Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Jepang melestarikan dan mewariskan nilai-nilai luhur yang


dimilikinya dari generasi ke generasi. Salah satu alasan bangsa Jepang dapat
mempertahankan keberadaan tradisinya adalah karena masyarakat Jepang
mempunyai kemampuan untuk mencampur dua elemen yang berbeda, tradisional
dengan modern, lokal dengan impor, barat dengan timur. Bangsa ini berkembang
berdasarkan dan bertolak dari nilai-nilai spiritual yang menjadi inspirasi, cara
berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Jepang telah
menuangkannya dengan jelas ke dalam kebudayaannya, terutama dalam bidang
seni tari tradisionalnya.

Seni tari tradisional Jepang pertama kali lahir dalam era dimana negara
Jepang berada dalam masa peperangan saling memperebutkan wilayah. Oleh
karena itu, untuk mengenang masa-masa bersejarah tersebut, seni tari tradisional
Jepang menarikan gerakan-gerakan yang melambangkan sosok pahlawan-
pahlawan perang saat kejadian-kejadian pada zaman peperangan Salah satu
kebudayaan yang mempunyai nilai-nilai spiritual yang telah dikenal dari generasi
ke generasi adalah kesenian Kabuki.

Kabuki adalah salah satu kesenian Jepang yang berupa seni teater yang
menggabungkan karakter lagu, tari, dan aksi tindakan, yang diwariskan secara
turun temurun, dari bapak ke anak lelaki dalam suatu keluarga. Sebuah bentuk
teater klasik yang mengalami evolusi pada awal abad ke-17. Ciri khasnya berupa
irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh para aktor, kostum yang super-
mewah, make-up yang mecolok (kumadori), serta penggunaan peralatan mekanis
untuk mencapai efek-efek khusus di panggung. Kabuki mengajarkan segala

1
sesuatu membutuhkan usaha perjuangan, tingkat ketelitian yang tinggi, serta
adaptasi dengan dunia luar. Bentuk perjuangan ini dapat dilihat dari pemeliharaan
kesenian Kabuki dahulunya menonjolkan sisi eksternal, namun sekarang lebih
berupa isinya (internal). Seni tari Kabuki mendapat pengakuan UNESCO adalah
karena kemampuan bangsa Jepang dalam beradaptasi dengan teliti terhadap
kemajuan dunia luar namun tetap menginovasi kesenian tradisionalnya agar tidak
ketinggalan jaman dan menarik untuk diminati.

1.2 Tujuan

Dapat mengetahui Sejarah dan Makna Kebudayaan Jepang Kabuki.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mampu memahami pengertian dan epidemiologi Kabuki
2. Mampu memahami sejarah Kabuki
3. Mampu membedakan jenis-jenis Kabuki
4. Mampu memhami judul dan cerita yang terkandung dalam Kabuki
5. Mampu menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam Kabuki

2
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian
Kabuki adalah teater rakyat Jepang yang diperankan oleh pemain laki-laki
sebagai perpaduan antara unsure sandiwara, tari, dan musik biasanya
mengetengahkan kisah nyata atau cerita sejarah ( KBBI V)
2.2 Etimologi
Ada banyak pendapat mengenai asal kata dari Kabuki ini, salah satunya
adalah kabusu yang ditulis dengan karakter kanji歌舞dengan ditambahkan
akhiran す sehingga menjadi kata kerja 歌舞す yang berarti bernyanyi dan
menari. Kemudian disempurnakan menjadi kabuki (歌舞伎) yang ditulis dengan
tiga karakter kanji, yaitu uta 歌(うた) (lagu), mai 舞(まい) (tarian), dan ki 伎(き)
(tehnik).
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa kata kabuki ini berasal dari
kata kabuki かぶき, kabuku かぶく, kabukan かぶかん, atau kabuke かぶけ
yang ditulis dengan karakter kanji katamuku (傾). Karakter kanji katamuku
yang dibaca kabuku ini secara harfiah berarti cenderung, condong, miring atau
tidak sama dengan pemikiran umum. Kata ini digunakan untuk menyebutkan
orang-orang yang cenderung atau condong ke arah duniawi, dan orang-orang
yang berpakaian dan bertingkah laku aneh.
Pendapat yang mengatakan penamaan kabuki berasal dari kata katamuku ini
dikarenakan pada saat kabuki pertama kali diperkenalkan oleh Okuni, seorang
Miko 巫女 (pendeta wanita) dari daerah Izumo. Okuni tersebut memakai kostum
laki-laki dengan membawa pedang dan mengenakan aksesoris-aksesoris yang
tidak lazim pada zaman tersebut. Seperti rosario yang dikenakan di pinggang
bukan digantungkan dileher. Ceritanya pun berkisar tentang seorang laki-laki
yang pergi bermain-main ke kedai teh untuk minum-minum bersama para wanita

3
penghibur. Hal ini kemudian diasosiasikan dengan kumpulan orang-orang yang
berpakaian dan bertingkah-laku aneh serta tidak lazim yang muncul pada saat itu,
yang dikenal dengan nama kabukimono カブキモノ.
Setelah melalui beberapa perkembangan akhirnya kabuki ditulis dengan tiga
karakter kanji yaitu uta 歌 (lagu), mai 舞 (tarian), dan ki 妓(seniman wanita)
yang kemudian karakter kanji ki 妓 diubah menjadi ki 伎, sehingga kabuki ditulis
menjadi 歌舞伎(かぶき) yang sekarang ini. Penamaan kabuki dengan
menggunakan tiga karakter kanji di atas, dikarenakan tiga karakter di atas
dianggap sesuai dengan unsur-unsur yang ada di dalam pertunjukan teater kabuki
itu tersebut. Adapun pada awalnya karakter ki, ditulis dengan 妓dikarenakan
kabuki pada awalnya lahir dari seorang seniman wanita yang bernama okuni
阿国(おくに) dari kuil Izumo.

2.3 Sejarah
A. Sejarah kabuki
Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang
dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto.
Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi
mungkin juga seorang kawaramo (sebutan menghina buat orang kasta rendah
yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui
secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang
populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku
tidak wajar seperti orang aneh (kabukimono), sehingga lahir suatu bentuk
kesenian garda depan. Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung noh.
Hanamichi (hon hanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi
yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan
merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang
ada di panggung sisi kiri penonton). Kesenian garda depan yang dibawakan

4
Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok
pertunjukan kabuki imitasi.
Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut
Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki
disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Drama kabuki dimulai
pertunjukan tarian yang dilakukan oleh wanita. Wanita pertama yang
memperkenalkan kabuki adalah Izumino Okuni pada tahun keichoo. Dia disebut
juga sebagai nenek moyang atau cikal bakal kabuki. Tarian pertama dikenal
dengan Nebutsu Odori,yang kemudian terkenal dengan sebutan Kabuki Odori.
Kabuki Odori sangat popular dikalangan wanita. Diberbagai daerah banyak
wanita yang menjadi penari kabuki dan mereka disebut sebagai yujo kabuki atau
onna kabuki. Penari – penari tersebut selain menari juga melayani tamu laki –
laki. Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan
kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun
1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki
remaja juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran
terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki yang dibawakan seluruhnya oleh pria
dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-
kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga
memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika.
Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga
sekarang.
Pada tahun berikutnya mereka diperbolehkan mengadakan pertunjukan
kembali dengan syarat yang ketat yaitu penari kabuki harus memotong Maegami (
Poni). Dengan di potongnya maegami sebutan wakashu kabuki berubah menjadi
yaro kabuki. Kabuki tidak hanya berkembang di Kyoto dan Osaka tetapi
berkembang juga sampai ke Tokyo dan menjadi pusat kabuki sampai
sekarang.Pengarang kabuki bernama Yonsei Tsuruya Namboku pada jaman Edo
generasi keempat dari keluarga Namboku. Generasi ke 1, ke 2 dan ke 3 adalah

5
actor kabuki. Karya yang terkenal adalah Sumidagawa Hangoshozomei dan
Tokaido Yotsuya Kaidan.
B. Sejarah kabuki sejak zaman Meiji
Kepopuleran kabuki tetap tidak tergoyahkan sejak zaman Meiji, tapi
sering menerima kritik. Di antaranya kalangan intelektual menganggap isi
cerita kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab.
Kalangan di dalam dan luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di
dalam kabuki, sehingga mau tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah
sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur
dalam kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke dalam drama
kabuki, misalnya: alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno
atau berbau feodal, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton
takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam
sekejap.
Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji
berusaha mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater
kabuki. Gerakan pembaruan yang disebut Engeki Kairyō Undō juga
melibatkan pemerintah Meiji yang memang bermaksud mengontrol
pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan
teater yang pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan kalangan atas
suatu "masyarakat yang bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan
kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai tempat pementasan
kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater kabuki yang
disebut Shimpa.
Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut
Shin-kabuki, dengan karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal
zaman Showa. Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar
karya kabuki yang mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan
sebagai Shin-kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti

6
Tsubouchi Shoyo, Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begita suka hingga
menulis naskah baru untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang
tergolong ke dalam Shin-kabuki yang tidak disukai penggemar hampir tidak
pernah dipentaskan.
Setelah Perang Dunia II, orang Jepang akhirnya mulai menyadari
pentingnya bentuk kesenian kabuki yang asli. Di tahun 1965, pemerintah
Jepang menunjuk kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi dan
pemerintah membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo yang di antaranya
digunakan untuk pentas kabuki.
Selain itu, Ichikawa Ennosuke III berusaha menghidupkan kembali
naskah-naskah kabuki lama yang sudah jarang dipentaskan. Naskah kabuki
yang jarang dipentaskan dan dihidupkan kembali oleh Ichikawa Ennosuke III
dikenal sebagai Fukkatsu-kyōgen (kyogen yang dihidupkan kembali). Kabuki
yang dipentaskan Ichikawa Ennosuke III disebut Supa-kabuki (kabuki super),
karena Ennosuke mencoba teknik pementasan lebih berani dengan
menghidupkan kembali trik panggung (kérén) yang dulunya pernah dianggap
selera rendah oleh banyak orang. Belakangan ini, pertunjukan kabuki juga
sering menampilkan dramawan dan sutradara teater di luar lingkungan kabuki
sebagai sutradara tamu.
Pementasan kabuki di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan
pementasan kabuki di zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi
pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah
dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan
zaman.

2.4 Jenis Kabuki


Jenis-jenis kabuki diantaranya :
1. Kabuki Odori

7
Kabuki-odori (kabuki tarian). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa
kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-
kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon
ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti
pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi
drama yang ditampilkan.
2. Kabuki-geki (kabuki sandiwara)
Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk
penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan
yang dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk
"habis-habisan meniru kyōgen" merupakan salah satu sebab kabuki berubah
menjadi pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari
sebagai atraksi utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus
menjaga moral rakyat.
Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita
kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini
juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja
demi memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki
menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki
seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan
pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.
Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang
berjalannya waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi
pergantian adegan. Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian
panggung bernama hanamichi yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi
penonton. Hanamichi dilewati aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari
panggung, sehingga dapat menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga
berkembang sebagai pertunjukan tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti
teknik Séri (bagian panggung yang bisa naik-turun yang memungkinkan aktor

8
muncul perlahan-lahan dari bawah panggung), dan Chūzuri (teknik
menggantung aktor dari langit-langit atas panggung untuk menambah dimensi
pergerakan ke atas dan ke bawah seperti adegan hantu terbang).
Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak
diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur
cerita Ningyo Jōruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo
tidak cuma diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya
Namboku banyak menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman
zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake
Mokuami juga baru menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo
hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota
budaya dibandingkan Kamigata. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut
sebagai sandiwara (shibai).

2.5 Cerita Kabuki


Drama kabuki adalah cerita sejarah yang disebut Jidaimono. Penulis drama
kabuki dari daerah Kamigata menjadi pionir dalam penulisan naskah drama.
Penulis banyak mengadaptasi cerita Ningyo Jòruri. Hal ini memicu kreativitas
tersendiri bagi penulis kabuki asal Edo. Beberapa penulis kabuki asal Edo
tergerak mengkreasikan drama-drama baru, misalnya Tsuruya Namboku. Penulis
kabuki yang banyak mengkreasikan cerita kepahlawanan dari zaman Bunka
hingga zaman Bunsei. Kawatake Mokuami yang popular di akhir zaman edo
hingga memasuki zaman Meiji. Beberapa judul drama kabuki yang terkenal ialah
Taiheiki no sekai, Heike monogatari no sekai, Sogamono no sekai, dan
Sumidagawamono no sekai.
Jenis lakon kabuki terdiri dari :
1. Jidai Kyogen yaitu cerita yang diambil dari jaman Edo atau samurai pendeta
pada jaman Kamakura.

9
2. Sewa Kyogen yaitu isi cerita yang menyangkut kehidupan rakyat pada zaman
Edo.
3. Buyogeki yaitu tarian yang diiringi melodi gidayu.
4. Kabuki Juhachiban merupakan Lakon Kabuki yang sangat popular.
5. Shinsaku Kabuki yaitu lakon-lakon yang ditulis setelah zaman Meiji.

2.6 Judul Pertunjukan


Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai yang kemungkinan besar berasal
dari kata Geidai. Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara kanji
berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume dōjōji (4 aksara kanji)
harus ditambah dengan Kyōkanoko (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺
(Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara
kanji. Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki
judul alias dan keduanya dianggap sebagai judul yang resmi.

Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波)

dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul

Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal sebagai

Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam


aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara
penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul
pertunjukan kabuki.

2.7 Musik dan Panggung


Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang
dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi.
Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki.
Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut
Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut
Debayashi.Musik Kabuki sendiri terbagi dalam dua jenis, yaitu Shosha Ongaku

10
yaitu musik samisen yang mengiringi tayu (dalang) dan Geza Ongaku yaitu musik
yang melengkapi pertunjukan kabuki dari belakang panggung.
Selain itu yang menarik dalam kabuki adalah bentuk panggungnya.
Keunikan panggung kabuki yang tidak akan dijumpai di negara lain. Bentuk
panggung terdiri dari :
1. Hanamichi :
Lorong diantara tempat duduk penonton yang terletak disebelah kiri dan
kanan panggung.
2. Suppon :
Lubang segi empat yang terdapat pada Hanamichi yang dapat ditarik ke atas
dan ke bawah.
3. Mawani Butai :
Bulatan besar yang terletak ditengah-tengah panggung dan dapat berputar
fungsinya untuk pergantian dari siang dan malam.
4. Yuka :
Tempat duduk tayu (dalang), pemetik simasen.
5. Geza :
Tempat para pemain musik untuk memainkan alat-alat musik.
6. Hikimaku :
Layar panggung yang terdiri dari tiga warna yaitu hijau tua, orange, dan
hitam.

2.8 Nilai-nilai dalam Kabuki


Berdasarkan pada landasan teori yang penulis pergunakan bahwa di dalam
pementasan Drama Kabuki dalam pemahaman secara menyeluruh mengandung
nilai-nilai yang tinggi. Kategori nilai dalam Drama Kabuki adalah sebagai berikut:
A. Nilai estetis
Nilai Estetis ini tercermin dalam keseluruhan pementasan Kabuki dari
musik pengiring, taritarian, peran, dan panggung. Musik pengiring menunjang
gerakan para pemeran sesuai dengan tema cerita sehingga terjadi keindahan
yang harmonis. Tata panggung, warna, dan make up yang sesuai dengan tema
cerita memiliki peranan yang penting dalam memperindah dan

11
menyempurnakan pementasan Kabuki. Ronald Cavaye (1993:74) menegaskan
bahwa musik merupakan sesuatu unsur yang sangat penting dalam Kabuki.

B. Nilai sosial
Nilai sosial ini ditunjukkan oleh adanya keharmonisan dalam
keseluruhan pementasan drama Kabuki ini. Pemeran wanita tua memiliki
tangungjawab terhadap pemeran yang lebih muda. Artinya bahwa kesuksesan
dan kesempurnaan dalam pementasan Kabuki ini ditentukan oleh adanya
kerjasama dan tanggung jawab dari para pemeran.
C. Nilai kepahlawanan
Nilai kepahlawan tercermin dalam tema cerita dan peran para pemain.
Nilai kepahlawanan ini ditunjukkan oleh peran Aragoto.
D. Nilai cinta
Nilai cinta ini tercermin dalam tema cerita yang diperankan para
pemain dalam pementasan Drama Kabuki ini. Nilai cinta ini ditunjukkan oleh
peran Wagoto.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kabuki dari awal kemunculannya mengalami perubahan-perubahan


terutama dalam tema dan gerakan para pemeran Kabuki. Kesuksesan dalam
pementasan Kabuki ditentukan oleh keharmonisan dalam keseluruhan penunjang:
musik, tari, peran, dan panggung. Kabuki memiliki nilai-nilai estetis, sosial,
kepahlawanan, dan cinta yang bermanfaat bagi masyarakat Jepang sebagai dasar
pengembangan kebudayaannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Cavaye, Ronald, 1993, Kabuki: A Pocket Guide, Tuttle Publishing Boston.rutland,


Vermont.Tokyo.

Okada, Michiko, 2002, Kabuki di Jepang dan Ludruk di Indonesia Sebuah Kajian
Perbandingan, tesis pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Renariah, 2008, Kabuki, Jurnal Sastra Jepang Universitas Kristen Maranatha


Bandung, vol. 7 No. 2 Edisi Februari 2008.

Triana, Tanty, 2015, Kabuki: Kesenian Teater Khas Negara Tirai Bambu, dalam
jurnal tentang Kabuki,

http://kumpulan-jurnalkeren.blogspot.co.id/2015/01/jurnal-tentang-kabuki_5.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2017.

14

Anda mungkin juga menyukai