dengan pancaindra selalu kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya
menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya
tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari
'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada
seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni
menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu
yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang
dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas
copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan
mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang
wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu
gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia
dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-
60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan
kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik.
Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdekatan
prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan
paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik
yang memiliki pembayangan historis dalam zamannya.
Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti dan
menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu
perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan
kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman
positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte
Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis
Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra
modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang
sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang
digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English
Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat
dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan
(milieu).
Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen,
maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang
melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor
inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya
diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi
manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik
pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan
sosial.
Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi
mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah
Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel,
dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan
cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu.
Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model
kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama
datang dari Flaubert (1864).
Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang
anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah
merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun
segi- segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita
untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering
kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham).
Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat
dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan
Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam
penjelasannya yang
sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran
intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.4
Karya sastra memiliki fungsi sosial sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat pada saat penciptaan karya tersebut. Dengan kata lain,
seberapa jauh nilai-nilai sosial dalam karya sastra tersebut berkaitan
dengan nilai- nilai sosial yang ada. Fungsi sosial memiliki tiga hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu sastra berfungsi sebagai perombak
masyarakat, sastra berfungsi sebagai media penghibur, dan hubungan
antara sastra sebagai pendidik dengan cara menghibur (Damono, 2002: 4).
Fungsi yang digunakan untuk memberikan pengajaran sosiologi
sastra antara lain:
a) Fungsi sosiologi sastra adalah memperbarui dan membentuk
kembali tradisi masyarakat saat ini
b) Sosiologi sastra berfungsi sebagai media hiburan masyarakat
c) Sastra dan sosiologi sastra telah menjadi titik batas antara hal-
hal yang dapat diilustrasikan dengan contoh-contoh, dan harus
diganti atau tidak layak dalam penelitian.5
3. Metode yang Digunakan dalam Sosiologi Sastra
1. Perspektif Sosiologis
Penelitian sosiologi sastra memiliki kacamata sosiologis, dan sosiologi
diartikan dalam perspektif luas. Sosiologi sastra dalam pengertian ini
mencakup pelbagai perspektif yang masing-masing didasarkan pada
pandangan teoretis tertentu. Perspektif penelitian sosiologi disebut
dengan sosiologi sastra karena mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan seperti, pendekatan sosiologi, atau pendekatan
sosiokultural terhadap sastra.
2. Perspektif Genetika
Pada tahun 1964 pada konferensi tentang Sastra dan Masyarakat di
Brussels, Goldman memberikan tesis dari catatan Girard tentang Drama
The Divine Comedy. Dia menekankan kepada aspek kesejarahan teks
dalam studi sosiologi sastra yang disebut strukturalisme genetik. Proses
ini merupakan posisi dimana peneliti menyusun peristiwa penelitian,
keadaan, aspirasi masa depan, dan gambaran masa lalu yang
menggambarkan hidup, norma masyarakat, dan kekhasan struktur
sosial.7
Footnote
3
Mynameisbunny, Teori, Pendekatan dan Metode Analisis Sosiologi Sastra, Wordpress, 25 Mei
2012, https://mynameisbunny.wordpress.com/2012/05/25/55/
4
Anonim, Makalah Sosiologi Sastra, jaririndu.blogspot, 16 Maret 2012,
https://jaririndu.blogspot.com/2016/12/makalah-sosiologi-sastra.html
5
Uinsyekhnurjati, Bab II, repository.syekhnurjati, diakses pada 29 November 2023,
https://repository.syekhnurjati.ac.id/5601/3/BAB%20II.pdf
6
Syamsul Dwi Maarif, Ketahui Metode Penelitian Sosiologi Sastra & Teknik Analisis Data, Tirto.id, 1
April 2011, https://tirto.id/ketahui-metode-penelitian-sosiologi-sastra-teknik-analisis-data-gbzt
7
Suwardi, Bahan Kuliah Sosiologi Dasar, Yogyakarta: UNY Press, 2011: 63-77
8
Abraham William, Teori Pendekatan Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt, Tirto.id, 30 Maret 2021,
https://tirto.id/teori-pendekatan-sosiologi-sastra-menurut-ian-watt-gbCD