Anda di halaman 1dari 9

Oleh:

Fakhri Firliandi

I.            Pendahuluan 
Salah satu genre cerita lisan yang berkembang dari dahulu hingga
sekarang di masyarakat Indonesia adalah kisah bergenre horor atau kisah-
kisah yang bermuatan hantu atau sejenisnya berupa makhluk halus yang
tidak kasat mata. Di Indonesia sendiri masyarakat kebanyakan lebih
menyebut istilah hantu dengan sebutan setan. Meski pada dasarnya kedua
istilah tersebut memiliki perbedaan makna, tidak banyak yang mengetahui
dan memedulikannya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke IV
kata hantu dengan setan memiliki kesamaan dalam arti katanya. Kedua kata
tersebut sama-sama memiliki arti roh jahat, hanya saja setan diartikan selalu
menggoda manusia untuk melakukan perbuatan jahat sedangkan hantu
tidak. Hantu di Indonesia memiliki beragam nama dan karakterisitik yang
berbeda-beda. Salah satu yang dibahas dan dijadikan sebagai judul cerpen
oleh Ayu Utami adalah Setan Murat. 
Bukan kisah mengenai setan atau hantu yang menjadi sorotan
utama dalam cerpen Ayu Utami tersebut, melainkan kritik-kritik sosial yang
lebih diangkat melalui penggunaan istilah setan sebagai metaforanya. Sangat
menarik ketika istilah setan dijadikan kiasan untuk menggambarkan
masyarakat Indonesia di masa sekarang sekaligus mengias mereka, terutama
kalangan anak muda. Ketika dihadapkan pada kenyataan-kenyataan sosial
yang ada di sekitarnya, bahwa begitu banyak masalah sosial yang berkaitan
dengan generasi-generasi penerus bangsa, banyak remaja merasa dirinya
tidak perlu terlibat di dalamnya. Bahkan mereka yang tahu, seolah menutup
mata, kemudian memilih bungkam dan tidak ingin membantu menyelesaikan.
Kebanyakan dari mereka merasa apapun yang akan mereka lakukan untuk
sekadar mencoba membantu, keadaan akan tetap sama saja.
Dari hal-hal tersebut menjadi menarik untuk dianalisis ketika
terdapat karya sastra mengangkat masalah sosial ekonomi, politik, keluarga,
dan kehidupan sosial masyarakat yang lainnya yang ada saat ini dikemas
dalam satu sosok Setan Murat dan kisah seorang penjual bakso di dalam
sebuah cerpen. Ayu Utami menuangkan permasalahan-permasalahan yang
ada dengan bahasa disertai dengan alur yang menarik agar diharapkan
pembaca dapat menyadari adanya problematika yang terjadi di masyarakat
dan perlu mendapat perhatian oleh khalayak.

II.            Landasan Teori 
Pada dasarnya apapun bentuk sebuah karya sastra, karya sastra
tersebut akan tetap menunjukkan peristiwa-peristiwa yang pernah eksis di
masyarakat. Melalui idealismenya, seorang pengarang dapat mendistorsi
fakta-fakta sosial yang sedang berkembang.  Sebagai sebuah pendekatan
dalam meganalisis karya sastra, segi-segi sosial dalam sebuah karya sastra
masih dipertimbangkan dalam sosiologi sastra, sehingga sosiologi sastra
dapat dibagi menjadi; sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi
pembaca (Welleck dan Warren, 1993: 111).
Sosiologi karya akan menjadi pembahasan utama yang dianalisis dalam makalah ini.
Meminjam pernyataan Marx, bahwa pergulatan utama dan pertama manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya adalah kebutuhan materiil. Karena kebutuhan
manusia sangat banyak dan manusia itu sendiri memiliki sifat serakah, akan tetapi
sumber-sumber agar kebutuhan manusia tersebut terpenuhi jumlahnya terbatas,
maka hubungan yang antagonistis dimiliki antarkelas sosial (Faruk, 2016: 25-26)
Sebagai cabang penelitian yang cukup banyak diminati oleh para
peneliti untuk melihat sastra sebagai sebuah cermin kehidupan sosial
masyarakat, dalam perspektif sosiologi sastra dapat ditemukan perspetif
menurut Laurenson dan Swingewood (1971), pertama penelitian yang
memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang berisi refleksi situasi
di saat karya sastra tersebut diciptakan oleh pengarang, penelitian yang
mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial pengarang, dan penelitian
yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan
sosial
budaya. Ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri sendiri dan atau diungkap se
kaligus dalam penelitian sosiologi sastra (Endraswara, 2011:79).
Meskipun karya sastra memang menunjukkan peristiwa-peristiwa
yang pernah eksis di masyarakat atau mencerminkan kehidupan masyarakat
saat itu, karya sastra tetaplah tidak menggambarkan kehidupan sebuah
masyrakat sepenuhnya. Hal tersebut dikarenakan karya sastra merupakan
karangan seorang penulis yang hidup di masyarakat menggunakan fakta-
fakta yang ada di masyarakat untuk menciptakan karya sastra namun
ditambah dengan imajinasi dari pengarang. Sehingga tidak sepenuhnya karya
sastra menggambarkan realita sosial di masyarakat.

III.            Pembahasan
Masalah Sosial yang Terdapat Dalam Cerpen Setan Murat
Ketika dihadapkan pada keadaan sekarang bahwa banyak
masyarakat yang kini tidak lagi memiliki rasa belas kasih terhadap
sesamanya, apatis dalam banyak hal, atau lebih mementingkan egonya, salah
satu metafora yang tepat untuk menggambarkan orang tersebut adalah
“Setan Murat” sosok makhluk yang tidak memiliki mata, hidung, dan mulut.
Seseorang yang menutup mata, telinga, hingga kemudian kehilangan hati
nuraninya kini banyak ditemui di kalangan masyarakat. Pengarang mencoba
mewakilkan kondisi tersebut melalui tokoh-tokoh seperti pedagang bakso,
seorang anak muda, menteri pemerintahan, dan aparat negara.
Dikisahkan dalam cerpen ketika krisis melanda kota, harga daging
sapi mengalami kenaikan. Mat Bakso yang merupakan penjual bakso
tentunya membutuhkan daging sapi sebagai bahan utamanya untuk
membuat bakso. Mat Bakso tidak ingin merasa rugi dengan membeli daging
sapi asli karena akan menaikan harga baksonya dan berkemungkinan
mengalami penurunan jumlah pembeli. Maka, untuk meempertahankan
harga, Mat Bakso menggunakan daging lain yang lebih murah namun
berkualitas lebih rendah. Daging yang Mat Bakso beli sebagai alternatif
daging sapi adalah daging tikus, babi, kelelawar, anjing, dan beberapa
daging lainnya yang tidak layak konsumsi.
“Tapi harga daging sapi asli sekarang mahal sekali, Nak,” kata ayah
angkatnya. “Kita terpaksa mencampur dengan daging KW.” Barangkali perlu
dijelaskan bagi pembaca yang naif: itu adalah daging “kwalitas” rendah.
Pengarang membuat cerpen hingga kemudian terbit di media tidak
terlepas dengan melihat fenomena sosial yang berkembang di masa-masa
tersebut. Fenomena para penjual bakso menggunakan daging palsu atau
bukan daging yang semestinya untuk dijadikan komposisi bakso mereka,
dalam kisaran dekade terakhir cukup viral di khalayak dan kerap muncul di
media hingga meresahkan banyak pihak.
Pada sebagian kasus naiknya harga daging sapi diakibatkan oleh
hari-hari besar seperti menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, atau
ketika akan pergantian kepemimpinan presiden, atau ketika harga bahan
bakar mengalami kenaikan sehingga berimbas pada harga daging, dan masih
ada sebab—sebab lainnya. Kenaikan harga bahan-bahan pokok seperti
daging akan terus mengalami perubahan sejalan dengan terus
berkembangnya ekonomi di masyarakat.
Ketika rakyat kecil sudah terdesak keadaan ekonominya sedangkan
orang tersebut perlu untuk tetap bertahan hidup dan berusaha menaikan
derajatnya sekalipun ia memiliki pedoman hidup seperti agama namun tidak
dipegangnya degang kuat maka yang terjadi adalah orang tersebut akan
meninggalkan norma-norma kesusilaan, melanggar hukum dengan
melakukan tindakan kriminal dan semacamnya. Inilah salah satu gambaran
masyarakat yang hendak disampaikan pengarang. Hal tersebut tergambar
jelas dimana jika pengarang memakai tokoh seorang penjual bakso, maka
yang ada di masyarakat sekarang memang benar banyak orang yang bekerja
sebagai penjual bakso karena kondisi tertentu, kenaikan harga misalnya,
penjual tersebut melakukan berbagai cara untuk menekan harga dan
membuat dagangannya tetap laris di pasaran. Beberapa tindakan yang
dilakukan tersebut salah satunya adalah mengganti bahan daging sapi untuk
membuat bakso dengan daging lain. Kasus mengenai banyak penjual bakso
yang menjual bakso dengan daging tikus sempat membuat resah masyarakat
beberapa tahun ini. Para penjual ini dapat dikatakan benar-benar menutup
matanya, ia tidak peduli menjual daging yang tidak layak kepada banyak
orang tanpa memperhatikan orang tersebut. Barangkali hingga sekarang
masih terdapat banyak penjual yang melakukannya namun belum tertangkap
dan diketahui oleh masyarakat. Selain menggunakan daging binatang lain
sebagai alternatif membuat bakso, seperti daging babi, anjing, kelelawar, dan
sebagainya, ada beberapa penjual yang menggunakan boraks sebagai salah
satu komposisi pembuatan bakso. Kondisi tersebut sempat membuat
masyarakat bener-benar harus teliti ketika hendak membeli bakso.
Tidak hanya Mat Bakso, akan tetapi tokoh utama ketika diangkat
menjadi anak Mat Bakso juga melakukan hal serupa. Tokoh kita, begitulah
Ayu Utami menyebutnya di dalam cerpen, mau membantu ayah tirinya untuk
melancarkan hal-hal yang dilakukan oleh ayahnya. Ia membantu ayahnya
dengan membeli daging-daging sapi palsu pada pemasok daging. Meski
pada awalnya dia merasakan keganjilan dan enggan untuk melakukanya dia
hanya berani tutup mulut. Ia tidak berani menanyakan pada ayahnya dan
tidak berani menegurnya karena hal tersebut tidak akan merubah nasibnya.
Ia menutup hidung sehingga daging-daging busuk yang dia jadikan bahan
membuat bakso tidak tercium bau busuknya. Lebih parah ia kehilangan hati
nuraninya ketika dua serdadu menangkap ayahnya dan memberikan daging
sapi palsu dimana daging tersebut merupakan daging dari tubuh ayahnya
sendiri, tokoh utama mematuhi perintah serdadu agar tetap menjalankan
bisnis haram ayahnya dengan bantuan pasokan daging sapi “KW” dari para
seradadu. Anak tersebut patuh dengan serdadu dan menggunakan daging
tubuh ayahnya untuk membuat bakso.
Demi kebutuhan ekonomi agar dapat bertahan hidup seseorang rela
melakukan apa saja. Terlebih anak muda di zaman sekarang demi memenuhi
hasrat materialnya, nilai-nilai kemanusiaan ditinggalkan. Di masyarakat
sekarang dapat dijumpai seorang anak yang tidak lagi menghormati orang
tuanya. Durhaka dengan tidak memperlakukan orang tuanya dengan
tindakan-tindakan yang semestinya, mengasihi, menghormati, membantu
kehidupan sosial orang tuanya dan sebagainya. Mereka cenderung apatis dan
hanya memanfaat orang tuanya sebagai media mendapatkan kepuasan
dunianya. Sekalipun ada anak yang dengan terpaksa mau menuruti perintah
orang tuanya dan mau membantu orang tuanya, tindakan yang dilakukan
orang tuanya adalah tindakan yang bukan semestinya seperti yang dilakukan
dalam tokoh utama dalam cerpen, ia mau membantu bisnis ayahnya dan
pada akhirnya meneruskan bisnis tersebut, lebih parah dibandingkan dengan
ketika ayahnya masih hidup. Banyak anak yang mau mengikuti orang tuanya
meskipun hal tersbut diangganpya salah dan ia sadar, akan tetapi karena
tuntutan keadaan ia mau saja melakukan hal yang sama dengan
menanggalkan mata, hidung, telinga, mulut, hingga hati nuraninya sebagai
manusia.
Ketika orang kecil seperti Mat Bakso dan anaknya dianggap
bersalah, tidak berarti orang yang berada di atasnya selamanya benar. Dalam
kasusnya di cerpen diceritakan Menteri Kedagingan terjerat kasus korupsi.
Hal tersebut tentu menggambarkan dengan jelas bahwa pada kenyataanya
pejabat-pejabat pemerintahan banyak yang terjerat  kasus korupsi. Mereka
yang melakukan korupsi tidak lebih sama seperti pemasok daging-daging
“KW” yang semaunya sendiri, tanpa melihat efek negatif yang ditimbulkan
dalam jangka panjang, tanpa hati nurani hanya mementingkan kepentingan
mereka semata. Lebih buruk lagi, jika melihat dalam cerpen para koruptor
tersebut tidak ada bedanya dengan binatang-binatang yang menjadi bahan
alternatif pengganti daging sapi.
Selain itu, aparat negara seperti misalnya TNI yang pada dasarnya
memang bertugas mengamankan dan menertibkan masyarakat, bukan berarti
lantas mereka menutup mata, dan menutup telinga tidak mendengarkan
aspirasi atau penjelasan dari rakyat. Karena tanggung jawabnya lantas para
aparat negera tersebut melakukan tindakan yang di luar kendali dan
kuasanya.
“Yang terjadi kemudian terlalu mengerikan untuk dikisahkan dengan rinci.
Dua serdadu itu membawa si ayah angkat ke dalam benteng. Tiga hari
kemudian, mereka kembali kepada si anak angkat dengan pilihan sandi baru:
…”
Walaupun memang tidak semua aparat negara seperti TNI atau
Polisi melakukan tindakan-tindakan kekerasan kepada rakyat kecil ketika
mereka bertugas, tetapi tetap saja sering kali dijumpai ada oknum-oknum
yang tidak menggunakan hati dan jalan pikiran dengan semestinya ketika
menghadapi rakyat. Seperti misalnya ketika mereka melakukan penertiban
pedagang kaki lima, mereka melakukannya dengan kekerasan bahkan sampai
pada menyakiti fisik. Lebih dari itu terkadang ada yang melakukan
penindasan dan menggunakan jabatan mereka untuk berbuat semaunya,
meski sebenarnya jabatan mereka tidak begitu tinggi.
Kehidupan Sosial Lain yang Digambarkan Dalam Cerpen Setan Murat
Pada awal paragraf dalam cerpen mengisahkan tokoh utama dengan 
rekan-rekannya di sebuah pondok atau semacam indekos dimana tepat pada 
malam Jumat mereka sedang membicarakan sosok Setan Murat. 
“Setan  Murat. Itu  adalah  singkatan  dari  Muka  Rata.”   
“Itu  bukan  setan,  tetapi  hantu,”
kata  tokoh  kita  menanggapi  cerita. 
Masyarakat di Indonesia mulai dari usia anak-
anak hingga dewasa mendengar kisah hantu adalah hal biasa. Bahkan kebany
akan masyarakat sangat gemar mendengar dan kemudian menceritakan kem
bali kisah mengenai makhluk halus tersebut kepada orang lain meskipun ada
sensasi takut. Namun, sensai takut tersebutlah yang kebanyakan orang cari.
Orang-orang yang gemar bercerita dan mendengarkan cerita-
cerita semacam itu kebanyakan adalah kalangan remaja. Sedangkan orang tu
a biasanya menceritakan kisah-kisah seram mengenai hantu pada anak-anak 
dengan tujuan tertentu, seperti sekadar memberitahu anak-anak mengenai ki
sah-kisah makhluk-makhluk kasat mata yang berkembang di daerah mereka. 
Selain itu, juga ketika orang tua ingin memberikan peringatan kepada anak-
anak agar tidak melakukan kegiatan yang tidak baik menurut orang tua mere
ka seperti bermain pada saat menjelang malam, orang tua terkhusus di
Jawa ada yang menggunakan cerita hantu untuk menakuti anak-anak agar tid
ak bermain saat menjelang malam hari, dan masih banyak tujuan lainnya.
Banyak kisah-kisah hantu yang berkembang secara lisan di kalanga
n masyarakat Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Beberapa nama
hantu yang sering terdengar di telinga masyarakat adalah Pocong,
Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, dan lain sebagainya. Sedangkan Ayu Utami
memilih nama Murat dimana Murat merupakan akronim dari Muka Rata
sebagai nama hantu yang dikisahkan dalam cerpennya.
Diceritakan pula ketika tokoh utama dalam cerpen pergi dari
indekosnya karena krisis ekonomi yang melanda, ia tinggal di sebuah tempat
yang kumuh bersama ayah angkatnya bernama Mat Bakso. Mat Bakso adalah
seorang penjual bakso yang menjaual dagangannya di belakang tangsi militer
sebelum krisis melanda. Ia kehilangan anaknya, dan hidup sebatang kara.
Karena sering berlangganan di tempat Mat Bakso dan tokoh utama dalam
cerpen juga hidup sendirian di kota tersebut maka tokoh utama diangkat
oleh Mat Bakso menjadi anak tirinya.
“…..—di zaman ini banyak anak muda bunuh diri karena tak bisa bayar uang
sekolah dan ditolak kekasih hati. Tukang bakso dan tokoh kita saling
menemukan pengganti ayah dan anak.”
Mengadopsi anak seperti yang dilakukan oleh Mat Bakso merupakan
fenomena yang tidak jarang dijumpai di masyarakat. Banyak hal yang menjadi
alasan seseorang mengadopsi seorang anak, beberapa diantaranya adalah
karena memang ingin mempunyai seorang anak karena tidak mendapat
keturunan, karena merasa kasihan ketika mengetahui ada seorang anak yang
hidup serba kekurangan dan hidup sendirian, dan lain sebagainya.
Jika melihat pernyataan pengarang bahwa di zaman sekarang
banyak anak muda bunuh diri karena tidak mampu menghadapi kenyataan
pahitnya kehidupan yang mereka hadapi, maka dapat terlihat jelas bahwa
dalam masyarakat keadaan tersebut banyak dijumpai. Seorang anak yang
masih mengenyam bangku pendidikan ketika tidak mampu membayar uang
sekolahnya dan dia merasa frustasi karena hal tersebut, jalan akhir yang dia
pilih adalah mengakhiri hidupnya. Selain karena tidak mampu membayar
biaya sekolah, seorang anak memilih bunuh diri dengan alasan karena
mendapat nilai yang tidak memuaskan sehingga anak tersebut takut
mendapat hukuman dari orang tua atau takut mendapat ejekan dari teman-
temannya juga dapat ditemui di masyarakat belakangan. Bahkan ketika
seorang remaja yang ditolak cintanya dan merasa dunia tidak lagi berpihak
kepadanya, baik mata, telinga, atau nuraninya seolah menutup hingga remaja
tersebut memilih mengakhiri hidupnya.

IV.            Simpulan
Melihat betapa horor keadaan sosial yang ada di sekitarnya,
pengarang kemudian menuangkannya ke dalam sebuah cerpen dengan
judul Setan Murat. Melalui kisah-kisah hidup tokoh, pengarang berusaha
memberikan gambaran mengerikan keadaan sosial masyarakat serta
memberikan kritikan pedas kepada banyak khalayak. Pengarang
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan antara masyarakat kelas
bawah, menengah, hingga kelas atas. Keduanya sama-sama ibarat sosok
Setan Murat.
Ketika rakyat kecil sudah terdesak keadaan ekonominya sedangkan
orang tersebut perlu untuk tetap bertahan hidup dan berusaha menaikan
derajatnya sekalipun ia memiliki pedoman hidup seperti agama namun tidak
dipegangnya dengan kuat maka yang terjadi adalah orang tersebut akan
meninggalkan norma-norma kesusilaan, melanggar hukum dengan
melakukan tindakan kriminal dan semacamnya. Sedangkan orang yang
berdiri di atas rakyat kecil dengan kuasa mereka berbuat semaunya. Mereka
menyalahgunakan kekuasaan untuk memepertahankan status sosial mereka.
Kedua kelas tersebut jika diamati lebih dalam maka tidak memiliki
perbedaan. Dengan menutup mata, mulut, telinga, hingga menanggalkan hati
nurani, mereka melakukan tindakan-tindakan sosial yang sama buruknya
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Inilah salah satu gambaran masyarakat
yang hendak disampaikan pengarang.

V.            Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS
Faruk. 2016. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Welleck, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai