Anda di halaman 1dari 14

IDEOLOGI & PANDANGAN KESUSASTRAAN JEPANG

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Sanbungaku

Oleh:

Luthfan F Rizqi

2015.114.019

Muhammad M

2015.114.093

Gilang Ramadhan A

2015.114.095

Kartika Syarifah

2015.114.098

Fifi Sabrina

2018.114.102

SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING

YAYASAN PARIWISATA INDONESIA-ABA

2018
PENDAHULUAN

Jepang adalah suatu negara di Asia yang memiliki bermacam kesusastraan sejak abad
ke 8. Bila dibandingkan dengan negara lain, sejarah kesusastraan Jepang bukanlah sejarah
singkat. Dalam sejarah yang begitu panjang itu, genre atau bentuk kesusastraan Jepang
ditradisikan dengan keadaan yang hampir tidak mengalami perubahan sampai sekarang. Sifat
seperti itu dapat dikatakan sebagai salah satu sifat khas dari kesusastraan Jepang.

Pada kelompok enam ini, kami membahas tentang “Ideologi dan Pandangan
Kesusastraan Jepang”. Dengan beranggotakan sebanyak empat orang, kami membagi tugas
kepada anggota masing – masing untuk mencari bahan materi yang dibutuhkan, yaitu dengan
mengidentifikasi ideology pada zaman - zaman kesusastraan Jepang, durasi pengerjaannya
dilakukan selama dua minggu. Lalu, pada dua minggu berikutnya kami mendapatkan satu
anggota tambahan dari kelompok sebelumnya, karena ia tidak mengikuti presentasi pada
kelompoknya.

Setelah kelompok kami menjadi beranggotakan lima orang, kami membagi kembali
tugas kepada masing-masing anggota kelompok. Pada awal pengerjaan tugas, kami mengalami
kesulitan karena minimnya informasi yang kami dapatkan, baik pada buku bacaan maupun
pada sumber online. Dengan durasi pengerjaan selama dua minggu, kami mendapatkan sumber
informasi dari repository STBA, buku ideology kesusastraan Jepang, dan buku online. Setelah
mendapatkan informasi yang cukup, kami mulai megerjakan power point (ppt) sebagai bahan
presentasi. Pada pengerjaan ppt ini, selain mencari ilustrasi gambar yang sesuai dengan materi,
kami pun berusaha berlatih agar performa presentasi yang akan kami lakukan dapat menarik
dan mudah dipahami audiens.
ISI

JENIS-JENIS IDEOLOGI KESUSASTRAAN JEPANG

MASURAOBURI DAN TAOYAMEBURI

Dalam buku Nihimanabu, Kamo Mabuchi, seorang kokugakusha (ahli perjepangan)


zaman pertengahan mengadakan perbandingan gaya puisi Manyoshu dengan memakai
terminologi masurao dan taoyame. Terminologi ini kemudian menjadi populer dan dipakai
secara luas. Untuk membedakan gaya puisi, dia mencetuskan teori dengan memakai istilah
yang menggambarkan dua citra yang bertolak belakang, yakni masurao yang berarti pria yang
hebat dan taoyame yang berarti wanita yang lemah lembut. Menurut Mabuchi, Manyoshu
memiliki ciri utama masuraoburi, gaya jantan yang khas pada zaman Nara, yang menganggap
bahwa sifat terus terang, sederhana, dan jujur adalah sifat yang patut dijunjung tinggi.

"Negeri Yamaha (nama daerah Nara zaman dahulu) adalah negeri masurao, dan wanita
tundruk terhadap masurao. Karena itu puisi Manyoshu semuanya mengikuti gaya masurao."
(dari Nihimanabu)

Di lain pihak, Kokinshu memiliki ciri-ciri taoyameburi, yakni gaya kewanitaan yang
anggun, lembut, dan hangat.

"Negeri Yamashiro (nama Kyoto zaman dahulu) adalah negeri taoyame, laki-laki juga meniru
wanita. Oleh karena itu, puisi Kokinshu memiliki sosok taoyame.” (dari Nihimanabu)

Berdasarkan pendapat Mabuchi itu dapat diketahui dengan mudah bahwa teknik
ekspresi Manyoshu bersifat langsung, sedangkan Konkinshu bersifat tidak langsung atau
berbelit. Penelitian Manyoshu yang dilakukan Mabuchi mempunyai arti penting dalam sejarah
kesusastraan Jepang karena dia menganjurkan agar diadakan introspeksi terhadap puisi Jepang.
Dia mengatakan bahwa rinen sudah dimiliki pada zaman ketika Manyoshu ditulis, yaitu rinen
yang berarti sifat jantan dan merupakan semangat khas Jepang purba, yang tidak dipengaruhi
kebudayaan impor Cina. Mabuchi berpendapat bahwa semangat ini ketika muncul dalam waka,
akan terlihat dalam bentuk masuraoburi.

Waktu untuk mengumpulkan dan menulis waka dalam Manyoshu berlangsung selama
seratus sekian puluh tahun. Oleh karena itu, agak mustahil untuk mengetahui rinen yang ada
dalam waka selama kurun waktu lebih dari satu abad. Itulah sebabnya segera timbul kritik
terhadap ditetapkannya rinen kesusastraan Manyoshu dan Kokinshu dengan meminjam citra
pria dan wanita berdasarkan teori Mabuchi ini. Misalnya, kritik dari murid Mabuchi sendiri
yaitu Motoori no Norinaga, ahli kesusastraan Jepang terkemuka pada zaman pramodern. Dalam
bukunya Uiyamafumi, Motoori menganggap bahwa pendapat Mabuchi yang berlandaskan sifat
pria dan wanita itu adalah suatu yang tidak penting. Sebenarnya Mabuchi menemukan rinen
lain dalam Manyoshu. Dia mengatakan bahwa puisi zaman dahulu terbit dari makogoro (hati
tulus) orang-orang pada zamannya. Namun, tanpa tahu apa sebabnya, makogoro merupakan
rinen kesusastraan ini dalam jangka waktu yang cukup lama tidak begitu diperhatikan orang.
Hanya Hisamatsu Senichi yang kemudian memperhatikannya, seperti yang dikatakannya
dalam Manyo Kenkyushi sebagai berikut.

"Ketika magokoro, yakni gerak hati yang tulus diekspresikan secara langsung, terasa adanya
irama yang membentang kuat. Inilah yang dianggap sebagai ciri khas Manyoshu."

MONO NO AWARE (AWARE)

Dalam Genji Monogatari bahkan dalam cerita-cerita sesudahnya, ideologi sastra


berkisar pada mono no aware (dapat disingkat aware) yang berarti rasa iba. Menurut Norinaga,
seorang negarawan pada zaman Edo, ideologi sastra pada Genji Monogatari adalah aware (iba)
dalam arti yang luas menaruh iba terhadap tokoh yang terdapat dalam cerita. Dalam Genji
Monogatari terdapat gambaran kesedihan sebagai rasa iba dan beberapa orang tokoh seperti
Kiritsubo, Yugano Arino ue, Murasaki no ue, dan Ukibune; kesedihan terhadap perpisahan
dengan kekasihnya, kesedihan hati Fujitsubonyobo karena berpisah hidup di Rokujo, nasib
buruk yang menimpa Yosan no Moya. Dapat pula berarti kesedihan dari para pegawai rendahan
atau golongan menengah, seperti tragedi dari Ukibune. Semuanya menggambarkan kesedihan
seorang tokoh wanita. Kemudian, gambaran kesedihan dari tokoh Hikaru Genji dan gambaran
tragedi dari Kaoru sebagai hamba yang bekerja mati-matian mengabdikan diri seluruh jiwa dan
raga demi majikannya. Oleh karena itu, cerita Genji Monogatari yang merupakan gambaran
mata rantai dari kegembiraan dan kesedihan manusia, cenderung merupakan gambaran
peristiwa yang dialami pria dan wanita yang dapat menimbulkan belas kasihan atau rasa iba
hati pembaca.

Lebih jauh lagi mono no aware dapat diartikan sebagai gambaran suasana kebimbangan
yang tersisip melayang-layang dalam kabut yang pekat. Gambaran suasana seperti itu pun
dapat diumpamakan pada rasa kesedihan seorang ibu menjelang kematian anaknya, Kiritsubo,
dalam Genji Monogatari. Kiritsubo adalah seorang wanita cantik berseri-seri yang tergambar
pada raut wajahnya. Tubuhnya kurus membuat orang menaruh iba padanya, dan orang yang
berkata pun seolah-olah tidak didengar. Hidup susah sama sekali tidak tampak pada raut
mukanya. Ini lukisan seorang tokoh saat menjelang kematiannya. Melihat akan hal itu orang
akan iba padanya. Ia tidak berbuat keliru atau membuat kesal orang lain. Ia selalu memandang
sesuatu dengan sinar mata yang menyenangkan. Tampaknya, daripada mengungkapkan
perasaan hati yang suram lebih baik baginya untuk selalu menampakkan wajah yang berseri-
seri. Kiritsubo di hadapan ibunya selalu menampilkan sesuatu yang alami, yang baik, dan yang
tidak menyentuh hati ibunya. Rasa iba dengan menutupi penampilan wajah, bahkan menutupi
apa yang terasa akibat omongan orang lain atau rasa iba atas perasaan apa yang dilihat secara
hakiki ada di depan mata.

Mono no aware (rasa iba) dalam buku Makura no Soshi dilukiskan dengan dua orang
tokoh remaja pria dan wanita yang berpakaian indah berwarna hitam. Mereka sedang dilanda
cinta dan menjalin hubungan pada malam hari. Pelukisannya dalam bentuk alam seperti akhir
musim gugur, awal musim dingin, dan senja hari. Manusia, alam, atau binatang merupakan
lukisan hati yang lembut, rasa iba, tidak kekal, rasa haru, dan lain-lain. Perasaan simpati dan
iba yang timbul dalam hati sanubari manusia yang dalam terhadap sesuatu atau kejadian di
alam ini dapat dikatakan awaremono. Aware pada seorang pria atau wanita dalam berpakaian
warna kelam atau hitam pun dapat menimbulkan rasa iba atau aware naru mono. Dengan
demikian, rasa iba yang menggambarkan kesedihan dari seorang tokoh manusia yang selalu
tabah. Arti kata aware itu sendiri adalah sesuatu yang mengandung unsur kejiwaan yang
menyelinap di lubuk hati sanubari yang dalam.

Menurut perkembangannya, kata aware mengandung arti yang luas, terutama dalam
tema dan ideologi sastra pada zaman Edo dan karya-karya sastra sebelumnya. Misalnya, kata
aware pada zaman Heian diungkapkan sebagai okashi atau omoshiroi yang berarti lucu atau
menarik. Oleh karena itu, mono no aware berarti kesedihan atau rasa iba terhadap kesedihan
atau nasib buruk yang menimpa diri orang lain; sedangkan dalam cerita mempunyai arti
kesedihan dari seorang tokoh.
OKASHI

Kata okashi mirip dengan arti kata saru bahasa Jawa. Okashi berarti lucu atau menarik
dan dipakai sebagai lawan dari aware (sedih). Kata okashi sebagai ideologi atau tema sastra
timbul bersama-sama dengan kata aware atau mono no aware, yaitu pada zaman Heian. Bila
dalam cerita Genji Monogatari diungkapkan ideologi sastra mono no aware, berarti dalam
cerita menggambarkan lukisan hati yang cerah, suasana serta pemandangan yang indah. Dari
perasaan inilah timbul rasa tertarik pada keindahan, rasa lucu terhadap suatu kejadian. Adapun
kata okashi dalam waka dan haikai renga mengandung unsur kokkei (lucu) dan share yang
memiliki arti sama dengan saru dalam bahasa Jawa, yaitu unsur kelucuan dan rasa tertarik pada
sesuatu yang kurang senonoh, seperti dalam sharebon. Pada zaman Edo, selain dalam waka,
unsur okashi ini terdapat pula dalam kyoka dan sen-ryu.

YUGEN DAN USHIN

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, estetika yang khas pada kesusastraan zaman
Heian adalah aware dan okashi. Pada kesusastraan zaman pertengahan (zaman Kamakura dan
Muromachi), estetika ini dipertahankan terus dan dikembangkan secara sistematis berkat jasa
Fujiwara Shunzei dan Fujiwara Teika, anaknya. Pada zaman Heian, aware dan okashi
merupakan estetika anggun karena berlandaskan kehidupan bangsawan yang berpusat di kota
Kyoto, maka masuraoburi — yang merupakan estetika sejak munculnya Manyoshu pada
zaman Nara — terbentuk berlatar belakang kedaerahan dan kehidupan rakyat biasa. Salah satu
di antara penyair yang dapat dikatakan mewakili ciri khas estetika Manyoshu adalah shogun
pemerintahan Kamakura, yakni Minamoto no Sanetomo.

Estetika yang dimiliki bersama oleh semua jenis seni budaya pada zaman pertengahan
adalah yugen dan ushin. Kedua estetika ini memiliki persamaan sebagai simbol estetika, karena
pada dasarnya masing-masing memiliki yojo, yakni keindahan yang tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan. Bila mengambil taman sebagai contoh bentuk
kebudayaan zaman pertengahan terdiri dari gunung, hutan dan lembah dalam bentuk miniatur.
Simbol dan yojo yang terlihat dalam taman yang merupakan miniatur gunung, hutan, dan
lembah itu adalah bentuk estetika taman ini. Bentuk estetika ini adakalanya disebut yugen,
kadang-kadang disebut juga ushin.
Fujiwara Shunzei menganggap bahwa yugen merupakan ideologi tertinggi sastra.
Menurutnya, yugen adalah perpaduan dari aware (keindahan yang tidak semarak) dan
taketakakibi (keindahan yang semarak), walaupun sebenarnya dia memberi penekanan pada
segi taketakakibi. Adapun putranya, Fujiwara Teika, menganggap bahwa ushin merupakan
ideologi tertinggi sastra, dan ushin ini sama seperti yugen, dianggap sebagai perpaduan aware
dan taketakakibi. Namun berlainan dengan Shunzei, Teika memberi penekanan pada segi
aware. Dengan demikian, baik yugen maupun ushin adalah estetika — yang pengertiannya dari
segi pandangan kesusastraan — merupakan perpaduan antara aware yang memiliki
keanggunan dalam kesederhanaa dan taketakakibi yang memiliki kemegahan dan
kecemerlangan serta kaya akan simbolisme dan yojo. Estetika ini dapat juga dikatakan sebagai
perwujudan estetika gaya, zaman pertengahan, yang isinya berdasarkan tradisi kesusastraan
Jepang seperti tertuang dalam Manyoshu, Kokinshu, dan Genji Monogatari. Jadi, walaupun
Shunzei dan Teika memberi penekanan pada segi yang berbeda, hal ini terjadi karena yugen
maupun ushin adalah estetika yang memiliki sifat simbolisme.

Lawan ushin adalah mushin. Pada zaman pertengahan — sejalan dengan populernya
renga — terdapat istilah ushin renga dan mushin renga. Dalam hal ini ushin renga mengacu
pada puisi renga yang serius dan memiliki nilai sastra yang tinggi, sedangkan mushin renga
mengacu pada puisi renga yang tidak begitu serius karena mengandung unsur gurauan. Dengan
demikian, mushin yang menonjolkan unsur gurauan ini mewarisi tradisi okashi yang terdapat
pada zaman Heian. Tradisi okashi ini lambat laun mempengaruhi dunia haiku. Namun dewasa
ini, ushin umumnya berarti karya yang memiliki bobot filsafat, sedangkan mushin tidak.

MUJO

Kata mujo merupakan terjemahan dari anitya (bahasa Sanskerta) yang berarti semua isi
bumi ini akan lenyap atau berubah bentuk, tidak ada yang kekal. Istilah ini khusunya ditujukan
pada kehidupan manusia yang tidak kekal dan pada suatu waktu pasti berakhir dengan
datangnya ajal yang tidak diketahui waktunya. Kata anitya (a = berfungsi meniadakan, nitya =
selalu, kekal, abadi) masuk ke Jepang bersamaan waktunya dengan masuknya agama Budha.
Dalam dasar agama Budha terdapat suatu ajaran yang mengatakan bahwa kenyataannya dalam
hidup ini, manusia selalu terbentur pada sesuatu yang tidak kita kehendaki. Ini diekspresikan
dengan terminologi ku (dalam bahasa Sanskerta = dukha), yang tidak dapat dihindari oleh
seluruh makhluk di dunia ini, yang diekspresikan selanjutnya dengan istilah issai kaiku
(semuanya menderita, semuanya mati). Kalau akar ku ini digali terus-menerus maka akan
sampai pada pengertian mujo, sedangkan ku yang sering diterjemahkan dengan pengertian
kematian atau penderitaan juga merupakan sebagian dari pengertian mujo. Dalam agama
Budha sering dikatakan shogyo mujo. Pengertian gyo dalam hal ini adalah segala sesuatu yang
diciptakan. Dengan demikian, shogyo mujo artinya adalah semua yang diciptakan memiliki
sifat mujo, tidak kekal. Karena sifat ketidakkekalan ini merupakan sifat sesungguhnya dari
semua yang ada di bumi maka untuk memahaminya diperlukan shugyo, yakni gemblengan baik
secara fisik maupun mental.

Ajaran agama Budha sering diterima secara emosional di Jepang sehingga mujokan
(pandangan tentang mujo) yang seharusnya diartikan secara logis (logika), tetapi diterima
sebagai mujokan (perasaan tentang mujo) yang diartikan secara pathos (emosional). Oleh
karena itu, mujo diterima di dalam hati orang Jepang sebagai padanan terminologi hakanasa
dan utsuroiyasusa, yang keadaannya secara lebih jelas lagi dilukiskan pada ajaran yang
berbunyi "shosha hitsumetsu, seisha hissui, dan esha jori" yang berarti sesuatu yang hidup itu
harus mati, sesuatu yang mencapai puncak itu harus jatuh, dan sesuatu yang bertemu itu harus
berpisah. Pada akhir zaman Heian sampai zaman pertengahan, sesuatu yang sebelumnya
dilukiskan dengan memakai terminologi hakanasa sering diekspresikan dengan memakai
terminologi mujo. Salah satu di antaranya yang sangat terkenal adalah kata-kata yang ada pada
bagian pembukaan buku Hojoki karya Kamono Chomei antara lain,

Yuku kawa no nagare wa taezu shite, shikamo, moto no mizu ni arazu ... Yo no naka ni aru,
hito to sumika to, mata kaku no gotoshi ... Sono aruji to sumika to, mujo o arasou sama, iwaba
asagao no tsuyu ni kotonarazu.

Air sungai mengalir tiada henti, namun airnya tak pernah sama ... Manusia dan hartanya yang
ada di dunia juga tak berbeda ... Manusia yang saling berperang memperebutkan sesuatu yang
tidak kekal, akan sirna juga seperti embun di bunga morning glory.

Tidak sedikit karya sastra Jepang dan bahkan karya sastra berbagai negara di dunia ini
yang dilukiskan dengan jalan cerita dalam bentuk hanayaka (semarak dan megah), tetapi
sebenarnya secara keseluruhan memiliki tema mujo, suatu tema yang sangat disenangi oleh
orang Jepang. Mujo khususnya terasa sangat dekat di hati orang Jepang karena dikaitkan
dengan perubahan empat musim shunkashuto yang sangat nyata.
SABI

Sabi berasal dari kata sabu sebagai kata kerja dan sabishii sebagai kata sifat. Sabi berarti
sepi dan tenang dan arti dalam kehidupan manusia ialah ketenangan yang ingin dicapai oleh
orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan dan hal-hal keduniawian. Dasar pemikiran
sabi adalah ketenangan dan kesepian yang diungkapkan dalam bidang kesenian. Sabi banyak
diungkapkan dan berkembang di dalam waka, renga, nohgakusho, chanoyu, dan haikai. Dalam
perkembangannya, sabi dan wabi dipakai bersama-sama dan saling berkaitan.

Pada mulanya sabi dan wabi dianggap sebagai perasaan jiwa yang kurang sempurna
dan dianggap tidak baik oleh masyarakat. Akan tetapi, sejak akhir zaman Heian sampai awal
zaman Kamakura, pengertian negatif terhadap sabi dan wabi mulai berubah menjadi positif.
Pada zaman Heian, para inja atau orang-orang yang meninggalkan kehidupan ramai dan
kemudian pergi ke gunung untuk menyembunyikan diri agar mendapat ketenangan menjadi
sangat populer. Sejak itu barulah sabi dan wabi yang mempunyai nilai-nilai estetika mulai
diakui oleh masyarakat. Sejak muncul inja yang terkenal, yaitu Saigyo dan Kamono Chomei,
kedudukan sabi menjadi makin mantap dan positif. Hal itu terjadi karena Fujiwara Toshinari,
salah seorang penyair besar, memberi penilaian tinggi terhadap sabi yang terdapat dalam waka
yang ditulis oleh Saigyo. Sejak saat itu sabi menjadi salah satu ideologi sastra dan estetika
Jepang. Sabi kemudian berkembang dengan pesat. Sabi yang paling terkenal pada masa itu
adalah sabi yang ditulis oleh Fujiwara Teika dalam buku Shinkokinshu.

Contoh:

Miwataseba Hana mo momiji mo Nakari

Keri ura no Tomoya no uki no Yugure

Sejauh mata memandang tak kelihatan bunga maupun momiji,

hanya sebuah gubuk di pantai pada waktu senja musim gugur.

Sabi kemudian berkembang lagi pada zaman pramodern dan dipopulerkan oleh Matsuo
Basho di dalalm puisi haikai. Tulisan-tulisan Basho ternyata mendapat pengaruh dari teori puisi
Saigyo, Toshinari, dan kawan-kawan sehingga Basho memperlakukan sabi sebagai inti puisi,
warna dan emosi dalam puisi haikai. Basho memberikan nilai terbaik untuk warna sabi kepada
puisi Kyorai.

Contoh: Hanamori ya shiraki Kashira wo Tsuki awase


Pada zaman itu sabi bukan saja mempunyai nilai ketenangan, tetapi juga mendapat nilai
tambah yaitu kecerahan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa Basho sampai saat ini
hanyalah memberikan penilaian secara umum. Dia tidak memberikan definisi secara mendetail
tentang sabi sehingga murid-murid Basho mengalami kesulitan dan tidak mempunyai satu
pengertian yang bulat mengenai sabi. Pada zaman modern seperti sekarang ini, haikai sudah
berkurang, tetapi sabi masih dapat ditemukan dalam upacara minum teh atau chanoyu.
Fenomena ini membuktikan kepada kita bahwa sabi masih tetap hidup dan melekat dalam jiwa
orang-orang Jepang.

WABI

Wabi berasal dari kata wabu yang berarti emosi yang lahir dari kekurangan harta dan
keadaan yang tidak diinginkan. Wabi juga mempunyai pengertian yang sama dengan sabi.
Persamaan lain dari kata yang berasal dari pikiran susah dan kehidupan miskin ini adalah wabi,
dan banyak terdapat dalam waka, renga, haikai, noraku dan chanoyu. Hanya saja, wabi sangat
diagungkan sebagai ideologi sastra dalam upacara minum teh (chanoyu). Kata-kata wabi
sampai akhir zaman pertengahan belum ditemukan sebagai ideologi sastra, tetapi di dalam
gerakan dan ungkapan chanoyu mulai menonjol. Juko, salah seorang tokoh chanoyu membuat
kesimpulan dan pengertian tentang chanoyu. Ia mengatakan bahwa chanoyu adalah dasar dari
keindahan, wabicha. Dari sinilah ideologi sabi dan wabi mulai dikembangkan dan dapati dilihat
sebagai suatu yang indah. Pada akhirnya melalui seorang pendeta Budha yang bernama Senno
Rikyu, sabi berkembang dan mencapai puncaknya. Estetika wabi lahir dari orang yang sudah
menikmati hidup di kota besar kemudian menyingkir ke pedalaman untuk merasakan
ketenangan hidup di alam pedalaman.

EN ATAU YOEN

Kalau dilihat dari arti kata dasar huruf Kanji, en mempunyai arti warna keindahan, daya
tarik. Keindahan dari tubuh seorang wanita serta huruf Kanji ini banyak digunakan untuk
keindahan hubungan antara wanita dan pria, sedangkan kata yoen digunakan untuk
mengekspresikan en yang teramat indah. Dalam kumpulan puisi Manyoshu pada zaman Nara
kata en atau yoen banyak digunakan dengan arti seperti di atas. Pada zaman Heian arti kata en
atau yoen digunakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan berbagai macam keindahan.
Jadi, bukan hanya keindahan yang timbul dari seorang wanita atau dari hubungan wanita dan
pria saja. Hal ini dapat dibuktikan dalam kalimat dari Genji Monogatari, yaitu:

Yuki ga Futte En Naru tasogarenotokini

En pada kalimat tersebut mengungkapkan keindahan alam/pemandangan ketika salju


turun. Jadi keindahan di sini dipakai untuk menggambarkan keindahan yang dimiliki oleh alam,
bukan keindahan wanita atau hubungan wanita dengan pria. Selain contoh di atas, ada contoh
lain yang dapat dikemukakan di sini, yaitu contoh yang juga diambil dari Genji Monogatari,
yaitu:

Mo itte shimata ka tokuo miokutte mitatokoro. Sono hitono Sugata ga Nantomo lenai Kurai ni
En de atta.

En pada kalimat di atas mengungkapkan daya tarik keindahan orang yang akan jauh
meninggalkan orang-orang terdekatnya dan daya tarik tersebut dirasakan juga oleh orang yang
mengantar pergi sampai tubuh orang yang diantar tersebut tidak terlihat lagi. Di sini terlihat
bahwa ada rasa indah/daya tarik seseorang yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dari contoh-
contoh di atas dapat diketahui bahwa kata en atau yoen pada zaman Nara masih dipakai dalam
arti yang sama pada waktu Jepang mengimpor tulisan Kanji dari Cina. Jadi, tidak ada
perubahan arti dari bahasa asal ke dalam bahasa peminjamnya. Akan tetapi, memasuki zaman
Heian — waktu itu tulisan maupun bahasa Jepang sudah mulai berkembang — maka arti en
atau yoen digunakan untuk mengungkapkan keindahan dalam berbagai aspek ada tambahan
arti pada kata dasar sehingga dapat digunakan dalam arti yang lebih luas. Kata lain selain en
dan yoen dalam kaitannya dengan keindahan pada zaman Heian adalah digunakannya kata
aware dan mono no aware. Tentu saja satu sama lain terdapat hubungan dalam mengungkapkan
suatu karya sastra.

Orang yang mengungkapkan keindahan pada zaman Heian adalah Fujiwara Shunzei
dan Fujiwara Teika. Ayah dan anak ini sangat peka dalam ungkapan dan pandangan tentang
keindahan, seperti yang dapat dilihat dalam yugen karangan Shunzei dan ushin karangan Teika.
Bagi mereka yang sangat peka dalam merasakan keindahan, yoen lebih banyak digunakan;
sebab arti keindahannya lebih daripada en sendiri dan keindahan yang ingin diungkapkan
dengan menggunakan kata yoen adalah keindahan yang penuh dengan misteri atau keindahan
yang penuh dengan suatu kerahasiaan. Dengan demikian, orang akan penasaran atau ingin
melihat rahasia dari sebuah keindahan itu. Baik itu keindahan yang menggambarkan alam
semesta maupun keindahan yang muncul dari wajah maupun tubuh seorang wanita. Jadi, dapat
dikatakan bahwa yoen itu bukan hanya sekedar indah, tetapi di balik keindahan itu seolah-olah
ada daya tersembunyi yang penuh dengan suatu rahasia.

FUGA DAN FURYU

Biasanya fuga berada dalam puisi dan prosa. Dalam puisi haikai Matsuo Basho, fuga
ini pun dapat ditemukan. Arti kata fuga itu sendiri adalah anggun, luwes, dan romantik;
sedangkan lawan katanya adalah zoku (keduniawian). Pada mulanya sebutan fuga di Cina
dipakai untuk orang yang mempunyai wajah dan penampilan yang tampan. Sementara fuga
merupakan konsep estetika yang artinya sama dengan myabi (elegan). Kedua kata tersebut —
fuga dan furyu — dalam bahasa Jepang secara mendasar dapat dikatakan mengikuti arti kata
dasar Cina. Arti kata-kata tersebut mempunyai keistimewaan yang sangat besar, yang
berlawanan artinya dengan imaji zoku (adat, kebiasaan, keduniawian, sekuler). Oleh karena itu,
batas berlakunya kata-kata tersebut termasuk luas seperti mono no aware, okashi, mugen, dan
ushin. Fuga merupakan istilah dasar kebudayaan, kesusastraan, dan kesenian. Adapun kata
furyu itu sendiri, dari zaman Nara sampai sekarang artinya diperluas sambil dipakai berkali-
kali.
KESIMPULAN

Bentuk kesusastraan Jepang boleh dikatakan hampir tidak mengalami perubahan


sampai sekarang. Sifat khas dari kesusastraan Jepang seperti Tanka (puisi pendek) sebagai
salah satu contohnya sampai sekarang masih tetap hidup juga bentuk-bentuk kesusastraan
lainnya sebagai ekpresi emosi dan gerak hati orang Jepang. Ideologi kesusastraan yang muncul
dalam sastra Jepang tetap hidup bersama dengan berkembangnya ideologi baru lainnya yang
ada pada jaman berikutnya. Walaupun ideologi kesusastraan Jepang klasik dan modern
mempunyai perbedaan. Kesusatraan modern tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari nilai
estetika yang mempunyai kecenderungan lebih menekankan pada filsafat pemikiran, aliran,
atau metode kesusastraan klasik. Dengan memahami karya sastra Jepang dan Ideologi
kesusastraan merupakan bahasa kunci atau suatu dasar yang dapat dipergunakan untuk
mengapresiasikan kesusastraan Jepang itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Herniwati. DIKTAT MATA KULIAH 日 本 文 学 KESUSASTRAAN JEPANG. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Mandah, Darsinah. 1992. Pengantar Kesusastraan Jepang. Jakarta: Grasindo

Richard. 2015. The Way of Elegance. Diambil dari:


https://stilinthestream.com/2015/07/27/the-way-of-elegance/amp/. (Diakses 13
Oktober 2018)

Team Daftar Buku. 2016. Kumpulan Buku. Diambil dari:


https://daftarbuku.blogspot.com/2016/04/pengantar-kesusastraan-jepang.html
( Diakses pada 13 Oktober 2018)

Anda mungkin juga menyukai