhadap penjajahan tapi bebas terhadap tradisi Indonesia yang

menapikkan cinta dengan batasan adat-istiadat dan agama. Banyak sekali

pada masa itu di beberapa tempat seorang pribumi dan orang barat

melakukan cinta merdeka. Bahkan bisa saja antara Rusli dengan Kartini

seperti dalam kutipan berikut:


27

Pernah kudengar teman-teman sekantorku bercerita tentang apa

yang dinamakan mereka "cinta merdeka" yang katanya banyak

dilakukan oleh orang-orang Barat, artinya laki-laki dan perempuan bisa

hidup bersama seperti suami-istri, tapi tidak kawin. Dan katanya antara

orang-orang Indonesiapun kebiasaan itu sudah mulai berjangkit.

Mungkin Rusli dan Kartini pun . . . ? (hal 74)

4.2.2.3 Lingkungan Tempat Tinggal Rusli

Rusli adalah golongan masyarakat berpaham marxisme yang

selalu menafikan seluruh pandangan batiniyah pada keberadaan tuhan.

Kita dibawa pada Suatu pemikiran yang realistis, dalam pandangannya

segala yang ada di dunia itu Berdasarkan atas kecerdasan manusia. Inilah

siasat yang dibawa Rusli untuk menggiring seluruh orang terdekatnya

memahami Dunia dengan Sudut pandang yang tidak lagi konservatif.

Tidak ada lapad-lapad atau gambar Mekah dengan Kaabah di tengah-

tengah seperti yang menghiasi kamarku. Aku berdiri ingin tahu siapa

sebetulnya pigu-rapigura itu. Melangkah ke bawah salah-satunya,

kubaca, di bawahnya: Friedrich Engels(hal 79)

Tidak jauh dari potret itu tergantung sebuah lagi potret seperti itu,

berjanggut kaya-raya. Kubaca di bawahnya: Kari ,Marx. (hal 79)

Dari potret itu aku melangkah ke rak buku dekat meja tulis. Banyak

bukunya, pikirku, tapi buku-buku apa semuanya? Banyak bahasa Inggris

juga. Ingin aku mengetahuinya, tapi dari awalnya sudah bisa kupastikan,

bahwa tentunya tidak ada tentang agama Islam. Buku-buku kapir

semuanya, pikirku. (hal 80)

Tidak hanya Itu kerabat yang biasa Rusli bergaul, sering sekali
28

membahas mengenai ideologi dan pandangannya terhadap agama. Dan

jelas saja bahwa pandangan itu selaras dengan ideologi yang dimiliki

oleh Rusli. Bung Patralah Salah Satu panutan Rusli dan Anwar. Bisa

dibilang bahwa Bung Patra merupakan seorang kyai bagi para penganut

marxisme. Dua kutipan berikut ini memberi penegasan bahwa mereka

memang sama-sama tidak percaya akan adanya tuhan.

Tapi rupanya cara demikian itu belum cukup juga bagi Anwar. Ia mau

lebih mendapat perhatian umum. Barangkali juga memang ia-mau

mengemukakan pendapatnya secara jujur. Pendeknya, Bung Parta yang

selama itu tidak pernah didebat orang, tiba-tiba mendapat perdebatan

dari Anwar. Perdebatan itu mencetus ketika Bung Parta menguraikan

arti teknik di jaman modern ini. Dengan tegas ia berkata pada akhirnya

bahwa "tekniklah Tuhan kita". (hal 152-153)

Di sini Anwar memperlihatkan lagi tidak konsekwennya. Agama Islam

dicelanya. Dinamakannya "agama burjuis",karena tidak melarang

pedagang merdeka, konkirensi merdeka yang bisa mengakibatkan

bertimbunnya kekayaan dalam beberapa tangan kapitalis saja. Tapi

kalau ia mencela "perdagangan merdeka", kenapa ia tidak mencela

"pencurian merdeka" seperti yang dilakukannya itu? Kenapa agama

Islam dicelanya, tapi kenapa dirinya sendiri tidak? Itukah barangkah

akibat pendiriannya yang menganggap dirinya Tuhan? (hal 174-175)

Tidak hanya gambaran masyarakat pergaulan Rusli tapi

lingkungan rumah Ruslipun tidak menunjukan kearifan berprilaku

sebagai masyarakat Indonesia. Modernisasi yang tidak sertai dengan

nilai-nilai religius berdampak buruk pula pada keaadaan masyarakatnya.


29

Lihat Saja, tempat tinggal Rusli sangat berdekatan sekali dengan rumah-

rumah pelacuran bukankah rumah-rumah tersebut tidak akan mampu

memberi Hal positif pada diri Rusli. Bahkan Bisa Saja Rusli menjadi

terbuai dan ikut secara seksama berprilaku menyimpang.

Dan lihatlah saja, di mana Rusli itu memilih tempat tinggalnya?

Bukankah di gang yang banyak rumah-rumah pelacuran? Sebetulnya

aku merasa malu untuk masuk gang itu. Tapi ya, karena masih siang,

tentu tidak akan. mencurigakan apa-apa, pikirku selanjutnya (hal 72)

4.2.2.4 Latar belakang kehidupan Hasan di Bandung

Saat Hasan berada di Bandung ia tinggal di rumah Bibinya, rumah yang

sederhana namun tetap memberikan kenyaman tersendiri bagi Hasan.

Bibinya telah menjada lima belas tahun lalu. Rumah yang sederhana itu,

mampu menampung beberapa orang. Hasan tidak tinggal secara percuma

disana, ia sering memberi bayaran pada bibinya. Sebagaimana seseorang

yang melakukan indekos. Bukan untuk apapun, hanya sekadar membatu

bibinya yang sebatang kara sebagai seorang janda.

Ia menjadi janda sejak lima belas tahun terahir ini, dan tak ada

kepunyaannya selain daripada rumah yang didiaminya sekarang

itu.'Sekedar untuk turut makan, maka ia menerima anak-anak sekolah

atau bujangan-bujangan yang sudah bekerja numpang padanya. Akan

tetapi seperti dengan musim duren atau dengan air laut yang pasang-

surut, demikianlah pula halnya dengan permintaan orang-orang yang

mau menumpang kepadanya: kadang-kadang sampai ada lima enam

orang, tetapi kadang-kadang pula hanya satu-dua. Dan sejak tiga bulan

ini, hanya aku sendiri yang tinggal kepadanya. Aku tahu, bahwa keadaan
30

hidup bibiku itu sangat sukar. Oleh karena itulah maka sekedar untuk

menolongnya, aku memberi bayaran yang lebih besar dari biasa. Selain

menerima orang-orang indekos, sebagai penambah-nambah 'nafkah,

(hal 59)

Dukungan seorang bibi untuk Hasan agar mengetahui dunia luar

(budaya barat) menjadi stimulus tersendiri bagi Hasan. Seperti yang kita

ketahui bahwa pada saat itu Hasan sedang mengalami pergolakkan batin

terhadap ideology dan agama yang selama ini dipegangnya. Sebagai

seorang yang terlalu dikekang dan mendapatkan batunya atas itu semua,

bibi Hasan tidak mau serta merta pengalaman hidupnya terjalankan pada

diri Hasan. Hasan harus mengetahui dunia luar sebagai tolok ukur dirinya

memahami dunia yang tidak kaku-baku. Seperti dalam kutipan berikut ini:

"Ah," katanya pada suatu hari kepadaku, "engkau masih muda, harus

tahu hidup. Lagi pula engkau seorang laki-laki, tidak akan bunting. Dan

laki-laki itu seperti duit benggol. Petot atau bercacat masih bisa laku.

Tidak seperti anak perempuan yang ibarat uang perak sudah hilang

harganya kalau cacat sedikit." 144

Ketika ia masih perawan, orang tuanya terlalu kerasmengajar.

Sebagai seorang gadis yang sudah mengangkat berahi, ia malah makin

keras "dibui", tidak boleh bergerak sama sekali. Begitulah kata bibi. Maka

ketika ada seorang laki-laki datang menggoda dia, mudah saja ia terpikat

dan dibawa lari. Dibawa lari seperti seekor burung yang sudah lama

menunggu kurungannya terbuka. Sungguh banyak pengalaman bibiku itu.

Enam kali ia berganti suami. Baru pada usia setengah abad ia mulai ingat

kepada mukena dan tasbeh. Dan sekarang ia sangat rajin melakukan


31

ibadatnya. '* Rajin dengan mengambil suatu dalil Nabi sebagai

semboyannya: Sembahyanglah seperti kau ini akan mati besok. (hal 145)

4.3 Masalah social

4.3.1 Penindasan

Dalam novel Atheis Karya Achdiat Karta Miharja kita akan banyak menjumpai

pembahsan-pembahsan para tokoh terhadap bengisnya penindasan di negeri ini.

Penjajahan yang menghasilkan sebuah penindasan akan berdampak pula pada

kehidupan masyarakatnya. Itupun akan terdapat pada beberapa bagian dalam

novel Atheis. Secara rinci dan jelas terdapat dalam kutipan berikut ini:

Memang, saya pun seperti saudara ada mempunyai sesuatu pikiran tentang

soal perang dan damai itu. Saya yakin, bahwa perang itu bisa dihindarkan, asal

manusia mau memenuhi syarat-syaratnya untuk mengadakan perdamaian yang

kekal. Kalau sifat ini kita hidup-hidupkan dan nyalanyalakan sehingga menjadi

kuat untuk menentang tiap nafsu mau perang?! Itu sudah berupa satu usaha

yang berharga ke arah perdamaian. Tapi itu tidak cukup, karena di samping

itu, kita tidak boleh melupakan, bahwa manusia adalah juga "hasil"

masyarakatnya sendiri. Bahwa keadaan masyarakat itu besar sekali

pengaruhnya-- kepada gerak-gerik jiwa dan pikiran serta tingkah laku manusia

dalam hidupnya. Masyarakat yang penuh ketidakadilan dan penindasan, tidak

akan mungkin mempunyai anggota-anggotanya yang ingin damai. Bahkan

sebaliknya, mereka itu malah mau perang, mau berontak, mau menggulingkan

penindas-penindasnya. Keadaan demikian misalnya dalam masa kita sekarang

ini, dalam masa kita ditindas oleh suatu bangsa penjajah yaitu penjajah

Jepang, seperti sebelum itu oleh penjajah Belanda. Dalam masyarakat jajahan

tidak mungkin ada suasana damai. Tapi bukan di tanah-tanah jajahan saja
32

suasana damai itu tidak akan ada, tapi pun juga di negara merdeka, yang

masyarakatnya bercorak kias-kias yang saling tindas, di mana ketidakadilan

masih merajalela dengan hebatnya. Dengan demikian, maka berusaha ke arah

perdamaian itu tidak hanya harus berupa pendidikan orang-orang saja,

melainkan juga harus berupa perbaikan keadaan dan susunan masyarakat,

yang harus bebas dari segala hal yang berbau penindasan, dan hanya berdasar

atas keadilan semata-mata. Hanya dansemata-mata dalam keadaan dan

susunan masyarakat demikianlah kita bisa hidup dalam keadaan yang damai."

(hal 257-258)

4.3.2 Kekerasan Rumah Tangga

Kartini mengalami kekearasan rumah tangga, tak bukan pelakunya adalah

Hasan suami yang dicintainya itu. Hasan tidak mampu menyeimbangkan tabiat

Kartini yang bebas sebagai orang yang berkiblat pada budaya kebarat-baratan.

Salah satunya Hasan tidak menerima kekerabatan Kartini dengan Anwar yang

tanpa batas-batasan itu. Setelah Hasan mengetahui bahwa Kartini sering

dikunjungi oleh Anwar di situlah puncak amarah Hasan. Hasan tidak dapat

membendungnya, sehingga entah dengan persetan apa Hasan menyakiti

Kartini. Seperti dalam kutipan:

Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti

seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar! Tar!

Kutempeleng Kartini. Aduh!"pekiknya, sambil menutup pipinya yang

kanandengan tangannya. Kujambak rambutnya! Kurentakkan dia dengan

sekuat tenaga, sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya berden-tar

kepada daun pintu. Menjerit-jerit mintabampun! Seluruh badanku bergetar!

Seluruh badanku panas! Panas terbakar api amarah! Api amarah yang
33

menjolak-jolak ke luar dengan sinar mataku, dengan suaraku membentak-

bentak, berkaok-kaok. (hal 228-229)

4.3.3 Pelecehan Terhadap Permpuan

Pelaku pelecehan dilakukan oleh salah satu tokoh sentral dalam novel ini yaitu

Anwar. Anwar sebagai salah satu tokoh yang menjerumuskan Hasan untuk

berpindah ideologi dan meninggalkan pemikiran batiniyah tentang keberadaan

tuhan agaknya tidak patut di percaya melakukan hal tersebut. Sebagai seorang

yang berpikiran luas, ilmu yang tanpa batas, namun tidak ada landasan nilai-

nilai religious tidak akan menggiring dirinya pada prilaku yang baik dan benar.

Percobaan pelecehan Anwar terhadap Kartini dapat dilihat dalam kutipan:

Ia lebih mendekati lagi kepada Kartini dengan matanya menyala-nyala seperti

tadi. Membungkuk ia seperti hendak mencium pipi Kartini. "Kau gila, War!"

kata Kartini setengah berteriak, sambil mengelakkan mulut Anwar yang sudah

memoncong itu. Anwar lurus kembali dengan tersenyum masam, seraya

memicingkan matanya sebelah, memandang lurus ke dalam mata Kartini yang

takut-takut itu. "Memang aku tergila-gila kepadamu, Tin! Aku cinta kepadamu!

Cinta sejak mulai kukenal engkau! Dan itu pun tentu kau tahu juga. Ya aku

cinta! Aku cinta!" (suaranya bergetar karena api berahi). Kartini menjadi

sangat takut. Dilihatnya Anwar bersinarsinar matanya seperti mata singa yang

hendak menerkam. Dadanya turun-naik. Seluruh badannya seakan-akan sudah

dibakar oleh api berahi. Dan pada saat itu pula kedua belah tangannya tiba-

tiba hendak merangkum badan Kartini yang sudah lemas itu. Tapi Kartini lekas

berdiri mengelak, Kursi menggelotrak, jatuh tersinggung, dibarengi oleh suara

cangklong yang terjatuh juga di atas lantai (hal 275-276)

Tabiat Anwar yang memang kurang menghargai perempuan mulai tercermin


34

pada saat dia masih bersekolah. Seperti pada kutipan:

Permupuan dan kesusilaan. Bukankah kata Rusli, Anwar itu dulu ketika di

HBS*) dipecat dari sekolahnya, karena ia berbuat yang tidak senonoh dengan

seorang gadis Belanda, anak seorang administratur dari salah sebuah

onderneming?"(hal 299)

Pelecehan juga tidak hanya dialami oleh tokoh sentral Kartini, tetapi

beberapa peremupuan pada masa itu mengalami hal tersebut akibat stelsel

kapitalisme, keadaan memaksa mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak

senonoh itu. Seperti dalam kutipan:

Tidakkah terinsyafi olehnya, bahwa pada umumnya perempuan-perempuan itu

terpaksa harus menjual dirinya untuk mencari sesuap nasi semata-mata.

Bahwa mereka itu sesungguhnya korban stelsel kapitalisme yang terkutuk

itu,(hal 299)

4.3.4 Durhaka Terhadap Orang Tua

Dalam perjalan sepulang berkunjung dari kampong panyeredan Hasan terdiam

dengan segala rasa bersalahnya. Seusai kunjungan dengan Anwar ke rumah

orang tuannya, ia mengalami konflik internal dengan orang tuanya. Keluarga

Hasan yang fanatic terhadap apapun yang berhubungan dengan agama, tak

mengurungkan niat Hasan untuk menyuarakan proganda tetang pembantahan

nilai agama yang selama ini dianutnya. Berbekal pengetahuan yang ia dapat

dari Rusli dan Anwar memberi kepercayaan tersendiri bagi Hasan untuk

menentang keras segala bentuk pemikiran orang tuanya yang kolot. Namun, di

perjalan itu Hasan tersadar bahwa tindakannya itu tidaklah terpuji, memaki

orang tua dengan pengetahuan yang tidak dibenarkan ke absahannya bukan

jalan terbaik. Seperti dalam kutipan:


35

"Sekarang saya sudah dewasa," kataku, "sudah cukup matang untuk

mempunyai pendirian sendiri dalam soal-soal hidup. Ayah tidak boleh

memaksa-maksa lagi kepada saya dalam hal pendirian saya. Juga dalam

pendirian saya terhadap agama." Dan entahlah, walaupun saya masih sangsi

akan kebenaran teori-teorinya Rusli dan Anwar tentang "Ketuhanan bikinan

manusia" itu namun dalam reaksi terhadap desakan-desakan ayah yang

seperti biasa memuji aliran tarikat dan mistik pada umumnya, maka ku

tumpahkan segala teori Rusli dan Anwar itu. Seolah-olah semua teori itu

orisinil pendapatku sendiri. Seolah-olah aku, sudah menjadi atheis pula.

Atheis mutlak seperti kedua kawan itu. Agaknya, tak ada pukulan yang lebih

hebat bagi ayah daripada ucapan-ucapan itu. Sekarang terasa benar olehku,

betapa kejamnya perkataanku itu terhadap ayah dan ibu yang selama itu

selalu megah akan diriku sebagai anaknya yang "alim" dan "saleh".(hal 207)

Penyesalan Hasanpun diakuinya ketika seluruh kenestapaan hidup menjadi

pengingatnya terhadap keberadaan tuhan dan pengingat akan dosa-dosa yang

ia lakukan terhadap hamba-hambanya. Ia mengakui telah bersalah, karena

meninggalkan nilai-nilai agama yang menjadi pondasi nilai-nilai yang lain

untuk berkembang,

karena aku merasa sudah terlalu berat berdosa. Berdosa terhadap orang tua

sendiri. Berdosa .... juga terhadap diri Kartini, yang terlalu bengis

kuperlakukan. Berdosa terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Ya, terhadap Tuhan

yang selama ini sudah kuabaikan segala perintahnya.

Kususukkan kepalaku di bawah bantal. Berbisik hatiku, "O Tuhan, ampunilah

segala dosa hamba-Mu ini!" Air mata terasa panas meleleh di atas pipi. Jatuh

ke sprei. (hal 239)


Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari bab IV diperoleh kesimpulan berkaitan dengan latar

belakang pengarang, keadaan masyarakat dan masalah social yang ada dalam novel

tersebut.

1. Achdiat Karta Miharja melalui novel Atheis mencoba mengkritisi penyimpangan

akidah yang terjadi pada masa penjajahan. Cita-cita untuck merdeka mendorong

bangsa Indonesia untuk memahami berkembangnya paham sosialis liberal menuju

komunis. Berdasarkan latar belakang pengarang yang memang memiliki pengetahuan

dan pengalaman mengenai hal tersebut seolah seperti ingin menyampaikan bahwa

pemikiran rasional bukan berarti pemikiran yang mempertanyakan keberadaan tuhan.

Achidat Karta Miharja melalui karya ini, ingin menyampaikan argument dan doktrin

yang kuat tentang keberadaan tuhan dan menyadarkan kembali bahwa hidup itu pasti

ada pertalian dengan sang pencipta.

2. Dalam novel Atheis kita akan memahami dua keadaan masyarakat dengan latar

belakang yang berbeda. Yaitu keadaan masyarkat Panyederan yang tertutup, serta

mengindahkan nilai-nilai tradisi dan religious. Sedangkan untuk masyarakat Bandung

cenderung terbuka terhadap arus modernisasi. Bandung menjadi tempat pergolakan

tokoh utama Hasan menampikan kepercayaan yang selama ini dianutnya. Beebrapa

tokoh sentral yang lainnya seperti Kartini,Rusli dan Anwar diceritakan secara

gamblang dalam kutipan novel yang berlatar di Bandung.

3. Masalah social yang terkandung dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja yaitu

penindasan yang dialami oleh seluruh warga Indonesia pada saat itu. Kekerasan rumah

tangga yang dialami oleh Kartini. Pelecehan seksual yang lagi-lagi dialami Kartini

dengan dalangnya yaitu Anwar dan durhaka terhadap orang tua yang dilakukan oleh

Hasan.

36
Referensi

Hadayani,Anwar. 2009. “Novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El

Shirazy ”(sebuah tinjauan sosiologi) Skripsi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

(dipublikasikan).

Saraswati, Eka. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media

dan UMM Press

Moleong, J. Lexy. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Anonim._ https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-achdiat-karta-

miharja (diakses 12 Oktober 2019)

37

Anda mungkin juga menyukai