Anda di halaman 1dari 13

DINAMIKA KESUSASTRAAN JEPANG MODERN

Ambiguitas antara Tradisi dan Modernitas

Dr. Shobichatul Aminah

Pendahuluan
Kesusastraan Modern Jepang lahir bersamaan dengan momentum modernisasi
Jepang yang terjadi sejak Restorasi Meiji. Restorasi Meiji diawali dengan
pembukaan negara setelah Jepang menutup diri dari hubungan dengan dunia luar
selama kurang lebih 260 tahun. Kondisi tertutup selama ratusan tahun yang terjadi
pada masa Tokugawa membentuk Jepang sebagai bangsa yang mempunyai identitas
yang khas. Sejak pemerintahan Meiji mencanangkan program modernisasi, Jepang
mengadopsi secara besar-besaran segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan dari Barat. Sejak itu pula masyarakat Jepang
dihadapkan pada pilihan yang menimbulkan dilema; antara tradisi dan modernitas.
Bagi masyarakat Jepang yang selama 260 tahun hidup dalam tradisi yang
tertutup, perubahan drastis tersebut merupakan suatu momen kebangkitan yang
menyenangkan sekaligus membingungkan. Tradisi yang terus berlanjut dan pengaruh
Barat yang gencar memunculkan pertentangan yang berkaitan dengan pencarian jati
diri bangsa Jepang. Di satu sisi masyarakat Jepang memiliki rasa nasionalisme yang
timbul dari keinginan untuk mempertahankan tradisi. Namun, di sisi lain mereka
mempunyai semangat westernisasi sebagai usaha untuk mengembangkan diri.
Restorasi Meiji sendiri, sebagai ‘program resmi’ di bawah otoritas Kekaisaran, secara
implisit bisa dilihat sebagai gerakan kembali ke masa lalu, yaitu mengembalikan
kekuasaan pada Kaisar, sekaligus juga sebagai gerakan westernisasi yang didasarkan
pada gagasan pembukaan negara dari pengaruh asing. Jadi dalam hal ini Restorasi
Meiji menggabungkan dua gerakan yang saling bertentangan pada saat yang
bersamaan.
Kontradiksi seperti itu selanjutnya menjadi pola yang terus berulang dalam
sejarah Jepang modern baik pada masa sebelum dan sesudah perang maupun pada
saat Jepang mencapai puncak kemajuan di bidang ekonomi pada tahun 1970-an dan
masa-masa selanjutnya. Dalam pidato nobelnya pada tahun 1994 yang diberi judul あ
いまいな日本の私 (Japan, The Ambiguous, and Myself) Oe Kenzaburo menyinggung
masalah aimaisa atau ambiguitas yang membuat Jepang modern seolah terbelah
dalam dua kutub yang saling bertentangan;
アムビギュイテイー
開国以後、百二十年の近代化に続く現在の日本は、根本的に、あいまいさの
二極に引き裂かれている、と私は観察しています。のみならず、その

1
アムビギュイテイー 、 、 、

あいまいさに傷のような深いしるしをきざまれた小説家として、私自身が生
きているのでもあ ります。1
After a hundred and twenty years of modernization since the opening up of the
country, contemporary Japan is split between two opposite poles of ambiguity.
This ambiguity, which is so powerful and penetrating that it divides both the
state and its people, and affect me as a writer like a deep-felt scar, is evident
in various ways.2

Di dalam pidatonya, Oe Kenzaburo menyebut bahwa ambiguitas itu menjadi


semacam penyakit kronis yang telah mewabah dalam generasi modern Jepang saat ini.
Ia merujuk pada keadaan Jepang yang berada di persimpangan antara tradisional dan
modernisme. Di satu sisi Jepang adalah negara Asia yang masih mempertahankan
kebudayaannya, di sisi lain modernisme Jepang mengarah pada peniruan terhadap
kebudayaan Barat. Bagi Oe Kenzaburo posisi Jepang yang ambigu ini menempatkan
Jepang pada posisi sebagai invader di Asia. Hal itu mengakibatkan Jepang terkucil
baik secara politik, maupun sosial budaya dari negara-negara Asia lainnya.
Ambiguitas yang dinyatakan oleh Oe Kenzaburo dalam pidato nobelnya
bukan sekedar dimaksudkan sebagai sebuah unsur penting dalam kesusastraan.
Ambiguitas yang dikaitkan dengan dirinya sebagai pengarang, dan orang Jepang yang
berasal dari desa terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan tersebut merujuk pada
sesuatu yang lebih besar. Yaitu ambiguitas yang melanda bangsa Jepang sejak negara
Jepang mengalami modernisasi. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan Jepang secara
umum. Karya sastra sebagai salah satu produk budaya tentu juga mencerminkan
kondisi budaya tempat dilahirkannya.
Tulisan ini membahas tentang dinamika kesusastraan Jepang modern yang
dalam konteks sejarahnya lahir dari situasi ambigu antara tradisional dan modernitas.
Sebelum membahas tentang ambiguitas dalam sejarah kesusastraan Jepang modern,
ada baiknya dipahami dulu bagaimana ambiguitas dalam kebudayaan Jepang yang
membentuk struktur sosial dan mental bangsa Jepang. Struktur sosial dan mental
bangsa Jepang itu menjadi latar belakang sosial dan budaya lahirnya karya sastra
Jepang modern. Seperti disebutkan dalam pidato Oe Kenzaburo di atas, bangsa
Jepang modern terbelah dalam dua kutub ambiguitas; antara tradisi dan modernitas,
antara Timur dan Barat. Dua kutub ambiguitas itu bisa ditelusuri jejaknya dalam
sejarah kesusastraan Jepang modern. Arus perubahan besar akibat persentuhan
sastrawan Jepang dengan karya sastra Barat dan tradisi yang terus dipertahankan
menghasilkan dinamika yang khas dalam kesusastraan Jepang modern.

Ambiguitas dalam Kebudayaan Jepang


Ambiguitas yang melanda bangsa Jepang modern sampai saat ini sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari proses terbentuknya kebudayaan Jepang pada masa lalu.

1
Oe Kenzaburo. 1995.『あいまいな日本の私』 Tokyo: 岩波新書. Hal. 8
2
-----. 1995. Japan, The Ambiguous, and Myself: The Nobel Prize Speech and Other Lecture. Tokyo:
Kodansha International . Hal. 117.

2
Kebudayaan Jepang yang berkembang sekarang ini memang terkesan homogen.
Namun sebenarnya kebudayaan Jepang terbentuk dari berbagai macam budaya ‘asing’
yang berbeda, mulai dari kebudayaan China, India, Korea, sampai kebudayaan Barat.
Berbagai macam kebudayaan asing tersebut mengalami proses asimilasi dengan
kebudayaan setempat sehingga membentuk kebudayaan Jepang saat ini. Melalui
proses asimilasi terus menerus, unsur budaya asing tersebut kemudian menjadi satu
kesatuan yang utuh dengan budaya setempat. Proses pembentukan budaya yang
asimilatif tersebut, menghasilkan bentuk ‘masyarakat kesatuan yang selalu
berasimilasi’ (junsei tan’itsu shakai). Hal itu berbeda dengan bangsa Barat yang sejak
awal sejarah kebudayaannya berkembang melalui proses perbenturan, penaklukan,
penjajahan dan pemberontakan yang tak henti-hentinya. Masyarakat yang terbentuk
dari proses seperti itu adalah ‘masyarakat majemuk yang selalu mengalienasi’ (isei
fukugo shakai). Dalam sejarah perkembangannya, masyarakat Barat mengalienasi
budaya setempat dengan memaksakan budaya mereka masuk menjadi salah satu
unsur dalam struktur masyarakat yang majemuk. Proses itu membuat budaya
setempat menjadi “asing”. Sedangkan masyarakat Jepang mengembangkan diri
dengan membuat hal-hal yang asing menjadi milik sendiri, dengan cara berasimilasi.
Pengaruh luar yang asing disesuaikan dan diserap, akhirnya lambat laun menjadi
bagian dari budaya setempat yang relatif homogen.3
Asimilasi yang terus menerus itu dapat berlangsung di Jepang karena watak
animisme Jepang yang tidak eksklusif. Dalam sistem Kekaisaran kuno, klan-klan
yang berpengaruh bersumpah setia pada Kaisar tanpa harus mempersembahkan dewa-
dewa nenek moyang mereka. Artinya meskipun mereka menghormati Kaisar, yang
dianggap sebagai keturunan dewa matahari, mereka tetap menyembah dewa-dewa
nenek moyang mereka sendiri. Yanagita Kunio membedakan dua hal tersebut dalam
konsep keishin (hormat atau bakti) dan saishi (ibadat atau kepercayaan). Hormat pada
dewa baru, termasuk Kaisar, tidaklah melanggar atau mengesampingkan kepercayaan
pada dewa setempat yang telah mereka percaya jauh sebelum mengenal dewa
matahari.4
Dalam masyarakat kesatuan yang selalu berasimilasi, kesatuan bukanlah
sesuatu yang diciptakan, melainkan sesuatu yang dianggap wajar. Kesatuan yang
‘terberi’ ini melahirkan tradisi masyarakat yang tanpa negasi. Akibatnya di sana
nyaris tak ada tempat untuk konflik. Kalaupun ada konflik tidak ada mekanisme
untuk memecahkannya, sebab kesatuan yang ‘terberi’ itu akan terbentuk kembali
begitu konflik mereda, terlepas apakah masalah-masalah dasar sudah terpecahkan
atau belum.
Tradisi yang hampir tidak mengenal adanya konflik tersebut juga
berhubungan dengan konsep ōyake atau kō (publik atau kelompok) dan shi atau
watakushi (pribadi atau individu). 5 Sepanjang sejarah Jepang, apa yang publik
(ōyake) selalu lebih didahulukan dari yang pribadi atau individual (shi). Õyake selalu

3
Kamishima, Jirō, ed. 1973. Nihon Kindaika no Tokushitsu. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō, hlm. 8-13.
4
Ibid., hlm. 20.
5
Aruga, Kizaemon. 1971. Kō to Shi Giri to Ninjō, dalam Aruga Kizaemon Chosakushū vol. 11.
Tokyo: Miraisha, hlm. 131-163.

3
dihubungkan dengan tujuan luhur, ketenangan dan ketertiban umum, keadilan dan
musyawarah. Sedangkan watakushi selalu dikaitkan dengan ketakteraturan, nasib
jelek, egoisme, perasaan-perasaan subjektif dan nafsu pribadi. Meski watakushi
adalah pelengkap penting bagi ōyake, dalam hubungan antar keduanya individu selalu
diingatkan akan kewajiban moral untuk menghilangkan yang pribadi dan menjunjung
yang publik (messi hōkō).
Sesuatu yang paling dasar dari konsep ōyake adalah keluarga, dengan bapak
sebagai pemimpin atau wakil kelompok. Konsep ōyake tersebut kemudian meluas
tidak hanya sebatas keluarga atau kelompok kekerabatan yang lebih luas (uji)
melainkan juga kelompok yang lebih luas lagi dari itu, yaitu bangsa, dengan Kaisar
sebagai pemimpin kelompok. Kedudukan Kaisar di sini sama halnya dengan bapak
dalam kelompok keluarga. Dalam tradisi animisme Jepang yang cenderung
shamanistik, kehidupan kelompok dianggap sakral dan peran khusus pemimpin
kelompok sebagai penghubung simbolik dengan yang ilahiat diwujudkan dalam
kekuasaan politik. Salah satu fungsi pemimpin kelompok tersebut adalah
menghubungkan kelompoknya dengan dengan para dewa nenek moyang dan dewa
pelindung mereka. 6 Di sini pemimpin kelompok mempunyai tempat yang sangat
khusus dan penting karena sifat sakral yang dipunyainya. Dalam hal ini yang publik
juga disejajarkan dengan kewenangan yang sakral. Pola kekuasaan semacam itu
membuat seorang individu sulit untuk menentang kelompok atau wakil kelompok
atas nama dewa atau prinsip transeden. Penentangan atau pemberontakan dalam
sistem masyarakat seperti itu mengakibatkan terjadinya pengucilan dari ōyake, yang
merupakan sumber dari kasih sayang kebapakan. Sistem seperti itu pada akhirnya
cenderung mempertahankan harmoni dengan cara membungkam konflik.
Meskipun hampir tidak mengenal tradisi konflik, bukan berarti tak ada tradisi
perlawanan dalam masyarakat Jepang. Tsurumi Kazuko 7 menjelaskan dua bentuk
mendasar dari perlawanan orang Jepang terhadap kekuatan yang lebih tinggi
berdasarkan penelitian Yanagita Kunio mengenai cerita-cerita rakyat. Tsurumi
menyebut dua bentuk perlawanan; yaitu retreatisme dan ritualisme. Retreatisme
adalah satu bentuk perlawanan dengan cara memisahkan diri dari komunitas, entah
dengan sukarela ataupun dipaksa, seperti tindakan pengasingan diri yang dilakukan
para rahib di daerah-daerah pegunungan. Pemisahan dari masyarakat yang disebut
dengan istilah yamairi, ’masuk ke gunung’, ini secara tradisional merupakan satu
tindakan yang cukup drastis sehingga dipandang sebagai selangkah menuju maut.
Menurut pendapat Yanagita, bentuk perlawanan seperti ini yang menjadi penyebab
adanya perbedaan budaya antara orang pegunungan (yamabito), yang menurutnya
merupakan penduduk asli, dan rakyat biasa (jōmin), yang datang kemudian dan hidup
dalam komunitas-komunitas pedesaan. Rasa takut dan terpesona kalangan penduduk
pedesaan terhadap gunung ini merupakan sumber dari asosiasi simbolik mereka
tentang maut di satu sisi dan mahluk adi kodrati di sisi lain. Dalam pengertian

6
Bellah, Robert N. 1962. “Value and Social Change in Modern Japan” dalam Asian Cultural Series 3,
Oktober 1962. Tokyo: International Christian University, hlm. 32. Lihat juga Religi Tokugawa,
7
Tsurumi, Kazuko dan Ichii Saburō, ed. 1974. Shisō no Bōken. Tokyo: Chikuma Shobo, hlm. 146-186.

4
simbolik antara Hare dan Ke, penduduk pedesaan berada dalam dunia kerja keras Ke
dan orang pegunungan diasosiasikan dengan Hare.
Sedangkan ritualisme adalah bentuk perlawanan dengan cara menyimpan
dalam batin nilai-nilai dan kepercayaan yang tak dapat dikompromikan, dan secara
lahiriah tetap menyesuaikan diri dengan pola-pola perilaku yang ada. Menurut
Yanagita, bentuk ini merupakan sebab tetap bisa bertahannya secara tersembunyi
kepercayaan-kepercayaan animistik lokal (minkan shinko) di kalangan orang-orang
pedesaan yang secara lahiriah menyesuaikan diri dengan pola-pola ortodoks agama
resmi, Shinto, pada masa sebelum dan ketika perang. Bentuk perlawanan ini
dilakukan di tingkat komunitas maupun individu. Tsurumi mengacu pada gaya hidup
yang dilukiskan dalam tulisan Yanagita, “Tōno Monogatari”, sebagai satu contoh
bagaimana orang-orang pedesaan secara lahiriah menghormati sistem Kekaisaran
tetapi secara batiniah menolaknya. Ritualisme berarti menyimpan dalam batin
kontradiksi-kontradiksi. Ini menggambarkan ditampungnya unsur-unsur yang saling
bertentangan, termasuk nilai, sistem kepercayaan dan reaksi-reaksi emosional, dalam
satu kepribadian.
Ritualisme ini berkaitan dengan tradisi yang membenci konflik dan
menghormati harmoni sosial. Karena terlibat dalam konflik berarti mengacaukan
harmoni sosial yang alamiah maka perbedaan pendapat harus tetap disimpan dalam
batin. Kecenderungan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk terselubung
terhadap nilai-nilai yang tidak dapat dikompromikan dan kepercayaan-kepercayaan
itu bisa dikatakan sebagai satu bentuk resistensi. Namun resistensi ini tidak otomatis
menjadikan perlawanan sebagai satu bentuk protes atau ketakpatuhan. Dalam hal ini
perlawanan harus dipahami sebagai bentuk kompromi yang hanya bersifat ritualistik.
Dengan begitu konflik tetap bisa dihindari. Kalaupun terjadi konflik harus diabaikan,
ditutup, dilupakan atau dihanyutkan bersama air (mizu ni nagasu) dengan melakukan
permintaan maaf secara ritual. Karena dengan melupakan atau memaafkan, kesatuan
kelompok akan dapat dipulihkan. Fenomena ini erat kaitannya dengan pengertian
amae yang menonjolkan arti penting ketergantungan dalam hubungan pribadi orang-
orang Jepang.
Tradisi perlawanan ritualistik ini pada akhirnya juga menghasilkan ciri
struktur sosial dan mental bangsa Jepang yang mempunyai banyak lapisan. Ciri
psikologis atau mental yang berkaitan dengan struktur sosial seperti itu ialah
kepribadian yang berlapis-lapis yang mampu menampung berbagai macam pola
inkonsisten atau yang saling berlawanan. Misalnya antara individu (shi) dan publik
(ōyake), sifat kemanusiawian (ninjō) dan kehormatan (giri), substansi (honne) dan
bentuk (tatemae), di dalam kelompok (uchi) dan di luar kelompok (soto), rahasia bagi
orang lain (ura) dan yang terbuka bagi semua orang (omote) dan sebagainya. Struktur
sosial dan mental yang menampung berbagai macam pola inkonsistensi semacam
itulah yang memunculkan ambiguitas dalam banyak aspek kebudayaan Jepang,
termasuk kesusastraan.

5
Ambiguitas dalam Kesusastraan Jepang Modern
Seperti telah disebutkan bahwa kesusastraan Jepang modern lahir bersamaan
dengan momentum modernisasi atau westernisasi pada masa Meiji. Pengaruh Barat
masuk dalam kesusastraan Jepang berawal dari penerjemahan secara besar-besaran
karya-karya dari Barat. Penerjemahan karya itu pada mulanya tidak secara khusus
ditujukan untuk memahami kesusastraan Barat, melainkan untuk memahami
kebudayaan serta ilmu pengetahuan Barat. Pengaruh Barat dalam kesusastraan Jepang
pertama kali terlihat dengan munculnya aliran realisme (genjitsushūgi). Realisme
mulai dikenal ketika Tsubouchi Shōyo (1859-1935) menulis buku Shōsetsu Shinzui
(Esensi Novel) pada tahun 1885. Tsubouchi Shōyo adalah sastrawan, penulis naskah
kabuki, kritikus, penerjemah dan editor majalah Waseda Bungaku (Waseda
Literature,1891-1898). Ia menerjemahkan karya lengkap Shakespeare, karya Sir
Walter Scott, The Bride of Lamer dan karya Bulwer Lytton, Riezi, the Last of the
Roman Tribunes. Naskah kabuki karya Shōyo berjudul Kiri Hitoha (A Paulownia
Leaf) dipengaruhi oleh karya Shakespeare dan Chikamatsu Monzaemon. Gagasan
realisme Tsubouchi Shōyo menolak cara berpikir lama yang menganggap bahwa
karya sastra harus menitik beratkan pada tema-tema kanzen chōaku, yang benar pada
akhirnya menang dan yang buruk pada akhirnya kalah. Ia berpendapat bahwa
kesusastraan tidak seharusnya digunakan sebagai alat propaganda politik maupun
moral.8 Karya realis dipahami Tsubouchi Shōyo sebagai karya yang didasarkan pada
observasi objektif dan penggambaran kehidupan manusia, dan menurutnya inti dari
novel adalah penggambaran sifat kemanusiaan dan kondisi sosial. Pemikiran
Tsubouchi Shōyo yang seperti itu adalah sebagai akibat dari pengaruh pemikiran-
pemikiran dalam karya sastra Inggris yang banyak diterjemahkannya. Meskipun
begitu, dalam teknik penulisannya karya realis Tsubouchi Shōyo masih dipengaruhi
oleh unsur-unsur kesusastraan lama seperti dalam haiku karya Masaoka Shiki. Gaya
realis dalam haiku Masaoka Shiki seringkali dimulai dengan penggambaran sawah,
ladang dan tanaman.9 Karya Tsubouchi Shōyo yang dianggap sebagai novel modern
Jepang pertama berjudul Tōsei Shosei Katagi (Semangat Pelajar Masa Kini, 1885),
menceritakan tentang kehidupan mahasiswa pada masa itu yang mencerminkan
kehidupan manusia modern.
Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun modernisasi Jepang sering dipandang
sebagai peniruan kebudayaan Barat, sebenarnya yang terjadi bukan sekedar peniruan,
melainkan asimilasi. Tsubouchi Shōyo tidak sekedar meniru konsep realisme yang
didapatnya dari karya-karya sastrawan Barat begitu saja, melainkan menggabungkan
konsep realisme Barat dengan gagasan dan teknik penulisan gaya realis a la haiku
dari sastrawan tradisonal Jepang. Gagasan realisme Tsubouchi Shōyo yang
merupakan hasil asimilasi itu bisa dikatakan berbeda dari konsep realisme Barat
maupun konsep ’realisme’ tradisional Jepang.

8
Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.
Jakarta: UI Press. Hlm. 159-160
9
Ibid., hlm. 205

6
Selanjutnya Futabatei Shimei (1864-1909), seorang pengikut Tsubouchi
Shōyō, memperbaiki teori Tsubouchi Shōyō dan mengkritik karyanya, Tōsei Shosei
Katagi dengan menulis buku berjudul Shōsetsu Sōron (Pedoman Umum Novel,
1885). Shōsetsu Sōron berisi pandangan Futabatei Shimei tentang novel, bahwa
novel seharusnya merefleksikan fenomena kehidupan dalam kondisinya yang paling
natural. Jadi, untuk menyampaikan makna dari fenomena kehidupan yang
sesungguhnya, novel harus menggunakan metode langsung. Artinya
penggambarannya harus langsung, akurat dan realistik. Realisme dalam hal ini
dipahami oleh Futabatei sebagai cara untuk mengekspresikan kejadian sesungguhnya
dalam kehidupan. Teori yang diungkapkan dalam Shōsetsu Sōron mengambil
dasar pemikiran dari kesusastraan Rusia. Futabatei Shimei sendiri adalah sastrawan
realis yang banyak menerjemahkan karya sastrawan Rusia Ivan Turgenev dan
beberapa sastrawan Rusia yang lain. Teori ini dipergunakan oleh Futabatei Shimei
dalam menulis novelnya yang berjudul Ukigumo (Awan Mengapung, diterbitkan
secara berseri dari tahun 1887 sampai tahun 1889). Dalam novelnya itu Futabatei
Shimei memperkenalkan gaya bahasa baru dalam menulis karya sastra dalam bahasa
tulis yang digabungkan dengan bahasa lisan, gembun icchi. 10
Gerakan gembun icchi yang diprakarsai oleh Futabatei Shimei ini dianggap
sebagai tonggak awal revolusi dalam kesusastraan Jepang. Gerakan ini juga
memperkenalkan gaya baru dalam teknik penulisan karya sastra dengan model
penulisan kanjikana majiribun yang menggabungkan karakter kanji dengan hirakana
dan katakana. Sebelumnya, sejak jaman Heian ada dua macam cara penulisan karya
sastra; yaitu kanbun; ditulis dengan huruf kanji dan dengan gaya bahasa China, dan
wabun atau kokubun; ditulis dengan huruf hiragana dan dengan gaya bahasa Jepang.
Kanbun digunakan untuk menulis karya serius atau resmi, dan buku-buku filsafat
serta ilmu pengetahuan. Kanbun lazimnya digunakan oleh sastrawan laki-laki.
Sedangkan wabun digunakan untuk menulis karya yang lebih bersifat sastra tak resmi
semisal nikki (buku harian) atau monogatari (cerita), dan lazimnya dipakai oleh
sastrawan perempuan.11 Gerakan gembun icchi yang digagas oleh Futabatei Shimei
membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan Jepang dan memunculkan
tokoh-tokoh baru dalam kesusastraan Jepang modern yang menulis dengan bahasa
dan susunan kalimat yang lebih segar.
Penggabungan konsep Barat dengan konsep tradisional dalam kesusastraan
Jepang terus berlanjut dalam aliran-aliran sastra yang muncul belakangan dalam
perkembangan kesusastraan modern Jepang. Meskipun lahir dari persentuhan antara
sastrawan Jepang dengan karya-karya sastra Barat, aliran-aliran sastra dalam
kesusastraan modern Jepang mempunyai karakteristik yang tidak selalu sama, dan
bahkan relatif berbeda dengan aliran yang sama di Barat. Aliran romantisme
(rōmanshūgi) pertama kali dikenal dalam kesusastraan modern Jepang saat

10
Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan Science Press.
Hlm. 26-27
11
Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.
Jakarta: UI Press. Hlm. 54

7
diterbitkannya buku kumpulan puisi berjudul Omokage (Bayangan, 1889) karya Mori
Ōgai (1862-1922). Omokage berisi terjemahan puisi karya Goethe, Heine,
Shakespeare, Byron dan pengarang lain. 12 Selain kumpulan puisi Mori Ōgai juga
menulis novel Maihime yang ditulisnya berdasarkan pengalaman hidupnya di Jerman.
Gaya bahasa yang dipakainya sangat indah, dengan kalimat singkat dan mengikuti
kaidah-kaidah bahasa.
Selanjutnya aliran naturalisme (shizenshūgi) muncul di Jepang antara lain
melalui karya-karya Kosugi Tengai (1865-1952) dan Nagai Kafu (1879-1959) yang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran sastrawan Perancis seperti Zola dan Maupassant.
Naturalisme yang muncul pada awal tahun 1910-an itu mendorong lahirnya genre
sastra shinkyōshōsetsu atau novel psikologis dan shishōsetsu atau ’I-novel’. 13
Shinkyōshōsetsu adalah novel yang menggambarkan pergulatan psikologis tokoh
dalam kehidupannya untuk mencapai kesempurnaan yang berakhir dengan baik
(happy ending). Sedangkan shishōsetsu yang dikenal juga sebagai novel otobiografi
dan novel pengakuan ini merupakan fiksi yang memotret secara jujur kehidupan
pengarangnya dan mempunyai kecenderungan nyata. Biasanya shishōsetsu
menceritakan pengalaman pahit penulis yang berakhir dengan tragedi. Ada yang
menganggap bahwa genre sastra shishōsetsu ini adalah hasil dari kegagalan sastrawan
Jepang memaknai fiksionalitas Barat. Namun kalau kita melihat tradisi dalam
kesusatraan Jepang yang memasukkan nikki (buku harian) sebagai satu genre sastra,
maka bukan hal yang aneh jika dalam karya sastra modern Jepang muncul genre
shishōsetsu. Karya yang dianggap mewakili kemunculan shishōsetsu adalah Futon
(Selimut, 1907) karya Tayama Katai (1871-1930). Novel bergenre shishōsetsu ini
masih dijumpai dalam kesusastraan Jepang sampai sekarang.
Aliran-aliran kesusastraan Barat yang diadopsi dalam kesusastraan Jepang
modern berkembang sesuai dinamika sosial, budaya dan politik yang terjadi di Jepang
pada masa-masa awal Meiji. Aliran neo-romantisme (shinromanshūgi) muncul
sebagai gerakan yang menentang naturalisme. Gerakan yang dimotori oleh Kitahara
Hakushū (1885-1942) dan Takamura Kōtarō (1883-1956) tersebut menekankan
unsur-unsur keindahan dalam kehidupan dan mempertentangkannya dengan ilmu
pengetahuan atau rasionalitas yang menjadi ukuran para naturalis dalam memandang
dunia. Sastrawan yang bergabung dalam gerakan neo-romantisme tersebut melakukan
pencarian keindahan melalui emosi dan menganut pandangan seni untuk seni. Pada
tahun 1910 juga muncul kelompok Shirakaba 14 yang dimotori oleh Mushanokōji
Saneatsu (1885-1976) dan Shiga Naoya (1883-1971). Neo-romantisme muncul

12
Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan Science Press.
Hlm. 41.
13
Ibid., hlm. 76-77
14
Shirakaba atau Shirakabaha (1910-1923) adalah aliran dalam kesusastraan modern Jepang yang
dimotori oleh sekelompok sastrawan antara lain; Mushano Kōji Saneatsu (1885-1976), Shiga Naoya
(1883-1971), Arishima Takeo (1878-1923), Satomi Ton (1888-1983), dan Nagoya Yoshirō (1888-
1961). Kelompok sastrawan tersebut menerbitkan majalah sastra Shirakaba pada bulan April 1910.
Karya dari para sastrawan anggota Shirakaba sangat dipengarui oleh humanisme Perancis. Gerakan
kelompok ini meletakkan nilai tertinggi pada ego individual

8
sebagai gerakan yang menerima dan menggabungkan semua pandangan yang muncul
sebelumnya. 15
Gerakan yang muncul selanjutnya adalah neo-realisme (shingenjitsushūgi).
Gerakan ini beranggapan bahwa tidak ada lagi pilihan baru dalam cara pandang
terhadap dunia atau kehidupan manusia karena semua sisi telah dimunculkan oleh
gerakan sastra sebelumnya. Namun kelompok gerakan neo-realisme berusaha
mencari teknik dan gaya baru dalam penulisan karya sastra. Sastrawan aliran neo-
realisme yang paling menonjol adalah Akutagawa Ryūnosuke (1892-1927). K arya-
karya Akutagawa yang sering kali mengambil bahan dari karya klasik Ujishui
Monogatari dan Konjaku Monogatari mempunyai gaya yang unik. Akutagawa
mengolah cerita sejarah dalam karya klasik tersebut dengan membuat penafsiran baru
sehingga melahirkan novel baru bergaya satire. Karya-karya Akutagawa yang seperti
itu menandai babak baru gaya penulisan cerita pendek dalam kesusastraan Jepang
modern.16
Kesusastraan Jepang mengalami dinamika yang pesat dalam
perkembangannya setelah Perang Dunia I. Perang Dunia I yang terjadi pada akhir
masa Taisho sampai awal masa Showa membawa perubahan sosial, ekonomi dan
politik di Jepang. Kecenderungan demokrasi yang bertambah kuat, dan golongan
proletar yang bertambah besar menciptakan pertentangan kelas dalam masyarakat.
Perubahan masyarakat yang terjadi itu memicu lahirnya kesusastraan proletar yang
banyak mengangkat tema tentang pertentangan kelas dalam masyarakat. Di sisi lain,
kelompok sastrawan individualis menikmati sastra dalam lingkungannya sendiri
dengan melakukan pembaruan-pembaruan terhadap kesusastraan tradisional sehingga
muncul aliran pembaharuan dalam kesusastraan Jepang. Meskipun bertolak belakang,
kedua aliran sastra ini tumbuh bersamaan dan masing-masing menunjukkan dinamika
yang menggembirakan. Di samping kesusastraan proletar dan kesusastraan aliran
pembaruan, kesusastraan tradisional yang sudah ada sejak jaman sebelum Meiji juga
berkembang bersama-sama. Namun sejak peristiwa kebakaran besar akibat gempa
bumi Kanto pada tahun 1923 (Taishō 12) pemerintah untuk sementara melarang
kesusastraan proletar. Kemudian sejak terjadi peristiwa Manchuria tahun 1931
(Showa 6) dan Jepang menganut paham fasisme, semua yang berbau pemikiran kiri
dikikis habis dan kelompok sastrawan beraliran proletar dibubarkan. Aliran
pembaruan juga tidak berumur panjang karena lemahnya semangat sastra. 17
Pada masa fasisme, sejak Jepang berperang dengan Manchuria sampai Jepang
terlibat dalam Perang Dunia II melawan Amerika, muncul kesusastraan perang.
Kesusastraan perang yang ditulis berdasarkan pengalaman perang pengarangnya ini
bersifat sangat politis. Pemerintahan fasis Jepang pada masa itu banyak mengirim
sastrawan ke medan perang dan menganjurkan penulisan karya sastra untuk
kepentingan perang. Akibatnya perkembangan kesusastraan Jepang agak terhambat.
Kemunduran dalam perkembangan kesusastraan modern Jepang saat itu ditandai

15
Ibid., hlm. 80-103.
16
Ibid., hlm. 107.
17
Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.
Jakarta: UI Press. Hlm. 156

9
dengan munculnya kembali aliran romantik dan banyaknya sastrawan yang berusaha
kembali pada kesusastraan lama dan menulis cerita-cerita sejarah. Tapi ada beberapa
sastrawan yang menentang anjuran itu dan menulis karya mereka secara diam-diam.
Tanizaki Junichirō termasuk sastrawan yang menulis secara diam-diam karya yang
tidak sesuai dengan anjuran pemerintah Jepang saat itu dan segera mengedarkannya
begitu perang berakhir. 18 Novel Sasameyuki (diterjemahkan dalam bahasa Inggris
dengan judul Makioka Sisters) karya Tanizaki Junichirō yang berlatar perang Jepang
Machuria diterbitkan dalam bentuk serial pada bulan Januari 1943. Namun setelah
dua seri, novel serial ini dilarang dengan dalih bahwa isinya tidak sesuai dengan
situasi nasional saat itu.19
Baru pada masa setelah Perang Dunia II kesusastraan Jepang mulai bangkit
lagi seiring dengan situasi sosial politik Jepang yang membaik dan adanya kebebasan
pers. Pada masa itu kesusastraan proletar dan aliran tradisional muncul kembali,
dengan nama dan gaya yang berbeda. Yaitu kesusastraan aliran demokrasi
(minshūshūgi bungaku) dan kesusastraan aliran pasca perang (sengoha bungaku).
Kesusastraan aliran pasca perang merupakan perkembangan dari kesusastraan aliran
tradisional. Kelompok sastrawan angkatan pasca perang yang muncul setelah Jepang
mengalami kekalahan dalam perang Dunia II ini menandai awal periode kesusastraan
Jepang kontemporer. Dunia kesusastraan angkatan pasca perang sangat dipengaruhi
oleh eksistensialisme. Selain itu kesusastraan angkatan pasca perang sering kali
memadukan masalah politik dan seksual dengan sastra, serta cenderung menolak
tradisi shishōsetsu.20
Kecenderungan eksistensialisme terutama sangat terlihat pada generasi
pertama angkatan pasca perang (1940-an), seperti Shiina Rinzo (1911-1973) dan
Haniya Yutaka (1909-1997). Generasi kedua angkatan pasca perang (1950-an) seperti
Abe Kōbō (1924-1993) dan Hotta Yoshie (1918-1998) mengangkat masalah
eksistensi melalui tema sehari-hari dalam kebanyakan karya mereka sehingga
memunculkan warna baru yang berbeda dari generasi sebelumnya. Selanjutnya
generasi ketiga angkatan pasca perang (1960-an) meski tetap mempertanyakan
eksistensi manusia, mulai memadukan unsur politik ke dalam karya sastra. Sastrawan
yang termasuk dalam generasi ini antara lain Mishima Yukio (1925-1971) dan Oe
Kenzaburo (1935- ), peraih hadiah nobel di bidang sastra pada tahun 1994.21 Karya-
karya eksistensialis yang mewarnai kesusastraan Jepang masa itu kebanyakan ditulis
dengan gaya realis yang merefleksikan fenomena kehidupan manusia melalui karya-
karya yang bertemakan kehidupan sehari-hari atau kondisi sosial dan politik saat itu.
Kesusastraan Jepang kontemporer tumbuh bersama bangkitnya Jepang setelah
kalah dalam Perang Dunia II. Jepang yang sering digambarkan seperti phonix yang
terlahir dari abu tak membutuhkan waktu lama untuk bangkit dari kekalahannya pada

18
Ibid., hlm. 230.
19
Tsukimura, Reiko. 1976. “The Sense of Loss in The Makioka Sisters”. Dalam Approaches to the
Modern Japanese Novel. Edited by KinyaTsuruta & Thomas E. Swann. Tokyo: Sophia University.
20
Ichiko, Teiji, et.al. 1995. 『日本文学全史6:現代』 2nd ed. Tokyo: Gakutosha. Hlm. 420.
21
Ibid., hlm. 422-436. Lihat juga Koono, Toshiroo, et.al. 1972. 『昭和の文学』. Tokyo: 有斐閣. Hlm.
230-232.

10
Perang Dunia II. Tak sampai 30 tahun, pada dekade 1960-an sampai 1970-an
pertumbuhan ekonomi Jepang mencapai tingkat yang luar biasa tinggi. Sastrawan
kontemporer Jepang adalah mereka yang tumbuh dewasa ketika Jepang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini
selain dipandang sebagai kisah sukses Jepang di mata dunia ternyata juga menyimpan
sisi gelap.
Pada masa Meiji, sisi gelap dari kesuksesan modernisasi Jepang diangkat oleh
Natsume Sōseki dalam novelnya Yume Jūya yang menggambarkan seolah bangsa
Jepang modern terperangkap dalam dunia tanpa dewa pelindung. Sisi gelap dari
modernisasi itu dalam karya-karya Natsume Sōseki digambarkan dalam wujud
penindasan teknologi, keterasingan individu, dan krisis identitas. 22 Modernisasi
Jepang pada abad ke-20 juga menyimpan harapan sekaligus mimpi buruk yang penuh
kegelisahan dan ketakutan akan masa depan. Kemajuan Jepang di bidang ekonomi
dan teknologi adalah sesuatu yang menggiurkan, namun sewaktu-waktu bisa meledak.
Murakami Haruki menangkap kegelisahan itu dalam karyanya 『世界を終りとハード
ボ イ ル ド . ワ ン ダ ー ラ ン ド 』 (1985, diterjemahkan dengan judul Hard Boiled
Wonderland and the End of the World) yang menceritakan tentang bangsa Jepang
dari masa depan. Dunia masa depan itu merefleksikan asimilasi antara pengaruh
Barat dalam dunia modern Jepang yang telah ditinggalkan oleh dewa pelindungnya.
Tetapi berbeda dengan tokoh ‘aku’ dalam Yume Jūya yang tetap melanjutkan
hidupnya dalam dunia modern yang ditolaknya, tokoh ‘aku’ dalam novel Haruki
Murakami di atas memutuskan untuk meninggalkan dunia modern di akhir abad ke-
20 yang didominasi oleh high-tech untuk mengasingkan diri ke dalam fantasi utopia
pikirannya sendiri.23
Dalam perkembangan kesusastraan Jepang kontemporer, perbedaan antara
kesusastraan murni (junbungaku), kesusastraan picisan (taishūbungaku), dan
kesusastraan populer (tsūzokubungaku) tidak begitu jelas lagi. Genre-genre sastra
baru mulai bermunculan. Karya populer tidak terbatas pada karya fiksi berbentuk
novel atau puisi saja, melainkan juga manga (komik) dan film animasi. Tema-tema
tentang ambiguitas antara tradisi dan modernitas muncul dalam karya sastra dalam
bentuk alienasi, kehilangan atau pencarian identitas, benturan antara masa lalu dan
masa kini, sampai tema-tema tentang postkolonial yang menempatkan Jepang pada
posisi antara Barat dan Timur. Dalam karya populer tema ambiguitas antara harapan
dan kegelisahan atau ketakutan itu muncul dalam bentuk kisah-kisah tentang utopia,
distopia, seksualitas, homo seksualitas, alien atau monster. Film animasi (anime)
berjudul Akira adalah satu contoh animasi yang menggambarkan sisi gelap
modernitas. Film yang dirilis pada tahun 1988 ini menceritakan versi distopia dari
kota Tokyo di tahun 2019 setelah luluh lantak akibat perang Dunia III tiga puluh
tahun sebelumnya. Animasi yang bernada cyberpunk ini melihat masa depan sebagai
mimpi buruk.

22
Napier, Susan J. 1996. The Fantastic in Modern Japanese Literature: the subversion of modernity.
London & New York: Routledge, hlm. 2.
23
Ibid., hlm.4

11
Simpulan
Kelahiran kesusastraan Jepang modern yang bersamaan dengan momen
modernisasi Jepang sejak restorasi Meiji membuat dinamika perkembangannya tak
dapat dipisahkan dengan proses modernisasi yang dialami oleh bangsa Jepang.
Seperti diketahui, dalam sejarahnya Jepang mengalami dua kali momen kebangkitan,
yaitu pertama restorasi Meiji, momen kebangkitan dari ketertutupan negara selama
260 tahun. Kedua, momen kebangkitan setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Dalam kedua momen kebangkitan itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Jepang terbilang drastis. Perubahan drastis seperti itu tentunya menbawa dampak
terhadap kondisi mental dan sosial bangsa Jepang. Dengan karakter sosial dan mental
yang mempunyai banyak lapisan dan mampu menampung berbagai macam pola
inkonsisten atau yang saling berlawanan yang dimiliki oleh bangsa Jepang, dampak
dari perubahan drastis itu memang tidak selalu muncul dengan jelas di permukaan.
Namun seperti yang disinyalir oleh Oe Kenzaburo dalam pidato nobelnya, dua kutub
ambiguitas antara tradisi dan modernitas itu telah membelah bangsa Jepang modern
sejak jaman Meiji sampai sekarang, membekas seperti luka yang sangat dalam.
Pada awal perkembangan kesusastraan Jepang modern, kebudayaan Barat
yang begitu deras masuk ke Jepang melahirkan aliran-aliran sastra baru yang
merupakan asimilasi antara kesusastraan Barat dan kesusastraan tradisional Jepang.
Konsep-konsep dalam kesusastraan Barat diadopsi dan dimaknai sesuai dengan
kondisi sosial dan budaya Jepang saat itu. Kondisi menjadi modern secara drastis di
satu sisi, dan tradisi yang masih bertahan di sisi yang lain, memicu lahirnya banyak
karya sastra yang mengangkat tema tentang kehilangan atau pencarian identitas,
dilema antara tradisi dan modernitas, atau benturan antara masa lalu dan masa kini.
Kesusastraan Jepang kontemporer lahir bersamaan dengan momen kebangkitan kedua,
yaitu periode setelah perang. Kondisi Jepang yang terpuruk setelah jatuhnya bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki yang diikuti kebangkitan ekonomi dan teknologi
yang begitu mencengangkan dalam waktu yang tak begitu lama melahirkan satu
bentuk ambiguitas yang lain. Antara harapan dan ketakutan. Sastrawan Jepang
kontemporer yang lahir pada masa perang dan tumbuh dewasa saat pertumbuhan
ekonomi Jepang mencapai puncaknya menangkap kegelisahan dan ketakutan itu.
Mereka memotret sisi gelap modernisasi dan kemajuan Jepang melalui karya sastra
murni (serius), karya sastra picisan maupun karya populer semacam manga atau
anime dengan menggambarkan Jepang masa depan sebagai dunia yang penuh utopia,
distopia dan alienasi.

~~~

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Aruga, Kizaemon. 1971. 「 公 と 私 義 理 と 人 情 」 , dalam Aruga Kizaemon
Chosakushū vol. 11. Tokyo: Miraisha.
2. Bellah, Robert N. 1962. “Value and Social Change in Modern Japan” dalam Asian
Cultural Series 3, Oktober 1962. Tokyo: International Christian University.
3. Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan
Science Press.
4. Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N.
Tjandra dkk. Jakarta: UI Press
5. Ichiko, Teiji, et.al. 1995. 『日本文学全史6:現代』 2nd. ed. Tokyo: Gakutosha.
6. Kamishima, Jirō, ed. 1973. 『日本近代化の特質』. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō
7. Koono, Toshiroo, et.al. 1972. 『昭和の文学』. Tokyo: 有斐閣.
8. Napier, Susan J. 1996. The Fantastic in Modern Japanese Literature: The subversion
of modernity. London and Newyork: Routledge
9. Oe Kenzaburo. 1995.『あいまいな日本の私』 Tokyo: 岩波新書.
10. -----. 1995. Japan, The Ambiguous, and Myself: The Nobel Prize Speech and Other
Lecture. Tokyo: Kodansha International .
11. Tsurumi, Kazuko dan Ichii Saburō, ed. 1974. 『 思想の冒険』. Tokyo: Chikuma
Shobo.
12. Tsuruta, Kinya & Thomas E. Swann (ed). 1976. Approaches to the Modern Japanese
Novel. Tokyo: Sophia University.

13

Anda mungkin juga menyukai