Anda di halaman 1dari 33

PERAN ILMU SOSIAL PROFETIK DALAM

PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Teori Sosial Indonesia

Dosen : Dr. Nasiwan, M.Si

Oleh :

Desy Wahyuningsih (16416241048)

Progam Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS ILMU SOSIAL

Universitas Negeri Yogyakarta

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah yang berjudul “Peran
Ilmu Sosial Profetik Dalam Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia”. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penyusunan makalah ini.

Hasil penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, untuk


itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini.

Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membacanya dan yang berkaitan. Dan tentunya berguna untuk bidang ilmu
pengetahuan sosial.

Yogyakarta, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemikiran Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik 3


2.2 Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia 7
2.3 Peran Ilmu Sosial Profetik Dalam Perkembangan Ilmu Sosial di
Indonesia 21

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 27
3.2 Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di Indonesia, apabila mendengar pembahasan tentang ilmu sosial, pastinya


pandangan masyarakat bertumpu pada pemikiran Barat. Hal ini karena Indonesia
telah lama mengadopsi pemikiran – pemikiran ilmuwan Barat. Teori Barat yang
kemudian digunakan untuk pedoman pembelajaran serta sebagai pemecahan
fenomena sosial yang terjadi di Indonesia sebenarya belum tentu cocok apabila
diterapkan di Indonesia. Teori Barat sebenarnya mampu menganalisis serta
mendeskripsikan fenomena – fenomena di Indonesia, namun karateristik teori
Barat dengan fenomena di Indonesia sangatlah bertolak belakang.

Pemikiran Barat pun juga menjadikan ilmuwan – ilmuwan di Indonesia


berpangku tangan dalam berperan mengembangkan teori sosial bagi Indonesia.
Mereka berpedoman pada teori Barat yang pada dasarnya teori Barat sendiri
tercipta karena fenomena sosial yang telah terjadi di dunia Barat dan tentu saja
berbeda ketika memandang fenomena sosial yang terjadi di Indonesia.

Pada semua lembaga pendidikan pun tak luput dari pemahaman teori – teori
Barat yang digunakan sebagai landasan pemikiran ilmu sosial. Sehingga
pengenalan ilmu sosial kepada peserta didik hanya berpadangan pada pemikiran
Barat. Sehingga konsep yang telah tertanam pada pemikirannya tentang ilmu
sosial yakni teori – teori yang berasal dari Barat tanpa memahami kondisi di
Indonesia. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak negatif, apakah peserta didik
dalam dunia yang sebenarnya nantinya dapat membuat jalan keluar atas fenomena
yag terjadi di Indonesia.

Kondisi pemikiran masyarakat Indonesia inilah yang melahirkan salah satu


ilmuwan Indonesia yakni Kuntowijoyo, dalam pemikirannya untuk mengadaptasi
sebuah teori sosial yang mana cocok diterapkan di Indonesia dengan memiliki ciri

1
khas ke – Indonesiaan karena terlahir dari fenomena – fenomena yang terjadi di
Indonesia. Dengan lahirnya teori sosial yang berke – Indonesiaan ini, ilmu – ilmu
sosial dapat berkembang di negara Indonesia sesuai kultur Indonesia dan dapat
mudah dipahami oleh seluruh kalangan masyarakat sebagai solusi fenomena
sosial yang ada. Dari sinilah, masyarakat Indonesia tidak selalu berpedoman pada
teori Barat, meskipun pengetahuan teori Barat telah dipahami dan telah mengakar.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pemikiran Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik ?
2. Bagaimana Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia ?
3. Bagaimana Peran Ilmu Sosial Profetik dalam Perkembangan Ilmu Sosial di
Indonesia ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pemikiran Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik.
2. Untuk mengetahui Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Peran Ilmu Sosial Profetik dalam Perkembangan Ilmu
Sosial di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO DALAM ILMU SOSIAL


PROFETIK
1. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten
Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah
Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjutkan
ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra
UGM Yogyakarta (1969). Kuntowijoyo meraih master di University of
Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia,
AS (1980) dengan disertasi Social Change in a Agrarian Society: Madura 1850 –
1940.
Kuntowijoyo mewarisi dua budaya sekaligus, yakni Yogyakarta dan
Surakarta. Sekalipun terdapat kesamaan, yakni kejawen, namun antara keduanya
terdapat nuansa perbedaan. Perbedaan tersebut menurut Kuntowijoyo disebabkan
anggapan sebagian orang bahwa budaya Yogyakarta bersifat serba ‘seadaya –
gagah – maskulin – aktif’, karena dilahirkan oleh seorang prajurit ‘pemberontak’
orang terusir. Sementara budaya Surakarta lebih ‘ kenes – penuh bunga – feminis
– kontemplatif’, karena terlahir di tengah kemapanan dan kenyamanan. Kedua
corak budaya inilah yang nantinya memberikan warna pada pemikiran
Kuntowijoyo.
Sebagai seorang sejarawan, Kuntowijoyo sangat menghargai kearifan dan
budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya
kearifan itu. Kuntowijoyo mengimplementasikan dalam kesehariannya.
Kuntowijoyo rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.
Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir
(intelektual) yang cerdas, jujur, dan berintegritas. Buku – bukunya seperti,

3
Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan
kecerdasan, kejujuran, dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim
(http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1515-
sejarawan-beridentitas-paripurna). Latar belakang itu lah pula yang
mendorongnya merumuskan pemikiran tentang ilmu sosial profetik.
2. Ilmu Sosial Profetik
Profetik yang berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga
menjadi ikon dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di
kawasan Amerika Latin. Filosof Muslim, Muhammad Iqbal menguraikan etika
proetik, mengutip dari perkataan Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari
Gangga, “Muhammad dari Jazirah Arab ke Mi’raj, ke langit yang setinggi –
tingginya dan kembali. Demi Allah aku bersumpah, jika sekiranya akusampai
mencapai titik itu, pastilah sekali – kali aku tidak akan kembali ke bumi”.
Sampai sejauh ini, perdebatan tentang teologi di kalangan Islam masih
berkisar pada tingkat semantik. Mereka yang berlatar belakang tradisi ilmu
keislaman konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yakni suatu
disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif dan
skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi Barat, seperti
cendekiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi – studi formal,
lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam prespektif
ketuhanan, jauh lebih merupakan refleksi – refleksi empiris. (Kuntowijoyo, 1991)
Dengan melihat perbedaan pemikiran yang terjadi antara kedua belah
pihak yang mana pihak pertama lebih pada refleksi normatif sementara pihak
kedua lebih pada refleksi empiris. Dari gagasan pihak kedua inilah muncul
pemikiran bahwa perlu adanya suatu teologi baru, yakni Teologi Transformatif.
Menurut Kuntowijoyo, bahwa di lingkungan Indonesia, gagasan mengenai
pembaruan teologi atau sejenisnya, sepertinya belum diterima. Hal ini terjadi
karena perbedaan konsep dari teologi itu sendiri yang dipersepsikan oleh kalangan
umat Islam. Sebagain besar mengartikan konsep tersebut sebagai ilmu
pengetahuan keislaman sehingga membahas tentang ketuhanan. Karena itulah

4
pemikiran pembaruan teologi bagi mereka dirasa aneh karena akan mengubah
doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan.
Berangkat dari tradisi Barat, mereka mengartikan pembaruan teologi usaha
untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual atau
kolektif untuk menyikapi kenyataan – kenyataan yang empiris menurut perspektif
ketuhanan. Jadi, pihak kedua hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir
baru dalam rangka memahami realitas. (Kuntowijoyo, 1991)
Ilmu Sosial Transformatif yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman
merupakan cara untuk menjembatani perdebatan antara kedua pihak. Dengan
menghindari kata atau istilah teologi yang bisa saja membingungkan atau kurang
cocok dengan perubahan yang dikehendaki. (Kuntowijoyo, 1991)
Perbedaan pemikiran dan pandangan antara kaum tradisional dengan kaum
cendekiawan ini sangat bertolak belakang. Sehingga pencetus Teologi
Transformatif, mengharapkan dengan adanya teori yang bercorak keislaman yang
menjembatani kedua belah pihak sehingga tidak terjadi pertentangan untuk
menghadapi peradaban, namun saling berjalan beriringan.
Dengan mengganti istilah teologi ke ilmu sosial, diharapkan dapat
menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut. Metode yang efektif untuk
maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran – ajaran agama ke dalam bentuk
suatu teori sosial. Lingkup yang menjadi sasaran dari gagasan tersebut ialah lebih
pada rekayasa untuk transformasi sosial. Maka dari itu, lingkupnya bukan pada
aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, namun pada aspek –
aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. (Kuntowijoyo, 1991)
Menurut Kuntowijoyo, gagasan “ilmu sosial” tersebut tidak perlu diberi
pretesi doktrinal karena diakuinya relativitas ilmu. Dengan ini memiliki arti
bahwa dibukanya kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan rekontruksi
secara terus – menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif.
Ilmu Sosial Transformatif tidak seperti ilmu sosial akademis maupun ilmu
sosial kritis yang tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun
berupaya untuk mentransformasikannya. Namun, di sinilah mengalami
kebingungan ke arah mana tranformasi itu dilakukan. Menurut Kuntowijoyo,

5
bahwa yang dibutuhkan saat ini ialah ilmu sosial profetik, yakni tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial namun juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan. (Kuntowijoyo, 1991)
Perubahan tersebut didasarkan pada cita – cita humanisasi/emansipasi,
liberasi, dan transedensi, suatu cita – cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis Islam. Muatan inilah yang mengkarateristikkan ilmu sosial profetik.
Dengan kandungan nilai – nilai humanisasi, liberasi, dan transedensi, ilmu sosial
profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita – cita sosio-etiknya di
masa depan. (Kuntowijoyo, 1991)
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Saat ini sedang
dialami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial menjadikan kita
sebagai bagian dari masyarakat abstrak. Tujuan liberasi adalah pembebasan
bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan
kelimpahan. Tujuan transedensi adalah meambahkan dimensi transedental dalam
kebudayaan. (Kuntowijoyo,1991)
Dengan ilmu sosial profetik, juga dilakukan reorientasi terhadap
epsitemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry
bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, namun
juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial profetik ilmuwan sosial Muslim
tidak perlu khawatir berlebihan terhadap dominasi ilmu Barat di dalam proses
theory building. Islamisasi pengetahuan dengan proses peminjaman dan sintesis
ini tidak harus diartikan sebagai westernisasi Islam.
Dalam Ilmu Sosial Profetik, yang bersifat transedental, Kuntowijoyo ingin
menerapkan ajaran – ajaran sosial Islam, bukan memahami Islam. Hal ini, sengaja
dilakukan oleh Kuntowijoyo karena sejak awal ia ingin menjadikan Islam sebagai
agama yang objektif. Penggunaan strukturalisme oleh Kuntowijoyo ini terinspirasi
dan dipengaruhi oleh beberapa tokoh Barat seperti Jean Pigeat tentang ‘struktur’
dan Michael Lane tentang ‘strukturalisme’, serta Roger Garudy tentang
‘transedental’.

6
B. PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA
1. Definisi Ilmu Sosial
Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni
perbuatan melakukan sesuatu oleh manusia. Ilmu merupakan suatu rangkaian
aktivitas yang bersifat rasional, kognitif, dan teleologis. Aktivitas rasional berarti
kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang berbeda
dengan aktivitas berdasarkan perasaan ataupun naluri.
Ilmu menampakkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan
empiris. Menurut Bernard Barber, pemikiran rasional atau rasionalitas manusia
merupakan sumber utama ilmu. Pemikiran rasional sendiri ialah pemikiran yang
mematuhi kaidah – kaidah logika, baik logika tradisional maupun logika modern.
Pada dasarnya, ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian
dengan proses mengetahui dan pengetahuan. Menurut Ladislav Tondl, proses
kognitif merupakan suatu rangkaian aktifitas seperti pengenalan, penerapan,
pengkopsian, dan penalaran yang dengannya manusia dapat mengetahui dan
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu hal.
Ilmu juga bercorak teologis, yakni mengarah pada tujuan tertentu karena
para ilmuwan dalam melakukan aktfitas ilmiah memiliki tujuan – tujuan yang
ingin dicapai. Aktifitas ilmu diarahkan untuk mencari kebenaran, dan ini dinilai
dengan apakah benar fakta – fakta yang diungkapkan itu.
Ilmu sosial merupakan sekelompok yang berdisiplin secara akademis, yang
mempelajari bagian – bagian berkaitan dengan manusia dengan lingkungan sosial.
Ilmu yang sangat berbeda dengan ilmu humaniora dan seni, karena menekankan
penggunaan dengan cara ilmiah untuk dapat memakai metode untuk mempelajari
manusia, termasuk juga menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Ilmu sosial dalam mempelajari aspek masyarakat sebagai subjektif,
intersubjektif dan struktural atau objektif, sebelumnya dianggap kurang ilmiah
bila dibandingkan dengan ilmu alam. Namun, saat ini beberapa bagian dari ilmu –
ilmu sosial telah digunakan metode kuantitatif.
Dalam melakukan pendekatan lintas – disiplin dan interdisiplin dalam
penelitian sosial terhadap perilaku manusia dan faktor – faktor sosial, dan

7
pengaruh lingkungan itu telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada
beberapa aspek metodologi ilmu sosial. Penggunaan metode kuantitatif dan
kualitatif lebih terintegrasi dalam studi tentang tindakan manusia dan implikasi
serta konsekuesi.
Menurut Wallerstein ruang lingkup ilmu sosial terdiri dari sosiologi,
antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum dan ilmu politik.
Kesemua cabang – cabang ilmu sosial tersebut, mempelajari masyarakat dan
kehidupannya yang dinamis atau selalu berubah berdasarkan zamannya. Maka
dari itu, ilmu sosial bersifat dinamis, berbeda dengan ilmu eksakta yang dari masa
ke masa tidak berubah dan bersifat stagnasi.
2. Sejarah Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
Menurut Meztika Zed (2006), secara historis perkembangan ilmu – ilmu
sosial di Indonesia terbagi menjadi tiga fase perkembangan yakni, fase embrionik
sejak zaman kolonial, fase ilmu sosial developmentalis sejak 1950 sampai dengan
orde baru, dan fase kontemporer. Perkembangan ilmu sosial Indonesia tidaklah
terlepas dari perkembangan ilmu eksakta yang secara historis dapat dirunut dari
mulai didirikannya asosiasi seni dan ilmu pengetahuan oleh Pemerintah Hindia
Belanda.
Pada tahun 1924, berdiri sekolah tinggi hukum yang merupakan bentuk
nyata perkembangan ilmu sosial secara nyata di perguruan tinggi. Sebelumnya,
tidak ada perguruan tinggi jurusan ilmu sosial di Indonesia. Dengan
perkembangan yang terjadi, perkembangan ilmu sosial yang ada hampir
bersamaan dengan ilmu eksakta yang ditandai berdirinya ITB tahun 1920.
Dalam Sekolah Tinggi Hukum, berbagai bidang ilmu sosial diajarkan
seperti ekonomi, politik dan sosiologi. Bahkan sampai dengan Belanda
meninggalkan Indonesia tahun 1942, di Indonesia belum ada jurusan atau fakultas
ekonomi. Ilmu ekonomi pada masa itu menjadi salah satu bidang studi dalam
hukum.
a. Fase Embrionik
Ilmu sosial yang berkembang pada masa ini cenderung lebih untuk
memenuhi kepentingan penjajah terutama untuk membantu Pemerintah

8
Hindia Belanda melaksanakan administrasi dan kebijakan pemerintahannya.
Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan indologie, yakni bagian ilmu
oriental yang dikembangkan untuk menyiapkan calon pegawai yang akan
bertugas di Hindia Belanda.
Perkembangan ini cukup pesat terbukti pada tahun 1864 telah berdiri
sebuah akademi dan beberapa jurusan ilmu sosial. Semangat indologie ini
yang berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia
pada abad XX. Sampai tahun 1950 dapat dikatakan belum terjadi
perkembangan ilmu sosial yang signifikan.
Ciri umum perkembangan ilmu sosial pada masa kolonial adalah
sebagai indologie yang sangat besar dipengaruhi ilmuwan Belanda, sangat
dekat dengan kepentingan kolonial, para ilmuwan indologie belum memiliki
spesifikasi terhadap bidang keilmuan. Mereka umumnya merupakan
ilmuwan yang banyak menguasai bidang ilmu. Selain itu, ciri umum
perkembangan ilmu sosial pada masa ini adalah sangat erat kaitannya
dengan upaya pemerintah kolonial memecahkan masalah negeri jajahan dan
mempertahankan status quo.
b. Perkembangan Ilmu Sosial Developmentalis
Apabila pada masa indologie perkembangan ilmu sosial di Indonesia
condong pada eurosentrisme, pada fase ini telah terjadi pergeseran
perkembangan ilmu sosial yang berkiblat ke Amerika. Pergeseran ini tentu
tidak lepas dari perkembangan anti kolonialisme dan perang dingin antara
Blok Barat dan Blok Timur. Bahkan karena sentimen terhadap kolonialisme
Belanda, banyak ilmuwan Belanda yang pulang ke negerinya karena diusir
ataupun takut dengan perkembangan politik di Indonesia.
Perang dingin yang terjadi pasca PD II menyebabkan Indonesia
menjadi tempat penting bagi negara adi kuasa untuk menanamkan
pengaruhnya. Ilmu sosial sangat penting peranannya untuk hal tersebut.
Tidak mengherankan Amerika misalnya, berusaha menanamkan
pengaruhnya melalui ilmu sosial di Indonesia.

9
Untuk hal tersebut AS secara khusus mendirikan The Social Science
Research Council untuk membangun kerja sama akademis dengan negara –
negara baru merdeka.secara khusus AS juga memperhatikan serius studi
kawasan termasuk Asia Tenggara. Dalam posisi ini Indonesia dipandang
sebagai wilayah terpenting untuk menanamkan pengaruh AS.
Mengapa dapat dikatakan ilmu sosial developmentalis? Hal ini tidak
lepas dari ruh dan ideologi yang berkembang dalam ilmu – ilmu sosial pada
masa tersebut yang sangat berhubungan dengan kondisi negara – negara
baru merdeka. Developmentalis bermakna pembangunan yang berarti ilmu
sosial menekankan pada penggunaannya sebagai alat bantu memecahkan
masalah – masalah pembangunan ekonomi di Indonesia. Pada masa ini
banyak sarjana Indonesia yang belajar di AS.
Pada tahun 1956, berdiri Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI)
sebagai pengganti organisasi keilmuan yang didirikan Hindia Belanda.
Meskipun di luar struktur pemerintahan, namun majelis ini sepenuhnya
memperoleh subsidi pemerintah. Salah satu prestasi besar MIPI pada masa
awal adalah penyelenggaraan kongres Ilmu Pengetahuan Nasional di
Malang tahun 1958.
Salah satu hal terpenting yang dicatat pada KIPNAS tersebut adalah
pidato Bung Hatta mengenai peranan ilmu sosial. Bung Hatta menjelaskan
bahwa pertumbuhan ilmu sosial tidak lepas dari penemuan dan sekaligus
masalah sosial yang dihasilkan ilmu – ilmu alam. Dalam kesempatan
tersebut Bung Hatta juga menegaskan bahwa ilmu sosial memiliki tugas
istimewa ke jurusan pembangunan negara dan masyarakat.
c. Perkembangan Ilmu Sosial Kontemporer
Pada tahun 1970 – an hingga 1980 – an semakin banyak ilmuwan
sosial Indonesia lulusan di berbagai negara. Mereka belajar di berbagai
negara yang menjadi pusat – pusat perkembangan ilmu pengetahuan dunia.
Loncatan besar jumlah ilmuwan sosial di Indonesia ini berpengaruh pada
perkembangan ilmu sosial di Indonesia.

10
Secara kuantitas dapat dilihat naiknya jumlah perguruan tinggi yang
membuka jurusan atau program studi ilmu sosial. Pada awal 1970 – an
setidaknya telah terdapat 74 fakultas ilmu sosial dan kebudayaan.
Perkembangan jumlah institusi akademik ini tentu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan penelitian dan penerapan ilmu – ilmu sosial di
Indonesia.
Berbagai lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang menjadi
pusat pengakajian ilmu sosial mulai berkembang dengan mantap pada awal
1970 – an seperti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan
Ekonomi Sosial (LP3ES) sangat penting peranannya dalam perkembangan
ilmu sosial di Indonesia.
Menurut Meztika Zed (2006) terdapat empat catatan penting
perkembangan ilmu sosial pada masa kontemporer. Pertama, Indonesia
semakin menarik perhatian berbagai bangsa sebagai salah satu mitra dan
tempat penelitian ilmu sosial. Para peneliti dari berbagai negara kembali
memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di
Indonesia. Para sarjana Indonesia juga semakin luas kesempatannya
melakukan kerja sama dengan berbagai peneliti dunia untuk melakukan
pengembangan ilmu di Indonesia. Kedua, diskusi ilmu – ilmu sosial ditandai
dengan kerisauan tentang mutu sosial di Indonesia dan relevansinya dengan
pembangunan nasional.
Ketiga, menajamnya ‘parokhial’ antardisiplin ilmu seperti ilmu alam,
ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan. Muncul kecenderungan ilmu yang satu
merasa lebih tinggi daripada ilmu lainnya. Bahkan tidak jarang saling
melecehkan. Fenomena ini juga berkembang pada masalah penataan
fakultas di berbagai perguruan tinggi. Dengan alasan kebonafitan atau
terapannya dalam keprofesionalan ada kecenderungan pemaksaan suatu
jurusan diakui sebagai bagian asosiasi profesi.
Sebagai contoh pada akhir – akhir ini jurusan rumpun ekonomi harus
masuk dalam fakultas ekonomi. Eksistensi mereka di Fakultas Ilmu Sosial
sering tidak diakui dan merasa kurang bergengsi. Dalam perkembangan

11
orde baru, terjadi kecenderungan naiknya status ilmu ekonomi sebagai
queen of social science. Jargon pembangunan ekonomi orde baru memang
memberikan posisi penting ilmu ekonomi sebagai anak emasnya. Bahkan
kemudian muncul persepsi bahwa ilmu – ilmu sosial lainnya terkesan
sebagai ilmu bantu saja.
Keempat, perkembangan ilmu sosial yang berkembang di Indonesia di
satu sisi menakutkan kepentingan politik, terutama pada masa orde baru.
Masuknya kajian akademis tentang ilmu sosial baik sejarah, politik,
ekonomi, dan masalah – masalah lainnya di satu sisi mempengaruhi cara
pandang masyarakat terhadap pemerintah. Munculnya berbagai gerakan dan
demonstrasi di berbagai daerah tidak lepas dari peranan ilmu sosial dalam
membaca perjalanan negara Indonesia.
3. Permasalahan Ilmu Sosial di Indonesia
Ilmu sosial di masa orde baru, ditandai oleh perkembangan yang
menggairahkan antar tipe – tipe ilmu sosial. Namun, perkembangan ini tidak
ditopang oleh hubungan yang erat. Akibatnya, semua tipe ilmu sosial tidak
mengalami penyempurnaan ataupun pembaharuan. Era orde baru juga ditandai
dengan seperti dilaporkannya oleh studi Evers dan Gerke, yakni kecilnya
internasionalisasi hasil studi ilmuwan sosial Indonesia.
Lanskap ilmu sosial di Indonesia telah mengalami perubahan. Di masa orde
baru, perkembangan ilmu sosial ditandai oleh hubungan yang kurang serasi antara
ilmu sosial profesional dan ilmu sosial kebijakan disatu pihak dengan ilmu sosial
kritis dan ilmu sosial publik di lain pihak. Mayoritas ilmuwan Indonesia dari
universitas dengan kecanggihan metode penelitian dan analisa yang dimilikinya
cenderung menggunakan paradigma modernisasi dan teori pertumbuhan ekonomi.
Tidak sedikit ilmuwan sosial profesional ini berkecimpung di lembaga
pemerintahan sebagai perancang dan pelaksana kebijakan ekonomi negara.
(Rochman, 2010)
Pada rezim orde baru, keadaan ilmu sosial kurang berkembang setelah
polemik yang sangat panjang dalam suatu prosa ilmu sosial. Ilmu sosial dapat
diterangkan atau ditafsirkan sebagai disiplin ilmu yang tidak netral, teori maupun

12
konsepsi yang ada pada posisi tertekan di era orde baru tidak sekadar memiliki
kapasitas menjelaskan atau menafsirkan, namun memiliki potensi melegitimasi
dan mendelegitimasi. Dengan begitu, restrukturisasi lembaga – lembaga sosial
dan reorientasi nilai – nilai budaya dapat dipermudah atau dihambat oleh teori –
teori ilmu sosial yang sesuai dengan kebutuhan ataupun kepentingan para
ilmuwan sosial. (Herwindo, 1992)
Menjadi keharusan, bahwa seharusnya komunitas ilmiah dari ilmuwan
sosial bukan hanya menciptakan kreatifitasnya dalam ilmunya saja yang berfungsi
sosial. Namun, lebih dari itu, tempat berkumpul untuk mempertemukan manusia –
manusia yang menyusun ide – ide, tempat aksi dan refleksi serta bertemu secara
periodik. (Herwindo, 1992)
Ilmu sosial di negara berkembang terutama di Indonesia ditengarai tengah
tenggelam di lembah infertilitas. Disiplin ilmu ini relatif belum berhasil
melahirkan gagasan – gagasan besar serta berperan sebagai inspirator utama
dalam pemecahan masalah kemanusiaan dan paradaban di tengah gelora
perubahan sosial yang terjadi. Pada kasus Eropa masa silam, perubahan sosial
yang dahsyat telah menjadi rahim bagi lahirnya pemikiran – pemikiran seminal
seperti dapat disimak pada karya – karya Hegel, Durkheim, Marx, serta Weber.
(Gumilar, 2005)
Dalam ilmu sosial yang dilandasi pada fenomena sosial kehidupan
masyarakat, teori sosial diperoleh dengan dilakukannya penelitian sosial yang
memungkinkan tingginya tingkat subjektivitas dalam penelitian tersebut, berbeda
apabila dibandingkan dengan imu – ilmu eksakta. Hal ini terkait dengan objek
yang diteliti dan juga berkaitan dengan metode yang digunakan. (Nasiwan, 2106)
Subjektivitas yang dihasilkan dari ilmuwan dalam penelitian salah satunya
dikarenakan oleh perbedaan fenomena masyarakat yang terjadi di suatu daerah
dengan daerah lain, karena memiliki ke ciri khasan masing – masing. Inilah
kesulitan yang dihadapi untuk menyamaratakan ataupun menyamakan teori sosial
yang ada.
Masalah lanjutan dalam ilmuwan sosial yakni bagaimana ia bisa menjadi
objektif dalam pengertian ini dan sekaligus bersikap praktis. Apakah hubungan

13
antara kehendak untuk mengetahui dan kehendak untuk merubah masyarakat.
Bagaimanakah pencarian pengetahuan yang benar dapat dikolaborasi dengan
penilaian – penilaian moral dan politik. Bagaimanakah kebenaran dapat
dihubungkan dengan cita – cita. (Nasiwan, 2016)
Selanjutnya terdapat tabu yang irrasional untuk membahas kurangnya
kesadaran ini, sementara itu tabu ini umumnya dihormati dengan membiarkan ahli
ilmu sosial terkurung di dalamnya. Maka dari itu, seorang ilmuwan haruslah
memperhatikan alat – alat logis untuk melindungi riset dari pembiasan, agar dapat
menjamin apakah objektifitas.
Menyadari sepenuhnya penilaian yang sesungguhnya untuk menentukan
riset teoretis maupun praktis, menelusuri penilaian – penilaian tersebut dari sudut
pandang terhadap relevansi dan arti serta kelayakan dalam masyarakat yang
sedang dipelajari, merubahnya menjadi premis nilai khusus bagi riset, dan
menentukan cara pendekatan serta memberikan batasan terhadap konsep – konsep
dalam arti sejumlah premis nilai yang secara jelas dinyatakan.
Terdapat banyak pendapat – pendapat dari berbagai ilmuwan, ilmuwan –
ilmuwan Barat lah yang kemudian menjadi pedoman pemikiran di Indonesia
meskipun fenomena – fenomena yang terjadi di Indonesia sangatlah berbeda
dengan Barat.
Disiplin - disiplin ilmu sosial yang berkembang di Indonesia berlandaskan
teori – teori Barat. Seperti misalnya, pada pengertian sosiologi, ilmuwan yang
ternama dan dikenal oleh banyak kalangan masyarakat ialah Auguste Comte, Max
Weber, Pitirim Sorokin dan lain sebagainya. Kemudian pada ilmu ekonomi,
ilmuwan atau tokoh – tokoh yang sering muncul adalah Albert L. Meyers, Adam
Smith, Keynes dan lainnya.
Ilmuwan – ilmuwan tersebut memanglah benar apabila mereka telah
mendefinisikan berbagai teori – teori sosial, namun yang masih keliru ialah
dimana masyarakat Indonesia memandang atau berkiblat pada ilmuwan –
ilmuwan Barat tersebut yang mereka bahkan tidak mengetahui dan mengalami
kondisi sosial yang terjadi di Indonesia.

14
Ilmu sosial di Indonesia telah kehilangan orientasi, pertama orientasi dalam
pengertian filosofis berupa renggangnya penetapan masalah – masalah kejian atau
penelitian sosial dengan upaya mengatasi persoalan yang nyata hadir di
masyarakat. Kedua, orientasi ilmu sosial seringkali dipengaruhi oleh suatu genre
pemikiran yang belum tentu mengakar pada masalah – masalah nyata yang hadir
di masyarakat. Bahkan seringkali pegangan yang kuat pada satu genre pemikiran
kerap dijadikan pegangan yang lebih bersifat ideologis.
Selajutnya, metode sebagai praktek memperlakukan metodologi ilmu sosial
sebagai proses trade and sell antara ragam aktor lapangan yang membuka ruang
kebebasan bagi peneliti untuk berekreasi dalam konteks lapangan yang tengah
dijelajahinya. Dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia, keterperangkapan di
tataran metodologi berada dalam kondisi yang lebih buruk dari keterperangkapan
teori.
Dalam konteks teori – teori ilmuwan sosial masih banyak ilmuwan sosial
yang melakukan pengembangan dan penyesuaian teori dalam konteks ke –
Indonesiaan. Namun, dalam hal metodologi, sangat sedikit upaya pengembangan
metode – metode yang dihasilkan dari kajian – kajian masalah sosial di Indonesia.
Sebenarnya, ketergantungan pada ilmu – ilmu sosial Barat itu melahirkan
keuntungan karena negara – negara dunia ketika termasuk Indonesia,
mendapatkan dasar pijakan, aplikasi teori yang dikembangkan di dunia Barat yang
untuk kemudian diaplikasikan di Indonesia. Hal ini akan memudahkan ilmuwan
lokal untuk menganalisis dan memberikan solusi bagi permasalahan yang muncul
di ranah lokal. Paling tidak ilmu sosial Barat membuka dan mencerahkan
cakrawala keilmuwan lokal sehingga memprovokasi teoretisi lokal untuk
melakukan hal yang sama dengan subjek ranah yang berbeda. (Nasiwan, 2016)
Di sisi lain, ilmu sosial yang berkembang di Indonesia seluruhnya tidak
menguntungkan. Karena justru penggunaan teori – teori Barat mampu
menganalisis dengan baik, memetakan dan mendeskripsikan namun kurang cocok
ketika memecahkan berbagai permasalahan dan fenomena sosial yang ada di
ranah lokal yang memiliki kekhasan dan karateristik yang berbeda dengan dunia
Barat. Kondisi tersebut telah dipahami hanya saja inferioritas ilmuwan lokal

15
membuat berbagai solusi atas dasar kearifan lokal tidak muncul dan tergantikan
dengan ilmu sosial Barat. (Nasiwan, 2016)
Menurut Herwindo, fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal
(Indonesia) ialah refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun ‘kering’
dari pemaparan realitas sosial yang ada. Penelitiannya sangat kering dari fungsi
sosialnya seorang ilmuwan sosial yang hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya
sendiri ‘kehilangan’ makna atas apa – apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai
sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat. Padahal refleksi diri
merupakan perangkat metodologis terpenting bagi ilmu – ilmu sosial kritis.
(Habermas, 1969)
Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak
holistik, terdikotomis, monoton dalam perkembangan, minim akan etika dan tidak
bebas nilai. Fenomena ini merupakan keadaan yang bukan menjadi pilihan
ilmuwan sosial melainkan atas kekuasaan rezim orde baru.
Penguasa orde baru menulis mengenai kongres nasional partai politik dalam
penguasaan ruang sosio – politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan
banyak cara mempertahankan ideologi pembangunan nasional. Realitas tersebut
terjadi karena adanya penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh
penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasional yang diprogram
oleh penguasa (Herwindo, 1992)
Seluruh pembangunan yang dijalankan serta penelitian dan observasi atas
realitas sosial sebenarnya hanya merupakan kepentingan atas penguasa. Ilmu
sosial yang berkembang saat itu hanya menjadi alat peredam konflik dan penyakit
akut bagi bangsa Indonesia.
Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu ke arah
pembangunan nasional merupakan tujuan utamanya, maka dari itu hal tersebut
menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya, apabila diteliti
melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi sangat lekat
kaitannya dengan alasan politis. (Herwindo, 1992)
Realitas yang terjadi membuat pergeseran dalam bentuk interaksi sosial dan
formasi sosial yang erat kaitannya dengan kehidupan politik dan sosio – kultural

16
yang ada. Namun, dalam realitas ini telah menghasilkan suatu realitas yang nyata
– nyata menjadi bisa bagi bangsa Indonesia hingga saat ini. Realitas nyata itu
yakni, tumbuhnya perbedaan tajam antara kemiskinan absolut, berasal dari
kurangnya pertumbuhan ekonomi. Realitas lainnya, kemiskinan relatif yang
merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi. (Herwindo, 1992)
Akibatnya selama beberapa dekade, ilmuwan sosial di Indonesia telah
terperangkap untuk selalu berpijak pada teori – teori bentukan Barat dalam
menganalisis berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Meskipun hal tersebut sah – sah saja, namun yang harus dimengerti ialah bahwa
sebuah teori sosial diciptakan berdasarkan referensi sosial yang dihadapinya,
sehingga dapat memunculkan jawaban yang sesungguhnya berdasarkan realitas
sosial yang ada (Santoso, 2003). Dengan demikian, ilmuwan – ilmuwan di
Indonesia kurang maksimal menggali kearifan lokal yang ada, akibat kemalasan
dan ketidakbanggaan pada lokalitas.
Banyak ilmuwan sosial di Indonesia yang sering kali merasa bangga dengan
penguasaan teori – teori Barat yang kemudian dipaksakan digunakan untuk
menganalisis setiap fenomena – fenomena sosial lokal yang terjadi. Padahal setiap
teori sosial selalu dibentuk berdasarkan kondisi – kondisi tertentu, yang disetiap
kondisi belum tentu sama.
Menggunakan teori sosial yang tidak sesuai dengan kondisi yang hendak
dijelaskan sama saja memberlakukan fenomena sosial selalu sama (Santoso,
2003). Sehebat apapun sebuah teori, apabila tidak memiliki hubungan dengan
kondisi yang akan dijelaskan, maka ia hanya akan menjadi teori sosial yang tidak
bermakna sama sekali.
Menurut Myrdal ilmu sosial sebenarnya telah memberikan rangsangan bagi
arah jangka panjang menuju rasionalisme. Dengan memperbanyak pengetahuan
yang benar dan membuang kepercayaan – kepercayaan yang oportunitis dan
palsu, maka ilmu sosial meletakkan landasan kerja bagi suatu pendidikan yang
semakin efektif: membuat kepercayaan orang lebih rasional, mendorong penilaian
di tingkat lebih tinggi.

17
Namun saat ini, masih banyak ilmuwan sosial yang memiliki
kecenderungan ke arah scientisme palsu (menghilangkan tanggung jawab untuk
membentuk pendapat umum dan memerosotnya pentingnya riset untuk membuat
orang lebih rasional) dan menutup diri dengan cara menggunakan istilah – istilah
rumit dan aneh yang tidak dimengerti.
Sebenarnya untuk mengurangi ketidaktepatan atau bias dari pemikiran,
yakni dengan berpegang pada penilaian dan mementingkan fakta. Namun, dirasa
sulit untuk terlepas dari ketidaktepatan pemikiran karena masyarakat berada di
bawah pengaruh tradisi dalam ilmunya, di bawah pengaruh lingkungan
kebudayaan dan politik serta pembentukan pribadi yang khas. Hal tersebut dapat
ditemukan dalam teori ekonomi klasik dan neo klasik. (Nasiwan, 2016)
Ketidaktepatan seperti itu akan membawa persepsi yang salah tentag
kenyataan dan kesimpulan – kesimpulan kebijaksanaan yang salah pula, hal inilah
yang melemahkan kekuatan ilmu – ilmu sosial untuk menyingkirkan kepercayaan
yang rusak dan salah. Kondisi yang membawa ke arah ketidaktepatan ialah dua
hal yakni kondisi sosial politik yang mempengaruhi arah kerja penelitian dan
pendekatan – pendekatan yang dipilih dalam riset. (Nasiwan, 2016)
Para ilmuwan sosial cenderung untuk menyembunyikan penilaian –
penilaian dengan menyatakan bahwa pendangan mereka itu seolah – olah
merupakan sekadar kesimpulan dari logis dan fakta. Ilmuwan – ilmuwan lebih
banyak menekan penilaian sebagai penilaian dan memberikan alasan – alasan
saja; dengan demikian persepsi mereka mengenai kenyataan mudah mengalami
distorsi, karena itu menjadi tidak tepat dari perencanaan sampai penyajian akhir.
(Nasiwan, 2016)
Masyarakat tradisional secara langsung dipaksa untuk masuk ke ranah
industri dengan budaya yang jauh berbeda. Masyarakat tradisional sangat terbiasa
dengan pola kekerabatan dan kekeluargaan yang mendorong masyarakat dengan
tipe ini untuk bekerja secara berkelompok. Pola tersebut sangat bertolak belakang
dengan industri di mana justru pola individu yang ditonjolkan dengan semangat
kompetisinya untuk menghasilkan efisiensi kerja. (Nasiwan, 2016)

18
Kemudian, masalah budaya kerja yang berbeda pula, pendapatan yang
tinggi yang tidak didukung dengan edukasi yang baik untuk masyarakat untuk
mengelola keuangannya secara efisien. Kondisi tersebut berdampak kesejahteraan
yang seharusnya meningkat seperti yang diharapkan oleh ilmuwan Barat dengan
adanya industrialisasi, justru yang terjadi malah munculnya tipikal masyarakat
yang haus akan konsumsi. Masyarakat yang justru menjadi objek dari
industrialisasi bukan subjek pendorong industrialisasi. Pada akhirnya, justru yang
menikmati keuntungan paling besar ialah negara – negara Barat.
Hal lain yang mendominasi pengetahuan Barat ialah pengajaran melalui
lembaga formal terutama di bidang pendidikan yang banyak mengadopsi dan
menggunakan teori – teori Barat sebagai sumber belajar dan analisis yang
dikembangkan di tingkat pendidikan.
Ironisnya hal tersebut diperparah dengan anggapan kebanggaan ketika
hampir semua materi dan teori bersumber pada Barat akan menaikkan gengsi dan
kualitas pembelajaran, sehingga peserta didik hanya memakan berbagai teori yang
muncul dari Barat tanpa mengetahui apakah teori – teori yang dipahaminya akan
bisa diterapkan di tingkat lokal.
Empat tahun lalu, Gerke dan Evers, dua sosiolog Jerman, menulis
perkembangan ilmu sosial di Indonesia di jurnal berpengaruh Sojourn volume 21
nomor I, 2006. Mereka memfokuskan pada persoalan internasionalisasi karya
ilmiah ahli ilmu sosial Indonesia. Menurutnya selama kurun waktu 30 tahun (1970
– 2000), ahli ilmu sosial Indonesia yang menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal
internasional jumlahnya paling kecil dibandingkan rekan – rekannya dari negara
tetangga. Prosentase publikasi ahli ilmu sosial Indonesia di jurnal internasional
(7,1%) jauh tertinggal dari ahli ilmu sosial Singapura (53,5%), Brunei (35,7%),
Malaysia (25,1%), Filiphina (24,1%) dan Thailand (18,8%). (Rochman, 2010)
Kesulitan internasionalisasi tersebut erat kaitannya dengan kedekatan ilmu
pengetahuan ini dengan kekuasaan. Bila masa lalu, ilmu sosial cenderung tunduk
pada kekuasaan politik, di masa kini ilmu sosial tunduk pada kekuasaan ekonomi
(Hadiz dan Dhakidae, 2005). Ketertundukan pada kekuasaan tersebut telah
mengakibatkan rapuhnya otonomi ilmu sosial dalam mengembangkan diri.

19
Di era demokrasi ini, produksi pengetahuan sosial mengalami “booming”.
Perusahaan swasta dan organisasi politik dengan tujuan berbeda memerlukan jasa
lembaga survai pendapat umum. Lembaga donor internasional memerlukan
sarjana ilmu sosial untuk melakukan survai guna membantu pemerintah
membangun pemerintahan yang baik.
Barangkali sudah ratusan juta dollar Amerika Serikat dikucurkan untuk
mendatangkan sarjana ilmu sosial dari luar maupun dalam negeri untuk meneliti,
melatih, dan melaksanakan program “Good Governance”. Mass media juga
memerlukan sarjana ilmu sosial sebagai pakar untuk membicarakan dan
mendiskusikan persoalan – persoalan yang sedang dihadapi Indonesia.
Situasi konstruktif ini menandai kemunculan hubungan antar pendukung
tipe – tipe ilmu sosial. Pendukung ilmu – ilmu sosial profesional yang umumnya
bekerja di universitas dan lembaga penelitian dapat menjadi pakar, peneliti dan
pelatih utama dalam kegiatan penelitian kebijakan, pelatihan, dan advokasi yang
diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat, lembaga negara maupun
partai politik. Hubungan kerja sama ini terjadi di berbagai wilayah kajian antara
lain dalam perumusan rancangan undang – undang, program kerja berbagai
kementerian maupun kampanye pemilihan presiden dan kepala daerah. Begitu
juga sebaliknya, pendukung ilmu sosial kebijakan dan publik yang umumnya
bekerja di lembaga pemerintahan, swasta, dan LSM dapat dengan mudah diudang
sebagai dosen tamu atau melanjutkan studinya di universitas.
Namun, terjalinnya hubungan yang harmonis antar tipe – tipe ilmu sosial ini
ditandai oleh hilangnya tipe ilmu sosial kritis. Bila ilmu sosial profesional
merupakan ‘jantung’, maka ilmu sosial kritis merupakan ‘hati’ dari perkembangan
ilmu sosial secara keseluruhan. Hilangnya ‘hati’ ilmu sosial ini menandai
keengganan ahli ilmu sosial Indonesia mempertanyakan kekuatan dan kelemahan
teori atau konsep demokrasi. “Good Governance”, “Civil Society” dan, “Social
Capital”. Teori atau konsep tersebut seolah – olah tidak perlu diganggu gugat dan
oleh sebab itu dapat diterapkan untuk mempelajari masyarakat dan politik
Indonesia. Keengganan ini menyalahi salah satu prinsip dalam memproduksi ilmu
pengetahuan sosial.

20
“Monocropping” atau menerapkan teori atau konsep Barat tanpa
memperhitungkan konteks kemasyarakatan setempat (Evans, 2003) tidak dapat
memperkaya ilmu sosial dan tidak dapat memecahkan persoalan yang muncul di
masyarakat. Pengalaman Rusia dan Mexico menyajikan betapa tragisnya
“monocropping” di dua negara tersebut. Politik privatisasi Rusia di era Presiden
Yeltsin diterapkan bukan dari hasil studi yang mempertimbangkan konteks
ekonomi dan politik negara tersebut melainkan hasil dari penerapan konsep
privatisasi di Barat.
Akibatnya, seperti dilaporkan oleh studi Stuckler dkk yang dimuat oleh
jurnal ilmiah berpengaruh, Lancet (2009), angka kematian tertinggi dan angka
harapan hidup terendah justru terjadi di era Yeltsin. Privatisasi telah mendorong
meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan pada gilirannya kematian.
Kebijakan ekonomi tanpa memperhitungkan konteks kemasyarakatan dapat
membawa tragedi. Pencangkokan privatisasi Barat di Mexico juga telah
menimbulkan perlawanan kalangan serikat buruh dan manajemen perusahaan
negara. Perlawanan tersebut mengakibatkan terusinya Presiden Salinan dari kursi
kepresidenannya. (Portes, 2006)
Sebaliknya, pengalaman Indonesia memberi variasi lain dari pandangan
Evans. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang terjadi di
beberapa daerah seperti di Kebumen, Solo, Tarakan, umumnya tidak sepenuhnya
mengikuti preskripsi “Good Governance” yang ditawarkan oleh lembaga donor
internasional. Keberhasilan ini dicapai justru karena kepemimpinan Pemerintah
Daerah, faktor yang kurang diperhitungkan dalam teori “Good Governance”.
(Rochman, 2010)

C. PERAN ILMU SOSIAL PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN


ILMU SOSIAL DI INDONESIA
Persoalan yang dihadapi oleh ilmuwan di Indonesia adalah bagaimana
menghadirkan ilmu sosial yang mampu melakukan transformasi. Hal ini karena
ilmu sosial akhir – akhir ini mengalami kemandekan (Kuntowijoyo, 2006).
Sejalan dengan pemikiran masyarakat mengenai ilmu sosial dan sejarah

21
perkembangan ilmu sosial yang telah terjadi di Indonesia, tepatlah bahwa ilmu
sosial yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia kiranya harus melakukan
transformasi.
Pada dasarnya ilmu sosial tidak dapat lagi menggantungkan diri dari
kontemplasi dan spekulasi logika para teoritisnya. Ilmu sosial berkembang dengan
berpijak pada fakta – fakta empiris yang dihasilkan dari objek kajian yang diteliti.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa teori dari Barat sarat dengan proses
interaksi sosial yang terjadi dalam mengkaji fakta – fakta empiris masyarakat
Barat. Apabila asumsi dan teori tersebut digunakan secara langsung untuk
menelisik perubahan sosial di Indonesia, maka yang mungkin terjadi adalah
irelevansi dan ketidakterapan.
Pemaksaan kehendak asumsi dan teori, tidak hanya hinggap pada kalangan
ilmuwan sosial Barat yang sering disebut sebagai kalangan orientalis. Kalangan
ini, seperti yang banyak ditemukan secara implisit ataupun eksplisit dalam teori
modernisasi memiliki serangkaian kelemahan mendasar. Cara pandang dikotomis
antara yang modern dan tradisional dengan sebelumnya dinilai sebagai
menggunakan nilai dan budaya Barat sebagai titik tolak pemikiran.
Dengan melihat kondisi ilmu – ilmu sosial yang berkembang di Indonesia,
yang telah lama terperangkap dalam pengaruh, dominasi serta mengadopsi ilmu –
ilmu sosial yang berkembang di Eropa dan Amerika. Kondisi tersebut telah
mengundang beberapa intelektual di Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus
mencari jalan keluar, kondisi ilmu sosial yang memprihatinkan, dari suatu kondisi
ketidakberdayaan dan ketergantungan dengan ilmu – ilmu sosial Barat. (Nasiwan,
2013)
Kondisi inilah, yang mendorong indegenousasi ilmu – ilmu sosial ke dalam
analisis konstektual dengan melakukan pikiran – pikiran dasar yang cocok dengan
kondisi riil masyarakat Indonesia yang akan dijelaskan (Heri Santoso, 2003). Hal
ini berarti indegenousasi ilmu sosial sangat diperlukan untuk menumbuhkan
pemikiran baru dalam ilmu sosial yang berasal dari histori bangsa. Dalam
menanggapi ilmu – ilmu dan teori Barat bukan berarti menolak mentah – mentah,

22
melainkan meneyeleksi dan menyaring mana yang sesuai dengan nilai – nilai
luhur bangsa. (Nasiwan, 2014)
Salah satu indegenousasi adalah melepaskan dan membebaskan metode
ilmu sosial dari metode ilmu alam Barat. Hendaknya ilmu sosial dapat
menemukan jati dirinya sendiri. Tantangan yang dihadapi adalah ilmu sosial
dalam menemukan teori baru sesuai konteks berdasarkan kondisi yang ada.
Masalah – masalah sosial suatu negeri tidak dapat diselsaikan secara
internasional, melainkan menggunakan sarana – sarana yang lebih sesuai dengan
kultur historis suatu bangsa.
Ilmu – ilmu sosial yang telah diadopsi di Indonesia sedikit banyak juga
terpengaruh dengan ideologi – ideologi barat seperti sekulerisme, liberalisme dan
lainnya. Hal itu pula yang juga mempengaruhi pemikiran dan cara hidup
masyarakat Indonesia yang dahulunya tradisional menjadi berubah ke barat –
baratan, yang dahulunya sangat berpegang teguh pada agama dan kepercayaan
sekarang menjadi lebih mementingkan dunia di atas segalanya.
Keterperangkapan ini berhasil memberikan kritik tajam salah satu ilmuwan
Indonesia yakni Kuntowijoyo mengenai perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
Dalam pandangannya, ilmu sosial di Indonesia mengalami proses kemandegan
bahkan kehilangan kerangka nilai yang mampu menggerakkan ke mana
transformasi masyarakat di Indonesia digerakkan. Dalam kaitan ini untuk
memperbaiki kondisi ilmu – ilmu sosial di Indonesia, Kuntowijoyo mengusulkan
perlunya memberikan ruang untuk hadirnya apa yang disebut Ilmu Sosial
Profetik. (Nasiwan, 2013)
Usaha mengembangkan ilmu sosial alternatif seperti yang dilakukan
Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetiknya, bisa menjadi pilihan pengembangan
ilmu sosial nusantara (Nasiwan, 2013). Ilmu sosial yang lahir di Indonesia ini
tentu memiliki ciri khas Indonesia yang dengan kearifan lokalnya.
Proses merumuskan ilmu sosial alternatif terkendala banyak hal, setidaknya
soal ketekunan dan kemandirian intelektual menjadi penyebab utamanya. Namun,
di atas itu semua, Kuntowijoyo dapat melahirkan pemikiran yang menjadi ilmu
sosial alternatif. Ilmu sosial alternatif secara sederhana dapat dimaknai sebagai

23
ilmu yang membebaskan, ilmu sosial yang sesuai dengan corak masyarakat
Indonesia atau ilmu sosial yang tidak terkolonialisasi. (Nasiwan, 2013)
Kuntowijoyo membangun ilmu sosial profetik yang tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial namun juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu
ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasar cita – cita dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini, maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita – cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya. (Nasiwan, 2013)
Menurut Kuntowijoyo arah perubahan yang diidamkan adalah didasarkan
pada cita – cita humanisasi ataupun emansipasi, liberasi dan transedensi, suatu
cita – cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam. Dengan adanya
pemikiran yang sejalan dengan karakter asli Indonesia dan masyarakatnya, Ilmu
Sosial Profetik selain dapat menjadi ilmu sosial alternatif, juga dapat mengubah
tatanan pemikiran dan kehidupan sosial yang ada di Indonesia.
Konsep keilmuan ini juga mencoba memberi pemahaman bahwa persatuan
antara ilmu Barat dan Timur bukanlah sesuatu yang mustahil. Meskipun
perbedaan latar belakang dan landasan pemikiran yang terjadi di dunia Barat dan
Timur bukan tidak mungkin apabila teori yang lahir dari Timur dapat berjalan
beriringan dengan teori Barat.

Ilmu Sosial Profetik sebenarnya merupakan ilmu yang menggunakan


metode dari Barat yang positivistik tetapi tidak bersifat sekuler melainkan
transedental, yang langsung berorientasi kepada Tuhan. Ilmu Sosial Profetik
apabila diterapkan dalam konteks ke – Indonesiaan akan melahirkan sebuah
cabang keilmuan baru, yakni paradigma Integrasi dan Interkoneksi yang diusung
oleh Amin Abdullah sebagai kontinuitas dari Ilmu Sosial Profetik.

Sisi positif metode dari Baratpun juga sebenarnya turut andil dalam Ilmu
Sosial Profetik. Dengan memfilteralisasi positifisme yang terdapat dalam teori
Barat, yang meninggalkan sisi sekuler atau keduniaan dengan lebih berprinsip

24
pada Ketuhanan karena masyarakat Indonesia yang tinggi akan kepercayaan yang
dianut.
Ilmu Sosial Profetik apabila berkembang dengan baik di Indonesia serta
turur berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia, bukan tidak
mungkin apabila pemikiran masyarakat Indonesia akan kembali pada ke –
Indonesiaannya. Yang memiliki rasa kepercayaan terhadap Tuhan yang tinggi,
berkearifan lokal tinggi dan memiliki karakter serta budaya Indonesia. Dengan
begitu, apabila masyarakat telah menguasai ilmu – ilmu sosial, mereka tidak
selalu berpedoman pada teori – teori Barat yang kemudian juga bercermin pada
teori ke – Indonesiaan.
Dengan Ilmu Sosial Profetik yang lahir di Indonesia tentunya sangat cocok
apabila dimanfaatkan sepenuhnya di negara ini. Dengan Ilmu Sosial Profetik juga
ilmuwan – ilmuwan Indonesia dapat mengembangkannya sebagai salah satu
alternatif pemecahan masalah ataupun fenomena sosial yang ada di Indonesia
meskipun dengan bantuan ilmu dari Barat.
Para ilmuwanpun tidak selalu juga berpandangan pada teori Barat, mereka
dapat melirik teori lokal yang lahir di Indonesia. Dengan tanpa rasa gengsi,
pemikiran ke – Indonesiaan pun juga mereka kembangkan sehingga adanya
keseimbangan antara perkembangan ilmu sosial dari Barat dengan ilmu sosial ke
– Indonesiaan yang berjalan selaras di Indonesia.
Selain itu, pada lembaga – lembaga formal juga turut andil dalam
memanfaatkan Ilmu Sosial Profetik selain teori dari Barat. Peserta didik juga
dapat mengenal ilmuwan lokal beserta pemikirannya yang berbeda dari teori
Barat. Dengan begitu, tidak hanya sebuah teori yang dipahami, namun juga
bagaimana kerkaitan teori tersebut dengan kondisi sosial yang ada di Indonesia.
Tidak hanya melulu mengenai persoalan yang terjadi di dunia Barat.
Dengan Ilmu Sosial Profetik juga dapat menanamkan rasa bangga dan cinta
kepada tanah air yang selama ini semakin hilang akibat adanya teori – teori Barat
yang lebih fenomenal. Sehingga mereka juga memahami bagaimana lahir teori
tersebut dan teori tersebut lebih dirasa mengakar pada Indonesia.

25
Apabila Ilmu Sosial Profetik dapat dikembangkan dalam pembelajaran,
sedikit demi sedikit akan melepaskan ketergantungan terhadap teori Barat yang
bersifat sekuler yang selama ini dirasakan. Ilmuwan, guru, dan dosen di Indonesia
juga tidak lagi sebagai alat untuk menyalurkan materi ilmu sosial yang telah
disiapkan kepada peserta didik. Mereka dapat keluar dari patokan Barat yang
selama ini telah ditetapkan. Sehingga materi sosial yang diterapkan berhubungan
dan berkaitan dengan kondisi di Indonesia.

26
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dominasi keilmuan Barat yang bersifat sekuler menyebabkan diskriminasi


terhadap keilmuan yang bersifat religius pada dasarnya. Hal ini berdampak pada
kondisi umat yang semakin hari semakin teralineasi, karena terjadinya apa yang
disebut sebagai benturan antar peradaban oleh Samuel Huntington. Hegemoni
Barat yang ateis terhadap timur yang bertuhan dalam ranah ilmu pengetahuan
menimbulkan kegelisahan bagi para pemikir dari timur salah satunya
Kuntowijoyo. Sebagai seorang yang pernah menimba ilmu di Barat, Kuntowijoyo
beranggapan bahwa karateristik keilmuan Barat cenderung bersifat liberalistik dan
kapitalistik, sehingga dapat memicu lahirnya dehumanisasi, stratifikasi sosial dan
belenggu atas perbudakan. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo perlu
diciptakan sebuah counter hegemoni untuk melawan dominasi keilmuan Barat.

Melihat kondisi umat yang mulai terbawa arus pemikiran Barat tanpa ada
filterasi keilmuan yang jelas, Kuntowijoyo kemudian menawarkan sebuah konsep
keilmuan alternatif yang bersifat lebih egaliter. Keilmuan ini disebut sebagai Ilmu
Sosial Profetik yang telah dijelaskan di awal. Konsep keilmuan ini mencoba
memberi pemahaman bahwa persatuan antara ilmu Barat dan Timur bukanlah
sesuatu yang mustahil.

Ilmu Sosial Profetik adalah ilmu yang menggunakan metode dari Barat yang
positivistik tetapi tidak bersifat sekuler melainkan transedental, yang langsung
berorientasi kepada Tuhan. Ilmu Sosial Profetik apabila diterapkan dalam konteks
ke – Indonesiaan akan melahirkan sebuah cabang keilmuan baru, yakni paradigma
Integrasi dan Interkoneksi yang diusung oleh Amin Abdullah sebagai kontinuitas
dari Ilmu Sosial Profetik.

27
B. SARAN

Seperti yang dikatakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam makalah
Paradigma Profetik, perubahan sosial yang dibahas oleh Kuntowijoyo masih
hanya terfokus pada masalah sosial, tidak ada penjelasan mengenai konsep
perubahan diri sendiri, padahal perubahan – perubahan besar terjadi berasal dari
yang terkecil. Apabila dalam kehidupan sosial, sebelum mencapai tahap
perubahan masyarakat, maka seharusnya kita harus dapat merubah individu –
individu yang ada di masyarakat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Achwan, Rochman. 2010. Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan dan,


Tantangan. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Edisi Khusus

Arromizy, M. N. 2016. Menelusuri Epistemologi Sosial Profetik Kuntowijoyo.


Skripsi. Jurusan Filsafat Agama. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya

Biografi Kuntowijoyo. Diakses pada tanggal 8 Januari 2018 di


http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/

Heri Santoso, Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial Ikhtiar Awal
Pribumisasi Ilmu – Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media

Herwindo. 1992. Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan, dan Refleksi. Bahan Ajar
PIS.<file.upi.edu>

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epsitemologi, Metodologi, dan Etika.


Yogyakarta: Tiara Wacana

Laksana, Hanif Praba. 2015. Konsep Ilmu Sosial Profetik dan Transformasi Sosial
di Indonesia. Skripsi. Program Studi Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

Nasiwan, dkk. 2013. Membongkar Hegemoni Negara Kapitalis Atas Negara


Berkembang: Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial Profetik. Yogyakarta:
FISTRANS Institute CV Primaprint

Nasiwan. 2014. Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik. Yogyakarta:
FISTRANS Institute CV Primaprint

Nasiwan, dkk. 2016. Seri Teori – Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta: UNY Press

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2011. Mungkinkah? Perlukah? Makalah dalam


“Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascassarjana:
UGM

Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Membebaskan Ilmu Sosial dari


Keterperangkapan Ganda. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Vol. 9 No.2,
November 2005 (159 – 178)

29
Supardi. 2011. Dasar – Dasar Ilmu Sosial. Yogyakarta: Ombak

30

Anda mungkin juga menyukai