A. Upacara ritual magis sebagai cikal bakal kesusastraan Jepang
Sudah merupakan suatu gejala umum di dunia dewasa ini bahwa upacara ritual magis pada zaman purba dianggap sebagai tempat lahirnya kesusastraan. Upacara ritual magis adalah suatu upacara khas manusia purba untuk mewujudkan keinginan utama manusia yakni memperoleh kehidupan yang mantap dan untuk menaklukkan rasa takut akan kematian. Menurut antropologi budaya dewasa ini keadaan psikologis yang melahirkan ritual magis seperti itu juga secara umum masih terlihat pada manusia modern maka dalam masyarakat purba yang miskin teknik dan pemikiran yang dibutuhkan untuk mewujudkan keinginan gejala seperti itu dianggap sebagai gejala zaman purba yang menonjol. Bagi manusia purba kematian adalah suatu titik lewat tsukaten dan dianggap terjadi berulang-ulang seperti siklus. Dengan mengadakan upacara kematian tsuka gishiki secara ritual magis manusia menaklukkan rasa takut akan kematian. Dari segi lain yakni kehidupan, karena mantapnya kehidupan akan diperoleh bila keadaannya kelahiran dan panen raya, maka untuk memohon nya diadakan upacara ritual magis. Kedua jenis upacara itu merupakan inti dari upacara ritual magis dan perpaduan keduanya membentuk dasar utama kebudayaan masyarakat purba. Cikal bakal kesusastraan juga ada di dalamnya seperti yang sudah disebutkan tadi. Struktur upacara ritual magis terdiri dari dua bagian yakni tindakan dan bahasa. Bagian bahasa inilah yang merupakan titik permulaan kesusastraan. Namun diperkirakan bahwa bahasa yang dipakai dalam upacara itu adalah bahasa khusus bukan bahasa yang dipakai sehari-hari. hal itu terjadi karena tujuan diadakannya upacara ritual magis adalah untuk mewujudkan keinginan atau nafsu seperti yang disebutkan di atas. Dengan demikian bahasa yang dipakai haruslah diyakini memiliki kemampuan magis. Karena sudah pasti bahwa bahasa yang dipakai oleh manusia purba dalam upacara untuk menaklukkan rasa takut akan kehidupan dan kematian adalah bahasa yang dituntut memiliki kemampuan magis yang lebih tinggi maka dalam upacara itu selalu diadakan perubahan demi penyempurnaan bahasa yang dipakai. dengan demikian timbullah teknik untuk memperbaiki dan menyempurnakan kata-kata yang melahirkan bahasa hare, yakni bahasa khusus yang dibedakan dari bahasa sehari-hari yang hanya mementingkan fungsi komunikasi. Kesusastraan dapat dikatakan lahir dan berkembang dari bahasa hare ini. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan lahirnya kesusastraan yakni teori upacara magis seperti di atas teori bermula dari kerja dan teori bermula dari emosi. Menurut teori bermula dari kerja kesusastraan timbul di tempat kerja massal dan diperkirakan bahwa bahasa dasarnya adalah bahasa ke yakni bahasa yang dipakai sehari-hari. Teori tersebut tidak dipakai dalam buku ini karena walaupun diakui bahwa mungkin saja terjadi irama pada lagu lagu rakyat yang dinyanyikan untuk membangkitkan semangat dan konsentrasi kerja orang-orang yang bekerja secara masa namun ada asumsi bahwa tindakan yang wujudnya bekerja tidak akan menghasilkan kesempatan memperbaiki dan menyempurnakan kata-kata yang diperlukan untuk membentuk kesusastraan. Adanya hubungan antara hal-hal yang termasuk ke seperti bahasa biasa maupun aktivitas pekerjaan ke dalam kesusastraan tersebut kemungkinan terjadi sesudah kesusastraan lahir. Hubungan antara emosi dengan lahirnya kesusastraan pun sudah ada sejak kokinshu kanajo. Menurut Origuchi Nobuo dalam bukunya Kodai Kenkyuu, bagaimanapun besarnya ekspresi emosional sehari-hari tidak akan melahirkan kesusastraan bila tidak dipadukan dengan upacara. akan tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan mengabaikan emosi maka kesusastraan tidak akan lahir. Hisamatsu Hisakazu dalam bukunya Manyoshu to Sono Zengo (Manyoshu dan sekitarnya) mencoba memadukan teori upacara ritual magis dengan teori bermula dari emosi dan dia berpendapat bahwa yang merupakan tempat lahirnya kesusastraan adalah upacara. Namun pada waktu itu emosi lah yang berfungsi sebagai penggeraknya. Terhadap pendapat itu Kanai Seiichi dalam buku Nihongo Bungaku Zenshuu 1 mengatakan bahwa emosi dan upacara berpadu kuat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Emosi melahirkan upacara mengangkatnya tinggi- tinggi dan menunjangnya. dengan pendapat itu dia beranggapan bahwa teori bermula dari emosi sebenarnya sudah termasuk dalam teori upacara. teorinya ini merupakan teori yang paling logis diantara teori-teori yang memperdebatkan masalah kelahiran kesusastraan. Kembali kepada masalah bahasa yang dipakai dalam upacara. Bahasa yang memiliki kekuatan magis tidak pernah dilupakan. Bahasa itu diwariskan secara terus-menerus karena manusia pada masyarakat purba mempercayai adanya tenaga magis dalam kata-kata. hal ini sama seperti terminologi filsafat yang bersumber pada pemikiran baru dan asli yang terus dipakai selama berabad-abad pada zaman modern. walaupun upacara ritual magis sudah tidak di praktek kan lagi namun bahasanya tetap dipakai. berdasarkan karya kesusastraan tertulis tertua yang tertinggal dewasa ini misalnya Kojiki, Nihon Shoki, Manyoshu, dan Kaifusho, dapat diperkirakan bahwa bahasa upacara terbagi menjadi dua. Jenis yang pertama adalah bahasa yang menempati bagian dalam atau inner part dari upacara yang dipakai terus dengan fungsi menunjang kebesaran upacara itu sendiri. Norito yang pada zaman Heian akhirnya dibukukan sumbernya adalah bahasa yang dipakai pada upacara seperti yang sudah diterangkan di atas. Jenis lainnya menempuh jalan yang sudah terpisah dari upacara ritual magis. Seperti yang disebutkan sebelumnya diperkirakan bahwa kata-kata yang dipakai pada upacara berfungsi menguntungkan yakni menaklukkan rasa takut akan kehidupan maupun kematian sedangkan kesusastraan lahir ketika melenceng dari fungsi seperti itu. Dengan kata lain kesusastraan lahir ketika secara tidak sadar manusia merasakan fungsi lain pada bahasa yang dipakai dalam upacara itu yakni ditemukannya kegembiraan hidup dalam bahasa itu sendiri. Upacara ritual magis lambat laun menjadi hilang karena perubahan struktur masyarakat yang disebabkan pemakaian barang-barang logam, perkembangan teknik alat-alat pertanian, dan sebagainya. Struktur masyarakat seperti itu merupakan landasan bagi tempat lahirnya kesusastraan yang bahasanya tidak ada lagi hubungannya dengan upacara. Dengan demikian muncullah kesusastraan yang berdiri sendiri.
B. Kesusastraan lisan (Koshoo Bungaku)
Sudah merupakan pendapat universal dan kenyataan sejarah bahwa kesusastraan lahir jauh sebelum ditemukannya tulisan. Keadaan seperti itu berlaku juga bagi Jepang. Kesusastraan bersumber dari ritual magis dan jenis kesusastraan ini sebelum tertulis disebut kesusastraan lisan. Menurut Origuchi Nobuo, kesusastraan lisan pertama-tama harus memiliki nilai yang membuatnya pantas untuk disampaikan dari mulut ke mulut. Selanjutnya, Yoshimoto Takaaki dalam bukunya Kyodo Genshoron mengatakan bahwa kesusastraan lisan seharusnya lahir berdasarkan emosi dan hasrat atau nafsu yang dimiliki bersama dalam kelompok karena kesusastraan itu sendiri lahir dari kelompok masyarakat purba. Dengan kata lain bentuk awal kesusastraan lisan bukanlah kata-kata yang hanya memiliki arti bagi perseorangan saja tetapi merupakan bahasa yang berisi emosi semua anggota kelompok masyarakatnya. Kesusastraan lisan diakui memiliki nilai bila dia lebih bersifat kelompok, bukan karena bersifat pribadi. Seperti sudah disinggung diatas bahwa bagian utama ritual magis adalah upacara kematian dan upacara panen, dan kombinasi kedua upacara ini melahirkan berbagai jenis upacara. Diantara yang paling utama dan berhubungan dengan kelahiran dan perkembangan kesusastraan Jepang menurut Saigo Nobutsuna dalam Nihon Kodai Bungaku adalah upacara akil balik atau inisiasi. Adapun Origuchi Nobuo menganggap yang utama adalah upacara Dewa Marebito. Marebito adalah dewa atau tokoh yang akan datang dari luar komunitas, mungkin juga roh nenek moyang atau tokoh menakutkan yang datang dari daerah asing. Tipe marebito yang datang dari daerah asing di luar komunitas itu dapat ditemukan pada novel utama klasik seperti Taketori Monogatari, Ise Monogatari, Genji Monogatari, serta Koshoku Ichidai Otoko dan pada novel modern misalnya Izu no Odoriko karya Kawabata Yasunari dan Maihime karya Mori Ogai dan sebagainya.
Sumber: Mandah, Darsimah dkk. (1982). Pengantar Kesusastraan Jepang. Jakarta: