Anda di halaman 1dari 16

PAPER SEJARAH JEPANG MODERN

PERAN FEMINISME DALAM BIDANG SASTRA

Disusun oleh :

Fathia Aufa Syahidah 1906368430

KEBUDAYAAN INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2020
Pendahuluan

Masyarakat Jepang yang kental patriarkhi menempatkan perempuan pada kedudukan yang
rendah. Kaum perempuan mengalami begitu banyak diskriminasi di berbagai aspek
kehidupan. Masuknya paham feminisme dari Barat pada zaman Meiji, mengetuk tokoh-tokoh
seperti Tsuda Umeko, Kishida Toshiko, Fukuda Hideko dan di kemudian hari Hiratsuka
Raicho dan Yosano Akiko untuk berjuang memperbaiki kondisi kaum perempuan. Namun,
pergerakan mereka tidak serta merta dapat diterima oleh berbagai pihak yang masih sangat
konservatif dengan kedudukan perempuan. Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana paham
feminisme mempengaruhi kedudukan perempuan Jepang pasca Perang Dunia II, termasuk
bagaimana kedudukan perempuan pada masa Tokugawa hingga Taisho juga masuknya
feminisme di Jepang. Melalui metode kepustakaan penulis mengumpulkan data-data dari
berbagai refrensi yang berkaitan dengan objek penelitian tersebut. Selanjutnya berdasarkan
data-data tersebut, penulis menjelaskan bagaimana kedudukan perempuan di Jepang pada
zaman Tokugawa hingga pasca Perang Dunia II kemudian menganalisir bagaimana
feminisme mempengaruhi kedudukan perempuan Jepang. Hasil dari penelitian menunjukan
bahwa feminisme sebagai paham memiliki pengaruh dalam membangun kesadaran kaum
perempuan Jepang untuk berjuang atas hak-hak mereka. Feminisme menanamkan keberanian
pada kaum perempuan untuk berserikat, bergerak dan merubah kedudukan mereka, meski
secara legalitas perubahan atas kondisi diskriminatif pada perempuan dilakukan oleh
kebijakan-kebijakan Amerika, feminismelah yang memberikan perubahan yang sangat
mendasar bagi perempuan-perempuan Jepang; perlawanan atas patriarkhi. Kata kunci:
Feminisme, Perempuan, Kedudukan, Patriarkhi, Perang Dunia II

Kesusastraan Modern Jepang lahir bersamaan dengan momentum modernisasi Jepang


yang terjadi sejak Restorasi Meiji. Restorasi Meiji diawali dengan pembukaan negara setelah
Jepang menutup diri dari hubungan dengan dunia luar selama kurang lebih 260 tahun.
Kondisi tertutup selama ratusan tahun yang terjadi pada masa Tokugawa membentuk Jepang
sebagai bangsa yang mempunyai identitas yang khas. Sejak pemerintahan Meiji
mencanangkan program modernisasi, Jepang mengadopsi secara besar-besaran segala sesuatu
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari Barat. Sejak itu pula
masyarakat Jepang dihadapkan pada pilihan yang menimbulkan dilema; antara tradisi dan
modernitas. Bagi masyarakat Jepang yang selama 260 tahun hidup dalam tradisi yang
tertutup, perubahan drastis tersebut merupakan suatu momen kebangkitan yang
menyenangkan sekaligus membingungkan. Tradisi yang terus berlanjut dan pengaruh Barat
yang gencar memunculkan pertentangan yang berkaitan dengan pencarian jati diri bangsa
Jepang. Di satu sisi masyarakat Jepang memiliki rasa nasionalisme yang timbul dari
keinginan untuk mempertahankan tradisi. Namun, di sisi lain mereka mempunyai semangat
westernisasi sebagai usaha untuk mengembangkan diri. Restorasi Meiji sendiri, sebagai
‘program resmi’ di bawah otoritas Kekaisaran, secara implisit bisa dilihat sebagai gerakan
kembali ke masa lalu, yaitu mengembalikan kekuasaan pada Kaisar, sekaligus juga sebagai
gerakan westernisasi yang didasarkan pada gagasan pembukaan negara dari pengaruh asing.
Jadi dalam hal ini Restorasi Meiji menggabungkan dua gerakan yang saling bertentangan
pada saat yang bersamaan. Kontradiksi seperti itu selanjutnya menjadi pola yang terus
berulang dalam sejarah Jepang modern baik pada masa sebelum dan sesudah perang maupun
pada saat Jepang mencapai puncak kemajuan di bidang ekonomi pada tahun 1970-an dan
masa-masa selanjutnya. Dalam pidato nobelnya pada tahun 1994 yang diberi judul あ いまい
な日本の私 (Japan, The Ambiguous, and Myself) Oe Kenzaburo menyinggung masalah
aimaisa atau ambiguitas yang membuat Jepang modern seolah terbelah dalam dua kutub yang
saling bertentangan; 開国以後、百二十年の近代化に続く現在の日本は、根本的に、あいま
いさ アムビギュイテイー の 二極に引き裂かれている、と私は観察しています。のみならず、
その 2 あいまいさ アムビギュイテイー に傷のような深いしるし 、、、 をきざまれた小説家とし
て、私自身が生 きているのでもあ ります。1 After a hundred and twenty years of
modernization since the opening up of the country, contemporary Japan is split between two
opposite poles of ambiguity. This ambiguity, which is so powerful and penetrating that it
divides both the state and its people, and affect me as a writer like a deep-felt scar, is evident
in various ways. 2 Di dalam pidatonya, Oe Kenzaburo menyebut bahwa ambiguitas itu
menjadi semacam penyakit kronis yang telah mewabah dalam generasi modern Jepang saat
ini. Ia merujuk pada keadaan Jepang yang berada di persimpangan antara tradisional dan
modernisme. Di satu sisi Jepang adalah negara Asia yang masih mempertahankan
kebudayaannya, di sisi lain modernisme Jepang mengarah pada peniruan terhadap
kebudayaan Barat. Bagi Oe Kenzaburo posisi Jepang yang ambigu ini menempatkan Jepang
pada posisi sebagai invader di Asia. Hal itu mengakibatkan Jepang terkucil baik secara
politik, maupun sosial budaya dari negara-negara Asia lainnya. Ambiguitas yang dinyatakan
oleh Oe Kenzaburo dalam pidato nobelnya bukan sekedar dimaksudkan sebagai sebuah unsur
penting dalam kesusastraan. Ambiguitas yang dikaitkan dengan dirinya sebagai pengarang,
dan orang Jepang yang berasal dari desa terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan tersebut
merujuk pada sesuatu yang lebih besar. Yaitu ambiguitas yang melanda bangsa Jepang sejak
negara Jepang mengalami modernisasi. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan Jepang secara
umum. Karya sastra sebagai salah satu produk budaya tentu juga mencerminkan kondisi
budaya tempat dilahirkannya. Tulisan ini membahas tentang dinamika kesusastraan Jepang
modern yang dalam konteks sejarahnya lahir dari situasi ambigu antara tradisional dan
modernitas. Sebelum membahas tentang ambiguitas dalam sejarah kesusastraan Jepang
modern, ada baiknya dipahami dulu bagaimana ambiguitas dalam kebudayaan Jepang yang
membentuk struktur sosial dan mental bangsa Jepang. Struktur sosial dan mental bangsa
Jepang itu menjadi latar belakang sosial dan budaya lahirnya karya sastra Jepang modern.
Seperti disebutkan dalam pidato Oe Kenzaburo di atas, bangsa Jepang modern terbelah dalam
dua kutub ambiguitas; antara tradisi dan modernitas, antara Timur dan Barat. Dua kutub
ambiguitas itu bisa ditelusuri jejaknya dalam sejarah kesusastraan Jepang modern. Arus
perubahan besar akibat persentuhan sastrawan Jepang dengan karya sastra Barat dan tradisi
yang terus dipertahankan menghasilkan dinamika yang khas dalam kesusastraan Jepang
modern.

Jepang adalah salah satu negara maju di dunia yang sampai saat ini masih menjunjung tinggi
nilai sejarah dan budaya. Kemajuan Jepang saat ini tidak terlepas dari adanya pengaruh
sejarah serta nilai-nilai budaya yang mereka teladani sebagai suatu acuan untuk menjalankan
keberlangsungan hidup bangsanya. Suatu sistem nilai budaya merupakan konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. (Koentjaraningrat,
1974:32). Dengan pandangan akan pentingnya nilai budaya atau tradisi yang telah diwariskan
oleh para leluhur tersebut membuat masyarakat Jepang menjadikannya sebagai hukum atau
aturan sosial bagi masyarakat Jepang. Namun seiring dengan berjalannya waktu sebagian
tradisi dan nilai-nilai budaya tersebut pun berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dan
salah satu bukti nilai budaya yang telah berubah akibat pengaruh perkembangan serta
kemajuan zaman tersebut adalah dapat dilihat dari sejarah peranan wanita Jepang. Wanita
Jepang merupakan sosok yang dikenal memiliki kepribadian yang anggun dan setia. Sifatnya
yang penurut, sabar serta tidak egois menjadikannya sebagai sosok yang memiliki
kepribadian istimewa. Kepribadian yang dimiliki oleh hampir seluruh wanita Jepang tersebut
bukanlah semata-mata terbawa sejak UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mereka
dilahirkan kedunia, melainkan tradisi serta budaya Jepang lah yang telah turut serta
membawa pengaruh dalam pembentukan karakter tersebut didalam diri wanita Jepang. Hal
ini lah yang menyebabkan wanita Jepang memiliki ciri yang khas daripada wanita dibelahan
dunia lainnya. Dilihat dari sisi historisnya, pada hakekatnya wanita adalah sosok yang sangat
dihargai didalam hierarki sosial masyarakat Jepang kuno. Pada masyarakat Jepang kuno,
Jepang mengenal sistem matrilineal dimana wanita berada di posisi teratas dalam struktur
sosial masyarakat Jepang.Keadaan ini terjadi karena masyarakat Jepang kuno mempercayai
suatu mitologi yang mengatakan bahwa garis keturunan bangsa Jepang berasal dari dewi
matahari. Oleh sebab itu wanita dianggap memiliki posisi yang penting dalam sturuktur
kehidupan masyarakat Jepang. Sehingga dapat dilihat bagaimana eksistensi wanita Jepang
pada zamannya, yang telah berhasil membuat sejarah mencatat beberapa nama wanita Jepang
dalam menduduki tahta kerajaan serta menjadi pemimpin dalam suatu wilayah. Namun
eksistensi wanita Jepang semakin memudar akibat munculnya pengaruh beberapa aliran
kepercayaan yang telah menjadi dasar ideologi bagi masyarakat Jepang, yaitu diantaranya :
Ajaran Shinto, Buddha dan Konfusius. Inti dari ajaran-ajaran ini pada hakekatnya
mengajarkan bahwa adanya perbedaan peran antara pria dan wanita. Didalam ajaran-ajaran
ini dijelaskan bahwa wanita yang berperan sebagai istri tidak memiliki persamaan derajat
dengan pria yang adalah suami dalam urusan rumah tangga. Wanita sepenuhya harus
mengabdi kepada suami ketika mereka resmi menikah. Dengan kata lain, aliran-aliran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kepercayaan tersebut tidak sependapat dengan sistem
matrilineal yang dianut oleh masyarakat Jepang sebelumnya. Dengan diterimanya ajaran ini
oleh sebagian besar masyarakat Jepang mengakibatkan posisi wanita Jepang semakin sulit di
dalam kehidupan bermasyarakat. Memasuki zaman Feodal kesempatan wanita untuk
menunjukkan kemampuannya juga semakin terasa sulit karena mendominasinya kaum pria
dalam mengendalikan setiap segi kehidupan masyarakat. Pada masa ini banyak muncul para
tuan tanah sehingga mereka menggunakan samurai untuk menekan para petani dalam
pembayaran pajak. Kalangan samurai disiapkan untuk berperang bila ada pihak yang ingin
merebut daerah kekuasaan dan mengusik keamanan dari tuan mereka. Dan para kaum
samurai ini didominasi oleh kaum pria sehingga membuat eksistensi pria semakin meningkat
di segala bidang kehidupan masyarakat Jepang. Sehingga digantilah sistem matrilineal
menjadi patrilineal sebagai aturan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian
berakhirlah masa-masa kejayaan wanita Jepang dan masuklah wanita Jepang kedalam
kukungan aturan sepihak yang berat sebelah serta sarat akan ketidakadilan yang
mempersempit ruang geraknya. Tak hanya itu, kehidupan serta peran wanita jepang pun
semakin dipersulit lagi dengan munculnya sistemIe di tengah-tengah keluarga tradisional
Jepang. Sistem Ie adalah sistem yang mengatur segala aturan keluarga di Jepang. Dalam
sistem ini mengenal yang namanya konsep patrilineal, dimana keluarga didasarkan atas garis
keturunan laki-laki. Dalam hal ini pria mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan
dalam keluarga. Dengan kata lain, pria memiliki UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
status sebagai “pemimpin” dalam keluarga jepang.Sementara itu di sisi lain peran wanita
dalam keluarga tradisional Jepang sangat terbatas. Wanita Jepang hanya memiliki ruang
lingkup yang sempit dalam struktur keluarga.Wanita hanya diperkenankan mengurusi segala
keperluan rumah tangga dan bertugas sebagai pelayan suami. Sebaliknya wanita tidak
diperkenankan mengeluarkan pendapat apalagi sampai meminta pendapatnya didengar.
Dalam keluarga tradisional Jepang wanita digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut,
setia dan patuh terhadap perintah kepala keluarga yang adalah “laki-laki”. Menurut
pandangan masyarakat Jepang tradisional tujuan utama pencapaian terbesar seorang wanita
adalah untuk rumah tangga, dan sejauh apapun mereka pergi mereka tidak akan pernah pergi
meninggalkan tungku sebagai pusat kehidupan mereka. Itu sebabnya sedari kecil, wanita
disiapkan dan diajari untuk mengesampingkan dirinya sendiri (Inazo nitobe, 2015:166) dan
hidup sebagai pelayan dari laki-laki. Karena pandangan tersebut, membuat posisi wanita
menjadi sulit dalam struktur keluarga tradisional Jepang. Akibat dari tradisi tersebut
menyebabkan wanita ditempatkan bekerja di sektor domestik sementara laki-laki bekerja di
sektor publik. Wanita Jepang tidak boleh aktif dalam masyarakat melainkan sebatas
mengurus rumah serta keluarga. Daerah kekuasaan wanita akan selalu berada didapur bukan
di masyarakat. Akibatnya wanita jepang tidak dapat berkembang dan tidak dapat
menunjukkan kemampuan serta potensi yang dimiliki secara terbuka. Pengaruh yang telah
diberikan oleh sistem Ie dalam keluarga tradisional jepang tidak hanya sebatas berada dalam
ruang lingkup keluarga saja tetapi juga turut terbawa ke dalam struktur kehidupan sosial
bermasyarakat. Konsep UNIVERSITAS SUMATERA UTARA patrilineal dalam sistem
keluarga tradisional Jepang telah terbawa oleh masingmasing individu kedalam kehidupan
sosial masyarakat Jepang. Dengan demikian muncullah konsep patriarki dalam kehidupan
sosial masyarakat Jepang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Patriarki adalah
perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok
sosial tertentu. Berlandaskan dengan konsep tersebut, masyarakat Jepang menjadikannya
sebagai aturan sosial dalam menjalankan segala hal dalam kehidupan sosial masyarakat
Jepang. Mendominasinya pria di segala sektor kehidupan masyarakat Jepang justru
berbanding terbalik dengan kehadiran wanita ditengah-tengah masyarakat Jepang. Wanita
dijuluki sebagai “the second sex” yang merupakan makhluk yang akan selalu berada dibawah
pria.Wanita Jepang seakan masih dikurung oleh tradisi yang memaksa mereka untuk
menerima kodratnya sebagai seorang wanita yang adalah sebagai patner kerja pria dalam
keluarga. Hal ini masih sangat membelit wanita untuk berkembang dan menyebabkan wanita
tidak dapat menggali kemampuan yang ada di dalam dirinya melainkan hanya bermain pada
zona yang sudah ditentukan saja.Wanita Jepang tidak diberikan kebebasan untuk berinteraksi
dengan dunia luar sebab dalam tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Jepang
menyebutkan bahwa daerah yang pantas untuk dikunjungi oleh wanita adalah dapur.Dengan
konsep gender yang ada di dalam diri wanita yang adalah memiliki karakter lembut,
emosional, lemah, keibuan (Fakih, 1996:8) dan setia yang juga dimiliki oleh wanita Jepang
membuat mereka tidak berdaya, mereka hanya bisa diam terhadap perlakuan tidak adil yang
mereka rasakan ini dan hanya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dapat berharap semoga
suatu saat mereka dapat dibebaskan dari ketidakadilan sosial yang mereka hadapi saat ini.
Berdasarkan dari ketidakadilan sosial yang dialami oleh wanita Jepang, muncullah beberapa
tokoh wanita Jepang beserta para aktivis yang peduli terhadap nasib perempuan Jepang dan
turut serta menyorot tajam permasalahan ini. Mereka merasa perlu untuk membebaskan
wanita Jepang dari ketidakadilan sosial akibat adanya bias gender ditengah-tengah kehidupan
sosial masyarakat Jepang. Maka dari itu dibentuklah gerakan pembebasan wanita (atau sering
disebut feminisme). Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Peran feminisme dalam membebaskan wanita
jepang dari lingkaran tradisi yang dipegang oleh masyarakat tersebut, diharapkan dapat
membantu memberi kebebasan bagi kaum wanita dalam segala bidang dan struktur sosial
masyarakat Jepang. Gerakan feminisme ini terus-menerus disuarakan oleh para kaum intelek
wanita Jepang agar aspirasi mereka didengar oleh pemerintah pada saat itu. Hingga pada
akhirnya tujuan dari gerakan ini membuahkan hasil pada masa pemerintahan Meiji
(1868-1912). Pada masa pemerintahan Meiji, Jepang menyatakan membuka diri tehadap
dunia luar beserta pengaruh-pengaruh yang dibawa dari dunia luar. Pada masa itu Jepang
banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan serta ilmu-ilmu dari bangsa luar khususnya bangsa
barat. Kekaguman atas majunya bangsa barat di segala bidang UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA dibanding dengan bangsa lain serta diperkenalkannya modernisasi terhadap bangsa
Jepang membuat Jepang tertarik untuk mengadopsi ilmu-ilmu serta kebijakan-kebijakan dari
bangsa tersebut untuk memajukan Jepang. Salah satu pemikiran barat yang diadopsi oleh
Jepang adalah pandangan akan persamaan hak antara pria dan wanita. Pada masa itu bangsa
barat lagi gencar melakukan kegiatan pemberdayaan perempuan dan pengakuan terhadap
perempuan dalam segala bidang. Hal ini pun turut merembes kepada bangsa Jepang yang
adalah bangsa yang menganut konsep patriarki.Segala perubahan dilakukan pemerintah
Jepang untuk berbenah diri maka dibuatlah beberapa kebijakan diantaranya:kebijakan
Bunmei Kaika(pencerahan/peradaban),Fukoku Kyohei (negara kaya tentara kuat), dan
Shokusan Kogyo (dorongan akan industri baru). Kebijakan-kebijakan ini dijadikan sebagai
landasan oleh bangsa jepang untuk menciptakan negara jepang yang baru dan modern.
Bunmei Kaika merupakan salah satu kebijakan yang dibuat untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang terjadi di Jepang salah satunya berkaitan dengan persamaan hak antara
wanita dan pria. Keberhasilan dari gerakan feminisme ini telah berhasil membawa wanita
Jepang keluar dari kukungan tradisi yang telah merampas hak dan kebebasan mereka.
Dengan demikian wanita Jepang telah memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi dari
sebelumnya. Dengan adanya persamaan hak yang dirasakan oleh wanita Jepang saat ini,
membuat mereka semakin termotivasi untuk melakukan yang terbaik dan menunjukkan
potensi yang mereka miliki. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kemunculan feminisme
di Jepang saat ini sesungguhnya telah memberi perubahan dalam kehidupan wanita Jepang.
Dampak dari diperkenalkannya paham feminisme bagi masyarakatJepang dapat dengan jelas
terlihat dan dirasakan oleh seluruh masyarakatJepang khususnya oleh para kaum wanita
Jepang.

Pembahasan

One of the earliest modern female writers was Higuchi Ichiyō (1872–1896). After her father
died, she lived in poverty, supporting her mother and sister. In 1893, she began to publish her
writings in order to earn money. Her novels and stories were critically acclaimed by the
literary elite, but they were never a financial success. The family opened a toy and candy
shop near Yoshiwara, the geisha quarter of Tokyo. Working in such a district, Ichiyo became
more aware of women's conditions. One of her major works, Nigorie [Muddy Waters],
portrays unfortunate women forced into becoming geisha due to economic circumstances.
The women, no matter what role they took, were despised by society.[44]

Jusanya [Thirteenth Night] is about two families joined by marriage. The woman is of low
class and the man, a high-ranking government official. Through marriage families can secure
their well-being and it was the only way to move upward in society. The woman sacrifices
herself for her family to endure cruel and humiliating taunts from her husband and is unable
to protect herself due to social norms. Ichiyo's stories offer no solutions beyond explicitly
depicting the conditions of women. According to some, her four-and-a-half-year-long career
marks the beginning of Japanese women's self-awareness.[44]

Seito magazine[edit]
Yosano Akiko (1878–1942) is one of the most famous female poets in Meiji period Japan. As
the daughter of a rich merchant, Yosano was able to attend school and learned to read and
write. Later she became a sponsor of the magazine Seito Bluestocking and also a member of
Myojo Bright Star, a poetry journal. In September 1911, Yosano Akiko's poem, “Mountain
Moving Day,” was published on the first page of the first edition of Seito, a magazine that
marked the beginning of the Seitosha movement. Named for literary groups in England
known as "bluestocking", its editor Hiratsuka Raicho (1886–1971) was the financial and
philosophical might behind the initial spark of the movement. The women of Seito used
literary expression to fight Confucian-based thought and improve opportunities for
women.[44][clarification needed]

Other women brought other views to the magazine. Okamoto Kanoko (1899–1939) brought a
Buddhist view. Her poetry was more concerned with spirituality. According to her, women
could find success by not acknowledging the illusions of the world.[45] Without attachment to
the world, excluding the patriarchal society, women can find inner strength. Ito Noe
(1895–1923) became editor of the magazine after Hiratsuka left due to pleading health issues
in 1915. She explored women's rights to abortion, which remained a hot topic until the
magazine's end in 1916.[46]

Ito married an anarchist, Osugi Sakae. Both became political prisoners, then were murdered
by military police in the aftermath of the Great Earthquake of 1923. Hayashi Fumiko
(1904–1951) was the antithesis of Okanmoto Kanto. Hayashi was naturalistic describing life
as an experience (Reich, 286). Her stories are about economic survival of women without
men. However, the endings return to male society with no solution. She is the next most
popular writer after Higuchi Ichiyō.[46]

Seito was controversial as it became more concerned with social problems. Seito introduced
the translated version of Ibsen’s A Doll's House. The play is about a woman who forges her
father’s signature to save her husband's life. Instead of being grateful, her husband reacts with
anger and disgust. She then decides to leave him.

The government did not like the dissemination of these types of values.[47] Government
opposition increased, deeming the content “harmful to the time-honored virtues of Japanese
women”, and banning five issues of Seito (Raicho, 218). The first issue to be suppressed was
a story, "Ikichi" ["Life Blood"] by Tamura Toshiko, about the reminiscences of a woman and
a man who spent the night at an inn. Hiratsuka Raicho’s issue was banned because it
challenged the family system and marriage. Ito Noe’s "Shuppon" ["Flight"] is about a woman
who left her husband and then her lover betrayed her, another issue that was banned.[48]

Kedudukan dan fungsi sosial wanita Jepang merupakan bagian dari cerita sejarah jepang yang
diketahui mengalami perubahan di setiap zamannya. Kehidupan politik dan ekonomi negara
Jepang merupakan faktor-faktor yang turut memberi pengaruh dalam perubahan status
ataupun fungsi sosialwanita Jepang. Perubahan sistem pemerintahan di setiap zamannya telah
memberikan dampak pada kehidupan wanita. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa sejarah Jepang kuno menceritakan bahwa pada zaman sebelumnya Jepang menganut
sistem matrilineal dalam mengatur struktur kehidupan masyarakat Jepang. Hadirnya ratu
himiko sebagai pemimpin pada masa itu telah memperlihatkan bahwasanya kedudukan dan
fungsi sosial wanita pada masa itu sangatlah tinggi Masuknya Jepang ke zaman Tokugawa
telah mempersulit ruang gerak wanita untuk berperan dalam masyarakat. Kehidupan
perpolitikan pada zaman Tokugawa telah menutup ruang kebebasan berpikir wanita terhadap
keterlibatan dalam dunia politik. Hasil dari permusyawarahan politik ini membentuk
kebijakan budaya patriarki dalam menjalani struktur sosial masyarakat jepang. Sistem
keluarga tradisional jepang Ie yang juga sebagai hasil produk dari zaman ini semakin
mempersulit kehidupan dan peran wanita Jepang. Dapat disimpulkan bahwa zaman feodal
merupakan zaman yang menjadi permulaan menyempitnya ruang gerak wanita serta
meredupkan eksistensi wanita Jepang dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Memasuki
zaman meiji, wanita sedikit demi sedikit mulai merasakan angin segar dalam menjalani
kehidupannya. Masuknya pemikiran barat ke Jepang dan diadopsinya pemikiran tersebut
dalam membenahi bangsa Jepang telah turut memperbaiki kehidupan wanita Jepang. Salah
satu hasil dari kebijakan tiruan yang diadopsi Jepang dari bangsa barat adalah kebijakan akan
persamaan hak-hak manusia serta kesetaraan gender. Untuk memperkuat pondasi kebijakan
yang dibuat kaisar tersebut dibuatlah Undang-Undang Meiji 1889 ( 大日本帝国憲法
/dainiponteikokukenpou) dalam mengatur segala aspek dalam kehidupan bangsa Jepang. Ini
juga dikenal sebagai undang-undang pertama Jepang yang dihadiahi kaisar bagi seluruh
bangsa Jepang. Meskipun terdapat pasal yang mengatur tentang hak-hak antarindividu namun
hal tersebut tidaklah diindahkan oleh kaisar sebagai suatu hal yang harus diwajibkan dalam
masayarakat Jepang. Maka dari itu hadirnya undang-undang tersebut tidak semata-mata dapat
membantu wanita dalam mencari keadilan terhadap fungsi dan peranannya dalam
masyarakat. Wanita masih terus dipojokkan oleh kebijakan feodal yang masih tertanam di
dalam benak bangsa Jepang termasuk kaisar. Pada restorasi meiji, pendidikan menjadi fokus
utama bagi pemerintah Jepang untuk dilakukan pembenahan. Menurut pemerintah pada saat
itu, pendidikan merupakan hal penting dan utama dalam membangun dan memajukan suatu
bangsa. Karena dengan adanya pendidikan yang baik maka akan menghasilkan tokoh-tokoh
intelektual yang sangat diperlukan dalam memajukan suatu bangsa. Untuk itulah maka
pemerintah meiji mengharapkan adanya perbaikan di bidang pendidikan Jepang, dimana
sebelumnya di zaman feodal pendidikan hanya diprioritaskan pada bilang militer yang hanya
dilakukan oleh kaum pria saja dan menyebabkan peran pria dalam masyarakat sangat
menonjol sementara kaum wanita sangat kurang akan pengetahuan. Wanita hanya belajar
sendiri dirumah dengan ibunya, dimana ibunya hanya memberikan pelajaranpelajaran yang
berhubungan dengan tugas seorang wanita yang diantaranya seperti : memasak, menganyam,
dan merangkai bunga sehngga peran dan hak bagi wanita sangatlah sempit (Hasibuan,
2016:36). Pendidikan sekolah pada masameiji pun dimulai pada waktu persamaan gender dan
sistem monogami diperkenalkan oleh para intelektual Jepang secara terus-menerus. Pada
masa ini, tidak ada lagi perbedaan antara pria maupun wanita dalam mengenyam pendidikan
akibat dari dibuatnya kebijakan “Bunmei Kaika” yang adalah kebijakan yang dibuat
pemerintah Jepang dalam membenahi seluruh bangsa dalam segala aspek termasuk
didalamnya pendidikan Di dalam kebijakan yang diadopsi dari pemikiran barat tersebut
dijelaskan bahwa tidak ada lagi yang namanya diskriminasi kelas khas zaman feodal sehingga
seluruh masyarakat baik pria maupun wanita mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan. Oleh karena itu, dibuatlah Undang-Undang Pendidikan pada 1872 sebagai
langkah awal dari pemerintah Jepang untuk membentuk sistem pendidikan modern di Jepang.
Sistem Pendidikan bagi wanita Jepang pada masameiji berasaskan “ istri yang baik, dan ibu
yang bijaksana yang dikenal sebagai ryousaikenbo. Konsep ryosaikenbo merupakan asas
bentukan dari perpaduan paham barat dan ajaran Konfusius. Ryoseikenbomerupakan
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang memfokuskan pendidikan wanita
sebagai istri yang baik dalam melayani serta membantu setiap keperluan suami serta menjadi
ibu yang bijak bagi anaknya dalam membesarkan dan mendidik mereka agar menjadi penerus
bangsa Jepang yang berkualitas dan sehat.Tujuan dari pendidikan wanita sebenarnya pada
zaman meiji adalah untuk urusan rumah tangga dan cara merawat anak. Hal ini dianggap
merupakan tugas yang sewajarnya dilakukan wanita sesuai kodrat yang dimilikinya. Dengan
beban yang diberikan pemerintah untuk dipikul wanita dalam konsep ryosaikenbo membuat
wanita hanya konsentrasi dengan tugas yang diembannya tersebut. Seluruh hidup seorang
wanita Jepang telah di dedikasikannya untuk keluarganya. Meskipun sudah diberikan hak
untuk memperoleh pendidikan namun masih banyak wanita Jepang yang tidak bisa berangkat
kesekolah karena beban tugas dirumah. Untuk mengisi waktu luangnya setelah pekerjaan
rumah selesai banyak dari wanita Jepang pada zaman ini memilih untuk mengambil
pekerjaan sampingan. Hal ini dilakukan untuk membantu penghasilan suami mereka dalam
menafkahi keluarga. Namun meskipun demikian pada masa ini kehidupan wanita sudah
mengalami sedikit perubahan diantaranya wanita dapat merasakan bagaimana kehidupan di
dunia pendidikan serta berbaur secara sosial dengan kelompok wanita lainnya. Hal ini jauh
lebih baik bila dibandingkan ketika zaman Tokugawa wanita barangkali tidak dapat
merasakan yang namanya pendidikan serta hidup bersosial dan bercengkrama dengan
masyarakat lainnya. Diperbolehkannya wanita bekerja di luar rumah sebagai pekerjaan
sampingan oleh pemerintah juga turut mewarnai peran dalam kehidupan wanita Jepang pada
restorasi meiji.

Lahirnya feminisme di Jepang berawal dari dirubahnya sistem pendidikan yang lama menjadi
sistem pendidikan modern yang mencontoh dari sistem pendidikan barat. Paham-paham
tentang konteks feminisme mulai menunjukkan eksistensinya dengan memotori pendidikan
sebagai penghubung yang kuat dalam mempengaruhi masyarakat Jepang. Kondisi dimana
terjadinya perubahan dalam sistem pendidikan tersebut terjadi pada masa meiji, yang dikenal
sebagai zaman pencerahan bagi bangsa Jepang. Dengan lahirnya sistem pendidikan baru ini
turut dimanfaatkan oleh para intelektual Jepang untuk menyumbangkan pemikirannya dalam
mempengaruhi dan mengembangkan pendidikan di Jepang. Tokoh intelektual yang turut
memberikan warna dalam pendidikan Jepang adalah Fukuzawa yukichi, Mori Arinori dan
Ueki Emori. Mereka adalah sedikit dari banyaknya tokoh yang perduli terhadap dunia
pendidikan di Jepang terutama dengan masalah pendidikan wanita Jepang. Aksi yang
ditonjolkan oleh para intelektual ini adalah menuntut persamaan gender serta dibuatnya
sistem monogami di Jepang. Ketiga tokoh ini pada hakekatnya memiliki tujuan yang sama
yaitu untuk memperjuangkan persamaan gender dan memperjuangkan posisi setiap wanita
Jepang dalam masyarakat. Fukuzawa yukichi (1835-1901) dikenal sebagai pendidik yang
terkemuka dan juga merupakan seorang kritikus sosial. Fukuzawa memiliki cita-cita untuk
melepaskan wanita dari ketidakadilan sosial masyarakat Jepang dengan menyuarakan
persamaan gender di setiap kesempatannya dalam berbicara diberbagai situasi. Baginya
posisi wanita Jepang pada masa ini belum ditempatkan pada posisi yang semestinya. Dalam
membuka pikiran bangsa Jepang akan pentingnya persamaan gender dituangkannya dalam
karya tulisnya yang berjudul Gakumon no Susume. Dalam karyanya ini ia menegaskan
persamaan gender dan sistem monogami dalam masyarakat dan mengkritik konsep patriarki
yang dianut oleh bangsa Jepang. Baginya konsep patriarki merupakan norma yang telah
membelenggu wanita terhadap hak dan kebebasannya. Di era meiji yang dikenal sebagai awal
dari masa pencerahan bagi bangsa Jepang telah memberi kesaksian akan kesalahan bangsa
Jepang dalam menjauhkan diri dari bangsa asing. Sikap tertutup yang dulunya dimiliki
bangsa Jepang, pada zaman ini kini telah berubah menjadi negara yang terbuka terhadap
pengaruh asing. Dan pemikiran menjauhi orang asing dinyatakan oleh fukuzawa sebagai
kekeliruan. Untuk memperkuat pemikiran yang dituangkannya dalam karya tulisnya
fukuzawa mengadopsi pemikiran John Stuart Mill dalam memaparkan dengan jelas
bagaimana seharusnya wanita diberi hak dan kebebasan dalam kehidupannya. Tak jauh
berbeda dengan Fukuzawa Yukichi, Ueki Emori dan Mori Arinori pun turut melakukan hal
yang sama untuk mengampanyekan persamaan gender dan memperjuangkan kemerdekaan
bagi wanita Jepang. Dengan hadirnya para feminis seperti Fukuzawa Yukichi, Ueki Emori
dan Mori Arinori dalam menyuarakan persamaan gender dan sistem monogami, turut
membuka mata para intelektual lainnya yang ingin memperjuangkan hak-hak wanita Jepang.
Banyak dari para intelektual berpikiran bahwa sangatlah penting untuk menambah jumlah
pejuang hak-hak wanita di Jepang. Dengan demikian, dengan misi yang dipimpin oleh
Iwakura Tomomi dengan persetujuan dari pemerintah pada saat itu dikirimlah lima orang
gadis ke Amerika dan Eropa untuk belajar disana. Adapun dari sekelompok gadis yang
dikirim dalam misi tersebut yaitu, Yamakawa Sutematsu, Nagai Shigekoi, Yoshimasu Ryo,
Ueda Tei dan Tsuda Umeko. Dan dari antara kelima gadis tersebut hanya menyisahkan tiga
orang gadis yang sukses dalam melaksanakan misi tersebut yaitu, Yamakawa Sutematsu,
Nagai Shigekoi, dan Tsuda Umeko. Tujuan dari pengiriman para gadis ini juga dimaksudkan
untuk mengabdi kepada Jepang sepulangnya dari misinya di luar negeri. Mereka diharapkan
dapat menyalurkan apa yang mereka dapat dari negara tersebut untuk dibawa pulang ke
Jepang. Kepedulian terhadap nasib wanita Jepang saat itu dikampayekan oleh para feminis
untuk mendesak pemerintah memecahkan permasalahan bias gender di tengah masyarakat
Jepang. Tak hanya sampai disitu saja, paham feminisme turut disuarakan oleh kaum
misionaris dan kaum wanita kristen Jepang untuk menentang pergundikan dan pelacuran di
Jepang. Penerbitan Jogaku Zasshi atau majalah wanita pertama Jepang yang diterbitkan oleh
Iwamoto Yoshiharu yang merupakan seorang kristen dan setuju dengan sistem monogami dan
mendukung persamaan gender di Jepang. Majalah ini dijadikan sebagai wadah untuk
memberikan aspirasi dan pandangan tentang pentingnya memperjuangkan hakhak serta
kemerdekaan wanita. Tujuan lain dari lembaga ini adalah untuk menuntut pendidikan wanita
dan penghapusan prostitusi di Jepang. Eksistensi kaum wanita kristen Jepang ini juga dapat
terlihat dari sosok Yamuro Kieko dan Hayashi Utako yang merupakan aktivis yang bekerja
untuk menolong dan merehabilitasi para mantan pelacur. Kehidupan wanita Jepang yang
sangat keras telah menyadarkan kaum feminis untuk menolong mereka keluar dari
ketidakadilan tersebut. Menurut para feminis, salah satu cara yang dapat membebaskan
wanita Jepang dari ketidakadilan tersebut adalah dengan memberikan mereka kesempatan
untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan merupakan wadah yang sangat tepat untuk
membantu para feminis mengeluarkan wanita dari jeratan pemikiran tradisional masyarakat
Jepang. Dengan pendidikan mereka dapat mendidik orang untuk berpikiran lebih terbuka
terhadap modernisasi. Maka dari itu sebagian besar dari misi dari para feminis maupun
organisasi yang berhubungan dengan perjuangan hak-hak wanita menjadikan pendidikan
sebagai poin penting dalam gerakan pembebasan wanita. Pendidikan yang telah ditawarkan
oleh pemerintah meiji terhadap wanita Jepang telah sedikit memberi ruang bagi wanita untuk
menunjukkan kemampuannya di tengah masyarakat. Lahirnya undang-undang dasar
pendidikan tahun 1872 mewajibkan semua orang untuk mengenyam pendidikan dasar tanpa
memandang jenis kelamin. Maka dibuatlah sistem pendidikan Gakusei sebagai sistem
pendidikan modern Jepang yang diadopsi dari sistem pendidikan barat. Pada sistem ini
diwajibkan mengenyam pendidikan Sekolah Dasar 6 tahun (tanpa memandang jenis
kelamin), namun setelah memasuki pendidikan kesekolah menengah terdapat perbedaan
dimana bagi anak laki-laki melanjutkan pendidikan kesekolah menegah (5 tahun) atau
pendidikan keterampilan sedangkan anak perempuan memasuki sekolah khusus bagi mereka
(4 atau 5 tahun). Pada tingkatan ini mulai terdapat pula perbedaan pelajaran-pelajaran yang di
berikan. (Okamura, 1983:53) Dilihat dari sistem pendidikan yang dianut oleh sekolah-sekolah
di Jepang tersebut terdapat dua jalur pendidikan yang berbeda antara pendidikan pria dan
wanita. Seperti pendapat (Okamura, 1983:54) mengatakan bahwa : Sistem ganda dalam
penddikan ini telah menimbulkan banyak kemungkinan bagi pelaksanaaan diskriminasi
antara kaum pria dan wanita, yakni praktek yang telah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam masyarakat Jepang. Dari pendapat Okamura tersebut dapat dengan jelas
ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang tidak
sepenuhnya memberikan persamaan hak antara pria dan wanita. Adanya perbedaan metode
pendidikan antara pria dan wanita menunjukkan bahwasanya diskriminasi masih terlihat
dengan jelas pada zaman meiji. Hal ini semakin dipertegas lagi setelah kaisar menetapkan
bahwa ideologi bangsa Jepang berlandaskan sistem Ie. Pandangan tentang Kazokukokkakan
(pandangan negara keluarga) diartikan sebagai sebuah negara sebagai kelompok keluaarga
besar dimana kaisar sebagai kepala keluarga/orangtua sementara rakyat dianggap sebagai
anak. Dengan diberlakukannya sistem Ie sebagai ideologi negara maka unsur-unsur serta
pandangan yang ada di dalamnya turut terbawa kedalam sistem pemerintahan meiji. Sistem Ie
yang dikenal sebagai produk dari Konfusius semakin kuat pengaruhnya ditengah masyarakat
Jepang pada zaman meiji, dan dengan berlandaskan ini maka tidak heran jika peran wanita
masih terasa sulit pada zaman meiji. Meskipun wanita diperbolehkan untuk mengenyam
pendidikan, namun pendidikan yang mereka anut diatur berlandaskan konsep ryousaikenbo
yang ditetapkan pemerintah meiji sebagai landasan pendidikan wanita. Konsep ryousaikenbo
atau istri yang baik dan ibu yang bijaksana ini dimaksudkan untuk mendidik wanita agar
mempunyai pemikiran bahwa mereka menghormati negara seperti keluarga dan melakukan
yang terbaik untuk anggota keluarga. Dasar pikirannya adalah tidak ada pasangan yang
sederajat tapi melainkan sebuah keluarga patriarki yang mana bahwa seorang istri lebih
rendah posisinya daripada seorang suami. Maka pepatah yang dulunya terkenal pada zaman
feodal kembali tercipta pada masa meiji yang adalah “pendidikan tidak perlu bagi kaum
wanita” yang berlanjut pada versi baru yang berbunyi “tiada memiliki pendidikan bagi kaum
wanita merupakan kebaikan” (Okamura, 1983:54). Pepatah ini sangat sesuai sebagai acuan
untuk menggambarkan sosok istri yang baik dan ibu yang bijaksana dalam mendedikasikan
dirinya untuk kepentingan keluarga dan negaranya. Sejak munculnya paham ryousaikenbo,
wanita yang terdidik atau dengan kata lain “berpendidikan” dipandang sebagai sesuatu yang
aneh dan tak lazim. Pada masa meiji, wanita Jepang yang ideal merupakan wanita yang
menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana, sementara wanita yang tidak memenuhi pola
dasar ini hanya dianggap sebagai orang yang berbahaya bagi diri mereka sendiri dan orang
lain. Dengan melihat sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan dari para feminis
tersebut membuat mereka mencari cara untuk menyadarkan wanita jepang akan kekeliruan
konsep ryousaikenbo. Para feminis mulai melakukan gerakan-gerakan feminisme dengan
gencar ke seluruh penjuru jepang. Segala cara mereka praktekkan untuk mengambil simpati
para wanita yang telah terdoktrin oleh pemikiran tradisional dan konsep ryousaikenbo. Para
feminis melakukan kampanye dengan berbagai cara seperti: berkeliling ke setiap daerah,
melakukan pidato serta orasi tentang betapa wanita harus menerima kembali hak-hak dan
kebebasannya serta yang paling banyak dilakukan para feminis untuk menunjang gerakan
feminisme di Jepang adalah dengan menuangkan isi pikirannya tentang persamaan gender
kedalam karya tulis. Pada Restorasi Meiji banyak bermunculan sastrawan yang sebagian
diantaranya merupakan kaum feminis yang menuangkan pendapatnya tentang pembebasan
wanita kedalam karya tulis mereka. Karya tulis yang sangat terkenal di masa meiji ditulis
oleh kelompok meirokusha yang menuangkan pemikirannya kedalam majalah Meiroku
Zasshi. Bahkan banyak dari antara feminis juga membuat sekolah untuk wanita seperti Tsuda
Umeko, Fukuda Hideko dan yang lainnya. Kaum feminis juga mendesak pemerintah untuk
memberikan hak suara kepada wanita. Wanita merupakan sebagain besar dari populasi
bangsa Jepang, maka dari itu mereka menekankan bahwa sangat tidak lazim
mengesampingkan wanita dalam pembangunan bangsa Jepang. Wanita juga memiliki hak dan
kewajiban yang sama seperti pria untuk diakui kehadiran dan perannya dalam mendukung
pemerintah. Namun menurut Sharon Shivers dalam karya tulis Bruce (2014:9) mengatakan
bahwa setelah satu dekade orang Jepang memonopoli perdebatan mengenai hak-hak
perempuandan gaya modernisasi Jepang, banyak wanita sangat ingin menunjukkan
pandangan mereka sendiri tentang masa depan negara dan potensinya dalam peran itu.Orang
mungkin berpendapat bahwa sudah lama bagi wanita untuk berdiri dan menuntut suara pada
pemerintahan Jepang. Namun, periode meiji dikenal sebagai masa yang penuh dengan
kemunafikan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi dimana kaum pria memiliki hak pilih
sementara wanita tidak dikarenakan fokus utama wanita hanya diperuntukkan sebagai ibu
rumah tangga. Wanita semakin dipersulit kesempatannya dalam memperoleh hak suara
dengan ditetapkannya negara Jepang menjadi negara imperialis Shinto yang menjadi unsur
utama yang menjauhkan wanita dari dunia politik dan membuatnya hanya fokus menjadi
seorang ibu. Masalah-masalah inilah yang pada masa meiji menjadi tugas utama dari para
feminis untuk dicari jalan keluarnya. Gerakan feminisme pada masa meiji telah menjadi
gambaran awal bagi para feminis untuk melangkah terus dalam menyuarakan keadilan
terhadap wanita Jepang serta mejadi langkah awal dalam menunjukkan eksistensi gerakan
feminisme di Jepang seiring perubahan zaman. Tokoh-Tokoh Feminis Pada Zaman Meiji
Munculnya gerakan feminisme di Jepang pada masa meiji tidak terlepas dari kerja keras yang
dilakukan oleh para kaum feminis untuk memperjuangkan nasib wanita Jepang. Tokoh-tokoh
feminis yang turut mengabdikan dirinya untuk menuntut kebebasan dan hak-hak kaum wanita
Jepang adalah sebagai berikut:

Female writers in Japan enjoyed a brief period of success during the Heian period, but were
undermined following the decline in power of the Imperial Court in the 14th century. Later, in
the Meiji era, earlier works written by women such as Murasaki Shikibu and Sei Shonagon
were championed amongst the earliest examples of the Japanese literary language, even at a
time when the authors themselves experienced challenges due to their gender. One Meiji era
writer, Shimizu Shikin, sought to encourage positive comparisons between her
contemporaries and their feminine forebears in the hopes that female authors would be
viewed with respect by society, despite assuming a public role outside the traditional confines
of a woman's role in her home (see ryosai kenbo). Other notable feminine authors of the
Meiji era included Hiratsuka Raicho, Higuchi Ichiyo, Tamura Toshiko, Nogami Yaeko and
Yosano Akiko.[23]

Simpulan

Kelahiran kesusastraan Jepang modern yang bersamaan dengan momen modernisasi


Jepang sejak restorasi Meiji memunculkan tokoh-tokoh penulis perempuan yang namanya
dapat bersaing dengan dominasi penulis laki-laki pada era tersebut. Nama-nama seperti
Higuchi Ichiyō, Yosano Akiko, Hiratsuka Raicho, Ito Noe, Hayashi Fumiko, serta Shimizu
Shikin hanya sekian dari banyak penulis perempuan Jepang yang tidak disebutkan dalam
tulisan ini telah memberikan pengaruh dalam membangun kesadaran kaum perempuan
Jepang untuk berjuang atas hak-hak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

-
Website
RENAE LUCAS-HALL https://savvytokyo.com/quill-tears-women-writers-changed-japan/

Anda mungkin juga menyukai