Anda di halaman 1dari 20

MANIFESTO POLITIK ‘GENSHI, JOSEI WA TAIYŌ DE ATTA’ PADA

JURNAL SEITŌ: UPAYA HIRATSUKA RAICHŌ DALAM


PEMBEBASAN KAUM PEREMPUAN JEPANG
PERIODE MEIJI—TAISHŌ

Salsabil Herdiati-Endah Hayuni Wulandari

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

salsabilherdiati@windowslive.com

Abstrak

Hiratsuka Raichō adalah seorang pelopor gerakan feminisme perempuan Jepang yang terkenal dengan manifesto
politik “Genshi, Josei wa Taiyō de Atta”. Manifesto politik tersebut dicetuskan dalam jurnal majalah Seitō yang
diterbitkan oleh organisasi literatur khusus perempuan Seitōsha dan dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah
Meiji yang diterapkan pada saat itu. Raichō menganggap kebijakan itu menyubordinasi posisi perempuan dalam
masyarakat. Kebijakan yang mengatur tentang keluarga dan melemahkan posisi perempuan pada masa itu tertera
dalam Meiji Minpō dan dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang berlaku pada masa Tokugawa, yaitu sistem
Ie. Tersebarnya manifesto “Genshi, Josei wa Taiyō de Atta” ternyata menjadi pemicu bagi perempuan Jepang
lain untuk berani mengutarakan pemikirannya melalui karya tulis hingga bergabung dengan berbagai organisasi
feminis.

Political Manifesto ‘Genshi, Josei wa Taiyō de Atta’ in Seitō Magazine: Hiratsuka


Raichō’s Efforts in Japan Women’s Liberation Meiji—Taishō Period

Abstract

Hiratsuka Raichō was a Japan Feminist Movement pioneer, famous by political manifesto “Genshi, Josei wa
Taiyō de Atta”, written in Seito Magazine which published by women-only literature organization Seitōsha. The
trigger of her politic manifesto was Meiji government’s policy which forced women subordination in the society.
The said policy in Meiji Minpō regulating family matters and debilitating women position at that time influenced
by kinship system prevailing in the Tokugawa period, called Ie. It turns out the spreading of ‘Genshi, Josei wa
Taiyō de Atta’ manifesto became a trigger for other Japanese women to voice out their minds through literature
and join various feminist organizations.

Keywords: Feminism, Hiratsuka Raichō, Genshi Josei wa Taiyō de Atta, Ie System, Meiji Minpō.

Pendahuluan

Jepang terkenal sebagai negara yang masyarakatnya menganut sistem patriarki, yang
mulai mendominasi seluruh Jepang sejak berkembangnya ajaran konfusianisme pada masa
pemerintahan Tokugawa. Pada periode tersebut, Pemerintah membentuk kebijakan stratifikasi

1
masyarakat yang disebut shinōkoshō1 dan menggunakan sistem pemerintahan feodal di bawah
pimpinan bakufu,2 dengan kondisi pemerintahan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Pada
kondisi masyarakat yang didominasi oleh peranan kaum bushi yang seluruhnya adalah laki-
laki, terjadi diskriminasi gender. Status sosial dan ekonomi perempuan ditentukan oleh kelas
sosial keluarganya.
Selama periode Tokugawa, bisa dikatakan hampir seluruh perempuan tidak mengenyam
pendidikan formal. Meskipun anak perempuan dari kaum bushi bisa mendapatkan pendidikan,
namun sering kali dibatasi. Larangan bagi perempuan untuk mempelajari politik dan
perekonomian ternyata berkesinambungan dengan peraturan Tokugawa yang tidak
memberikan hak berpolitik kepada perempuan. Perempuan tidak dapat memiliki properti, dan
suami mereka berhak menghukum jika mereka malas atau berperilaku buruk. Mereka
diharuskan untuk menjadi istri yang dapat dipercaya dan ibu yang taat pada kewajibannya.
Lebih jauh lagi, perempuan juga dianjurkan untuk menjadi pondasi moral dasar bagi negara
dengan diberikan tanggung jawab pendidikan anak.
Masa selanjutnya, yang dikenal sebagai periode Meiji, merupakan masa perubahan
penting bagi kaum perempuan Jepang, dengan direalisasikannya sistem pendidikan baru yang
disebut gakusei pada September 1872 melalui kebijakan bunmei kaika. 3 Dengan sistem
pendidikan baru ini, pemerintah Meiji memberikan kesempatan kepada kaum perempuan
Jepang untuk mengembangkan diri secara terbatas, yaitu keterampilan-keterampilan yang
umum digunakan di lingkup rumah tangga, seperti menjahit, merajut, dan memasak. Sistem
ini mengacu pada tiga hal, yaitu penghapusan kebiasaan lama bahwa anak perempuan tidak
berpendidikan, penghapusan perbedaan dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan, dan
penghapusan perbedaan manusia dalam ajaran moral.
Pemerintah yang menganggap perempuan memiliki peranan penting dalam perawatan
dan pendidikan anak sebagai generasi penerus, memberikan pendidikan yang berkaitan
dengan rumah tangga dan perawatan anak kepada kaum perempuan. Dengan kata lain,

1
Shinokosho adalah sistem pembagian kelas pada masyarakat yang urutannya adalah shi (Bushi) atau golongan
Samurai yang memiliki status tertinggi, diikuti oleh nō (Nōmin) atau kelas petani, kemudian ko (Kosakunin) atau
kelas pengerajin, dan terakhir shō (Shōnin) atau kaum pedagang yang berada di strata terendah.
Bambang Wibawarta. ‘Dejima: VOC dan rangaku’ dalam Jurnal Wacana Vol.10 No.2, Oktober 2008, hlm. 246-
263
2
Pemerintahan bakufu adalah pemerintahan dengan kondisi kaum bushi mengembangkan kekuatan yang
menandingi kekuatan kekaisaran, kemudian bakufu membawahi kaum bushi dan daimyō sebagai penanggung
jawab masing-masing han (wilayah) yang telah ditentukan pemerintah.
3
Bunmei kaika adalah pembangungan negara meliputi aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya, dengan
mengadopsi kebijakan modernisasi dan memperkenalkan peradaban negara-negara Barat. Perubahan-
perubahannya meliputi penghapusan kelas dalam masyarakat feodal, memperbaiki konstruksi gender pada
masyarakat dengan merealisasikan sistem pendidikan gakusei.

2
pendidikan yang diberikan kepada perempuan adalah untuk membentuk agar perempuan
menjadi ryōsaikenbo.4 Tujuan utama sistem pendidikan tersebut adalah mengajarkan bahwa
anak perempuan harus patuh kepada ayah, setelah menikah harus patuh kepada suami, dan
setelah tua harus patuh kepada anak laki-laki yang meneruskan keluarga.
Meskipun pemerintah akhirnya memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
mengenyam pendidikan formal, namun pendidikan yang berdasarkan ryōsaikenbo tersebut
justru ditujukan untuk menanamkan kepada perempuan bahwa tempat mereka adalah di
lingkup domestik. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan dibatasi hanya berupa
keterampilan untuk mengurus rumah tangga, yang disengaja untuk membatasi gerak kaum
perempuan agar tidak keluar dari urusan domestik. Artinya, kondisi pembagian peranan
gender seperti yang terjadi di masa feodal kembali diberlakukan, yaitu perempuan
ditempatkan di wilayah domestik, dan laki-laki berada di wilayah publik. Pemerintah
mengembalikan sistem lama ini dilandasi oleh alasan perlunya partisipasi dari seluruh rakyat
Jepang demi menyetarakan diri dengan negara-negara Barat, dan perempuan memiliki
peranan utama untuk mendidik dan membesarkan anak.
Pola masyarakat patriarki turunan dari periode Tokugawa makin terasa pada zaman ini
dengan dibentuknya Meiji Minpō atau Undang-undang perdata Meiji oleh pemerintah yang
salah satu isinya mengatur tentang keluarga dengan dominasi laki-laki. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi perempuan di zaman Meiji bisa dikatakan semakin lemah dengan adanya
Undang-undang tersebut, dikarenakan jika perempuan sedikit saja menyalahi peraturan ie,
maka ia telah melanggar peraturan pemerintah.
Meiji Minpō yang salah satu pasalnya mengatur tentang ie, membebani perempuan
dengan keharusan untuk dapat melahirkan anak, terutama anak laki-laki. Kodefikasi sistem ie
yang memberikan beban bagi perempuan untuk melahirkan dan mengurus anak tidak dapat
dinilai sepenuhnya buruk. Bagi pemerintah Jepang masa itu, tugas perempuan yang
dipaparkan dalam Meiji Minpō adalah tugas mulia. Namun, pemerintah tidak memperhatikan
kaum perempuan yang tidak memiliki kemampuan untuk melahirkan dan membesarkan anak
karena keterbatasan fisik. Maka dengan dilegalkannya sistem ie yang diturunkan dari periode
Tokugawa tersebut, kondisi perempuan Jepang dapat dikatakan semakin terpuruk. Kebijakan
yang mengatur ie pada Meiji Minpō tersebut membatasi kebebasan perempuan untuk
menentukan jalan hidupnya sendiri. Selain perempuan dianggap sebagai properti ie dalam

4
Dalam konsep Barat, ryōsaikenbo adalah konsep good wife wise mother (istri yang baik, ibu yang bijak) yang
sesuai dengan moral konfusianisme. Yaitu tugas seorang perempuan adalah memelihara anak, dan sesuai tradisi
yang berlaku, kebahagiaan bagi seorang perempuan adalah ketika ia dapat memajukan pendidikan di rumah
tangganya.

3
realisasi kebijakan tersebut, perempuan secara langsung menjadi tergantung pada ie,
khususnya kepada laki-laki yang menjadi kepala keluarga, baik bergantung pada status sosial
keluarga maupun ekonomi untuk menopang hidup.
Di tengah situasi tertindasnya kaum perempuan, muncullah gerakan-gerakan
perlawanan kaum perempuan untuk mendobrak sistem yang menyebabkan tersubordinasinya
kaum perempuan. Seperti Kishida Toshiko (1863—1901), yang dikenal sebagai orator
perempuan pertama di Jepang5 dan aktif dalam Jiyū Minken Undō6 untuk mendorong kaum
perempuan agar aktif berjuang menuntut hak-haknya sebagai anggota masyarakat.7
Perempuan lain yang juga aktif dalam Jiyū Minken Undō adalah Fukuda Hideko
(1865—1927) yang banyak mempromosikan hak-hak perempuan melalui gerakan sosialis dan
pasifis. Fukuda Hideko menuntut agar pendidikan perempuan ditingkatkan, menuntut agar
perempuan diberi hak pilih yang sama dengan yang diberikan kepada laki-laki, dan menuntut
agar kaum perempuan boleh aktif di dalam pemerintahan, pembelaan, dan pembangunan
negara.8 Meskipun banyak perempuan yang aktif memperjuangkan hak-haknya sebagai warga
negara, namun suara perempuan tidak didengar oleh pemerintah. Hal ini tercermin pada
pemilu9 pertama, tahun 1890, yang diikuti jumlah pemilih hanya satu persen dari total jumlah
penduduk, yaitu kaum laki-laki yang dapat membayar pajak tinggi sekitar 15 Yen. 10 Keadaan
inilah yang antara lain melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme yang mulai ramai
pada periode Taishō.
Pada akhir zaman Meiji hingga memasuki zaman Taishō (1912—1926), zaman yang
disebut sebagai periode demokrasi, banyak pemikiran yang muncul, salah satunya adalah
Feminisme, yaitu pemikiran dengan tujuan memperjuangkan kesetaraan gender. Tokoh
feminisme yang muncul pada periode Taishō adalah Hiratsuka Raichō (1886—1971) yang
nama aslinya adalah Hiratsuka Haruko.11
Hiratsuka Raichō pada tahun 1911 mendirikan Seitōsha atau Bluestocking Society
bersama dengan perempuan-perempuan muda yang belum menikah lainnya, dengan tujuan

5
Endah H. Wulandari, ‘Gerakan Feminisme Jepang’ dalam Jurnal WACANA VOL. 5 NO. 1. (April 2008), hlm.
20
6
Jiyū Minken Undō (Gerakan Menuntut Hak dan Demokrasi) adalah oraganisasi yang menuntut demokrasi,
dipelopori oleh Itagaki Taisuke dan didirikan pada tahun 1877.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 21
9
Pemilu atau pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan sebuah
pemerintahan perwakilan (representative government) dan merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu
pemerintahan demokrasi di zaman modern. (Budiardjo, 1987)
10
Sumiko Iwao. Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. (New York: 1993), hlm. 217
11
Wulandari. Loc.Cit., hlm. 23

4
untuk mengembangkan bakat perempuan di bidang sastra.12 Seitosha merupakan organisasi
perempuan yang kemunculannya menandai bangkitnya gerakan feminisme secara formal di
Jepang. Seitōsha didirikan menjelang berakhirnya zaman Meiji, sehingga untuk menyambut
zaman baru, banyak yang mengidentifikasikan tokohnya sebagai atarashii onna atau new
woman, karena dianggap berbeda dengan perempuan-perempuan masa sebelumnya. Sejak
pergantian zaman, atarashii onna sudah mulai melakukan aktivitas yang bersinggungan
dengan dunia laki-laki, seperti menjadi guru, perawat, dan artis. Seitōsha merupakan
organisasi borjuis yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan
berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga kelas menengah. Seitōsha juga menerbitkan
majalah perempuan Seitō atau Bluestocking di tahun yang sama dengan didirikannya Seitōsha.
Aktivitas Seitōsha pada awalnya hanya berhubungan dengan intelektual dan sastra.
Namun tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Seitō menunjukkan perubahan dari sastra
menjadi kritik akan keprihatinan perempuan terhadap permasalahan sosial yang
menggemparkan untuk kondisi saat itu. Di majalah Seitō, Hiratsuka Raichō juga
mengeluarkan beberapa manifesto dalam bentuk prosa dan puisi. Salah satu yang terkenal
dimuat dalam majalah Seito bulan September 1911, yang dikenal sebagai ‘Genshi, Josei Wa
Taiyō De Atta’:

「元始、女性は実に太陽であった。真正の人であった。今、女性
は月である。他に依って生き、他の光によって輝く、病人のやうな
青白い顔の月である。」13
“In the beginning, Woman was truly the Sun. An authentic person. Now,
Woman is the Moon. Living off another, reflecting another’s brilliance, she
is the moon whose face is sickly and wan.”14
“Pada awalnya, Perempuan adalah Matahari yang sesungguhnya. Sosok
yang otentik. Kini, Perempuan adalah Bulan. Hidup untuk orang lain,
memantulkan kemilau milik orang lain, Perempuan adalah bulan yang
wajahnya kering dan pucat”

Manifesto ini menggambarkan keadaan kaum perempuan Jepang yang hidup


bergantung pada kaum laki-laki, yang diumpamakan sebagai bulan yang sinarnya tergantung
pada cahaya matahari. Hiratsuka Raichō membuat manifesto seperti ini demi
memperjuangkan keadilan bagi perempuan Jepang yang tersubordinasi pada saat itu. Melalui
manifestonya, Raichō memberitahukan secara resmi kepada masyarakat dan pemerintah akan

12
Ibid.
13
http://www.geocities.co.jp/Bookend-Ohgai/5423/s/raicho.html (2015, 9 Mei)
14
Jan Bardsley. The Bluestocking of Japan: NewEssays and Fiction from Seito, 1911-16. (Michigan: 2007), hlm.
94

5
bangkitnya kesadaran kaum perempuan Jepang akan kondisi mereka yang tertindas,
diutamakan dengan bukti dari ratusan perempuan yang bergabung sebagai anggota Seitōsha.
Manifesto yang dicetuskan oleh Raichō tidak berakhir hanya di majalah Seitō.
Perempuan-perempuan lain yang menyebut dirinya sebagai atarashii onna melanjutkan
aktivitas lain untuk merebut hak-hak kaum perempuan Jepang, seperti menuntut kelegalan
aborsi, membuat organisasi perlindungan kaum ibu (bosei hogo), hingga akhirnya melahirkan
banyak feminis-feminis baru.

Tinjauan Teoritis

Subordinasi yang dialami oleh perempuan sangat dipengaruhi oleh sistem masyarakat
patriarki yang hampir Universal. Elizabeth Cady Stanton, dalam bukunya yang berjudul The
Women’s Bible, menyebutkan adanya doktrin yang yang disebutkan dalam kitab suci dan
hukum adalah berdasarkan gagasan ideal patriarkal bahwa perempuan diciptakan dengan
mencontoh laki-laki, dari laki-laki, dan untuk laki-laki (Tong, 2009). Dalam sistem sosial
termasuk agama, patriarki memunculkan berbagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa
laki-laki memiliki posisi di atas perempuan. Kepercayaan ini kemudian membentuk sebuah
sistem, baik hukum maupun norma sosial, yang mensahkan laki-laki mendominasi kaum
perempuan.15
Subordinasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti ‘kedudukan
bawahan’. Sedangkan Gender, dalam Women’s Studies Encyclopedia adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki maupun perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.16 Sehingga subordinasi gender dapat diartikan sebagai perlakuan menempatkan
salah satu gender agar posisinya terikat di bawah gender yang lain. Dalam kasus subordinasi
gender, perempuan bisa dikatakan selalu menjadi gender yang tersubordinasi, yang posisinya
lemah di bawah kekuasaan laki-laki, dan terikat akan kebutuhan perlindungan dari laki-laki.
Konsep gender terjadi melalui proses yang panjang, yang pembentukannya berasal dari
konstruksi sosial maupun kultural, seperti agama, politik maupun psikologi. Karena proses
yang panjang, akhirnya gender dianggap sebagai sesuatu yang bersifat biologis dan kodrati,

15
Abdul Muttaqim. Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarkhi. (Yogyakarta: 2003), hlm. 32
16
CH. Mufidah. Paradigma Gender. (Malang: 2004), hlm. 4

6
yang tidak bisa diubah karena merupakan ketentuan Tuhan, dan upaya penolakan perbedaan
gender dianggap sebagai perbuatan melawan ketentuan Tuhan.17
Banyak yang memandang perempuan sebagai gender yang didomestikasi, ditempatkan
di rumah untuk berperan mengurus rumah tangga. Peranan yang diberikan ini menjadi
panghalang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dan ekonomi di luar institusi
keluarga. Menurut West & Zimmerman, gender merupakan suatu konstruksi budaya dan
sosial yang meletakkan identitas perempuan pada kedudukan subordinat bagi laki-laki. 18
Konsep subordinasi perempuan dari laki-laki secara umum memusatkan perhatian pada apa
yang disebut sebagai problematik feminis, yaitu hubungan antara perempuan dan laki-laki
dalam proses sosial secara keseluruhan dan bagaimana hubungan tersebut berlangsung
sehingga merendahkan posisi perempuan (Mackintosh, 1981).
Domestikasi dan subordinasi perempuan dilatarbelakangi oleh pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan pada masayarakat kapitalis di era revolusi industri (1760—1832).
Pada saat itu ruang lingkup peran perempuan dibatasi hanya di rumah dan menjadi properti
laki-laki yang bekerja di pabrik. Pendidikan pada saat itu juga tidak bisa dinikmati oleh semua
golongan perempuan, hanya perempuan dari kalangan borjuis yang dapat mengenyam
pendidikan dan membuat karya tulis.19 Meskipun perempuan borjuis dapat mengungkapkan
pemikirannya, namun kedudukan perempuan borjuis tetap tidak bisa disamakan oleh laki-laki
borjuis, sehingga pemikirannya pun sangat sulit untuk didengar. Keadaan seperti ini yang
membuat kumpulan perempuan borjuis membuat sebuah gerakan yang disebut gerakan
feminisme. Definisi feminisme merupakan penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi
perempuan, gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak-hak perempuan.20
Mansour Fakih menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakdilan gender. 21 Meskipun saat ini banyak
kemajuan-kemajuan politik dan budaya yang membuat perempuan banyak ikut berpartisipasi,
masyarakat tetap menempatkan perempuan sebagai subordinasi dari posisi laki-laki. Karena
itu muncul gerakan perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,

17
Ahmad Baidowi. Tafsir Feminis. (Bandung: 2005), hlm. 31
18
West & Zimmerman. Doing Gender. (1991), hlm. 13-14
19
Perempuan kaum borjuis pada masa Revolusi Industri dapat mengenyam pendidikan karena mereka tidak
dibebankan tugas-tugas domestik sehingga waktu luangnya digunakan untuk mempelajari karya sastra dan
menulis. Sedangkan kaum perempuan proletar dibebankan tugas domestik serta wajib membantu perekonomian
keluarga.
20
Maggie Humm. The Dictionary of Feminist Theory. (New York: 1955), hlm. 93-94
21
Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta: 1999), hlm. 12-13

7
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.22 Gerakan ini kemudian dikenal dengan feminisme.
Feminisme berasal dari bahasa latin yaitu femina, yang berarti ‘memiliki sifat
23
keperempuanan’. Feminisme muncul diawali dengan persepsi masyarakat tentang
ketimpangan posisi perempuan terhadap laki-laki yang dianggap merugikan perempuan.
Ketimpangan posisi ini terlihat jelas di dunia filsafat yaitu sulit diterimanya pemikiran-
pemikiran perempuan. Hal ini disebabkan oleh pemikiran filsafat yang besar berpengaruh
dalam kebudayaan manusia sangat sarat dengan ciri maskulinitas. Maskulinitas filsafat dapat
dibuktikan melalui dua kondisi, yang pertama adalah sebagian besar filsuf adalah laki-laki,
dan yang kedua adalah sangat jarang karya tulis filsuf perempuan dapat bertahan
kepopulerannya dibandingkan karya filsuf laki-laki.24
Feminisme adalah paham yang muncul ketika perempuan menuntut untuk mendapatkan
kesetaraan hak dengan laki-laki karena adanya subordinasi perempuan atas laki-laki. Fokus
awal perjuangan feminisme adalah melawan pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat
perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang lebih lemah, lebih emosional, dan tidak
rasional. 25 Subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat
kebiasaan dan hambatan hukum, yang membatasi masuknya dan keberhasilan perempuan
pada apa yang disebut dunia publik (Tong, 2009).
26
Gerakan feminisme secara umum terbagi menjadi ‘tiga gelombang’ dalam
memperjuangkan kesetaraan hak-hak kaum perempuan dengan laki-laki, terutama di bidang
politik. Keikutsertaan perempuan di bidang politik dinilai penting, karena dianggap akan
mewakili perspektif, kebutuhan, dan kepentingan warga negara perempuan. Gelombang
gerakan feminisme yang paling pertama kali mengusung agar perempuan ikut serta di dunia
politik adalah gelombang pertama dengan aliran feminisme liberal.
Gerakan feminisme liberal berusaha memperjuangkan perombakan legislatif untuk
mendapatkan hak-hak dasar, seperti hak pendidikan, hak milik properti, pengaturan jarak
kelahiran, perceraian, pekerjaan, dan hak pilih (suffrage). Namun, perempuan yang ingin

22
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga
Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. (Yogyakarta: 2004), hlm. 184
23
Aida Fitalaya S. Hubies. ‘Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan’ dalam Membincangkan Feminisme.
(Bandung: 1977), hlm. 19
24
Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: 2003), hlm. 25-27
25
Chatia Jenainati dan Judi Groves. Introducing Feminism. (Malta: 2007), hlm. 9
26
Tiga gelombang feminisme: gelombang pertama—penghapusan diskriminasi dengan memperjuangkan hak-hak
perempuan, hak reproduski, hak berpolitik, peran gender, identitas gender, dan seksualitas; gelombang kedua—
pembebasan perempuan dengan usaha mendapatkan hak pilih, dan usaha untuk memasuki ranah politik
kenegaraan; gelombang ketiga—mengedepankan identitas politik perempuan yang makin beragam dan
spesifikasi posisi perempuan mulai ditonjolkam perbedaannya.

8
masuk dunia politik harus menghadapi kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, sosial dan
budaya tidak menerima perempuan untuk ikut serta di dalamnya. Turun-temurunnya paham
patriarki yang telah melekat di ruang publik, membuat kepercayaan bahwa tempat perempuan
adalah di ruang domestik dengan tugas yang bersifat ‘keibuan’ (Friedan, 1974).
Cara yang digunakan para feminis untuk memasuki dunia politik sangat beragam. Di
antaranya adalah dengan ikut aktif di partai politik, mendirikan organisasi perempuan,
melakukan orasi, membuat karya tulis yang beraliran sastra, hingga kritik terhadap
pemerintah yang berupa sebuah manifesto politik. Salah satu manifesto politik yang terkenal
dari seorang feminis Jepang adalah ‘Genshi, Josei Wa Taiyō De Atta’ yang dikemukakan oleh
Hiratsuka Raichō.
Kata ‘manifesto’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan
sebagai suatu pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu
kelompok. Dalam konteks politik, manifesto politik dapat diartikan sebagai pernyataan
terbuka tentang pandangan seseorang terhadap masalah negara. Manifesto politik yang
dilontarkan Raichō dalam penelitian ini, diasumsikan sebagai kritik terhadap pemerintah
Jepang yang dengan sengaja melegalkan subordinasi perempuan dan merenggut hak
kebebasan perempuan. Maka dengan dilontarkannya manifesto tersebut, diharapkan akan
memicu perempuan-perempuan lainnya untuk ikut berjuang merebut hak politik kaum
perempuan. Kemudian dengan ikut sertanya perempuan di ruang politik dan turut andil dalam
pembuatan kebijakan, akan dapat memperbaiki nasib kaum perempuan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap yaitu heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah Heuristik, yaitu mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang diperlukan melalui studi pustaka, yang pada penelitian ini
merupakan sumber primer dan sekunder berupa buku dan artikel jurnal. Tahap kedua adalah
kritik, yaitu sumber yang telah didapat kemudian dikritisi faktor eksternal dan internal dari
sumber tersebut. Setelah dikritik, kemudian masuk ke tahap interpretasi terhadap sumber yang
telah memenuhi ketentuan untuk menjadi sumber penelitian. Selanjutnya historiografi adalah
tahap terakhir dari metode penelitian ini, yaitu penulisan dari tema sejarah yang dibahas
dalam penelitian ini.

9
Penulisan penelitian ini menggunakan penalaran deduktif dengan menjelaskan
pengetahuan mengenai permasalah secara umum lalu mengaitkannya dengan peristiwa yang
lebih spesifik hingga didapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. Peneliti menggunakan
metode analisis deskriptif dalam mencari dan menganalisis data, kemudian mengaitkan data-
data yang telah telah terkumpul sehingga membentuk suatu kesimpulan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sistem patriarki pada masyarakat Jepang menyebabkan banyak ketidakadilan gender


yang dialami oleh perempuan Jepang. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga memiliki
kekuasaan yang lebih besar, menyebabkan terbentuknya ide-ide moral seperti ‘suami
memimpin, istri patuh setia’.27 Kuatnya kekuasaan kepala rumah tangga di keluarga Jepang
era Tokugawa, sangat terlihat di keluarga kalangan kaum bushi yang dikenal sebagai ie.
Chie Nakane menjelaskan, ie adalah suatu unit yang berlandaskan hubungan
kekerabatan dan bertempat tinggal di wilayah yang sama, yang juga mengatur masalah
ekonomi dan sosial. Ie terdiri atas orang-orang yang biasanya tinggal bersama dan dilandasi
oleh adanya kerja sama yang dipimpin oleh kachō28 untuk menjalankan kehidupan sosial dan
ekonomi demi kesinambungan ie (Bellah, 1985).
Pada ie, kachō menjadi pusat keberlangsungan ie, sehingga terdapat ketentuan-
ketentuan untuk menjadi kachō, yaitu:

1. Melalui pertalian darah (yang umum berlaku), yaitu diangkat dari chōnan
2. Mengadopsi pewaris laki-laki pada masa kanak-kanak, disebut yōshi
3. Mengadopsi menantu laki-laki, disebut mukoyōshi29

27
Chie Nakane. Masyarakat Jepang. Diterjemahkan oleh Bambang Kusriyanto. (Jakarta: 1981), hlm. 10
28
Kepala keluarga; dalam keluarga tradisional Jepang, suksesi hanya diberikan kepada anak laki-laki sulung
(chōnan) atau anak laki-laki tunggal sebagai penerus nama keluarga yang akan memelihara harta kekayaan
keluarga.
Ekayani Tobing. Keluarga Jepang dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan sosial. (Depok: 2006), hlm.63
29
Mukoyōshi yang diangkat menjadi anggota ie adalah jinnan (anak laki-laki kedua) atau sannan (anak laki-laki
ketiga) dalam ie asalnya, dan menikah dengan anak perempuan dari ie yang tidak memiliki anak laki-laki; yōshi
yang diadopsi adalah anak laki-laki dari keluarga saudara laki-laki kachō.
Seperti yang dikutip Tobing, dari Hironobu Kitaoji. ‘The Structure of Japanese Family’, dalam American
Anthropologist, Vol. 73. (1971), hlm. 35

10
Ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan mencerminkan bahwa perempuan pada masa
Tokugawa tidak memiliki hak waris sama sekali dalam ie, dan tidak memiliki wewenang
untuk menentukan keputusan dalam keberlangsungan ie.
Citra perempuan yang didomestikasi mulai menguat pada masa kekuasaan Tokugawa,
mengajarkan kaum perempuan Jepang tentang tiga kepatuhan bagi perempuan, yaitu
perempuan harus patuh kepada ayah saat masih sebagai anak, ketika sudah menikah harus
patuh kepada suami, dan ketika menjadi janda harus patuh kepada anak laki-laki tertua. Selain
didomestikasi, pekerjaan yang dilakukan perempuan-perempuan masa Tokugawa adalah
untuk mendukung pekerjaan suami, mengasuh dan mengurus kebutuhan anak, serta
mendukung keberlangsungan hidup keluarga. Semua yang dilakukan perempuan ditujukan
untuk kebutuhan hidup orang lain.
Setalah restorasi Meiji, pemerintahan makin memperketat pembagian ruang privat dan
ruang publik, yang juga mencakup pengaturan masalah pekerjaan rumah tangga. Sistem ie
yang awalnya hanya berlaku pada kaum bushi, kemudian diterapkan kepada seluruh lapisan
masyarakat oleh pemerintah Meiji. Meskipun pada awalnya kebijakan tidak mengkhususkan
perubahan peraturan rumah tangga, namun pada akhir abad ke-19 pemerintah memutuskan
membentuk ulang konsep perempuan dalam rumah tangga. Pembentukan ulang konsep
perempuan dalam rumah tangga ini tertera pada Meiji Minpō 1898, mengenai peraturan
keluarga Jepang yang didasarkan pada sistem ie.30 Isi dari Meiji Minpō tersebut antara lain:

1) Bagi setiap anggota keluarga, kepentingan ie harus mendapat prioritas


utama daripada kepentingan pribadi
2) Kachō (kepala keluarga ie) mempunyai wewenang yang besar menyangkut
berbagai aspek penting dalam kehidupan keluarga, termasuk aspek
perekonomian keluarga, hak waris, dan pemujaan terhadap arwah leluhur
3) Prinsip hubungan oyako (hubungan bapak dan anak laki-laki) lebih
dijunjung tinggi daripada hubungan suami-istri
4) Chōnan (anak laki-laki tertua) mempunyai hak sebagai pewaris utama untuk
menduduki jabatan kachō, serta hak-hak lainnya yang lebih penting dari
anak laki-laki kedua dan seterusnya
5) Harkat dan martabat laki-laki lebih diutamakan dari perempuan
6) Perkawinan lebih diutamakan sebagai penyatuan dua kelompok keluarga ie
daripada penyatuan individu suami-istri
7) Martabat honke (keluarga induk atau keluarga asal) lebih diutamakan dari
bunke (keluarga cabang)31

30
Tadashi Fukutake. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. (Jakarta: 1988), hlm. 37
31
Seperti yang dikutip oleh Etty N. Anwar pada Jurnal yang berjudul ‘Ideologi Keluarga Tradisional “IE” dan
Kazoku Kokka pada Masyarakat jepang Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II’, dalam Jurnal Wacana, Vol.9
No.2, (Oktober 2007), hlm. 194-205, dari buku karangan Aoi Kazuo. Kazoku to wa Nanika (Apa Yang
Dinamakan Keluarga). (Tokyo: 1974), hlm. 5-6

11
Pada poin-poin yang telah dituliskan, terlihat jelas bahwa tersubordinasinya posisi
perempuan pada masyarakat, yang diawali pada lingkup yang paling kecil yaitu keluarga,
dilegalkan oleh pemerintah dengan adanya kebijakan tersebut. Poin yang menjelaskan bahwa
kepentingan pribadi tidak ada harganya, ditambah dengan poin yang menjelaskan bahwa
kedudukan berada di bawah kedudukan laki-laki, semakin membuat posisi perempuan
tertindas dalam keluarga. Kemudian poin yang menjelaskan bahwa laki-laki sebagai kachō
memiliki hak otoriter penuh terhadap keluarga, dan poin yang menyatakan hubungan ayah
dengan anak laki-laki lebih diutamakan, menggambarkan bahwa perempuan juga tidak
memiliki hak untuk mengambil keputusan meskipun di ruang domestik tempat perempuan
ditempatkan. Poin yang menjelaskan bahwa pernikahan didasari oleh hubungan dua kelompok
ie, yang di dalam ie pun dikuasai oleh keputusan laki-laki, mencerminkan bahwa posisi
perempuan adalah untuk mendukung keberlangsungan keluarga dan kehidupan orang lain.
Sejak sebelum restorasi Meiji, perempuan-perempuan Jepang telah menyumbangkan
jasanya sebagai tenaga kerja yang berarti di lahan pertanian dan perdagangan. 32 Anak-anak
perempuan dan istri para pedagang biasanya membantu menjalankan usaha dagang mereka,
sedangkan bagi anak-anak perempuan dan istri dari para petani bekerja di ladang bersama-
sama dengan ayah, saudara laki-laki, dan suami mereka. Kemudian perempuan-perempuan
dari keluarga kaum bushi kelas bawah juga membantu perekonomian keluarganya dengan
menenun dan menjual hasil tenunnya. Meskipun perempuan-perempuan banyak melakukan
kontribusi, namun ruang lingkup pekerjaan mereka tidak jauh dari urusan rumah tangga.
Bahkan bagi para anak-anak perempuan kaum bushi kelas menengah atas, mereka bekerja
sebagai pembantu rumah tangga keluarga Tokugawa dan daimyō. Dan perempuan-perempuan
dari kelas-kelas lain biasanya bekerja sebagai wanita penghibur, penerima tamu, dan
pembantu rumah tangga lainnya.
Keadaan seperti ini menjelaskan bahwa sebagian besar perempuan dari golongan bawah,
bekerja bukan sebagai upaya merebut kebebasan hak menentukan pilihan, melainkan sebagai
akibat dari kebutuhan untuk membantu perekonomian keluarga. Kode etik konfusianisme
mengklaim bahwa laki-laki yang harus mengontrol sistem, mereka tidak menghargai pekerja
perempuan, namun pada kenyataannya perempuan yang mendukung perekonomian keluarga,
bahkan negara.33 Adanya Meiji Minpō makin memperburuk posisi perempuan dari golongan

32
Tomida. Op.Cit.,hlm. 42.
Seperti yang dikutip Tomida dari Yamazaki Takako, dalam Tsuda Umeko (1962)
33
Gail Lee Bernstein. Recreating Japanese Women, 1600—1945. (Amerika: 1991), hlm. 8-14

12
bawah. Mereka yang diwajibkan menurut kepada perintah kepala keluarga, harus pasrah
dikirim ke industri maupun rumah pelacuran untuk mendukung perekonomian keluarga.34
Setelah Restorasi Meiji, Pemerintah yang menyadari pentingnya kontribusi perempuan
di bidang pendidikan dan ekonomi, mengklaim bahwa rumah adalah ruang publik. 35
Meskipun pemerintah telah melegalisasi tugas perempuan mengacu pada ‘ryōsaikenbo’,
namun hal ini tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh perempuan dari keluarga menengah
bawah. Perempuan dari golongan bawah yang kepala rumah tangganya tidak dapat mencukupi
kebutuhan finansial keluarga, terkadang harus ikut bekerja. Beberapa istri membantu
suaminya berjualan dan bekerja sebagai pengrajin di industri.
Perdebatan mengenai status ganda perempuan sebagai tenaga kerja sekaligus sebagai
istri dan ibu marak diperbincangkan di tahun 1920an. Yang diributkan adalah bagaimana
seorang perempuan yang telah menikah dapat mengerjakan dua pekerjaan yang memerlukan
tanggung jawab penuh, satu di tempat ia bekerja, dan juga tanggung jawabnya di rumah
sebagai seorang ibu. Dalam perdebatan ini, posisi perempuan dipojokkan oleh peraturan
pemerintah tentang keluarga, tertera di Meiji Minpō, yang menuntut perempuan untuk
menjadi ‘istri yang baik dan ibu yang bijak’ dalam keluarganya. Namun di sisi lain,
pemerintah tetap membutuhkan perempuan sebagai tenaga kerja untuk mendukung
perkembangan industri benang yang sedang dicanangkan pemerintah sebagai faktor utama
peningkatan perekonomian negara.
Kondisi perempuan yang kurang diperhatikan pemerintah membuat banyak aktivis dari
golongan terpelajar tergerak untuk memulai debat yang menuntut pendefinisian ulang tentang
peran perempuan ke ranah publik. Dimulai dari publikasi yang dilakukan oleh jurnalis-jurnalis
tentang istilah ‘Atarashii Onna’. Perdebatan tentang atarashii onna pada periode Taishō yang
disebut sebagai periode demokrasi Jepang, mendapatkan respon dari banyak feminis. Di
antaranya adalah Yosano Akiko dan Hiratsuka Raichō sebagai perempuan-perempuan
penggagas organisasi feminis Seitōsha. Organisasi ini menjadi wadah penampung aspirasi
perempuan-perempuan Jepang, yang aktivitasnya terpusat pada perdebatan mengenai
atarashii onna melalui karya tulis, sehingga predikat atarashii onna diberikan kepada
perempuan-perempuan di organisasi Seitōsha karena karya tulis mereka yang mewakili
aspirasi perempuan-perempuan Jepang kerap muncul di koran harian.36

34
Tomida. Op.Cit., hlm. 52
35
Sharon H. Nolte dan Sally Ann Hastings. ‘The Meiji State’s Policy toward Women’, dalam Recreating
Japanese Women, 1600—1945. Hlm. 173
36
Fumiko Horimoto. Pioneers of The Women’s Movement in Japan: Hiratsuka Raicho and Fukuda Hideko seen
Trough Their Journals, Seito and Sekai Fujin. (Toronto: 1999)., hlm. 5

13
Seperti yang telah dijelaskan di depan, kemunculan Hiratsuka Raichō yang pertama kali
dan menggemparkan publik adalah ketika ia diduga akan melakukan percobaan shinjū 37
(bunuh diri bersama), dengan seorang anggota Keishū Bungakukai bernama Morita Sōhei.
Tiga tahun setelah kejadian tersebut, Raichō mendirikan organisasi khusus perempuan yang
bergerak di bidang literatur dengan nama Seitōsha, pada musim semi tahun 1911.38 Dan pada
bulan September di tahun yang sama, majalah dengan judul Seitō resmi dipublikasikan. Isi
dari majalah Seitō adalah kumpulan artikel yang dibuat oleh penulis-penulis perempuan yang
tergabung dalam Seitōsha.
Pada publikasi pertama majalah Seitō, Raichō memunculkan karya tulisnya yang
kemudian menjadi manifesto politik. Kutipan dari tulisan tersebut antara lain sebagai berikut:

“Pada awalnya, Perempuan adalah Matahari yang sesungguhnya. Sosok


yang otentik.
Kini, Perempuan adalah Bulan. Hidup untuk orang lain, memantulkan
kemilau milik orang lain, Perempuan adalah bulan yang wajahnya kering
dan pucat.
Dan sekarang, inilah kelahiran Seitō.
Diciptakan oleh pikiran dan tangan-tangan perempuan Jepang masa kini,
Seitō telah lahir.
Pada masa kini, yang didapat oleh para perempuan hanyalah hinaan.
Aku tau betul apa yang tersembunyi dibalik ejekan itu.
Dan aku tetap tidak takut.
Tapi kemudian, aku bertanya apa yang akan kita lakukan terhadap wanita-
wanita malang yang tetap menumpuk perasaan malu dan aib tentang
dirinya?
Apakah perempuan sangat tidak berharga yang hanya menimbulkan
kemuakan?
Tidak! Seseorang yang otenttik tidak seperti itu!
Sebagai perempuan masa kini, kami telah melakukan apapun yang kami
bisa. Mendedikasikan seluruh hati dan tenaga kami untuk melahirkan anak
ini — Seitō. Meskipun anak ini mungkin saja dungu, tercela, dan lahir
sebelum waktunya, namun tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Seiring
berjalannya waktu, kami harus puas dengan keberadaannya.
Tapi, apakah kita benar-benar sudah berusaha semaksimal mungkin hingga
kelelahan? Ah, siapa yang akan pernah puas dengan anak ini?
Ini, keluhan ketidakpuasan dari perempuan lain .
Apakah perempuan benar-benar lemah?
Tidak! Seseorang yang otentik tidak seperti itu!

37
Shinjū adalah istilah yang berarti bunuh diri bersama, yang banyak dilakukan oleh pasangan-pasangan pada
zaman Edo dan Meiji karena tidak dapat bersatu. Yang melatarbelakangi shinjū antara lain seperti alasan
perbedaan kelas keluarga, atau pasangan perempuan sudah menikah. Pasangan-pasangan tersebut melakukan
shinjū dengan dugaan untuk melarikan diri dari hukuman keluarga, dan dengan harapan dapat bersatu di Surga
menurut pemikiran ajaran Buddha.
38
Ibid., hlm. 139

14
Yang tidak boleh dipungkiri adalah, Seitō lahir ditengah kehausan karena
panas yang menyengat.
Semangat! Semangat! Kita hidup dalam keadaan seperti ini, dan sendirian!
Gairah semangat adalah kekuatan dari doa. Kekuatan dari keinginan.
Kekuatan dari konsentrasi meditasi. Kekuatan dari cara Tuhan. Gairah
semangat, adalah kata lain dari fokus spiritual.
Fokus spiritual adalah satu-satunya cara untuk mengungkap misteri.
(Potongan kutipan)
Aku berencana mencari keajaiban dengan fokus spiritual.
Keajaiban itu juga masih menjadi misteri. Manusia yang otentik.
(Akhir dari potongan kutipan)”39

Saat mengerjakan tulisannya, Raichō tidak pernah berpikir bahwa tulisannya akan
membuka gerbang emansipasi perempuan Jepang. Ia juga tidak beranggapan untuk
mendeklarasikan perebutan akan hak-hak perempuan selama menyelesaikan tulisannya. 40
Banyak yang bertanya kepada Raichō apa maksud dari ‘matahari’ dan ‘bulan’ yang
dicetuskan Raichō dalam kalimat pembuka Seitō, yaitu ‘Genshi, Josei wa Taiyō de Atta’.
Perkiraan publik adalah Raichō menggunakan sejarah kepercayaan Jepang terhadap dewi
matahari, yang mencerminkan bahwa pemegang kekuasaan dalam kehidupan sesungguhnya
adalah perempuan. Ada juga yang menyimpulkan bahwa Raichō terisnpirasi oleh Nietzche
dalam karyanya yang berjudul ‘Thus Spake Zarathustra’.41 Namun Raichō menjawab bahwa
ia menggunakan kata ‘matahari’ maupun ‘bulan’ dengan tidak melalui proses panjang.
Meskipun demikian, pembaca Seitō menganggap bahwa kalimat pembuka yang
dicetuskan Raichō sebagai deklarasi untuk merebut hak-hak perempuan. Seperti puisi karya
Yosano Akiko yang sama-sama dimuat pada Seitō edisi pertama, tulisan Raichō mengandung
harapan bahwa perempuan memiliki harapan untuk memperbaiki nasib mereka. Banyak
perempuan yang merasa karya Akiko dan Raichō mewakili perasaan mereka yang ditindas
oleh keadaan pada masa itu.42
Raichō menekankan bahwa tema dari tulisannya adalah untuk memberi pengertian
kepada perempuan bahwa mereka harus mengenali dirinya sendiri sebagai manusia dan

39
Karena hambatan bahasa pada teks asli yang merupakan bahasa Jepang lama, maka penulis menggunakan
sumber bahasa Inggris sebagai acuan terjemahan ke bahasa Indonesia yang dikutip dari The Bluestocking of
Japan: NewEssays and Fiction from Seito, 1911-16. Hlm 94-95
Format penulisan terjemahan puisi mengikuti teks asli.
40
Ibid., hlm. 160
41
Ibid.
42
Tomida. Op.Cit., hlm 160
Tahun diluncurkannya Seitō adalah masa perubahan ekonomi Jepang pasca perang dengan Rusia. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, sekitar tahun 1900an, pemerintah sedang gencar memajukan industri dan
memanfaatkan tenaga kerja perempuan yang dibayar murah.

15
sebagai individu di tengah masyarakat yang membuat status mereka tersubordinasi. Raichō
menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya merasa sangat tidak senang dengan keadaan
perempuan yang tersubordinasi, dan moral serta kebiasaan yang mereka anggap kuno. Namun
mereka juga tidak tahu jalan keluar dari situasi tersebut. Ia mengaku kemarahannya akan
ketidakrasionalan dan ketidakadilan perlakuan masyarakat terhadap perempuan, makin
menjadi-jadi saat ia menjadi bahan cemoohan masyarakat ketika kasusnya dengan Morita
Sōhei dibesar-besarkan oleh media massa.43
Ketika publik menganggap awal pergerakan perempuan Jepang adalah Seitō, mereka
langsung mengaitkan hal ini dengan gerakan liberalisme perempuan. Padahal kenyataannya
Raichō tidak menyinggung liberalisme politik maupun sosial perempuan Jepang. Pada
awalnya, Seitō dibentuk bukan sebagai upaya membuka pikiran kaum perempuan untuk ikut
dalam gerakan feminisme. Tujuan awal dan utama dari dipublikasikannya Seitō adalah untuk
mengajak kaum perempuan semata-mata untuk menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Dan
juga, pada saat itu anggota awal Seitōsha tidak memiliki pemahaman teoretis terhadap
permasalahan-permasalahan sosial, ataupun Fujin Mondai.44
Sejak awal dipublikasikannya Seitō, Raichō selalu menolak jika aktivitasnya dikaitkan
dengan hal yang berbau politik. Ia bersikeras bahwa organisasi yang ia dirikan bersama
teman-temannya adalah bertujuan untuk mengembangkan bakat literatur. Namun dari
kasusnya bersama Okumura Hiroshi, dan dari artikel berbentuk surat yang juga diterbitkan di
majalah Seitō, Raichō yang mengkritisi kebijakan pemerintah mengenai sistem ie dapat
dikatakan telah keluar dari jalur pengembangan literatur. Jelas-jelas Raichō mengkritisi
kebijakan pemerintah terhadap perempuan, sama saja sudah membicarakan hak perempuan
yang ia anggap tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Meskipun sejak awal banyak pihak yang mengajak Raichō untuk menjadikan Seitō
sebagai sarana memperjuangkan hak pilih perempuan, namun Raichō tetap bersikeras bahwa
yang ia inginkan hanya paham feodalisme yang mengakar di pemikiran perempuan Jepang itu
dihapuskan. Seitō memang memberikan pembacanya semangat agar berani mengungkapkan
apa yang dirasakan dan diyakini oleh para perempuan. Seitō juga menjadi kendaraan untuk
memajukan bakat perempuan, menambah kewaspadaan diri, menambah pengetahuan

43
Raichō. Op.Cit.
44
Ibid., hlm. 163
Fujin Mondai atau yang dapat diartikan sebagai ‘permasalahan perempuan,’ adalah istilah yang dicetuskan
Kawata Shirō, yang bahasannya dibatasi pada penindasan perempuan yang terjadi di industri pemintalan benang.
Publikasi kasus ini dicekal tahun sebelum Seitō muncul.

16
pembacanya terhadap masalah-masalah sosial, dan memberikan kesempatan bagi perempuan
untuk mendiskusikan masalah-masalah perempuan lainnya.45
Butuh sekitar lima tahun lagi bagi Raichō untuk menyadari pentingnya merebut hak-hak
lain bagi perempuan, khususnya hak politik. Tetapi Seitō juga merupakan batu loncatan bagi
Raichō dan perempuan Jepang lainnya dalam merebut hak politik. Pada tanggal 23 Agustus
1914, Jepang mengumumkan perang terhadap Jerman. Horiba Kiyoko berargumen bahwa hal
ini yang menurunkan popularitas Seitō.46 Media massa kemudia lebih memburu berita tentang
perang daripada memperhatikan masalah-masalah yang sebelum kemunculan Seitō
merupakan permasalahan minoritas. Ini merupakan tanda berakhirnya Onna no Jidai (masa
kejayaan perempuan). Raichō tidak menaruh banyak perhatian pada perang, dan terlihat tidak
tertarik.

Kesimpulan

Manifesto politik ‘Genshi, Josei wa Taiyō de Atta’ adalah awal mula usaha Raichō
untuk merebut hak politik kaum perempuan Jepang, demi mengubah nasib perempuan Jepang
yang tertindas karena kebijakan pemerintah pada masa itu. ‘Genshi, Josei wa Taiyō de Atta’
memiliki arti ‘pada awalnya, perempuan adalah matahari’. Raichō disebut-sebut
menggunakan kata matahari (Taiyō) sebagai representasi kekuatan perempuan terinspirasi
oleh pemikiran Nietzche. Namun, Raichō membantah tuduhan tersebut. Raichō secara singkat
menjelaskan ia menganalogikan perempuan dengan kata ‘matahari’ sesuai dengan makna
matahari sebagai sumber energi utama kehidupan, yang pada zaman dahulu sumber
kehidupan juga dipegang oleh perempuan sebagai pengendali utama populasi manusia.
Raichō ingin menekankan bahwa perempuan memiliki andil kuat untuk negara, seperti
meneruskan keturunan untuk menaikkan populasi pasca perang dengan Rusia, perempuan
seharusnya dihargai oleh pemerintah, dan layak diperlakukan lebih baik, utamanya didengar
aspirasinya. Maka dari itu Raichō membuat tujuan utama jurnal majalah Seitō adalah untuk
mengembangkan bakat menulis para perempuan, agar perempuan bisa mengungkapkan apa
yang ada di benaknya, sehingga dapat diketahui publik, dan sampai ke telinga pemerintah
dengan harapan pemerintah mau memedulikan nasib kaum perempuan.

45
Ibid., hlm. 218
46
Ibid., hlm 197

17
Agar pemerintah mau memedulikan nasib kaum perempuan, maka kursi pemerintahan
harus diisi oleh orang-orang yang peduli pada perempuan. Dan cara agar orang-orang yang
peduli pada perempuan dapat menduduki kursi pemerintahan adalah dengan memberi hak
pilih bagi perempuan. Agar kedepannya, orang-orang yang peduli kepada perempuan bisa
memperbaiki kebijakan pemerintah terhadap perempuan dan memperbaiki nasib perempuan
yang tersubordinasi pada masa itu.
Jika membahas mengenai hasil akhir dari manifesto politik yang dicetuskan Raichō,
tidak dapat dilihat dari rentang waktu yang singkat. Hak pilih bagi perempuan Jepang baru
diberikan pada tahun 1947. Namun, manifesto politik yang dicetuskan Raichō telah mendapat
respon besar dari masyarakat dan menarik perhatian pemerintah pada tahun dipublikasinkanya
majalah Seitō. Dibuktikan dengan setelah beredarluasnya manifesto tersebut, banyak
perempuan Jepang lainnya berbondong-bondong bergabung menjadi anggota Seitōsha dan
menyumbangkan tulisannya.
Raichō mengaku awal ia membentuk Seitōsha dan mencetuskan manifesto tersebut
bukan untuk mengkritisi pemerintah, melainkan untuk mengajak kaum perempuan untuk
mengembangkan bakatnya melalui karya tulis, namun interpretasi dari masyarakat terhadap
manifesto yang dicetuskan Raichō sangat berbeda. Awal aktivitas Raichō sebagai seorang
feminis hanya terbatas pada kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang
menyubordinasi kedudukan kaum perempuan pada masyarakat, utamanya masyarakat
golongan menengah atas. Raichō pada mulanya hanya menaruh perhatian kepada perempuan
golongan atas karena ia tidak pernah bersentuhan sama sekali dengan kasus perempuan dari
golongan bawah. Raichō tidak mengenal kehidupan perempuan golongan bawah pada awal
kiprahnya sebagai feminis.
Setelah dipublikasikannya majalah Seitō edisi pertama yang memuat manifesto Raichō
dan menggemparkan publik, diikuti dengan respon banyaknya perempuan lain yang menjadi
anggota Seitōsha, barulah Raichō mengenal kehidupan perempuan golongan bawah dari
banyaknya surat pembaca yang ia terima. Keprihatinan yang muncul dalam benak Raichō
setelah mengetahui nasib perempuan golongan bawah yang lebih menderita daripada dirinya,
membuat Raichō tergerak untuk meneruskan aktivitasnya diluar organisai Seitōsha.
Meskipun aktivitas Raichō di Seitōsha tidak menyentuh ke permasalahan kaum
perempuan golongan bawah, namun manifesto yang dicetuskan Raichō di majalah Seitō telah
membuka jalan bagi perempuan-perempuan lain untuk mengangkat berbagai isu lainnya
tentang perempuan ke hadapan publik. Sehingga, satu per satu masalah perempuan mulai
diperhatikan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya undang-undang yang

18
melindungi pekerja industri pada tahun 1916. Gerakan perempuan lain yang berawal dari
Seitōsha dan Seitō adalah didirikannya organisasi yang membela kaum ibu (Bosei Hogo), di
bawah asuhan Raichō, yang salah satu aktivitasnya adala menuntut dilegalkannya aborsi. Ini
adalah bukti bahwa dapat dikatakan manifesto politik ‘Genshi, Josei wa Taiyō de Atta’
merupakan awal dari upaya Hiratsuka Raichō dalam memperjuangkan hak politik kaum
perempuan Jepang periode Meiji—Taishō.

Daftar Pustaka

Anwar, Etty N. (2007). ‘Ideologi Keluarga Tradisional “IE” dan Kazoku Kokka pada
Masyarakat jepang Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II’. Jurnal Wacana, Vol.9 No.2,
Oktober 2007 hlm. 194-205.
Baidowi, Ahmad. (2005). Tafsir Feminis. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Bardsley, Jan. (2007). The Bluestocking of Japan: New Essays and Fiction from Seito, 1911-
16. University of Michigan.
Bellah, Robert N. (1992). Religi Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bernstein, Gail Lee. (1991). Recreating Japanese Women, 1600—1945. University of
California Press.
Budiardjo, Miriam. (1987). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia.
Fakih, Mansour. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Friedan, Betty. (1974). The Feminine Mystique. New York: Dell.
Fukutake, Tadashi. (1988). Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Terjemahan Haryono. Jakarta:
Yayasan Kartika Sarana bekerja sama dengan PT Gramedia.
Gordon, Andrew. (2003). A Modern History of Japan: From Tokugawa Times to the Present.
New York: Oxford University Press.
Hiratsuka Raichō. (2006). In the Beginning, Woman Was the Sun. Diterjemahkan oleh Teruko
Craig. New York: Columbia University Press.
Hironobu Kitaoji. (1971). ‘The Structure of Japanese Family’. American Anthropologist, Vol.
73.

19
Horimoto, Fumiko. (1999). Pioneers of The Women’s Movement in Japan: Hiratsuka Raicho
and Fukuda Hideko seen Trough Their Journals, Seito and Sekai Fujin. Thesis, Graduate
Department of Asian Studies, University of Toronto.
Hubies, Aida Fitalaya S. (1977). ‘Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan’ dalam
Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah.
Humm, Maggie. (1955). The Dictionary of Feminist Theory. Second Edition. New York:
Oxford University Press.
Iwao, Sumiko. (1993). Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New
York: The Free Press.
Jenainati, Chatia, dan Judi Groves. (2007). Introducing Feminism. Malta: Gutenberg press.
Kazuo, Aoi. (1974). Kazoku to wa Nanika (Apa Yang Dinamakan Keluarga). Tokyo:
Kabushiki Geisya Kodansya.
Mackie, Vera. (2003). Feminism in Modern Japan. Cambridge University Press
Mackintosh, M. (1981). Gender and Economics: The Sexual Division of Labour and The
Subordination of Women. Young, K.; Wolkowitz, C.; dan McCullagh, R. Of Marriage in The
Market: Women Subordination in International Perspective 7-13, London: CSE Books.
Mufidah, CH. (2004). Paradigma Gender, Edisi ke-2. Malang: Banyumedia Publishing.
Nakane, Chie. (1981). Masyarakat Jepang. Diterjemahkan oleh Bambang Kusriyanto. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tobing, Ekayani. (2006). Keluarga Tradisional Jepang dalam Perspektif Sejarah dan
Perubahan Sosial. Depok: Iluni KWJ.
Tomida, Hiroko. (2004). Hiratsuka Raichō and Early Japanese Feminism. Belanda: Brill.
West, Candace and Don H. Zimmerman. (1991). Doing Gender. In Judith Lorber and Susan A.
Farrell (Eds.), The Social Construction of Gender. Newbury Park, CA: Sage.
Wibawarta, Bambang. (2008). ‘Dejima: VOC dan rangaku’. Jurnal Wacana, Vol.10 No.2
Oktober 2008, 246-263.
Wulandari, Endah H. (2003). ‘Gerakan Feminisme Jepang Studi tentang Gerakan Protes
Ketidakadilan terhadap Perempuan pada Awal Zaman Modern’. Jurnal Wacana Vol. 5 No.1,
12-32.

20

Anda mungkin juga menyukai