Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

NIHON BUNGAKU NO KEITAI (BENTUK KESUSASTRAAN JEPANG)

Awal mula kelahiran kesusastraan Jepang sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh
sifat dan bentuk kebudayaan pertanian. Misalnya, tentang empat musim dan
pergantian musim yang berpengaruh dalam kesusastraan Jepang. Dapat dipastikan
bahwa pengaruh itu bersumber dari kebudayaan pertanian. Kebudayaan pertanian
memelihara dan mengikuti perubahan musim, misalnya, pada musim semi dilakukan
penyebaran bibit dan panen diambil pada musim gugur. Begitu pula pada setiap
musim para petani mengadakan kegiatan masing-masing pengolahan lahan
pertanian yang dimulai dari penyebaran bibit sampai panen merupakan pekerjaan
yang teramat penting terutama bagi petani yang menggarap sawah sebagai
pekerjaan pokok mereka. Dalam pergantian musim itulah diadakan suatu kegiatan
pembacaan doa dan upacara keagamaan. Tradisi seperti ini dalam kegiatan
kesusastraan pada umumnya akan terlihat dalam pembuatan dan pembacaan puisi
serta istilah-istilah yang terdapat pada haiku.
Ciri-ciri yang terdapat dalam kesusastraan Jepang selain adanya pengaruh
dari kebudayaan Jepang yang berpusat pada pertanian (penanaman padi dan
pergantian musim), juga ada satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu adanya
tradisi menetap. Adanya kebiasaan menetap di suatu tempat ini sungguh jelas yaitu
berkaitan dengan pertanian, seperti barusan para petani untuk memindahkan bibit
bibit padi yang mulai tumbuh membuang alang-alang yang tidak perlu serta
keharusan mengairi sawahnya. Kegiatan ini memerlukan perhatian khusus sehingga
kebiasaan menetap merupakan pilihan yang paling tepat.
Kehidupan menetap akan melahirkan kebiasaan tolong-menolong dan gotong
royong. Orang yang hidup di suatu tempat biasanya membutuhkan tempat tertentu
untuk dijadikan pusat pertemuan, misalnya untuk upacara keagamaan tempat
berdoa dan membaca mantra mantra. Jika tempat berkumpul ini bertambah besar
akan lahirlah sebuah kota.
Kebudayaan Jepang berkembang dari tempat kota yang lahir itu dan
kesusastraan pun lahir di tempat itu. Dengan demikian kesusastraan lahir dari
upacara dan festival yang diadakan dalam masyarakat yang hidup bersama dan
dalam suasana kehidupan masyarakat yang saling menolong. Bentuk original dari
kesusastraan misalnya uta (nyanyian), katari (cerita) dan odori (tarian) yang satu
sama lain saling berkaitan. Setelah kesusastraan lisan berkembang menjadi
kesusastraan tulisan terjadilah suatu proses pengelompokan dalam kesusastraan
Jepang. Berdasarkan adanya kesamaan unsur unsurnya maka nyanyian
dikelompokkan dalam puisi cerita dikelompokkan dalam prosa dan tarian
dikelompokkan dalam drama.
Bentuk sastra ini mempunyai suatu ketentuan mendasar yaitu terdiri dari 31
suku kata yang dibagi 5, 7, 5, 7, 7 suku kata. Dari zaman kuno bentuk ini terus
dipakai sampai sekarang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara
pengelompokan seperti itu telah menetapkan bentuk yang terpenting dalam sejarah
kesusastraan Jepang khususnya di bidang puisi Jepang.
Apabila Waka dapat dikategorikan ke dalam bentuk puisi akan terdapat
sedikit persoalan yaitu bahwa dalam Waka tidak terdapat pengulangan hatsuon atau
ucapan yang sama sehingga sulit membedakan waka dalam kelompok puisi dengan
prosa. Namun secara umum dapat dijelaskan bahwa perbedaan itu dapat terlihat
atas dasar jumlah suku kata yang dipakai dalam puisi yaitu 5 suku kata 7 suku kata
dan pengulangan suku kata. Ini yang menjadikan irama dalam puisi Jepang pendek.
Dalam kesusastraan Jepang apabila memiliki irama 5 suku kata dan 7 suku kata
dapat dikatakan bentuk puisi terlepas dari prosa dan ia dapat berdiri sendiri sebagai
puisi.
Baik odori maupun mai tarian yang dibawakan dalam upacara-upacara
keagamaan. Gerakan tari yang tegak lurus sedangkan mai adalah gerakan tari yang
berputar. Drama dengaku dan sarugaku yang lahir di desa merupakan dasar dari
drama di Jepang yang disebut noh. Sama halnya dengan noh, drama kabuki pun
lahir dari gerak dan nyanyi dari tarian Izumino Okuni
Sejak zaman kuno cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut bahkan turun-
temurun akhirnya berkembang menjadi prosa. Mula-mula katari (cerita) berawal dari
mitologi yang ikut mendukung menyatukan Yamato, dan menjadi pusat
pemerintahan dan kebudayaan pada zaman kuno. Di samping itu katari mengalir
terus di balik perkembangan sejarah kesusastraan Jepang. Akan tetapi, setelah
masuk zaman Heian, katari lebih disempurnakan hingga menjadi bentuk prosa yang
disebut monogatari. Muncul monogatari pertama yang disebut Taketori Monogatari.
Selain bentuk monogatari timbul pula bentuk setsuwa dan gunki monogatari. Setelah
masuk zaman pra modern muncul kanazoshi. Kalau dilihat secara garis besar dari
dasar-dasar katari lahirlah karya sastra yang berbentuk prosa yang dapat
dikategorikan dalam esai yaitu Makura no Soshi, Hojiki, dan Tsurezure Gusa. Selain
katari berkembang pula nikki, buku harian yang timbul pada kesusastraan zaman
Heian dan berkembang menjadi novel (shishosetsu) pada zaman modern.

A. PUISI
1. Waka
Waka adalah puisi Yamato (Jepang) yang dibuat untuk mengimbangi puisi China.
Jenis puisi lain seperti choka dan sedoka juga termasuk waka. Waka mulai pudar
kepopulerannya pada sekitar akhir zaman Nara. Bentuk puisi yang merupakan
bentuk awal dari puisi Jepang ini memiliki ciri khas. Maka terdiri dari 31 suku kata
yang terbagi dalam 5, 7, 5, 7, 7 suku kata dan ini merupakan cara yang paling cocok
untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran orang Jepang.
Walaupun muncul berbagai macam dan bentuk puisi selain Waka, tetapi
Waka yang terdapat dalam Manyoshu dan dibuat pada zaman Nara, Kokinshu yang
dibuat pada zaman Heian, dan Shinkokinshu yang dibuat pada zaman Kamakura,
memberikan pengaruh yang besar terhadap kesusastraan Jepang khususnya dalam
perkembangan puisi Jepang.
Setiap kumpulan puisi mempunyai ciri khas. Manyoshu, misalnya, warna
puisinya berkaitan dengan perasaan yang diungkapkan secara langsung ke
hadapan orang di sekitarnya. Kokinshu banyak diwarnai kehidupan bangsawan dan
bersifat intelektual, sementara shinkokinshu lebih banyak diwarnai oleh puisi yang
mengekspresikan alam yang tidak nyata dan tidak mengungkapkan kehidupan
sehari-hari manusia. Dapat dikatakan bahwa cerita Shinkokinshu tidak realistis dan
mengimajinasikan suatu keindahan alam.

2. Haikai
Arti haikai adalah sesuatu yang jenaka atau lucu. Sejak adanya pembuatan 58 buah
puisi Waka yang jenaka dalam kokinshu maka dalam kumpulan puisi lain pun
banyak dimuat puisi yang bercorak jenaka ini. Pada zaman Chusei, puisi yang
berada dalam kanshi, waka ataupun renga kalau didalamnya terdapat ungkapan
kelucuan maka puisi tersebut disebut haikai. Itulah sebabnya dari pertengahan
Chusei (abad pertengahan) sampai permulaan Kinsei (zaman modern) sangat
diminati sebagai haikai no renga yang memfokuskan tentang kelucuan. Kemudian
karena dianggap dapat berdiri sendiri dan terlepas dari puisi renga, maka Haikai no
renga mulai ditulis dengan haiku saja. Kalau dilihat dari sejarahnya pada
pertengahan abad ke-14 dalam kumpulan puisi Renga yang disebut Tsukuba
Shu, haiku masih merupakan bagian dari puisi renga. Namun pada abad ke-15
dalam shinsetsukubashu dikatakan bahwa haiku berbeda dengan renga sehingga
semua haiku yang berada dalam kumpulan puisi itu dikeluarkan. Pada awal abad ke-
16 melalui kumpulan haiku dari Yamazaki Sokan maupun Aragita Moritake, terlihat
jelas adanya suatu kelucuan yang tidak ada dalam renga, sehingga haiku dapat
diakui sebagai suatu karya sastra dalam bidang puisi yang baru.
Haiku dimulai dengan 17 suku kata pada bait pertama yaitu 5,7,5 dan
dilanjutkan dengan 14 suku kata atau 7,7 dan kembali lagi ke bait berikutnya dengan
17 suku kata, lalu 14 suku kata demikian seterusnya. Aturan ini di ulang-ulang
sampai menghasilkan suatu puisi yang bermakna. Puisi yang banyak dibuat oleh
orang biasa ini aturannya masih sama dengan renga. Begitu memasuki zaman
modern dengan memudarkan kepopuleran puisi Renga maka puisi haikai semakin
populer dan mengalami kemajuan. Kemudian melahirkan berbagai macam aliran
khususnya haikai yang dibuat oleh Matsuo Basho yang boleh dikatakan merupakan
awal kejayaannya.

3. Haiku
Haiku sama artinya dengan bait pertama dari haikai no renga. Pada zaman meiji
tepatnya sekitar abad ke-20, Masaoka Shiki mengadakan pembaharuan yaitu
dengan mengambil bait pertama dari haikai dan dijadikan puisi yang disebut haiku.
Shiki mengakui bahwa bait pertama dari yang terdiri dari 5,7,5 atau sebanyak 17
suku kata dapat dijadikan suatu puisi. Setelah zaman Chusei, Masaoka Shiki
membuat puisi yang lebih pendek dengan sebutan yang masih sama yaitu haiku.

4. Kyoka
Berbeda dengan puisi Waka yang mengandung aturan-aturan tetap yang mendasar,
kyoka sedikit menyimpang dan mengekspresikan sesuatu secara bebas atau dapat
dikatakan sedikit tidak sopan karena segala sesuatu digambarkan secara bebas
serta penggunaan bahasanya pun bebas. Namun justru ciri inilah yang merupakan
ciri yang dimiliki oleh kyoka. meskipun hal-hal semacam itu terlihat sedikit di dalam
kumpulan puisi Manyoshu maupun Kokinshu, kyoka justru sangat diminati oleh
masyarakat Jepang di sekitar pertengahan zaman muromachi sampai zaman
sengoku, yang waktu itu moral masyarakat setelah mengalami kemerosotan.
Setelah memasuki zaman pra modern berkat pedagang-pedagang dari Osaka
Yuensaiteiryu, kyoka menjadi sangat digemari oleh masyarakat pada umumnya
lebih-lebih pada zaman Tenmei (1781-1789) yang membawa kyoka mencapai
puncak kejayaannya, sehingga disebut pula dengan istilah tenmei kyoka. Penyair
yang terkenal dalam mengembangkan kyoka adalah Toikisshu, Shihosekira, dan
Shugakukanko. Tenmei kyoka sama halnya dengan novel gesaku yang populer
pada masa itu; isinya ringan, bebas, dan banyak mengandung kelucuan, atau humor.
Selain masih meniru puisi kuno kyoka juga mengungkapkan segala macam aspek di
dalam puisinya.

5. Senryu
Senryu muncul hampir bersamaan waktunya dengan haiku yaitu pada akhir zaman
Edo. Berbeda dengan haiku isi senryu banyak difokuskan pada masalah rakyat
biasa.
Ada suatu ketentuan dalam berbalas pantun di saat orang yang memilih
masalah harus melontarkan puisi sebanyak 14 suku kata, yaitu terdiri dari 7,7 suku
kata dan sebagai balasannya harus dibuat sebanyak 17 suku kata yang terdiri dari
5,7,5 suku kata. Dari aturan itulah senryu lahir yaitu dengan mengambil rumus 5,7,5
dengan 17 suku kata dari bait kedua bukan bait pertama yang berjumlah 7,7 suku
kata, sehingga senryuu dapat dikatakan sebagai puisi yang sudah berdiri sendiri.
Kejadian tersebut sama seperti kyoka yang mengambil dasar puisi. Senryu
kemudian lebih dikenal setelah dibuat buku pada tahun 1765 yang berjudul
yanagitama.

6. Kayo
Kayo dapat dikatakan sebagai puisi yang mempergunakan irama dan lebih condong
ke suatu nyanyian. Kayo dipengaruhi oleh dua aspek yaitu aspek kesastraan dan
seni musik. Kayo muncul sejak zaman kuno dan populer dalam masyarakat. Bentuk
kayo dapat dilihat dalam kojiki, Nihon Shoki, Fudoki, dan Manyoshu, tetapi karena
terlalu banyak macam dan bentuknya tidak begitu jelas lagi perbedaannya. pada
awal zaman Heian dikenal Kagura Uta dan Saibara yang berpusat di istana dan
kayo sering dibawakan dalam upacara upacara yang diadakan di sana. Pada akhir
zaman Heian dikenal imayo di kalangan masyarakat umum. Imayo dikumpulkan
dalam suatu buku berjudul Ryojinhisho oleh Goshirakawain. Kayo mencapai masa
kejayaannya ketika memasuki zaman Chusei dan dipergunakan dalam pertemuan-
pertemuan. Pada pertemuan-pertemuan tersebut diselenggarakan dengaku,
sarugaku, dan cerita panjang heike monogatari. Nama kayo kemudian lebih dikenal
dengan nama kouta pada akhir zaman Chusei (awal zaman pra modern) sampai
diterbitkan suatu buku yang disebut Konginshuu. Pada waktu yang sama lahir joruri
yang berbentuk cerita dan bersamaan itu pula datang alat musik shamisen melalui
pulau Ryukyu. Alat musik ini bersatu dengan joruri sehingga perpaduan tersebut
membentuk drama joruri yang sangat mempengaruhi perkembangan kayu pada
zaman pra modern.

7. Kindaishi (puisi modern)


Shintaishisho, kumpulan puisi terjemahan yang diterbitkan pada Meiji 15 (1882)
adalah puisi Eropa pertama yang diperkenalkan di Jepang. Puisi terjemahan
tersebut diperkenalkan untuk membuka wilayah puisi yang keadaannya berbeda
dengan puisi Waka dan Haikai. Dalam percobaan menerjemahkan bermacam-
macam puisi shintaishi, Omokage yang berbentuk puisi shintaishi -- sebuah puisi
yang sudah disempurnakan keindahannya-- diterjemahkan oleh Mori Ogai dan
kawan-kawan. Begitu pula Shimazaki Toson telah berhasil menyusun secara orisinal
dunia puisi yang liris berdasarkan bentuk puisi Eropa berjudul Wakanashu yang
diterbitkan pada Mei 30 (1897).
Puisi modern Perancis Kaichoon terjemahan Ueda Bin pada Meiji 38 (1905)
memberikan pengaruh yang kuat terhadap puisi simbolik antara lain shin cho-
su dan Ariyakeshu karya Kambara Ariyake serta Hakuyokyu karya Susukida Kyukin.
Majalah Myojo dan Subaru pada Meiji 40-an (sekitar 1907-an) merupakan wadah
para penulis muda yang berpotensi untuk menyalurkan karya-karyanya secara
berturut-turut. Penyair yang menonjol pada masa itu adalah Kitahara Hakushu. Gaya
penulisan Hakushu bersifat keindahan dan kaya akan simbolisasi musik dan sensasi
kehidupan.
Orang yang pertama menciptakan puisi kogojiyushi (puisi bebas lisan) adalah
Kawaji Ryuko. Puisi bebas lisan ini memberikan benturan keras terhadap puisi Waka
dan haikai yang sudah mempunyai bentuk yang mapan. Minat para penyair
kemudian berpaling kepada kogojiyushi.
Dotei adalah hasil karya pertama puisi kogojiyushi dari syair Takamura Kotaro pada
taisho 3 (1914). Terwujudnya kumpulan puisi yang menampilkan ciri individualistis
baru tercapai setelah mengambil bentuk puisi yang disebut kogojiyushi. Setelah puisi
Dotei, puisi Jepang berubah dari puisi yang bersajak menjadi kogojiyushi.
Kogojiyushi disusun dan disempurnakan oleh Hagiwara Sakutaro dalam kumpulan
puisi Tsuki ni Hoeru pada tahun 1917.

Anda mungkin juga menyukai