Anda di halaman 1dari 6

PERBANDINGAN KARYA PUISI CHAIRIL ANWAR DAN AMIR HAMZAH

Perbandingan PUISI “PADAMU JUA” MIR HAMZAH dan PUISI “DOA” CHAIRIL
ANWAR

1. Sense
1.1 Dalam puisi Amir Hamzah (“Padamu Jua”) persoalan secara umum yang di gambarkan
dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang merasa kehilangan cinta dari seorang
kekasih, sehingga ia kembali pada Tuhan. Pertemuan dua orang kekasih yang telah lama
berpisah (antara Aku dan Tuhan).
1.2 Chairil Anwar (“DOA”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh
penyair adalah seseorang yang selalu ingat pada Tuhan dalam keadaan apapun.
Perbedaan: Amir Hamzah (“Padamu Jua” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada
Tuhannya hanya pada saat ia merasa terpuruk dalam masalah atau saat ia sedih saja.
Sedangkan Chairil Anwar (“DOA” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya
kapan pun baik saat senang atau pun saat sedih.
Persamaan: secara garis besar kedua puisi tersebut memiliki persamaan yaitu objek puisinya
adalah Tuhan (sama-sama mngisahkan Tuhan).
2. Subject Matter
2.1 Puisi 1: Amir Hamzah (“Padamu Jua”) pokok pikirannya:
• Setelah seseorang merasa menderita dan sakit barulah ia ingat pada Tuhan/kembali pada
Tuhan.
• Menyatakan Tuhan adalah segalanya, yang menjadi penuntun hidup sang pengarang dan
selalu setia mencintai manusia.
• Mengisahkan seseorang yang rindu pada Tuhan.
• Seseorang yang mencari Tuhan, setelah ia menderita namun tidak pernah ia temukan karena
Tuhan ada di hatinya.
• Tuhan memberi cobaan yng bertubi-tubi agar sang Aku (pengarang) kembali pada-Nya.
• Ia kembali pada Tuhan, namun banyak saja cobaan, ia merasa belum mendapat kebahagiaan
tapi ia bertekat bahwa kesedihan tidak akan lagi mau ia rasakan.
2.2 Puisi 2: Chairil Anwar (“DOA”) pokok pikirannya:
• Dalam keadaan apapun selalu ingat Tuhan (baik susah, sedih, senang).
• Kembali pada Tuhan
• Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa.
• Penyair menyatakan bahwa Tuhan adalah miliknya.

3. Feeling
• Amir Hamzah (“Padamu Jua”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yaitu penyair
merasa rindu dan membutuhkan Tuhan hanya saat dia sedih atau ada masalah saja.
• Chairil Anwar (“DOA”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yakni penyair merasa
selalu membutuhkan Tuhan dalam keadaan apapun, baik saat sedih atau senang.
Perbedaan dari segi feeling: Amir Hamzah merasakan bahwa ia selalu merasa berubah, dia
tidak tepat pendirian, kadang ingat pada Tuhan, tapi kadang melupakan Tuhan. Sedangkan
Chairil Anwar merasakan bahwa ia selalu tepat pada pendiriannya, akhirnya ia tidak mudah
melupakan Tuhan karena masa lalunya yang suram. Ia selalu ingat pada Tuhan.
Persamaan dari segi feeling: persamaan pada kedua puisi tersebut yaitu sama-sama
mengisahkan kerinduan pengarang pada Tuhan dan ingin mendapatkan rahmat atau
pengampunan dari Tuhan.
4. Tone
• Amir Hamzah: sikapnya terhadap pembaca yaitu selalu masa bodoh, karena ia seolah
mengungkapkan perasaan atau curahan hatinya pada Tuhan, bukan pada pembaca. Ia masa
bodoh terhadap pembaca, mau mengikutinya atau tidak.
• Chairill Anwar: sikapnya terhadap pembaca yaitu masa bodoh tetapi pada puisi ini penyair
berusaha meyakinkan pembaca bahwa kita harus selalu ingat pada Tuhan.
Perbedaan: pada puisi Amir Hamzah: ia secara tidak langsung ingin menunjukan kepada
pembaca tentang segala masalahnya, dan bagaimana sesuatu yang ia rasakan itu bisa
membuatnya berubah dan kembali pada Tuhan. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar ia tidak
begitu menampakkan segala sesuatu yang terjadi padanya karena ia merasa Tuhan yang
mengetahuinya.
Persamaan: dari kedua puisi tersebut sama-sama masa bodoh terhadap pembaca.
5. Totalitas Makna
• Amir Hamzah: makna keseluruhan yang tedapat pada puisinya yaitu: penyair merasa
kehilangan dan kembali pada Tuhan karena Tuhan selalu menuntunnya kembali ke jalan yang
benar (Tuhan). Ia merindukan Tuhan dan ingin kembali pada Tuhan tetapi banyak cobaan
yang ia hadapi untuk mendapatkan kebahagiaan dari Tuhan. Namun ia bertekat untuk tidak
akan lagi merasakan kesedihan.
• Chairil Anwar: makna keseluruhan yang terdapat dalam puisinya yakni ia selalu merasa
ingat pada Tuhan dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada baik suka maupun dukan.
Ia akan selalu berada di jalan yang benar atau yang ditunjukan oleh Tuhan.
Perbedaan: dari totalitas makna, pada puisi Amir Hamzah banyak mengungkapkan masalah
yang ia hadapi sehingga kita kurang paham masalah yang sebenarnya. Sedangkan pada puisi
Chairil Anwar hanya terarah pada satu atau beberapa persoalan sehingga mudah untuk
dipahami.
Persamaan: dari totaliats makna , kedua puisi tersebut sama-sama ditujukan atau mengarah
pada Tuhan.
6. Tema
• Amir Hamzah: Dosa dan pengharapan untuk kembali pada Tuhan (pertobatan).
• Chairil Anwar: Doa seseorang yang selalu ingat akan Tuhan.
Perbedaan: dari segi tema, puisi Amir Hamzah lebih menekankan pada pertobatan sedangkan
puisi Chairil Anwar lebih menekankan pada doa yang selalu ingat pada Tuhan.
Persamaan: dilihat dari tema, puisi tersebut sama-sama difokoskan atau sasarannya adalah
pada Tuhan.
Analisis Hubungan Intertekstual Padamu Jua dengan Doa

Berdasarkan prinsip intertekstual sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre


(1987), sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam
persamaannya maupun dalam perbedaannya. Dalam artian sajak baru bermakna secara
sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar
penciptaannya. Di samping itu, suasana sajak akan menjadi lebih terang, kiasan-kiasannya
menjadi lebih dapat dipahami. Sajak yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak disebut
hypogram (Riffaterre, 1978). Sementara Culler (1977) mengemukakan bahwa tiap teks itu
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan trasformasi teks-teks
lain. Maksudnya, teks-teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain berdasarkan
tanggapan-tanggapannya dan diolahnya kembali dalam karyanya atau teks yang ditulis oleh
sastrawan kemudian itu.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstual antara suatu karya dengan karya
lain, baik antara karya sezamannya maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya saja
beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir
Hamzah. Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangannya
dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawana.
Untuk lebih jelasnya analisis hubungan intertekstual Padamu Jua dengan Aku dapat
dilihat berikut ini.
Amir Hamzah
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindi rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tanggakap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar


Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hati-bukan kawanku...
(Nyanyi Sunyi, 1959).

Chairil Anwar

Doa
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh


mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci


tinggal kerdip lilin di kelam malam

Tuhanku

aku hilang bentuk


remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintu-Mu mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu, 1959).
Secara intertekstual ”Doa” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan
pertalian dengan sajak ”Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat
diruntut kembali dalam sajak Amir Hamzah. Begitu juga ide, meskipun dalam pengolahannya
ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak menunjukkan kepribadiannya masing-
masing dalam menanggapi masalah yang dihadapi.
”Padamu Jua” si aku yang cinta dunianya habis kikis dengan pasti kembali kepada-
Mu, Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa dipermainkan oleh Engkau.
Namun, akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara di balik tirai, menanti si
aku seorang diri dengan setia.
”Doa”, si aku yang terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya
termangu, toh akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh (Maha
Rahman dan Maha Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadu keremukan bentuknya
(wujud hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahmanan dan
kerahimnya, si aku tak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kendil (lilin) kemerlap. Ini
ditrasformasikan Chairil dalam ”Doa”, sifat Tuhan sebagai kerdip lilin di kelam sunyi.
Si aku dalam sajak Amir Hamzah ragu-ragu karena tak dapat menangkap wujud
Engkau: Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa // Di mana Engkau / Rupa tiada / Suara
sayup / Hanya kata merangkai hati //. Bahkan si aku merasa diperhatikan: Engkau cemburu /
Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lemas //. Hal ini
ditransformasikan Chairil: Tuhanku / Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu // Biar
susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh //. Penderitaan si aku dalam sajak Amir
Hamzah (bait ke-3, 4, 5) ditransformasikan Chairil Anwar: Tuhanku / Aku hilang bentuk /
remuk / ... / aku mengembara di negeri asing.
Meskipun demikian, si aku Amir Hamzah kembali juga kepada Engkau, kekasihnya:
Nanar aku, gila sasar / Sayang berulang padamu juga / Engkau pelik menarik ingin / Serupa
dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri /. Ini ditrasformasikan Chairil
dalam ”Doa”: Tuhanku / aku mengembara di negeri asing // Tuhanku / di pintu-Mu aku
mengetuk / aku tidak bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak tersebut, namun pelaksanaannya,
yaitu mengekspresikannya, berbeda, menyebabkan hasilnya pun berbeda. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan (wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih, Tuhan dianthropomorfkan,
diwujudkan sebagai manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat
personifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu / .../ Kaulah kandil
kemerlap / ... / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu // ... / Engkau pelik menarik
ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti hal yang berbentuk wadag: Satu
kekasihku / Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa//. Yang diinginkan Amir Hamzah
pertemuan dengan Tuhan seperti halnya Nabi Musa: Hanya satu kutunggu hasrat / serupa
Musa di puncak Tursina (”Hanya Satu”). Tuhan digambarkan sebagai gadis yang
pencemburu dan ganas (di sini juga digambarkan sebagai binatang bas): Engkau cemburu /
Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas.
Hal tersebur lain dari yang digambarkan wujud Tuhan menurut konsep Chairl Anwar.
Antara aku dan engkau itu ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, ada hamba dan Tuhan.
Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk manusia, melaikan hanya kekuasaan-Nya yang
terasa. Tuhan memancarkan cahaya yang panas, meskipun juga untuk menerangi hati
manusia: caya-Mu panas suci / tinggal kerdip lilin di kelam sunyi //. Manusia tak dapat
berbuat laian kecualai hanya bersrah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia
tumpuan keluh dan tangis manusia: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk // Tuhanku / aku
mengembara di negeri asing.
Dalam gaya ekspresi, Chairil Anwar mempergunakan haya semacam imagisme, yaitu
gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-cita, gambaran-gambaran, atau imaji-
imaji: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk /... / aku mengembara di negeri asing //. Maka,
kata-kata yang kalimatnya ambigu. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra juga, tetapi
tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan untuk mengkonkretkan tanggapan. Kaulah
Kandil kemerlap / Pelita jendela di malam gelap / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia
selalu / ... / Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap
dengan lepas.// Di sini kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan
(diafan).

Anda mungkin juga menyukai