Anda di halaman 1dari 15

Dinamika Konflik Sosial yang Terkandung dalam Novel Calon Arang Karya Pramoedya

Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi

Ahmad Ikhsanul Arif


Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
ahmadikhsanularif@gmail.com

Pendahuluan

Sastra dapat dikatakan sebagai sebuah karya imajinatif, karena menawarkan berbagai
permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dengan kehidupan, serta pengarang menghayati
berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan
kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Altenbernd dan Lewis menyatakan
bahwa fiksi dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya
masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisir hubungan-hubungan antar manusia.
Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap
kehidupan serta memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan
manusia.” (Wahyudin & Nopryana, 2020: 270).

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang lahir dengan fungsi sosial dan
fungsi estetik, novel sebagai hiburan dari kelelahan rutinitas kehidupan manusia yang habis
dibaca sekali duduk, dan novel juga akan menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh
pengarang berdasarkan fenomena yang ada, baik berupa pengalaman dan pengamatan atas
peristiwa orang lain. Jadi, novel adalah ungkapan melalui penghayatan manusia yang ada di
dalam diri sendiri maupun orang lain. Novel sebagai karya sastra menyajikan hasil pemikiran
melalui penggambaran wujud pengalaman konkret manusia dalam bentuk cerita yang cukup
panjang. Sementara pada sisi lain, karya sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha
menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual dan imajinatif sehingga mampu
memberikan hiburan dan kepuasaan rohaniah pembacanya.

Karya sastra sebagai potret kehidupan bermasyarakat merupakan suatu cipta sastra yang
dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra tercipta karena
adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau masalah dunia yang menarik sehingga
muncul gagasan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan
menyumbangkan tata figur dan tatanan tuntutan masyarakat. Hal ini merupakan ikatan timbal
balik antara karya sastra dan masyarakat, walaupun karya sastra berupa fiksi. Namun, pada
kenyataannya sastra juga mampu memberikan manfaat berupa nilai-nilai kehidupan bagi
pembaca untuk mengetahui permasalahan novel atau karya sastra tersebut. Karya sastra mampu
membentuk watak-watak pribadi secara personal dan akhirnya dapat pula secara sosial. Selain
itu, sastra berfungsi sebagai penyadar manusia akan kehadirannya yang bermakna bagi
kehidupan sang pencipta maupun pada kehidupan sesama manusia.

Karya sastra dikenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekosongan jiwa
namun atas realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini tidak terlepas dari unsur yang
membangun karya sastra tersebut. Unsur ini meliputi intrinsik (unsur yang membangun karya
sastra dari dalam dan unsur ekstrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu
contoh kajian ekstrinsik karya sastra adalah konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam
kajian sosiologi sastra.

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil


terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya, Camte berkata bahwa sosiologi
dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
masyarakat dan hasil-hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis
(Soekanto, 1982: 4). Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya
perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan
sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran
tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme
kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia;
karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu
sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena
bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Didasari pengertian tersebut, sosiologi sastra dapat didefinisikan sebagai kajian ilmiah dan
objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga, juga proses sosial.

Sosiologi sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan


pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para
kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status
lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta
khalayak yang ditujunya. Sementara itu, dalam Soekanto dikatakan bahwa “sosiologi kesenian
dan kesusastraan merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan
baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih
general; yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya
berurusan dengan antara seni dan kesusasteraan dengan masyarakat.”

Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi


sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat,
termasuk latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra.

Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari merupakan sebuah karya sastra berbentuk
novel yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama sebanyak tiga kali edisi cetak (1986,
2001, dan 2005). Novel ini mengambil latar cerita berdasarkan masalah-masalah yang terjadi
dalam masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Inspirasi penulisan novel Di Kaki Bukit
Cibalak adalah peristiwa pemilihan Kepala Desa di desa Tinggarjaya tahun 1975-an, dengan ide
pokok kritik sosial dari proses pemilihan Kepala Desa tinggarjaya tersebut yang penuh intrik dan
mitologi yang ada di masyarakat desa tersebut, yang menyebabkan calon-calon pemimpin yang
baik tidak dijamin dapat terpilih, dan pemenangnya adalah yang berusaha menguasai masyarakat
sebelum menjadi pemimpin. Novel ini dengan berani menggambarkan sisi bobrok dari
pemerintahan yang terjadi di desa, disertai dengan kritik-kritik yang disisipkan melalui tokoh
Pambudi.

Pambudi, sebagai tokoh utama digambarkan sebagai sosok pemuda berusia 24 tahun
dengan sifat baik hati, berprinsip, rela berkorban dan cakap. Ia berusaha melawan prinsip yang
mencari keuntungan yang merugikan rakyat dengan memanfaatkan jabatan. Hal tersebut bermula
dari lurah sebelumnya yang sering mengakali angka susut penjualan beras, sehingga dapat
mengambil keuntungan dari sana. Namun, lurah yang baru, yakni Pak Dirga memiliki watak
yang mirip dengan lurah sebelumnya setelah mengalahkan Pak Badi yang menurut Pambudi
memiliki sifat yang lebih baik dan pantas untuk memegang tampuk kepemimpinan. Situasi
tersebut menggambarkan keadaan politik saat ini memang seringkali dipegang oleh orang-orang
yang hanya memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi dapat mengalahkan orang-orang
yang memiliki hati yang tulus untuk mengabdi pada rakyat.

Novel ini juga mengirimkan pesan bahwa peran pendidikan dan media sangat penting
bagi pembentukan pola pikir masyarakat. Di awal novel diceritakan bagaimana perubahan yang
terjadi pada masyarakat desa yang menjadi konsumtif akibat iklan-iklan di televisi dan rata-rata
tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Selain masalah politik dan pendidikan, dalam novel
ini dibubuhkan juga kisah cinta yang menarik Pambudi yang menyukai anak dari seorang modin
bernama Sanis, tetapi pada akhirya dipersunting oleh Pak Dirga. Selama pambudi berada di
Yogya ia bertemu dengan seorang gadis anak pemilik toko arloji tempat ia bekerja bernama
Mulyani, tetapi mereka tidak dapat bersama karena suatu alasan yang tidak diperinci dalam
novel.

Pembahasan

Lucien Goldmann (1964: 67) menyatakan bahwa karya sastra adalah produk dari sistem
sosial dan budaya tertentu. Karya sastra tidak hanya merupakan ekspresi pribadi pengarangnya,
tetapi juga merupakan cerminan dari masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, karya
sastra memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral,
sosial, dan budaya kepada masyarakat.

Fungsi sosial karya sastra dalam teori genetik strukturalis secara sederhana dapat dilihat
dari dua aspek yaitu, aspek pengarang dan aspek masyarakat. Fungsi sosial karya sastra dapat
dilihat sebagai sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pandangan dunianya kepada
masyarakat. Pandangan dunia pengarang tersebut dapat berupa nilai-nilai moral, sosial, dan
budaya yang ingin diperjuangkan oleh pengarang. Aspek masyarakat, fungsi sosial karya sastra
dapat dilihat sebagai sarana untuk mengkomunikasikan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dari
masyarakat kepada masyarakat itu sendiri. Karya sastra dapat berfungsi sebagai sarana untuk
memperkuat nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, atau sebagai sarana untuk mengkritik
nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai dengan masyarakat.

Sementara itu, aspek masyarakat mencakup penerimaan karya sastra oleh masyarakat.
Masyarakat memiliki peran penting dalam menentukan apakah sebuah karya sastra dianggap
bernilai atau tidak. Masyarakat juga berperan dalam menentukan tren sastra yang sedang populer
pada suatu waktu. Sebuah karya sastra yang mendapatkan respon positif dari masyarakat akan
cenderung mendapatkan pengakuan dan penghargaan lebih lanjut. Oleh karena itu, hubungan
antara pengarang dan masyarakat sangatlah penting dalam menjaga keberlanjutan dan apresiasi
terhadap karya sastra.

Bagian pertama yang akan saya ulas adalah mengenai tradisi yang menarik dari kalangan
masyarakat yang ada di desa Tanggir, kebanyakan dari mereka merupakan masyarakat dengan
kondisi ekonomi menengah kebawah. Seperti kebanyakan penduduk Desa Tanggir adalah kaum
kawula dan kaum bangsawan yang masih berupa ucapan konon katanya saja. Berdasarkan
kutipan berikut:

“… Kaum kawula yang dulu dipaksa oleh Raja Mataram untuk membuka tanah-tanah
rawa di sekitar kaki Bukit Cibalak, adalah nenek moyang kebanyakan orang Tanggir. Seperti
nenek moyangnya, orang Tanggir masih berjiwa nrimo pandum…” hal. 10

Dalam kutipan tersebut terdapat unsur tradisi yang berkaitan dengan karakter. Karakter
orang Tanggir yang sangat nrimo dalam segala hal apapun, termasuk dalam hal yang berkaitan
dengan urusan kesejahteraan mereka sendiri. Apapun yang telah menjadi ketetapan, maka akan
dijalankan.

Etika nrimo ing pandum menjadi salah satu falsafah kehidupan dalam Budaya Jawa.
Konsep pemikiran tersebut berartikan ketika seseorang menghadapi masalah, dirinya harus
menyelesaikannya semaksimal mungkin. Selanjutnya, mengikhlaskan hasil dari usahanya kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, Nrima ing pandum merupakan sikap menerima
kehidupan yang diberikan Tuhan dengan keikhlasan tanpa protes atau penolakan. Konsep
pemaknaan hidup itulah yang membuat masyarakat Jawa—dalam budaya lama—selalu
berprasangka baik kepada Tuhan.
Konsep berkehidupan Nrimo ing pandum berlandaskan: setiap orang berbeda, dan
perbedaan inilah yang harus disyukuri. Nrima berartikan menerima, sementasra pandum
berartikan pemberian. Atas dasar pandangan itulah, masyarakat Jawa menyadari bahwa segala
sesuatu telah diatur dan digariskan oleh Tuhan. Tugas mereka hanyalah menjalaninya saja.

Dalam novel ini, terdapat pula kata-kata dalam bahasa dan budaya setempat yang perlu
pengetahuan tambahan untuk dapat mengerti kata-kata tersebut. Beberapa kata-kata tersebut
antara lain:

“…suara korakan kerbau…” hal. 6

“…sampah plastik dalam pawuan mereka…” hal. 7

“…Falsafah hidupnya, nrimo pandum…” hal. 8

“…dalam ikatan trah…” hal. 12

“…ia dapat nunut kamukten...” hal. 13

“…Seorang lurah adalah laki-laki dengan cucuk emas…” hal. 13

Kata-kata tersebut dihadirkan oleh penulis membuat novel ini semakin kental unsur
tradisi dan budaya. Beberapa kata-kata di atas dapat kita pahami dengan melihat di kamus
maupun internet. Selain itu dapat pula kita pahami kata-kata tersebut dengan imajinasi kita
sendiri dengan memperhatikan kata-kata tersebut dalam kalimat lengkapnya. Sehingga dapat
mengambil makna kata-kata tersebut melalui konteks yang ada.

Mengenai tradisi, ada hal menarik lain yang disisipkan dalam novel ini. Latar
belakang masyarakat Desa Tanggir berdampak pula pada keadaan masyarakatnya. Salah satunya
ketika masuknya pengaruh kemajuan teknologi dan informasi yang kemudian dapat merubah
kebiasaan di masyarakat bahkan bentuk fisik lingkungan sekitarnya seperti pada kutipan berikut:

“…tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan…” hal. 6

“…Orang-orang yang biasa memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan…”


hal. 6
“…Tempat tembakau yang biasa mereka anyam dari jenis rumput telah mereka
singkirkan…” hal. 7

Dalam beberapa kutipan di atas, dapat kita pahami bahwa perubahan tersebut dipengaruhi
oleh kemajuan zaman yang selaras dengan majunya teknologi dan informasi. Perubahan tersebut
dapat mengarah kepada manfaat yang lebih banyak atau mungkin juga dapat mengarah kepada
kerugian. Hematnya, kemajuan ini dapat berimbas pada semakin produktifnya masyarakat atau
justru membuat masyarakat menjalani hidup yang lebih konsumtif. Selain itu, tidak selarasnya
kemajuan ini dengan tingkat pemahaman masyarakat dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam
memahami berbagai informasi, dalam iklan misalnya. Seperti kutipan berikut:

“…kemudian bercerita tentang sabun yang mengandung minyak zaitun. Jirah tidak perlu
merasa bodoh walaupun ia tidak tahu apa itu zaitun. Yang penting ia dapat menirukan kata-kata
tukang iklan di radio atau televisi…” hal. 9

“…pil pelangsing. Aku mempunyai usul agar si Katam segera diberi obat itu supaya beri-
berinya cepat kempes.” hal. 10

“…Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil
berpropaganda dengan bangga…”

“Oh, mereka orang-orang Tanggir tidak merasa terganggu oleh banyaknya sampah
plastik dalam pawuan mereka....”

“…Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan.
Burung-burung kucica yang telah turuntemurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah
ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di
kakinya…”

Dalam kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa cerita dari novel ini berasal dari
desa yang mulai tersentuh oleh kemajuan teknologi, namun dalam beberapa kondisi seperti
adanya teknologi tersebut belum selaras dengan seimbangnya pendidikan dan kondisi ekonomi.
Seperti halnya dikutip dari percakapan Pak Danu dengan orang-orang yang ditemuinya dengan
sengaja untuk memamerkan benda yang dimilikinya “Ya, inilah obat semprot ketiak yang sering
disiarkan oleh radio dan televisi. Inilah barangnya. Kalian baru melihat gambarnya atau
mendengar namanya saja, bukan? Tetapi aku kini telah memilikinya! Di kampung ini pastilah
aku yang pertama kali memiliki barang mahal ini.” Secara tersirat, dapat kita pahami bahwa
keadaan di desa yang masih belum merata pembangunannya, ya begitulah kondisinya. Hal-hal
baru menjadi begitu asing dan dianggap luar biasa.

Unsur tradisi ini juga berkaitan dengan masalah politik, seperti yang dapat kita lihat pada
kutipan berikut:

“…seorang kakek sedang membaca mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon
agar “wahyu” datang kepada calon yang telah memberinya uang…” hal. 14

“…Siapa pun yang ingin menjadi lurah Desa Tanggir tidak boleh sayang terhadap uang
dua, tiga, atau empat puluh juta rupiah…” hal. 14

“…Setiap calon berusaha menjamu warga Desa Tanggir dengan makan-minum yang
hampir tanpa batas…” hal.15

Dalam kutipan tersebut, kita bisa menyebut kakek tersebut sebagai dukun. Tidak hanya
membayar dukun, dalam tradisi berpolitik disini setiap calon juga harus memiliki botoh atau
dalam bahasa Indonesia berarti tim sukses. Selain itu, bentuk kampanye yang cukup menguras
harta lainnya adalah kegiatan menjamu para warga desa, bersikap manis kepada seluruh warga
juga termasuk menutupi aib diri sendiri yang mungkin menurunkan perolehan suara dari
kalangan tertentu.

Dalam novel ini dimunculkan tokoh utama bernama Pambudi, seorang pemuda berusia
24 tahun yang memiliki karakter seorang pemuda yang mempunyai kecakapan, bersemangat,
berani dan ingin berbuat banyak untuk desanya. Tokoh ini dimunculkan seolah-olah sebagai
solusi dari berbagai permasalahan yang ada. Beberapa kutipan berikut mengenai karakter
Pambudi:

“…Ia menginginkan Pak Badi yang terpilih sebab Pambudi menyenangi wataknya…”
hal. 17

“…Pambudi ingi menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat ia


membuktikan kecakapannya…” hal. 17
“…sebuah koperasi, yang akan banyak faedahnya bagi segenap penduduk Tanggir..” hal.
17

“…hendaknya Bapak jangan mengikutsertakan saya dalam urusan seperti itu…” hal. 26

“…Ia merasa telah menuruti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan
kecurangan bersama Pak Dirga…” hal. 26

“…Tentang biaya perjalanan, serahkan padaku…” hal. 30

Mengenai pergolakan politik yang terjadi di Desa Tanggir diawali dari lurah yang
menjabat saat Pambudi menjadi sekda melakukan kecurangan pada angka susut beras di desa.
Kemudian pada saat pemilihan lurah desa, yang menggantikan pun memiliki tabiat yang tidak
jauh berbeda. Seharusnya yang menjadi lurah adalah Pak Badi yang memiliki budi pekerti luhur
seperti yang diyakini oleh Pambudi. Konflik ini sesuai dengan kejadian di kehidupan sehari-hari.
Dimana seorang yang memiliki elektabilitas akan selalu lebih besar kemungkinan memimpin
ketimbang orang yang memiliki kapabilitas yang tepat untuk memimpin. Bahkan sebuah konflik
sempat terjadi di dalam Desa tersebut antara Pambudi dan lurahnya, Pak Dirga.

Rasa tidak suka Pak Dirga kepada Pambudi hingga membawa alamat pembunuhan
kepada Pambudi, lewat usaha santet yang dilakukan oleh Pak Dirga. Singkatnya, kekhawatiran
ayah Pambudi kepada anaknya itu menghasilkan pengasingan kepada Pambudi. Dengan dalih …
mengalah untuk menang… dari kedua orang tuanya itu, pambudi mengalah dan pergi dari desa
ke Yogya, demi keamanan kedua orang tuanya juga selain dirinya. Kutipan Pendidikan, menjadi
hal yang dianggap mahal bagi penduduk Desa Tanggir. Termasuk juga hal yang sia-sia.
Pambudi, sebagai sosok yang memiliki rasa peduli kepada masyarakat, jiwa sucinya yang ingin
berbuat banyak untuk masyarakat diceritakan pada saat ia membantu seorang wanita tua yang
miskin dan memiliki dua orang anak yang perlu dihidupi di tengah kekurangannya, awalnya
tidak menyetujui untuk melanjutkan pendidikan hingga sarjana.

Meskipun sebelumnya di masa SMA ia adalah seorang siswa cerdas yang selalu bersaing
dengan sahabatnya yang sudah berkuliah di Yogya. Selama pengasingan tersebut ia berpikir
bahwa seorang yang memiliki potensi yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak juga harus
memiliki latar yang mumpuni. Salah satunya pendidikan. Tentu saja, seperti yang seringkali
terjadi di sekitar kita saat ini. Banyak orang yang memiliki potensi untuk kebaikan banyak orang,
namun terhalang oleh minimnya kesempatan untuk menaikan derajat dan kapasitasnya untuk
mencerdaskan banyak orang.

Beberapa hal menarik lainnya mengenai novel ini, yaitu tentang kisah percintaan
Pambudi. Awalnya Pambudi jatuh hati kepada Sanis, anak seorang modin di desa. Menjadi anak
gadis berusia 14 tahun kala itu yang menjadi umur juga bagi para gadis belia untuk dinikahkan
kepada pria yang tak jarang jauh lebih tua usianya seperti kebanyakan di masyarakat desa
memang terjadi hal tersebut. Namun, ternyata Pak Dirga juga menyukai Sanis. Pak Dirga yang
mempunyai latar belakang telah menikah dan bercerai sekian kali, kini memiliki seorang istri
bernama … dengan berbagai strategi yang telah diluncurkan serta istilah tradisi di desa tanggir,
yakni Cucuk Emas. Artinya seorang pemimpin desa berhak menjadikan kembang desa untuk
dijadikan istrinya. Namun selama perkuliahan Pambudi di Yogya, sempat ia dekat dengan
seorang gadis pemilik toko tempat ia bekerja, bernama Mulyani. Namun, mereka tidak dapat
bersama dikarenakan perbedaan latar budaya dan kepercayaan yang menghalangi mereka, begitu
seperti keyakinan yang diyakini Pambudi. Menariknya, gadis ini begitu menyukai Pambudi dari
karakter yang diperlihatkan oleh Pambudi, sehingga ia nekat untuk bisa pergi dari rumah
bersama Pambudi untuk mendesak restu dari ibunya.

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang
mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula (Luxembourg, Bal, dan Willem G.
W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23). Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra
dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

- Faktor-faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini
memfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan
seterusnya.

- Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari,
yaitu yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan
metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi
sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks
sastra dan susunan masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta jaringan sosial dan
karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.

Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat,
literature is an expression of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.
Maksudnya, masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengekspresikan hidup
(Wellek and Werren, 1990: 110). Mengenai ragam pendekatan terhadap karya sastra kajian
sosiologis mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Warren : 1986) (a) Sosiologi pengarang (b)
Sosiologi karya sastra (c) Sosiologi sastra dalam sosiologi pengarang. Wilayah yang mencakup
dan memasukkan status sosial, ideologi sosial dan lain sebagainya menyangkut pengarang,
dalam hal ini berhubungan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan hubungannya dengan
masyarakat sastra: mengenai sosiologi Karya sastra, yaitu mempermasalahkan karya sastra itu
sendiri, dengan kata lain menganalisis struktur karya dalam hubungannya antara karya seni
dengan kenyataan dengan tujuan menjelaskan apa yang dilakukan dalam proses membaca dan
memahami karya sastra. Sosiologi sastra, wilayah cakupannya dan memasalahkan pembaca
sebagai penyambut dan penghayat karya sastra serta pengaruh sosial karya sastra terhadap
pembaca atau dengan kata lain memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat. Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Warren dalm
novel ini dapat dikenali melalui:

1. Sosiologi Pengarang

Sosiologi pengarang menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil karya sastra, juga
mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan keterlibatan pengarang
di luar karya sastra dengan keadaan di sekitarnya. Latar belakang pengarang memberikan
ide dan proses kreatif yang berperan dalam penciptaan karyanya sehingga bagian ini tidak
dapat dilepaskan dalam menganalisis sebuah karya sastra. Ahmad Tohari di sini sebagai
wakil kelompok sosial yang menampilkan permasalahan sosial dalam novel Di Kaki
bukit Cibalak. Ahmad Tohari dikenal sebagai pengarang trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). Dia lahir
13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah dari
keluarga santri. Ayahnya adalah seorang kiai (pegawai KUA) dan ibunya pedagang kain.
Ahmad Tohari menikah tahun 1970 dengan Siti Syamsiah yang bekerja sebagai guru SD.
Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai lima orang anak. Ahmad Tohari mengantongi
ijazah SMAN II Purwokerto, kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Unversitas
Jenderal Sudirman (UNSUD), Purwokerto, 1974—1975. Selanjutnya, ia pindah ke
Fakultas Sosial Politik (1975—1976) juga hanya dijalaninya selama satu tahun, lalu
pindah ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta, tahun 1967—1970, tetapi tidak tamat.
Akhirnya, ia memilih tetap tinggal di desanya, Tinggarjaya, mengasuh Pondok Pesantren
NU Al Falah. Ahmad Tohari pernah bekerja di BNI 1946, sebagai tenaga honorer, yang
mengurusi majalah perbankan tahun 1966—1967. Dia juga bekerja di majalah Keluarga
tahun 1979—1981 dan menjadi redaktur pada harian Merdeka, majalah Amanah, dan
majalah Kartini. Berdasarkan latar belakang, pengarang memiliki kapabilitas untuk
menyampaikan cerita berdasarkan pengalaman pribadi pengarang. Bukan untuk
menyampaikan perist

2. Sosiologi Karya Sastra

Sosiologi karya sastra menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang
berkaitan masalah-masalah sosial. Hubungan ini juga dapat didefinisikan sebagai hal
yang ingin disampaikan oleh pengarang sebagai alternatif jalan keluar sebagai jawaban
terhadap sebuah fenomena di kehidupan masyarakat melalui peristiwa yang dialami oleh
para tokoh. Misalnya, bagaimana Ahmad Tohari yang merupakan wakil dari suatu
masyarakat menggambarkan ‘wong cilik’ (orang kecil) yang diperlakukan tidak adil,
terpinggirkan, dan menjadi korban dari keserakahan penguasa.

“Oh, baiklah, baiklah. Sekarang serahkan pada saya foto Mbok Ralem dan fotocopy itu.
Besok pagi iklan itu sudah tercetak dalam harian Kalawarta.”
“Terima kasih, Pak. Sekarang saya minta diri.”

“Pak Barkah membukakan pintu untuk Pambudi. Sepeninggal anak muda itu Pak Barkah
termenung, masygul. Tak ada yang istimewa dalam urusan dengan Mbok Ralem ini, pikir
pemimpin Kalawarta itu. Seorang pemuda bernama Pambudi sedang menolong
sesamanya menuruti suara hatinya. Tetapi, mengapa aku begitu terkesan Apakah karena
semangat fitrah seperti yang sedang diperlihatkan oleh Pambudi kini hampir musnah
Benarkah demikian Atau kepalsuan dan kemunafikan telah membawa harkat
kemanusiaan terjun ke dalam jurang. Atau hiruk-pikuk kehidupan sekarang telah
memekakkan telinga banyak orang, sehingga sulit mendengarkan suara hati nuraninya
sendiri. Atau…”

Pencitraan terhadap tokoh Pambudi yang terusir dari kampung halamannya akibat
perseteruan dengan kepala jawatan di Desa Tanggir perihal Mbok Ralem yang
membutuhkan bantuan. Dengan latar belakang Pambudi sebagai seorang penulis di harian
Kalawarta, Pam melancarkan niatan untuk membantu Mbok Ralem. Hal ini
merepresentasikan salah satu peristiwa yang ingin disampaikan pengarang bahwa
peristiwa ini relevan dengan kebanyakan fenomena di masyarakat.

“Pambudi merasa masygul dan kecewa karena calon yang dijagoinya kalah. Ia
menginginkan Pak Badi yang terpilih sebab Pambudi menyenangi wataknya. Pambudi
yang berusia 24 tahun itu bekerja mengurus lumbung koperasi Desa Tanggir. Sudah dua
tahun ia bekerja di sana, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa badan usaba itu tidak
mungkin terus ditungguinya. Sebenarnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi
yang diurusnya sebagai tempat ia membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan
sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi, yang akan banyak faedahnya
bagi segenap penduduk Tanggir. Tetapi lurah yang lama tidak demikian pendapatnya.
Pak Lurah sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian yang selalu ia
pidatokan sendiri. Tidak jarang Lurah memberi perintah menjual padi lumbung koperasi
tanpa melalui ketentuan yang benar. Maka ketika terjadi pergantian lurah, Pambudi
menjagoi Pak Badi. Ia yakin, orang sejujur Pak Badi mempunyai rasa tanggung jawab
dan ingin memajukan desanya, oleh karena itu tidak akan seenaknya menjual padi milik
rakyat Tanggir. Kekalahan Pak Badi menambah rasa kecil hati pada Pambudi. Dan
benar juga, Pak Dirga sebagai lurah baru sama saja dengan yang digantikannya.”

Melalui kutipan di atas, pengarang ingin menyampaikan ihwal keresahannya tentang


keberadaan seorang calon pemimpin yang jujur yang bukannya dimenangnkan,
melainkan sebaliknya. Pengarang ingin menyampaikan adanya rasa kekecewaan di
sekitarnya yang menurutnya juga dialami oleh kebanyakan orang.

3. Sosiologi Pembaca

Sosiologi pembaca mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut,


yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya (Wellek dan
Warren, 1990: 111). Di samping itu, pengarang menyajikan fenomena yang terjadi di
masyarakat ke hadapan pembaca. Melalui karya ini, pengarang ingin menyisipkan
berbagai peristiwa dan pandangannya bagaimana suatu fenomena dapat terjadi, bermula,
dan dituntaskan dengan membubuhi kesan dramatis dan telah disesuaikan agar menjadi
bacaan yang dapat dikonsumsi masyarakat.

Dalam hal ini, sastra memiliki peran yang penting sebagai cermin sosial yang
menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Karya sastra dapat mempengaruhi
pembaca dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu pemikiran, sikap, maupun tindakan.
Selain itu, karya sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan
sosial yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada masyarakat pembacanya.

Kesimpulan

Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari menjadi sebuah rekaman kejadian sosial
yang merekam memori kolektif dari permasalahan yang terjadi di masyarakat. Di Kaki Bukit
Cibalak karya Ahmad Tohari menjadi sebuah rekaman kejadian sosial yang merekam memori
kolektif dari permasalahan yang terjadi di masyarakat. Karya sastra ini berhasil mendapatkan
respon positif dari masyarakat karena mengangkat isu-isu yang relevan dengan kehidupan sehari-
hari. Sebagai hasilnya, karya ini mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang lebih lanjut,
seperti pemberian penghargaan sastra nasional. Melalui hubungan yang baik antara pengarang
dan masyarakat, karya ini bisa berlanjut dan terus diapresiasi oleh pembaca dan penggemar
sastra.

Aspek strukturalis genetik dalam karya sastra ini juga dapat menjadi penekan yang kuat dalam
memperlihatkan keunikan dan keberagaman masyarakat. Dengan menggali lebih dalam tentang
latar belakang pengarang dan konteks sosial saat karya tersebut ditulis, kita dapat memahami
lebih jauh tentang pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada masyarakat. Dengan
demikian, karya ini dapat terus menjadi sumber inspirasi dan refleksi bagi masyarakat dalam
menghadapi permasalahan yang ada.

Referensi
Nurhasanah, Dewi. (2015). Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann dalam Novel.
Soekanto, Soerjono. (2017). Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali
Pers.
Tohari, A. (2019). Di Kaki Bukit Cibalak. Gramedia Pustaka Utama.
Wahyudin, W., & Nopryana, R. D. (2020). Filosofis Kebenaran Fiksi Sebagai
Pengembangan Intelegensi Bagi Kehidupan Individu Manusia. Jurnal Bimbingan
Penyuluhan Islam, 1(2), 269-296.
Wellek, Rene; Warren, Austin; Budianta, Melani; Theory of literature. (1989). Teori
kesusasteraan / Rene Wellek & Austin Warren ; di Indonesiakan oleh Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,.

Anda mungkin juga menyukai