Anda di halaman 1dari 19

STRATEGI DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW

DALAM IQOMATUD-DIN ISLAM (STUDI ANALISIS


FASE MAKKIYAH DAN MADANIYYAH)

RISMA NIA
PK AL-AQSHO
PENGURUS DAERAH OGAN
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta
alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “STRATEGI DAKWAH NABI
MUHAMMAD SAW DALAM IQOMATUD-DIN ISLAM (STUDI
ANALISIS FASE MAKKIYAH DAN MADANIYYAH)” disusun untuk
memenuhi salah satu penugasan dalam alur pendaftaran Daurah Marhala 2
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Ogan.

Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai referensi sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Meski telah disusun secara maksimal oleh penulis, akan tetapi penulis sebagai
manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca.

Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan wawasan


yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran bagi para pembaca. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat
dan pelajaran dari makalah ini.

Bangun Jaya, 07 April 2023

(Penulis)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:............2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
A. Pengertian Iqomatud-din (Penegakan Agama)...........................................................3
B. Siroh Nabawiyah........................................................................................................4
C. Fase al-Makkiyah (marhalatut ta’sis) dan Fase al-Madaniyyah (marhalatut tamkin) 4
BAB III..............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
 Iqomatud-Din (Penegakan Agama) Perspektif Siroh Nabawiyah...............................6
1. Fase Al-Makkiyah/Marhalatut Ta’sis (Fase Peletakan Asas).................................7
A. Dakwah Sirriyyah (Dakwah Sembunyi-Sembunyi)............................................7
B. Dakwah Jahriyyah (Dakwah Secara Terang-Terangan).....................................8
2. Peristiwa Hijrah sebagai Nuqthatut Tahwil (Titik Tolak Perubahan/Peralihan). . .13
3. Fase Al-Madaniyyah/Marhalatut Tamkin (Fase Memiliki Kekuasaan)................13
BAB IV............................................................................................................................15
PENUTUP.......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama dakwah, artinya Islam merupakan agama yang menyuruh
umatnya untuk senantiasa menyerukan kepada kebaikan dan mengajak kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran. Islam pertama kali disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia sejak tahun
611 M. Setelah menerima wahyu pertama kali yaitu QS. al-Alaq: 1-5 saat
menyendiri (berkhalwat) di Gua Hira. Sejak itulah Nabi Muhammad saw.
diangkat sebagai nabi dan rasul, sehingga kehadirannya diharapkan akan
membawa perubahan pada kehidupan umat manusia dari zaman jahiliyah menuju
ke arah kehidupan yang penuh dengan cahaya Islam. Dalam perjuangan
menegakkan agama Islam (iqomatud-din), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam begitu sabar melangkah dan memperhatikan realita. Beliau menegakkan
agama kebenaran, yaitu agama Islam yang bermaksud menjadikan agama Islam
sebagai syiar nyata sebagaimana yang diperintahkan Allah swt. kepada beliau
seperti ikhlas dalam menjalankan ketaatan, berpedoman pada al-qur’an,
menghidupkan as-sunnah, dan mematikan bid’ah, agar seluruh hamba
melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

Hadirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membawa risalah


(agama kebenaran) dari Allah diharapkan akan membawa pada perubahan
peradaban bagi umat manusia terutama bangsa Arab masa itu, sehingga Islam
akan menerangi peradaban jahiliyah yang berada dalam kegelapan. Ada dua fase
yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalui dalam strategi dakwahnya
menegakkan Islam (iqomatud-din), yaitu pertama fase al-Makkiyah (marhalatut
ta’sis) 13 tahun dan kedua fase al-Madaniyyah (marhalatut tamkin) 10 tahun
dengan segala karakteristiknya. Diantara dua fase tersebut ada peristiwa hijrah
sebagai nuqthatut tahwil (titik peralihan).

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana iqomatud-din (penegakan agama) perspektif Siroh Nabawiyah
(fase Makiyah dan Madaniyyah)?
2. Bagaimana strategi implementasi iqomatud-din (penegakan agama)
perspektif Siroh Nabawiyah (fase Makiyah dan Madaniyyah)?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai iqomatud-din (penegakan agama)


perspektif Siroh Nabawiyah (fase Makiyah dan Madaniyah) dan strategi
implementasinya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Iqomatud-din (Penegakan Agama)


Iqamatud-din adalah penegakan ajaran agama Islam sebagai satu-satunya
agama yang diturunkan Allah swt. kepada seluruh nabi-Nya, yang mencakup
seluruh aspek ajarannya, dengan memenuhi segala syarat-syaratnya, dan dilandasi
dengan pengetahuan yang benar dan memadai serta keikhlasan, dan dilakukan
secara terus menerus oleh seluruh umat manusia, terutama penguasa atau
pemerintah, sehingga menjadi suatu ketetapan (kebiasaan) dalam diri pribadi dan
masyarakat. Wujud iqamatud-din adalah mencakup segala aspek agama yaitu
akidah, syari’ah dan akhlak, yang dalam pelaksanaannya menuntut peran aktif
seluruh komponen umat, terutama waliy al-amr. Tujuan iqamatud-din setidaknya
bisa dirumuskan sebagai upaya meluruskan akidah, menciptakan tatanan
kehidupan yang baik dan benar, serta menciptakan kedamaian dan kerukunan
hidup (Aan Parhani, 2015).

Iqamatud-din atau penegakan agama yang dimaksud adalah agama kebenaran


dari Allah swt., yaitu agama Islam. Inilah tujuan utama dan yang paling utama
yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menegakkan agama
disini bermaksud menjadikan agama Islam sebagai syiar nyata sebagaimana yang
diperintahkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. seperti ikhlas dalam
menjalankan ketaatan, berpedoman pada al-qur’an, menghidupkan as-sunnah, dan
mematikan bid’ah, agar seluruh hamba melaksanakan ketaatan kepada Allah (M.
Alpi Syahrin, Jufri Hardianto Zulfan, Joni Alizon, Musrifah, 2020). Dengan
demikian, menjaga agama dengan makna seperti hal tersebut tercermin dalam
pada langkah-langkah berikut. Pertama, menyebarkan dan mendakwahkan Islam
dengan pena, lisan dan senjata, menyebarkan dan mendakwahkannya kepada
internal umat Islam, juga kepada masyarakat-masyarakat lain yang tidak
menganut Islam, dan menjelaskan hakikat-hakikat agama ini secara jernih dan
murni. Kedua, menolak dan memerangi segala syubhat, bid’ah, dan kebatilan,
yaitu menempuh segala cara agar agama terjadi dari apa pun yang merusaknya,
baik yang berkaitan dengan akidah maupun yang lain.

3
Fuqaha telah mengisyaratkan makna ini. Abu Ya’la menuturkan, “Imam
berkewajiban menjaga agama berdasarkan asas-asas yang disepakati oleh salaful
ummah, para pendahulu umat. Ketika ada pemilik subyhat yang menyimpang dari
agama, maka imam harus menjelaskan hujjah dan kebenaran kepadanya, serta
memberlakukan kewajiban dan hudud yang diperlukan agama tetap terjaga dari
segala kekeliruan dan umat terjaga dari segala kesalahan.” (dalam Al-Ahkam As-
Suthaniyyah, Abu Ya’la, Ibid., hal. 92-96).

B. Siroh Nabawiyah
Perspektif siroh nabawiyah yang digunakan dalam makalah ini adalah
perspektif Siroh Nabawiyah dari Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-
Buthy, dimana judul lengkapnya adalah Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah
Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw. Sirah
nabawiyah sendiri adalah sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun setelah diangkat menjadi
rasul, hingga wafatnya beliau. Menurut Syekh Ramadhan al-Buthy tujuan
mempelajari sirah nabawiyah adalah agar setiap muslim dapat mengilustrasikan
hakikat Islam yang menjelma dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Sirah
memiliki peranan penting dalam memahami ajaran Islam. Dengan kata lain, kajian
Sirah Nabawiyah merupakan amal nyata yang bertujuan untuk menjelmakan
hakikat Islam secara lengkap, dengan sosok Nabi Muhammad saw. sebagai contoh
idealnya.

C. Fase al-Makkiyah (marhalatut ta’sis) dan Fase al-Madaniyyah


(marhalatut tamkin)
Fase berdakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah dimulai
sejak beliau menerima wahyu pertama kalinya dari Allah swt. melewati perantara
malaikat Jibril di Gua Hira, Bukit Jabal an-Nur 610 M dan selesai pada tahun 622
M sejak Hijrah ke Madinah. Kemudian diselingi dengan peritiwa penting umat
Islam, yaitu Isra’ Mi’raj yang merupakan perjalanan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Yerusalem, lalu diteruskan ke langit ketujuh
menghadap Allah Yang Maha Agung dalam satu malam untuk perintah
melaksanakan sholat 5 waktu. Fase Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di

4
Madinah dimulai sejak beliau hijrah ke Madinah pada tahun 622 M dan berakhir
dengan Pembebasan kota Mekkah pada tahun 630 M. Dalam kedua fase ini beliau
telah berhasil membangun pondasi tauhid dan membangun peradaban tinggi.
Strategi dakwah yang digunakan dalam rangka iqomatud-din tersebut antara lain
yaitu, pertama berdakwah dengan dua tahapan, yakni dengan cara sembunyi-
sembunyi (sirriyyah) dan terang-terangan (jahriyyah). Kedua membangun pondasi
tauhid, ketiga mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan (Wahyuni, n.d.).

5
BAB III

PEMBAHASAN

 Iqomatud-Din (Penegakan Agama) Perspektif Siroh Nabawiyah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita
bagaimana dakwah yang manhaji (sistematis), yaitu jauh dari sikap dan tindakan
emosional (infi’aliyah), berlebih-lebihan, nekad, ceroboh/sembrono (tahawwur),
apalagi bertindak asal-asalan (‘afawiyyah), tanpa bashirah (ilmu/pandangan jauh
ke depan), atau beramal secara tarqi’iyyah (tambal sulam). Dalam perjuangan
menegakkan agama Islam (iqomatud-din), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam begitu sabar melangkah dan memperhatikan realita. Beliau menegakkan
agama kebenaran, yaitu agama Islam yang bermaksud menjadikan agama Islam
sebagai syiar nyata sebagaimana yang diperintahkan Allah swt. kepada Nabi
Muhammad saw. seperti ikhlas dalam menjalankan ketaatan, berpedoman pada al-
qur’an, menghidupkan as-sunnah, dan mematikan bid’ah, agar seluruh hamba
melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. Ada dua fase yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalui dalam gerak dakwahnya, yaitu
pertama fase al-Makkiyah (marhalatut ta’sis) dan kedua fase al-Madaniyyah
(marhalatut tamkin). Diantara dua fase tersebut ada peristiwa hijrah sebagai
nuqthatut tahwil (titik peralihan).

Secara garis besar fokus dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


adalah pertama menyebarkan prinsip-prinsip ajaran Islam (nasyrul mabadi-i wa
ta’alimil Islam), kedua melakukan pembinaan pribadi muslim da’I (bina-u
syakhshiyyatil Islamiyyatid da’iyyah), ketiga membentuk komunitas muslim
(bina-ul jama’ah), keempat seluruhnya beliau lakukan dengan merahasiakan
wujud organ komunitasnya (sirriyyatut tandzim). Kelima berupaya
menghindarkan dakwah dari konfrontasi (al-ibti’adu ‘anis shaddi), keenam
menghindarkan dakwah dari bentrokan di medan peperangan (al-ibti’adu ‘an
sahatil ma’rakah), ketujuh sabar terhadap berbagai cobaan dan siksaan (as-shabru
‘alal bala-i wal adzaa), kedelapan mencari potensi kekuatan yang dapat
melindungi jama’ah (talammusul quwwatil qudrati ‘alal jama’ah), kesembilan

6
mencari basis territorial/wilayah yang dapat melindungi jama’ah (talammusul
qa’idatul ardhiyyatil hamiyah). 

1. Fase Al-Makkiyah/Marhalatut Ta’sis (Fase Peletakan Asas)

A. Dakwah Sirriyyah (Dakwah Sembunyi-Sembunyi)


Dakwah sirriyyah (dakwah sembunyi-sembunyi) ini dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga tahun. Hal ini karena situasi
dan kondisi yang belum memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah
secara terang-terangan. Fase ini dilakukan secara terbuka di pertemuan-pertemuan
dan majelis-majelis umum, tetapi dilakukan berdasarkan pilihan/seleksi. Pada
tahapan ini gerak dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil
merekrut semua lapisan masyarakat seperti orang-orang yang merdeka, kaum
budak, lelaki, wanita, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan yang telah bergabung
ke dalam Islam ini orang-orang dari segenap suku bangsa Quraisy, sehingga
hampir tidak ada keluarga di Makkah kecuali satu atau dua orang anggotanya
telah masuk Islam. Orang-orang Quraisy tidak ambil pusing terhadap komunitas
baru ini karena mengira komunitas kaum muslimin tidak berbeda dengan
golongan hanif yang dianut oleh Zaid bin Amr bin Naufal, Waraqah bin Naufal,
dan Umaiyah bin Abu Shalt yang sekedar menghindarkan diri dari menyembah
berhala.

Bahkan, menurut Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban rahimahullah, boleh


dikatakan pada periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan
golongan hanif daripada kaum muslimin. Hal ini disebabkan orang-orang hanif itu
pernah mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum Quraisy dan
sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum muslimin belum pernah
menyatakan sikap seperti itu. Di dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari
disebutkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam (sebelum
mendapatkan wahyu) sempat mengenal Zaid bin ‘Amr bin Naufal.

‫ َد‬Iْ‫ َأنَّهُ لَقِ َي زَ ي‬: ‫لَّ َم‬I‫ ِه َو َس‬Iْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي‬


َ ِ ‫ ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬، ‫ِّث‬ ُ ‫ َأنَّهُ َس ِم َع َأبَاهُ يُ َحد‬، ‫ َأ ْخبَ َرنِي َسالِ ٌم‬:َ‫قَا َل ُمو َسى بْنُ ُع ْقبَة‬
َ ِ ‫ فَقَ َّد َم ِإلَ ْي ِه َرسُو ُل هَّللا‬، ‫ك قَ ْب َل ْال َوحْ ِي‬
، ‫ا لَحْ ٌم‬IIَ‫ ْف َرةً فِيه‬I ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُس‬ ٍ ‫ْبنَ َع ْم ِرو ب ِْن نُفَ ْي ٍل َأ ْسفَ َل بَ ْلد‬
َ ِ‫ َو َذل‬، ‫َح‬
َ ‫ ” اَل آ ُك ُل ِم َّما يَ ْذبَحُونَ َعلَى َأ ْن‬: ‫ َوقَا َل‬، ‫فََأبَى َأ ْن يَْأ ُك َل‬
ْ ‫ َر‬I‫ ُل ِإاَّل ِم َّما ُذ ِك‬I‫ا اَل آ ُك‬IIَ‫ َأن‬، ‫صابِ ِه ْم‬
ُ‫ َر َواه‬، ” ‫ ِه‬I‫ ُم هَّللا ِ َعلَ ْي‬I‫اس‬
ِ ‫ْالبُ َخ‬
ُّ‫اري‬

7
Artinya:
“Berkata Musa bin ‘Uqbah: ‘Salim mengabarkan kepadaku bahwa dia
mendengar bapaknya berkata dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa beliau pernah bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah bukit
Baldah, dan ini terjadi sebelum wahyu turun, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
lalu menyuguhkan kepada Zaid hidangan daging, tapi Zaid menolak untuk
memakannya seraya berkata: ‘Aku tidak makan sesembelihan yang mereka
kurbankan kepada berhala mereka, aku tidak makan kecuali dari sesembelihan
yang disebut nama Allah padanya.’”

Pada fase al-Makkiyah (marhalatut ta’sis) ini ajaran Islam belum diumumkan


selain kepada orang yang dipastikan mau masuk Islam. Di masa-masa inilah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menarik individu-individu yang
siap memikul beban dakwah. Di pundak-pundak merekalah dakwah ini nantinya
akan terus tumbuh berkembang ke seluruh penjuru bumi.

B. Dakwah Jahriyyah (Dakwah Secara Terang-Terangan)


Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi (sirriyyah),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perintah dari Allah SWT.,
untuk berdakwah secara terang-terangan (jahriyyah).

َ‫فَاصْ َد ْع بِ َما تُْؤ َم ُر َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال ُم ْش ِر ِكين‬

Artinya:

“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang


diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” 

(Q.S. Al-Hijr: 94)

َ‫َوَأ ْن ِذرْ َع ِشي َرتَكَ األ ْق َربِين‬

Artinya:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang


terdekat.” 

(Q.S. Asy-Syu’ara: 214)

8
Mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara
terang-terangan (jahriyyah). Hal pertama yang beliau lakukan adalah
menyampaikan dakwahnya kepada kaum kerabatnya yang terdekat, yaitu Bani
Hasyim dan Bani Abdul Mutahallib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumpulkan mereka lalu menyampaikan dan mengajak mereka kepada ajaran
Islam. Pada saat itu Nabi Muhammad saw. langsung mendapat penentangan dari
Abu Lahab, pamannya. Meskipun begitu, kontak pertama ini telah berhasil meraih
dukungan ‘perlindungan dan pembelaan’ dari Abu Thalib. Ia berkata di majelis
itu, “Demi Allah, aku akan tetap melindungi dan membelamu, tetapi aku sendiri
tidak dapat meninggalkan agama Abdul Muthallib.”

Setelah yakin akan mendapat pembelaan dari Abu Thalib inilah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai melancarkan dakwah
secara terang-terangan kepada khalayak yang lebih luas. Beliau memanfaatkan
perlindungan dan pembelaan Abu Thalib itu untuk terus mengembangkan
dakwahnya. Dakwah memang sudah disampaikan secara terbuka, tetapi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap merahasiakan ‘organisasi’nya demi
melindungi perkembangan dakwah dan pengikutnya. Rasulullah mengadakan
pengajian rutin secara tersembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam. Seandainya
markas dakwah  ini diumumkan, niscaya penduduk Makkah akan menyerbu, dan
akan mengakibatkan terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak.

Alasan mengapa dipilih rumah Arqam sebagai tempat markas dakwah ini,
menurut Syaikh Munir Muhammad Ghadba untuk mengecoh orang-orang
Quraisy. Pertama, karena Arqam tidak diketahui keislamannya. Kedua, karena
Arqam berasal dari Bani Makhzum yang merupakan musuh bebuyutan Bani
Hasyim (keluarga besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ketiga, karena
Arqam saat itu masih berusia muda, sekitar 16 tahun, sehingga tidak terpikirkan
oleh orang-orang Quraisy jika markas dakwah itu bertempat di rumah anak kecil.

Mengiringi perkembangan dakwah, gelombang penentangan pun semakin


membesar. Setiap kabilah Quraisy melancarkan berbagai penyiksaan terhadap
putra-putra dan budak-budak mereka yang muslim. Hantaman penyiksaan itu

9
tidak dilawan oleh kaum muslimin kecuali dengan kesabaran. Imam Al-Bukhari
meriwayatkan kisah yang dibawakan oleh Khabbab radhiyallahu anhu, ia berkata:

‫ ْدعُو‬I َ‫ا َأاَل ت‬IIَ‫ ُر لَن‬I ‫ص‬


ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوهُ َو ُمت ََو ِّس ٌد بُرْ َدةً َلهُ فِي ِظلِّ ْال َك ْعبَ ِة فَقُ ْلنَا َأاَل تَ ْستَ ْن‬
َ ِ ‫َش َكوْ نَا ِإلَى َرسُو ِل هَّللا‬
‫ ِه‬I ‫ ُع َعلَى َرْأ ِس‬I ‫ُوض‬َ ‫ار فَي‬ ِ I ‫ ا ُء بِ ْال ِم ْن َش‬I‫ض فَيُجْ َع ُل فِيهَا فَي َُج‬
ِ ْ‫لَنَا فَقَا َل قَ ْد َكانَ َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم يُْؤ َخ ُذ ال َّر ُج ُل فَيُحْ فَ ُر لَهُ فِي اَأْلر‬
‫ ُر‬I‫ َذا اَأْل ْم‬Iَ‫ ِه َوهَّللا ِ لَيَتِ َّم َّن ه‬Iِ‫كَ ع َْن ِدين‬IIِ‫ ُّدهُ َذل‬I‫ص‬ ْ ‫فَيُجْ َع ُل نِصْ فَ ْي ِن َويُ ْم َشطُ بَِأ ْم َشا ِط ْال َح ِدي ِد َما ُدونَ لَحْ ِم ِه َوع‬
ُ َ‫ا ي‬II‫َظ ِم ِه فَ َم‬
َ‫ْجلُون‬
ِ ‫ب َعلَى َغنَ ِم ِه َولَ ِكنَّ ُك ْم تَ ْستَع‬ َ ‫ص ْن َعا َء ِإلَى َحضْ َر َموْ تَ اَل يَخَافُ ِإاَّل هَّللا َ َوالذِّْئ‬ َ ‫َحتَّى يَ ِسي َر الرَّا ِكبُ ِم ْن‬

Artinya:

“Kami mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau


sedang berbaring di bawah bayangan Ka’bah, berbantalkan kain yang beliau
miliki, lalu kami berkata: ‘Tidakkah engkau memohon pertolongan untuk kami?
Tidakkah engkau mendo’akan kami?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Sungguh ada di antara orang-orang yang beriman sebelum kalian
yang ditangkap, lalu digalikan tanah dan ditanam disana, kemudian dibawakan
gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, lalu orang itu dibelah dua, daging dan
urat yang berada di bawah kulit disisir dengan sisir besi, namun itu semua tidak
menghalanginya dari din (agama)nya. Demi Allah, agama ini akan sempurna,
sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan’a sampai Hadramaut
dalam keadaan tidak takut kecuali kepada Allah dan mengkhawatirkan
(serangan) srigala pada kambingnya, akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa’”.

Bahkan, karena siksaan yang demikian keras, beberapa orang dari


kalangan sahabat diizinkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menampakkan seolah-olah mereka telah murtad. Said bin Jubair berkata, “Aku
pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas, ‘Apakah orang-orang musyrikin
melancarkan siksaan kepada para sahabat Rasulullah saw sampai siksaan itu
membolehkan mereka untuk ‘meninggalkan’ agama mereka?’ Ibnu Abbas
menjawab, ‘Ya demi Allah. Sesungguhnya orang-orang musyrik memukuli salah
seorang mereka, setelah tidak diberi makan dan minum, sampai tidak bisa duduk
akibat siksaan itu dan (terpaksa) memberikan apa yang mereka inginkan yaitu
fitnah. Sampai mereka berkata kepadanya, ‘Lata dan Uzza adalah tuhanmu selain
Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Sampai ketika ada kumbang melintas, mereka

10
bertanya kepadanya, ‘Apakah kumbang ini ‘tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab,
‘Ya’.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud melindungi para


pengikutnya dari ancaman bahaya, maka beliau bersabda kepada kaum muslimin
yang artinya, “Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang
raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya,
disana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada
kalian” (dalam Manhaj Haraki). Guna melindungi jama’ah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya memanfaatkan tradisi jaminan
keamanan dalam masyarakat jahiliyyah di mana mereka sangat menghargai
undang-undang perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah, yaitu
jika seorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan orang yang kuat,
maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak dan
berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama sekali.
Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti tantangan perang kepada
pihak yang memberi jaminan keamanan.

Salah satu contoh perlindungan musyrikin sebagaimana sudah disebutkan


sebelumnya adalah jaminan kemanan dari Abu Thalib kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengomentari hal ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Quraisy tidak
dapat melancarkan suatu tindakan yang tidak aku sukai, sampai Abu Thalib
meninggal dunia”. Sedangkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mendapatkan
jaminan keamanan dari Ibnu Daghnah. Semula Abu Bakar bermaksud berhijrah,
tetapi kemudian dicegah oleh Ibnu Daghnah dan memberikan perlindungan
kepadanya sehingga ia dapat bebas melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an
di rumahnya.

Kemudian puncak serangan kaum Quraisy terhadap Islam adalah


pemboikotan. Mereka bersepakat memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthallib, baik yang muslim maupun yang kafir sehingga mengalami
kesengsaraan dengan tidak adanya bahan makanan. Boikot ini berlangsung sekitar
3 tahun. Tidak lama setelah pemboikotan berakhir, Abu Thalib wafat disusul

11
kemudian oleh wafatnya istri pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
yaitu Khadijah radhiyallahu ‘anha.

Dakwah di Makkah ini benar-benar menghadapi jalan buntu.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengarahkan dakwahnya ke
tempat lain, yakni Thaif. Beliau datang ke sana untuk mencari pembelaan dan
menyebarkan Islam, tetapi beliau ditolak mentah-mentah dan malah dianiaya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian kembali lagi ke Makkah
setelah mendapatkan jaminan keamanan dari Muth’am bin Adiy. Sebelumnya
beliau pun meminta jaminan keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin
Amer, namun mereka berdua menolak secara halus.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mencari pembelaan


dan perlindungan dari kabilah-kabilah Arab agar dapat menyampaikan dakwah
dan melindunginya. Beliau mendatangi Bani Amir, Ghassan, Bani Fazarah, Bani
Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani Abbas, Bani Nasher, Tsa’labah bin
Ukabah, Kindah, Kalb, Bani Al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzarah, Qais bin Al-
Khathim, dan Abul Haisar Anas bin Abu Rafi’. Kepada mereka Rasulullah
mengatakan, “Adakah seseorang yang sudi membawaku kepada kaumnya
kemudian melindungiku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Rabbku.
Sesungguhnya Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan risalah Rabbku”.

Pada  kali yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata


kepada mereka: “Aku tidak membenci kalian sedikitpun. Barangsiapa yang ridha
dengan apa yang aku dakwahkan, maka itulah dakwahku. Dan barangsiapa yang
tidak menyukainya, aku tidak akan memaksanya. Aku hanya ingin kalian mau
melindungiku dari orang yang ingin membunuhku, sehingga aku dapat
menyampaikan risalah Rabbku, sehingga Allah putuskan padaku dan para
pengikutku seperti yang dikehendakiNya".

Dalam setiap dialognya dengan kabilah-kabilah, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam selalu menanyakan tentang silsilah, tanah tinggal, jumlah
kekuatan, sejarah, budaya, dan nilai-nilai akhlak mereka. Ini merupakan salah satu
upaya beliau untuk mengetahui dan mengenal dengan benar situasi dan kondisi
sosial masing-masing kabilah secara lebih dekat. Pada sisi lain, dengan

12
pengenalan itu beliau berharap dapat menangkap celah dan sisi kehidupan mereka
yang dapat dimanfaatkan untuk menopang dakwahnya (dalam Manhaj Dakwah
Rasulullah). Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil
mendapatkan dukungan orang-orang Aus dan Khazraj dari Yatsrib. Mereka inilah
kaum Anshar (penolong dan pembela), dimana negeri mereka, Yatsrib, kelak
berubah nama menjadi Madinah Al-Munawarah,  negeri pusat perkembangan
Islam ke seluruh penjuru bumi.

2. Peristiwa Hijrah sebagai Nuqthatut Tahwil (Titik Tolak


Perubahan/Peralihan)

Setelah menemukan basis massa dan basis teritorial yang akan dijadikan
penopang dan pendukung dakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum muslimin diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk berhijrah. Hijrah memiliki
dua bentuk, pertama hijrah maknawi atau al-ma’nawiyah dan kedua hijrah tempat
atau al-makaniyyah. Hijrah maknawi (al-ma’nawiyah) yaitu perubahan dari
jahiliyyah kepada Islam, dari kufur kepada iman, dari syirik kepada tauhid, dari
kebatilan kepada kebenaran, dari nifaq kepada istiqomah, dari maksiat kepada
taat, dari haram kepada halal, dan dari menyendiri kepada jama’ah muslim.
Sedangkan hijrah tempat (al-makaniyyah) yaitu perubahan tempat untuk berpijak
sementara atau untuk berpijak secara permanen, dikarenakan adanya basis sosial
pendukung (al-qa’idatul ijtima’iyyah ) dan basis teritorial (al-qa’idatul
ardhiyyah).

3. Fase Al-Madaniyyah/Marhalatut Tamkin (Fase Memiliki Kekuasaan)

Pada fase ini fokus dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah


melakukan pengokohan kekuatan. Pertama, pengokohan basis sosial pendukung
(al-qa’idatul ijtima’iyyah), kedua pengokohan basis teritorial (al-qa’idatul
ardhiyyah), ketiga pengokohan kekuatan pitensi untuk perlindungan dakwah (al-
quwwatul qudratu ‘alal hamiyah), keempat pengokohan dalam mengelola negara
(tandzimud daulah), dan kelima pengokohan dalam melaksanakan dakwah secara
menyeluruh (ad-da’watus syamilah).

13
Disebutkan oleh Muhammad Al-Ghazaly dalam Fiqhus Sirah Nabawiyah, ada
tiga hal yang dibangun oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam rangka penegakan negara Madinah:

1. Memperkokoh hubungan umat Islam dengan Allah, hal ini ditandai dengan
membangun masjid.
2. Memperkokoh hubungan internal umat Islam, yakni dengan
mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar.
3. Mengatur hubungan umat Islam dengan non muslim. Untuk itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan penandatanganan
Piagam Madinah (sulhul Madinah).

Hal lain yang perlu ketahui adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam juga mendirikan pasar di Madinah sebagai pembangunan basis
perekonomian. Selain itu, guna menjaga keamanan daulah Islamiyah, Rasulullah
mengirim sariyyah (satuan militer) yang bertugas patroli mengawasi lalu lintas
kafilah yang bergerak  dari Makkah ke Syam dan sebaliknya. Hal ini menurut
Muhammad Al-Ghazaly rahimahullah adalah untuk memperlihatkan kekuatan
kaum muslimin dan memberi peringatan kepada musyrikin Quraisy (dalam
Fiqhus Sirah).

14
BAB IV

PENUTUP

Untuk melakukan iqomatud-din atau menegakkan agama Islam


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannanya selama kurang lebih 23
tahun (22 tahun, 2 bulan, 22 hari) yaitu fase Al-Makkiyah/Marhalatut
Ta’sis (Fase Peletakan Asas) 13 tahun dan fase Al-Madaniyyah/Marhalatut
Tamkin (Fase Memiliki Kekuasaan) 10 tahun. Dalam kedua fase ini beliau telah
berhasil membangun pondasi tauhid dan membangun peradaban tinggi. Strategi
dakwah yang digunakan dalam rangka iqomatud-din tersebut antara lain yaitu,
pertama berdakwah dengan dua tahapan, yakni dengan cara sembunyi-sembunyi
(sirriyyah) dan terang-terangan (jahriyyah). Keberhasilan pada fase ini telah
dibuktikan dengan beberapa nama mula-mula beriman dan masuk Islam bahkan
mendukung serta menbantu dakwah Nabi Muhammad saw. yaitu, Siti Khadijah
(istri Rasulullah), Ali bin Abi Thalib (kalangan pemuda dan putra paman
Rasulullah Abu Thalib), Zaid bin Harisah (seorang budak, yang kemudian
menjadi anak angkat Nabi Muhammad saw.), Abu Bakar al-Siddiq (sahabat
Rasulullah), dan kemudian menyusul masuk Islam beberapa tokoh Quraisy,
seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bi Abi Waqas, Abdurahman
bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, dan Hamzah bin Abi Thalib. Kedua membangun
pondasi tauhid, ketiga mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan
(Wahyuni, n.d.).
Dalam fase di Madinah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil
menanamkan nilai-nilai sosial keislaman di Madinah antara lain yaitu, pertama
membangun masjid sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat, yaitu masjid
Quba. Kedua membangun persaudaraan dan tolong menolong, terutama antara
sahabat Muhajirin (pendatang dari Mekkah) dan sahabat Anshar (penduduk asli
Madinah). Ketiga membangun teloransi dan asas-asas pemerintahan, untuk
membangun Madinah menjadi negara dan kota peradaban tinggi. Maka untuk
memantapkan asas tersebut, Nabi membuat perjanjian dengan beberapa suku dan
kabilah yang ada di Madinah, termasuk dengan Yahudi, yaitu Piagam Madinah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aan Parhani. (2015). Penegakan Syari’at Islam Kajian Tematik Pada Frase
Iqamatuddin dalam QS al-Syura/42:13. 3, 1–29.

Ahmahzun, Muhammad. 2006. Manhaj Dakwah Rasulullah. Cetakan ke-2.


Jakarta: Qithi Press (hal. 137).

Al-Ahkam As-Suthaniyyah, Abu Ya’la, Ibid., (hal. 92-96)

Al-Buthy, Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan. 2006. Sirah Nabawiyah


Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa
Rasulullah saw. Jakarta: Robbani Press.

Al-Ghadban, Syaikh Munir Muhammad. Manhaj Haraki Strategi Pergerakan dan


Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi saw., Jilid 2. Jakarta: Robbani Press,
2003.

M. Alpi Syahrin, Jufri Hardianto Zulfan, Joni Alizon, Musrifah, N. S. (2020).


Konsep Negara Dalam Politik Islam di Era Modern. 20(1), 120–138.

Sunarto, Ahcmad. Terjemah Fiqhus Sirah (Al-Ghazaly, Syaikh Muhammad).


Semarang: CV. Asy Syifa’, 1994.

Wahyuni, S. (n.d.). Dakwah Dalam Perspektif Sirah Nabi saw. 1–14.

16

Anda mungkin juga menyukai