Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di zaman modern ini perkembangan dan perubahan sosial dalam

masyarakat merupakan hal yang sudah wajar terjadi. Akan tetapi, perubahan-

perubahan ini tidak selalu bersifat kemajuan, melainkan dapat bersifat

kemunduran. Banyak permasalahan disetiap perubahan sosial sehingga sering

terjadi fenomena-fenomena dalam masyarakat. Tidak terkecuali di Jepang,

masyarakat Jepang yang dikenal memiliki sifat disiplin yang tinggi, hidup

berkelompok, dan tidak ingin merepotkan orang lain mulai berubah menjadi

pribadi yang cenderung bebas dan memikirkan diri sendiri. Banyak dari

masyarakat Jepang yang menjadi semakin individualis sehingga memunculkan

fenomena pada pernikahan di Jepang.

Berbicara tentang pernikahan, dewasa ini hal yang menjadi fenomena

dalam masyarakat Jepang adalah penundaan pernikahan pada usia produktif.

Banyak dari masyarakat Jepang yang cenderung untuk menunda pernikahan

dengan berbagai alasan. . Hal ini tidak terlepas dari perkembangan dan perubahan-

perubahan sosial yang terjadi. Masyarakat Jepang cenderung menunda usia

pernikahan dan lebih suka untuk hidup sendiri. Menurut mereka hidup sendiri

lebih menguntungkan dari segi ekonomi dan dapat hidup dengan gaji mereka

sendiri tanpa harus berbagi dengan pasangan mereka, terlebih lagi mereka tidak

perlu merasa khawatir akan terkekang setelah menjalani dunia pernikahan.

Fenomena penundaan pernikahan ini disebut juga dengan istilah Bankonka.

1
Dalam josei gaku jiten (女性学辞典 – encyclopedia of women’s studies)

yang dimaksud dengan Bankonka adalah sebagai berikut:

けっこんてきれいき ねんれいそう けっこん


“ 結 婚 適 齢 期 とされる 年 齢 層 、または 結 婚 が
ひかくてきひんぱん しょう ねんれいはんい たか
比 較 的 頻 繁 に 生 じている 年 齢 範 囲 よりも 高 い
ねんれい けっこん そうたいてき ぞうか けいこう
年 齢 での 結 婚 が 相 対 的 に増加する 傾 向 。”

Terjemahan:
Pernikahan pada usia yang lebih tinggi daripada usia ideal
untuk menikah cenderung semakin bertambah.
www.ezipangu.org/japanese/frame_j/frame_j.html
Pada awalnya, banyak dari masyarakat Jepang khususnya perempuan

menjadikan pendidikan sebagai fokus mereka. Sejak banyaknya perusahaan-

perusahaan yang mempekerjakan perempuan-perempuan lulusan universitas di

Jepang, mereka semakin terdorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang

lebih tinggi. Kesempatan dalam mendapatkan pendidikan ini menjadikan

perempuan di Jepang ingin terus melanjutkan pendidikan dan cenderung

megutamakan pendidikan daripada pernikahan. Lalu, muncul lah permasalahan

bahwa perempuan mengutamakan karir dibandingan dengan urusan berpasangan.

Sehingga perempuan di Jepang menuntut calon suami ideal dengan standar yang

tinggi sesuai dengan permintaannya dan berujung susah menemukan pasangan

seperti apa yang mereka harapkan (http://www.kompasiana.com).

Semakin banyak keinginan perempuan untuk melanjutkan pendidikan

dan berkarir, sehingga pandangan perempuan Jepang tentang pernikahan juga ikut

berubah dan menimbulkan gejala bankoka, karena sejak 1970 sampai sekarang

banyak dari masyarakat Jepang yang berfikiran seperti ini, menimbulkan

kesenjangan antara populasi perempuan dan laki-laki di Jepang. Perempuan yang

memilih untuk menunda pernikahan, bahkan memilih untuk tidak menikah juga

2
berdampak terhadap laki-laki. Laki-laki kesulitan untuk mendapatkan pasangan

yang seusianya untuk dinikahi sehingga mereka juga menikmati hidupnya sendiri,

dan salah satu cara terbaik mereka untuk menikmati hidup mereka sendiri adalah

dengan tetap tinggal bersama orangtuanya dan hidup seperti parasit.

(Erlin.2013.Bankonka.https://www.japanmaniak.blogspot.co.id/2013/01/Bankonk

a.html?m=1)

Bagi perempuan jepang menikah hanyalah menambah beban. Selain

kesulitan untuk menyatukan dua prinsip yang berbeda, tidak jarang dalam

pernikahan ada silang pendapat yang hanya menimbulkan masalah. Bagi

perempuan, menikah juga berarti terkekang. Kebebasan mereka terancam ketika

ada suami di kehidupan mereka. Bagi laki-laki Jepang tidak beda halnya dengan

alasan perempuan, mereka juga kurang memiliki minat untuk menikah diusia

produktifnya. Alasan utama karena mereka lebih menikmati pekerjaan daripada

untuk mempersiapkan pernikahan, sehingga ada alasan bagi pria susah

menemukan pasangan karena perempuan menuntut calon suami yang memiliki

gaji lebih tinggi dari perempuan.

Peningkatan tingkat pendidikan di Jepang bagi perempuan berpengaruh

pada pekerjaan perempuan. Karena tingkat pendidikan yang semakin tinggi,

banyak perempuan yang memilih untuk menempuh jenjang karir yang lebih

tinggi, dan tidak jarang jauh melampaui laki-laki.

Tidak hanya dari perempuan Jepang saja yang menunda pernikahan, laki-

laki pun juga demikian. Permasalahan yang dihadapi oleh laki-laki di Jepang

menunda pernikahan lebih kepada sulitnya untuk menemukan pasangan yang

ingin mereka dapatkan. Dengan banyak nya perempuan Jepang yang

3
berpendidikan setara dan memiliki pekerjaan bagus, laki-laki Jepang harus di

hadapkan dengan tuntutan untuk lebih daripada perempuan Jepang, belum lagi

setiap laki-laki harus menafkahi perempuan ketika ingin membangun sebuah

keluarga.

Bagi laki-laki Jepang, tidak hanya permasalahan finansial yang

menyebabkan penundaan pernikahan ini terjadi. Hal lain yang menjadi

permasalahan adalah mereka tidak ingin kekurangan waktu untuk pergi bersama

teman-temannya. Setelah menjalani kehidupan berumah tangga, seorang laki-laki

pasti akan sangat kekurangan waktu untuk melepaskan lelah bekerja dengan

teman-temannya. Tuntutan seperti ini menjadi pertimbangan bagi laki-laki Jepang

untuk menunda pernikahan mereka pada usia produktif.

Dari tahun 1980-an Jepang menjelma menjadi Negara yang mengalami

kemajuan ekonomi yang pesat. Keadaan Negara Jepang dengan tingkat ekonomi

yang bagus juga menjadi pegaruh pola kehidupan masyarakatnya, terutama remaja

di Jepang. Pada awalnya di Jepang, perempuan memiliki prinsip dimana menikah

cepat itu baik dalam mencapai kebahagiaan dalam hidup. Namun, seiring

pertumbuhan ekonomi di Jepang yang pesat, menimbulkan perubahan prinsip bagi

perempuan Jepang.

Namun dewasa ini tidak hanya faktor pendidikan yang menjadi alasan

utama bagi masyarakat Jepang menunda pernikahan. Masih banyak lagi yang

menjadi alasan masyarakat Jepang menunda usia pernikahan karena memiliki

kemampuan ekonomi yang baik, memiliki lapangan kerja yang bagus sehingga

lebih memilih karir dari pada pernikahan, menikah dan memiliki keluarga itu

merepotkan. Dari sini sudah mulai terjadi perubahan gaya hidup dan menjadi

4
faktor penundaan usia pernikahan. Dengan berkembangnya modernisasi di Jepang

yang menjadi pengaruh perubahan gaya hidup masyarakatnya, Modernisasi ini

juga menyebabkan berbagai perubahan dan kecenderungan untuk tidak ingin

menikah cepat, meskipun ada yang telah menikah, namun tidak ingin memiliki

anak. (Linda Unsriana, 2014:347). Dalam penurunan angka kelahiran tiap

tahunnya, ada beberapa faktor utama yang ditemukan, yaitu: pandangan anak

muda di Jepang yang menganggap bahwa perkawinan bukan lagi sebagai tujuan

utama, perubahan pandangan terhadap penundaan pernikahan, dan perubahan

pandangan yang telah menikah untuk memiliki anak. Ketidak seimbangan beban

pekerjaan dan beban pengasuhan anak antara suami dan istri serta kurangnya

fasilitas tempat penitipan anak, yang sangat membebani para ibu yang sekaligus

perempuan menjadi bahan pertimbangan perempuan Jepang untuk menikah atau

cenderung menunda pernikahan.

Permasalahan Bankonka sebenarnya sudah ada solusi yang dilakukan

oleh pemerintah Jepang, namun sangat sulit untuk memperbaikinya karena

bersangkutan dengan tatanan dalam masyarakat Jepang. Bankonka ini

menimbulkan dampak terhadap penurunan angka kelahiran Jepang yang menjadi

kecemasan bagi pemerintahan dari pasca Perang Dunia II yang kemudian masih

berlanjut hingga sekarang. Permasalahan penurunan angka kelahiran di Jepang ini

meliputi beberapa hal, diantaranya adalah adanya perubahan dari fungsi

perempuan Jepang yang juga menjadi faktor penggerak perekonomian di Jepang.

Upaya penanggulanganya dari pemerintah Jepang pun salah satunya dengan

いくじ かいごきゅうぎょうほう
membuat Undang-Undang (UU) 育児、介護休業法 . Undang-Undang ini dibuat

5
melalui kementerian kesehatan, ketenagakerjaan dan kesejahteraan Jepang

(Ramzielah F, 2012:13). Lalu pemerintah Jepang juga sudah memberikan

tunjangan anak serta memberikan fasilitas yang mendukung demi mendukung

dalam pengasuhan anak. Akan tetapi solusi ini masih belum menjadikan

permasalahan bankonka yang berakibat munculnya penurunan angka kelahiran di

Jepang kunjung membaik, bahkan tidak stabil dan makin menurun. Yang sangkat

ditakutkan oleh pemerintah Jepang dengan adanya masalah ini adalah, Jepang

kedepannya akan dihadapkan dengan krisis penduduk dimana penduduk lanjut

usia akan lebih banyak jumlah nya daripada generasi mudanya. Dari permalasahan

ini dapat kita lihat bahwa Bankonka memberikan dampak yang negatif untuk

negara Jepang, tidak hanya dari sudut pandang laki-laki dan perempuan Jepang

saja, tapi juga menimbulkan masalah yang dirasakan pemerintah dan masyarakat

Jepang.

Berdasarkan uraian diatas, penulis bermaksud untuk meneliti tentang

penyebab meningkatnya Bankonka serta bermaksud untuk memfokuskan

penelitian kepada “Bankonka (晩婚化) dalam Perspektif Masyarakat Jepang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan masalahnya sebagai

berikut :

1. Bagaimana fenomena Bankonka di Jepang?

2. Apa faktor penyebab Bankonka di Jepang?

1.3 Tujuan Penelitian

6
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan bagaimana fenomena Bankonka di Jepang

2. Menjelaskan penyebab meningkatnya Bankonka di Jepang

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan tentang Bankonka dan

penyebabnya

2. Sebagai acuan untuk penelitian berikutnya yang berkaitan dengan

Bankonka

1.5 Kerangka Pemikiran

Pernikahan adalah sesuatu yang sudah lazim di kalangan umat manusia.

Pernikahan menjadi sarana untuk memasuki babak baru dalam kehidupan

berkemanusiaan.

Pernikahan di Jepang pada awalnya menjadi sesuatu yang sakral dan

dinanti, bahkan ketika sebelum menikah, orang Jepang akan memikirkan dengan

sangat matang dari konsep pernikahan hingga teknis menjalani kehidupan baru

dalam berumah tangga. Namun fenomena yang dewasa ini terjadi di Jepang malah

bertolak belakang dengan prinsip orang Jepang yang ada sebelum adanya prinsip

menunda pernikahan ini.

Dampak dari fenomena yang terjadi di Jepang ini malah membuahkan

hasil yang tidak baik dalam berbagai aspek seperti dari segi angka kelahiran yang

7
menurun di Jepang hingga pertumbuhan penduduk yang lambat di Jepang pun

ikut terpengaruhi oleh fenomena ini.

Semenjak berakhirnya perang dunia II Jepang menjadi negara tertutup.

Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang memburuk. Oleh sebab itu

masyarakat Jepang terus berusaha dan melakukan banyak perbaikan dengan

tujuan agar kondisi perekonomiannya semakin membaik. Sehingga muncul lah

pemikiran dimana mereka harus giat bekerja untuk mendapatkan kenyamanan

hidup baik dari status sosial maupun secara pribadi. Oleh Karena itu, bekerja

terus-menerus pun menjadi kebiasaan masyarakat Jepang sehingga tidak sedikit

dari mereka sampai lupa kondisi demografi di negaranya.

Demografi Jepang ditandai dengan penurunan tingkat kelahiran secara

terus menerus dan peningkatan harapan hidup yang menyebabkan penduduk

Jepang makin menua. Penurunan tingkat fertilitas juga menyebabkan turunnya

jumlah penduduk. Kondisi demofrafi seperti ini justru terbalik dengan apa yang

dihadapi oleh beberapa negara seperti Indonesia, India, Nigeria, dll yang justru

bermasalah karena angka kelahiran tinggi. Menurut Yoshida, profesor ekonomi di

Universitas Tohoku, angka kelahiran mulai menunjukkan penurunan yang

mengkhawatirkan sejak 1975. Bahkan jika terus menyusut penduduk Jepang

diperkirakan akan punah dalam 1000 tahun ke depan.

Pertumbuhan penduduk Jepang berada titik terendah sejak 1920 yang

disebabkan oleh rendahnya angka kelahiran. Sebagai negara dengan peringkat ke-

10 di dunia dengan jumlah populasi tertinggi mengalami stagnansi dengan tingkat

pertumbuhan penduduk yang hanya mencapai 0,2 persen sejak sensus yang

dilakukan pada tahun 2005. Walaupun berdasarkan sensus menunjukkan

8
peningkatan, namun secara faktual jumlah penduduk Jepang mengalami

penurunan sejak tahun 2007.

pada tahun 2017 sekitar 941 ribu bayi lahir di Jepang. Angka ini

merupakan jumlah kelahiran paling rendah sejak survei yang sama dilakukan pada

tahun 1899. Hal ini berkaitan dengan angka pernikahan yang begitu rendah.

Kurangnya keinginan dari masyarakat Jepang untuk menikah ini menjadi faktor

angka kelahiran di Jepang rendah.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Pemelitian

Adapun metode yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang Nazir (1988:63). Tujuan dari

penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antarfenomena yang diselidiki. Penelitian deskriptif merupakan dasar

dari semua penelitian. Penelitian deskriptif dapat dilakukan secara kualitatif agar

dapat dilakukan analisis statistic (Sulistyo-Basuki, 2006: 110). Tujuan dari

penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan

secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki.

1.6.2 Metode pengumpulan data

9
Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :

a) Library Research (studi kepustakaan)

Menurut Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian”, Teknik

pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,

literature-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang dibahas (Nazir, 1988: 111).

b) Kuesioner

Kuesioner adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh responden atau di

isi oleh pewawancara yang membacakan pertanyaan yang kemudian mencatat

jawaban yang diberikan (Sulistyo-Basuki, 2006: 110). Pertanyaan yang akan

diberikan pada kuesioner ini adalah pertanyaan yang menyangkut fakta dan

pendapat responden, sedangkan kuesioner yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah kuesioner terbuka dan kuesioner tertutup. Pada kuesioner terbuka

responden bebas untuk memberikan jawaban atau tanggapan, sedangkan pada

kuesioner tertutup penulis menyajikan pertanyaan dan pilihan jawaban sehingga

responden hanya dapat memberikan tanggapan pada pilihan yang di berikan.

Responden diminta menjawab pertanyaan dan menjawab dengan memilih dari

sejumlah alternatif. Serta pada kuesioner tersebut responden mengisi jawaban

singkat pertanyaan di kuesioner.

1.6.3 Sumber Data

10
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi

mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data

primer dan data sekunder.

a) Data primer

Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus

menyelesaikan permasalahan yang sedang di tanganinya. Data dikumpulkan

sendiri oleh peneliti. Sumber data primer yaitu data utama dari buku dan

kuesioner yang berhubungan dengan Bankonka di Jepang.

b) Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan

cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder yaitu jurnal,

artikel, dan internet yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

1.6.4 Teknik Analisis Data

Teknik analasis data yang dipakai adalah metode analisis data yang

bersifat deskriptif. Sedangkan teknik analisis yang penulis gunakan dalam

penelitian yaitu :

a) Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data-data sesuai dengan penelitian

yang penulis lakukan yaitu tentang gejala penundaan usia pernikahan /

Bankonka dalam perspektif masyarakat Jepang.

11
b) Menganalisis data, yaitu menganalisis data yang sudah dikelompokan secara

deskriptif.

c) Menyimpulkan data yang telah dianalisis.

1.7 Kerangka Konseptual

Masyarakat Jepang

Fenomena Pernikahan

Bankonka (晩婚化)

Metode Penelitian

Sumber Data :

a. Data Primer Analisis deskriptif


Sumber buku dan kuesioner
Bankonka di Jepang.
b. Data Sekunder
Jurnal, artikel, dan internet

1. Bagaimana fenomena Bankonka di Jepang ?

2. Apa faktor penyebab Bankonka di Jepang ?

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan tentang penelitian sebelumnya yang

berkaitan dengan penelitian ini pada tinjauan kepustakaan dan kajian teori yang

digunakan. Dijadikan landasan untuk penelitian ini yang berhubungan dengan

gejala penundaan usia pernikahan ( 晩 婚 化 ) dalam perspektif masyarakat

Jepang.

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam tugas akhir nya yang berjudul “Fenomena Bankonka pada

perempuan di Jepang”, Chatarina Nilam Sari (2015) tentang fenomena Bankonka

yaitu fenomena menunda pernikahan yang terjadi pada perempuan di Jepang.

Penelitian ini untuk mengetahui kriteria yang diharapkan perempuan Jepang

terhadap pasangan, serta untuk mengetahui pendapat para perempuan Jepang

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Metode penulisan yang

digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode deskriptif. Penyebab dari

fenomena Bankonka ini adalah perkembangan perempuan di masyarakat serta

ketidakstabilan ekonomi di Jepang. Hal-hal tersebut membuat para perempuan

13
tersebut memiliki beberapa kriteria ideal yang mereka harapkan dari pasangan.

Namun sayangnya, kriteria yang ideal tersebut membuat mereka sulit menemukan

pasangan yang sesuai sehingga berakibat penundaan pernikahan.

Kemudian Sisca Ellyanto (2012) menyimpulkan dalam skripsi nya yang

berujudul “tingkat partisipasi perempuan Jepang dalam dunia kerja dan

hubungannya dengan peningkatan usia menikah (Bankonka)”, Pada masa setelah

perang dunia II , dengan adanya perubahan dala perekonomian Jepang, partisipasi

perempuan dalam dunia kerja pun mengalami perubahan. Pada masa pertumbuhan

ekonomi tinggi, sebagian besar perempuan hanya bekerja hingga mereka menikah

atau melahirkan. Lalu, mereka akan menjadi sengyou shufu (ibu rumah tangga)

dan akan kembali bekerja saat mencapai usia diatas 30 tahun. Selanjutnya, pada

masa perekonomian rendah, presentase perempuan dalam dunia kerja mengalami

penurunan, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena adanya perubahan

ekonomi Jepang dari manufaktur ke industri jasa. Dalam industri jasa, sebagian

pekerja yang di perlukan adalah perempuan. Oleh karena itu, presentase pekerja

perempuan mengalami peningkatan kembali, terutama yang bekerja sebagai

pegawai (koyousha). Berbeda dengan kazoku rodousha, perempuan yang bekerja

sebagai koyousha memiliki upah kerja. Perubahan selanjutnya adalah saat di

terapkannya Equal Employment Opportunity Law (EEOL) pada tahun 1985.

Dengan diterapkannya hukum tersebut, perempuan memiliki kesempatan untuk

memilih jalur kerja yang mereka inginkan, yaitu jalur ippan shoku atau jalur

sougou shoku. Hal ini merupakan langkah awal bagi perempuan untuk

memperoleh posisi yang sama seperti laki-laki dalam hal penerimaan dan

promosi . dengan meningkatnya koyousha dan dibukanya jalur sougou shoku,

14
jumlah perempuan yang mandiri secara finansial pun meningkat. Kemandirian

ekonomi menyebabkan perempuan enggan untuk menikah karena dia mampu

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan enggan untuk melepas kebebasan yang

dia miliki sebagai lajang. Hal ini dikarenakan perempuan akan mengalami

kesulitan dalam mengatur keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan sehingga

perempuan yang bekerja cenderung untuk menunda pernikahan mereka.

Duhita Mawar Cynantia (2015) dalam skripsi nya yang berjudul

“Bankonka di Jepang dalam perspektif perempuan : penolakan perempuan

terhadap pembagian peran jender yang tidak seimbang” membahas mengenai

Bakonka atau penundaan pernikahan merupakan masalah yang umum terjadi pada

negara industri maju. Namun, Bankonka yang terjadi di Jepang sangat signifikan

karena sangat terbatasnya pembentukan keluarga selain melalui pernikahan.

Maka, Bankonka akan menyebabkan penundaan mempunyai anak atau bansanka

yang menyebabkan penurunan angka kelahiran atau shoushika. Masalah

shoushika akan mengundang berbagai macam efek, yang pada akhirnya

menyebabkan kemunduran ekonomi Jepang. Penelitian di dalam skripsi ini

bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor penyebab terjadinya Bankonka di

Jepang, terutama karakteristik utama penyebab Bankonka di Jepang.

Nurul Indah Susanti (2014) dalam skripsi nya yang berjudul “Pernikahan

dilihat dari Sudut Pandang Enam Pria Single Jepang di Jakarta” membahas

tentang bankonka dan mikonka yang menjadi masalah serius di Jepang. Dalam

skripsi nya ini lebih berfokus tentang bagaimana pandangan mereka (Enam Pria

Single yang bekerja di Jakarta) terhadap pernikahan. Yang mana sudah terjadi nya

pergesaran makna pernikahan bahkan pergeseran peranan pria dalam rumah

15
tangga. Termasuk konsep pria Jepang Tradisional yang berganti menjadi konsep

Pria Modern mengenai pernikahan. Menurut mereka, keuntungan dari sebuah

pernikahan adanya saling bantu dan bekerja sama, seperti ketika yang satu sakit

ada yang menjaga. Dan kekhawatiran terhadap pernikahan pun juga dirasakan

oleh pria Jepang, dimanaa image sebagai pencari nafkah sudah sangat melekat

terhadap pria, tidak hanya di Jepang saja. Bagi beberapa pria di Jepang, uang

menjadi faktor yang sangat mengkhawatirkan bagi mereka. Masalah yang menjadi

kekhawatiran selain financial adalah masalah waktu, dimana mereka mulai tidak

mendapatkan waktu untuk bergaul dengan teman seperti pada masa sebelum

menikah.

Berdasarkan penelitian terdahulu diatas, perbedaan kajian yang akan

penulis lakukan dalam penelitian ini adalah :

- Data pada penelitian ini lebih berfokus kepada laki-laki dan Perempuan

Jepang terhadap Bankonka dan peningkatan penundaan pernikahan pada

usia produktif. Sedangkan penelitian terdahulu lebih berfokus hanya kepada

perempuan atau hanya pada laki-laki saja.

- Pada penelitian ini, penulis mengumpulkan data melalui kuesioner yang

diisi langsung oleh responden di Jepang. Kuesioner yang digunakan secara

online sehingga responden bisa mengisi kuesioner secara online.

2.2 Kajian Teori

Pada bagian ini akan diuraikan kajian teori yang dipakai dalam penelitian

ini. Penulis akan menggunakan teori perubahan sosial dalam masyarakat.

Perubahan yang menyangkut kehidupan manusia disebut perubahan sosial yang

16
dapat menyangkut mengenai nilai-nilai sosial, pola-pola dan perilaku, serta

interaksi sosial dan sebagainya.

Menurut Soerjono Soekanto (2006:261) perubahan sosial adalah segala

perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,

yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-

sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Soekanto (2006:304) juga menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu

bentuk perubahan sosial yang berupa suatu persoalan yang harus dihadapi

masyarakat yang bersangkutan karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang

sangat luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema sosial, konflik

antarkelompok, hambatan-hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya.

Perubahan sosial memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

a. Pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsu-unsur

immaterial

b. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat

c. Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan

terhadap keseimbangan

d. Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena

perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,

komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun

penemuan-penemuan baru dalam masyarakat

e. Segala bentuk perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem

17
sosial nya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku

diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Menurut Kingley Davis (dalam Soerjono Soekanto: 263-267) berpendapat

bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, yang

mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat,

dan seterusnya.

Salah satu dari perubahan sosial adalah perubahan keluarga. Fungsi

keluarga menurut Mattensich dan Hill (1995) yaitu terdiri atas pemeliharaan fisik

sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau

adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga dan

pendewasaan anggota keluarga melalui pembentukan pasangan seksual, dan

melepaskan anggota keluarga dewasa.

Jadi, dapat dilihat bahwa tidak semua perubahan sosial yang terjadi

dalam struktur sosial masyarakat bersifat kemajuan, dapat merupakan

kemunduran, walaupun dalam dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala

transformasi yang bersifat linier. Oleh karena itu kita dapat membagi dua jenis

perubahan sosial berdasarkan penyebabnya yaitu perubahan sosial yang

direncanakan dan perubahan sosial yang tidak direncanakan. Contoh perubahan

sosial yang direncanakan seperti adanya rencana pemerintah dalam program

pembangunan masyarakat seperti sistem KB (keluarga berencana) dan banyak

lagi. Contoh perubahan sosial yang tidak direncanakan tentu saja banyak terjadi

dan merupakan peristiwa tragis seperti bencana alam dan peperangan. Hal ini

dapat dilihat pada kehancuran beberapa peradapan dahulu karena gunung merapi,

gempa, tsunami, dan berbagai peperangan seperti perang dunia I, II, holocaust dan

18
banyak lagi. Sehingga dapat dikatakan memang dalam dinamika sosial,

perubahan sosial dianggap transformasi. Dengan adanya peristiwa tertentu, sebuah

masyarakat akan mengalami kemunduran dan bahkan hancur kemudian

membangun kembali dengan bentuk yang lebih baik lagi.

Bankonka yang digambarkan dalam penelitian ini merupakan salah satu

penyebab terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi

sistem sosial dalam suatu masyarakat. Bentuk perubahan sosial akibat Bankonka

tersebut dilihat dari perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai

perubahan terhadap keseimbangan yang terjadi dalam masyarakat Jepang terhadap

perilaku dan gaya hidup yang semakin bebas. Bankonka diketahui sebagai

penundaan usia pernikahan sehingga merubahan tatanan sosial dalam suatu

masyarakat.

19
BAB III

MAKNA PERNIKAHAN DI JEPANG SAAT INI

3.1 Pernikahan di Jepang

Pernikahan merupakan pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan

pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di

dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia,

harmonis, serta mendapat keturunan. Pernikahan merupakan rencana

untuk meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui

oleh masyarakat sebagai penyatuan seksual yang berdasarkan janji pernikahan,

uraian tentang hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak (Hiroshi, 1987 :

322). Melalui pernyataan di atas memberi pengertian yang jelas bahwa dalam

pernikahan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga

sebagai suatu proses untuk meneruskan garis keturunan yang sangat diperlukan

untuk menjaga kesinambungan satu keluarga.

20
Didalam masyarakat tradisional dan modern Jepang ada dua istilah

mengenai bentuk pernikahan, yaitu Ren’ai kekkon (恋愛結婚) dan Omiai kekkon

(お見合い結婚). Ren’ai kekkon adalah pernikahan yang didasarkan oleh rasa suka

sama suka dan rasa cinta masing-masing pasangan, sedangkan Omiai kekkon

adalah pernikahan yang terjadi atas dasar perjodohan yang di perantarai oleh

pihak ketiga, baik itu keluarga maupun kerabat. Pihak ketiga ini disebut Nakodo

(Lebra, 1984:102).

Pada awalnya, sebelum masa perang dunia II Omiai kekkon merupakan

pernikahan yang lebih sering dilakukan dibandingkan dengan ren’ai kekkon.

Omiai kekkon dilakukan sebagai alat politik untuk memperkuat kedudukan dan

kekuasaan dalam pemerintahan, dimana keluarga yang berada dalam lingkungan

pemerintahan menikahkan anak mereka dengan keluarga pemerintahan lain yang

bertujuan untuk memperkuat kerjasama dalam pemerintahan sehingga akan lebih

kuat dalam kekuasaan dilingkungan kepemrintahannya. (Masatsugu, 1982:104).

Namun sejak pasca perang dunia II, Omiai kekkon merupakan suatu hal yang

sedikit langka dikarenakan munculnya pernikahan yang berdasarkan atas cinta

kedua pasangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ren’ai kekkon dimana

ren’ai kekkon ini menjadi populer di kalangan masyarakat Jepang (Swann,

1983:117).

Walaupun saat ini bentuk pernikahan Ren’ai Kekkon lebih banyak

menjadi pilihan daripada Omiai kekkon, tapi untuk mendapatkan pasangan yang

saling mencintai tersebut cukup sulit. Hal ini terjadi karena pandangan anak muda

Jepang baik laki-laki maupun perempuan terhadap makna dan tujuan pernikahan

21
bukan menjadi prioritas bagi laki-laki dan perempuan pada usia produktif, atau

karena mengharapkan pasangan yang betul-betul sesuai keinginan sehingga waktu

sudah berlalu seiring bertambahnya usia. Seperti yang diungkapkan oleh Yasuko

(1997:2) tentang perubahan pandangan anak muda Jepang terhadap pernikahan.

いま わか ひと けっこん おお か
“今の若い人たちの結婚は大きく変わってきています。”

Terjemahan:
Pandangan anak muda Jepang saat ini terhadap pernikahan
mengalami perubahan besar
Yasuko menambahkan, banyaknya kriteria yang mereka inginkan

sehingga sulit untuk mendapatkan pasangan yang tepat dan sesuai dengan

harapan. Hal ini adanya kecenderungan anak muda sekarang lebih mudah

mendapatkan pasangan bermain dibandingkan dengan mencari pasangan hidup.

Hal ini dinyatakan dalam :

いま わか ひと あそ あ い て み
“今の若い人たちは遊び相手はいくらでも見つけられるけれど
けっこん あい て み め も
も、結婚相手を見つけられるを目を持っていないからこそ、こう
けいこう で もんだい
いう傾向が出てきているのであって、これこそが問題なのです。
ほんにん いちばん
本人また、それを一番よくしっているはずです。”

Terjemahan:
Terdapat kecenderungan bahwa anak muda Jepang
sekarang ini bisa menemukan beberapa pasangan bermain
tetapi tidak menemukan pasangan hidupnya yang tepat.
Hal tersebut merupakan suatu masalah (Yasuko. 1997:10).
Dahulu mereka siap untuk menikah dengan siapa saja, tapi sekarang

pernikahan itu berdasarkan dengan keinginan, cinta, harta, dan lain-lain, sehingga

sulit untuk mencari pasangan hidup yang tepat. Salah satu faktor penyebab

penundaan pernikahan itu adalah tidak menemukan pasangan yang sesuai atau

tepat untuk menjadi pasangan suami-istri.

22
3.1.1 Makna dan Tujuan Pernikahan Bagi Masyarakat Jepang

Dalam masyarakat Jepang, pernikahan menurut masyarakat tradisional

Jepang dan masyarakat modern memiliki makna yang berbeda. Pada masyarakat

tradisional, salah satu makna pernikahan merupakan ikatan perjanjian yang

seteguh-teguhnya untuk hidup bersama demi melanjutkan keturunan. Dalam

sistem kekeluargaan masyarakat Jepang Tradisional, melanjutkan keturunan

adalah suatu hal yang wajib dalam sebuah keluarga. Pernikahan juga merupakan

suatu proses yang sakral dan bukan merupakan hal yang sederhana sehingga

pernikahan menjalin hubungan antara dua insan yang memiliki konsekuensi dalam

melanjutkan hidup berumah tangga. Oleh karena itu, pernikahan dimaknai

menjadi hal yang sakral dan penuh tanggung jawab besar yang akan dipikul dalam

kehidupan pernikahan selanjutnya. Selain itu, dalam masyarakat Jepang tidak ada

kelompok individual, tetapi ikatan yang menghimpun individu-individu yang satu

dengan yang lainnya. keluarga sebagai unit kerjasama ekonomi yang memerlukan

pernikahan untuk melahirkan calon penerus generasi keluarga, menekankan

eksistensi keturunan langsung dari generasi ke generasi yang memandang penting

kemakmuran bersama (Takako, 1999:10).

Dalam sistem kekeluargaan Jepang Tradisional, laki-laki dan perempuan

Jepang memiliki makna pernikahan yang sama. Makna pernikahan adalah untuk

menjaga nama baik keluarga. Bagi laki-laki Jepang, tunduk terhadap kehendak

keluarga dituntut atas nama suatu nilai dalam arti semua anggota keluarga

memiliki kepentingan, dengan begitu kehormatan keluarga akan terjaga.

Bagaimana pun beratnya menjaga kehormatan keluarga harus ditaati, karena

mengatasnamanakan loyalitas bersama. Bagi perempuan Jepang, menikah

23
memiliki makna sebagai bagian dari kesatuan makhluk sosial. Perempuan dengan

kelahirannya sebagai anggota keluarga baru setelah menikah masuk kedalam

himpunan keluarga laki-laki yang dinikahi sesuai dengan aturan yang ada pada

sistem kekeluargaan tradisional Jepang. Lalu tujuan pernikahan bagi masyarakat

tradisional Jepang adalah menjaga eksistensi dan harta warisan keluarga. Bagi

laki-laki tradisional Jepang khususnya anak laki-laki tertua, akan menjadi

penerima Kaizan (harta warisan) sebagai Zaisan (harta kekayaan). Sementara bagi

perempuan Jepang, menikah memiliki tujuan agar dapat melahirkan calon penerus

keluarga (Benedict, 1982:62-63).

Sementara dalam masyarakat modern Jepang, makna dan tujuan dalam

pernikahan sudah mulai berubah. Masyarakat modern Jepang memaknai

pernikahan sebagai sesuatu yang tidak harus disegerakan. Pernikahan hanya akan

menghambat perkembangan dalam mencapai sebuah kesuksesan dan

kemerdekaan terhadap diri sendiri (Takako, 1999: 14).

Makna pernikahan menurut laki-laki Jepang saat ini menganggap bahwa

pernikahan sebagai sesuatu yang tidak harus disegerakan sehingga mereka dapat

lebih menikmati pekerjaan dan hidup sendiri daripada mempersiapkan segala

sesuatu dalam pernikahan. Dalam sebuah pernikahan, memiliki makna dimana

pasangan harus saling melengkapi satu sama lain, cinta dan penghormatan,

kesamaan dalam keyakinan dan tujuan, tidak lagi menjadi makna yang di

prioritaskan bagi laki-laki di Jepang. Keinginan untuk menunda pernikahan atau

bahkan kehilangan keuntungan yang didapatkan ketika menikah menjadi

penyebab berubahnya makna pernikahan. Untuk mencapai sebuah kebahagiaan

dalam berpasangan, laki-laki Jepang yang rata-rata memiliki penghasilan tinggi

24
ini bisa bebas memanfaatkan uangnya untuk datang ke tempat PSK untuk sekedar

menumpahkan nafsu sesaatnya. Mereka tetap bebas kemanapun yang mereka

inginkan, bebas berteman dengan siapa saja dan melakukan apapun tanpa dibatasi

oleh pasangan. Laki-laki Jepang sebenarnya tidak seambisius kaum perempuan

Jepang dalam mengejar karir. Namun tuntutan akan keinginan perempuan mencari

pasangan yang tinggi lah memaksa laki-laki di Jepang mempunyai keinginan

bekerja lebih keras (Takako, 1999: 21).

Sedangkan makna pernikahan bagi perempuan Jepang saat ini sudah

mengalami transformasi dalam cara pandangan terhadap pernikahan. Perempuan

Jepang memandang pernikahan bukan lagi sebagai urusan keluarga melainkan

menjadi urusan individu. Selain itu, pernikahan hanya menambah beban,

kesulitan untuk menyatukan dua prinsip yang berbeda, tidak jarang dalam

pernikahan terdapat perbedaan pendapat yang hanya menimbulkan masalah. Bagi

perempuan, menikah juga berarti terkekang. Kebebasan mereka terancam ketika

ada suami di kehidupan mereka. Rasa percaya diri untuk bisa memenuhi

kebutuhan diri sendiri tanpa mengandalkan laki-laki sungguh membuat para

mayoritas perempuan Jepang tak memiliki ketertarikan seksual terhadap lawan

jenis. Apalagi punya anak, ini adalah kondisi yang kurang nyaman bagi

perempuan Jepang karena mereka berpikir dapat mengancam karir yang telah

lama mereka perjuangkan dari awal. Hal ini tentu sangat dianggap merugikan

hidup mereka. Daripada hidup dipenuhi dengan urusan suami dan anak, mereka

lebih senang menikmati hidup lajang, bahkan selamanya.

Terlebih lagi perempuan Jepang juga meletakkan standar menentukan

pasangan yang tinggi ketika mereka sudah memiliki pekerjaan. Mereka cenderung

25
ingin mencari pasangan yang memliki gaji setara atau bahkan diatas mereka.

(www.tribunnews.com/internasional/2015/01/09/ini-yang-bikin-anak-anak-muda-

jepang-makin-malas-menikah-apalagi-punya-anak).

Tujuan pernikahan bagi masyarakat Jepang adalah untuk status sosial dan

kerjasama sama ekonomi seperti hasil survey dari National Institute of Population

and Social Security Research yang menyebutkan bahwa tujuan terbesar

masyarakat Jepang dalam melangsungkan pernikahan adalah untuk mendapatkan

dukungan emosi, diakui dalam status sosial bermasyarakat, kenyamanan, dan

saling bekerjasama dalam perekonomian keluarga (Takako, 1999: 15).

Menurut pandangan laki-laki di Jepang terhadap tujuan pernikahan

memiliki beberapa alasan, misalnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih

praktis, karena dengan hidup sendiri dirasa banyak kekurangannya. Lalu untuk

menghindari tekanan dari masyarakat karena berlaku beda. Kemudian untuk

melepaskan diri dari orang tua, dan yang terakhir untuk membuat diri nyaman.

Namun perubahan pandangan terhadap pernikahan juga dirasakan oleh laki-laki di

jepang. Hal ini terjadi karena laki-laki Jepang juga kurang memiliki minat untuk

menikah diusia produktifnya. Alasan utama tentu karena mereka lebih menikmati

pekerjaan daripada untuk mempersiapkan pernikahan (Fumiko, 1997:15). Seperti

yang dijelaskan oleh Kanbara di bawah ini :

たんしんせいかつ しゅだんてきだっしゅつしこう たんしんせいかつ

“単身生活 からの手段的脱出志向 (たとえば、「単身生活


ふ べ ん たんしん せいしんてきふあんてい

の不便さ」), 単身でいることの精神的不安定さから
しんてきだっしゅつしこう どくしん

の 心的脱出志向 ( た と え ば 、 「 独身 で い る こ と の
か た み せま ” てきれいき しんりてきあつりょく

肩身 の 狭 さ 」 、 「 “ 適齢期 ” と い う 心理的圧力 」 な
しゅっさんかぞく どくりつ せいとう しこう

ど), 出産家族から独立する正当づけ志向(たとえば、

26
けっこん おやもと どくりつ けっこん すす

「結婚すれば親元から独立できる」), 結婚への奨め
たい だきょうしこう けっこん おや

に 対 する妥協志向 (たとえば、「 結婚 すれば親 を


あんしん

安心させることができる」”

Terjemahan:
Mencari jalan untuk keluar dari kehidupan single
(misalnya kehidupan single yang tidak praktis), merasa
tidak nyaman dengan kondisi mental/emosi saat single
(misalnya, tekanan saat berhadapan dengan kondisi
lingkungan yang berbeda, tekanan terhadap usia, dan lain
lain), bisa bebas dari orang tua, bisa mengatur kehidupan
sendiri dan yang terakhir untuk membuat orang tua tidak
khawatir.
Penjelasan di atas adalah mengenai perlu tidaknya menikah menurut laki-

laki Jepang. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki Jepang

merasa perlu menikah karena ingin bebas dari orang tua dan segera dan bebas

mengatur hidupnya sendiri. Selain itu, jika kondisinya berbeda dengan kondisi

pada umumnya di masyarakat, ia akan merasa tidak nyaman dan merasa tertekan.

Sementara bagi perempuan Jepang, tujuan pernikahan lebih kepada

mendapat dukungan emosi dan untuk bekerjasama dalam perekonomian. Namun

demikian, karena masyarakat Jepang khususnya perempuan sudah mendapatkan

kesetaraan dalam hal pekerjaan dan penghasilan dengan laki-laki, menyebabkan

kurangnya niat dan keinginan bagi perempuan Jepang terhadap pentingnya sebuah

pernikahan (Iwao, 1993:59).

3.1.2 Keuntungan dan Kekhawatiran dalam Pernikahan Bagi Masyarakat

Jepang

Meskipun dalam pernikahan terdapat keuntungan dan kekhawatiran bagi

beberapa masyarakatnya, namun sebagian besar dari laki-laki Jepang masih

berharap dan memiliki kesadaran untuk melakukan pernikahan. Laki-laki Jepang

27
yang masih memiliki kesadaran terhadap pernikahan ini sulit menemukan

pasangan dikarenakan sedikitnya kesadaran dari perempuan terhadap keinginan

untuk menikah.

Keuntungan menikah yang dilakukan seseorang dalam sebuah

pernikahan menurut laki-laki Jepang melalui buku Unmasking Japan Today: The

Impact of Traditional Values on Modern Japanese Society adalah dapat diterima

sebagai individu yang merdeka dalam masyarakat (Kumagai, 1996: 103). Hal

tersebut merupakan pandangan yang sudah kuno, namun pada kenyataannnya

masih banyak diikuti oleh sebagian besar laki-laki di Jepang. Sementara itu,

menurut hasil dari sebuah survei yang dilakukan oleh National Institute of

Population and Social Security Research tahun 2007, keuntungan menikah adalah

bisa tinggal dengan orang yang dicintai, mendapatkan kepercayaan sosial,

mendapatkan kepercayaan dari keluarga dan masyarakat, bisa hidup dengan lebih

baik, bisa lebih stabil dalam urusan finansial, bebas dari orang tua, dan memiliki

kepuasan terhadap seks. Sementara itu, keuntungan dalam pernikahan menurut

perempuan Jepang adalah bisa hidup lebih baik dengan adanya kerjasama

ekonomi antara suami dan istri, bisa membiayai kehidupan berdua, membayar

sewa rumah berdua, dengan kata lain pernikahan menjadi jalan untuk menutupi

pembiayaan hidup di Jepang yang cukup tinggi. Dengan melakukan pernikahan,

pasangan ini akan mengatur perekonomian yang berhubungan dengan biaya hidup

seperti sewa rumah dan dianggarkan untuk di bayar berdua. Selain itu, perempuan

Jepang dapat diterima sebagai masyarakat sosial yang sudah diakui sehingga

mereka memiliki kedudukan yang sama sebagai masyarakat sosial (Tachibanaki,

2010: 99).

28
Dibalik keuntungan dari sebuah pernikahan, sebetulnya ada kekhawatiran

baik bagi laki-laki Jepang maupun perempuan Jepang. Adapun kekhawatiran yang

dirasakan oleh laki-laki Jepang adalah masalah finansial dan juga kebebasan

dalam menggunakan waktu. Kekhawatiran terhadap masalah finansial merupakan

hal yang wajar terjadi, karena image laki-laki sebagai pencari nafkah masih

melekat pada laki-laki, begitu pula di Jepang. Tachibanaki juga menjelaskan

bahwa laki-laki masih akan menjadi penanggungjawab utama urusan finansial

rumah tangga ketika menikah. Jadi wajar sekali jika masalah uang menjadikan

laki-laki di Jepang khawatir untuk menikah. Selain itu, Jepang juga dikenal

sebagai negara yang mahal dengan masyarakatnya yang konsumtif, maka dari itu

tidak mengherankan jika masalah keuangan menjadi kekhawatiran, terutama

terhadap kehidupan pernikahan sehingga masalah keuangan menjadi alasan

terbanyak laki-laki Jepang menunda pernikahan (Shionagi, 2012:143).

Sedangkan kekhawatiran yang dirasakan oleh perempuan adalah

Kebebasan menggunakan waktu. Kanbara menjelaskan, seseorang yang sudah

memiliki kenyamanan baik dalam pekerjaan maupun kekuatan secara finansial

cenderung tidak ingin kehilangan apa yang sudah mereka perjuangkan. Sehingga,

mereka tidak ingin kehilangan kebebasan dalam menggunakan waktu, baik dalam

pekerjaan maupun kebebasan menikmati waktu sendiri, mereka takut tidak lagi

memiliki waktu luang dikarenakan sibuk mengurusi rumah tangga, takut untuk

memiliki anak, dan hal lain yang berhubungan dengan kehidupan setelah

pernikahan. Beberapa dari perempuan jepang menganggap pernikahan dengan

segala kewajibannya akan membatasi kebebasan mereka. Bagi mereka ini

29
merupakan beban, bahkan ada perempuan Jepang enggan berbagi penghasilan

yang mereka peroleh untuk hubungan pernikahan (Fumiko, 1997:53).

3.2 Fenomena Pernikahan di Jepang

Dewasa ini, pernikahan menurut masyarakat jepang memiliki pandangan

yang berbeda dari sebelumnya. Dahulu pernikahan merupakan sesuatu yang harus

disegerakan, berbeda dengan sekarang dimana banyak dari laki-laki maupun

perempuan di Jepang yang cenderung menunda pernikaan pada usia produktif

dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Penundaan usia pernikahan ini

terjadi karena banyak faktor, seperti banyaknya masyarakat Jepang yang lebih

mementingkan karir sehingga sulit menemukan pasangan. Dari hasil laporan

National Institute of Population and Social Security Research mengatakan bahwa

persentase pernikahan di Jepang menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970 di

Jepang ada 42 % laki-laki dan 28,6 % perempuan pada umur yang sewajarnya

menikah tetapi mereka belum berfikir untuk menikah. Di tahun 1995

presentasenya naik menjadi 57,8 % untuk laki-laki dan 44% untuk perempuan.

Pada tahun 1970 laki-laki menikah rata-rata di usia 26 tahun dan perempuan di

usia 24 tahun. Pada tahun 2005 meningkat, usia menikah untuk laki-laki rata-rata

29 tahun dan perempuan usia 28 tahun ((http ://www.sg.emb-japan.go.jp/html).

Ada beberapa fenomena yang terjadi di Jepang berkaitan dengan

pernikahan dan menyebabkan menurunnya jumlah pernikahan seperti Parasite

Single, Mikonka, dan Hikonka. Fenomena-fenomena ini saling terkait dan saling

memberikan dampak satu sama lain.

30
Parasite single adalah fenomena yang muncul pada tahun 1990-an di

Jepang. Parasite single yaitu mereka yang belum menikah dan sudah lulus

sekolah yang masih tinggal dengan orang tuanya, serta menggantungkan

kehidupan sehari-hari kepada orangtua nya dengan menerima bantuan ekonomi.

Faktor utama yang menyebabkan munculnya parasite single ini adalah faktor

ekonomi, dimana para single berumur 20-30 tahun-an memilih untuk tetap tinggal

dengan orang tua nya karena berfikir bahwa mereka dapat hidup lebih baik secara

ekonomi (Hosokawa 1995:154).

Mikonka memiliki arti peningkatan banyaknya orang yang belum

menikah, sehingga menjadi fenomena pernikahan di Jepang. Mikonka tidak

berbeda jauh dengan Bankonka. Mikon berarti belum menikah, mikonka (未婚化)

berarti perubahan banyaknya orang yang belum menikah. Bankon berarti

pernikahan pada usia yang lebih lanjut, pernikahan lambat, bankonka (晩婚化)

berarti melambatnya usia menikah (Ohashi 1995:29).

Berbeda dengan Hikonka (fenomena tidak menikah), penyebab terjadinya

Hikonka adalah karena masyarakat Jepang menjadikan karir sebagai fokus mereka,

dan pernikahan yang dulunya sebuah keharusan sekarang ini tidak dijadikan

obsesi lagi bagi masyarakat muda Jepang. Selain itu, Hikonka seringkali terjadi

tanpa kesadaran karena kebanyakan masyarakat Jepang yang menuda pernikahan

sehingga tanpa disadari mereka sudah melewatkan usia produktif. Dengan usia

yang sudah tidak produktif lagi, akan sangat sulit bagi mereka untuk menemukan

pasangan sehingga pada akhirnya memutuskan untuk tidak menikah (Hunter

2003:50).

31
Dengan saling berkaitannya fenomena-fenomena pernikahan di Jepang

ini, menimbulkan permasalahan dalam pernikahan di Jepang. Sehingga muncul

lah penundaan pernikahan pada usia produktif (Bankonka) yang menjadi

permasalahan dalam pernikahan di Jepang (yamada, 2004:138).

Bankonka adalah penundaan pernikahan pada usia produktif. Bankonka

merupakan fenomena yang paling berpengaruh dalam pernikahan. Masyarakat

Jepang yang memahami konsep pernikahan yang sudah bergeser seiring dengan

perubahan struktur keluarga Jepang dari keluarga tradisional (Ie) menjadi keluarga

modern (Kakukazoku) tidak lagi menjadikan pernikahan sebagai sesuatu yang

harus disegerakan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, meskipun laki-laki

Jepang memiliki kesadaran terhadap pernikahan, laki-laki Jepang sekarang ini

kesulitan dalam menemukan seorang perempuan untuk dinikahinya. Ditambah

lagi dengan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, mereka harus memiliki

kemapaman ekonomi. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk bekerja

mengejar karirnya dan memutuskan menjadi single. Sedangkan para perempuan

Jepang sekarang ini semakin giat dalam pekerjaannya, banyak dari perempuan

Jepang saat ini yang mencapai prestasi yang baik dalam karirnya. Para perempuan

karir ini memutuskan untuk menjadi single karena mereka tidak ingin karir

mereka terhambat dengan pernikahan yang mengharuskan menjadi istri sekaligus

ibu yang bertanggung jawab (http:// lib.ui.ac.id/ui/detail.jsp?id=201599664).

Dalam fenomena pernikahan, Bankonka menjadi fenomena yang paling

banyak terjadi dan menimbulkan dampak serta menjadi kecemasan bagi

pemerintah Jepang. Meskipun sudah ada solusi dan penanganan dari pemerintah,

32
fenomena pernikahan di Jepang masih susah untuk di perbaiki karena menyangkut

perubahan-perubahan yang terjadi dalam tatanan masyarakat sosial.

3.3 Bankonka dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jepang

Munculnya fenomena penundaan pernikahan pada usia produktif

(Bankonka) di Jepang tidak terlepas dari awal mula dan perkembangannya.

Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, dahulu pernikahan di Jepang terjadi

pada umur 26 tahun untuk laki-laki dan 24 tahun untuk perempuan, namun

perlahan-lahan meningkat. Awalnya masyarakat Jepang menunda pernikahan

karena lebih berfokus pada pendidikan, karir, dan sulit menemukan pasangan,

namun faktor perubahan zaman, perkembangan ekonomi, industri dan pola pikir

masyarakat Jepang sekarang ini juga menjadi penyebab Bankonka di Jepang.

Sementara itu, penundaan usia pernikahan ini memberikan dampak

terhadap diri sendiri dan keluarga, maupun masyarakat Jepang. Dampak yang

dirasakan terhadap diri sendiri tentu saja seperti hilangnya rasa kepentingan

terhadap pernikahan, dampak terhadap keluarga tentunya merasa masih menjadi

beban bagi keluarga, lalu dampak bagi masyarakat Jepang seperti menurunnya

jumlah angka kelahiran dan meningkatnya angka lansia di Jepang.

3.3.1 Awal Terjadinya Bankonka

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945 dianggap

sebagai tragedi. Namun, masyarakat Jepang sendiri pada waktu itu

menganggapnya sebagai akibat buruknya kualitas SDM Jepang; artinya,

dibandingkan dengan negara musuh (Amerika), rakyat Jepang terkebelakang

dalam ilmu pengetahuan (masih percaya pada takhayul), cenderung pasif (kurang

33
inisiatif), berwawasan sempit, egois dan sebagainya. Oleh karena itu, pasca

kekalahan perang, demi membangun Jepang menjadi negara yang terhormat, yang

pertama-tama harus dibenahi adalah dunia pendidikan. Pemerintah bekerja sama

dengan ahli pendidikan langsung mulai diskusi untuk merevisi undang-undang

pendidikan (http://www.rezarustam.com/).

Amerika Serikat mengambil alih pemerintahan dan mengubah serta

memberlakukan Konstitusi sebagai legitimasi negara. Jepang dulu kini

bertransformasi menjadi Jepang sebagai negara baru yang cinta damai,

menjunjung tinggi kebebasan dan demokratis. Salah satu ayat yang tercantum

dalam BAB III pasal 14, berbunyi sebagai berikut: “Hak setiap orang dalam

berhubungan politik, ekonomi dan/atau sosial dijamin kebebasannya. Tidak

diperbolehkan melakukan bentuk diskriminasi karena ras, agama, gender, status

sosial maupun asal keluarga” Pasal tersebut mengkonfirmasi adanya kebebasan

bagi rakyat Jepang untuk mengambil peran dalam hubungan perpolitikan,

ekonomi dan sosial. Hal ini menjadi suatu ironi berkepanjangan dikarenakan

selama lebih dari beberapa dekade lamanya, perempuan di Jepang masih

mengalami bentuk diskriminasi dan kemudian lambat laun dapat diterima oleh

masyarakat Jepang (Pradipti, 2014: 17).

Sebelumnya, hanya kaum laki-laki saja yang berhak mengenyam

pendidikan. Setelah masuknya paham-paham tersebut akhirnya pemerintah Jepang

mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk

bersekolah. Pendidikan yang didapatkan oleh perempuan perlahan-lahan

mengubah cara pandang perempuan terhadap pernikahan. pernikahan bukan lagi

suatu keharusan. Perempuan Jepang yang telah menyelesaikan studinya di

34
universitas tentu saja memilih untuk berkarir. Perempuan-perempuan ini setelah

kehidupan karirnya memuaskan, tidak langsung berpikir untuk mencari pasangan

hidup. Perempuan Jepang pada zaman modern lebih mementingkan karirnya

daripada harus hidup berumah tangga dan memiliki anak. Sebenarnya menikah

tetap menjadi kebutuhan, namun dalam hal ini yang dimaksud adalah kebutuhan

batiniah. Akan tetapi, perempuan karir di Jepang merasa berat jika ia bekerja

tetapi di satu sisi ia harus bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga dan

mengasuh anak. Oleh karena itu fenomena yang banyak terjadi pada perempuan

zaman modern Jepang adalah fenomena kenaikan usia rata-rata menikah pertama

(Kawamura, 2011:1).

Secara umum, kondisi kaum perempuan Jepang pada tahun 1970-an

sudah banyak perubahan. Memang, sisa-sisa kebiasaan lama masih ada sampai

sekarang dan masih menjadi penghambat bagi peningkatan peranan perempuan.

Pembatasan-pembatasan terhadap kaum perempuan belum hilang sepenuhnya,

dan masih dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan kaum

perempuan sudah berkembang dan karir perempuan mengalami peningkatan.

Perempuan yang memiliki pendidikan setara mulai masuk kepemerintahan,

bahkan sampai dunia politik. Perempuan sudah tidak terlalu memikirkan urusan

rumah tangga, mereka sudah mulai mengerjakan pekerjaan di luar rumah tangga,

seperti di bidang industri, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dikaitkan dengan

sistem pernikahan, pada tahun 1970-an perempuan Jepang masih ditekankan

menjalankan kewajiban mengurusi keluarga, anak dan menjadi seorang istri

sekaligusi ibu. Kedudukan perempuan rendah dan kewajibannya patuh pada orang

tua (ketika masih anak-anak), patuh pada suami (setelah menikah), patuh pada

35
anak tertua (setelah tua), dan patuh pada mertua (setelah berumah tangga). Setelah

perempuan bersuami yang terpenting baginya adalah melahirkan anak, karena

menjadi ibu berarti memperoleh status dalam masyarakat. Hal ini menjadi awal

mula Bankonka terjadi di Jepang (Ruth Benedict 1982: 267).

Lalu, muncul lah kenapa perempuan Jepang mulai bangkit dan diakui

dalam masyarakat. Mereka tidak lagi berada dibawah laki-laki Jepang dalam hal

pendidikan dan pekerjaan. Perempuan Jepang mulai masuk ke dunia kerja dan

mendapat kesetaraan. Setelah itu, mereka mulai merasakan keinginan untuk

menunda pernikahan dengan alasan lebih mementingkan karir, dan juga

perempuan menetapkan standar mencari pasangan yang setara dengan mereka

sehingga laki-laki juga mulai sulit untuk menemukan pasangan yang ingin mereka

nikahi. Dari sini dapat kita lihat bahwa awal mula terjadi Bankonka karena adanya

kesetaraan gender di Jepang, lalu keinginan perempuan untuk menempuh

pendidikan dan meniti karir sehingga mereka lebih mementingkan pekerjaan

dibandingkan dengan pernikahan.

Tidak hanya pendidikan dan karir saja yang menjadi awal mula

Bankonka di Jepang. Faktor perkembangan ekonomi dan industri serta perubahan

pada nilai sosial masyarakat Jepang juga menjadi awal mula Bankonka di Jepang.

Peran Jepang sebagai masyarakat global atau bisa disebut sebagai globalisasi

Jepang dimulai sejak Jepang kembali membuka diri terhadap negara-negara asing.

Dengan masuknya pengaruh asing maka mulai terjadinya perubahan yang

dianggap tidak sesuai dengan zaman, sebagai salah satu contoh adalah perubahan

pada nilai sebuah pernikahan dan tatanannya (www.thingasian.com/article.html).

36
Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, pasca perang dunia II Jepang

melakukan perbaikan Undang-undang Negara terutama mengenai sistem

pernikahan dan pendidikan. Undang-undang baru ini dibuat atas dasar

digunakannya paham demokrasi dan penghormatan sesama manusia. Pernikahan

hanya didasarkan pada kerjasama diantara kedua pasangan dan harus di

pertahankan melalui kerjasama berdasarkan atas kebersamaan hal diantara suami

dan istri. Kemudian menghormati dalam memilih pasangan, harta benda, warisan,

tempat tinggal, perceraian, dan lain-lain yang berhubungan dengan keluarga,

penetapan hukum, harus dilihat dari sudut pandang individu dan persamaan

mendasar dari jenis kelamin. Dengan adanya ketetapan seperti ini, telah terjadi

perubahan didalam sistem pernikahan di Jepang (Tano, 1993:127).

Lalu ketidakseimbangan ekonomi di Jepang pasca perang dunia II pada

awalnya menimbulkan pandangan bahwa masyarakat Jepang harus lebih giat agar

bisa mendapatkan perekonomian yang bagus, sehingga hal ini memancing baik

laki-laki maupun perempuan mendedikasikan diri terhadap pekerjaan. Namun

perekonomian Jepang mulai perlahan membaik dan kebangkitan ekonomi Jepang

pada saat itu membuatnya mengalami pencapaian ekonomi dimana Jepang

mengalami peningkatan ekonomi yang drastis (Motonobu, 2004:36).

Meningkatnya ekonomi Jepang mulai mengatur cara hidup masyarakat

Jepang. Karenanya, sebagian besar masyarakat di Jepang mendasarkan hidup

mereka pada pekerjaan, khususnya pada perusahaan tempatnya bekerja. kemudian

menyebabkan terjadinya urbanisasi, yang membuat masyakarat pedesaan yang

berprofesi petani berbondong-bondong menjadi pekerja di pusat-pusat

industrialisasi perkotaan seperti Tokyo dan Osaka. Urbanisasi juga menjadi faktor

37
berubahnya struktur keluarga dengan struktur chokkei kazoku (terdiri dari kakek,

nenek, ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah) menjadi kaku kazoku

(keluarga terbagi menjadi kakek, nenek dan ayah, ibu, anak) atau bahkan tanshin

setai (anak yang belum menikah memutuskan untuk tinggal sendiri). Peningkatan

urbanisasi terjadi pasca Perang Dunia II, khususnya antara tahun 1960 dan 1974,

hal ini karena banyaknya permintaan untuk tenaga kerja di daerah perkotaan. Pada

periode ini keluarga chokkei kazoku semakin menurun dan menyebabkan

berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi lebih individualistik (Motonobu,

2004:44).

Baik laki-laki maupun perempuan muda yang bekerja dan berpendidikan

serta telah mapan secara finansial dan juga mandiri, kemudian merasa lebih

nyaman untuk hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, banyak yang

menganggap bahwa pernikahan justru akan mempersulit ekonomi dan

manghambat profesionalitas dalam bekerja. Bagi perempuan, pernikahan akan

mengikatnya ke dalam pekerjaan rumah tangga dan juga akan menghambatnya

bekerja. Hal inilah yang kemudian membuat banyak generasi muda Jepang yang

memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak

menikah sama sekali (Saleha, 2006:12).

Jadi, awal mulai Bankonka di Jepang terjadi pasca perang dunia II.

Pertumbuhan ekonomi dan industri Jepang pasca Perang dunia II menimbulkan

adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan

dan pekerjaan. lalu mulai terjadi perubahan dalam sistem keluarga, dimana

awalnya loyalitas dalam keluarga adalah yang paling utama tetapi mulai berubah.

Loyalitas terhadap pekerjaan lebih tinggi daripada loyalitas kepada keluarga. Dari

38
sini masyarakat Jepang mengalami perubahan sosial, dimana awalnya masyarakat

Jepang adalah masyarakat yang mementingkan kepentingan kelompok

dibandingkan kepentingan pribadi berubah menjadi masyarakat yang lebih

individualis, sehingga mereka menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang harus

dilakukan atas dasar keinginan diri sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya

penundaan pernikahan pada usia produktif (Bankonka) di Jepang.

3.3.2 Dampak dari Bankonka

Penundaan pernikahan pada usia produktif di Jepang juga menyebabkan

adanya berbagai dampak yang dirasakan. Baik dampak yang dirasakan terhadap

diri sendiri dan keluarga, maupun terhadap masyarakat.

Dampak dari Bankonka yang dirasakan terhadap diri sendiri dan keluarga

adalah munculnya fenomena yang berkaitan dengan pernikahan seperti Parasite

Single dan Hikonka. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, fenomena-

fenomena yang terjadi didalam pernikahan di Jepang saling berkaitan. Menurut

Iwao Sumiko (1993:64) masyarakat Jepang yang menjadikan karir sebagai fokus

mereka menyebabkan hilangnya rasa kepentingan terhadap pernikahan. Pada

awalnya menunda-nunda usia pernikahan karena sibuk bekerja, terlalu

memikirkan diri sendiri, bahkan sudah tidak menemukan pasangan lagi. Hal ini

menjadikan dampak yang dirasakan terhadap diri sendiri, dimana masyarakat

Jepang yang menunda pernikahan akan kesulitan bahkan tidak menemukan

pasangan sehingga tidak bisa menikah. Sementara itu, terdapat masyarakat Jepang

baik laki-laki maupun perempuan yang menggantungkan hidupnya kepada

keluarga meskipun sudah bekerja tentu saja menjadi beban bagi keluarganya.

39
Dampak yang paling terlihat dari Bankonka di Jepang adalah dampak

terhadap masyarakat, yaitu Shoushika. Shoushika merupakan fenomena yang

terjadi karena menurunnya jumlah anak secara berkelanjutan selama bertahun-

tahun yang melanda Negara Jepang. Menurut Kamus Kanji (Chandra, 2009:14, 19,

26), arti kata Shoushika ( 少子化 ) dilihat dari kanjinya 少: shou berarti sedikit,

子: shi berarti anak, 化 : ka berarti perubahan dan mondai (問題) yang artinya

masalah. Sehingga arti kata shoushika mondai adalah masalah yang timbul akibat

sedikitnya jumlah anak. Menurunnya jumlah anak di Jepang memberikan dampak

buruk terhadap keberlangsungan negara Jepang. Dengan meningkatnya Shoushika

di Jepang Negara Jepang mengalami penurunan SDM (Sumber Daya Manusia).

Menurut Nawawi (2003) konsep SDM memiliki tiga pengertian, yaitu: pertama,

SDM adalah personil, tenaga kerja, karyawan yang bekerja di lingkungan

organisasi. Kedua, SDM adalah potensi manusia sebagai penggerak organisasi

dalam mewujudkan eksistensinya. Ketiga, SDM sebagai tenaga kerja secara

manusiawi agar potensi fisik dan psikis yang dimiliki berfungsi maksimal bagi

tercapainya tujuan (Nawawi, 2003:47). Jika Bankonka terus meningkat, maka

Shoushika jugaa akan terus meningkat, dengan kata lain Negara Jepang akan

kekurangan generasi mudanya, tentu saja hal ini menjadi kekhawatiran bagi

masyarakat dan pemerintah Jepang.

Tidak hanya Shoushika saja yang menjadi dampak Bankonka terhadap

masyarakat Jepang. Tingginya angka lansia di Jepang juga merupakan dampak

dari Bankonka. Tingginya angka lansia di Jepang disebut dengan Koureika Shakai

(tingginya populasi lansia). Koreika Shakai merupakan kebalikan dari Shoushika.

40
Meskipun pemerintah Jepang sudah melakukan penanggulangan terhadap

tingginya angka lansia di Jepang, tetapi masalah akan tetap berlanjut jika

Bankonka tidak bisa diatasi. Baik Shoushika maupun Koureika Shakai merupakan

dampak yang dirasakan oleh masyarakat Jepang akibat Bankonka

(www.republika.co.id/international.html).

BAB IV

BANKONKA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT JEPANG

Bab ini merupakan analisis dari hasil kuesioner online yang disebarkan

kepada orang Jepang melalui google form. Dalam penyebaran angket ini,

responden dapat mengisi langsung angket dengan mengakses alamat situs

kuesioner online. Angket tersebut ditulis dalam bahasa Jepang yang terdiri dari

pertanyaan campuran, yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pada

pertanyaan terbuka, responden mengisi pertanyaan berdasarkan jawaban pribadi

dari responden, sedangkan pada pertanyaan tertutup responden diminta menjawab

dengan memilih dari sejumlah alternatif yang telah disediakan. Pertanyaan yang

terdapat dalam angket adalah pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan

41
masyarakat Jepang terhadap Bankonka, faktor-faktor penyebab terjadinya

Bankonka, dan apa penyebab meningkatnya Bankonka di Jepang.

Terdapat sebanyak 52 angket yang diisi oleh responden melalui

kuesioner online tersebut. Dari 52 angket yang diterima, terdiri dari 18 orang laki-

laki dan 34 orang perempuan. Angket disebarkan kepada masyarakat Jepang

dengan rata-rata usia 20 – 35 tahun ke atas dengan tujuan untuk melihat perspektif

masyarakat Jepang tterhadap pernikahan dan masyarakat Jepang yang menunda

pernikahan. Angket ini disebarkan antara bulan Oktober – November 2018. Rata-

rata dari responden sudah memiliki pekerjaan sebagai karyawan dan staf hotel,

dan lain-lain. Namun terdapat responden yang belum memiliki pekerjaan, seperti

yang dapat kita lihat pada diagram dibawah ini.

45.00%

40.00%

35.00%

30.00%

25.00%

20.00% 38.40%
15.00%
23.10%
10.00%

5.00% 9.70% 11.50%


7.70% 5.80%
0.00% 1.90% 1.90%

Diagram I. Status Responden

42
Dari hasil kuesioner akan dijelaskan kedalam 3 bagian, yaitu tentang

pandangan terhadap pernikahan, pandangan terhadap Bankonka dan faktor-faktor

pendorong Bankonka di Jepang.

4.1 Definisi Bankonka

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa saat ini

fenomena Bankonka atau penundaan pernikahan pada usia produktif menjadi

salah satu masalah di Jepang.

Kata Bankonka terdiri dari tiga kanji, yaitu ban (晩 - malam); kon (婚 -

pernikahan); dan ka (化 - perubahan). Jadi, secara literal, Menurut kamus koujien

(広辞苑) (1998:67), definisi dari bankon (晩婚) adalah :

とし けっこん
 年をとってからの結婚
こんき す けっこん
 根気を過ぎてからの結婚

Terjemahan:
 Pernikahan di usia lanjut
 Pernikahan setelah melampaui usia layak untuk menikah

Dari kutipan diatas dapat diartikan, bahwa Bankonka adalah penundaan

pernikahan pada usia produktif.

Sedangkan menurut inoue dalam josei gaku jiten ( 女 性 学 辞 典 –

encyclopedia of women’s studies) yang dimaksud dengan Bankonka adalah

sebagai berikut :

43
けっこんてきれいき ねんれいそう けっこん
“ 結 婚 適 齢 期 とされる 年 齢 層 、または 結 婚 が
ひかくてきひんぱん しょう ねんれいはんい たか
比 較 的 頻 繁 に 生 じている 年 齢 範 囲 よりも 高 い
ねんれい けっこん そうたいてき ぞうか けいこう
年 齢 での 結 婚 が 相 対 的 に増加する 傾 向 。”

Terjemahan :
Pernikahan pada usia yang lebih tinggi daripada usia ideal
untuk menikah rata-rata semakin bertambah
Dalam bukunya, Takeuchi (2011:1) mengartikan Bankonka sebagai
berikut,
ばんこんか へいきんしょこんねんれい だんじょ
晩婚化 と い う は 平 均 初 婚 年 齢 は 男 女 と も に
じょうしょうけいこう
上 昇 傾 向 にある

Terjemahan:
usia rata-rata pada pernikahan pertama, baik pada laki-
laki maupun perempuan mengalami peningkatan”

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa bankonka

merujuk pada pernikahan yang telah melewati waktu yang tepat untuk usia

menikah. Penundaan ini tidak hanya terjadi pada perempuan tetapi juga pada laki-

laki.

Masyarakat Jepang umumnya memegang teguh apa yang disebut sebagai


てきれいき
usia layak menikah atau kekkon no tekireiki ( 結 婚 の 適齢期 ). Laki-laki dan

perempuan di Jepang diharapkan untuk menikah pada usia yang tepat. Usia ini

berkisar antara 24-25 tahun untuk perempuan dan 27 tahun bagi laki-laki. Laki-

laki dan perempuan yang sudah melebihi batas usia ini tetapi belum menikah akan

mendapatkan tekanan dari masyarakat untuk segera menikah (Applbaum,

1995:37). Sehubungan dengan hal ini Applbaum menyatakan:

“In order to be considered an adult in japan one has


marry. For women this and raising children are the all-
exclusive mission in life. Women who remain unmarried

44
past the proper marriageable age are treated quite
shabbily...A man who does not marry about 27 or so is
thought untrustworthy by colleagues and employers. Like
unwed women they can not be considered whole member
of society.”

Terjemahan:
Untuk dianggap sebagai seseorang yang dewasa di Jepang.
Orang harus menikah. Bagi perempuan menikah dan
mengurus anak merupakan misi eksklusif dalam hidup.
Perempuan yang belum menikah hingga melewati usia
yang pantas untuk menikah akan diperlakukan dengan
tidak baik...Laki-laki yang tidak menikah saat usianya
mencapai 27 tahun dianggap tidak dapat dipercaya oleh
kolega dan karyawannya. Sama seperti perempuan yang
belum menikah, mereka tidak akan dianggap sebagai
anggota penuh dalam masyarakat

4.2 Pandangan Terhadap Pernikahan

Pertanyaan yang diberikan berkaitan dengan pandangan masyarakat

Jepang terhadap pernikahan terdiri dari lima pertanyaan , seperti berikut:

けっこん じ
- 結婚について、どんなイメージがありますか

(apa yang anda bayangkan mengenai pernikahan?)

けっこん
- あなたは結婚するつもりですか

(apakah anda berniat untuk menikah?)

けっこん ひつよう おも
- あなたにとって結婚は必要だと思いますか

(apakah menurut anda pernikahan itu penting ?)

はや けっこん けっこん ち え ん
- あなたは早く結婚するつもりですか、それとも結婚を遅延するつもりですか

45
(apakah anda berniat menikah cepat ? atau menunda pernikahan?)

なんさい けっこん
- あなたは何歳ぐらい結婚するつもりですか

(kira-kira umur berapa anda ingin menikah ?)

Dari angket yang disebarkan dilihat rata-rata usia responden adalah

antara 20-35 tahun dan belum menikah. Dapat kita lihat pada diagram berikut.

36.50% 38.50%

17.30%
7.70%

20 - 25 tahun 26 - 28 tahun 29 - 35 tahun diatas 35 tahun

Diagram 4.2.1 Rata-rata usia responden

Dari diagram diatas, yang dikategorikan kedalam Bankonka adalah

responden dengan usia diatas 26 tahun, dan itu berjumlah 63,5%. Pada umumnya

mereka sudah bekerja dan sebagian besar adalah karyawan, seperti yang dilihat

pada diagram dibawah ini.

46
48.50%

27.30%
18.20%
3% 3%
Karyawan Staff Hotel Pegawai Negeri Pekerja Paruh Belum Bekerja
Waktu

Diagram 4.2.2 Status Pekerjaan Responden yang dikategorikan


Menunda Pernikahan
けっこん
Dari hasil angket yang berkaitan dengan pertanyaan tentang “結婚につい

て、どんなイメージがありますか (apa yang anda bayangkan mengenai pernikahan?)”

bisa diketahui pandangan masyarakat Jepang terhadap pernikahan adalah seperti

pada diagram dibawah ini.

34.60%
28.80%
23.20%

13.40%

Tanggung jawab besar Takut gagal dalam Merepotkan menyenangkan


pernikahan

Diagram 4.2.3. Bayangan Terhadap Pernikahan

47
Dari grafik 4.2.3 dapat kita lihat pada umumnya mereka berpendapat

bahwa suatu pernikahan itu adalah hal yang memiliki tanggung jawab besar.

Menurut salah satu responden, dalam pernikahan tentu saja memiliki tanggung

jawab yang besar sehingga banyak dari masyarakat Jepang memilih untuk

menunda pernikahan karena merasa belum siap menerima tanggung jawab.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden “dalam pernikahan tentu saja

memiliki tanggung jawab yang besar sehingga banyak generasi muda merasa

belum percaya diri untuk melakukan pernikahan”. Ketidakpercayaan diri ini

menjadikan generasi muda mudah takut untuk melakukan pernikahan. terlebih

lagi dengan kemampuan secara finansial yang belum kuat akan terasa sangat berat

untuk melakukan sebuah pernikahan bahkan membangun sebuah keluarga.

Menurut Hazirin (1963:15), dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional

mengatakan inti pernikahan itu adalah adanya hubungan antara dua orang yang

harus berbeda jenis kelamin yang didalamnya terdapat pembagian peran dan

tanggung jawab. Masih banyak terdapat masyarakat Jepang yang merasa belum

siap atau malas memikul tanggung jawab ketika menikah.

Dalam pernikahan tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Ada pernikahan

yang bertahan dan ada yang gagal. Tidak sedikit dari generasi muda Jepang yang

takut gagal dalam pernikahan. Dari salah satu responden mengatakan “mudah

takut akan perceraian dalam pernikahan karena tidak jarang saya melihat

terjadinya perceraian karena banyaknya perbedaan pendapat yang tidak dapat

disatukan, contohnya orang tua saya”. Dari jawaban responden ini dapat kita lihat

bahwa ia merasa takut gagal dalam pernikahan, melihat apa yang terjadi dengan

keluarganya yang harus bercerai karena perbedaan pandangan yang tidak dapat

48
disatukan. Sehingga hal ini memicu munculnya ketakutan akan kegagalan dalam

pernikahan.

Selain itu, Banyak dari generasi muda Jepang yang menganggap

pernikahan itu adalah sesuatu yang merepotkan. Tidak hanya mengenai segala

jenis persiapan sebelum melakukan pernikahan, tetapi juga kehidupan setelah

pernikahan yang merepotkan. Seperti jawaban responden yang sekarang memiliki

usia 28 tahun sebagai berikut:“sewaktu muda saya berfikir bahwa pernikahan itu

menyenangkan, tetapi ketika dewasa dan mendengar dari orang sekitar mengenai

hubungan dengan keluarga pasangan, kesulitan membesarkan anak, dan ternayata

pernikahan itu merepotkan”. Dari jawaban responden ini dapat kita lihat bahwa

terdapat pengaruh dari lingkungan sosial disektiranya sehingga ia menganggap

bahwa pernikahan itu tidak sesederhana yang ia bayangkan, tetapi banyak hal

yang merepotkan setelah pernikahan sehingga untuk melakukan pernikahan harus

mempertimbangkan segala sesuatu nya.

Namun, tidak semua dari masyarakat Jepang yang menganggap

pernikahan itu merepotkan, terdapat juga jawaban responden yang mengatakan

pernikahan itu merupakan sebuah kebahagiaan. Hidup dengan orang yang dicintai

sampai tua merupakan sebuah kebahagiaan. Terlebih lagi membangun keluarga

dan membesarkan anak merupakan tantangan tersendiri agar kehidupan setelah

pernikahan lebih terasa menarik dan membahagiakan.

Berkaitan dengan adanya keinginan atau tidaknya keinginan bagi

けっこん
masyarakat Jepang untuk menikah berdasarkan pertanyaan”あなたは結婚するつも

49
りですか(apakah anda berniat untuk menikah?)” dapat kita lihat pada diagram

berikut.

tidak ingin
menikah, 6%

belum
memikirkan,
29%

ingin menikah,
65%

Diagram 4.2.4 Presentase Keinginan Menikah

Dari diagram diatas dapat kita lihat bahwa persentasi keinginan menikah

responden lebih besar daripada tidak ingin menikah. Akan tetapi, terdapat

responden yang masih belum memikirkan untuk menikah.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jepang khususnya yang sudah

pada usia produktif masih menganggap bahwa pernikahan itu adalah penting,

seperti yang terlihat pada diagram berikut.

pentingnya pernikahan
TIDAK
17%

IYA
83%

Diagram 4.2.5 Presentase Pentingnya Pernikahan

50
Meskipun mereka menganggap bahwa pernikahan itu penting, tetapi pada

umumnya mereka banyak yang menuunda pernikahan. seperti yang dapat dilihat

pada diagram dibawah ini.

28
18
5

menikah cepat menunda tidak keduanya


pernikahan

Diagram 4.2.6.Keinginan terhadap menikah cepat atau menunda


pernikahan
Adapun alasan mereka menunda pernikahan meskipun usia mereka sudah

mencapai usia menikah adalah sebagai berikut:

- Tidak ingin terkekang oleh pernikahan

Banyak dari generasi muda Jepang saat ini yang tidak ingin merasa diikat karena

pernikahan. Menurut mereka, selagi masih muda banyak hal yang masih bisa

dilakukan. Semakin banyak hal yang bisa dilakukan maka semakin banyak

pengalaman yang bisa didapat. Seperti yang dikatakan oleh responden berikut:
” けっこん ちえん よ おも わか
“結婚 を遅延 しても良 いと思 う。若 いうちにやり
ほう
たいことをたくさんやった法がいい”

Terjemahan:
Menurut saya lebih baik menunda pernikahan. lebih
baik melakukan banyak hal selagi muda.

Oleh karena itu, menurut mereka lebih baik untuk menunda pernikahan agar dapat

melakukan banyak hal selagi masih muda.

- Ingin memiliki pengalaman sosial lebih.

51
Maksudnya adalah agar lebih matang secara pemikiran, sehingga hal ini dapat

menghindari perbedaan pendapat dalam hubungan yang memicu terjadinya

kegagalan dalam pernikahan. Terdapat jawaban dari responden yang mengatakan

sebagai berikut:
” おそ けっこん だいこうはん だいぜんはん おも
“遅 い 結婚 (20代後半 ~30 代前半 ) が い いと 思 う 。
しゃかいけいけん つ たが せいかつりょく み つ
社会経験 も積 んで、お互 い 生 活 力 も身 に付 いて
おも
いると思うから”

Terjemahan:
pernikahan yang terlambat lebih bagus. Usia
pernikahan yang bagus itu sekitar akhir-akhir 20-an
atau awal-awal 30-an. Supaya lebih memiliki
pengalaman sosial dan saling belajar hidup bersama.
Dari jawaban diatas dapat kita lihat bahwa responden menunda

pernikahan karena ingin lebih mendapatkan pengalaman dan bisa melakukan

banyak hal, selagi muda masih bisa belajar dan mendapatkan pengalaman dalam

sosial bermasyarakat.

- Belum merasakan keuntungan dalam sebuah pernikahan.

Kebanyakan dari masyarakat Jepang yang memiliki pekerjaan tetap dan kuat

secara finansial merasa masih puas dan bebas melakukan apa saja sehingga tidak

memiliki alasan untuk menikah dalam jangka waktu yang cepat, oleh karena itu

mereka belum merasakan keuntungan dalam pernikahan. Hal ini menimbulkan

pemikiran yang lebih cenderung menunda pernikahan. seperti yang dikatakan oleh

salah satu responden seperti berikut:

” わたし いま けっこん ひつよう おも


“私 にとって、今は結婚が必要と思わない”

Terjemahan:
Saat ini, saya tidak berfikir bahwa pernikahan itu
penting

52
Adapun mengenai usia keinginan untuk menikah pada masyarakat

なんさい けっこん
Jepang diberikan dalam bentuk pertanyaan berikut “あなたは何歳ぐらい結婚するつ

も り で す か (kira-kira umur berapa anda ingin menikah ?)”. Dari pertanyaan

tersebut terdapat jawaban yang dapat dilihat dari diagram dibawah ini.

44.20%
25%
15.40% 15.40%

25 - 26 tahun 27 - 30 tahun 30 tahun belum


keatas memutuskan

Diagram 4.2.7. Usia Keinginan Menikah

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Jepang yang

memiliki keinginan menikah diatas usia produktif (lebih dari 26 tahun) sekitar

84,6%. Hal ini disebabkan karena:

- Tidak terlalu memikirkan pernikahan.

Banyak dari responden yang sibuk dalam bekerja maupun sibuk dengan kegiatan

yang sedang difokuskan, sehingga mereka tidak memiliki waktu lebih untuk

memikirkan pernikahan. seperti yang dikatakan oleh salah satu responden:

” けっこん かんが いま かんが じ か ん


“結婚を 考 えないところ、今はそんなことを 考 える時間 が
ありません”

Terjemahan:
Sekarang saya tidak memikirkan tentang pernikahan.
saat ini saya tidak memiliki waktu untuk memikirkan
itu.

- Masih fokus dalam pekerjaan

53
Berbeda dengan alasan sebelumnya, meskipun mereka memiliki waktu lebih,

tetapi mereka belum memiliki keinginan untuk mencari pasangan. Ingin tetap

fokus dalam bekerja menjadi alasan penyebab mereka belum memiliki keinginan

mencari pasangan. Salah satu responden mengatakan:

” に ほ ん しょくぎょう ゆうせん ひと
“日本 で職業 に優先 したい人 がたくさんいます。さらに、
し ご と せんねん しょくぎょうふじん ふ
仕事を専念したい職業婦人が増えているからです。”

Terjemahan:
Ada banyak orang yang memprioritaskan pekerjaan di
Jepang. Selain itu, jumlah perempuan yang ingin
berkonsentrasi pada pekerjaan semakin meningkat.

- Tidak ingin kehilangan kebebasan

Menurut beberapa responden, mereka tidak ingin kehilangan kebebasan sehingga

masih merasa nyaman hidup sendiri. salah satu responden mengatakan

いま けっこん ぜんぜんかんが じゅうぶん おも


"今は結婚のこと全然考えない。このままじゃ十分だと思っ
あ い て い とく じ ぶ ん て き じ ゆ う ”
て、相手なんか要らない。特に自分的の自由がある “

Terjemahan :
samasekali belum memikirkan tentang pernikahan
karena masih merasa cukup dan belum membutuhkan
pasangan, selagi hidup sendiri tidak menjadi masalah
lebih baik tidak memiliki pasangan, terlebih lagi bisa
memiliki kebebasan terhadap diri sendiri”.

Dari jawaban responden ini dapat kita lihat bahwa penundaan pernikahan

terjadi karena belum membutuhkan pasangan agar bisa memiliki kebebasan

terhadap diri sendiri.

- Sulit menemukan pekerjaan

Tingginya persaingan dalam mencari pekerjaan di Jepang ini menyebabkan

kesulitan dalam menemukan pekerjaan yang tetap. Oleh karena itu, banyak dari

generasi muda Jepang yang masih bekerja paruh waktu dengan gaji yang sedikit

54
atau bahkan belum menemukan pekerjaan. Oleh karena itu akan sangat sulit untuk

menikah dikarenakan biaya pernikahan yang cukup tinggi di Jepang, sehingga

mereka tidak berfikir untuk menikah dalam jangka waktu dekat. Seperti yang

dikatakan oleh salah satu responden

” し ゅうし ょ くか つ どう かんたん とく と か い て き し が い
“就職活動って簡単なことじゃない、特に都会的な市街で。
じ ぶ ん ひつようせい こま けっこん かんが
自分の必要性に困るので結婚なんて 考 えない”

Terjemahan :
sulit untuk menemukan pekerjaan tetap terlebih lagi di
kota besar. Untuk memikirkan kebutuhan diri sendiri
saja masih cukup susah, apalagi memikirkan
pernikahan
.
Dari sini dapat kita lihat persaingan dalam dunia kerja juga dapat

menimbulkan penundaan pernikahan pada usia produktif.

4.3 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Bankonka

Berkaitan dengan pandangan masyarakat Jepang terhadap Bankonka

diperoleh berdasarkan pertanyaan yang diajukan kepada responden yang sudah

berusia 26 tahun keatas sebagai berikut:

ばん こ ん か し
- あなたは晩婚化のこと知っていますか

(apakah anda tahu mengenai Bankonka?)

- あなたにとって、晩婚化にどう思いますか、晩婚者にどう思いますか

(bagaimana pandangan anda terhadap Bankonka? bagaimana pandangan

anda terhadap Bankonsya?)

55
Hasil yang didapat melalui pertanyaan diatas adalah pada umumnya

masyarakat Jepang mengetahui apa itu Bankonka. Seperti yang terlihat pada

diagram berikut.

apakah anda tahu mengenai


Bankonka

86.50%

13.50%
IYA
TIDAK

Diagram 4.3.1 tentang Bankonka

Dilihat melalui diagram diatas, 86,50% responden mengetahui Bankonka,

sedangkan 13,50% responden tidak mengetahui Bankonka. Dari angket yang

disebarkan, responden memiliki pandangan yang berbeda terhadap orang yang

menunda pernikahan, seperti yang dapat dilihat pada diagram dibawah ini.

38.40%
28.90%
23.10%
9.60%

Cenderung Hidup Ingin Hidup Sendiri Tidak ingin Tidak Menjadi


Bebas Memiliki Anak Masalah

Diagram 4.3.2. Pandangan Terhadap Bankonka

56
Dari diagram diatas dapat kita lihat pada umumnya jawaban responden

cenderung bersifat individual atau personal. Pandangan tersebut adalah:

- Cenderung hidup bebas

Kecenderungan masyarakat Jepang yang memiliki kebebasan hidup dilihat dalam

berbagai hal, baik dalam kebebasan secara personal, maupun dalam menentukan

pilihan karir. Bagi pandangan laki-laki Jepang, mereka berpendapat bahwa

perempuan yang memiliki pekerjaan sebaiknya berhenti bekerja agar dapat

mengurus rumah tangga, mereka menginginkan perempuan yang cakap dalam

mengurus keluarga. Sementara itu, menurut pandangan perempuan, mereka tidak

ingin terhambat dalam karir seperti yang dituntut oleh kebanyakan laki-laki

Jepang. Kebanyakan perempuan yang bekerja tidak ingin kehilangan pekerjaan

mereka karena pernikahan. Selain itu, baik laki-laki maupun perempuan Jepang

tidak ingin terikat setelah menikah. Mereka takut tidak lagi mendapat kebebasan

seperti yang mereka miliki sebelum menikah. Seperti yang dikatakan oleh salah

satu responden berikut:


そくばく じゆう い ひと ふ
“束縛 されずに自由 に生 きたい人 が増 えてきた。
ぼく じゆう きらく うしな
僕にとって自由や気楽さを 失 いたくない”

Terjemahan:
Jumlah orang yang ingin hidup bebas tanpa terikat
meningkat. Bagi saya, tidak ingin kehilangan
kebebasan dan kenyamanan saya

Dari jawaban repsonden ini dapat kita lihat Bankonka menurut

pandangan masyarakat Jepang terjadi karena banyak masyarakat Jepang yang

cenderung hidup bebas.

- Lebih memilih hidup sendiri

57
Banyak dari masyarakat Jepang saat ini menganggap bahwa hidup sendiri lebih

baik daripada berkeluarga. Seperti jawaban salah satu responden berikut:

おそ けっこん べつ おも けっこん
“遅 い結婚 について別 にいいと思 う。結婚 しなくて
しあわ じんせい おく にんしき
も 幸 せな人生 を送 ることができるという認識 が
ひろ おも
広まっていると思う”

Terjemahan:
Mengenai pernikahan yang lambat, menurut saya itu
bagus. Semakin banyak pengakuan bahwa walaupun
tidak menikah masih dapat memiliki kebahagiaan
dalam hidup.

Dalam hal ini, banyak masyarakat Jepang merasa walaupun tidak

menikah mereka masih tetap memiliki kebahagiaan sehingga cenderung untuk

menunda pernikahan hingga waktu yang tepat.

- Tidak ingin memiliki anak

Banyak dari masyarakat Jepang yang tidak ingin memiliki anak. Hal ini terjadi

karena Kurangnya sistem pendukung dari pemerintah Jepang untuk

menyeimbangkan antara pekerjaan dan membesarkan anak menyebabkan banyak

dari perempuan Jepang tidak ingin memiliki anak. Salah satu responden

mengatakan :

げんざい けっこん あと し ご と つづ じょせい


“現在、結婚した後に仕事を続いたい女性がたくさんいる。
しごと こそだ りょうりつしえんたいせい ととの こそだ
仕事と子育ての両立支援体制が 整 っていないので子育
しえん じゅうぶん こ ど も う
て支援サービスが 十 分 できない。つまりは子供を生みたく
じょせい かんが かた
ない女性の 考 え方があります。”

Terjemahan:
sekarang ini, banyak dari perempuan yang ingin lanjut
bekerja setelah menikah. Tetapi, tidak ada sistem
pendukung untuk pekerjaan dan membesarkan anak,
sehingga dukungan dalam pelayanan anak tidak

58
memadai. Dengan kata lain perempuan berpikir tidak
ingin punya anak.

Dari jawaban responden ini dapat kita lihat bahwa terdapat masyarakat

Jepang yang tidak ingin memiliki anak karena kurangnya sistem pendukung dari

pemerintah dalam hal bekerja dan membesarkan anak, sehingga banyak dari

perempuan Jepang tidak ingin memiliki anak sehingga memilih menunda

pernikahan.

- Masyarakat Jepang semakin individualis.

Pada saat sekarang ini, masyarakat Jepang yang semakin individualis meningkat.

Menurut responden, menunda atau tidaknya pernikahan merupakan kebebasan

dalam memilih bagi setiap individu. Salah satu responden mengungkapkan:

わたし かんけい ひと り か い ほか ひと
“ 私 は関係 がない人 にあまり理解 できません。他 の人 を
り か い おも
理解しなきゃと思わない”

Terjemahan:
Saya tidak terlalu bisa memahami orang yang tidak ada
hubungannya dengan saya. Saya tidak berfikir harus
memahami orang lain

Dengan semakin tingginya kecenderungan memikirkan diri sendiri

menyebabkan banyak dari masyarakat Jepang yang menunda pernikahan.

4.4 Faktor-Faktor Penyebab Bankonka

Pada sub-bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor pendorong Bankonka

yang terjadi di Jepang. Berikut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepada responden berkaitan dengan faktor-faktor penyebab Bankonka di Jepang :

59
けっこん ひかくてきひんぱん しょう ねんれいはんい たか ねんれい けっこん
- 結婚 が比較的頻繁 に生じている年齢範囲 よりも高い年齢 での結婚 はどう

おも
思いますか

(bagaimana pendapat anda tentang pernikahan pada usia yang lebih

tinggi daripada usia produktif (penundaan pernikahan) lebih sering

terjadi daripada pernikahan pada usia produktif?)

ち え ん
- あなたにとって、なぜ人は結婚を遅延するだと思いますか。

(menurut anda, mengapa orang menunda pernikahan?)

ばん こ ん か げんいん なん おも
- 晩婚化の原因は何だと思いますか。

(Menurut anda, apa penyebab Bankonka ?)

Berdasarkan tiga pertanyaan yang diajukan melalui angket kepada

responden, terdapat empat faktor yang menjadi penyebab Bankonka, seperti pada

diagram dibawah ini.

34.60%
26.90% 25%

13.50%

Faktor Kekhawatiran Faktor Ekonomi Faktor Gaya Hidup Faktor Lainnya

4.4.1 Diagram persentase Faktor-Faktor Penyebab Bankonka

60
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa faktor yang menjadi penyebab

terbesar Bankonka di Jepang adalah faktor gaya hidup, selain itu terdapat juga

faktor kekhawatiran, faktor ekonomi, dan faktor lainnya yang menjadi penyebab

terjadinya Bankonka. Berikut akan diuraikan satu-persatu faktor-faktor penyebab

dari Bankonka yang terjadi di Jepang.

4.4.1 Faktor Kekhawatiran

Faktor-faktor yang menyebabkan kekhawatiran terhadap penundaan

pernikahan pada usia produktif yang diambil dari jawaban responden diantaranya:

- Takut tidak bisa bertanggungjawab

Menurut responden, pernikahan memiliki tanggung jawab yang besar. Maksudnya

adalah terdapat dari beberapa responden yang menganggap pernikahan memiliki

tanggung jawab yang besar sehingga merasa belum siap untuk bertanggung jawab

di dunia pernikahan. Karena di Jepang sangat menjunjung tinggi budaya malu

sehingga jika seseorang tidak bisa mengemban tanggung jawab maka ia akan

merasa menjadi orang yang tidak bisa diandalkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Lalu takut dibebankan dengan kewajiban dan tanggung jawab dalam

membesarkan anak karena harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus

anak. Kemudian, bagi orang Jepang menjadi orangtua itu merepotkan. Hal ini

dapat dilihat dari dua jawaban responden berikut:

” わたし せきにん も じゅんび また


“ 私 は 責任 を 持 っ て 準備 は ま だ で き て い ま せ ん 。 又 、
きこんしゃ み せいかつ けっこん たいへん
既婚者を見ていた生活に結婚は大変そう”

Terjemahan:
Saya belum siap dengan tanggungjawab. Selain itu,
melihat kehidupan orang yang sudah menikah,
pernikahan itu kelihatannya merepotkan

61
けっこんせいかつ なか しゅっさん こそだ しんたいてき せいしんてきふたん おお
“結婚生活の中に 出 産 、子育て身体的、精神的負担が大
けいざいてきふたん おお せきにん
きい,経済的負担が大きい。こういう責任があります”

Terjemahan:
Didalam pernikahan terdapat tanggung jawab seperti
melahirkan, membesarkan anak, beban mental yang
besar, beban ekonomi besar.

Dari jawaban responden ini dapat dilihat bahwa responden merasa belum

siap menerima tanggungjawab. Selain itu menurut responden kehidupan orang

yang sudah menikah itu merepotkan.

- Tidak bisa menyesuaikan diri dengan keluarga pasangan

Maksudnya adalah responden memiliki bayangan keterikatan dalam berkeluarga

dan ingin terikat oleh keluarga pasangan. Dalam hal ini, di Jepang masih ada

sistem kekeluargaan berdasarkan keluarga besar (daikazoku) yang menuntut

sesuai dengan tatanan keluarga. Mereka merasa sulit untuk menjaga hubungan

dengan keluarga pasangan sehingga merasa tidak bebas lagi melakukan berbagai

hal yang berhubungan dengan keluarga inti. Seperti yang dikatakan salah satu

responden:

あ い て か ぞ く か ち か ん たい ふ あ ん かん か の う せい
“相手の家族との価値観に対して不安を感じる可能性が
あります”

Terjemahan:
Ada kemungkinan perbedaan pandangan dengan
keluarga pasangan sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan

Berdasarkan jawaban responden diatas, dapat dilihat bahwa ia merasa

khawatir diperlakukan tidak sama dalam keluarga pasangannya seperti yang

diberikan keluarganya. Hal ini berkaitan dengan masih terdapat generasi muda

62
Jepang yang belum bisa mandiri tanpa orangtua, seperti jawaban salah satu

responden:

おや じ り つ ひと ふ
“親から自立できない人が増えている”

Terjemahan:
Orang yang tidak bisa mandiri tanpa orangtuanya
meningkat

Ketidaknyamanan dan takut tidak bisa diterima dalam keluarga pasagan

tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi mereka yang belum bisa

mandiri tanpa orangtuanya.

- Tidak ingin direpotkan oleh pernikahan

Melihat kehidupan orang yang sudah menikah, kehidupan pernikahan itu

merepotkan. Beberapa responden menjawab, walaupun sudah memiliki

kemampuan secara finansial, tetapi belum berani melakukan pernikahan karena

melihat kehidupan orang yang sudah menikah terasa merepotkan. Seperti yang

dikatakan responden berikut:


わか ころ すてき こと おも おとな
“若 い頃 はとても素敵 な事 だと思 った。でも大人
はなし き あいて かぞく
になって周りから 話 を聞 くと、相手 の家族 との
かんけい こそだ くろう しあわ たの こと
関係 、子育 ての苦労 など、 幸 せで楽 しい事 ばか
わ よ
りではないと分かり、あまり良いイメージはない”

Terjemahan:
sewaktu muda saya berfikir pernikahan itu
menyenangkan, tetapi ketika dewasa dan mendengar
dari orang sekeliling tentang hubungan dengan
keluarga pasangan, kesulitan membesarkan anak,
ternyata tidak semua hal baik dalam pernikahan.

Dalam pernikahan tentu saja tidak hanya urusan antara suami dan istri

yang dipikirkan, tetapi juga hubungan dengan kedua keluarga pasangan serta

63
memikirkan bagaimana membangun keluarga dianggap merepotkan bagi orang

Jepang yang menunda pernikahan.

- Khawatir gagal dalam pernikahan

Responden mengatakan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab perceraian

adalah sulitnya menyatukan pendapat, apalagi pernikahan dilakukan pada usia

muda, karena ketika masih muda emosi masih tidak stabil. Jadi akan lebih baik

pernikahan itu terjadi pada usia yang lebih matang. Kekhawatiran ini berkaitan

dengan terdapat responden yang tidak bisa memahami lawan jenis. Hal ini

diungkapkan oleh salah satu responden dalam jawabannya sebagai berikut:

わたし い せ い つ あ けっこん
“ 私 は異性 とうまく付 き合 えません。だから結婚 のこと
しっぱい り こ ん たい こわ
失敗したくない、離婚に対して怖がり”

Terjemahan:
Saya tidak bisa memahami lawan jenis. Oleh karena itu
saya tidak ingin gagal dalam pernikahan, saya takut
dengan perceraian

Sulitnya memahami lawan jenis karena banyak terdapat perbedaan dalam

kebiasaan sehingga susah untuk menjalin hubungan serius. Sementara itu, jika

memiliki sahabat bisa lebih mudah menjaga hubungan dibandingkan harus saling

mengerti dengan pasangan.

4.4.2 Faktor Ekonomi

Faktor Ekonomi juga menjadi faktor penyebab terjadinya Bankonka di

Jepang. Banyak hal yang berkaitan dengan faktor ekonomi seperti mahalnya biaya

pernikahan, merasa belum cukup kuat secara finansial, dan merasa belum bisa

membagi hasil antara pendapatan diri sendiri dengan pasangannya.

- Kurangnya dukungan secara finansial dan biaya pernikahan yang tinggi

64
Masyarakat Jepang cenderung mencukupi kebutuhan hidup sendiri ketika sudah

dewasa, dengan begitu kurangnya dukungan secara finansial dan mahalnya biaya

pernikahan baik biaya kehidupan sebelum dan setelah pernikahan di Jepang

menjadi alasan mengapa generasi muda Jepang menunda pernikahan. Disisi lain,

biaya hidup yang tinggi di Jepang juga merupakan faktor ekonomi yang

menyebabkan masyarakat Jepang menunda pernikahan karena tidak semua

masyarakat Jepang memiliki pekerjaan yang tetap. Seperti jawaban yang

dikatakan responden sebagai berikut:

きんせんてき ゆうふく ひと けっこ ん し き ん


“金銭的に裕福がない人があります。そして、結婚資金や
せいかつひ たか けっこん ひつよう ひと かんが かた
生活費 が高 いので結婚 は必要 がないという人 の 考 え方
があります”

Terjemahan:
Ada orang yang tidak kuat secara finansial. Lalu, ada
orang yang berfikir bahwa pernikahan itu tidak penting
karena biaya pernikahan dan biaya hidup yang tinggi

Permasalahan seperti ini masih ada didalam masyarakat Jepang sehingga

mereka yang belum memiliki pekerjaan yang terencana tentu saja sulit

menanggulangi permasalahan ekonomi dalam pernikahan. Sementara itu, biaya

pernikahan yang tinggi juga menjadi penghambat pernikahan, terlebih lagi

sulitnya menemukan pasangan yang cocok agar mau bekerjasama dalam hal

ekonomi. Sehingga permasalahan ekonomi terhadap biaya pernikahan dan

menemukan pasangan sesuai dengan keinginan menjadi saling berkaitan. Dalam

hal ini, responden merasa khawatir karena belum cukup memiliki kekuatan secara

finansial sehingga sulit untuk mempersiapkan hal yang bersangkutan dengan

pernikahan.

65
- Sulit menemukan pasangan yang ideal.

Saat ini hampir semua perempuan di Jepang sudah memiliki pekerjaan sehingga

mampu untuk membiayai kebutuhan pribadinya. Perermpuan yang sudah bekerja

dan memiliki penghasilan sendiri tentunya ingin punya pasangan yang setara

dengan kemampuan ekonominya agar seimbang dalam membangun rumah tangga.

Seperti yang diungkapkan salah seorang responden:

あ い て おな か ち か ん よ おな ざいせいてき あ い て
“相手のこと同じ価値観が良 い、同じ財政的の相手がい
すす うま おも
れば進むことが旨くいけると思っています。”

Terjemahan:
lebih baik punya pasangan yang memiliki nilai-nilai
yang sama, setidaknya memiliki pendapatan yang
setara agar kedepannya akan lebih mudah.

Dengan begitu, banyak perempuan Jepang yang menetapkan standar yang

tinggi dalam mencari pasangan sehingga banyak laki-laki merasa tidak cukup

secara finansial untuk melakukan sebuah pernikahan.

4.4.3 Faktor Gaya Hidup

Terlepas dari faktor kekhawatiran dan faktor ekonomi, gaya hidup

masyarakat Jepang juga menjadi penyebab penundaan pernikahan di Jepang.

- Kebebasan berperilaku dan gaya hidup

Menurut responden, kebebasan akan didapatkan ketika belum memiliki pasangan

daripada ketika sudah memiliki pasangan. Terdapat responden yang mengatakan

bahwa dia lebih merasa bahagia dan masih nyaman hidup sendiri tanpa harus

mempertimbangkan perasaan pasangan. Salah satu responden mengatakan:

66
ひとり じゅうぶん じゅうじつ せいかつ おく こうどう い
“一人でも 十 分 に 充 実 した生活が送れる,そして行動や生き
かた じゆう
方が自由”

Terjemahan:
Dengan hidup sendiri saja dapat menjalani kehidupan
yang cukup memuaskan. Lalu memiliki kebebasan
perilaku dan cara hidup
Selama masih bisa merasakan kebahagiaan, hidup sendiri tanpa

pasangan tidak akan menjadi sebuah masalah. Dengan begitu, orang yang

memiliki pekerjaan bagus dan punya kekuatan secara finansial cenderung nyaman

dengan keadaan yang sedang dia dapatkan. Jika menikah pada usia yang masih

muda, mereka merasa kebebasan dalam menjalani kehidupan akan lebih

berkurang. Mereka berpendapat bahwa menikah hanya menjadi penghambat

dalam menikmati kebebasan hidup, kebebasan berkarir, dan kebebasan dalam

hubungan.

- Bebas bergaul dengan siapa saja

Menurut responden, menunda pernikahan baik agar dapat memilih bergaul dengan

lingkungan sosial yang luas. Maksudnya adalah ketika seseorang belum memiliki

pasangan dia akan lebih leluasa untuk bergaul dengan siapa saja, termasuk bebas

menjalin hubungan dengan lawan jenis. Selain itu, akan sangat mudah menjaga

pertemanan dibandingkan harus memikirkan pasangannya. Terdapat responden

yang mengatakan:

けっこん まえ いせい こうさい じゆう ひろ ゆうじんかんけい たも


“結婚 する前に 異性との交際が自由、広 い友人関係を保 ち
おそ けっこん よ おも
やすい、。だから、遅い結婚は良くないと思わない”

Terjemahan:
Sebelum menikah, bebas bergaul dengan lawan jenis,
mudah menjaga pertemanan. Oleh karena itu, saya
tidak berfikir bahwa pernikahan yang lambat itu buruk

67
Dari jawaban responden diatas, dapat dilihat bahwa lebih baik berteman

daripada memiliki pasangan. Dalam pertemanan tidak harus memikirkan hal yang

terlalu pribadi sehingga hubungan antara pertemenan dan persahabatan lebih

fleksibel daripada hubungan dengan pasangan.

- Tidak ingin kehilangan waktu

Dari sudut pandang laki-laki Jepang banyak yang tidak ingin kehilangan

waktunya karena kehidupan setelah pernikahan. hal ini dapat dilihat dari jawaban

responden berikut:

じ ぶ ん ひ と り じ か ん すこ けっこん
“自分一人の時間が少しずつなくなります。結婚よりま
ともだち あそ かんが
だ友達と遊んでいたいなどのいろいろな 考 えに
もの わたし おも
よってできる者だと 私 は思います。ですが、や
こんご かんが はや けっこん よ
はり今後のことを 考 えると早めの結婚が良くな
おも
いものだと思います”

Terjemahan:
Waktu terhadap diri sendiri sedikit demi sedikit akan
hilang. Menurut saya, saya bukanlah orang yang lebih
mementingkan pernikahan daripada masih ingin
bermain dan melakukan banyak hal dengan teman.
Oleh karena itu, tentusaja jika memikirkan untuk saat
ini pernikahan yang cepat menurut saya tidak bagus.
Melalui jawaban responden diatas dapat dilihat bahwa ia merasa akan

semakin kekurangan waktu untuk diri sendiri ketika sudah menikah. Selain itu,

waktu untuk bertemu dengan teman juga akan semakin berkurang. Sementara itu

bagi sudut pandang perempuan, mereka lebih merasa kekurangan waktu ketika

menikah. Kesulitan dalam membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga

menjadi alasan menunda pernikahan.

4.4.4 Faktor lainyya

68
- Lemah dalam interaksi sosial

Orang yang lemah dalam berinteraksi sosial juga menjadi salah satu penyebab

meningkatnya Bankonka di Jepang. Kurangnya interaksi sosial berpengaruh

terhadap susahnya mencari pasangan, hal ini terjadi karena banyaknya orang yang

memiliki rutinitas yang padat. Akibat dari kurangnya interaksi sosial, secara tidak

sengaja menunda pernikahan karena belum dapat menemukan pasangan.

Berkaitan dengan banyaknya orang yang lemah berinteraksi sosial ini

mengakibatkan kurangnya kesempatan bertemu dengan lawan jenis, salah satu

responden mengungkapkan:
たいじんかんけい わずら にがてひと ふ
“対人関係 が 煩 わしく、苦手人 が増 えているので
いせい し あ きかい すく
異性と知り合うゆとりや機会が少ない”

Terjemahan:
Orang yang lemah berinteraksi sosial meningkat

Menurut responden, tidak semua orang bisa memahami lawan jenis. Dari

jawaban ini, dapat dilihat penundaan pernikahan dikarenakan kurangnya

kesempatan dalam menemukan lawan jenis. Rata-rata masyarakat Jepang sangat

sibuk dalam bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berkencan,

atau memikirkan waktu berdua dengan pasangan. Meskipun sudah memiliki

pasangan, tanpa adanya waktu yang cukup, hubungan tidak akan berjalan dengan

lancar. Oleh karena itu muncul pemikiran untuk cenderung menunda pernikahan.

- Masih mencari pasangan yang sesuai dengan keinginan

Masih banyak generasi muda Jepang yang belum ingin menjalin hubungan agar

bisa bertemu dengan banyak orang. Ketika sudah menemukan pasangan tentu saja

sudah harus memegang komitmen dan menjaga perasaan pasangan. Untuk itu, jika

69
memiliki kesempatan bertemu lebih banyak orang maka akan lebih bagus untuk

menemukan calon pasangan yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Seperti

yang diungkapkan oleh salah satu responden:


あいて たかのぞ ひと つ
“相手 に高望 みをしている、まだいろんな人 と付

き合ってみたい”

Terjemahan:
Memiliki harapan yang tinggi terhadap pasangan,
masih ingin bertemu dengan banyak orang

Dari jawaban responden diatas dapat dilihat bahwa memiliki harapan

yang tinggi terhadap pasangan sehingga sulit untuk menemukan yang sesuai

dengan keinginan. selain itu, masih ingin mencari yang sesuai dengan criteria

yang diinginkan.

- Ingin memiliki hubungan sosial yang luas

Terdapat generasi muda Jepang yang berfikir masih ingin bertemu dengan banyak

orang. Maksudnya adalah, jika menunda pernikahan membuka kesempatan untuk

tetap bisa memiliki hubungan dengan banyak orang dan pergaulan akan semakin

luas. Salah satu responden mengatakan:


じゅうたく かんきょう せんたくはば ひろ けっこん まえ しょくぎょう も
“ 住 宅 や 環 境 の選択幅が広い,結婚する前に 職 業 を持ち
しゃかい かんけい たも
社会との関係が保てる

Terjemahan:
Dapat memilih lingkungan sosial yang luas, sebelum
menikah bisa mempertahankan hubungan dalam
pekerjaan dan sosial
Menurut responden diatas, selagi belum menikah dapat memilih bergaul

dengan siapa saja. Selain itu, didalam pekerjaan akan lebih fleksibel bergaul

dengan siapapun karena tidak harus memikirkan pasangan. Dengan begitu, orang

yang masih belum bisa berkomitmen terhadap hubungan karena masih terdapat

70
perbedaan pandangan ingin memiliki hubungan yang luas agar dapat memahami

orang lain.

Dari masing-masing faktor di atas penyebab terbesar dari penundaan

pernikahan di Jepang adalah faktor gaya hidup dan faktor kekhawatiran. Dua

faktor diatas merubah pandangan dan perspektif masyarakat Jepang sehingga

semakin banyak dari masyarakat Jepang yang ingin menunda pernikahan.

BAB V

KESIMPULAN

Pada bab ini penulis menjabarkan kesimpulan dari uraian bab

sebelumnya. Penulis menganalisis penyebab dan faktor-faktor terjadinya

Bankonka dilihat dari pandangan masyarakat Jepang.

Pada awalnya pernikahan merupakan hal yang penting dan sakral bagi

masyarakat Jepang. Namun seiring dengan perubahan zaman, pandangan

71
masyarakat Jepang terhadap pernikahan mulai berubah. Banyak dari masyarakat

modern Jepang menganggap pernikahan bukan lagi sebagai suatu hal yang harus

disegerakan, masyarakat modern Jepang merasa terikat dengan adanya pernikahan

sehingga mereka khawatir pernikahan akan menjadi penghambat dalam

melakukan berbagai hal. Sehingga banyak dari masyarakat Jepang yang memilih

untuk menunda pernikahan.

Bankonka juga berkaitan dengan munculnya fenomena pernikahan

lainnya seperti Parasite Single, Mikonka, dan Hikonka. Dalam fenomena

pernikahan, Meskipun sudah ada solusi dan penanganan dari pemerintah,

fenomena pernikahan di Jepang masih sulit untuk di perbaiki karena menyangkut

perubahan-perubahan yang terjadi dalam tatanan masyarakat sosial. Bankonka

menimbulkan dampak yang dirasakan baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun

masyarakat Jepang. Dampak yang dirasakan terhadap diri sendiri adalah

kehilangan pentingnya sebuah pernikahan. Lalu ada masyarakat Jepang yang

menggantungkan hidupnya kepada keluarga, meskipun sudah bekerja tentu saja

menjadi beban bagi keluarganya. Sementara itu, dampak yang paling meresahkan

pemerintah dan masyarakat Jepang adalah angka kelahiran yang menurun atau

disebut juga dengan shoushika. Bankonka menjadi fenomena yang paling banyak

terjadi dan menimbulkan dampak serta menjadi kecemasan bagi pemerintah

Jepang.

Penyebab dari Bankonka adalah banyaknya masyarakat Jepang yang

tidak ingin kehilangan kebebasan dan terkekang, tidak merasakan kepentingan

dalam pernikahan, ingin fokus terhadap pekerjaan, sehingga mereka tidak terlalu

memikirkan pernikahan. Selain itu, banyak dari masyarakat Jepang yang tidak

72
ingin memiliki anak, sehingga kecenderungan untuk hidup sendiri mulai terjadi

pada generasi muda Jepang. Hal ini memicu terjadinya penundaan pernikahan

pada usia produktif.

Sebagian besar dari masyarakat Jepang yang menunda pernikahan

merupakan mereka yang kurang memiliki waktu karena sibuk bekerja, tidak

memiliki kesempatan dalam menemukan pasangan, dan orang yang masih belum

memiliki pekerjaan tetap atau belum memiliki pekerjaan sehingga tidak memiliki

finansial yang baik.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab Bankonka di Jepang adalah faktor

kekhawatiran, faktor ekonomi, faktor gaya hidup, dan faktor lainnya.

Kekhawatiran masyarakat Jepang terhadap pernikahan dan gaya hidup

masyarakatnya yang cenderung bebas menjadi faktor tertinggi penyebab

Bankonka.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Bankonka atau penundaan pernikahan

terjadi karena perubahan pandangan masyarakat Jepang terhadap pernikahan yang

dilatabelakangi oleh banyaknya generasi muda Jepang menjadi semakin

individualis dan cenderung memikirkan diri sendiri serta kebebasan berperilaku

dan gaya hidup, sehingga Bankonka menyebabkan terjadinya perubahan sosial

yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-

sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

73

Anda mungkin juga menyukai