Disusun oleh:
Alfina Nur Aini (185110600111012)
Arsyi Septianingrum R.W. (185110600111018)
Geldita Alaiha (185110600111021)
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "KESUSASTRAAN
JEPANG ZAMAN JOODAI (JOODAI BUNGAKU)". Dan tak lupa juga kami ucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Lailatul Husna S.Pd., M.Pd. yang telah
membimbing dan memberikan tugas ini, serta kepada pihak-pihak yang telah ikut
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan
pembaca terkait dengan kesusastraan Jepang yang ditemukan pada Zaman Joodai.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki makalah
ini nantinya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya nenek moyang dari peradaban Jepang moderen kini (Yamato) mulai
menempati Jepang pada Zaman Jomon, mereka kemudian mulai disebut dengan nama
Yayoi-jin (orang-orang Yayoi) untuk membedakan dengan penduduk asli. Mereka
dikatakan datang dari Asia dan bermigrasi ke Jepang tepatnya pada sekitar tahun 800-900
sebelum masehi. Populasi dari Yayoi-jin yang mulai meluas meredam populasi penduduk
lokal dari Jomon. Meski demikian tidak sampai pada periode tahun 500 setelah masehi
masyarakat Jepang baru mengenal huruf dan tulisan.
Tulisan pertama kali dikenalkan oleh imigran dari Cina dan Korea. Awalnya dimulai
dengan terjalinnya hubungan pemerintahan Yamato dengan Dinasti Han di Cina pada
abad ke-3 (Zaman Kofun), hubungan ini berlangsung selama hampir 600 tahun membuat
pengaruh Cina sangat kuat pada peradaban Jepang. Diantara itu, pada abad ke-5
pemerintahan Yamato resmi mengaplikasikan huruf Cina sebagai huruf tulis Jepang. Hal
inilah yang mengawali munculnya kesusastraan di Jepang.
1.3. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Garis Besar Kesusastraan Jepang pada Zaman Joodai (Joodai Bungaku)
A. Batasan Waktu
Pada Zaman Joodai, huruf yang dipakai untuk menulis karya sastra masih
secara keseluruhannya adalah huruf Cina, sampai pada Zaman Heian, huruf yang
digunakan mulai bergeser pada huruf yang dibuat sendiri oleh pemerintahan Jepang
(Hiragana dan Katakana).
2.2. Shinwa, Densetsu dan Setsuwa
a. Shinwa
Shinwa atau mitologi jepang merupakan sebuah cerita berunsur dewata yang
menceritakan mengenai asal usul lahirnya alam semesta, manusia, budaya, serta
negara. Shinwa tergolong dalam karya sastra yang bersifat surealistik.
Susunan dari mitologi Jepang ini terbilang lengkap karena antara cerita satu dan
lainnya saling berkesinambungan.
b. Densetsu
Densetsu atau bisa disebut sebagai legenda merupakan sebuah cerita berlatar
belakang kejadian nyata yang ditambahkan dengan unsur fiksi atau imajinasi. Hal
inilah yang membuat densetsu memiliki kesan lebih nyata jika dibandingkan dengan
shinwa.
Contoh densetsu dapat ditemukan pada bagian isi dan penutup kojiki. Pada bagian
tersebut diceritakan mengenai Jinmu Tennou beserta keluarganya yang memiliki
kekuatan luar biasa layaknya sosok Dewa. Selain itu juga terdapat densetsu Yamato
Takeru no Mikoto yang menceritakan tentang kejayaan Dinasti Yamato.
c. Setsuwa
Setsuwa merupakan suatu cerita yang memiliki sifat konkrit dan lebih teratur.
Berbeda dengan shinwa maupun densetsu, tokoh pada setsuwa tidak terbatas pada
dewa-dewi ataupun orang penting. Dalam setsuwa bisa juga terdapat tokoh
binatang, tumbuhan, ataupun seorang tokoh baru. Selain itu, dewa-dewi yang
diceritakan dalam setsuwa sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung,
melainkan sejajar dengan manusia biasa.
Setsuwa sendiri dapat berupa cerita dengan unsur kenyataan ataupun berupa cerita
dengan unsur surealis. Isi dari setsuwa cenderung menggambarkan tentang
perasaan, harapan, serta pemikiran dari masyarakat biasa.
Setsuwa dapat ditemukan pada beberapa bagian dalam Kojiki dan Nihon Shoki, akan
tetapi kebanyakan setsuwa ditemukan dalam Fudoki.
Kojiki merupakan karya sastra tertua yang ada di jepang. Pada awalnya, karya sastra
disampaikan melalui mulut ke mulut dan disebut disebut sebagai Kooshoo Bungaku
( 口 承 文 学 ). Sebagai akibat dari penyampaian lisan ini, pada Kooshoo Bungaku
yang sama sekalipun sering kali terdapat perbedaan kecil. Kemudian, setelah Jepang
mulai mengenal dan menggunakan huruf dari Cina, Kooshoo Bungaku mulai
berkurang. Masyarakat mulai beralih dengan menuliskan Kooshoo Bungaku ke
dalam Kojiki, Nihon Shoki, dan Fudoki. Maka dari itu Kojiki juga disebut sebagai
penanda berakhirnya masa Kooshoo Bungaku.
Kojiki dan Nihon Shoki mulai ditulis atas perintah Kaisar Tenmu (天武天皇, Tenmu
Tennō). Setelah kematian beliau di tahun 683, Kojiki dianjutkan penulisannya oleh
tiga kaisar setelahnya sampai pada tahun 712 AD. Karena pada saat itu huruf yang
ada hanyalah kanji dari Cina, penulisan Kojiki pun seluruhnya menggunakan huruf
kanji. Akan tetapi untuk bahasanya sendiri tetap menggunakan bahasa Jepang. Cara
penulisan yang hanya mengambil bunyi dari karakter kanji ini disebut sebagai
manyougana.
Pada dasarnya penulisan Kojiki lebih menekankan pada unsur subjektivitas dan
keindahan sastra yang dihasilkan. Hal yang dituliskan dalam Kojiki ini umumnya
berupa cerita mengenai asal-usul alam semesta, kelahiran dewa-dewi, terbentuknya
daratan dan negara Jepang, serta bagaimana keagungan keluarga kaisar. Selain itu
juga terdapat shinwa, densetsu, setsuwa, serta Kayoo.
Kamitsumaki memiliki arti Kitab dari Tuhan. Pada bagian inialah diceritakan
tentang shinwa asal-usul pembentukan surga dan alam semesta.
Nakatsumaki berarti isi kitab. Pada bagian ini terdapat berbagai densetsu atau
legenda tentang kekuasaan Kaisar Jinmu dan Kaisar Oojin yang dimulai sejak abad
ke 5. Nama-nama kaisar mulai dari kaisar ke-2 sampai kaisar ke-15 juga dituliskan
pada bagian ini.
Pada bagian penutup ini masih diceritakan mengenai densetsu atas pemerintahan
jepang sejak jaman kepemimpinan Kaisar Nintoku sampai dengan pemerintahan
Suiko di awal abad ke-7. Pada bagian akhir, diceritakan juga mengenai kaisar ke-16
sampai dengan kaisar ke-33. Selain itu juga terdapat sedikit setsuwa. Disebutkan
juga bahwa pada bagian penutup ini dewa-dewi sudah tidak terlalalu diagungkan
sepertihalnya pada bagian 1 dan 2.
Nihon Shoki merupakan buku sejarah Jepang tertua setelah Kojiki. Buku ini
diselesaikan pada Zaman Nara. Nihon Shoki disusun atas perintah dari Kaisar
Tenmu (673-686), dan dilaksanakan di bawah pimpinan Pangeran Toneri pada
tahun ke 4 pemerintahan kaisar Yooroo (720). Buku ini terdiri dari 30 jilid dengan
tambahan satu jilid silsilah. Bagian-bagian Nihon Shoki adalah sebagai berikut:
1. Jilid 1 dan 2 menceritakan tentang mitologi, dan terkenal dengan jidaiki (jaman
mitologi).
2. Jilid 3 sampai 30 menceritakan tentang kejadian-kejadian dari jaman kaisar
Jinmu sampai kaisar Jitoo secara kronologis. Antara lain kerusuhan Jinshin
(672), pengenalan agama Budha oleh kaisar Kinmei (703), pemindahan ibukota
oleh kaisar Genmei ke Heian-kyo (710), dan hubungan diplomatik dengan Cina
dan Korea.
3. Jilid tambahan menceritakan tentang silsilah dalam keluarga kaisar.
Fudoki merupakan laporan kuno yang berisikan tentang kondisi geografis suatu
daerah yang ditujukan pada kaisar. Selain itu, dalam Fudoki juga dituliskan
berbagai shinwa dan setsuwa. Banyaknya setsuwa yang menceritakan mengenai
asal-usul nama daerah menjadi salah satu ciri khas dari Fudoki.
Fudoki pertamakali disusun atas perintah dari Tenno pada tahun 6 Wado.
Penulisan Fudoki menggunakan bahasa Cina klasik yang berkesan puitis.
a. Manyooshuu
Di dalam Manyooshuu juga ada yang diperkirakan berasal dari Nikki (catatan
harian), Uta Monogatari (cerita dalam bentuk pantun), roman dan pantun yang
berisi cerita rakyat. Manyooshuu terdapat 3 bagian, yaitu Zooka (pantun biasa),
Soomon (pantun cinta), dan Banka (pantun yang sedih). Jumlah pantun yang
terdapat dalam Manyooshuu kira-kira 4.500 buah, terdiri dari 260 buah Chooka, 60
Sedoka, sebuah Renggatai, sebuah Bussokusekikatai dan selebihnya adalah Tanka.
b. Norito
Norito sebagai kesusastraan Joodai adalah 27 pasal yang tertera dalam Eiginshiki
jilid 8 dan Nakatomi no Yogoto. Norito sendiri pada dasarnya merupakan
sekumpulan mantera sederhana yang kemudian dijadikan sebagai ritual menyembah
dewa-dewi. Seiring berjalannya waktu, mulailah ditambahkan doa-doa
pendahuluan dan penutup serta diperindah gaya bahasanya.
Pembacaan Norito ini haruslah dengan penuh perasaan dengan hitmat agar para
dewa yang mendengar dapat merasakan kesungguhan serta ketulusan pembacanya.
c. Senmyoo
Senmyoo adalah dekrit kekaisaran yang berisikan tentang gambaran dari keadaan
zaman pada masa itu. Berbeda dengan Norito yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan para dewa, Senmyoo ini digunakan sebagai media komunikasi antara kaisar
dengan rakyatnya. Maka dari itu, selain dituliskan tentang gambaran keadaan
zaman, pada Senmyoo juga dituliskan terkait aturan-aturan seperti penghuman bagi
penghianat, serta penghargaan bagi orang berjasa.
Senmyoo dituliskan dengan huruf kanji yang disertai keterangan dalam huruf kecil
manyougana di sampingnya. Cara penulisan tersebut disebut sebagai Senmyougaki.
Sedangkan gaya bahasa yang digunakan adalah Kokubuntai.
d. Kayoo
Kayoo ialah nyanyian yang disampaikan oleh alat ucap dan dinikmati oleh indra
pendengaran. Sampai saat ini, Kayoo zaman Joudai merupakan bagian penting
dalam kesusastraan Jepang kuno. Kayoo memiliki hubungan yang erat dengan
Shudan Bungaku (Karya kesusastraan yang dihasilkan oleh beberapa sastrawan),
termasuk semua jenis pantun sebelum adanya Waka.
Nyanyian Kayoo ini yang menjadi titik terciptanya Waka. Kayoo yang sampai saat
ini masih ada termuat dalam Kojiki, Nihonshiki, Fudoki, Shoku Nohongi, Kinkafu,
dan sebagainya. Pada awalnya, Kayoo tercipta dari ungkapan hati yang diungkapkan
dengan kata yang sangat sederhana. Kata-kata inilah yang bila digabung menjadi
bentuk nyanyian Kayoo.
Kayoo yang masih terkenal sampai sekarang misalnya adalah pantun yang
menceritakan kemenangan pasukan Jinmu Tenno seperti: “Imawayo Imawayo
Aashiyao Imadanimo Agoyo Imadanimo Agoyo” (dari Jinmuki – catatan Jinmu
Tenno), dan nyanyian yang menjelaskan kegemaran dewa-dewa ketika pintu batu
Amanoiwato terbuka, yaitu: “Aware Anao Moshiro Anatano Shianasa Yakeoke”
(dari Kogoshuui) dan sebagainya.
Pada Kayoo dalam 1 bait, suku kata yang digunakan berjumlah 2 sampai 9. Yang
banyak digunakan adalah bait yang terdiri dari 5 dan 7 suku kata. Selain itu, ada
pula yang terdiri dari 2, 3 dan 6 bait suku kata. Cara menyusunnya biasanya dimulai
dari bait yang pendek, kemudian diteruskan dengan bait yang pendek dan diakhiri
dengan bait yang panjang. Namun, ada kalanya malah sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Masa Joodai Bungaku merupakan suatu masa yang panjang sekali yang awalnya hanya
mengandalkan media dari mulut ke mulut. Kesusastraan yang disampaikan secara lisan
ini dalam bahasa Jepang disebut Kooshoo Bungaku. Kooshoo Bungaku lahir dari
kelompok masyarakat dan dinikmati oleh kelompok masyarakat pula. Karena
penyampaiannya secara lisan, maka Kooshoo Bungaku ini bersifat tidak stabil dan
berubah-ubah. Pengaruh Kooshoo Bungaku menjadi berkurang berkat pemakaian tulisan
Kanji dan adanya kesadaran individual.
Isoji, Asoo. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi), Penerbit Universitas
Indonesia.
Aston, W.G. 1903. A History of Japanese Literature. New York: D. Appleton and Company.
Chamberlain, Basil Hall. 1882. A translation of the "Ko-ji-ki" or Records of ancient matters.
Yokohama, Jepang: R. Meiklejohn and Co., Printers. (terdapat e-book pada web:
www.sacred-texts.com)