Anda di halaman 1dari 20

FEMINISME KEADAAN PEREMPUAN DITENGAH BUDAYA PATRIARKHI

OLEH :

ANNISA CAMELIA RAMADHANI

NIM :

201810360311058

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Tema : Feminisme (Keadaan perempuan ditengah budaya patriarki)


2. Latar belakang

Perempuan sejak lama telah dianggap sebagai seorang manusi lemah, manusia
yang tidak mampu melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, maka
dari itu perempuan ditempatkan pada posisi tidak semestinya, Inilah kemudian
menjadi alasan mengapa perempuan dipandang sebagai manusia kelas dua di bawah
laki-laki sehingga tidak berhak bagi perempuan untuk menentukan kehidupan sendiri.
Namun saat ini telah berkembang salah satu organisai yang bisa menaikkan martabat
ataupun derajat perempuan, yaitu gerakan kesetaraan gender yang telah meluas sejak
abad ke 18, pada tahun 1970an gerakan ini mulai meningkat secara signifikan, demo-
demo yang dilakukan oleh kaum perempuan semakin gencar dan meluas di daerah
mana saja.

Gender diperkenalkan oleh seorang ilmuwan sosial yang menjelaskan adanya


perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan tuhan
dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.
Gender memposisikan dan menempatkan subjek dalam tubuh perempuan dengan
keharusan, gender bagi setiap perempuan adalah feminim. Namun banyak sekali
orang-orang yang menyalahgunkan hak-hak wanita untuk hal yang dapat
merendahkan martabat perempuan. Hal itu bisa kita lihat ketika isu kesetaraan gender
terus mengemuka bersamaan dengan berbagai asumsi banyaknya masalah ketidak
adilan yang dihadapi oleh perempuan, kaum feminis menganggap bahwa ketidak
adilan itu dapat dilihat dalam tindakan diskriminatif yang dialami perempuan.
Berbicara mengenai feminisme pada umumnya membicarakan bagaimana pola relasi
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan juga bagaimana hak, status,
kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik.

3. Rumusan masalah
Agar pembahasan mengenai keadaan perempuan ditengah budaya patriarki
semakin jelas pokok permasalahanya, maka untu memudahkan pembahasan ini
perlu melakukan kualifikasi bahasan dan masalahnya, yaitu dengan cara membuat
rumusan masalah sebagai berikut :
1.1. Bagaimana perspektif teori sosial feminisme dalam perkembangan
gerakan kesetaraan gender di indonesia?
1.2. Bagaimana pandangan hidup feminisme dan ketahanan budaya
perempuan indonesia dalam perspektif organisasi islam dan pandangan
hidup di bagian barat?
1.3. Mengapa kekarasan terhadap perempuan dalam gerakan sosial aliansi
laki-laki membuat kerusuhan pada beberapa negara?
4. Alasan penulis memilih literatur tetang feminisme atau keadaan perempuan
ditengah budaya patriarki :
Penulis memilih literatur ini karena ingin mengetahui lebih jelas dan mampu
memberikan informasi lebih luas mengenai kondisi atau keadaan perempuan yang
selalu dianggap remeh, dan mengapa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
selalu di bedakan hanya karena jenis kelamin, padahal bisa kita ketahui jika secara
fisik perempuan dan laki-laki sama, perempuan mampu melakukan hal yang
biasanya dilakukan, dan mengapa perempuan selalu ditindas atau dilecehkan
secara sembarangan, dan bagaimana caranya agar suara perempuan bisa didengar
dan mereka dapat diberikan keadilan. Maka dari itu penulis akan membahas
persoalan yang terjadi menunurt beberapa referensi terdahulu agar nantinya
pembaca mampu memahaminya secara luas.
BAB II
LANDASAN TEORI

Dalam perspektif feminisme, peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat


dipandang tidak sama derajatnya. Artinya keadaan sosial selama ini dianggap lebih berpihak
kepada laki-laki dan lebih menyudutkan perempuan. Para kaum feminis dalam pemikirannya
mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidak adilan terhadap perempuan di
dalam lingkungan masyarakat atau dalam keluarga, tapi para ahli memiliki pendapat yang
berbeda-beda seperti pendapat dalam menganalisis sebab terjadinya ketidakadilan serta
tindakan untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan.

BAB III

PEMBAHASAN

Penelitian pertama yang saya pilih berdasarkan jurnal yang dimuat oleh Puji Lestari
Krisbiyantoro, yang berjudul “ Feminisme sebagai teori dan gerakan sosial di
Indonesia”. Jurnal ini membahas beberapa prespektif teori feminisme menurut beberapa ahli
dan apa pokok apa yang membuat teori ini berkembang. Menurut Bashin dan Khan diskursus
feminisme tidak menggunakan grand theory yang monolitik sehingga tidak suatu standar
tunggal, dengan begitu feminisme dapat diartikulasikan secara beragam dalam konteks ruang
dan waktu serta secara sosiokultural sepanjang aksi atau gerakan, ini bermula dari kesadaran
tentang terjadinya penindasan baik fisik ataupun mental terhadap perempuan dalam
masyarakat atau keluarga.

Ben agger pada tahun 1998 berteori bahwa prestasi dari fungsionalisme ialah bukan hanya
pemahaman namun juga tindakan, feminis itu sendiri membentuk kesadaran yang dibangun
melalui pengalaman perempuan yang jelas akan kebenaran, pengetahuan dan kekuasasaan.
Perkembanganya feminisme mendapat respon yang lain dari isme-isme dari negara-negara,
seperti kapitalisme, sosialisme, modernisme, industrialisme dan bahkan post-modernisme.
Jika menurut Dzuhayatin feminisme tidak hanya diterima sebagai entitas melainkan secara
substansial tercela dan tidak perlu diberi ruang. Teori feminisme digunakan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang selalu memfokuskan pada peran dan posisi seorang
perempuan dalam semua aspek kehidupan. Teori ini juga digunakan untuk melihat secara luas
mengenai ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Setelah beberapa abad di
biarkan dan diremehkan oleh budaya patriarki, perempuan berusaha masuk untuk menjadi
subjek penyelidikan, dengan memusatkan pada persamaan perempuan kedalam kerangka
teoritik masalalu, kesamaan antara perempuan dan lakilaki ditekankan menurut Gross 1986-
194. Dapat dipaparkan apa pokok-pokok teori feminisme yang berkembang selama ini,
seperti:

1. feminsime mejelaskan kesetaraan dan ketimpangan gender, teori ini bertujuan untuk
memahami hakikat ketimpangan gender dengan menyaksikan peran sosial perempuan
dan pengalaman hidupnya,femimisme menurut beberapa ahlidan aktivis, feminisme
memiliki ragam makna
2. Teori femisnisme mendorong gerakan mencari keseimbangan gender, teori ini aiakui
merupakn teori yang lahir karena kondisi yang mendorong munculnya gerakan
feminisme, dan phalogosentridme
3. Teori feminisme anti diskripsi, penindasan dal masalh dikskrminasi
Feminisme berpusat pada isu-isu perempuan dan kesetaraan gender, oleh karena itu
pembebasan laki-laki dan seksisme dan penindasan peran juga menjadi masalah
feminisme.

4. Teori feminisme mengkontruksi hubungan kesetaraan gender

Awal tahun 1970an, gerakan kesetaraan gender perempuan ini sangat mencurigai
politik dan negara, terutama gerakan ini bersifat patriarkhi, teoritikus gender melihat
secara negatif karena feminisme sosialis terutama mengintegrasikan penindasan
terhadap perempuan ke dalam prespektif marxs. Akibatnya mereka melihat negara
sebagai instrumen dominasi ditangan kelas yang berkuasa, dan menegaskan pentignya
peran perempuan dalam memproduksi ketenagakerjaan.

Pakar ahli Philips mengatakan, pergeseran saat ini penekanan pada identitas ke
perbedaan, telah memindahkan feminisme ke luar persoalan ekslusif atau inlusi
perempuan ke isu kurang spesifik yang diasosiasikan dengan homogenitas, kesamaan.
Gerakan kaum feminisme di negara indonesia merupakan reaksi dari ragam
ketidakadilan, adanya proses penindasa, dan eksploitasi. Perempuan berjuang demi
kesamaan, egalitas, kesetaraan, atas hak yang sama, kesempatan yang sama dan kebebasan
untuk mengontrol dan menentukan jalan kehidupanya. Feminsime di indonesia mulai muncul
setelah buku kompilasi surat-surat Kartini dengan teman-temanya di Belanda, buku ini
populer ketika Amin Pane, pujangga angkatan balai pustaka menerjemahkan dan memberinya
judul “Habis gelap terbitlah terang” dan buku itu akhirnya membuat inspirasi bagi perempuan
unuk memperjuangkan hakat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Dan akhirnya
kata “mansiapsi wanita” saat itu menjadi ungkapan yang sangat dikenal banyak oleh semua
orang.

Perjuangan perempuan Indonesia diranah publik, tidak terlepas dari peran tulisan
dunia sastra, isu-isu feminsime digambarkan dalam beberapa novel indonesia masa lampau
seperti azab dan sengssara, siti nurbaya dan lainya. Isu-isu kesetaraan gender dalam
masyarakat kental dengan suasana patriarkhi. Tumbuhnya kesadaran dan keadilan gender
diberbagai negara saat ini, tidak lepas dari beberapa perjuangan kaum feminisme diberbagai
masa sebelumnya, feminisme sebagai teori dan gerakan sosial berkembang dan membawa
perubahan yang baik dalam masyarakat, upaya feminisme mewujudkan keadilan gender
masih berat dan panjang, diperlukan demokratikasi ertikal yang berkaitan struktur politik dan
demokratisasi horisontal menuju peruntuhan patriarkhi.

Penelitian kedua diambil dari jurnal yang ditulis oleh Rendy Adiwilaga, yang
berjudul Feminisme Dan Ketahanan Budaya Perempuan Indonesia Dalam Perspektif
Organisasi Islam Wanita. Dalam jurnal ini penulis akan menjelaskan meneganai posisi
gerakan organisasi islam dalam menyikapi isu feminisme serta implakasinya terhadap
ketahanan budaya, khusunya budaya perempuan Indonesia. Sebuah definisi umum yang
dikemukakan Sarah Gamble dalam bukunya “Feminisme dan Post-feminisme” menyebutkan
bahwa feminisme merupakan sebuah kepercayaan dimana perempuan semata-mata karena
mereka adalah perempuan, diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk
memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya. Dalam pola patriarkal,
perempuan menjadi semua hal yang bukan laki-laki (atau citra yang tidak diinginkan laki-
laki), dimana laki-laki dianggap kuat, perempuan lemah, laki-laki dianggap lebih rasional
dan perempuan emosional ataupun laki-laki dianggap lebih aktif, perempuan pasif. Artinya
perempuan masih berada satu tingkat di bawah laki-laki. Akibat budaya yang dibentuk oleh
kaum laki-laki, seluruh identitas perempuan seperti emosional, mengutamakan perasaan, serta
tidak mampu bekerja kasar, dianggap sebagai sifa-tsifat yang keliru dan pantang oleh laki-
laki.

Semua pemikiran tentang subordinasi perempuan dan gerakan-gerakan tersebut, pada


dasarnya berangkat dari persoalan-persoalan mendasar yang banyak direnungkan kaum
feminis di awal kelahirannya. Persoalan mendasar yang dipermasalahkan oleh feminisme
nyatanya berputar pada empat pertanyaan, diantaranya ialah (1) bagaimana dengan
perempuan? (2) mengapa semua ini terjadi? (3) bagaimana kita dapat mengubah dan
memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil untuk
perempuan dan semua orang? dan terakhir (4) bagaimana dengan perbedaan di antara
perempuan?. Penindasan terhadap perempuan, menurut aliran Marxis, bukanlah akibat dari
tindakan individual yang disengaja, melainkan hasil dari struktur politik, sosial, dan ekonomi
yang dibangun dalam sistem kapitalisme. Aliran ini meyakini bahwa sistem kelas dan sistem
kapitalisme telah menyebabkan ketidaksetaraan perempuan, Jadi bukan hanya patriarkisme
seperti apa yang pikirkan para pemikir sebelumnya tentang feminisme. Di pemikiran
feminisme Marxis, kapitalis lah yang menjadi biang keladi merosotnya produktifitas
perempuan dalam peradaban manusia ini. Kaum feminis radikal cenderung menilai bahwa
laki-laki dan seluruh budaya patriarkalnya merupakan awal mula ketertindasan perempuan di
berbagai belahan dunia. Segala sistem mulai dari perundang-undangan hingga tata cara
berkeluarga, jika itu dirumuskan oleh laki-laki, dianggap oleh kaum feminis radikal sebagai
“kebohongan dan kejahatan besar”. Kaum feminis radikal sama sekali tidak menganggap
laki-laki sebagai mitra, melainkan sebagai pesaing, terlebih sebagai sosok yang mengancam
keberadaan mereka. Mary Daly, salah satu penganut feminis radikal sekaligus pengikut
filsafat Nietzsche, berpikiran bahwa “perempuan yang dianggap jahat oleh patriarki adalah
sesungguhnya baik, sementara perempuan yang dianggap baik sesungguhnya adalah buruk.

Berbicara tentang budaya perempuan Indonesia, sungguh tidak bisa digeneralisir dan
dipukul rata jika kita mengkaitkannya dengan dimensi waktu. Kondisi perempuan Indonesia
baik pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan berlainan satu sama lain. Pada masa pra-
kemerdekaan, perempuan Indonesia bisa dibilang benar-benar tenggelam dalam budaya
patriarkis yang amat kental, gambaran perempuan Indonesia dapat diwakilkan oleh beberapa
tulisan R.A Kartini yang digambarkan sebagai perempuan yang terpenjara dalam budaya.
Budaya Indonesia yang secara kental dipengaruhi oleh etika Islam karena penduduknya yang
sebagian besar didominasi oleh penganut agama Islam, menjadikan kedudukan dan peran
perempuan juga turut terbentuk dengan mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam. Hal ini lah yang sejak dulu hingga sekarang masih tetap bertahan, yakni nilai
agama dalam budaya perempuan Indonesia. Beberapa daerah bahkan secara terang-terangan
menggunakan asas Islam sebagai landasan pemerintahannya. Beberapa daerah tersebut ialah
Aceh dengan hukum syariat Islamnya, serta Sumatera Barat dengan landasan filosofis
minangnya yang berbunyi “Adat basandi Syara, syara basandi kitabullah”. Keanekaragaman
tafsiran dalam memahami keislaman di beberapa wilayah nusantara nyatanya juga berdampak
pada bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan. Sebagian budaya masih
memperlakukan perempuan sebagai objek. Lain halnya dengan beberapa daerah yang
terbilang cukup maju, masyarakat disana cenderung memiliki kesadaran akan peran dan
posisi perempuan. Perlu ditekankan kemudian bahwa indikator terakhir, yakni berpedoman
agama, bukan berarti menekankan bahwa agama itu sendiri haruslah Islam, atau dengan kata
lain, perempuan Indonesia bisa disebut sebagai perempuan jika pedomannya hanya agama
Islam. Berpedoman pada agama sendiri peneliti artikulasikan dalam cakupan yang luas tidak
hanya Islam saja. Jadi yang menjadi pusat perhatian atau objek material dalam diskursus ini
bukanlah apa agamanya, melainkan ada atau tidaknya agama dalam benak perempuan
Indonesia.

Penelitian ketiga ini berdasarkan jurnal yang dimuat oleh Abdullah muslich rizal
maulana yang berjudul Feminisme sebagai Diskursus Pandangan Hidup, pembahasan
dalam jurnal ini mengkaitkan bagaiman pandangan hidup feminisme di bagian barat. Dalam
perspektif Barat Postmodern, wacana yang menjadikan acuan pemikiran selalu berhubungan
dengan relativism, equality, nihilism, dan reconstruction. pemikiran inilah yang tidak bisa
dilepaskan dari pandangan hidup Barat yang profan, terbentuk selama sekian ratus tahun
pengalaman teologis, sosiologis, dan historis Barat. Pandangan hidup inilah yang saat ini
berkembang di era Barat Postmodern yang menjadikanya sebagai pijakan bagian Barat untuk
memberikan tanggapan-tanggapan atas fenomena yang ada, termasuk feminisme dan gender.
Secara diskursus feminisme tidak terlepas dari gelombang westernized-globalization, yang di
dalamnya terdapat era postmodernism. Masa itulah yang menghasilkan pemikiran-pemikiran
Barat yang, dengan begitu feminisme mampu menjadi ideologi dengan visi dan misi yang
tersebar luas. Sebelum dikorelasi hubungan antara feminisme dengan pandangan hidup Barat,
sepertinya penting untuk diketahui pembagian tipologi feminisme yang ada di Barat.
Pertama, adalah Liberal Feminism, gerakan feminis liberal merupakan paham yang masih
sangat dekat dengan fenomena penindasan atas wanita. Dalam analisis feminis liberal,
dominasi patriarki di Barat berimplikasi pada intimidasi hak partisipasi wanita di ruang
publik (blocks women’s entrance to and success in the socalled public world). Mereka
menuntut persamaan hak aspirasi atas ketidakadilan gender yang seharusnya menyetarakan
antara lelaki dan wanita. Gerakan Feminis Liberal, secara teroganisir dipelopori oleh Mary
Wollstonecraft (1759-1799) dengan artikelnya yang berjudul “A Vindication of the Rights of
Women”. Wollstonecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang
dialami wanita disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi dan peminggiran
perempuan dari ruang publik. Tulisan Wollstonecraft ini sukses ‘membuka’ kebebasan
ekonomi, seksual dan publik wanita di Barat.

Kedua ialah Radical Feminism, secara definitif feminisme Radikal adalah paham
yang ingin merekonstruksi sistem gender yang partiarkal, untuk kemudian membentuk
masyarakat baru, di mana laki-laki dan perempuan setara di setiap level elemennya. Berbeda
dengan Feminis Liberal yang bergerak di bawah, Feminis Radikal menginginkan sebuah
sistem baru dengan komposisi yang telah disebutkan, “Sexual oppression, and social systems
that perpetuate sexual oppression, are morally evil because they limit or deny women’s
capacity to reflect on anddetermine their own lives.” Namun lepas dari tuduhan mereka
terhadap sistem, serta solusi yang mereka kemukakan, Feminis Radikal melakukan
pendekatan-pendekatan berkaitan dengan visi-misinya itu. Eksistensialisme yang ada di Barat
tentunya tidak lepas dari bagaimana Hegel dan Heidegger memandang dimensi perspektif
yang berbeda soal gender dan identitas. Eksistensialisme menjadikan hubungan antara alam
bawah sadar seorang manusia dengan lingkungannya terkait dengan bagaimana manusia
berkembang dari makhluk yang tidak sadar menjadi makhluk sadar yang mandiri. Di sinilah
kemudian ditemukan kaitannya secara konstruk dengan psikoanalitis. Oleh karena itu
menurut Jill stenas, boleh jadi eksistensi seorang wanita adalah menjadi makhluk lain
“Women was not only ‘Other’ do Men, but to Themself”

Lalu pandangan hidup Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, ialah cara manusia
memandang dan menyikapi apa yang terdapat dalam alam semesta bersumber dari beberapa
faktor yang dominan dalam kehidupannya. Faktor itu boleh jadi berasal dari kebudayaan,
filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Luasnya pandangan manusia
tergantung pada faktor dominan yang mempengaruhinya. Cara pandang yang berasal dari
agama dan kepercayaan akan mencakup bidang-bidang yang menjadi konsep kepercayaan
agama itu. Di bagian Barat, sejarah sosio-kultur yang berhubungan tentang wanita memang
sangat memprihatinkan. Hingga Masa Rennaissance pada abad 16-17, wanita dianggap
sebagai ‘maniak sihir’. Hal ini dikarenakan mayoritaspenduduk perempuan di bagian Barat
merupakan seorang penyihir. Mereka beranggapan bahwa walaupun ada penyihir yang
berjenis kelamin lelaki, tetap saja penyihir perempuan lebih mampu berbuat jahat. Hal inilah
yang dinyatakan oleh Philip J. Adler dalam The World Civillizations, dia berpendapat bahwa
Fitrah wanita di bagian Barat adalah makhluk yang lemah kepercayaan terhadap Tuhan. Dia
menulis, “It is fact that women has only a weaker faith.” “Therefore, the female si evil by
Nature.” Oleh karena itu, menurut masyarakat Barat sifat feminisme sesuai dengan konsep
etimologis yang memang dimiliki oleh wanita sejak dulu. menurut St. Augstine wanita adalah
sosok jelmaan iblis yang paling bertanggungjawab atas dosa turunan Adam. Karena dosa
tersebut berbentuk hubungan seks, makanya hubungan seksual di Barat abad pertengahan
menjadi sesuatu yang kotor, secara historis wanita di Barat senantiasa mendapatkan tempat
yang rendah, dicaci, bahkan dipojokkan dengan berbagai macam kekejaman. sejak era awal-
awal kekristenan hingga sekitar tahun 1750 telah ribuan wanita yang dieksekusi sebagai salah
satu wacana kekejaman inkuisi Gereja.

Penelitian keempat saya bersadarkan jurnal dari Cita Pertiwi dengan judul
Penindasan Gender pada Perempuan yang Dilacurkan. Kajian ini memfokuskan pada
perempuan dalam menjalankan perannya, konflik peran yang terjadi pada keluarga, modus
dan peranan suami terhadap fenomena perempuan yang dilacurkan serta penindasan yang
diterima oleh perempuan yang berdampak pada sekitarnya. Perempuan yang merasa
dilacurkan biasanya yang menjalankan peran ganda, dominasi sebagai akibat budaya patriarki
membuat perempuan harus mengalami penindasan berupa tekanan dan ancaman serta
kekerasan fisik juga verbal. Kondisi semacam inilah yang memicu berbagai macam
mekanisme survival pada masyarakat yang tersisihkan secara ekonomi dan menggunakan
dunia prostitusi sebagai jalan pintas untuk menyiasati keadaan tersebut. Berbagai macam
kasus pelacuran yang terjadi salah satunya adalah pelacuran yang disebabkan oleh orang-
orang terdekat yaitu anggota keluarga maupun kerabat, Keberadaannya yang sulit untuk
diberantas oleh pemerintah membuatnya menjadi salah satu masalah sosial yang begitu
kompleks. upaya yang telah dilakukan pemerintah baik upaya preventif maupun upaya yang
bersifat represif dan kuratif untuk menanggulangi masalah prostitusi belum menampakkan
hasil maksimal dan hingga kini, fenomena semacam ini belum ditemukannya upaya
penanggulanganya sehingga jumlah pekerja seks komersial semakin bertambah di setiap
tahunnya.
Adanya budaya patriarkhi pada lingkungan masyarakat mengakibatkan posisi
perempuan semakin terancam. Dalam hal inilah yang membuat sebuah konflik peran dimana
seorang istri dihadapkan pada permasalahan yang menjalankan perannya sebagai seorang
istri, ibu dan juga pelacur. Selain itu keberadaan suami sebagai kepala rumah tangga
terkadang membuat perempuan merasa dilacurkan karena bisa saja suami menjual istri hanya
agar bisa mendapatkan uang atau dengan motif lain yang berbeda. Tidak diherankan suami
melakukan itu karena sudah bayak sekali di beberapa daerah yang melakukan itu. Posisi
perempuan yang dilacurkan sebagai konsekuensi penindasan yang dilakukan laki-laki
(pasangannya). Hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan terlihat dari kepentingan
yang fundamental dari laki-laki yang mengendalikan, memanfaatkan dan menindas
perempuan, yaitu dalam praktek-praktek dominasinya dalam kehidupan keluarga. Dominasi
laki-laki termanifestasi dalam posisi ketika ia berhasil membuat pihak perempuan bersedia
untuk mengikuti kehendaknya. Dalam hal inilah istri yang dilacurkan merupakan pihak
subordinat yang dimanfaatkan dan dikendalikan oleh suaminya sebagai pihak yang dominan.

Dengan teori feminisme radikal dapat dilihat bagaimana sistem dominasi dan
subordinasi sebagai struktur fundamental bagi budaya patriarki. Sistem ini telah menciptakan
relasi antara laki-laki dan perempuan terjadi ketidakseimbangan. Dimana laki-laki superior
atas perempuan dan cenderung mengunakan dominasinya untuk menguasai perempuan dalam
segala hal, dan menciptakan penindasan terhadap perempuan. Seperti dalam halnya dalam
sebuah keluarga, dominasi laki-laki telah menciptakan ketidaksetaraan dan juga penindasan
yang terbingkai dalam dominasi laki-laki sebagai menifestasi sistem yang patriarki. Sistem
Patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai pihak yang dominan, telah mendorong terjadinya
hubungan yang timpang dan ketidakadilan gender. Pola semacam ini kemudian menjadi
sesuatu yang mendasar dalam masyarakat yang disebut sebagai sistem patriarkhi. Dalam hal
ini patriarki merupakan struktur kekuasaan primer yang dilestarikan denga sengaja. Menurut
kebanyakan teoritisi penindasan gender, penindasan dan ketimpangan adalah hasil dari sistem
patriarki. Dalam menganalisis fenomena semacam ini digunakan dua teori yaitu teori
psikoanalisis dan teori feminisme radikal.

Psikoanalisis Freudian dapat dibagi menjadi dua bagian yang berhubungan. Pertama
suatu teori yang menjelaskan asal-usul dan perkembangan seksualitas pasangan dan
perempuan. Kedua, merupakan suatu analisis bekerjanya ketidaksadaran. Teori-teori
Freudian ini secara tidak langsung mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual antara
pasangan dan perempuan merupakan akibat wajar dari kodrat perempuan sendiri. Dalam
melihat aspek kejiwaan, teoritisi feminis sangat dipengaruhi oleh peta kognisi buatan
Freudian yaitu, kawasan emosi manusia, hasrat dan ketakutan yang disadari dan tidak
disadari serta kawasan neurosis dan patologi. Ada dua kemungkinan penjelasan untuk
meneliti landasan energi dalam patriarki yaitu dominasi pasangan atas perempuan.
Perempuan yang dilacurkan menunjukkan adanya gejala-gejala yang dapat dilihat dari teori
psikoanalisis. Namun apabila ditarik dengan menggunakan teori psikoanalisis sebagai pisau
analisis. Peran masa lalu termasuk peran anak-anak perempuan atau perempuan yang
dilacurkan membawa pengaruh pada studi ini. Para perempuan yang bekerja sebagai PSK
karena di suruh oleh pasangannya memiliki masa lalu yang buruk sehingga berdampak pada
apa yang dilakukan di masa sekarang. Fenomena ini juga dapat dijelaskan dengan
menggunakan teori feminisme radikal dimana Feminisme radikal berdasarkan pada dua
keyakinan sentral, pertama bahwa wanita memiliki nilai positif sebagai wanita. Hal ini
diyakini sebagai ketegasan untuk menentang apa yang mereka katakan sebagai devaluasi
perempuan universal. Kedua, bahwa wanita dimanapun berada ditindas oleh sistem patriarki.
Feminisme radikal melihat bahwa di dalam struktur masyarakat yang paling mendasar
terdapat penindasan dimana orang-orang tertentu melakukan penindasan kepada orang lain.
Dalam hal ini pasangan berpasrtisipasi dalam sistem patriarki. Pasangan di sini belajar
memandang hina orang lain, memandang mereka bukan sebagai manusia dan belajar untuk
mengendalikan mereka.

Penelitian ke lima saya merupakan referensi jurnal yang ditulis oleh Ferdian Alamsyah
dengan judul perempuan dan pelecehan seksual saat penggulingan pemerintahan mursi.
Jurnal ini membahas bagaimana perempuan Mesir yang mengalami pelecehan seksual pada
saat kerusuhan domestik Mesir yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah yang
berkuasa. Kerusuhan domestik Mesir untuk menggulingkan pemerintahan Mursi yang terjadi
karena demonstrasi ketidak puasan rakyat Mesir oleh pemerintahan Mursi melibatkan laki-
laki dan perempuan yang langsung turun ke jalan di pusat kota Mesir. Laki-laki dan
perempuan Mesir memiliki kesamaan kedudukan dan hak sebagai warga negara yang telah
menciptakan kesetaraan gender. Bukan hanya melakukan demonstrasi untuk menggulingkan
pemerintahyang berkuasa, namun kerusuhan tersebut menimbulkan korban “salah alamat”
yang sangat di sayangkan dan seharusnya tidak terjadi, yaitu pelecehan
terhadap perempuan Mesir yang merebak di Mesir pada saat kerusuhan domestik Mesir
terjadi untuk menggulingkan pemerintahan Mursi. Kebanyakan feminsime menjelaskan
mengenai perempuan ialah kelompok yang tertindas dan berbeda dengan laki-laki karena
menjadi subjek diskriminasi, baik personal maupun institusional. Dan kebanyakan
mekanisme-mekanisme yang bekerja di masyarakat semuanya menguntungkan laki-laki.
Menurut Delmar dalam Joni Lovenduski, kebanyakan definisi feminisme menghubungkan
mereka dengan suatu kepedulian
terhadap posisi inferior perempuan dalam masyarakat dan dengan diskriminasi yang dihadapi
perempuan karena seks mereka.

Berkaitan dengan kasus pelecehan perempuan di Mesir yang dibahas dalam junral ini,
teori feminisme liberal menjadi acuan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada
peremouan di Mesir. Perempuan pada saat itu sam-sama berjuang untuk turun ke jalan
menuntut dan menyuarakan haknya untuk penggulingan pemerintahan Mursi yang sudah
dianggap tidak lagi menjalankan pemerintahan sesuai keinginan. Namun hak-haknya sebagai
perempuan bukanya dijunjung tinggi justru dijatuhkan oleh sekelompok laki-laki yang tidak
bertanggung jawab dengan melecehkanya di tempat umum di Mesir pada saat kerusuhan.
Para perempuan datang karena merasa kesamaan hak ini sesuai dengan teori feminisme
liberal yang memposisikan perempuan sebagai pusat ide dan praktik yang memfokuskan pada
pencapaian kesamaan hal antara laki-laki dan perempuan sebagai warga negara. Ini yang
seharusnya diterapkan di Mesir sebagai negara yang memiliki peradaban tibggi yang tentunya
bisa membentuk moralitas yang baik, tapi justru faktanya berbeda.

Mengenai adab dan moralitas di mesir bukanlah merupakan negara yang buruk
megenai hal itu, terutama dalam menghormati dan memperlakukan perempuan. Cerita dulu
mengenai cleopatra perempuan cantik yang menjadi penguasa mesir dahulupun
memperlihatkan bahwa perempuan di Mesir dapat menjadi seorang penguasa atau pemimpin
yang dihormati, namun kisah itu berbanding terbalik dengan keadaan saat ini yang
perempuan justru dilecehkan dan direndahkan begitu saja. Pelecehan terhadap perempuan
menyeruak dan stabilitas negara yang buruk buat perempuan menjadi citra yang melekat di
Mesir. Seolah-olah masyarakatnya tidak dikenal dengan peradaban yang tinggi tersebut,
menghilangkan nalar pikiran yang mereka dapatkan dari peradaban yang lekat dengan ilmu
dan pendidikan tinggi, oralitas hilang dan sikap perikemanusiaan mereka tak terlihat.

Kerusuhan penggulingan mursi tahun 2013 telah menciptakan instabiitas di Mesir.


Kerusakan fasilitas umum, korban jiwa berjatuhan, konlik kelompok, dan paling tragis adalah
pelecehan seksual terhadap perempuan yang sangat di sayangkan ditengah penyuaraan hak
sesama warga negara Mesir dan menentang keadilan justru gender muncul sebagai masalah
sosial. Pada bulan april 2013, PBB melaporkan bahwa telah menemukan sekitar 99,3%
perempuan mesir menjadi subjek kekerasan seksual dan menjadi isu besar dalam kekerasan
yang berbasis gender beberapa tahun bekalangan ini, Human rights watch juga melaporkan
bahwa perempuan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual di tempat umum yaity
di Tahrir square pada bulan juni saat kerusuhan penggulingan pemerintahan Mursi. Akibat
dari itu perempuan menjadi takut untuk keluar rumah karena pelecehan ini juga terjadi di
jalan-jlan umum di Mesir yang tidak peduli perempuan muda atau tua, emreka di raba-raba
damapi diperkosa di tempat umum. Hal ini bisa dilihat bahwa kesetaraan gender di Mesir
belum siap untuk di selelaraskan sesuai dengan teori yang disebutkan oleh feminisme liberal.
TABEL 1.1 Posisi penelitian

No Penulis Fokus dan Pendekatan Temuan Keterbatasan


penelitian
1. ( Puji Lestari - Feminisme sebagai  Menjelaskan gerakan Penelitian
Krisbiyantoro, teori dan gerakan pembebasan perempuan dari sudah
February, 2016) sosial di Indonesia rasisme, stereotyping, mencakup
1. Mendorong gerakan seksisme, penindasan dan beberapa teori
mencari phalogosentrisme yang berkaitan
keseimbangan  Pokok masalah dalam dengan isu dan
gender feminisme ialah diberikanya
2. Anti diskriminasi, kepemilikan, keadilan, beberapa
penindasan atau integritas tubuh, otonomi, contoh yang
patriarki produksi-reproduksi. dapat
3. Berjuang untuk  Ilmu politik berpendapat dipahami.
peran perempuan bahwa yang bersifat politis
dalam politik meliputi kehidupan pribadi
dan kehidupan privat yang
didasarkan atas hubungan
kekuuasaan daripada
perempuan.
2. ( Abdullah - Feminisme sebagai  Sejarah sosio-kultur Memfokuskan
muslich rizal Diskursus Pandangan menyangkut tentang wanita kultur dari
maulana, 2 Hidup memang memperhatinkan, negara barat,
september 2013) a. Feminisme hingga masa Rennaissance namun
sebagai diskurus wanita dianggap sebagai pandangan
pandangan hidup ‘maniak sihir’ karena islam hanya
barat mayoritas penyihir di barat mencantumkan
b. Feminisme wanita. ayat atau hadist
bukan  Masyarakat barat
pandangan hidup beranggapan sifat feminin
islam yang dimiliki wanita secara
fitrah bersifat ‘kurang
iman’.
 Feminisme dimaknai
sebagai wacana yang patut
dikritisi, bukan dalam artian
narrow minded namun
secara konseptual. Diskursus
gender berasal dari masa
lalu kelam wanita di barat
hingga akhirnya menuntut
kesetaraan.

3. (Ferdian - Kerusuhan domestik  Laki-laki dan perempuan Kasus yang


Elmansyah, ) mesir pada saat mursi memiliki kesamaan dianalilis
penggulingan posisi dan hak karena telah dalam
pemerintah mursi menciptakan kesetaraan penelitian ini
- Kekerasan terhadap gender. lebih
perempuan dalam  Perempuan mesir menjadi mengangkat
praktik gerakan sosial objek pelecehan seksual tentang
aliansi laki-laki baru yang membuat isu gender penggulingan
sebagai masalah sosial pemerintahan
 Perempuan mesir turun ke demi
jalan untuk menuntut dan kesetaraan
menyuarakan hak dalam gender dan
penggulingan pemerintahan kasus
mursi. pelecehan

 Pelecehan terhadap seksual di

perempuan menyeruak dan setiap tahunya

stabilitas negara yang buruk


membuat citra perempuan
melekat di mesir.
 Perempuan mesir yang
beranggapan kesetaraan
gender antara laki-laki dan
perempuan, justru
perempuan menjadi objek
pelecehan seksual dan
kekerasan.

4. (Citra pertiwi, ) - Penindasan  Peran pekerja PSK dan ibu Menerangkan


Gender rumah tangga yang bagaimana
Perempuan Yang dilakukan perempuan perempuan
Dilacurkan membuatnya merasa melakukan
Dalam dilancurkan pera ganda
Menjalankan  Ketidakseimbangan peran untuk
Peran yang dijalani, diri kehidupanya,
perempuan dan suami sebagai contoh
penguasa istri dilancurkanya
 Peran ganda yang dilukan namun
perepmpuan menjadikan kurangnya
sebuah konflik feminisme bebrapa contoh

 Teori penindasan gender


menjadikan wanita sebagai
akibat dari hubungna
kekuasaan
 Laki-laki memiliki alasan
untuk menindas perempuan
hanya sebagai dominasi
 Dominasi merupakan
hubungan pihak individu
atau kelompok dominan
sebagai alat untuk
kesenanganya
 Fenomena penindasan
memiliki dua teori untuk
menganilisanya yaitu
psikoanalisids dan
feminisme radikal
5. (Rendy - Feminisme Dan  perempuan Indonesia oleh Memfokuskan
Adiwilaga, Ketahanan tulisan R.A Kartini yang kepada tulisan
September- Budaya digambarkan sebagai R.A kartini
Februari 2017) Perempuan perempuan yang terpenjara dengan budaya
Indonesia Dalam dalam budaya dan sabda-
Perspektif  Representasi perempuan sabda nabi
Organisasi Islam disaksikan melalui wujud
Wanita Sanikem, tokoh perempuan
termarjinalisasi akibat tak
dapat berbuat apa-apa
 redefinisi pembangunan
yang mendorong perempuan
untuk disertakan membuat
ruang gerak yang lebih
besar.
 perempuan mandiri dan
bebas nilai yang memiliki
kemampuan mengatur
kehidupannya tanpa
intervensi keluarga maupun
lingkungan.
 perempuan bisa disebut
sebagai perempuan jika
pedomannya hanya agama
Islam.
KESIMPULAN

Inti dari feminisme adalah adanya tindakan untuk mengubah keadaan yang
menyudutkan perempuan, untuk hal ini penulis memberikan informasi mengenai bagaimana
keadaan perempuan di tengah budaya patriarkhi yang tindak tunduk pada kekuasaan laki-laki
dengan begitu saja. Feminisme tidak dapat mengasumsikan adanya kekuasaan seperti
patriarkhi karena realitas sebenarnya perempuan hidup didalam sirkulasi kuasa yang timpang,
dan feminisme tidak dapat di asumsikan secara normatif sebagai diskursus yang lepas dari
sejarah karena pada dasarnya subjek perempuan dunia ketiga sangat dipengaruhi oleh
kesejarahanya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa terdapat relasi kuasa yang telah dibentuk
oleh imperialisme yang sesungguhnya mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomu negara.
Sebenarnya feminisme ialah tempat dimana perempuan dapat dipandang berdasarkan
perbedaanya. Jika feminisme tidak ingin melandaskan dirinya pada posisi hegemonik maka
feminisme harus terus menerus membuka ruang pertanyaan baru yang dapat mencegah
adanya fondasionalisme. Karea itu feminisme hanya menjadi sebuah arah baru yang dapat
lebih dipahami berdasarkan perbedaan, dan dapat dipertanyakan kembali. Bagi penulis,
pencapaian arah baru akan melandaskan feminisme pada posisi fondasional dan hegemonik.
DAFTAR PUSTAKA
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127413-RB16I261e-Eksklusi%20subjek-
Kesimpulan.pdf
https://www.academia.edu/10322907/
Perempuan_dan_Pelecehan_Seksual__Studi_Kasus_Kerusuhan_Domestik_Mesir_Pada_Saat
_Penggulingan_Pemerintahan_Mursi
https://www.researchgate.net/publication/
293821955_FEMINISME_SEBAGAI_TEORI_DAN_GERAKAN_SOSIAL_DI_INDONES
IA
http://eprints.umpo.ac.id/2466/2/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai