Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian Sosisologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sastra


merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang
pengarang mengungkapkan problema kehidupan. Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau
pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan berkelompok manusia
dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya yang secara umum
disebut masyarakat.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan
orientasi kepada pengarang. Abrams via internet (1981 :178) mengatakan
sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli
sejarah sastra yang utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang
pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-
keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis
pembaca yang dituju. Kesemuanya itu terangkum dalam aspek yang
membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun
keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya.
Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan
lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau
tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh,
dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan mengungkapkan isi
sebuah karya sastra.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra
ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being,
makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra
memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara
sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.3

2. Sejarah dan Fungsi Sosiologi Sastra

Sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra didasarkan pada


dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang
merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi
dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga
dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan
nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa
sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara
sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya
(Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan
oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang
menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali
dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato
(428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat
memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van
Luxemburg, 1986:15). Menurut Plato, setiap benda yang berwujud
mencerminkan suatu ide. Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka
ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia ide-ide. Jiplakan atau
copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati

dengan pancaindra selalu kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya
menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya
tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari
'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada
seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni
menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu
yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang
dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas
copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan
mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang
wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu
gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia
dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-
60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan
kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik.
Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdekatan
prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan
paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik
yang memiliki pembayangan historis dalam zamannya.
Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti dan
menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu
perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan
kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman
positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte
Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis
Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra
modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang
sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang
digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English
Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat
dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan
(milieu).
Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen,
maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang
melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor
inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya
diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi
manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik
pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan
sosial.
Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi
mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah
Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel,
dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan
cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu.
Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model
kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama
datang dari Flaubert (1864).
Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang
anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah
merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun
segi- segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita
untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering
kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham).
Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat
dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan
Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam
penjelasannya yang
sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran
intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.4
Karya sastra memiliki fungsi sosial sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat pada saat penciptaan karya tersebut. Dengan kata lain,
seberapa jauh nilai-nilai sosial dalam karya sastra tersebut berkaitan
dengan nilai- nilai sosial yang ada. Fungsi sosial memiliki tiga hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu sastra berfungsi sebagai perombak
masyarakat, sastra berfungsi sebagai media penghibur, dan hubungan
antara sastra sebagai pendidik dengan cara menghibur (Damono, 2002: 4).
Fungsi yang digunakan untuk memberikan pengajaran sosiologi
sastra antara lain:
a) Fungsi sosiologi sastra adalah memperbarui dan membentuk
kembali tradisi masyarakat saat ini
b) Sosiologi sastra berfungsi sebagai media hiburan masyarakat
c) Sastra dan sosiologi sastra telah menjadi titik batas antara hal-
hal yang dapat diilustrasikan dengan contoh-contoh, dan harus
diganti atau tidak layak dalam penelitian.5
3. Metode yang Digunakan dalam Sosiologi Sastra

Secara umum metode penelitian sosiologi sastra menggunakan


metode kualitatif namun, ada juga peneliti yang menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Berikut pengertian metode kualitatif maupun metode
deskriptif kualitatif.
1 Metode Kualitatif Dikutip dari buku Metode Penelitian Kualitatif oleh
Lexy J. Moleong (2007:4), Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa
metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
pelaku

yang diamati. Pendekatan kualitatif ditujukan pada latar perseorangan


atau organisasi dalam variable atau hipotesis dengan memandang
sebagai bagian dari keutuhan. Dikutip dari tesis Kajian Sosiologi Sastra
Terhadap Novel Galaksi Kinanthi Karya Tasaro Gk dan Pemanfaatan
Hasilnya Untuk Bahan Ajar Apresiasi Sastra di Madrasah Aliyah oleh
Mutmainah (2016), Sugiono mengemukakan bahwa pendekatan
kualitatif berguna untuk memperoleh data mendalam yaitu data yang
sebenarnya sebagai suatu nilai di balik data yang tampak. John W
Creswell mengungkapkan pendapat yang sejalan dalam buku Research
Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (2014:59), bahwa
penelitian kualitatif berasal dari data alami dan analisis yang bersifat
induktif maupun deduktif.
2 Metode Deskriptif Kualitatif Untuk menemukan struktur dan aspek
sosiologi sastra terkadang peneliti menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Dikutip dari buku Metodologi Penelitian oleh I
Made Winartha (2006:155), metode analisis deskriptif kualitatif adalah
menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi
dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawacara atau
pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan.
Sedangkan menurut Sugiyono dalam buku Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (2008:14), metode analisis
berlandaskan pada filsafat post positivisme, yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagi instrumen kunci. Hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi6.

Suwardi menjelaskan ada beberapa hal-hal yang dapat dipahami


dalam Metode Penelitian Sosiologi Sastra sebagai berikut, Kesadaran
Ruang Sosial dan Geografi

1. Perspektif Sosiologis
Penelitian sosiologi sastra memiliki kacamata sosiologis, dan sosiologi
diartikan dalam perspektif luas. Sosiologi sastra dalam pengertian ini
mencakup pelbagai perspektif yang masing-masing didasarkan pada
pandangan teoretis tertentu. Perspektif penelitian sosiologi disebut
dengan sosiologi sastra karena mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan seperti, pendekatan sosiologi, atau pendekatan
sosiokultural terhadap sastra.
2. Perspektif Genetika
Pada tahun 1964 pada konferensi tentang Sastra dan Masyarakat di
Brussels, Goldman memberikan tesis dari catatan Girard tentang Drama
The Divine Comedy. Dia menekankan kepada aspek kesejarahan teks
dalam studi sosiologi sastra yang disebut strukturalisme genetik. Proses
ini merupakan posisi dimana peneliti menyusun peristiwa penelitian,
keadaan, aspirasi masa depan, dan gambaran masa lalu yang
menggambarkan hidup, norma masyarakat, dan kekhasan struktur
sosial.7

4. Pendekatan yang Digunakan dalam Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra memiliki banyak metode pendekatan terhadap suatu


objek kajian. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam buku Teori
Kesusastraan (1956:84), sosiologi sastra adalah pengarang yang
memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut
pengarang sebagai penghasil sastra.

Yang kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra


itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang
tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

Yang ketiga adalah sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan


pengaruh sosial sastra. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan klasifikasi yang
didefinisikan oleh kritikus sastra Ian Watt. Ia melihat hubungan timbal balik
antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra--menurut
Ian Watt--akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra
sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Pendekatan Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt

Ian Watt dalam Literature and Society (1964:300) membicarakan


tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yang
secara keseluruhan dapat dilihat sebagai berikut:
 Konteks sosial pengarang

Dari sini, kita dapat melihat bagaimana si pengarang mendapatkan


mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari
masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap. Kemudian, juga bisa
dilihat dari profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi. Selain itu, masyarakat apa
yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat. Hal
ini sangat penting, sebab macam masyarakat yang dituju ikut menentukan
bentuk dan isi karya sastra.

 Sosiologi sebagai cermin masyarakat

Menurut Ian Watt, sastra mungkin tidak dapat dikatakan bahwa ia


mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis. Sebab, banyak ciri-ciri
masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi
pada waktu ia ditulis. Sifat ‘lain dari yang lain’ seorang pengarang sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan
sikap sosial seluruh masyarakat. Sastra yang berusaha menampilkan keadaan
masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin
masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat
dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Akan tetapi,
pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat.

 Fungsi Sosial Sastra

Sudut pandang dari kaum Romantik menganggap karya sastra sama


dengan karya pendeta atau nabi. Dalam anggapan ini, tercakup juga pendirian
bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaru dan perombak keadaan masyarakat
yang dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman atau bertentangan dengan norma-
norma sosial. Dari sudut lain dikatakan pula bahwa sastra bertugas sebagai
penghibur belaka. Dalam hal ini “seni untuk seni”. Namun, semacam kompromi
agar dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik, salah satu fungsi karya sastra
adalah dulce et utile bahwa sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.8

Footnote
3
Mynameisbunny, Teori, Pendekatan dan Metode Analisis Sosiologi Sastra, Wordpress, 25 Mei
2012, https://mynameisbunny.wordpress.com/2012/05/25/55/
4
Anonim, Makalah Sosiologi Sastra, jaririndu.blogspot, 16 Maret 2012,
https://jaririndu.blogspot.com/2016/12/makalah-sosiologi-sastra.html
5
Uinsyekhnurjati, Bab II, repository.syekhnurjati, diakses pada 29 November 2023,
https://repository.syekhnurjati.ac.id/5601/3/BAB%20II.pdf
6
Syamsul Dwi Maarif, Ketahui Metode Penelitian Sosiologi Sastra & Teknik Analisis Data, Tirto.id, 1
April 2011, https://tirto.id/ketahui-metode-penelitian-sosiologi-sastra-teknik-analisis-data-gbzt
7
Suwardi, Bahan Kuliah Sosiologi Dasar, Yogyakarta: UNY Press, 2011: 63-77
8
Abraham William, Teori Pendekatan Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt, Tirto.id, 30 Maret 2021,
https://tirto.id/teori-pendekatan-sosiologi-sastra-menurut-ian-watt-gbCD

Anda mungkin juga menyukai