Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sastra sebagai produk budaya yang sebagian besar dinskripsikan dalam

bentuk tulisan merupakan representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai

makhluk sosial. Selain menggambarkan ide dan gagasan penulisnya, sastra juga

dapat menggambarkan sistem sosial dan budaya sebagai tempat penulis itu hidup.

Hal ini dapat dilihat apabila penulis sastra adalah seorang yang berdomisili di

Arab dan berbudaya Arab maka sebagian besar karya sastra ciptaannya pasti

merepresentasikan sistem sosial dan budaya Arab. Contohnya novel ‘Girls of

Riyadh’ ( banāt al -Riyadh) yang ditulis oleh Rajaa al-Sanea. Rajaa al-Sanea yang

merupakan representasi pribadi yang hidup di tengah masyarakat Arab telah

menggambarkan sistem sosial dan budaya Arab dalam novelnya tersebut.

Dalam novel ‘Girls of Riyadh’ penulis melukiskan sistem patriarki yang

masih sangat kental dalam sistem sosial di Saudi Arabia. Sastra dengan demikian

merupakan produk budaya yang menggambarkan aktivitas sosial masyarakat

yang diwakili oleh tokoh-tokohnya dalam suatu setting tertentu.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sastra merupakan

pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang

mengungkapkan problema kehidupan. Karya sastra menerima pengaruh dari

masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.

Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang sistematis tentang
kehidupan berkelompok manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia

lainnya yang secara umum disebut masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan

orientasi kepada pengarang. Abrams (1981) mengatakan sosiologi sastra

dikenalkan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang

utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status

kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan

dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Kesemuanya itu terangkum

dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang

membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-

tokohnya. Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang

dan lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau

tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal

inilah pengetahuan sosiologi berperan mengungkapkan isi sebuah karya sastra.

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis

oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang

mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan

demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan

sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman

bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan

masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra

dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.


Sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia.

Di dalamnya sang penulis mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan

kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial,

pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat

terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya seperti layaknya

kehidupan nyata. Dengan demikian, menghayati dan memahami karya sastra sama

halnya dengan menghayati dan memahami manusia dan kehidupannya dalam

segala segi, yang pada hakikatnya dapat dikaji oleh disiplin-disiplin ilmu yang

berhubungan dengan manusia (ilmu humaniora atau ilmu sosial). Salah satu

disiplin ilmu yang dapat mengkaji karya sastra dalam kaitannya dengan kehidupan

sosial adalah sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan kajian sastra dalam kaitannya dengan

masyarakat. Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara

menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan

masyarakat.

Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna

dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana

artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh

arkeolog (Pradopo: 1995). Pemberian makna atau penangkapan makna karya

sastra itu dilakukan dalam kegiatan kritik sastra. Aspek-aspek pokok kritik sastrta

adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian.

Dalam pemberian makna terhadap karya sastra tersebut, tentunya

pembaca, sebagai kritikus sastra, terikat pada teks karya sastra sendiri berdasarkan
kodrat atau hakikat karya sastra. Maka, untuk dapat menangkap makna sebuah

karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya

sastra, yakni melalui sebuah pendekatan atau teori sastra.

Pertengahan tahun 1970, di Indonesia mulai dikenal adanya teori-teori

sastra, misalnya strukturalisme dan sosiologi sastra. Orientasi sastra keduanya

sangat berbeda. Strukturalisme memandang karya sastra sebagai sesuatu yang

mandiri, yang penelitiannya berpusat pada struktur dalam karya sastra. Sedangkan

sosiologi sastra berorientasi mimetik, memandang karya sastra sebagai cerminan

masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur kemasyarakatan dalam

karya sastra (Pradopo: 1995).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditari kesimpulan bahwa rumusan

masalah adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana Interperensi Cerminan Masyarakat dalam Novel Perempuan

Berkalung Sorban?

2. Bagaimana Interperensi Fungsi Sosial Novel Perempuan Berkalung Sorban?

3. Bagaimana Kehidupan Sosial Anisa dalam Novel Perempuan Berkalung

Sorban Karya Abidah El Khalieqy?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SOSIOLOGI SASTRA MENURUT PARA AHLI


Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal

dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi

(logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas

(Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan

instruksi.Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya

memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,

hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1332). Sosiologi sastra

merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau

mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan

pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal,

ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang

merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.Sosiologi

lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan.Oleh karena

sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu

pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk

berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan

masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan

motodologis (Suekanto, 1982: 4 ).

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis

pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan

adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga
masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko.

1084: 23 ).

2.2 SEJARAH PERTUMBUHAN

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis

oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang

mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan

demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan

sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman

bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan

masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra

dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan

Aristoteles yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan

antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.

Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali

dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348)

dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori

mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).

Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti

(semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia

hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu
selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan

pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan

suatu ilusi (khayalan) tentang ‘kenyataan’ (yang juga hanya tiruan dari

‘Kenyataan Yang Sebenarnya’) sehingga tetap jauh dari ‘kebenaran’. Oleh karena

itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak

jiplakan, membuat copy dari copy.

Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni

menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-

mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena

‘kenyataan’ itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang

kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan

sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep

umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur

lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan

kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.

Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep ‘mimesis’ itu mulai

dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme

Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan

prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham

bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki

pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah

dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus

meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan


suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan

kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.

Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting:

Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis

Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra

modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang

sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan

dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863)

dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor,

yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta

tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani

suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut

dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang

selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi

manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada

suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial.

Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang

menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.

Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah

Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap

membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku

(strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini

membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa
depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat,

bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu

bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut

Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik,

sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini

sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada ‘misteri’ (ilham).

Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari

lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki

kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat

positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di

kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

2.3 FUNGSI SOSIAL SASTRA

Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti

“sampai berapa jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?”, dan “Sampai

berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”, ada tiga hal yang harus

diperhatikan.

1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya

pendeta atau nabi.

2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur

belaka.

3) Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).

Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk membangun

suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan
itu.Dalam penelitian novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini, konsep

sosiologi sastra sendiri menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin

masyarakat.Hal ini dkan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang

dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

2.4 SASARAN PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

1. Konteks Sosial Pengarang

Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan

dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.Dalam bidang

pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya

sastranya.Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.

1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima

bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja

rangkap.

2) Profesionalisme dalam kepengarangan membahasa sejauh mana sastrawan

menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.

3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara

sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam

masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka

(Damono, 1979: 3-4).

2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat


Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra dianggap

sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya.Kata “cermin” di sini dapat

menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan

disalahgunakan.Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian

adalah.

1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia

ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu

sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.

2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan

dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.

3) Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan

sikap sosial seluruh masyarakat.

4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-

cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin

masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak

dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali

masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.

Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai

cermin masyarakat (Damono, 1979:4).

2.4 TEORI PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Berikut adalah teori pendekatan sosiologi sastra menurut para ahli:


Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu

dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya

sastra dengan masyarakat, antara lain:

1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek

kemasyarakatannya.

2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek

kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.

3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat

yang melatar belakanginya.

4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan

masyarakat.

5.Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra

dengan masyarakat.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 SINOPSIS NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SURBAN


Novel ini merupakan penggambaran perjuangan seorang wanita bernama

Anissa yang merupakan anak dari seorang pimpinan Pondok Pesantren Salafiah

putri Al-Huda yang terletak di jawa timur.Anisa hidup dalam keluarga yang

sangat mengedepankan agama, bagi keluarganya yang terpenting hanyalah Al-

Qur’an, Hadist dan Sunnah dan mereka menganggap bahwa buku-buku modern

yang ada adalah sebuah hal yang menyimpang.

Dari sinilah Annisa mulai berfikir bahwa Agama Islam hanya berpihak

pada pihak laki-laki.Anissa tumbuh menjadi seorang remaja dengan segala rasa

penasaran akan perbeaan yang terletak pada hak antara laki-laki dan perempuan.

Apalagi kedua kakak laki-lakinya begitu bebas dalam kehidupan sehari-harinya.

Rasa iri menghampiri Anissa, hingga Anissa meminta pada Lek Kudhori yang

merupakan saudaranya untuk mengajarinya belajar berkuda, hal ini dilakukan

tentunya dengan sembunyi-sembunyi dan jauh dari sepengetahuan orang tuanya.

Bagi Anissa Lek Khudori adalah sosok idolanya, apalagi dia sangat mengerti pada

Anissa.Di tengah-tengah usianya yang beranjak dewasa Anissa merasa ada

sesuatu yang tak wajar pada dirinya, sebuah perasaan yang sangat aneh.Anissa

jatuh cinta pada Lek Kudhori, di saa-saat itu pula Lek Kudhory terpaksa

meninggalkan Anissa untuk menuntut ilmu di Universitas Al-Ashar Cairo.

Hari-hari yang dilalui Anissa terasa sangat berat, kini hari-harinya terasa

sangat menyebalkan dengan aturan-aturan yang sama sekali merugikan kaum

wanita. Pemberontakan demi pemberontakan dilakukan Anissa, namun semu itu

tak sedikitpun merubah kehidupannya, dan akibat pemberontakan-pemberontakan


itu.Dan saat ini usianya belum genap tiga belas tahun, namun ayahnya sudah

berinisiatif untuk menjodohkannya.

Singkat cerita akhirnya Anissa terpaksa menuruti kemauan orang tuanya

itu, Menikahlah Anissa menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dicintainya,

lelaki itu bernama Syamsudin yang merupakan anak dari kyai pemilik Pondok

Pesantren yang merupakan rekan relasi dari ayah Anissa. Orang tua Anissa

menjodohkan Anissa dengan Syamsudiu atas dasar karena Syamsudin merupakan

anak dari keluarga yang baik-baik dan lulusan Sarjana Hukum.

Namun keadaan berbalik arah, kehidupan rumah tangga yang dijalani

Anissa tak berjalan sesuai harapa, perlakuan Syamsudin pada Anissa sangat tidak

manusiawi.Namun hal itu tak pernah di ketahui oleh orang tua Anissa.Hingga

suatu ketika seorang janda muda bernama Mbak Kalsum mendatangi rumah

Syamsudin untuk meminta pertanggung jawaban atas kehamilannya bersama

Syamsudin. Kepelikan tak berhenti sampai disini, kini Anissa harus dimadu dan

harus mengurus Fadillah, bayi perempuan hasil hubungan Syamsudin bersama

Mbak Kalsum.

Suatu hari Anissa mnyempatkan diri pulang ke Pondok untuk menjenguk

orang tuanya.Kebetulan hari tersebut bertepatan dengan pulangnya Lek Kudhori

dari Cairo. Anissa mencurahkan segenap maslah yang dipendamnya, mengetahui

hal itu sang ayah jatuh sakit, dan berinisiatif untuk menceraikan anaknya. Sebuah

kebebasan kini telah direngkuhnya kebahagian kini menghampirinya.


Kebersamaan yang terjalin diantara Anissa dan Lek Khudori semakin

memupuk rasa cinta diantara mereka berdua.Kebersamaa diantara mereka berdua

memunculkan banyak pergunjingan di kalangan tetangga di sekitar mereka.

Anissa menikah dengan Lek Khudori, namun semua itu tak menghilangkan

trauma dibenak Anissa, Namun perlakuan lembut yang diberikan oleh Lek

Kudhori pelan-pelan meluruhkan traumatik akut yang melakat di benak Anissa.

Kini Anissa mendapatkan perlakuan yang sangat baik bak seorang ratu, perlakuan

yang sangat indah jauh dari perilaku-perilaku yang pernah diterimanya dari

mantan suaminya Syamsudin.Dan kini Anissa hidup dengan kebahagian yang

haqiqi.

Tahun telah berganti tahun dan merekapun dikaruniai seorang anak yang

diberi nama Mahbub.Ditengah-tengah kebahagiaan yang tengah berpihak

padanya, Sebuah kabar buruk menghampirinya, Lek Khudori tewas dalam

kecelakaan, ada yang mengatakan bila Syamsudinlah pelaku tabrak lari itu.

3.2 AnalisisCerminan Masyarakat Dalam Novel Perempuan Berkalung

Sorban

Ayah pergi ke kantor

Ibu memasak di dapur

Budi bermain di halaman

Ani mencuci piring

a. Mencerminkan anak perempuan sering dipersalahkan.

Kutipan novel;
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.

“Dia mau bertelur, jangan diganggu!”, sergahku. [Annisa] (hlm.2)

Rizal tercebur ke dalam blumbang, dan Annisa menolongnya.

“Kamu lama sekali! Kalau saja terlambat sedetik, aku bisa mati. Bodoh!”

[Rizal]

“Eh, sudah ditolong, bukannya terima kasih, malah maki-maki” [Annisa]

“Tetapi janji ya, nggak bilang sama Bapak. Janji?” [Rizal] (hlm.4)

Pada saat Rizal dan Annisa sampai di rumah, ayah mereka mendapati

mereka basah kuyup dan tahu mereka pasti melakukan sesuatu sehingga

memarahi mereka. Namun, Rizal menyalahkan Annisa dan Ayah

membenarkannya.

Kutipan novel;

“Bocah bagus…bocah pinter…anak Bapak, coba sekarang katakana,

kemana saja kalian berpetualang seharian!” tandasnya dengan tegas

“Dia yang mengajak, Pak,” Rizal mencari alasan dengan menunjuk mukaku.

“Tetapi kamu mau. Salah sendiri,” aku tak mau kalah.

“O…jadi rupanya kamu yang punya inisiatif bocah wedhok. Kamu yang

ngajari kakakmu jadi penyelam seperti ini ya?Kamu yang membujuk

kakakmu mengembara?”(hlm.6)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan sering

dipersalahkan.Pertama, saat Annisa menolong Rizal saat dia tercebur, Rizal


menyalahkannya karena kurang cepat, padahal Annisa sudah berusaha

melarangnya mengejar katak betina.Kedua, ayah menyalahkan Annisa karena

Rizal tercebur tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui duduk persoalannya.

b. Mencerminkan anak perempuan sering diperlakukan berbeda dari anak

laki-laki sehingga anak perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan

anak laki-laki.

Kutipan novel;

“Ow…ow…ow…jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik

kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan.

Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas,

anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi

lading, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih

bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak lamban, mengena kepalaku.

(hlm 7)

“Benar, Mbak. Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa

harus membersihkan tempat tidur dan mambantu ibu memask di dapur.

Sementara Rizal dan Wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar,

padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shalat

shubuh.”(hlm. 21)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan diperlakukan sangat

berbeda dari anak laki-laki.Dalam hal ini, anak perempuan tidak diperkenankan
belajar menunggang kuda, dan harus membantu ibu membersihkan rumah sehabis

shalat shubuh.Sementara, hak “istimewa” tidur setelah shalat shubuh didapat oleh

anak laki-laki.

c. Mencerminkan anak perempuan sering diperlakukan berbeda dari anak

laki-laki sehingga anak perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan

anak laki-laki.

Kutipan novel;

“…Ia seorang sarjana hukum dan putra seorang kiai ternama. Apalagi yang

kurang dari dirinya. Segalanya ia miliki. Dan ia memang laki-laki yang

memikat”. (hlm.105)

“Hentikan kelakuanmu!Atau aku pergi dari rumah ini.”

“Waduh, waduh!Galak amat!”Ia tertawa dan terus tertawa melecehkan.

“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa seenaknya memperlakukan aku?”

“Apa yang kau katakana, Nisa?Aku hanya ingin main-main denganmu.”

“ Main – main? Permainanmu sangat menyebalkan.”

“ O, yang mana lebih menyebalkan, permainanku atau nada bicaramu.”

“ Kita lihat saja nanti.”

Ia membuang puntung rokok dan serta merta di luar perkiraanku,

laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku dalam gendongannya. Lalu

membawaku ke kamar dan menidirkanku di atas ranjang. Kemudian

berusaha merayuku dengan suara lelaki di sama kerejaan Majapahit. Lalu

mengguling-gulingkan tubuhku dengan paksa. Dengan paksa pula ia buka


bajuku, dan semua yang menempel di badan. Aku meronta kesakitan tetepi

ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-

lipat. Matanya mendelik ke wajahku.Kedua tangannya mencengkeram

bahuku sekaligus menekan kedua lenganku.Beban gajihnya begitu berat

menindih tubuhku hingga semuanya menjadi tak tertahankan.Seperti ada

pelulu karet yang menembus badanku. (hlm.96-97)

Ia [Samsudin] mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar

tengah berhadapan dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian

menekan kuat-kuat wajahku di atas bantal sambil mengeluarkan sumpah

serapah tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus

kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku

dengan penuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak berdaya, ia

pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali. Busuk sekali bau ludahnya.

(hlm.103)

…Ia [Khudori] selalu memberiku cerita-cerita yang membesarkan hati.

Member semangat untuk terus belajar sampai mati. “Kau mesti belajar dan

mencari ilmu sampai jasadmu berbaring diantara dua batu nisan,” begitu

kata Lek Khudori yang selalu kuingat. “Tapi jangan juga tergantung pada

saya. Kau bisa belajar di mana saja, dan kapan saja. Kau mesti terus sekolah

sampai jadi sarjana.”(hlm.26)

“Dan siapa bilang aku [Khudori] melarangmu kuliah. Justru yang

kuinginkan, pendidikanmu jauh lebih tinggi dariku. Jika kau dapat meraih
gelar dkctor, itu adalah sebuah kebanggaan buatku dan anak-anak kita

nanti.” (hlm.200)

…SetiapMas Khudori mulai menyibakkan rambutku dan menciumi leherku,

tubuhku mengejang dan keringat dingin mulai mengalir pelan.

“Mengapa harus takut, sayang. Kita sudah menikah, kan. Apa kau takut

padaku dan membayangkan aku berubah menjadi hantu. Todakkan, Nisa.

AKu ini suamimu, Khudori namnya, dan tidak punya bakat untuk

menakutimu.”

“Tidak! Tidak! Sama sekali tidak, Mas. Bukan itu.Bukan itu yang membuat

aku takut.”

“Lalu apa?”

“Mungkin bayangan itu, Mas.”

“Bayangan.Bayangan sispa?”

“Samsudin. Bayangan Samsudin saat memperkosaku, Mas.”

“Oh, Nisa, aku tahu sekarang.”

Tiba-tiba Mas Khudori menghentikan semua serbuan mesranya.Lalu

bangkit dan berusaha rasa demam di tubuh.

“Aku bikini minum, ya…Mau?” (hlm.218-219).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu

mempunyai garis tegak lurus dengan perilaku seseorang.Dalam novel ini, kondisi

ini diwakili oleh Samsudin dan Khudori.Baik Samsudin maupun Lek Khudori

mempunyai latar pendidikan tinggi. Samsudin memiliki perilaku yang negatif


sementara Lek Khudori mempunyai perilaku positif. Salah satunya adalah dalam

memperlakukan Anisa baik secara fisik maupun mental.Samsudin selalu

merendahkan Annisa dan menganggap Anisa sebagai budak nafsunya.Sementara,

Lek Khudori selalu memotivasi Annisa untuk terus belajar dan mengejar cita-

citanya.

d. Mencerminkan perjodohan masih terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Kutipan novel;

“Tetapi anak peremouan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.Sudah cukup

jika telah mengaji dan khatam.Sudah ikut sorogan kitab kuning.Kami juga

tidak terlalu keburu.Ya, mungkin menunggu si Udin wisuda kelak. Yang

penting …. Kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan

dilangsungkannya pernikahan, nanti kan bisa direbuk lagi. Bukankah

begitu, Pak Hanan? Kita ini kan sama-sama orang tua…,” suara lelaki sang

tamu mempengaruhi.”

Mendengar kata-kata itu, darahku berasa beku.Aku bertahan dan berdiam

seperti patung.Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa

depanku.Alahkah jauhnya mereka melalui nasibku. (hlm.90)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa budaya perjodohan masih melekat di

tengah-tengah masyarakat dengan berbagai alasan dan tujuan.


e. Mencerminkan suatu bentuk poligami yang tidak lazim

kutipan novel;

…Berkali-kali Samsudin mencemoohku sebagai perempuan mandul, frigid

dan egois. Akupun mengamininya dan berharap ia menceraikanku

secepatnya. Dan pada suatu hari, ketika ia mengancam akan poligami,

akupun mengamininya. Bahkan, aku malah menyuruhnya untuk membawa

seorang perempuan lain ke rumah. Dan akan kusambut semua itu dengan

senyuman serta menyuguhinya makanan sambil mengatakan welcome.

Ahlan wa sahlan. (hlm.113-114)

…Ia [Kalsum] pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak

perabotan. …Mengatur keuangan, mengatur belanja dan segala keperluan,

juga keperluanku.

Aku [Annisa] tak pernah peduli dengan semua itu….Aku pun tak pernah

merasa ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. (hlm. 117)

Karena terharu akan kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku

seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami

berdua sesenggukan meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu

tinggi telah mencair dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir

dari sebuah pengertian baru tentang makna dan warna kehidupan.

(hlm.125)

Kutipan di atas menggambarkan suatu bentuk poligami yang tidak lazim.

Dalam hal ketidaklaziman itu terlihat pada: (1) Annisa mengizinkan Samsudin
untuk berpoligami tanpa beban; (2) Annisa mengizinkan Samsudin membawa istri

mudanya, Kalsum, hidup bersama satu atap dengannya; (3) Annisa tidak merasa

terganggu dengan keberadaan wanita lain di rumahnya; (4) Annisa tidak pernah

merasa iri dan cemburu; dan (5) Annisa memberikan dukungan moril kepada

Kalsum berkenaan dengan perilaku bejad Samsudin.

f. Mencerminkan pernikahan menjadi sempuna jika segera mempunyai

momongan.

Kutipan novel;

“Tidak kesepian nih, Neng Nisa tanpa momongan? Tunggu apalagi, Neng

Nisa, segalanya sudah tersedia kan?”

“Kesian bagamana, Mbak Ayu ini? Kan sekarang sudah momongan,

sekalipun dari yang lain,” kata Bu Sumi gendut, mengomentari ibu yang

lain.

“Tetapi kan beda dengan anak sendiri?”

“Jika tanah tandus dan gersang, ubi pun jadilah dimakan,” kata bu Mila…

(hlm.152)

“Aku takut dan khawatir, Mas. Jika pada saatnya kelak, ternyata aku tak

dapat member keturunan bagimu. Apa Mas akan tetap mencintaiku?” (hlm.

249)

Kutipan di atas menggambarkan tentang keadaan masyarakat yang

memandang bahwa suatu pernikahan dikatakan sempurna jika memiliki


momongan. Jika dalam kurun waktu tertentu belum memiliki momongan, hal itu

akan menjadi aib bagi keluarga tersebut, selalu menuai sindiran orang sekitar.

Bahkan, dengan tidak adanya momongan dapat menjadi badai dalam rumah

tangga.

3.3 Fungsi Sosial Novel Perempuan Berkalung Sorban

a. Fungsi Pembaharu atau Pendobrak

Ada beberapa fungsi penbaharu yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung

Sorban, antara lain:

1) Pembaharu dalam dunia pendidikan pesentren. Dalam hal ini Annisa

mendobrak kebiasaan di mana seorang santri tidak diperkenankan untuk

menyanggah seorang Kyai.

2) Pembaharu dalam hal kedudukan anak perempuan. Dalam hal ini Annisa

menunjukkan bahwa anak perempuan juga bisa melakukan aktivitas yang selama

ini dianggap sebagai kegiatan anak laki-laki seperti menunggang kuda.

3) Pendobrak anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu mempunyai

pendidikan yang tinggi. Dalam novel ini tokoh Annisa dengan segala upaya

berusaha menyelesaikan pendidikan Sarjana.

b. Fungsi Pendidikan

1) Novel ini mengajarkan bahwa ajaran agama tidak dapat dipahami hanya secara

harfiah.
2) Dalam rumah tangga seorang suami harus memperlakukan istri sebagai sahabat

dan partner kerja dalam kehidupan, bukan sebagai budak atau pembantu yang

mengurusi semua keperluan suami dan anak.

3) Novel ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dipaksakan akan berdampak

tidak baik.

4) Novel ini mengajarkan bahwa seorang perempuan tidak harus

menggantungkan kehidupannya kepada siapa pun termasuk kepada suami. Dia

harus bisa tegar dan berdiri di atas kakinya sendiri.

3.4 Kehidupan Sosial Anisa Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

Tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ialah Anisa.

Anisa selalu muncul dalam setiap tahapan peristiwa pada novel tersebut. Sesuai

kodratnya sebagai manusia, yakni manusia tidak dapat hidup sendiri atau akrab

dikenal dengan sebutan makhluk sosial, maka Anisa pun demikian. Dalam cerita,

Anisa digambarkan hidup bermasyarakat dengan orang-orang di sekitarnya. Ia

bersosialisasi dalam berbagai bidang, baik pendidikan, rumah tangga, maupun

organisasi sosialnya yang memperjuangkan kesetaraan gender kaum hawa.

Ketiganya akan diulas lebih lanjut sebagai berikut.

1) Kehidupan sosial tokoh di bidang pendidikan

Anisa adalah seorang putri kiyai yang memiliki sebuah pondok. Anisa

hanya mampu menamatkan sekolah dasar sebelum dipaksa menikah dengan lelaki
pilihan orang tuanya. Perjuangan Anisa tak putus di situ, dalam masa

penderitaannya berumah tangga, ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke

tsanawiyah dan aliyah.

Maka sekalipun sudah hampir dua minggu aku absen dari panggilan guru,

kupaksakan diri ini untuk kembali ke sekolah tsanawiyah. Dengan penuh

keyakinan bahwa segalanya akan berubah ketika lautan ilmu itu berkumpul di

sini, dalam otakku. Atas nama kecintaanku pada Lek Khudori, atas nama ilmu dan

atas nama perubahan, aku bergegas masuk ke dalam kelas. Kulahap semua ilmu

yang diajarkan para guru dengan sepenuh hati dan kemampuan berpikirku. Tiga

tahun berlalu dan kini aku telah lulus dengan menduduki ranking kedua setingkat

kabupaten.

Meski telah bersuami, aku memang belum hamil. Dan jika aku hamil,

tentu aku tak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat aliyah.

Tak hanya berhenti sampai pendidikan di tingkat aliyah, rupanya cita-cita

Anisa adalah menjadi seorang sarjana. Mimpi itu pun ia kejar setelah bercerai

dengan sang suami. “Uruslah pendaftaran dan segera kuliah. Dengan kuliah, kau

akan memiliki banyak kesibukan,” kata Lek Khudori.

“Kupikir, itulah satu-satunya yang harus segera kulakukan, Lek” (D)

Atas dukungan ibu dan Wildan juga atas pertimbangan bahwa kondisiku kurang

baik untuk tinggal terlalu lama tanpa aktivitas setelah menjanda, aku putuskan

niatku untuk segera berangkat ke Yogyakarta, melanjutkan sekolah di perguruan

tinggi . sekali pun Rizal dan wildan juga di Yogya, aku tidak mau tinggal bersama

mereka. Aku ingin merasakan kemerdekaan hidup yang mengobsesi sekian lama
dalam benakku. Toh aku sudah dewasa kini. (N) N Anisa begitu gigih dalam

meraih cita-cita pendidikannya, terlebih orang yang ia cintai selalu mendukung

untuk itu. Terlihat dari kutipan-kutipan di atas bahwa Anisa tetap melanjutkan

sekolah meskipun sudah menikah. Selanjutnya, setelah ia menjanda ia

melanjutkan sekolah di perguruan tinggi atas dorongan Lek Khudori dan dengan

dukungan orang tuanya. Anisa membuktikan kepada pembaca bahwa perempuann

juga memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan.

Perempuan juga boleh melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

2) Kehidupan sosial tokoh dalam kehidupan berumah tangga

Orang tua Anisa telah menjodohkan Anisa dengan seorang putra kiyai

sahabatnya sehingga keduanya yakin Anisa menikah dengan orang yang tepat:

Syamsudin. Namun, kenyataan yang dialami Anisa rupanya jauh dari harapan

orang tuanya. Rumah tangganya jauh dari kata harmonis. Anisa sering mendapat

kekerasan dari Syamsudin, namun ia tak tinggal diam, ia tak jarang melakukan

pembelaan atas dirinya.

“Kau memperkosaku, Samsudin! Kau telah memperkosaku!”

“Memperkosa? Heh heh heh …,” ia terbahak-bahak kecil karena merasa

puas mengerjaiku. “Mana ada suami memperkosa isterinya sendiri. Kau ini

aneh, Nisa. Aku belum pernah melihat perempuan sebodoh kau ini. Tetapi

sekalipun bodoh, kau begitu molek. Tubuhmu begitu luar biasa, heh heh

heh…”

“Hentikan ocehanmu! Perilakumu seperti bukan muslim!”(hlm. 23 )


Anisa membela dirinya dengan kata-kata perlawanan terhadap Samsudin.

Kata-kata untuk menyadarkan Samsudin bahwa perbuatannya terhadap istri tidak

terpuji. Meskipun kata-kata itu kadang justru membuat dirinya makin dianiaya

Samsudin. Selain itu, Anisa juga membela dirinya dengan perbuatan sebagai

berikut.

Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan pundakku lebam

kebiru-biruan. Untuk kali pertamaku, kucakar wajahnya dan ia membanting

badanku ke lantai. (N) Dari narasi tersebut dapat diketahui bahwa Anisa membela

dirinya dengan cara mencakar wajah Samsudin yang telah menamparnya.

Begitulah pembelaan Anisa, namun Samsudin tetap tak mau kalah. Samsudin

membanting Anisa ke lantai dari atas ranjang mereka. Itulah potret kekerasan

dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Samsudin kepada Anisa.

Anisa akhirnya bercerai dengan Samsuduin. Lantas ketika ia tengah

menempuh pendidikannya di perguruan tinggi, ia pun menikah dengan orang yang

selama ini ia cintai: Lek Khudori. Kehidupan rumah tangga Anisa dengan lek-nya

sangat berbeda ketika ia dengan Samsudin. Dengan Khudori, ia benar-benar

merasakan indahnya pernikahan, ia sangat bahagia. Aku semakin kepayang.

Malang melintang di taman keindahan. Darahku seolah mengalir ke satu titik,

menyerbu dan menggempurnya untuk sesuatu yang membuatku penasaran.

Di antara rasa dan keindahan yang berlipat ganda itu, aku mendengaar mas

Khudori melafalkan sebuah doa. Bismillahi Allahumma janibnas syaithan.

“Bagaimana, sayang…apa yang kau rasakan?” (D)

“Terus saja, Mas…” (D) (hlm 35)


Dari narasi dan dialog di atas, diterangkan bahwa Anisa tidak merasa

terpaksa melakukan hubungan suami istri, karena Khudori bersikap lembut dan

penuh kasih sayang, tidak seperti bersama Samsudin (ia merasa diperkosa).

3) Kehidupan sosial tokoh dalam memperjuangkan kesetaraan gender

Merasa orang-orang tidak adil atas dirinya sebagai perempuan dan

menghadapi masalah pelik dalam rumah tangganya, membuat Anisa tak ingin

sesamanya merasakan hal yang ia rasakan. Untuk itu, semenjak ia duduk di

bangku perkuliahan ia mengikuti sebuah organisasi ekstra kampus.

Dengan kuliah, aku menaiki jenjang pendidikan setapak demi setapak

dengan ilmu yang merasuki otak. Membentuk pola pikir dan kepribadianku.

Dengan organisasi aku mempelajari cara berdebat, berpidato dan

manajemen kata untuk menguasai massa, juga lobby dengan banyak orang

yang lebih lama kuliahnya. (hlm 31)

Trauma Samsudin begitu parah mengendap dalam kesadaranku,

hingga beberapa teman mengira aku alergi terhadap laki-laki. Seperti Nina

yang memperolokku sebagai perempuan salju. Terlebih jika aku bicara di

forum mengenai laki-laki, lidahku menjadi pedas dan kata-kata yang ke luar

akan semakin pedas lagi dari yang dapat dikira. Jika terjadi debat kusir

dengan seorang laki-laki di luar forum, lidahku bisa melingkar-lingkar dan

seluruh anggota badanku, dari gerakan tangan atau tatapan mata akan ikut

memainkan peran untuk membuat lawan bicara menjadi kelenger. Klepek-

klepek seperti ikan di blumbang keruh. (hlm 32 )


Dari narasi di atas dapat diketahui bahwa traumanya dengan Samsudin

membuatnya menjadi sangat galak terhadap laki-laki.

“Memangnya ada apa dengan Basuni, Nin, bukankah ia kasmaran

betul dengan kamu?”

“Itu urusan dia. Tetapi nggak zamannya laki-laki menguasai

perempuan. Belum apa-apa sudah melarang ini melarang itu, perintah sana,

perintah sini, seenaknya. Memangnya aku ini kacung?” Kata Nina sebal.

Dialog antara Anisa dan rekan organisasinya itu mengkritisi seorang laki-

laki yang suka mengatur dan itu sangat tidak disukai kaum hawa karena hal itu

dianggap suatu ketidakadilan.

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
a. Cerminan Masyarakat Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah

Anisa Mencerminkan seorang anak perempuan yang sering dipersalahkan,

Mencerminkan anak perempuan yang sering diperlakukan berbeda dari anak

laki-laki sehingga anak perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan anak

laki-laki, Mencerminkan perjodohan masih terjadi ditengah-tengah

masyarakat, serta Mencerminkan pernikahan menjadi sempuna jika segera

mempunyai momongan

b. Makna dan amanat yang dapat kita ambil untuk dijadikan sebagai penambahan

pengetahuan umum dan sebagai bahan referensi dalam kehidupan sehari-

hari.Novel yang berlatar belakang agama ini banyak menampilkan kasus yang

dikaitkan dengan hukum agama yang kadang bertentangan dengan kehidupan

masyarakat.Maka dari itu, sebaik-baik orang adalah yang mau menerima

masukan dan kritik membangun yang bermanfaat untuk kehidupan lingkungan

sosialnya. Tidak hanya itu dalam novel inui juga ditonjolkan perbedaan yang

dilakukan terhadap laki-laki dan perempuan. Hal itu menyiratkan kita agar

tidak membeda-bedakan laki-laki dengan perempuan karena pada hakikatnya

manusia itu sama, yang membedakan hanya tingkah lakunya.Selain itu, dalam

membina rumah tangga, kita juga harus mengadakan suatu kesepakatan yang

disetujui kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Jika tidak adanya suatu

kesepakatan yang jelas, akan banyak perbedaan yang timbul dalam keluarga,

meskipun perbedaan itu memang selalu ada. Namun jika dapat mengantisipasi

perbedaan itu, hendaklah mengusahakan keseragaman berpikir dalam

membina keluarga.
c. Kehidupan sosial Anisa begitu bagus, luar biasa, utamanya dalam aksi

penyetaraan gender. Ia menginginkan derajat seorang perempuan itu sama

berartinya dengan seoranga laki-laki. Baginya, baik laki-laki maupun

perempuan memiliki peran yang sama dalam hidup ini. Keduanya berhak atas

pendidikan yang sama, suara yang sama, kesempatan yang sama, dan

sebagainya. Novel ini sangat apik dan dapat menginspirsi kaum hawa untuk

bersemangat meneruskan perjuangan tokoh yang lekat dengan telinga kita,

yakni RA Kartini. Beliau adalah tokoh emansipasi wanita. Perjuangan

emansipasi beliau tercermin dalam novel ini dan menyenangkan untuk dibaca.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra. Http://Bocahsastra.Blogspot.Com.

Diambil Pada 16 Maret 2012.


Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern.Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press).

Sugono, Qodratillah Dkk. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

(Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia.

Escarpit, Robert. 2009. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Endeswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, CAPS, 2003.

H.T., Faruk, Sosiologi Sastra Indonesia, Yogyakarta, KMSI Fakultas Sastra

UGM, 2005.

Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, Haninditha Graha Widia,

2001.

Khalieqy, Abidah El, Perempuan Berkalung Sorban, Yograkarta, Arti Bumi

Intaran, 2008.

Ratna, Nyoman Kutha, Teori Metode Dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2006.

Anda mungkin juga menyukai