Anda di halaman 1dari 15

PEMBERONTAKAN MAHASISWA PADA REZIM ORDE

BARU DALAM NOVEL LAUT BERCERITA

KARYA LEILA S. CHUDORI

(PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA IAN WATT)

Andi Imamul Akhyar, Ridwan

Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar

Jl. Mallengkeri Raya, Parang Tambung, Kec. Tamalate,

Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90224

Tel.: 0411883187

Email: andimul09@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilandasi oleh pandangan bahwa karya sastra pada dasarnya
terdapat konteks sosial pengarang,sastra sebagai cermin masyarakat dan,fungsi sosial
dalam masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) Konteks sosial
pengarang (2) Sastra sebagai cermin masyarakat dan,(3) Fungsi sosial dalam masyarakat
dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Teori yang melandasi penelitian ini
yaitu sosiologi sastra Ian Watt yang terfokus pada analisis sastra sebagai karya sastra
yang memiliki konteks sosial pengarang,sastra sebagai cermin masyarakat dan,fungsi
sosial dalam masyarakat.Dalam mengolah objek penelitian ini di gunakan teknik
deskriptif kualitatif dan analisis isi. Data penelitian ini berupa karya sastra Indonesia
yaitu Novel Laut Bercerita karya Leila S.Chudori. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya (1) Konteks Sosial Pengarang (2) Sastra sebagai cermin masyarakat (3) Fungsi
Sosial Satra dalam Novel Laut Bercerita kaya Leila S. Chudori dalam tokoh Biru Laut
yang merupakan sebuah mahasiswa pada rezim orde bau yang dihadapkan dengan
beberapa aturan yang menyalahi nilai-nilai demokrasi dan memperjuangkan apa yang
dianggapnya benar.

Kata Kunci: Pemberontakan, novel, sosiologi sastra.

PENDAHULUAN

Realita sosial dalam karya sastra adalah cara pandang penulis dalam mengingkari
realitas sosial yang melingkupi kehidupannya sehingga tulisan merupakan gambaran
sosial yang menghadirkan kembali kebenaran masyarakat yang seringkali dihasilkan
melalui kualitas-kualitas menurut penulisnya. Seorang ahli kemudian, pada saat itu,
berpendapat bahwa karya sastra adalah hasil dari aliran inovasi yang berbeda di mana ada
perasaan dan perspektif tentang penulis.(Budianta dkk, 2008:7).

Wellek dan Warren pun membagi ilmu sosiologi sastra menjadi 3 klasifikasi
yaitu. Pertama, sosiologi penulis, yang khawatir tentang posisi masyarakat, filsafat
politik, dan lain-lain tentang penulis. Kedua, sosiologi karya sastra, yang
mempertanyakan tentang karya sastra. Urutannya tidak jauh berbeda dengan beberapa
bagian yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan yang setara antara penulis,
tulisan, dan masyarakat. Menurut Ian Watt, sebuah karya sastra akan mencakup tiga hal,
yaitu konteks sosial penulis, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi
sosial.(Muslimin, 2011: 130).

Pemilihan novel ini karena terinspirasi terhadap kisah nyata yang di gambarkan
seorang Mahasiswa bernama Biru Laut yang menuntut keadilan di negerinya yang akan
bersinggungan dengan kepentingan pejabat pemerintah pada saat itu.Selain itu, novel
Laut Bercerita menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

METODE PENELITIAN

Menurut (Frankel Anggito & Setiawan, 2018: 10) penelitian kualitatif memiliki
beberapa karakteristik, Salah satunya ialah penelitian kualitatf yang lebih bersifat
deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa gambar atau data data selain. Kemudian
(Anggito & Setiawan, (2018: 11) menjelaskan bahwa pada langkah ini peneliti perlu
menjelaskan objek, fenomena, atau lingkungan sosial dalam bentuk naratif. Singkatnya,
data dan fakta yang disajikan dalam bentuk gambar atau kata kata bukan angka. Dalam
penyusunan laporan penelitian kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan data (fakta) yang
diungkapkan di lapangan untuk membantu penyajian laporan.Beberapa data dari novel
Laut Bercerita dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif.Fokus penulisan
adalah gambaran pemberontakan mahasiswa yang terdapat dalam novel Laut Bercerita
karya Leila S.Chudori dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Ian Watt.

LANDASAN TEORI

Cara berperilaku sosial merupakan ketergantungan lingkungan yang merupakan


syarat mutlak untuk menjamin kehidupan manusia. Fungsi sosial sastra berhubungan
dengan kualitas sosial. Dalam pergaulan ini ada tiga hal yang harus dipikirkan: (1)
pandangan kaum Romantik yang menganggap sastra setara dengan karya para pendeta
atau nabi. Sejalan dengan ini, sastra harus bekerja dan bersifat pembaharuan; (2) sastra
sebagai hiburan semata; dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur. Fakta sosial hakikatnya adalah mempengaruhi tindakan manusia. Kegiatan
individu yang merupakan hasil dari cara paling umum mem-visualisasikan realitas sosial
dan bagaimana individu tersebut mendeskripsikan yang telah terjadi, pokok pemikiran
dasar bahwa manusia adalah hewan yang kreatif dan inovatif dalam menciptakan realitas
dan sosial mereka sendiri.(Ayu purnamasari, dkk 2017:144).

Ian Watt memaknai hubungan timbal balik antara sastrawan , tulisan dan
masyarakat sebagai berikut: 1) konteks sosial penulis, yang menghubungkan dengan
lingkungan penulis di mata publik dan pemahaman wilayah setempat, termasuk faktor
sosial yang dapat mempengaruhi penulis sebagai pribadi atau perseorangan serta
mempengaruhi karya sastranya. 2) Menulis sebagai gambaran masyarakat, yang dapat
dirasakan dengan menyadari bahwa karya sastra dapat mencerminkan kondisi masyarakat
ketika karya sastra itu dibuat ,citra diri penulis mempengaruhi citra masyarakat atau
realitas sosial yang ingin disampaikan, dan mengetahui karya-karya yang dibuat lalu
dimanfaatkan oleh penulis yang dianggap dapat menyentuh masyarakat. 3) fungsi sosial
sastra adalah untuk mengetahui bahwa karya sastra bersifat pembaharu dan menjadi
sarana hiburan serta nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.(Faruk, 2016:5).

Selain itu menurut Damono (1978:6) sosiologi sastra adalah kajian ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat yang bersifat objektif; kajian tentang lembaga dan proses
sosial, lalu menurut Swingewood (dalam Faruk 1994:1) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi tentang lembaga dan proses-proses social. Sebagaimana sosiologi, sastra juga
berkaitan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra pengaruh budaya tempat
karya sastra dilahirkan juga tak terlepaskan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono
(1978:3-4) membagi mengenai keterkaitan timbal balik antara sastrawan, sastra dan
masyarakat, yang secara keseluruhan.

a. Konteks sosial pengarang.

Konteks sosial pengarang memiliki keterkaitan dengan status sosial


sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Mengenai
hal ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penulis sebagai
individu di samping mempengaruhi isi karya sastra.Pendekatan ini meliputi:
bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai mana penulis menganggap
pekerjaannya sebagai sebuah profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan pengarang.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat;

Sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat.
Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah, 1)
sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat, 2)
sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat,
3) sejauh mana genre sastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili
seluruh masyarakat.

c. Fungsi sosial sastra.

Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian, 1) sejauh mana sastra
dapat berfungsi untuk merombak masyarakat, 2) sejauh mana sastra hanya sebagai
hiburan, 3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk
1994:4-5). Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya
saling melengkapi. Menurut Wellek dan Warren jika sastra dianggap sebagai cermin
keadaan masyarakat masih sangat kabur meski sastra tidak sepenuhnya dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis ( Wellek dan Warren
dalam Damono 1978:3).

Selain itu, mereka juga membuat penokohan yang menyertainya: pertama, posisi
masyarakat pencipta, yang mengkhawatirkan kesejahteraan ekonomi, sistem
kepercayaan sosial, dan agama, yang menyangkut pencipta sebagai pembuat tulisan.
Kedua, social writing mengkhawatirkan karya ilmiah itu sendiri, yang menjadi bahan
kajian, khususnya alasan dan apa yang dikemukakan dalam karya sastra tersebut.
Ketiga, tulisan sosial yang menyangkut pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Sosiologi sastra dianggap sebagai pendekatan ekstrinsik dengan pengertian


agak negatif (Damono 1978:3). Menurut (Wellek dan Warren 1995:111)
mengemukakan sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra adalah arus keluar
dari sentimen individu. Sastra mencerminkan dan mengkomunikasikan keberadaan
penulis, Sastra belum dapat mengkomunikasikan perjumpaan dan perspektif tentang
keberadaan. Bagaimanapun, tidak sesuai dengan mengatakan bahwa pencipta dengan
kuat dan lengkap menyampaikan perasaannya. Dengan berkonsentrasi pada organisasi
yang bersahabat dan semua masalah moneter, ketat, kebijakan yang didorong, yang
semuanya merupakan desain yang bersahabat, ini adalah penggambaran cara orang
menyesuaikan diri dengan iklim sehubungan dengan sistem sosialisasi sistem
pencerahan yang menempatkan individu di tempat mereka masing-masing.

Sosiologi adalah suatu telaah sosial terhadap sastra. Sosiologi dapat


diartikan sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan (Wellek dan Warren 1995 :109). Sosiologi mempermasalahkan
sesuatu di sekitar sastra dan masyarakat yang bersifat eksternal mengenai hubungan
sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, politik (Wellek
dan Warren 1995 :110).Dalam pendekatan sosiologi ini adalah meskipun pengarang
melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, belum tentu menyuarakan
kemauan masyarakat.

Pendekatan sosial memiliki segi-segi manfaat, berguna apabila kritikus


sendiri tak melukiskan segi-segi intrinsik yang membangun sastra, di samping
memperhatikan sosiologi sastra menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh
suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imaji (Wellek dan Warren 1995 : 110).
Pendekatan sosiologi umum dilakukan terhadap hubungan sosial sastra dan
masyarakat sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan (Wellek dan Warren
1995 :110).

Berdasarkan klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi


sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi,
kemasyarakatan mempunyai cakupan luas, beragam, rumit yang menyangkut
pengarang, teks sastra, pembaca. Hubungan nyata antara sastra dan masyarakat yang
bersifat deskriptif dapat diklasifikasikan menjadi tiga: sosial sastra pengarang yang
memasalahkan sastra itu sendiri sebagai bidang penelaahan. Sosial sastra yang
memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Menurut Wellek dan Warren
dalam Damono (1978:3) pendekatan sosiologi sastra diklasifikasikan berupa Sosial
pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut
pengarang sebagai penghasil sastra. Sastra yang memasalahkan karya sastra yang
menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya.dan sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh
sosial sastra.

Hasil dan Pembahasan

Konteks Sosial Pengarang

Konteks sosial penulis adalah kedudukan sosial penulis dan keterkaitannya


dengan pemahaman kultural masyarakat, termasuk faktor-faktor sosial yang dapat
mempengaruhi substansi karyanya. Konteks sosial pengarang berkaitan dengan
kedudukan sosial pengarang dan dampak sosial yang melingkupi pembentukan karyanya.
Untuk situasi ini, penulis perlu fokus pada: (a) bagaimana penulis mendapatkan
pekerjaannya, (b) bagaimana penulis berpikir tentang pekerjaannya sebagai profesi, dan
(c) masyarakat apa yang ingin dijadikan sasaran oleh penulis.Penulis menghasilkan karya
mengingat kebenaran yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, karya sastra dapat
diartikan sebagai penggambaran kehidupan sehari-hari yang biasa di mata publik.
Kehadiran faktor-faktor nyata sosial yang melingkupi penulis menjadi bahan dalam
pembuatan karya sehingga karya sastra selanjutnya memiliki hubungan yang
berkesinambungan dengan keberadaan penulis dengan lingkungan sekitarnya.

Leila S. Chudori atau lengkapnya Leila Salikha Chudori, lahir di Jakarta pada 12
Desember 1962. Leila S. Chudori tentu bukan nama baru dalam kesusastraan Indonesia .
Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di bangku kelas 5 SD, karyanya sudah
disebarluaskan di majalah. Sejak saat itu, ia memulai perjalanan kesusastraannya dan
melahirkan karya-karyanya. Dongeng-dongeng singkat yang digagas tersebut kemudian
disebarluaskan di majalah-majalah anak muda saat itu, seperti majalah Kawanku, Hai,
dan Gadis. Kisah-kisah singkatnya banyak tersebar dan nama Leila S. Chudori ternyata
sangat akrab di telinga para pembacanya. Selain cerita pendek, ia juga mengarang cerita
berurutan (cerber). Di usianya yang masih belia, Leila sudah pernah menciptakan
berbagai macam cerita pendek, seperti Sebuah guncangan, Empat Remaja Kecil, dan
Seputih Hati Andra.Laut Bercerita merupakan karya sastra yang menarik serta memantik
rasa ingin tahu pembaca seperti pada kutipan berikut.

“Tetapi hari ini, aku akan mati,Aku tak tahu apakah aku bisa bangkit.Setelah
hampir tiga bulan disekap dalam gelap, mereka membawaku kesebuah tempat.
Hitam. Kelam. Selama tiga bulan mata ku dibebat kain apak yang hanya sesekali
dibuka saat aku berurusan dengan tinja dan kencing.”(Laut Bercerita,2017:2)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Biru Laut yang tangguh dan tak mudah
menyerah untuk melawan bentuk pembungkaman dan penindasan.Tokoh Biru Laut
adalah gambaran seseorang mahasiswa yang menjalani kehidupan kampusnya di rezim
orde baru yang dimana masa kepemimpinan pada saat itu dikenal sebagai rezim yang
otoriter dan antikritik.Seperti pula pada kutipan berikut;

“Setelah lebih dari sejam kami berada di atas mobil dengan mata yang masih
ditutup dan tangan terikat, akhirnya si Manusia Pohon menarikku keluar mobil
dan bersama yang lain menggiringku ke sebuah tempat, udara terbuka. aku di ten
dang agar berjalan dengan lekas. Jalan semakin menanjak dan aku mendengar
debur ombak yang pecah. aku bisa men cium aroma asin laut di antara angin yang
mengacak rambut. Sekali lagi, suara ombak yang deras itu pecah tak seirama. Di
manakah aku?”(Laut Bercerita,2017:3)

Pada kutipan tersebut kembali menjelaskan siksaan siksaan yang harus dihadapi oleh Biru
Laut.Ia harus pasrah dibungkam dengan cara kotor tersebut.Padahal Biru Laut hanya
bermimpi kepemimpinan di negaranya bisa lebih menghargai kebebasan berpendapat
seseorang dan lebih demokratis sesuai yang terdapat dalam undang-undang.

“Aku mencoba menahan diri untuk tidak emosional dan perlahan


menceritakan bahwa belakangan aku mendengar peraturan Bersih Diri dan
Bersih Lingkungan yang sudah diperkenalkan lebih dahulu di Jakarta dan kini
diterapkan di seluruh Indonesia. Siapa saja yang orangtua atau keluarganya
pernah menjadi tahanan politik yang berkaitan denga Peristiwa 1965 tak
diperkenankan bekerja yang berhubungan dengan publik.” (Laut Bercerita,
2017: 34)

Kutipan diatas menggambarkan pada saat itu dikeluakan sebuah kebijakan. Pada saat itu
siapa yang memiliki hubungan dengan seseorang yang berkaitan dengan tragedi 1965
ataupun kerabat seorang PKI tidak akan menduduki jabatan atau posisi di kabinet
pemerintahan juga polisi,tentara,dan PNS.Istilah bersih diri dan bersih lingkungan
populer pada rezim orde baru.

“Kami duduk bersila, merapat ke dinding, tidak bersuara dan aku yakin tak ada
yang berani bernafas. Suara mobil-mobil patrol itu semakin dekat. Aku semakin
menekan punggungku ke dinding. Anjani di sebelahku memandangku. Dia
menyelipkan jari-jarinya ke bawah kaki dan menggenggam jariku.Gelap dan
mendebarkan. Untuk 30 detik yang menegangkan mobil-mobil patrol itu berhenti
sebentar di depan rumah Bu Sumantri dan terdengar dialog antara beberapa
lelaki.” (Laut Bercerita, 2017:132-133)
Kutipan diatas menggambarkan suasana pada malam itu dimana petani akan melakukan aksi
tanam jagung massal untuk melawan kehendak pemerintah yang akan menjadikan ladang
jagung mereka dijadikan sebagai kamp latihan tentara.bersama dengan mahasiswa mereka
memperjuangkan keadilan.Konteks sosial Leila sebagai Jurnalis membuat ia harus
menggambarkan kembali fakta yang terjadi di lapangan. Leila S. Chudori memandang
Mahasiswa pada rezim orde baru pada penulisan Laut Bercerita,memberi kesadaran kepada
masyarakat terkhusus kepada Mahasiswa saat ini untuk dapat lebih kritis dan berani
mengambil tindakan dalam menanggapi sesuatu.Tidak menjadi Mahasiswa yang apatis dan
masa bodoh dengan hal sekitar terutama hal yang menyangkut kinerja kepemimpinan di
sebuah negara.

Cerminan Kehidupan Masyarakat

Sastra sebagai cerminan masyarakat, menerima sejauh mana sastra dapat dipandang
sebagai cerminan kondisi masyarakat. Oleh karena itu, pandangan sosial penulis dianggap
jika karya sastra yang dianalisis merupakan cerminan masyarakat. Karya sastra lahir ke
tengah masyarakat karena pemikiran kreatif penilis dan refleksi kekhasan sosial yang
melingkupinya.

Menulis novel tidak hanya menciptakan, tetapi harus filosofis. Dalam menulis
novel,sang penulis harus memperhatikan aspek ekspresif atau seberapa besar selera karena
gaya komunikasi, yang kemudian menyajikan isu-isu keberadaan manusia baik secara aktual
dan intelektual dalam buku. Salah satu komponen yang mendasari pesan dalam novel adalah
subjek, karakter, dan pesan. Subjek adalah pemikiran, atau pemikiran mendasar dalam sebuah
karya sastra, baik yang dikomunikasikan secara eksplisit maupun yang dikomunikasikan
secara implisit, Karakter,yang akan menjadi penghibur dan melakukan peristiwa-peristiwa
dalam cerita fiksi atau imajiner sehingga peristiwa-peristiwa itu terjadi..Berdasarkan judul
novel Laut Bercerita yang diangkat dari realita sosial tentang perjuangan seorang mahasiswa
yang tak henti-hentinya menuntut keadilan atas pembungkaman kebebasan berpendapat.

“Aku heran melihat Kinan melakukan penggandaan pada mesin fotokopi itu tanpa
bantuan, sementara Mas Yunus malah diuduk merokok di pojok kios itu. Mas Yunus
hampir seperti Bagian dari lingkaran kelompok mahasiswa yang gemar membuat
fotokopi barang terlarang seperti buku-buku kiri, buku karya sastrawan amerika Latin
yang sedang digemari anak muda di Indonesia yang membuat aparat pemerintah
gatal-gatal, hingga Buku porno yang biasa digandakan oleh anak-anak SMA yang
Terdiri dari murid yang hormonnya baru meledak.” (Laut Bercerita,2017:31)

Kutipan tersebut menjekaskan tentang besarnya rasa berani teman Biru Laut yaitu Kinan Ia
sangat senang membaca buku..Beberapa buku yang ia gandakan adalah buku ilegal pada saat
itu karna dinilai akan menumbuhkan benih-benih golongan kiri.Seperti contohnya buku yang
fenomenal karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia.Hal ini merupakan
salah satu bentuk perlawanan pada kepemimpinan yang otoriter.Seharusnya tidak ada
pembatasan ruang mahasiswa dalam mencari ilmu hanya karena dianggap memicu
pemberontakan.

“Kinan bercerita bagaimana warga Kedung Ombo yang di janjikan ganti rugi tiga ribu
rupiah per meter persegi dan ter nyata mereka akhirnya hanya diberi 250 rupiah per
meter persegi. Sebagian warga yang sudah putus asa menerima ganti rugi, tetapi
sekitar 600 keluarga bertahan dan mengalami inti midasi. “Kami mendampingi
mereka yang bertahan, ikut mem bantu membangun kelas darurat untuk anak-anak
dan rakit untuk transportasi.” (Laut Bercerita,2017:25)

Kutipan diatas menceritakan bagaimana kehidupan masyarakat yang dimonopoli oleh


pemerintah. Mereka seakan-akan dipermainkan.Hal inilah yang menggerakkan hati seorang
Mahasiswi yang bernama Kinan untuk membantu mereka tapi selalu dibenturkan dengan
aparat hukum,Karna dinilai mengganggu rencana dan kebusukan pejabat-pejabat
kepentingan.

“Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang
adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tidak pernah lagi tidur dan
sukar makan karena selalu menanti Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih
enak makan bersama” (Laut Bercerita, 2017 : 245)
Kutipan diatas menggambarkan nasib aktivis maupun mahasiswa pada saat itu.Mahasiswa
dicap sebagai pemberontak dan akan diculik apabila benar-benar diketahui melawan
kehendak atau tidak sejalan dengan kepemimpinan Soeharto.Bukan Cuma mahasiswa yang
menjadi korban,Orangtua,keluarga,kerabat juga menjadi koban atas peristiwa yang
menimpa anaknya.

“Kami tidak memerlukan puluhan ahli hukum untuk membangun komisi ini. Kami
membutuhkan keluarga, kawan dekat, dan relawan yang bisa ikut memberikan
informasi tentang mereka yang hilang” (Laut Bercerita, 2017 : 246)

Kutipan diatas menggambarkan bahwa sarjana hukum seperti apapun dan di manapun tak
sanggup membantu dalam pengawalan hukum sesuatu yang dialami oleh para aktivis.karna
terdapat campur tangan dari pimpinan sehingga mereka tak dapat melakukan apa apa lagi
selain berdoa dan pasrah kepada yang maha kuasa.

Fungsi Sosial Sastra

Fungsi sosial karya sastra merupakan suatu nilai yang dihubungkan dengan kualitas-
kualitas sosial yang berfungsi sebagai media ajar dan mengedukasi pembacanya. Dalam
kaitannya di beberapa kajian. Yang pertama adalah sastra sebagai karya seni individu atau
penulis. Yang kedua adalah pandangan bahwa sastra hanyalah sebuah sarana hiburan. dan
yang terakhir adalah bahwa sastra harus menginstruksikan atau mendidik sesuatu..

Kritik dapat diungkapkan melalui beberapa cara seperti secara langsung dengan
mengirim surat, demonstrasi, pidato, wawancara, SMS, media sosial, email, dan media
lainnya. Di era modern seperti sekarang ini, setiap orang bebas untuk menyampaikan kritikan
dan aspirasi.. Periode ini dicirikan dengan usaha-usaha keras mahasiswa untuk kembali
mendapatkan keadilan.Mereka sudah cukup untuk berdiam diri dan mewajarkan hal-hal yang
terjadi.Kericuhan dimana-mana,perampokan massal,penculikan hingga pembunuhan yang
dianggap memberontak,pemerkosaan,serta diskriminasi Etnis,dan masih banyak lagi kasus-
kasus berat yang aparat penegak hukum pun seakan menutup mata dan tak mampu
menyelesaikannya.Hal ini dikarenakan beberapa kasus kriminal atau pelaku yang
bersinggungan langsung dengan petinggi pemerintahan.

Ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun 1995-1998 membuat Leila S.
Chudori menulis karya sebagai angin segar di dunia kesusasteraan Indonesia..Leila menulis
novel dan cerpen tentang kehidupan sosial. Karya Leila S. Chudori yang berjudul Laut
Bercerita ini merupakan karya sastra bergenre novel yang menarik dan berbeda
dibandingkan novel yang lain.Saat membaca judul novel ini pertama kali,rasa penasaran
tentang isi dari novel ini dipantik. Alur yang dipakai dalam novel ini mudah dipahami karena
penulis menggunakan gaya penulisan yang menarik dan berkaitan tentang realitas di
Indonesia.Tema yang diangkat dalam novel buatan tahun 2017 adalah Pemberontakan
Mahasiswa pada tahun 1998. Penggunaan beberapa tokoh mahasiswa digambarkan sebagai
kaum intelektual,berbeda dengan masyarakat yang sangat mudah untuk diadu domba. Novel
Laut Bercerita mengandung satire terhadap kondisi politik,sosial,ekonomi Indonesia pada
1998. Penulis juga berharap dengan adanya Novel ini akan sedikit menyadarkan generasi saat
ini tentang kekelaman sejarah dan menjadikannya sebagai pelajaran di masa yang akan
datang. Novel ini terdapat pula beberapa kritik sosial yang eksis pada masa itu. Bahkan
sekarang, kritik sosial yang terdapat dalam novel ini masih relevan. Secara umum,kritik
sosial merupakan tanggapan mengenai kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Berikut ada beberapa kutipan yang mengandung kritik sosial

“Pengkhianat ada di mana­mana, bahkan di depan hidung kita, Laut. Kita tak pernah
tahu dorongan setiap orang untuk berkhianat: bisa saja duit, kekuasaan, dendam, atau
sekadar rasa takut dan tekanan penguasa,” kata Bram mengangkat bahu. “Kita harus
belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan
menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada
perjuangan dan persahabatan.”(Chudori,2017:30)

Kutipann diatas menjelaskan tentang sebuah kritik sosial.Kesaksian Bram mengenai


pengkhianatan bukan hanya pada saat itu, melainkan sekarang juga masih banyak kita jumpai
hal serupa.dan tak dapat dipungkiri beberapa oknum melakukan hal busuk tersebut hanya
demi tercapainya kepentingan kelompok maupun pribadi.

“Kukatakan pada Alex, tak penting mengapa mereka melepas Alex, Daniel, dan
kawan-kawan dan justru menahan yang lain dan mungkin membunuhnya. Yang
penting adalah : kekejian mereka harus ada ganjarannya secara hukum, tak hanya
dipecat dari militer belaka. Ini persoalan nyawa.” (Chudori, 2017 : 344)

Kutipan diatas menceritakan tentang beberapa aktivis dan mahasiswa digembosi sedemikian
cara agar tak berani lagi untuk memberontak.Pembaca diajak kembali untuk tidak
melupakan beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negara kita dan
berhaap kejadian serupa tidak terulang kembali.
Leila menulis banyak novel tentang kehidupan sosial. Karya sastra Leila S. Chudori
dalam novel Laut Bercerita ini merupakan karya sastra bergenre novel yang menarik dan
berbeda dibandingkan novel-novel yang lain. Novel ini mengangkat kisah hidup seorang
mahasiswa yang menuntut sebuah keadilan di negerinya sendiri atas ketidakadilan
kepemimpinan yang otoriter dan antikritik.Menyadari akan banyak yang menyimpang dan
tidak benar pada saat itu. Biru Laut memiliki memiliki semangat untuk memperjuangkan hal-
hal yang dianggapnya benar dan tidak gentar sekalipun. Sungguh sebuah penggambaran yang
benar-benar realitas Indonesia pada tahun 1995-1998.

Penulis berusaha menciptakan sebuah karya sastra yang didasari oleh cita-cita, protes
sosial, atau mimpi jauh untuk digapai. Seperti ungkapan Ian Watt yang menyatakan bahwa
manusia harus hidup lebih dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka berpikir dan
apa yang mereka pikirkan, secara erat berhubungan dengan bagaimana mereka hidup, karena
apa yang disampaikan manusia serta bagaimana cara-cara pengekspresian tergantung apa dan
bagaimana mereka hidup..

Novel Laut Bercerita yang diciptakan tahun 2017 memiliki tema sosial tentang
pemberontakan perlawanan ketidakadilan rezim orde baru. Penggunaan tokoh Biru Laut
mencerminkan mahasiswa kritis dan Intelektual. Novel ini juga merupakan sindiran terhadap
pemerintah juga menyadarkan masyarakat juga mahasiswa agar lebih kritis menanggapi
sesuatu . Novel ini memberikan beberapa kritik sosial yang terjadi dan eksis pada masa itu
yaitu pada tahun 1995-1998.Pengarang bahkan mengkritisi oknum-oknum aparat penegak
hukum yang bersembunyi di ketiak petinggi pemerintah.Mereka seolah-olah buta dengan
fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka.Beberapa kasus kriminal pada saat itu bahkan
terdapat campur tangan pejabat pemerintah hingga presiden sekalipun.Didalam novel Laut
bercerita, masyarakat sudah tak mampu apa-apa lagi,mereka sudah tak dapat mempercayai
siapapun selain diri mereka sendiri.Mereka pasrah lahannya diambil paksa,anak dan istrinya
diperkosa,usahanya dihancurkan,yang memberontak akan diculik dan diasingkan yang sudah
jelas bahwa hal ini melanggar undang-undang tentang hak asasi manusia. Jika dibolehkan
memilih, tentu tidak ada orang yang menginginkan hidup pada rezim tersebut.

Secara umum, ditinjau dari kritik-kritik sosial yang diungkapkan maupun yang
dipahami, dapat dikatakan bahwa novel Laut Bercerita ini merupakan sebuah karya sastra
yang luar biasa dan belum pernah ada sebelumnya. Penulis mampu menangkap realita-realita
sosial yang ada dengan tepat, kemudian menanggapinya dengan membuat sindiran-sindiran
yang tertuang dalam novel tersebut. Tema dari novel Laut Bercerita yang membahas tentang
perlawanan ketidakadilan, rasanya sudah cukup membuat masyarakat lebih sadar akan
sejarah.. Pembaca juga diajak oleh pengarang untuk lebih peduli dan memperhatikan keadaan
di sekitar kita,diharapkan pembaca dapat lebih kritis menanggapi sesuatu dan tidak memiliki
rasa apatis atau mengalir begitu saja. Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik sosial yang
ada di dalamnya masih relevan dengan keadaan yang ada saat ini.
SIMPULAN

Konteks sosial penulis dalam novel Laut Bercerita menjelaskan masalah sosial
masyarakat yang cukup kompleks, termasuk faktor sosial yang dapat mempengaruhi
karyanya. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai
kehidupan masyarakat.Penulis memandang Mahasiswa pada rezim orde baru dalam novel
Laut Bercerita sebagai pemberi kesadaran dan edukasi kepada masyarakat terkhusus kepada
Mahasiswa saat ini untuk dapat lebih kritis dan berani mengambil tindakan dalam
menanggapi sesuatu.Tidak menjadi Mahasiswa yang apatis dan masa bodoh dengan hal
sekitar terutama hal yang menyangkut kinerja kepemimpinan di sebuah negara.

Cerminan sosial masyarakat digambarkan dengan situasi dan suasana sosial


masyarakat yang hidupnya teraniaya dan menderita terutama etnis Tionghoa pada saat itu.
Dalam novel ini banyak mengungkap tentang penindasan serta pembungkaman juga kritikan
terhadap pemerintah pada saat itu. Dari novel Laut Bercerita dapat disimpulkan bahwa novel
yang di buat Leila S. Chudori sangat dekat dengan realita kehidupan. Novel ini berisikan
kritik serta penyadaran yang tinggi terhadap ketimpangan sosial sehingga novel Laut
Bercerita karya Leila S. Chudori merupakan aspek kehidupan sosial.

Fungsi sosial sastra dalam novel Laut Bercerita ini berfungsi sebagai media pengajar
dan penyadaran agar lebih memperhatikan peristiwa-peristiwa masa lalu,terkhusus peristiwa
yang terjadi pada tahun 1995-1998.Diharapkan pembacanya selalu menanamkan sifat kritis
dan memperjuangkan hal-hal yang benar. Pengarang juga beberapa kali mengkritik tentang
pemimpin yang menyembunyikan kasus-kasus yang terdapat campur tangannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Suka Bumi: CV Jejak

Ayu Purnamasari dkk. 2017. Analisis Sosiologi Sastra dalam Novel Bekisar Merah Karya
Ahmad Tohari. Jurnal Ilmu Budaya. 1 (2), 144.

Budianta, Melani, dkk. (2008). Membaca sastra. Yogyakarta: Indonesia


Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Faruk. 2016. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai


Postmodernisme. For Academic Publising Service (CAPS).

Muslimin. 2011. Modernisasi dalam Novel Belenggu Karya Arjmin Pane “Sebuah Kajian
Sosiologi Sastra”. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya. Volume 1.Nomor 1. (126-145).

Wellek, Renne Dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan Oleh Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai