Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH STUDI KASUS FEMINISME DI INDONESIA

“TES KEPERAWANAN YANG DIANGGAP SEBAGAI


TINDAKAN DISKRIMINASI TERHADAP WANITA”

Disusun oleh:

Kelompok 4

1. Anilni Munaya (3315160595)


2. Avitasari
3. Rifa Septiyani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Issu Feminisme di Indonesia” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Issu Feminisme di Indonesia”.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Jakarta, 10 April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar .................................................................................................
Daftar isi ............................................................................................................
BAB I .................................................................................................................
A. Latar Belakang ..............................................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................................
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................
BAB II ...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Feminisme sangat erat kaitannya dengan emansipasi wanita, dimana
kesetaraan haklah yang diperjuangkan. Bukan suatu hal yang baru, karena gerakan
ini sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Penyebabnya karena wanita tak
memiliki hak yang sama dengan pria.
Sejak gerakan feminisme dan isu ketidakadilan gender pertama kali masuk ke
Indonesia pada awal 1960-an hingga saat ini, dimana isu ini telah menjadi bagian dari
fenomena dan dinamika sosial masyarakat Indonesia posisi perempuan semakin
membaik. Kesempatan bagi mereka untuk aktualisasi diri juga semakin terbuka. Namun
hal ini tidak berarti telah terkikis dan sinarnya persoalan kegenderan yang dihadapi oleh
mereka. Persoalan tersebut pada umumnya berasal dari dua arah; dari luar(eksternal)
dan dari dalam (internal). Problem eksternal, misalnya berupa masih kuatnya untuk
tidak mengatakan masih ada reaksi kontra yang berbasis pada budaya patriarkis dari
sebagian unsure masyarakat. Sementara problem internalnya adalah munculnya
kegalauan dan kegamangan psikologis pada diri kaum perempuan itu sendiri ketika
mereka mengaktualisasikan peran publiknya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana reaksi masyarakat menanggapi tes keperawanan khususnya
wanita?
2. Apakah tes keperawanan termasuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan?
3. Bagaimana tanggapan dari instansi yang menggunakan tes tersebut yaitu Polri
dan TNI?

C. TUJUAN
1. Mengetahui reaksi masyarakat menanggapi tes keperawanan khususnya
wanita
2. Mengetahui tes keperawanan termasuk bentuk diskriminasi terhadap
perempuan
3. Mengetahui tanggapan dari instansi yang menggunakan tes tersebut yaitu Polri
dan TNI
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Dan Konsep Feminisme


Feminisme adalah ideologi atau sebuah paham yang menyatakan
persamaan hak antara pria dengan wanita. Secara bahasa, feminisme berasal dari
bahasa latin, yaitu dari kata “femina” yang artinya memiliki sifat keperempuanan.
Feminisme sering juga diartikan sebagai gerakan emansipasi wanita yang
menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat
antara wanita dengan pria. Orang yang berpegang pada ideologi feminisme
disebuat feminis. Persamaan kedudukan antara pria dengan wanita dalam paham
ini berlaku dalam segala hal. Pada masa awal pemunculannya, paham feminisme
identik dengan “perjuangan kaum wanita” tetapi saat ini feminisme sudah
berkembang dan mulai diartikan “perjuangan terhadap segala bentuk
ketidakadilan”.
Menurut June Hannam (2007:22) di dalam buku Feminism, kata feminisme bisa
diartikan sebagai:
1. A recognition of an imbalance of power between the sexes, with woman in a
subordinate role to men.
2. A belief that woman condition is social constructed and therefore
can be changed .
3. An emphasis on female autonomy.
Terjemahan:
1. Pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara
dua jenis kelamin, dengan peranan wanita berada dibawah pria.
2. Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentuk secara sosial dan maka dari itu
dapat diubah.
3. Penekanan pada otonomi wanita.
B. Sejarah
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi antara
kesamaan hak dan keadilan dengan laki-laki. Feminisme ini mulai berkembang
ketika zaman Renaissance atau zaman pencerahan di Eropa, yang dipelopori oleh
Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis De Condoreet setelah revolusi
Amerika pada tahun 1776 dan revolusi Perancis pada tahun 1792.
Pada saat itu berkembanglah pemikiran bahwa posisi perempuan kurang
beruntung daripada laki-laki dalam relaitas sosial, maka ketika itu semua kalangan
perempuan baik kalangan atas, menengah dan bawah tidak memiliki hak-hak
dalam mendapatkan pendidikan, berpolitik hak atas milik dan pekerjaan, oleh
karena itu kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan
hukum.
Pada Tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah berkumpul untuk
pertama kali didirikan di Middleburg sebuah kota di dekat Belanda.
Feminisme itu dicetuskan pertama kali oleh aktivis Sosial Utopia , yakni
sebagai penggagasnya Charles Fourier pada Tahun 1837, pergerakan feminisme
ini berpusat di eropa dan berpindah ke Amerika dan terus berkembang pesat sejak
dipublikasikan oleh John Stuart Mill “ The Subjection Of Women” pada Tahun
1869, Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa - masa pemasungan
terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa
dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki
(maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya -
terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional
yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan didepan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai
mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya
Revolusi Perancis di abadke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan
keseluruh dunia.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa gerakan feminism pertama di
Indonesia adalah perjuangan R.A Kartini agar kaum perempuan diberikan hak
untuk menempuh pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Banyak kalangan yang
mengkritisi peran Kartini dalam pergerakan feminisme nyata karena memang
dalam sejarah diceritakan bahwa sebagian besar ide-ide besar Kartini untuk
mengangkat derajat perempuan di Indonesia hanya tertuang dalam tulisan-
tulisannya untuk temannya di Belanda, sedangkan tindakan nyata yang sempat
dilakukan Kartini hanyalah membuat sekolah kecil khusus perempuan. Peran
tersebut dianggap terlalu kecil untuk dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme
di Indonesia. Akan tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu semangat Kartini
yang begitu kuat untuk menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang pada masa itu memang belum
dimiliki perempuan manapun di negeri ini. Oleh karena itu, gelar peolopor
gerakan feminisme memang sepantasnya disandang Kartini, setidaknya ia
mengawali pemikiran. Kondisi sosial masyarakat dimana manusia tidak lagi
dipandang berdasarkan gender dan diperlakukan dengan lebih buruk hanya karena
mereka terlahir sebagai perempuan.
Faktanya, pada perkembangan selanjutnya di akhir masa penjajahan
Belanda di Indonesia, para tokoh pergerakan perempuan yang mencetuskan
diadakannya kongres perempuan menjadikan Kartini dan pemikir-pemikirannya
sebagai landasan semangat perjuangan mereaka. Bahkan hingga saat ini, hari
Kartini di peringati dengan semangat bahwa perempuan harus mampu mandiri
dan bersaing dengan kaum laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. Jadi tidak
dapat dipungkiri bahwa terlepas dari segala kontroversi dan penolakan yang
memojokkannya, Kartini secara defacto merupakan pencetus dan penggagas
pertama semngat emansipasi perempuan di Indonesia.
C. Ciri – Ciri Feminisme
 Menyadari adanya perbedaan atau ketidakadilan kedudukan antara laki-
laki dan perempuan.
 Menuntut Persamaan hak antara Laki-Laki dan Perempuan.
 Laki-laki dianggap kaum yang lebih mementingkan dirinya.
 Gerakannya didominasi oleh Wani
BAB III
PEMBAHASAN

A. Isu Mengenai “Tes Keperawanan”

Human Rights Watch menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk


segera memerintahkan penghentian tes keperawanan yang ternyata masih
dilakukan terhadap perempuan calon anggota di institusi militer dan kepolisian.
Presiden Jokowi bisa menghentikan tes keperawanan ini dengan meminta
Menteri Koordinator Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan, Puan
Maharani, untuk berbicara dengan Kapolri dan Panglima TNI, demikian
pernyataan Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch kepada VOA
Selasa (21/11) malam.
“Secara operasional Kapolri dan Panglima TNI yang berhak menghentikan
praktek ini. Puan Maharani bisa mengundang menteri-menteri lain, termasuk
menteri kesehatan, menteri pemberdayaan perempuan dan menteri dalam negeri,
untuk menyatakan pandangan soal tes yang melanggar HAM, diskriminatif dan
tidak ilmiah ini,” kata Andreas dalam pernyataannya.
Human Rights Watch melalui situs webnya pekan ini mengatakan telah
mewawancarai para peserta perempuan yang mendaftar untuk menjadi polisi di
enam kota dan telah menjalani tes keperawanan, dua diantaranya pada 2014.
Mereka yang “gagal” memang tidak langsung dikeluarkan, tetapi
menggambarkan tes itu sebagai hal yang menyakitkan dan traumatis. Peserta yang
menjalani tes itu telah menyampaikan isu tersebut kepada pejabat-pejabat senior,
yang ketika itu mengklaim bahwa praktek itu telah dihentikan. Tetapi tes itu
masih ada dalam daftar persyaratan bagi perempuan di situs resmi kepolisian dan
beberapa sumber VOA mengatakan tes keperawanan masih terus dilakukan,
walaupun sudah dilarang.
Polri sudah melarang tes keperawanan sejak 2006, kata Brigjen Polisi
Purnawirawan Sri Rumiati kepada VOA.
“Waktu itu saya menjelaskan bahwa tugas pokok polisi adalah
menegakkan hukum negara. UU No.7/1984 menegaskan bahwa negara harus
menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, jadi wajib
hukumnya bagi Polri untuk menegakkan aturan hukum ini,” ujar Sri. Ironisnya,
menurut Sri, yang membuat aturan pemeriksaan kesehatan adalah dinas
kedokteran, dengan alasan moral.
“Saya sampaikan bahwa semua polisi, baik laki-laki maupun perempuan
harus baik. Jadi, jika perempuan diperiksa keperawanannya, laki-laki juga harus
diperiksa keperjakaannya. Nah, karena tidak mungkin dilakukan untuk laki-laki,
ya jangan dilakukan untuk perempuan!” tegas Sri.
Dalam wawancara melalui telepon, Sri mengakui bahwa dirinya
mengetahui perasaan tidak nyaman dan traumatis yang dialami para calon polisi
perempuan itu karena pernah menjalaninya.
“Saya menjalani pemeriksaan kesehatan semacam ini pada tahun 1984.
Tentu tidak nyaman lah, wilayah privat kita diperiksa dengan cara demikian,” ujar
Sri lirih.
Tes keperawanan yang dilakukan ini mencakup “tes dua jari” yang invasif,
untuk menentukan apakah selaput dara calon polisi perempuan masih utuh atau
tidak. Tes yang secara ilmiah tidak berdasar ini kabarnya digunakan untuk
mengukur moral.
Nihayatul Wafiroh, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa,
yang dikenal kerap bersuara lantang pada isu-isu perempuan, menilai “tes
keperawanan sebagai praktek yang melecehkan perempuan, melanggar hak
perempuan dan tidak memiliki landasan hukum.”
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti
Chuzaifah, yang menilai tes keperawanan itu sebagai diskriminasi paling purba
karena melihat persoalan kehormatan perempuan hanya pada keperawanan
semata.
“Kami sepakat bahwa seluruh manusia harus menjaga kehormatannya,
tetapi menilai dari aspek keperawanan berarti mensimplifikasi persoalan,” kata
Yuniyanti menegaskan.
“Temuan Komnas Perempuan, korban kekerasan seksual sangat massif,
hal ini menyasar pada anak-anak dan bahkan bayi, kekerasan dalam masa pacaran
juga tidak sedikit jumlahnya, penipuan atas nama perkawinan apalagi kawin siri
dsbnya – juga tidak sedikit. Artinya bakal ada berapa banyak perempuan yang
menjadi korban dari asumsi bahwa perempuan kehilangan keperawanan karena
persoalan moral, padahal kebanyakan dari mereka adalah korban," tukas
Yuniyanti.

B. Respon Masyarakat terhadap “Tes Keperawanan”

Banyak pihak setuju dengan usulan Human Rights Watch agar Presiden
Joko Widodo turun tangan menyelesaikan isu ini dengan memerintahkan
penghentian tes keperawanan di militer dan kepolisian.
Nihayatul Wafiroh, yang duduk di Komisi IX DPR RI, mengatakan setuju
karena ia menyayangkan ketidaktegasan banyak pihak untuk menghentikan pratek
ini. “Beberapa tahun lalu saya menyampaikan kepada menteri kesehatan supaya
mendesak kepolisian dan TNI menghentikan hal ini, tapi sampai sekarang belum
juga berhenti.”
Pensiunan polisi, Sri Rumiati, bahkan mengusulkan kepada HRW
membuat class action guna menghentikan praktik ini secara serentak di kepolisian
dan TNI. “Sulit bagi perempuan di Polri dan TNI menyuarakan ketidakadilan ini.
Terlalu mahal untuk mempertaruhkan karir mereka,” ujar mantan petinggi Polri
ini.
Human Rights Watch mengatakan dengan mengakhiri tes keperawanan
semacam ini, pemerintah Indonesia berarti mematuhi kewajiban HAM
internasionalnya dan sekaligus menghormati tujuan Hari Pemberantasan
Kekerasan terhadap Perempuan Internasional yang diperingati setiap 25
November. Tema besar peringatan tahun ini adalah “leave no one behind : end
violence against women dan girls.”

C. Tanggapan dari Polri dan TNI

Juru bicara Polri, Brigjen Rikwanto, dalam keterangan tertulis kepada


BBC Indonesia mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi tes keperawanan bagi
calon anggota polwan.
"Di seleksi penerimaan polwan sudah tidak ada lagi tes keperawanan,"
ujarnya.
Juru bicara TNI, Brigjen MS Fadilah, yang baru menjabat Selasa lalu,
sementara itu meminta waktu untuk mengecek tes keperawanan bagi calon
anggota TNI.
"Saya mohon waktu dulu untuk mengecek kondisi terakhir supaya
jawaban saya tidak keliru," kata Fadilah.

Anda mungkin juga menyukai