Artikel direview oleh reviewer yang berkompeten dlm bidang keahliannya. Untuk
itu, terima kasih.
Kualitas Pelayanan Publik Studi Pada Pelayanan Kartu Tanda 669 – 677
Penduduk Eletronik Dan Kartu Keluarga Pada Dinas Kependudukan
Dan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma
Budi Hartoyo
Abstract: The purpose of this study is to determine whether cash receipts system and
procedures have been properly implemented in accordance with the laws of the
Municipal Government of Bengkulu, measured through 4 dimensions: cash receipts
system, cash dispensing system, cash receipts procedures, cash disbursement procedures
based on Regulation of Mayor of Bengkulu No. 20 of 2015 and in accordance with the
Minister of Home Affairs Regulation SE.900 / 316 / BAKD Year 2007, this research
using descriptive approach. Data were collected by filling out questionnaires related to
the Implementation of Cash Receipts System and Procedures and Expenditures by 33
Financial Managers consisting of Financial Sub-Heads, Reception Treasurers and
Expenditure Treasurers. Furthermore, in addition to the list Cecklist done with the
parties of the financial manager. The results showed that the Implementation of Cash
Receipts System and Procedure in City Government of Bengkulu is 51% (sufficiently
according to rule of law), indicating that the implementation of Cash Receipts System
and Procedures has not been optimal yet both dimensions have been implemented in
accordance with legislation such as cash receipts and cash receipts while cash
expenditure and cash disbursement procedures have not run optimally still in the
category sufficiently in accordance with the legislation is still much needed revamping.
In the future, it is expected that these four dimensions can be run optimally by all the
finance department in Bengkulu City Government in order to further improve the
system and procedures that its implementation simplify every work in the Regional
Crisis and also useful for the Government of Bengkulu City in terms of improving the
quality of the system and procedures ke khususnya cash receipts and cash
disbursements.
Pendahuluan
Pemerintah sebagai organisasi yang paling bertanggung jawab untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dituntut untuk mengelola pemerintahan
secara profesional dan efisien. Tuntutan ini diharapkan mampu memberikan dorongan
bagi pemerintah agar berupaya melakukan kinerja yang terbaik secara transparan dan
berakuntabilitas. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah dan Undang -Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berimplikasi pada
pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan
mendasar. Kedua undang-undang tersebut memberikan kewenangan lebih luas kepada
pemerintah diantaranya adalah keleluasaan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan
arah, tujuan dan target penggunaan anggaran, termasuk adanya tuntutan transparansi
dalam sistem pemerintah yang semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak
terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Hasil pantauan sementara adanya penyelewengan di beberapa SKPD dapat
digambarkan di bawah ini sebagai berikut:
Tabel : 1.1 kebocoran keuangan tahun 2014 s.d 2015 di Pemerintah Kota
Bengkulu
No SKPD Tahun Keterangan
1 Dinas perindustrian 2014 Kebocoran pada bendahara
dan Perdagangan penerimaan retribusi pasar hal ini
terjadi karena bendahra
penerimaan tidak segera
menyetorkan retribusi yang
ditagih oleh juru tagih pasar
Dinas Lingkungan 2015 Temuan saat tutup buku
2
Hidup
Sumber: Inspektorat Kota Bengkulu
Tinjauan Pustaka
Evaluasi
Konsep Kas
Hongren & Harrison (2008:60), menyatakan: “The Cash Account is a record of
the cash effects of transactions. Cash includes money, such as a bank balance, paper
currency, coins, and checks,,. Menyatakan Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan
di bank yang setiap saat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Sistem
Pengendalian Intern atas Penerimaan Kas Sistem pengendalian intern terhadap
penerimaan kas membantu organisasi pemerintah maupun perusahaan dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya. Dalam SURAT EDARAN Nomor:
900/316/BAKD Tahun 2007, menyatakan semua penerimaan daerah dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. Setiap SKPD yang
mempunyai tugas memungut atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan
Kerangka Analisis
Evaluasi Pelaksanaan
Sistem dan Prosedur
Organisasi Pejabat
Pemerintah Pengelola
Daerah (OPD) Keuangan
Daerah (PPKD)
Sistem dan Prosedur Penerimaan Kas merupakan interaksi dari sub-sub sistem
meliputi personil, dokumen, catatan, dan laporan serta urutan-urutan operasional dalam
rangka menatausahakan dan mencatat penerimaan kas pemerintah daerah. Prinsip-
prinsip Struktur Pengendalian Internal SPI terkandung di dalam sistem dan prosedur
penerimaan kas antara lain diwujudkan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah
dikelola dalam APBD. Hal tersebut merupakan perwujudan Anggaran sebagai alat
pengendali baik sebagai pengendali program dan kegiatan maupun pengendalian
keuangan.
2. Setiap OPD yang mempunyai tugas memungut atau menerima pendapatan daerah
wajib melaksanakan pemungutan dan penerimaan berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Penerimaan OPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran,
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
4. Penerimaan OPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah
paling lama 1 (satu) hari kerja.
5. Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah
yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima Nota Kredit.
Permasalahan dalam Sistem dan Prosedur penerimaan dan pengeluaran kas di
Pemerintah Kota Bengkulu
Pelaksanaan sistem dan prosedur yang berlangsung saat ini banyak pejabat yang
belum melaksanakan tupoksinya dengan sebenarnya contoh PPTK pejabat ini masih
sering kita temui tidak berpungsi tugas dan fungsinya didalam kelembagaan tersebut
Kegiatan yang lain di fiktifkan bagi sebagian bendahara pengeluaran yang
terlalu berani ada dana kegiatan tersebut di fikitfkan dana tersebut di cairkan tetapi tidak
di laksanakan kegiatan tersebut tetapi SPJ nya dibuat seolah-olah kegiatan tersebut
telah dilaksanakan.
Implikasi Strategis
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dalam pelaksanaan sistem dan
prosedur penerimaan kas dan pengeluaran kas masih banyak yang perlu di perbaiki
menurut peraturan perundang-undangan. Perbaikan tersebut dilakukan dengan cara
Inspektorat memberikan instruksi agar supaya dalam pelaksanaan sistem dan perosedur
tersebut bisa berjalan dengan baik dan di jalankan sesuai dengan fungsinya masing-
masing jangan ditukar jangan di putar balikkan ataupun di fiktipkan, hal ini yang
menyebabkan tidak terlaksananya sistem dan perosedur yang sesuai dengan perundang-
undangan dan tentunya harus berjalan sesuai dengan perundangan yang berlaku di
Pemerintah Kota Bengkulu No 20 Tahun 2015 tentang sistem dan prosedur penerimaan
dan pengeluaran kas.
Berdasarkan uaian di atas maka implikasi yang dapat dilakukan Pemerintah Kota
Bengklu adalah dengan cara
1. Meningkakan komitmen dan ketegasan dalam pelaksanaan sistem dan prosedur
penerimaan dan pengeluaran kas agar berjalan sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik antara pejabat dan bawahan yang ada
di OPD tersebut.
3. Cara yang di gunakan untuk mengatasi kecurangan dalam penyalah gunaan baik
wewenang maupun kesalahan yang di sengaja antara lain:
A. Meningkatkan komitmen dalam pelaksanaan sistem dan prosedur tersebut unutk
mengefiktif kan fungsi dari masing-masing pelaksana tugas sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku di Pemerintah Kota Bengkulu,
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan dari hasil penelitian mengenai evaluasi
pelaksanaan Sistem dan Prosedur penerimaan dan pengeluaran kas pada Pemerintah
Kota Bengkulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Sistem dan Prosedur
penerimaan dan pengeluaran kas di Pemerintah Kota Bengkulu sebesar 54,4 %. Nilai
tersebut berada pada kriteria Cukup sesuai dengan aturan perundangan. Dilihat dari
dimensi yang dilaksanakan, menunjukkan hasil yang beragam, sebagai berikut:
1. Dimensi sistem penerimaan kas
a. Penerimaan melalui bendahara penerimaan
Pelaksanaan sistem penerimaan kas kehususnya bendahara penerimaan kas yang
berada di Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Kota Bengkulu telah berjalan
sesuai dengan aturan perundangan meskipun masih banyak yang perlu di
b. Penerimaan melalui bendahara penerimaan pembantu
Sistem penerimaan kas oleh bendahara penerimaan pembantu sudah sesuai dengan
aturan perundangan
c. Dimensi pengeluaran kas
Sitem pengeluaran kas oleh bendahara pengeluaran sudah Cukup sesuai dengan
aturan perundangan tetapi
2. Dimensi prosedur penerimaan kas
a. prosedur penerimaan kas melalui bendahara penerimaan
Prosedur penerimaan kas oleh bendahara penerimaan diatas telah sesuai dengan
aturan perundangan berarti sudah baik
b. Prosedur penerimaan kas melalui bendahara penerimaan pembantu
Dapat dijelaskan peneliti bahwa prosedur penerimaan kas oleh bendahara
penerimaan pembantu diatas cukup sesuai dengan aturan perundangan
4. Dimensi prosedur pengeluaran kas
Dapat dijelaskan peneliti bahwa prosedur pengeluaran kas oleh bendahara
pengeluaran diatas sesuai dengan aturan perundangan
Saran
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan Sistem dan Prosedur penerimaan kas dan
pengeluaran kas pada Pemerintah Kota Bengkulu, ada beberapa hal yang dapat peneliti
sarankan agar pelaksanaanya lebih sesuai dari Sistem dan Prosedur penerimaan dan
pengeluaran kas ini dapat tercapai, antara lain sebagai berikut:
1. Dimensi sistem penerimaan kas Pemerintah kota Bengkulu harus lebih fokus
dalam pelaksanaan sistem penerimaan kas baik dari bendahara penerimaan
maupun bendahara penerimaan pembantu agar hasil yang di capai selama ini
dapat dipertahankan dan lebih fokus
2. Dimensi pengeluaran kas
Pemerintah Kota Bengkulu harus memberi pelatihan kepada PPK SKPD karena
di anggap mereka belum mengetahui jalur sistem pengeluaran kas serta manfaat
kegunaan berikutnya dari pengawasan urutan sistem pegeluaran kas
3. Dimensi prosedur penerimaan kas
Diharapkan kepada para bendahara penerimaan pembatu agar lebih berhati-hati
dalam menyetorkan uang baik hitungannya maupun nominalnya karena banyak
terindikasi penyimpangan dari kas atau uang sedang di tangan
Daftar Pustaka
Abdul Halim. 2010. Akuntansi Sektor Publik.Jakarta : Salemba Empat.
Aksara .
Arikunto (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta
Arthur G. Gedeian dkk.1991Organization Theory and Design.Jakarta: Universitas
Terbuka.
Basrowi dan Suwandi (2008). Memhami Penelitian Kualitatif Jakarta. Rineka Cipta
Emzir (2010). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif Jakarta Rajawali
Pers 2010
Gedeian, Arthur G. 1991. Organization Theory and Design. University of Colorado at
Denver.
H. A. S. Moenir. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi
Halim, A. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Handayaningrat, Soewarno 1985. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen.
Cetakan Keenam. Jakarta: PT Gunung Agung.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua
Dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Internal Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Perbendaharaan Negara.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
Ritonga, I.T. (2010). Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta:
Lembaga Kajian Manajemen Pemerintah Daerah.
Romney, M. B. dan P. J. Steinbart. 2003. Accounting Information System. Edisi
Kesembilan. Jakarta. Salemba Empat.
Romney, M. B. dan P. J. Steinbart. 2003. Accounting Information System. Edisi
Kesembilan. Jakarta. Salemba Empat.
Ronald, F. D., & Shay D. B. 2011. Accounting Ethics. United Kingdom: Blackwell
Publishing. E-Book.
Sekaran, 2006, Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta: Salemba
Empat.
Sekaran, Uma. 2007. Metodologi Penelitian untuk Bisnis.Edisi 4.Buku 2. Jakarta:
Salemba Empat.
Siswanto (2012). Strategidan Langkah-Langkah Penelitian. Yogyakarta. Graha Ilmu
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT
Alfabet.
Supriyono, 2000, “Sistem Pengendalian Manajemen”, Edisi Pertama, Yogyakarta:
BPFE.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor SE.900/316/BAKD Tahun 2007
Tentang Pedoman Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi,
Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Jakarta.
Uma Sekaran, 2006, Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta:
Salemba Empat.
Pendahuluan
Pemerintah Republik Indonesia sedang giatnya berupaya menggalakkan
pembangunan pada setiap aspek kehidupan demi meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat Indonesia. Untuk menyentuh semua lapisan masyarakat maka
akhir-akhir ini pembangynan nasional tidak terfokus padaa perkotaan saja, namun juga
telah dilakukan sampai ke pelosok desa. Pemerataan pelaksanaan pembangunan ini
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa,
sehingga permasalahan seperti kesenjangan wilayah, kemiskinan dan masalah sosial
lainnya dapat dikurangi/diturunkan.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan
pengaruh yang baik bagi masyarakat dan pemerintahan desa, sehingga diharapkan dapat
lebih mandiri dan terbangunnya masyarakat desa yang kuat secara ekonomi, sosial,
budaya dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pembangunan. Selain itu,
masyarakat desa diharapkan dapat memberdayakan dirinya dalam mengelola sumber
Pengelolaan dana desa menjadi wewenang desa yang menerima dana desa. Hal
tersebut harus terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan
dan belanja desa (APBDes). Dalam pelaksanaan pengelolaan dana desa, tidak terlepas
dari berbagai permasalahan, terutama dalam teknis pengelolaannya. Berdasarkan
pemaparan di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah:
1) Bagaimanakah kompetensi pengelola dana desa di Kabupaten Bengkulu Utara?
2) Bagaimanakah motivasi pengelola dana desa di Kabupaten Bengkulu Utara?
3) Bagaimanakah komitmen organisasi pengelola dana desa di Kabupaten
Bengkulu Utara?
4) Bagaimanakah kinerja pengelola dana desa di Kabupaten Bengkulu Utara?
Tinjauan Pustaka
Pengertian Kinerja
Kata kinerja berasal dari Bahasa Inggris “Performance” yang berarti hasil kerja
(Handoko, 2016). Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai
produktivitas kerja atau prestasi kerja. Kinerja mempunyai makna yang luas, bukan
hanya hasil kerja termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung (Wibowo,
2011).Menurut Amstrong dan Baron (2013) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kemampuan konsumen
dan memberikan kontribusi ekonomi.
Menurut Mangkunegara (2010), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas yang
dicapai oleh seseorang pengelola dana desa dalam kemampuan melaksanakan tugas-
tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan kepadanya. Selain itu,
kinerja juga dapat diartikan sebagai suatu hasil dan usaha sesorang yang dicapai dengan
adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Kinerja dapat merupakan
penampilan individu maupun kelompok kerja personil. Menurut Ilyas (2011)
penampilan kerja tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional
maupun struktural di dalam organisasi.
Keberhasilan seseorang kelompok atau organisasi dalam mencapai sasaran atau
target yang telah ditetapkan merupakan kinerja yang telah dilakukan oleh individu,
kelompok atau organisasi tersebut, Landy & Frank (2013: 19) berpendapat:
“A work performance or criterion construct can be thought of as attribute or
characteristics employees, not directly observable, that is inferred from observable job
behaviour in one situation or occasion and that underlies performance in other
situations”
Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Simamora (2005) yang menyebutkan
kinerja sebagai suatu keadaan atau tingkah laku seseorang yang harus dicapai dengan
persyaratan tertentu, sedangkan Soeprihatno (2016) mengatakan kinerja merupakan
hasil kerja seseorang karyawan dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan
berbagai kemungkinan, misalnya standar target/tujuan, atau kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa kinerja sebagai hasil kerja yang
diperoleh individu pada periode tertentu. Hasil kerja tersebut selanjutnya dibandingkan
dengan standar yang telah ditetapkan. Jika hasil kerja berada di atas nilai standar, maka
kinerja individu tersebut baik. Sebaliknya, jika hasil kerja berada di bawah standar yang
ditetapkan, maka kinerja individu tersebut belum baik.
Motivasi
Secara etimologis, motif atau dalam bahasa Inggrisnya motive, berasal dari kata
motion, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah motif erat
kaitannya dengan gerak, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia, atau disebut juga
dengan perbuatan atau tingkah laku. Motif dalam psikologi berarti rangsangan,
dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku (Meyer & Allen,
2007).
Menurut Scott (dalam Veitzal & Fauzi, 2004:461) Motives are unsatiesfied need
which prompts an individual toward the accomplishment of applicable goals (motif
adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai
tujuan tertentu). Selain itu menurut Veitzal (2004: 462), motif adalah faktor-faktor yang
ada di dalam individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu.
Sementara Purwanto (2002:71) mengemukakan motif dan motivasi kerja sebagai
berikut : motif menunjukkan dorongan yang timbul dalam diri seseorang yang
menyebabkan seseorang tersebut mau bertindak atau melakukan sesuatu. Sedangkan
motivasi kerja adalah pendorong, suatu usaha yang didasari untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang agar tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu sehingga
mencapai hasil atau tujuan tertentu. Dalam pengertian motivasi kerja tersebut dapat
disimpulkan keterkaitan anatara motif dan motivasi, yaitu motif akan berubah menjadi
motivasi kerja apabila motif sebagai daya penggerak benar-benar telah diaktifkan dalam
wujud perbuatan atau tingkah laku, atau dengan kata lain motivasi kerja adalah wujud
aktif dari motif yang terpendam dalam diri seseorang. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Sagala (2007:100) bahwa motivasi kerja dapat dipahami sebagai suatu
variabel penyelang yang dapat menimbulkan faktor-faktor tertentu dalam organisasi,
yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku
menuju sasaran.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
motif (motive) adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang sehingga yang
bersangkutan dapat beraktivitas atau berperilaku untuk mencapai tujuan yang ia
inginkan. Bila ditelusuri lebih jauh maka alasan yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu itu, karena yang bersangkutan mempunyai kebutuhan yang
mendesak untuk dipenuhinya, baik kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah
dibalik kehidupan ini. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan menentukan
tindakan yang mereka lakukan. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia
melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya.
Setiap manusia melakukan atau berbuat sesuatu pada dasarnya karena dorongan
atau motivasi kerja tertentu. Pengertian motivasi kerja banyak ditafsirkan secara
berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan tempat dan keadaan dari masing-masing para
ahli tersebut. Guralnik (dalam Mursi, 2013:4), bahwa motivasi kerja adalah suatu
perangsang dari dalam, suatu gerak hati, dan sebagainya yang menyebabkan seseorang
melakukan sesuatu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi kerja adalah keadaan-
kejiwaan yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan, mengarahkan,
menyalurkan perilaku, sikap dan tindakan seseorang yang selalu dikaitkan dengan
pencapaian tujuan, baik tujuan bersama maupun tujuan pribadi masing-masing anggota
kelompok.
Komitmen Organisasi
Komitmen organisasional menunjukkan sejauh mana seseorang memihak sebuah
organisasi serta tujuan-tujuannya dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi. Komitmen organisasional adalah sebuah kepercayaan
pada penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, sebuah kemauan
untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan profesional dan
sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi (Trisnaningsih, 2003).
Komitmen organisasional juga diartikan oleh Syarif (2016) sebagai dorongan dalam diri
individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi dengan
tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi. Komitmen organisasional
terdiri dari tiga dimensi (Robbins dan Judge, 2007), yaitu:
a. Komitmen afektif (affective commitment)
Komitmen afektif adalah perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam
nilai-nilainya. Komitmen afektif muncul karena keinginan, artinya komitmen dipandang
sebagai suatu sikap, yaitu usaha individu untuk mengidentifikasikan dirinya pada
organisasi beserta tujuannya.
Parameter yang mengindikasikan komitmen afektif menurut Allen dan Meyer (2007)
adalah :
1) Merasa ikut memiliki organisasi tempat karyawan bekerja
2) Memiliki keterikatan secara emosional dengan organisasi
3) Organisasi dianggap memiliki nilai yang sangat penting
4) Merasa menjadi bagian penting dalam organisasi
b. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Komitmen kontinuan adalah nilai ekonomi yang dirasakan jika tetap bertahan di dalam
organisasi dibandingkan jika meninggalkan organisasi tersebut. Komitmen kontinuan
muncul karena kebutuhan, dan memandang bahwa komitmen sebagai suatu perilaku,
yaitu terjadi karena adanya suatu ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah
dilakukan di dalam organisasi pada masa lalu dan hal itu tidak dapat ditinggalkan
karena akan merugikan.
Parameter yang mengindikasikan komitmen kontinuan menurut Allen dan Meyer (2007)
adalah :
1) Merasa permasalahan organisais menjadi permasalahan anggota
organisasi
2) Tidak berminat untuk terikat dengan organisasi lainnya
3) Berusaha dengan kuat untuk kepentingan organisasi
4) Memiliki komitmen yang tinggi kepada organisasi
c. Komitmen normatif (normative commitment)
Komitmen normatif adalah kewajiban untuk tetap bertahan dalam organisasi karena
alasan-alasan etis dan moral. Komitmen normatif muncul karena komitmen tersebut
memang sudah seharunya dilakukan oleh setiap individu yang ada di dalam organisasi.
Parameter yang mengindikasikan komitmen normatif menurut Allen dan Meyer (2007)
adalah :
1) Memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi
2) Tidak berkeinginan untuk meninggalkan organisasi
3) Bersikap profesional dan tanggungjawab
4) Memiliki loyalitas yang tinggi kepada organisasi
Metode Penelitian
Desain penelitian adalah prosedur proses pengumpulan dan analisis data
penelitian. Menurut Creswell (2010) desain penelitian merupakan rencana dan prosedur
penelitian yang meliputi asumsi-asumsi luas hingga metode-metode rinci dalam
pengumpulan dan analisis data. Oleh karena itu, desain penelitian adalah rencana dan
strukutur penelitian yang dibuat sedemikian rupa agar diperoleh jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan penelitian. Beberapa jenis desain penelitian yang dapat
digunakan adalah penjajakan, deskriptif, dan kausal (Cooper & Shincdler, 2016).
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah pengelola keuangan dana desa pada
215 desa di 19 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara. Pengelola dana desa terdiri
dari: kepala desa, sekretaris desa, anggota BPD dan pendamping (fasilitator). Jumlah
populasi pengelola dana desa di Kabupaten Bengkulu Utara adalah sebanyak 860 orang
(4 orang x 215 desa).
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode non-
proporsionalcluster random sampling. Teknik pengambilan sampel ini digunakan
karena tiap cluster populasi diambil dengan jumlah yang berbeda. Guna memperoleh
jumlah sampel yang tepat, digunakan rumus Slovin (Sugiyono, 2013) sebagai berikut:
N
n = N d 1
2
dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Nilai presisi 95 % atau sig = 0,05
Dari rumus Slovin di atas, maka jumlah sampel yang diambil dari penelitian ini adalah:
860 860
n = 8600,05 1 = 3,15 = 273 orang
2
Jadi, dari perhitungan rumus Slovin diperoleh jumlah sampel penelitian sebesar 273
orang.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Metode
pengumpulan data menggunakan metode survei. Metode survei adalah cara
pengumpulan data akan dilakukan melalui penyebaran kuesioner. Kuisioner diantar dan
diambil sendiri oleh peneliti kepada 273 orang pengelola keuangan dana desa pada 215
desa di Kabupaten Bengkulu Utara.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan jawaban
responden terhadap variabel penelitian yang telah dijawab dengan skala Likert. Dalam
skala Likert, variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator atau item pertanyaan.
Jawaban dari jawaban responden terhadap item-item tersebut merupakan variabel
penelitian (Copper & Schindler, 2016).
keterkaitan antara motif dan motivasi sangatlah erat. Motif akan berubah menjadi
motivasi apabila motif sebagai daya penggerak benar-benar telah diaktifkan dalam
wujud perbuatan atau tingkah laku, atau dengan kata lain motivasi adalah wujud aktif
dari motif yang terpendam dalam diri seseorang. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Sagala (2007; 100) bahwa motivasi dapat dipahami sebagai suatu variabel penyelang
yang dapat menimbulkan faktor-faktor tertentu dalam organisasi, yang membangkitkan,
mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju sasaran.
Pengelola dana desa yang memiliki motif (motive) yang positif akan mudah
terdorong untuk beraktivitas atau berperilaku menjalankan tugas-tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, sehingga tercapai tujuan yang diharapkan, baik diharapkan oleh
dirinya maupun organisasi. Motif positif akan muncul bila alasan yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan telah dipenuhinya kebutuhan dan
keinginannya, baik kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut akan menentukan tindakan yang mereka lakukan. Hal tersebut
sebagaimana pendapat Guralnik (dalam Moekijat, 2001;4), bahwa motivasi adalah suatu
perangsang dari dalam, suatu gerak hati, dan sebagainya yang menyebabkan seseorang
melakukan sesuatu.
Pengelola dana desa sebagai individu tentu saja memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda. Bermacam motif dapat mendasari pengelola dana desa tersebut menerima
penempatan sebagai pengelola keuangan. Motif-motif tersebut di antaranya adalah
menginginkan tambahan penghasilan di luar gaji pokok yang akan diterima tiap periode,
pemenuhan keinginan mengembangkan kompetensi dan potensi yang ada di dalam diri
pengelola dana desa, ingin memiliki keterlibatan yang tinggi dengan organisasi dan
motif-motif lainnnya yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan hal tersebut McClelland (dalam Bangun, 2012) menjelaskan
bahwa motif berprestasi dan motif berafiliasi merupakan dua hal yang mendasari
seseorang bekerja. Semakin tinggi motif-motif tersebut, seseorang akan semakin
terdorong untuk memenuhinya, sehingga dapat melaksanakan tugas sesuai dengan yang
diinginkannya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa motivasi kerja pengelola dana desa
adalah keadaan-kejiwaan yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan,
mengarahkan, menyalurkan perilaku, sikap dan tindakan pengelola keuangan untuk
mencapai tujuan pengelolaan dan pelaporan keuangan yang berkualitas. Jika pengelola
keuangan memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam mengerjakan tugas dan
tanggungjawabnya, maka laporan keuangan yang di hasilkan semakin berkualitas.
sangatlah penting agar tercipta kondisi yang kondusif sehingga organisasi dapat berjalan
secara efisien dan efektif.
Dari pemaparan di atas, dipahami bahwa kinerja pengelola dana desa adalah
prestasi atau pencapaian para pengelola keuangan desa dalam mengelola dana
desasesuai dengan rencana program dan ketentuan yang berlaku menurut aturan dan
perundang-undangan. Kinerja pengelola dana desa juga dapat diartikan sebagai suatu
hasil yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja aparatur pengelola
keuangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan standar dan persyaratan seperti
aturan perundang-undangan yang berlaku.
Grindle (dalam Islamy, 1997:10) memperkenalkan model implementasi sebagai
proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dan keluaran akhirnya ditentukan oleh
baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat
keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui
proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan
proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang
dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau
program – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks
implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur
luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui
dampaknya terhadap sasaran yang dituju, baik individu dan kelompok maupun
masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya
perubahan oleh kelompok sasaran.
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik
yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (Baedhowi, 2004: 47). Pada model
linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase
pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai
tanggungjawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada
kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang
disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki
komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan pelaksana.
Implikasi Strategis
Berdasarkan uraian hasil penelitian diketahui bahwa kompetensi, motivasi,
komitmen organisasi dan kinerja pengelola dana desa sudah berjalan baik. Dari hal
tersebut, implikasi hasil penelitian yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah desa adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan kompetensi pengelola dana desa
Kompetensi mendukung pelaksanaan tugas-tugas pengelola dana desa, sehingga
mampu mencapai kinerja yang optimal. Makna dari temuan ini menunjukkan bahwa
pengelola dana desa yang memiliki pengetahuan tentang organisasi, pengetahuan
tentang standar pengelolaan dana desa, keterampilan menggunakan komputer untuk
menyusun laporan keuangan, kemampuan bekerjasama dalam tim serta memiliki sikap
positif sangat penting dalam pencapaian kinerja pengelolaan dana desa. Tanpa hal
tersebut kinerja tidak akan tercapai. Kompetensi merupakan kualifikasi yang dibutuhkan
oleh pengelola dana desa untuk melaksanakan perencanaan dan pengelolaan dana desa
dengan baik dan benar. Untuk meningkatkan kompetensi pengelola dana desa di
Kabupaten Bengkulu Utara, diantaranya melalui :
1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dengan cara mengikuti pelatihan-
pelatihan mengenai dana desa.
2. Meningkatkan pengetahuan dana desa melalui pendidikan formal dan non-
formal.
2) Peninkatan motivasi dan komitmen
Motivasi dan komitmen merupakan faktor internal yang ada pada diri pengelola
dana desa. Motivasi dan komitmen dibutuhkan agar perencanaan, pelaksanaan dan
pemanfaatan dana desa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk meningkatkan
motivasi dan komitmen pengelola dana desa, dilakukan melalui:
1. Pendampingan dan supervise kepada pengelola dana desa sehingga pengelola
dana desa dapat bersemangat dan berkomitmen tinggi dalam melaksanakan
tugas.
2. Pengawasan dan evaluasi dalam penyaluran Dana desa di tiap desa akan
meningkatkan efektivitas penggunaan Dana desa. Meskipun rumus penentuan
Dana desa menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.140/640/SJ tanggal
22 Maret 2005 tentang Pedoman Dana desa yang dipakai sebagai acuan
merupakan yang terbaik untuk saat ini.
Kesimpulan
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, dapat dirangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengelola dana desa telah cukup kompeten dalam melaksanakan tugas pengelolaan
dana desa. Kompetensi tersebut akan mendukung pelaksanaan pengelolaan desa
secara memadai.
2. Pengelola dana desa sudah termotivasi dalam melaksanakan tugas, sehingga
pengelola dana desa melaksanakan tugas-tugasnya dengan penuh semangat.
3. Pengelola dana desa sudah memiliki komitmen dalam melaksanakan tugas, sehingga
dapat melaksanakan tugas dengan penuh tanggungjawab dan tidak ingin
menyalahgunakan kewenangannya tersebut yang dapat mempengaruhi pengelolaan
dana desa.
4. Pengelola dana desa sudah menunjukkan kinerja yang memadai dalam pengelolaan
dana desa. Pengelola dana desa telah mampu membuat laporan keuangan berkualitas,
pengalokasian dana desa secara tepat, transparan dan akuntabel.
Saran
Dari hasil penelitian kesimpulan, beberapa saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut:
1. Independensi auditor dapat ditingkatkan dengan cara memberikan kebebasan kepada
auditor untuk melaksanakan pemeriksaan tanpa diintervensi dan memberikan
kesempatan kepada auditor untuk mendalami temuan audit sehingga dapat
menghasilkan laporan audit yang berkualitas.
2. Peningkatan objektivitas auditor dapat dilakukan dengan pembinaan dan
pengembangan terhadap auditor internal secara terus-menerus perlu dilakukan
selaras dengan perkembangan paradigma sistem pengelolaan keuangan daerah yang
terus mengalami perubahan. Pembinaan dan pengembangan tersebut seperti
melakukan Diklat auditor dan sebagainya
3. Peningkatan integritas dapat dilakukan dengan tidak adanya intervensi inspektur
untuk menentukan, mengeliminasi atau memodifikasi bagian-bagian tertentu yang
akan diperiksa dan memberikan kesempatan kepada auditor untuk dapat
menyelasikan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab dalam menyajikan laporan
audit dengan baik.
4. Peningkatan kompetensi adalah melalui pemberian edukasi berupa pelatihan-
pelatihan, bimbingan teknis, dan seminar-seminar, maupun sosialisasi berkelanjutan,
sistematis dan terjadwal serta meningkatkan keahlian auditor dengan cara mengikuti
pelatihan-pelatihan dan meningkatkan pengetahuan auditor melalui pendidikan
formal.
5. Pemberian anggaran yang memadai untuk mendukung operasional auditor di
lapangan sangat dibutuhkan. Selain itu, pemberian waktu audit juga mendukung
pencapaian kualitas audit yang diharapkan.
Daftar Pustaka
Akingbola, K. 2013. A Model of Strategic Nonprofit Human Resource Management.
The John’s Hopkins University
Arfianti. 2011. Pengaruh Penatausahaan Keuangan dan Kualitas SDM terhadap
Kinerja Bendahara Pengeluaran SKPD. Kabupaten Batang
Armstrong, W. and Baron, K. 2013. Human Resources Management: An Experential
Approach, McGraw-Hill, Inc. Singapore
Bangun, W. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta. Erlangga
Benardin, H.J. & Russel, J.E.A. 2003. Human Resources Management: An Experential
Approach, Singapore, McGraw-Hill, Inc.
Cooper, D.R. & Schindler, P.S. 2016. Metode Riset Bisnis, Volume 1, Edisi Sembilan,
Alih Bahasa Budijanto dkk, Jakarta: McGraw-Hill Irwin
Ghozali, I. 2011. Analisis Multivariate dengan Program SPSS Versi 21, Semarang,
Badan Penerbit Undip
Gibson, I.D. 2011. Organisasi dan Manajemen, Jakarta, Erlangga.
Handoko, T.H. 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, BPFE.
Hasibuan, S.P.M. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, BPFE.
Ilyas, Y. 2011. Kinerja: Teori, Pelatihan dan Penelitian. Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKM.UI. Depok. Jakarta
Juknis Dana Desa. 2012. Petunjuk Teknis Pengunaan dan Pemanfaatan Dana Desa,
Jakarta
Juknis Dana Desa. 2015. Pengelolaan Keuangan Dana Desa Tahun 2015, Jakarta
Keputusan Kepala BKN No. 46A Tahun 2003 tentang Kompetensi Pengelola dana desa
Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Dalam Negeri, Jakarta
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/KMK.01/2013 tentang
Pengelolaan Keuangan Negara
Landy, A. dan Frank, W. 2013. Human Resources Management. New Jersey, Prentice
Hall.
Mahmudi, 2011. Manajemen Keuangan Daeah, Yogyakarta, Andi Offset
Mangkunegara, A.P. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mardiasmo, 2005. Akuntansi Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi Offset.
Mardiasmo, 2011. Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi Offset
Mathis, R.L dan Jackson, J.H. 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi
10(Terjemahan). Jakarta. Salemba Empat
Meyer, J. dan Allen, S. 2007. Management of Organizational Behavior Utilizing
Human Resources, Sixth Edition, New York, John Willey & Son, Inc
Moekijat, 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Rineka Cipta.
Mowday, R.T. Porter LW. dan Steers, R.M. 1979, Employee-Organizational Linkages:
The Psychology of Commitment, Absenteeism and Turnover: Academic Press,
New York.
Mursi, A.M. 2013. Sumber Daya Manusia Yang Produktif. Gema Isnani. Press. Jakarta
Nototmojo. 2011. Kinerja Aparatur Negara, LP3ES, Jakarta
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5
Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Pembukuan, Pemanfaatan dan Evaluasi Dana Desa
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2015
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Desa
Purwanto, N. 2002. Manajemen Pesonalia dan Sumber Daya Manusia, Remadja
Rosdakarya, Bandung
Ratifah dan Ridwan, 2012. Peran Komitmen Organisasi Memediasi Pengaruh
Kompetensi Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Pengelola Keuangan Pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, Jurnal Online Universitas Padjajara
Bandung
Robbins, P.S. and Judge, T.M. 2007. Perilaku Organisasi. Edisi Lengkap Bahasa
Indonesia Jakarta. PT. Indeks, Kelompok Gramedia
Robbins, S.P. 2015. Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh, PT. Indeks, Jakarta
Rovieyanti, D. 2011. Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia dan Penerapan
Sistem Akuntansi Keunagan Daerah terhadap Kualitas Laporan keunagan
Daerah. (Survei pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten
Tasikmalaya). Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
Sagala, P.S. 2007. Manajemen Personalia, BPFE, Yogyakarta
Sari, E. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Informasi Pelaporan
Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Di
Kabupaten Batang). Universitas Diponegoro, Semarang, (Online)
Schuler, R.S. & Susan. E.J. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia: Menghadapi
Abad Ke-21, Erlangga. Jakarta
Sekaran, U. 2016. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Edisi 4, Buku 1, Salemba Empat.
Jakarta
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung
Suhaenah. 2011. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja, Mandar maju, Bandung
Sunyoto dan Burhanudin. 2011. Perilaku Organisasional. Edisi 1. CAPS. Yogyakarta.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 140/640/SJ, tanggal 22 Maret 2007 perihal
“Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada
Pemerintah Desa”
Syarif, Y. 2016. Pengaruh Gender, Tingkat Jabatan, dan Pengalaman Kerja Auditor
terhadap Komitmen Kerja Auditor. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. 3 No. 4
Hal. 21-32
Tranggono dan Kartika. 2013. Pengaruh Komitmen Organisasional dan Profesional
terhadap Kepuasan Kerja Auditor dengan Motivasi kerja sebagai Variabel
Intervening (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang), Jurnal
Bisnis dan Ekonomi. Vol 15 No.1
Abstract: This study aimeds to determine the factor of determining defining factor of
decision of the customer in taking Community Business Credit of PT. BRI Unit Ratu
Samban Bengkulu City. This type of research is survey research. The sample in this
study at 200 customers using random sampling technique.Data analysis in this study
using factor analysis. Factor analysis method used in this research is method of
component principal analysis by using varimax rotation procedure. Factor analysis is
carried out starting from feasibility testing stage until factor stage until factor
interpretation. The results show at six factors formed that of determinant of consumer
decision in taking Community Business Credit at PT. bank BRI unit Ratu Samban
Bengkulu City. The first factor is the Bank's reputation which includes obtaining
information from KUR from advertising, choosing loans because banking technology is
sophisticated, choosing a KUR loan because the bank's reputation is good, and officers
respond well to complaints submitted, the second factor is fast service which includes
experience of using KUR, choosing a loan for having small interest, and having
qualified staff, having loyalty and still want to use, the third factor is the service
delivery system which includes a good service delivery system and a level of
satisfaction with the service, the fourth factor is a recommendation that includes
obtaining family recommendations and frequency of use, the fifth factor is consumer
confidence which includes technology delivery and trustworthiness, and the sixth factor
is the physical appearance which includes choosing a loan because of its physical
appearance and will not move and will still use.
Pendahuluan
Salah satu Bank penyalur KUR adalahBank Rakyat Indonesia atau lebih dikenal
dengan singkatan BRI.Pada tahun 2009 sampai dengan 2014 suku bunga KUR Bank
BRI sebesar 1.025%, dan tahun 2016 suku bunga KUR Bank BRI sebesar 0,55% serta
tahun 2017 sampai sekarang suku bunga KUR Bank BRI sebesar 0,4%. Dimana dengan
suku bunga yang hanya 0,4% flat/bulan menjadi salah satu keunggulan KUR Bank BRI
dan angka ini cukup meringankan nasabah. Sementara itu beberapa Bank atau Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB)dengan bunga lebih besar, seperti Bank Mandiri dengan
suku bunga KUR sebesar 1% dan Bank BTPN dengan suku bunga sebesar 1,2%. Hal ini
menyebabkan KUR Bank pada BRI sangat diminati oleh masyarakat. Data PT. Bank
BRI unit Ratu Samban Bengkulu terjadi penurunan target pencapaian penyaluran Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 Data Penyaluran Kredit Usaha Rakyat PT. Bank BRI. Unit Ratu
Samban Bengkulu
No Tahun Target Capaian
1 2014 100% 95%
2 2015 100% 87%
3 2016 100% 80%
Sumber: Bank BRI Unit Ratu Samban, 2016
Data di atas menunjukkan dalam 3 (tiga) tahun terakhir terjadi penurunan target
penyaluran Kredit Usaha Rakyat PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu.
Selain itu juga terlihat selama 3 (tiga) tahun terakhir belum tercapainya target
penyaluran Kredit Usaha Rakyat kepada masyarakat. Hasil wawancara dengan salah
karyawan PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu, mengatakan bahwa Kredit
Usaha Rakyat yang penyalurannya tidak mencapai target dikarenakan pada masyarakat
yang memiliki usaha pertanian dan perikanan, mereka terkendala syarat untuk
mendapatkan Kredit Usaha Rakyat dari PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota
Bengkulu.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik mengangkat judul
faktor penentu keputusan nasabahdalam mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada
PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu.
Tinjauan Pustaka
Keputusan Konsumen
Keputusan adalah penyeleksian tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif
(Schiffman dan Kanuk, 2008).Setiadi(2003) menyatakan bahwa pengambilan keputusan
sebagai kegiatan mengumpulkan informasi tentang alternatif yang relevan dan membuat
pilihan yang sesuai.
3. Perilaku pascapembelian
Tingkat kerumitan jasa finansial relatif tinggi, konsumen menggunakan
atribut fungsional produk untuk mengevaluasi kualitas layanan suatu produk
perbankan atau institusi perbankan yang mereka pilih, seperti sistem
penyampaian jasa, teknologi penyampaian jasa, kaualitas staf, dan atribut fisik
lainnya.Perilaku konsumen pascapembelian dapat dilihat dapat dilihat dari
tingkat kepuasan nasabah, kepercayaan terhadap merek, perilaku keluhan,
perilaku perpindahan merek, dan kesetiaan pelanggan.Sehingga perilaku pasca
pembelian dirangkum, sebagai berikut:
1. Tingkat kepuasan nasabah pada KUR BRI
2. Kepercayaan pada KUR BRI
3. Perilaku keluhan nasabah terhadap KUR
4. Perilaku perpindahan merek kepada KUR BRI
5. Kesetiaan pelanggan terhadap KUR BRI
Kerangka Analisis
Faktor Penentu
Keputusan Konsumen
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang
mengumpulkan data secara langsung dari responden dengan menggunakan kuisioner
dan item-item dari kuesioner, biasanya berhubungan langsung dengan skala perilaku
atau pendapat seseorang.
Analisis Faktor
Analisis faktor dilakukan untuk mereduksi dari banyak faktor menjadi lebih
sedikit.Dalam penelitian ini analisis faktor dilakukan untuk mengelompokkan faktor
penentu keputusan konsumen dalam mengambil KUR pada PT. Bank BRI Unit Ratu
Samban Kota Bengkulu. Faktor awal yang akan direduksi dengan analisis faktor
sebanyak 18 (delalapan belas) yang seluruhnya diindikasikan sebagai faktor-faktor
penentu keputusan konsumen dalam mengambil KUR pada PT. Bank BRI Unit Ratu
Samban Kota Bengkulu.
Tabel 4.3
Kaiser Olkin Mateasure Of Sampling
Tabel 4.4
Communalities
Initial Extraction
X1 1,000 0,590
X2 1,000 0,557
X3 1,000 0,571
X4 1,000 0,841
X5 1,000 0,470
X6 1,000 0,679
X7 1,000 0,816
X8 1,000 0,810
X9 1,000 0,683
X10 1,000 0,538
X11 1,000 0,737
X12 1,000 0,833
X13 1,000 0,624
X14 1,000 0,657
X15 1,000 0,555
X16 1,000 0,792
X17 1,000 0,807
X18 1,000 0,860
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2017
Tabel 4.5
Kaiser Olkin Mateasure Of Sampling
Tabel 4.6
Communalities
Initial Extraction
X1 1,000 0,581
X2 1,000 0,497
X3 1,000 0,544
X4 1,000 0,757
X6 1,000 0,568
X7 1,000 0,815
X8 1,000 0,806
X9 1,000 0,682
X10 1,000 0,544
X11 1,000 0,669
X12 1,000 0,817
X13 1,000 0,621
X14 1,000 0,600
X15 1,000 0,522
X16 1,000 0,790
X17 1,000 0,804
X18 1,000 0,860
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2017
sehingga hanya 16 (enam belas) faktor yang layak untuk dilakukan analisis
yang ketiga.
Tabel 4.7
Kaiser Olkin Mateasure Of Sampling
Tabel 4.8
Communalities
Initial Extraction
X1 1,000 0,594
X3 1,000 0,624
X4 1,000 0,560
X6 1,000 0,657
X7 1,000 0,818
X8 1,000 0,814
X9 1,000 0,685
X10 1,000 0,533
X11 1,000 0,718
X12 1,000 0,787
X13 1,000 0,609
X14 1,000 0,593
X15 1,000 0,607
X16 1,000 0,799
X17 1,000 0,813
X18 1,000 0,861
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2017
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pembentukan faktor baru
didasarkan pada besarnya nilai koefisien eigenvalue of variance> 31.6%.Semakin tinggi
nilai eigenvalue of variance menandakan bahwa pembentukan faktor baru semakin
berhasil. Pada hasil ada 6 (enam) faktor yang terbentuk dengan koefisien eigenvalue of
variance >1.0.
Bengkulu. Selain itu, PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu telah
menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan KUR pada PT. Bank
BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu
Iklan-iklan KUR telah dilakukan Pemrintah melalui media nasional, sehingga
adanya KUR telah diketahui oleh sebagian besar masyarat. Sehingga masyarakat yang
berminat mengajukan KUR tingal memilih Bank yang ditunjuk pemerintah untuk
menyalurkan danaKUR dengan bunga yang relatif kecil.
System penyampaian jasa BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu berprinsip
memberikan pelayanan yang prima dengan harapan dapat selalu memberikan pelayanan
yang terbaik bagi nasabah termasuk juga dengan nasabah KUR yang ada di PT. BRI
Unit Ratu Samban Kota Bengkulu, sehingga dengan memberikan pelayanan yang baik
tentunya akan dapat meningkatkan kepuasan kepada nasabah.
Pada proses pengambilan keputusan, konsumen terbuka pada informasi berbagai
sumber dan termotivasi untuk menilai dan mempertimbangkan serta membuat pilihan
yang tepat. Pengambilan keputusan yang diperluas biasanya dilakukan pada pembelian
barang-barang yang tahan lama seperti mobil, rumah, pakaian mahal, peralatan
elektronik, dan sebagainya.Dalam kondisi ini konsumen melakukan pencarian informasi
yang intensif dan evaluasi terhadap banyak alternatif. Proses tidak hanya berhenti
sampai tahap pembelian, konsumen juga melakukan tahap evaluasi setelah pembelian.
Keenam tahapan proses pengambilan keputusan diikuti meskipun tidak berurutan dan
akan banyak sekali alternatif yang dievaluasi. Jika hasil yang diharapkan terpenuhi
maka keputusan ditunjukkan dalam bentuk rekomendasi pada orang lain dan adanya
keinginan untuk membeli kembali. Sebaliknya, bila konsumen merasa kecewa maka
kekecewaannya akan disampaikan pada orang lain sehingga individu akan menghambat
orang lain untuk melakukan pembelian di tempat yang serupa.
Penelitian Suhari (2008) menunjukkan bahwa keputusan membeli melalui
secara online yang didahului oleh pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi
alternatif, keputusan membeli secara online dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu
psikologi konsumen, dan faktor eksternal, yang terdiri dari lingkungan sosial budaya
masyarakat, pemasaran, dan sistem kontrol vendor yang meliputi: Efisiensi untuk
pencarian (waktu cepat, mudah dalam penggunaan, dan usaha pencarian mudah), value
(harga bersaing dan kualitas baik), dan interaksi (informasi, keamanan, load time, dan
navigasi).
Faktor 4: Rekomendasi
Faktor penentu keputusan konsumen dalam mengambil KUR pada PT. Bank
BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu memiliki nilai eigenvalue sebesar 1,276 dan
persentase variance 7,972.Faktor ini merupakan gabungan dari 2 faktor awal yakni:
Mendapatkan rekomendasi keluarga tentang KUR pada PT BRI Unit Ratu Samban
Bengkulu dan frekuensi atau telah pernah menggunakan KUR pada PT. BRI Unit Ratu
Samban Kota Bengkulu.
Selama ini, nasabah KUR pada PT BRI Unit Ratu Samban Bengkulu sebagian
mengetahui adanya danaKUR di PT BRI Unit Ratu Samban Bengkulu dikarenakan
mereka diberitahu oleh keluarga mereka yang telah lebih dulu mendapat pinjaman dana
KUR pada PT BRI Unit Ratu Samban Bengkulu yang digunakan untuk modal usaha.
Nasabah KUR Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu yang telah menggunakan
modal usaha dari KUR pada PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu, mereka
menyampaikan kepada keluarganya, tetangga dan teman-temannya.
Selama ini para nasabah KUR PT. BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu
seringkali mendapatkan informasi dari keluarga yang juga sedang menjadi nasabah
KUR PT. BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu dan selain itu nasabah juga sebagian
ada yang menyambung peminjaman KUR walaupun belum selesai tetapi sudah berjalan
satu tahun dan masa kredit KUR sudah habis tetapi melakukan peminjaman kembali
KUR untuk modal usaha.
Pengambilan keputusan ini berada di antara kedua titik ekstrim yaitu
pengambilan keputusan yang diperluas dan pengambilan keputusan yang terbatas.Tahap
pencarian informasi dan evaluasi alternatif dilakukan oleh konsumen tetapi
intensitasnya terbatas. Karena konsumen sudah mendapat informasi sebelumnya, maka
konsumen akan langsung mengambil keputusan membeli tanpa harus
mempertimbangkan lagi. Tahapan pengambilan keputusan tidak dilalui semuanya.
Setelah melakukan proses pembelian, konsumen merasa tidak perlu lagi untuk
melakukan evaluasi lagi karena konsumen sudah merasa yakin dengan pilihannya.
Penelitian Septianida (2011) menunjukkan hasil reduksi 18 faktor-faktor yang
mempengaruhi perpindahan merek nasabah deposito BNI Bengkulu didapat 6 faktor
terbentuk, yaitu; ingin mencari variasi, keinginan sendiri (perasaan individu), fasilitas
tidak lengkap, terjadi kesalahan pada pelayanan sebelumnya, dan lambatnya perbaikan
kesalahan serta jarak rumah.
IMPLIKASI STRATEGIS
Kepada PT Bank BRI Unit Ratu Samban Cabang Bengkulu diharapkan dapat
memperhatikan enam faktor terbentuk dalam penentu keputusan konsumen dalam
mengambil KUR pada PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu, yaitu:
1. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada reputasi bank perlu
membuat nasabah merasa senang dengan pelayanan petugas KUR dengan
memberikan souvenir untuk nasabah sehingga nasabah tertarik untuk kembali
menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan secara terus menerus.
2. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada pelayanan cepat perlu
membuat strategi layanan pelanggan menggunakan teknologi serta dapat
meningkatkan kemampuan dan interaksi dengan pelanggan secara cepat.
3. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada sistem penyampaian
adalah melakukan berbagai promosi secara maksimal dengan memperkenalkan
produk KUR PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu kepada
masyarakat melaui iklan padan media lokal agar semakin meningkat nasabah
yang ingin mengajukan kredit KUR.
4. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada rekomendasi adalah
menjalin dan menjaga komunikasi yang baik dengan nasabah walaupun nasabah
tidak menggunakan KUR lagi, agar nasabah merasa percaya dengan pelayan
KUR dan akan merekomendasikan kepada teman dan keluarga.
5. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada kepercayaan konsumen
adalah meminta kritik dan saran dari nasabah KUR atas pelayanan yang
diberikan, agar petugas mengetahui kekurangan pelayanan yang diberikan,
sehingga petugas KUR dianggap peduli akan kebutuhan nasabah.
6. PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu pada tampilan fisik adalah
memperbaiki tampilan fisik Bank dengan menata ruangan pelayanan yang
nyaman, bersih, rapi, dan sejukbagi nasabah KUR yang menggunakan jasa KUR
PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan ditemukan 6 (enam) faktor penentu
keputusan konsumen dalam mengambil KUR pada PT. Bank BRI Unit Ratu Samban
Kota Bengkulu, yaitu:
1. Faktor kesatu adalahreputasi Bankyang meliputimendapat informasi KUR dari
periklanan, memilih pinjaman KUR karena teknologi perbankan sudah canggih,
memilih pinjaman KUR karena reputasi bank baik, dan petugas KUR
menanggapi dengan baik keluhan yang disampaikan.
Saran
Kepada PT Bank BRI Unit Ratu Samban Cabang Bengkulu diharapkan dapat
membuat nasabah merasa senang dengan pelayanan petugas KUR dengan memberikan
souvenir, membuat strategi layanan pelanggan menggunakan teknologi serta dapat
meningkatkan kemampuan dan interaksi dengan pelanggan secara cepat, melakukan
berbagai promosi secara maksimal dengan memperkenalkan produk KUR PT. Bank
BRI Unit Ratu Samban Kota Bengkulu kepada masyarakat melaui iklan padan media
lokal, menjalin dan menjaga komunikasi yang baik dengan nasabah walaupun nasabah
tidak menggunakan KUR lagi, dan meminta kritik dan saran dari nasabah KUR atas
pelayanan yang diberikan, agar petugas mengetahui kekurangan pelayanan yang
diberikan serta menata ruangan pelayanan yang nyaman, bersih, rapi, dan sejukbagi
nasabah KUR yang menggunakan jasa KUR PT. Bank BRI Unit Ratu Samban Kota
Bengkulu.
Daftar Pustaka
Alfansi, Lizar, 2010. Financial service marketing: membidik konsumen perbankan
Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
-------------------, 2016.Pemasaran Jasa Finansial. Edisi2. Jakarta: Salemba Empat.
Armstrong, Michael. 2006. A Handbook of Human Resource Management Practice. 10
th. Edition. London: Kogan Page.
Engel.1994. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara.
Firdaus, Rachmat, Maya, dan Ariyanti. 2009. Manajemen Perkreditan Bank Umum:
Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasi Lengkap dengan Analisis Kredit.
Bandung: Alfabeta.
Fishbein dan Ajzen.1975. Keyakinan, Sikap, Niat Dan Perilaku. Pengantar teori dan
penelitian Reading, MA:. Addison-Wesley
Hastono, Priyo, Sutanto. 2010. Analisis Data. Jakarta: FKM. UI.
Hutagalung, Bongsu, Raja. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Konsumen Terhadap Keputusan Menggunakan Dua Ponsel (GSM dan CDMA)
Pada Mahasiswa Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi USU, Jurnal
Manajemen Bisnis, Vol. 1, No. 3.
Jasfar, F. 2009. Manajemen Jasa Pendekatan Terpadu.Jakarta: Ghalia Indonesia.
Keaveney, Susan M. 2010. Customer Switching Behaviour In Service Industries: An
Explanatory Study. Journal Of Marketing. Vol 59.
Abstract: This study uses descriptive qualitative, data collection techniques used by the
author in this study is through the dissemination of questionnaires, interviews, and
documentation. The purpose of this research is to: 1) Know and analyze people's
perception on the use of village funds from the review of the effectiveness of
infrastructure development of villages seen from the aspects of input, output, outcome,
benefit, impact; 2) To find out and analyze people's perception on the use of village
funds from the effectiveness of village community empowerment seen from input,
output, outcome, benefit and impact aspect.The method of analysis used in this research
is Miles and Huberman model analysis. From the research results in the research tables,
it can be concluded that respondents' perceptions of the dimensions of inputs, outputs,
outcomes, benefits and impacts in the development of village infrastructure and the
perception of respondents to the dimensions of input, output, outcome, benefit and
impact in the empowerment of village communities, the implementation of village
development programs funded by village funds indicates that village development
programs are more directed to physical infrastructure (infrastructure) programs. The
choice of physical development is inseparable from the conditions and needs of the
village community in Kepahiang Regency. The choice of physical development in the
villages of Kepahiang Regency has fulfilled the physical infrastructure needs of the
village. However, if viewed from the substantive development of the realization of the
welfare of society, the choice of physical development has not been able to lead the
condition. The welfare of society can not be realized through physical development
alone, but also requires community empowerment. Therefore, physical development
must also be synergized with the community empowerment program.
Pendahuluan
UU RI No 6 Tentang Desa Tahun 2014 beserta peraturan pelaksanaannya telah
mengamanatkan pemerintah desa untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan
dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki, termasuk di dalamnya pengelolaan
keuangan dan kekayaan milik desa. Dalam APBN-P 2015 telah dialokasikan dana desa
sebesar Rp 20,776 triliun kepada seluruh desa yang tersebar di Indonesia. Jumlah desa
yang ada saat ini sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39
Tahun 2015 sebanyak 74.093 desa.
Visi dan misi yang di emban oleh UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa adalah
adanya komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi
kuat, maju, mandiri dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan kuat dalam
disalurkan dalam dua tahap periode, yakni di bulan Maret dan Agustus. Penyaluran dua
tahap tersebut dilakukan sesuai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 49/PMK.07/2016 Tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.
Provinsi Bengkulu, dengan luas 19.919.33 Km2 memiliki sembilan kabupaten
dan satu kota. Alokasi Dana Desa untuk Provinsi Bengkulu pada tahun 2016 yang
diperoleh sebesar Rp. 813.896.546.000,00. Adapun Rincian jumlah DD di Kabupaten
dalam Provinsi Bengkulu adalah adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Besaran Dana Desa Dari APBN Untuk Tiap Kabupaten
Di Provinsi Bengkulu Tahun 2016
Jumlah Alokasi Berdasarkan
Jumlah
No Kabupaten Kecamata Kementrian Peraturan Bupati
Desa
n Keuangan (Rp) (Rp)
1 Bengkulu Utara 19 130.594.550.000
215 130.594.550.000
2 Kaur 15 114.705.102.000
192 114.705.102.000
3 Seluma 13 109.690.905.000
182 109.690.905.000
4 Muko-Muko 15 90.529.932.000
148 90.529.932.000
5 Bengkulu 11 87.029.059.000
Selatan 142 87.029.059.000
6 Bengkulu 10 85.262.138.997
Tengah 142 85.262.139.000
7 Rejang Lebong 14 74.796.332.000
122 74.796.332.000
8 Kepahiang 8 64.305.931.000
105 64.305.935.000
9 Lebong 12 56.982.592.000
93 56.982.592.000
TOTAL 1.341 117 13.896.546.000 813.896.541.997
Sumber: BPMD Provinsi Bengkulu,2017 (Data diolah).
Kabupaten Kepahiang merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil di
Provinsi Bengkulu seluas 66.500 ha, dengan luas yang tidak terlalu besar dan salah satu
kabupaten dengan jumlah desa tidak sebanyak kabupaten lain, sehingga menjadikan
Kabupaten Kepahiang merupakan salah satu penerima dana desa terkecil di Provinsi
Bengkulu dengan besaran jumlah dana desa yang dialokasikan untuk Kabupaten
Kepahiang sebesar Rp.64.305.935.000. Kabupaten Kepahiang sebagai daerah
pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong telah memiliki 8 (delapan) kecamatan yang
tediri dari 105 desa dan 12 kelurahan.
Berdasarkan Peraturan Bupati Kepahiang Nomor 412-2-676 Tahun 2016 tentang
Besaran Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) se-Kabupaten
Kepahiang diketahui dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Kepahiang,
kecamatan yang memperoleh dana desa terbesar adalah Kecamatan Bermani Ilir yaitu
sebesar Rp 10.971.759.000. Kecamatan Merigi mendapat perolehan dana desa paling
kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Kepahiang yaitu
sebesar Rp.4.284.476.000. ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.Besaran DD dari APBN Tiap Kecamatandi Kabupaten Kepahiang
Tahun 2016
No Nama Kecamatan Jumlah Dana Desa(Rp)
1 Kecamatan Bermani Ilir 10.971.759.000
2 Kecamatan Ujan Mas 9.850.950.000
3 Kecamatan Kepahiang 9.775.337.000
4 Kecamatan Kabawetan 8.421.109.000
5 Kecamatan Tebat Karai 7.912.895.000
6 Kecamatan Seberang Musi 7.797.954.000
7 Kecamatan Muara kemumu 5.291.451.000
8 Kecamatan Merigi 4.284.476.000
Total 64.305.931.000
Sumber : BPMPPKB Kabupaten Kepahiang, 2016.
Besaran dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat sebesar Rp.
64.305.931.000 tersebut harus direalisasikan kepada seluruh desa yang ada dalam
wilayah Kabupaten Kepahiang. Dalam hal ini, pemerintahan desa tidak perlu sibuk
mengajukan proposal permintaan dana kepada pemerintah daerah ataupun pemerintah
pusat karena dana desa (DD) merupakan hak seluruh desa di Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanpa terkecuali, dan desa dengan musyawarah desa berhak menentukan
secara mandiri penggunaan dana desa, karena tidak ada pihak yang lebih mengetahui
apa yang perlu atau apa yang sangat di butuhkan oleh desa selain desa itu
sendiri,sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 (Enam) Tahun 2014
Tentang Desa. Undang-Undang tersebut mempertegas dan memperjelas kedudukan
desa, memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa.
Penelitian ini, meneliti tentang ketertarikan peneliti dengan penggunaan dana
desa yang ada di Kabupaten Kepahiang. Adapun ketertarikan peneliti dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan dana desa selain pembangunan fisik sudah memberikan ruang gerak
terhadap masyarakat menggunakan dana desa dari segi pemberdayaan Badan Usaha
Milik Desa pada tahun 2016, dimana sebelumnya pelaksanaan DD pada tahun
2015 seluruhnya hanya digunakan untuk pembangunan fisik.
2. Sumber Daya Manusia yang ada di desa belum mumpuni dalam mengelola dana
desa yang jumlahnya ratusan juta dan bahkan ada yang jumlah dananya 1 milyar
keatas. Kompetensi aparatur dalam hal mengelola dana desa saat ini belum bisa
berharap banyak, hal ini di sebabkan karena pendidikan masyarakat didesa yang
dominan tamatan SMA dan sama sekali belum berpengalaman dalam mengelola
keuangan dengan anggaran dana yang cukup besar.
3. Dana desa adalah salah satu dana yang berasal dari pemerintah pusat yang
diperuntukkan kepada masyarakat desa dalam bentuk finansial. Melihat akan
besarnya dana yang diserahkan pemerintah pusat dalam program dana desa,
sehingga dapat menimbulkan pandangan negatif dari berbagai kalangan akan
kerawanan penyelewengan atau penyalahgunaan dana desa oleh aparatur desa.
Karena hanya pemerintah desa yang mengelola dana yang besar tersebut,
sedangkan mereka masih minim bahkan belum ada dalam segi pengalaman
mengelola keuangan. Dalam mengatasi hal ini, pengawasan dari berbagai pihak
yang terkait harus benar-benar optimal agar dana desa dapat berjalan sesuai dengan
yang diharapkan.
Penelitian ini meneliti pada 4 desa dari 105 desa yang ada di Kabupaten
Kepahiang. Keempat desa yang diteliti adalah desa-desa yang kegiatan pemberdayaan
dalam hal ini Badan Usaha milik Desa (BUMDes) yang sudah berjalan di tahun 2016,
sedangkan 101 desa yang ada di Kabupaten Kepahiang belum berjalan kegiatan
BUMDes, hanya baru sebatas pembentukan BUMDes bahkan ada yang belum
terbentuk, untuk itu peneliti sengaja mengambil keempat desa yang tersebar di tiga
kecamatan tersebut dikarenakan kegiatan dari Badan Usaha Milik Desanya sudah
berjalan dan mulai difungsikan dalam kegiatan yang akan direncakan oleh desa sesuai
dengan hasil musyawarah yang telah disepakati sebelumnya antara pemerintahan desa
dengan badan permusyarawatan desa (BPD), tokoh masyarakat, dan masyarakat desa,
sehingga peneliti merasa empat desa itu dapat dijadikan sampel dalam penelitian ini
Besaran dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat tersebut harus segera
direalisasikan untuk semua desa yang ada dalam wilayah Kabupaten Kepahiang.
Dengan hal ini, aparatur desa tidak perlu mengajukan proposal atau permohonan kepada
pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat karena dana desa (DD) merupakan hak
bagi seluruh desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali.
Akan tetapi di Kabupaten Kepahiang sebagai kabupaten dengan luas wilayah yang tidak
terlalu besar dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Bengkulu diharapkan dengan
adanya dana desa tersebut akan meningkatkan pemerataan kesejahteraan penduduk
Kabupaten Kepahiang dan penataan pemerintahan setempat.
Tinjauan Pustaka
Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasike
dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan
dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat indera penglihat, pendengar,
peraba, perasa dan pencium (Slameto, 2002). Persepsi seseorang berkaitan dengan
pengalaman, kemampuan maupun daya persepsi yang diterimanya.
Meskipun alat untuk menerima stimulus tersebut serupa pada setiap individu
tetapi interpretasinya berbeda. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda pada
setiap objek. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaaan-perbedaan
individual, perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan
motivasi. Di dalam kamus Indonesia persepsi adalah tanggapan, penerimaan langsung
dari suatu serapan atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui
panca inderanya. Menurut Rivai (2009), Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh
individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka.
Sedangkan menurut Sohiffman dan kanuk dalam Muflih (2006), persepsi diartikan
sebagai proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur dan menafsirkan
kedalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia.
Defenisi Persepsi menurut Rakhmat (2007), adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan, keinginan, sikap dan tujuan kita. Selanjutnya di
tambahkan lagi oleh Walgito (2003), Persepsi diartikan sebagai “suatu proses yang
didahului oleh penginderaan” yaitu merupakan proses yang berujung ke pusat susunan
syaraf yaitu otak hingga individu tersebut mengalami persepsi. Individu dapat
menyadari dan dapat membuat persepsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Adanya objek yang dipersepsikan (fisik), 2. Alat indera /reseptor yaitu alat untuk
menerima stimulus (fisiologis), 3. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama
dalam mengadakan persepsi (psikologis).
Pengertian Efektivitas
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, Efektivitas adalah pencapaian hasil, program dengan target yang
telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Efektivitas
merupakan taraf sampai sejauh mana peningkatan kesejahteraan manusia dengan
adanya suatu program tertentu, karena kesejahteraan manusia merupakan tujuan dari
proses pembangunan. Menurut Mardiasmo (2009), Efektivitas adalah ukuran berhasil
tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil
mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif.
Efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan
yang sudah ditetapkan. Sedangkan menurut Siagian (2004), efektif berarti mampu
memanfaatkan dana, daya, sarana, prasarana dan sumber daya manusia yang telah
ditentukan atau di alokasikan dengan hasil yang optimal, bahkan jika mungkin
maksimal, dalam batas waktu tertentu yang telah di tetapkan pula.
Sementara itu Mahmudi (2013), efektivitas terkait dengan hubungan antara
hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas merupakan
hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap
pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program dan kegiatan. Jika
ekonomi berfokus pada input dan efisiensi pada output atau proses, maka efektivitas
berfokus pada outcome (hasil). Suatu organisasi, program, atau kegiatan dinilai efektif
apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas yang telah dikemukakan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas merupakan suatu keadaan yamg menunjukan
keberhasilan kerja yang sebelumnya telah ditetapkan sehingga sesuai dengan rencana.
Efektifitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditentukan,
artinya pelaksanaan suatu tugas ditandai baik atau tidak, sangat tergantung pada
penyelesaian tugas tersebut bagaimana cara melaksanakan, dan berapa biaya yang
dikeluarkan untuk hal itu. Hal ini lebih menekankan pada penyelesaian tugas yang telah
ditentukan sebelumnya. Adapun dalam penelitian ini, peneliti menganalisa persepsi
masyarakat terhadap penggunaan dana desa (DD) di Kabupaten Kepahiang Tahun 2016
dengan dua variabel utama, yaitu 1. Variabel efektivitas pembangunan desa dalam hal
infrastruktur desa, 2. Variabel efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Desa,
pengembangan ekonomi dan sosial, dengan masing-masing dimensi input, output,
outcome, benefit dan impact.
ditemukan adalah masih terjadinya tumpang tindih peran antara BPD dan TPK serta
masih ditemukannya aparatur desa yang belum memahami tugas-tugas
pengawasan yang dimiliki oleh BPD.
4. Hargono (2010), melakukan penelitian mengenai efektivitas Penyaluran Dana Desa
Pada Empat Desa di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Temuan dari penelitian
sebelumnya bahwa besarnya Alokasi Dana Desa yang diberikan ke setiap desa
tidak menggunakan formula yang ditentukan dengan pembobotan tujuh variabel
penting desa, tetapi menggunakan pembagian total jumlah desa di kabupaten untuk
penentuan ADDM (ADD Merata) dan pembagian total jumlah banjar dinas untuk
penentuan ADDP (ADD Proporsional). Hasil perhitungan ini dianggap tidak adil
bagi Desa, sehingga menimbulkan ketidak efektifan penyaluran ADD. Pemanfaatan
ADD tidak disalurkan pada bidang-bidang yang dapat menggerakkan ekonomi
desa.
Kerangka Analisis
Gambar 1: Kerangka Analisis
1. Input
2. Output
3. Outcome
4. Benefit
5. Impact
Dana desa merupakan amanah dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa dimana desa diberikan kewenangan dana yang berasal dari pemerintah
pusat yang besarannya 10% dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Dalam
rangka merealisasikan UU Tentang Desa tersebut, maka pada Tahun 2016 dikeluarkan
Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2016.
Didalam peraturan menteri tersebut dikatakan ada dua bidang yang menjadi
prioritas dalam penetapan prioritas penggunaan dana desa Tahun 2016, yaitu di bidang
pembangunan desa dan di bidang pemberdayaan masyarakat desa. Kedua bidang
tersebut dijadikan oleh peneliti sebagai variabel penelitian, sementara dimensi penelitian
adalah dimensi input, output,outcome dan benefit serta impact.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
yaitu penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan
menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar berkontek
khusus (Meleong, 2005).Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
teknik probability sampling. Teknik sampling yang digunakan ialah Cluster sampling,
Metode Pengumpulan Datadalam penelitian ini dengan cara menyebarkan
kuisioner kepada 200 responden masyarakat umum, wawancara yang dilakukan kepada
26 responden yang terdiri dari perangkat desa dan unsur dari pedamping desa, unsur
dari kecamatan dan unsur dari Dinas sosial dan Pemberdayaan masyarakat desa. Serta
dokumentasi sebagai upaya untuk memperoleh data dan informasi berupa catatan
tertulis/gambar yang tersimpan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dokumen
merupakan fakta dan data yang tersimpan dalam berbagai bahan yang berbentuk
dokumentasi.
impact dalam pemberdayaan masyarakat desa dari dana desa sudah berjalan sesuai
dengan rencana yang diinginkan. Nilai rata-rata yang didapatkan untuk kategori dimensi
impact adalah 4,06.
Pembahasan
Persepsi Efektivitas Pembangunan Infrastruktur Desa
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi masyarakat terhadap
penggunaan dana desa di Kabupaten Kepahiang dalam pembangunan infrastruktur desa
di nilai efektif. Selanjutnya dari hasil penilaian rata-rata terhadap dimensi input adalah
sebesar 4.01 dan berada pada kategori efektif. Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi
masyarakat terhadap pembangunan dari sisi input yang indikatornya berupa jumlah dana
untuk kegiatan pembangunan infrastruktur desa cukup tersedia, jumlah sumber daya
manusia yang terlibat cukup kompeten, dan jumlah waktu yang digunakan sesuai
dengan perencanaan, sudah sesuai dengan perencanaan yang telah diselenggaran oleh
pemerintahan desa. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan infrastruktur desa, tentu
perlu dukungan sumber daya yang memadai sebagai input. Dalam suatu proses untuk
menghasilkan keluaran, semua jenis sumber daya masukan yang dipergunakan dapat
disebut input. Jenis sumber daya masukkan ini dapat berupa anggran, sumber daya
manusia maupun waktu yang digunakan. Penyerapan anggaran dalam indikator input
mengenai jumlah dana untuk kegiatan pembangunan infrastruktur desa sudah tersedia
dimana realisasi penyerapan anggaran dalam program dana desa ini rata-rata sebesar
96,92 persen.Sedangkan dalam SDM, seluruh pekerjaan pembangunan masyarakat desa
dilibatkan, begitu juga dengan SDM dalam aparatur desa sudah memahami tugas pokok
dan fungsi dari tugas dan jabatan masing-masing yang dijalankan dalam kegiatan dari
program dana desa ini. Bagi masyarakat anggaran, sumber daya manusia dan waktu
yang digunakan merupakan unsur masukan yang menjadi pendukung dalam pencapaian
tujuan program untuk menghasilkan output.
Didalam dimensi input diketahui bahwa nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil
rangkuman dari keempat indikator tersebut sebesar 3.93. Hasil persepsi responden
terhadap penggunaan dana desa dari segi output melalui 4 indikator tersebut sudah
berjalan sesuai dengan rencana atau efektif. Mardiasmo (2002), menyatakan yang
dimaksud dengan output adalah hasil yang dicapai dari suatu program, aktivitas, dan
kebijakan. Pada umumnya output yang diinginkan adalah hasil yang terbaik sesuai
dengan yang direncanakan. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Mahsun (2014),
yang mengatakan bahwa output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai
dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik. Indikator atau tolak ukur
output digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan.
Mahmudi (2015), menyatakan Output adalah hasil langsung dari suatu proses.
Kemudian dikatakan bahwa output adalah pengukuran keluaran langsung suatu proses,
dan ukuran output tersebut menunjukan hasil implementasi program atau aktifitas
Dimensi outcome dalam penelitian ini diukur dengan dua indikator, dimana
dalam kedua indikator tersebut dirangkum nilai rata-ratanya sebesar 4.10, hasil jawaban
ini berada pada kategori efektif. Mahmudi (2015), memberikan pandangan bahwa
konsep outcome lebih sulit dibandingkan input dan output. Outcome mengukur apa yang
telah dicapai. Dengan kata lain outcome adalah hasil yang dicapai dari suatu program
atau aktivitas dibandingkan dengan hasil yang diharapkan.
Dimensi benefit dengan dua indikator yaitu indikator terbukanya akses jalan
yang memadai dan kelancaran arus barang. Dalam dimensi ini, manfaat dari program
dana desa mendapat respon yang positif, ini terangkum dalam rata-rata nilai dari
indikator tersebut sebesar 4.11 nilai ini adalah efektif. Begitu juga dengan dimensi
impact yang nilai rata-rata diperoleh sebesar 4.12 dan termasuk efektif.Berdasarkan
hasil penelitian pula diketahui bahwa pelaksanaan perencanaan dana desa di Kabupaten
Kepahiang telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Para pengelola dana
desa telah melakukan perencanaan dana desa secara baik, yang dibuktikan dengan
adanya program kerja yang telah disusun sebelumnya oleh pengelola dana desa
(perangkat desa) dan masyarakat di masing-masing desa. Hal ini tentu saja
menunjukkan bahwa penggunaan dana desa memang dipergunakan untuk pembangunan
dan kebutuhan masyarakat desa itu sendiri.
Tujuan dari dana desa secara umum adalah: (1) Menanggulangi kemiskinan dan
mengurangi kesenjangan; (2) Meningkatkan perencanaan dan penganggaran
pembangunan di tingkat Desa dan pemberdayaan masyarakat; (3) Meningkatkan
pembangunan infrastruktur pedesaan; (4) Meningkatkan pengamalan nilai-nilai
keagamaan, social budaya, dalam rangka mewujudkan ketahanan social; (5)
Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat; (6) Meningkatkan pelayanan
pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan social dan ekonomi
masyarakat; (7) Mendorong peningkatan ke-swadaya-an dan gotong royong masyarakat.
Penggunaan dana desa sesuai dengan kebutuhan desa dengan memperhatikan
faktor-faktor utama: kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan, dan keterjangkauan desa.
Selain itu perlu juga memperhatikan faktor-faktor tambahan yang meliputi: luas
wilayah, jumlah penduduk, potensi ekonomi, partisipasi masyarakat, dan jumlah
komunitas di desa.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa secara umum persepsi masyarakat
terhadap dana desa dari segi pembangunan adalah baik. Skor rata-rata responden dari 5
dimensi ini cukup beragam dan semuanya berkategori efektif beradadi kisaran antara
3.93 dan 4.12. Untuk dimensi input nilai rata-rata yang didapat 4.01, dimensi output
nilai rata-rata yang diperoleh 3.93, dimensi outcome nilai rata-ratanya 4.10, dimensi
benefit nilai rata-rata 4.11 dan dimensi impact nilai rata-rata diangka 4.12. Nilai rata-
rata persepsi respondent terhadap varabel pembangunan infrastruktur desa pada rentang
skala 3.41-4.20 menunjukkan berkategori efektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
persepsi efektivitas pembangunan infrastruktur desa adalah efektif.
Implikasi Strategis
Berdasarkan hasil tersebut, maka implikasi pada hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Pilihan ke arah pembangunan fisik di desa-desa di Kabupaten Kepahiang telah
memenuhi kebutuhan insfrastruktr fisik desa. Meski demikian, jika dilihat dari
substantif pembangunan yakni terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pilihan
pembangunan fisik tersebut belum mampu mengarah ke kondisi tersebut.
2) Kesejahteraan masyarakat tidak mungkin dapat terwujud melalui pembangunan
fisik saja, namun juga memerlukan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu,
pembangunan fisik juga harus disinergikan dengan program pemberdayaan
masyarakat. Sebagai contoh, dalam hal meningkatkan kemampuan perencanaan,
pengelolaan dan pengawasan harus diupayakan melalui program-program pelatihan
dan kemandirian. Karena kemandirian tidak muncul begitu saja, namun merupakan
hasil dari program pemberdayaan masyarakat. Idealnya pembangunan fisik harus
tetap diiringi dengan peningkatan kapasitas masyarakat menuju masyarakat yang
mandiri.
3) Dampak dari implementasi dari program dana desa ini adalah keinginan untuk
meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat desa, mengurangi kesenjangan
pembangunan antar daerah, mengurangi tingkat kemiskinan dan menjadikan
masyarakat desa yang mandiri di bidang ekonomi dengan adanya pemebrdayaan
masyarakat desa melalui pemebentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
apabila dikelola secara maksimal dan sungguh-sungguh.
Kesimpulan
1) Efektivitas pembangunan infrastruktur desa di Kabupaten Kepahiang telah
diselenggarakan secara baik dan memadai. Dana desa yang dialokasikan untuk
program pembangunan infrastruktur desa telah direncanakan dan dilaksanakan
sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat desa. Pemanfaatan dana desa di
Kabupaten Kepahiang digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan,
infrastruktur desa.
Pelaksanaan dana desa dari segi pembangunan sudah efektif, namun kekurangan
dalam hal waktu pencairan oleh pihak kabupaten perlu juga menjadi perhatian
sehingga tidak perlu lagi dalam waktu pelaksanaan desa-desa menilai waktu yang
terlalu singkat dalam hal pelaksanaan tahapan di bidang pembangunan. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa persepsi masyarakat terhadap dana desa dari segi
pembangunan adalah baik. Skor rata-rata responden dari 5 dimensi ini cukup
beragam dan semuanya berkategori efektif beradadi kisaran antara 3.93 dan 4.12.
Nilai rata-rata persepsi respondent terhadap variabel pembangunan infrastruktur
desa pada rentang skala 3.41 s.d 4.20 menunjukkan berkategori efektif. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa persepsi efektivitas pembangunan infrastruktur desa
adalah efektif.
Efekivitas pemberdayaan masyarakat di desa penelitian di Kabupaten Kepahiang
melalui dana desa telah berjalan efektif. Program-program pemberdayaan telah berjalan
sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Dana desa adalah meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa,
memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta
memperkuat masyarakat desa sebagai subyek dari pembangunan. Berdasarkan indikator
dari dimensi-dimensi variabel pemberdayaan masyarakat desa tentang efektivitas, dari
hasil penelitian didapati bahwa secara umum persepsi masyarakat desa dalam desa-desa
penelitian di wilayah Kabupaten Kepahiang dari segi pemberdayaan masyarakat desa
Daftar Pustaka
Abidin, M. Zainul,. (2015) Tinjauan Atas Pelaksanaan Keuangan Desa Dalam
Mendukung Kebijakan Dana Desa (Studi of Imlementation of Village Finance
to Support Fund Village Policy). Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Volume
6, Nomor 1, Juni 2015.
Agustin, Amelyana., Sjamsuddin, Sjamsiar., & Pratiwi, Ratih Nur. (2014) Efektivitas
Dana Pembangunan Fisik Desa Pucangron Kecamatan Gudo, Kabupaten
Jombang . Jurnal Administrasi Publik (JAP), Volume 2,Nomor 4, 2014
Anggarini, Yunita. & Puranto, H. (2010). Anggaran Berbasis Kinerja, Yogjakarta: UPP
STIM YKPN
Arlianto. (2017). Akuntabilitas Pengelolaan APBDesa Pada Bidang Infrastruktur (Studi
Kasus Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) pada
Bidang Infrastruktur Kecamatan Bermani Ilir Kabupaten Kepahiang (tesis).
Universitas Bengkulu, Bengkulu
Azwardi., & Sukanto. (2014) Efektifitas Alokasi Dana Desa (ADD) dan Kemiskinan di
Provinsi Sumatra Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 12,Nomor 1,
Juni 2014
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang. (2015). Kabupaten Kepahiang Dalam
Angka 2015. Kepahiang, Bengkulu: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. (2016). Provinsi Bengkulu Dalam Angka
2016. Bengkulu: Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu
Badiana. (2017). Analisis Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Mewujudkan Kemajuan
Pembangunan Desa di Kabupaten Kepahiang (Studi Kasus pada Lima Desa
yang memperoleh Penghargaan (tesis). Universitas Bengkulu, Bengkulu
BPKP. (2015). Petunjuk pelaksanaan Bimbingan dan Konsultasi Pengelolaan Keuangan
Desa
Ervianty, Yesi. (2016). Analisis Efektifitas dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran
Belanja Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan
(tesis). Universitas Bengkulu, Bengkulu
Fahri, Lutfhi Nur.(2017) Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Dana Desa Terhadap
Manajemen Keuangan Desa Dalam Meningkatkan Efektivitas Program
Pembangunan Desa. Jurnal Publik, Volume 11, Nomor 1, 2017
Feri. (2010). Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa Terhadap Pemberdayaan
Masyarakat Di Kabupaten Musi Rawas (tesis). Universitas Bengkulu, Bengkulu
Hargono, D. S. (2010). Efektifitas Penyaluran Alokasi Dana Desa Pada Empat Desa di
Kabupaten Karangaseam Propinsi Bali (tesis). Universitas Indonesia, Jakarta.
Hasniawati. (2016) Model akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa. Jurnal Analisis
Kebijakan Dan pelayanan Publik (JAKPP), Volume 2, Nomor 1, 2016
Hayati, Fatia Mufieda., & Suhirman (2016) Penilaian Pelaksanaan Penyaluran,
Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa Berdasarkan
Koordinasi Antar Organisasi Pemerintah (Studi Kasus: Desa Buah Batu dan
Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung). Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK, Volume 5, Nomor 1, 2016
Indrawan, Rully., & Yaniawati, R.Poppy (2014). Metode Penelitian, Bandung: Refika
Aditama.
Irdiawan, Doddy. (2016). Analisis Dampak Pemberdayaan Masyarakat Melalui Alokasi
Dana Desa Terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Di Kabupaten
Musi Rawas Provinsi Sumatra Selatan (tesis). Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Islamy, M. Irfan, 1997.Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara,
cetakan ke 8, Jakarta
Kamaludin., &Rahmayanti, Dewi (2012). Dampak Desentralisasi Keuangan Terhadap
Kinerja Layanan: Implikasi Setelah Otonomi Daerah Kasus Kota
Bengkulu. Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, 17 (3). pp. 216-231. ISSN 0853-862X.
Karimah, Faizatul., Saleh, Choirul., & Wanusmawatie, Ike. (2013) Pengelolaan Alokasi
Dana Desa Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi pada Desa Deket Kulon
Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan). Jurnal Administrasi Publik (JAP),
Volume 2,Nomor 4, 2014
Mahmudi. (2015). Manajemen Kinerja Sektor,(Cetakan Ketiga). Yogjakarta:UPP STIM
YKPN.
Mahsun, Mohamad, 2014. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta.
Makawimbang, Hernold F. (2015) Sistem Pengelolaan dan Tanggung Jawab Dana
Desa.Jakarta : Libri
Mardiasmo. (2002). Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Andi.
Mardikanto,Totok., & Soebiato,Poerwoko. (2015). Pemberdayaan Masyarakat.
Bandung: Alfabeta
Marzian, Doni. (2017). Efektifitas, Akuntabilitas Dan Pengawasan Dana Desa (DD) Di
Kabupaten Kaur Tahun 2015 (tesis). Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Moeheriono. (2012). Perencanaan, Aplikasi dan Pengembangan Indikator kinerja Utama
(IKU). Jakarta: Rajawali Pers
Nafidah, Lina Nasihatun., & Suryaningtyas, Mawar. (2014). Akuntabilitas Pengelolaan
Alokasi Dana Desa Dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Volume
3,Nomor 1, 2015
Nur, Faisal., Bulkis, Sitti., & Naping, Hamka. (2008) Partisipasi Masyarakat Dalam
proses Pembangunan Infrastruktur Desa (Studi Kasus: Program alokasi Dana
desa di desa Bialo Kabupaten Bulukumba).
Nurliana. (2013) Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) Dalam Pembangunan Fisik di
Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara . Jurnal
Administrasi Negara, Volume 1,Nomor 3, 2013
Nurman. (2015). Strategi Pembangunan Daerah. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016, Nomor 5,
(2015).
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa, Nomor: 93/PMK.07,
(2015).
Pendahuluan
Perubahan pendekatan anggaran pada saat ini menggunakan pendekatan berbasis
Kinerja (Performance Based Budgeting) sehingga berpengaruh pada Sistem Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan yang Berbasis Kinerja pada seluruh lembaga pemerintahan
untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan
sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan secara efektif untuk semua
kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif untuk
situasi atau organisasi (perusahaan) tertentu. Kesesuaian antara sistem pengendalian
manajemen dan variabel konstektual organisasi dihipotesiskan untuk menyimpulkan
peningkatan kinerja organisasi dan individu yang terlibat didalamnya (Outley 1980;
Fisher 1998).
Penelitian ini bertujuan, pertama, untuk memperoleh bukti secara empiris sejauh
mana partisipasi anggaran berpengaruh terhadap kinerja anggaran pada Badan Layanan
Umum (BLU) Universitas Sriwijaya tahun 2018, dan kedua, untuk memperoleh bukti
empiris sejauh mana komitmen keorganisasian dalam memoderasi hubungan antara
partisipasi anggaran dengan kinerja anggaran pada Badan Layanan Umum (BLU)
Universitas Sriwijaya tahun 2018.
Hasil penelitian mengenai partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial
masih menunjukkan pertentangan. Berapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa
peneliti Kusuma, H. B. (2016), Wulandari, D. E., & Riharjo, I. B. (2016), Adi Wiratno,
W. N. dan N. K. P. (2016), Christianto, A., & Santioso, L. (2015), Kusumastuti, R., &
Novandalina, A. (2014), Setyarini, M. N., & Susty, A. (2014), Setyawan, A., &
Rohman, Budiman, C., Sari, R. N., & Ratnawati, V. (2014), A. (2013), Ayu, Y., &
Putri, N. (2013), Putri, H. T. (2013), Utama, E. Y., & Rohman, A. (2013), Mohd Noor,
I. H., & Othman, R. (2012), Sarwenda Biduri (2011), Indarto, S. L., & Ayu, S. D.
(2011), Sugiyanto, E., & Subagiyo, L. (2005), Kamilah, F., Taufik, T., & Darlis, E.
(2005), dan Susanti, V. A. (2004) menunjukkan bahwa hubungan partisipasi anggaran
terhadap kinerja manajerial berpengaruh positif dan berpengaruh positif signifikan.
Hanya 2 (dua) penelitian yang dilakukan oleh Ermawati, N. (2017) dan Sinuraya, C.
(2009) menunjukkan bahwa hubungan partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial
berpengaruh negatif.
Hasil penelitian yang bertentangan dengan tersebut mendorong para peneliti
untuk memeriksa variabel-variabel yang terlibat, yang menghubungkan partisipasi
anggaran terhadap kinerja manajerial. Beberapa studi empiris oleh Adi Wiratno, W. N.
dan N. K. P. (2016), Christianto, A., & Santioso, L. (2015), Sarwenda Biduri (2011),
dan Kamilah, F., Taufik, T., & Darlis, E. (2005) yang menguji hubungan partisipasi
anggaran terhadap kinerja manajerial dengan variabel komitmen organisasi sebagai
moderasi menunjukkan pengaruh positif. Akan tetapi ada 3 (tiga) penelitian Wulandari,
D. E., & Riharjo, I. B. (2016), Yogantara, Komang Krishna., & Wirakusuma, M. G.
(2013), dan Susanti, V. A. (2004) yang menunjukkan hubungan partisipasi anggaran
Tinjauan Pustaka
Pendekatan Kontinjensi (Contingency Approach)
Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan
sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan secara efektif untuk semua
kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif untuk
situasi atau organisasi (perusahaan) tertentu. Kesesuaian antara sistem pengendalian
manajemen dan variabel konstektual organisasi dihipotesiskan untuk menyimpulkan
peningkatan kinerja organisasi dan individu yang terlibat didalamnya (Outley 1980 ;
Fisher 1998).
Anggaran
Peraturan pemerintah No 24 Tahun 2005, “anggaran merupakan pedoman
tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja,
transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut
klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode” (Nordiawan, 2006:11). Sumber
lain menyebutkan, “anggaran adalah rencana kerja organisasi di masa mendatang yang
diwujudkan dalam bentuk kuantitatif, formal, dan sistematis” (Rudianto, 2009:3).
Hansen & Mowen (2012) mendefinisikan anggaran adalah rencana keuangan untuk
masa depan, rencana tersebut mengidentifikasikan tujuan dan tindakan yang diperlukan
untuk mencapainya. Freeman (2003) menyatakan anggaran adalah sebuah proses yang
dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang
dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Mulyadi (2001:488)
menyatakan anggaran merupakan suatu rencana kerja yang dinyatakan secara
kuantitatif, yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan ukuran yang lain yang
mencakup jangka waktu satu tahun.
Richard, 2003, p.1). Philip Joyce menyatakan bahwa penganggaran berbasis kinerja itu
adalah hubungan yang erat dari input ke output atau hubungan antara sumber daya
dengan hasil untuk tujuan penganggaran (Joyce, 1999, p. 598). Demikian pula, Charles
Dawson menjelaskan pengukuran kinerja dan penganggaran sebagai istilah umum yang
diterapkan sebagai upaya sistemik untuk menilai aktivitas pemerintah dan
meningkatkan akuntabilitas untuk kemajuan dalam mencapai tujuan/hasil (Dawson,
1995, p.1). Anggaran berbasis kinerja adalah perencanaan kinerja tahunan secara
terintegrasi yang menunjukan hubungan antara tingkat pendanaan program dan hasil
yang diinginkan dari program tersebut. Anggarini dan Puranto (2010) penerapan
penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja, baik pada level
nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementrian/lembaga) yang berisi
komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang dijabarkan dalam program-
program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Komitmen Organisasi
Mengukur kinerja managerial tidak cukup hanya berpartisipasi dalam
penyusunan anggaran saja, seorang manager harus dipantau secara ketat pada saat
merealisasikan anggaran yang telah ditetapkan untuk memperbaiki kinerjanya (Otalor &
Oti, 2017). Di dalam mencapai target anggaran untuk menghasilkan kinerja managerial
yang tinggi, maka seseorang harus memiliki komitmen keorganisasian. Menurut Mathis
(2001), komitmen organisasi didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan dan penerimaan
tentang kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada
dalam organisasi tersebut. Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai
suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan
keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Komitmen
organisasi didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat
sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih
mengutamakan kepentingan organisasi (Wiener, 1982).
Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka konseptual penelitian ini digambarkan pada model di bawah
ini:
Komitmen Organisasi
(Z)
Hipotesis
Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Anggaran
Nordiawan (2006:11) “anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan
dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu
secara sistematis untuk satu periode”.
Berdasarkan teori Goal-Setting, partisipasi akan meningkatkan komitmen
manajer subordinat dalam pencapaian target anggaran (Chong dan Chong, 2002).
Kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi dalam penyusunan anggaran akan
meningkatkan kepercayaan diri dari para manajer level menengah, kontrol perasaan dan
keterlibatan ego mereka dalam berorganisasi. Brownell (1982) mengatakan bahwa
partisipasi dalam penyusunan anggaran merupakan suatu proses dimana individu,
terlibat secara langsung di dalamnya dan mempunyai pengaruh terhadap penyusunan
tujuan anggaran yang prestasinya akan dinilai dan kemungkinan akan dihargai atas
dasar pencapaian target anggaran.
H1: Partisipasi anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja anggaran
Komitmen Keorganisasian Dalam Memoderasi Pengaruh Partisipasi Anggaran
Terhadap Kinerja Anggaran
Nouri dan Parker (1998) menyatakan bahwa komitmen organisasi dan kinerja
memiliki hubungan positif dan signifikan. Semakin tinggi komitmen terhadap
organisasi, maka pimpinan merasa memiliki organisasi tempatnya bekerja sehingga
membuat pimpinan akan memberikan hasil upaya dan kinerja yang lebih baik.
H2 : Komitmen organisasi memoderasi pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja
anggaran
Metodelogi Penelitian
Data
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis kualitatif yaitu dengan memperoleh informasi yang akurat dengan cara
menyebarkan kuisioner kepada pejabat, pegawai, dan dosen untuk memperoleh data
yang akurat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer. Data primer
diperoleh langsung dari responden yang menjadi sampel penelitian. Pengumpulan data
diperoleh dengan cara memberi kuesioner yang berisi beberapa pernyataan yang
terstruktur dan akan diberikan kepada responden yaitu pihak yang memiliki
pertanggungjawaban yang dibebani dengan target anggaran atau pihak yang terlibat
dalam penyusunan anggaran pada Universitas Sriwijaya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kuesioner.
Kuesioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden, yang
selanjutnya dibagikan kepada responden sesuai dengan kriteria penelitian. Jawaban
responden atas semua pertanyaan dalam kuisioner kemudian diolah.
Sriwijaya yang terlibat dalam perencanaan anggaran yang berjumlah 120 orang dari 241
orang populasi. Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Populasi
No Satuan Kerja Jabatan Jumlah
1 Rektorat Wakil Rektor, Kepala Biro, Kepala 39
Bagian, Kepala Sub Bagian, Bendahara
Pengeluaran, BPP RM, BPP BOPTN,
BPP PNBP, Operator
2 Fakultas Ekonomi Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 14
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
3 Fakultas Hukum Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 12
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
4 Fakultas Teknik Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 20
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
5 Fakultas Kedokteran Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 24
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
6 Fakultas Pertanian Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 21
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
7 Fakultas Keguruan dan Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 26
Ilmu Pendidikan Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
8 Fakultas Ilmu Sosial dan Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 13
Ilmu Politik Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
9 Fakultas Matematika dan Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 24
Ilmu Pengetahuan Alam Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
10 Fakultas Ilmu Komputer Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 12
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
11 Fakultas Kesehatan Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian, 9
Masyarakat Kepala Sub Bagian, BPP, Operator, Ka.
Prodi
12 Program Pascasarjana Direktur, Asisten Direktur, Kepala 10
Bagian, Kepala Sub Bagian, BPP,
Operator, Ka. Prodi
13 LPPM Ketua, Sekretaris, Kepala Bagian, 6
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator
14 LP3MP Ketua, Sekretaris, Kepala Bagian, 6
Kepala Sub Bagian, BPP, Operator
15 UPT. Klinik Kepala, BPP, Operator 3
Variabel
Tabel Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Parameter Pengukur
an
1. Variabel suatu proses partisipasi - Keikutsertaan Kuesioner,
Independe individu akan dinilai dalam penyusunan dengan
n: dan mungkin diberi anggaran Skala
Partisipasi penghargaan atas - Kepuasan yang Likert
Anggaran prestasi mereka pada dirasakan dalam (1932), 1
tujuan yang penyusunan sampai 5
dianggarkan, dan anggaran
mereka terlibat dalam - Kebutuhan
proses tersebut dan memberikan
mempunyai pengaruh pendapat
pada penentuan tujuan - Kerelaan dalam
tersebut (Brownell, memberikan
1982). pendapat
- Besarnya pengaruh
terhadap penetapan
anggaran final
- Seringnya atasan
meminta pendapat
saat anggaran
disusun
2. Variabel hubungan yang erat dari - Pengukuran Kuesioner,
Dependen: input ke output atau Kinerja dengan
Kinerja hubungan antara - Penghargaan dan Skala
Anggaran sumber daya dengan Hukuman (Reward Likert
hasil untuk tujuan and Punishment) (1932), 1
penganggaran (Joyce, - Kontrak Kerja sampai 5
1999, p. 598). Charles - Kontrol Eksternal
Dawson menjelaskan dan Internal
pengukuran kinerja dan - Pertanggungjawab
penganggaran sebagai an Manajemen
istilah umum yang
diterapkan sebagai
upaya sistemik untuk
menilai aktivitas
pemerintah dan
meningkatkan
akuntabilitas untuk
kemajuan dalam
mencapai tujuan/hasil.
(Dawson, 1995, p.1).
3. Variabel suatu keadaan dimana - Affective Kuesioner,
Moderasi: seorang individu Commitment dengan
Komitmen memihak organisasi - Continuance Skala
Organisasi serta tujuan-tujuan dan Commitment Likert
keinginannya untuk - Normative (1932), 1
mempertahankan Commitment sampai 5
keanggotaannya dalam
organisasi (Robbins
dan Judge, 2007).
Wiener (1982)
mengatakan komitmen
organisasi adalah
sebagai dorongan dari
dalam diri individu
untuk berbuat sesuatu
agar dapat menunjang
keberhasilan organisasi
sesuai dengan tujuan
dan lebih
mengutamakan
kepentingan organisasi.
Uji Instrumen
Pengumpulan data berupa penggunaan kuesioner sebagai instrumen penelitian
harus memenuhi dua kriteria, yaitu valid dan reliabel, untuk itu sebelum kuesioner disebar
dalam suatu penelitian perlu untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner
tersebut. Hasil penelitian yang berupa jawaban atas pemecahan masalah tergantung pada
kualitas data yang dianalisis dan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data
tersebut.
Uji Validitas
Validitas yang dimaksud adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen
yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur (Arikunto, 2010). Validitas juga
berkenaan dengan seberapa baik suatu konsep dapat didefinisikan oleh suatu ukuran (Hair,
et. al., 1998). Alat ukur yang tidak valid adalah yang memberikan hasil ukuran yang
Uji Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability. Pengertian dari reliability (realibilitas)
adalah keajegan pengukuran (Walizer, 1987). Ghozali (2009) menyatakan bahwa
reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari
peubah atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban
seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.
Reliabilitas suatu tes merujuk pada derajat stabilitas, konsistensi, daya prediksi, dan
akurasi. Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi adalah pengukuran yang
dapat menghasilkan data yang reliabel. Jika alat ukur yang dipergunakan telah
dinyatakan valid, maka langkah berikutnya alat ukur tersebut diuji reliabilitasnya,
adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran
relatif konsisten apabila pengukuran diulangi lagi lebih dari sekali.
Nilai koefisien reliabilitas yang baik adalah di atas 0,7 (cukup baik), di atas 0,8
(baik). Untuk menentukan instrumen itu realibiliti atau tidak maka digunakan ketentuan
:
a. Jika alpha chronbach > 0,6 berarti variabel penelitian ini reliabel.
b. Jika alpha chronbach < 0,6 berarti variabel penelitian ini tidak reliabel.
menjelaskan hubungan antara variabel terikat dengan lebih dari satu variabel bebas
(Freund, Wilson, & Sa, P;2006:73). Tujuan utama analisis regresi linear berganda sama
seperti dengan regresi sederhana, yaitu menggunakan hubungan antara variabel terikat
karakteristik dari variabel (Freund, Wilson, & Sa, P;2006:73). Adapun model
Y = β0 + β1 X1 + β2X2 + ε
Dimana:
Y = Kinerja Anggaran
β0 = Konstanta
β1, β2 = Koefisien regresi
X1 = Partisipasi Anggaran
X2 = Komitmen Organisasi
ε = error
Pengujian Hipotesis
Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen (Kuncoro, 2013). Dengan tingkat signifikansi sebesar 5%, jika F < α = 0,05
berarti variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
Jika F > α = 0,05 berarti variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.
Keterangan Jumlah
Kuesioner yang dibagikan 120
Kuesioner yang kembali 113
Kuesioner yang digugurkan -
Kuesioner yang dianalisis 113
Tingkat pengembalian (response rate): 113/120*100% 94,17%
Tingkat pengembalian yang digunakan (usable
94,17%
response rate): 113/120*100%
Sumber: data primer diolah, 2018
Tabel Profil Responden (N=113)
Keterangan Jumlah Persentase
Jenis Kelamin:
Laki-laki 59 52,21%
Perempuan 54 47,79%
Umur:
25 th – 30 th 17 15,04%
31 th – 40 th 36 31,86%
Lebih dari 40 th 60 53,10%
Tingkat pendidikan:
SMA 7 6,19%
D3 11 9,73%
S1/D4 53 46,90%
S2 29 25,66%
S3 13 11,50%
Satuan Kerja:
Rektorat 24 21,24%
Fakultas 77 68,14%
Pascasarjana 8 7,08%
Lembaga 4 3,54%
Jabatan:
Dekan 1 0,88%
Direktur 1 0,88%
Wakil Dekan 7 6,19%
Asisten Direktur 2 1,77%
Kepala Biro 1 0,88%
Kepala Bagian 9 7,96%
Kepala Sub Bagian 23 20,35%
Ketua Prodi 5 4,42%
BPP 14 12,39%
Operator 19 16,81%
Lainnya:
Bend. Pengeluaran, Bend. Penerimaan,
31 27,43%
Sekretaris Jurusan, Kepala Lab, Staf, &
PDG
Masa kerja:
Kurang dari 5 th 21 18,58%
5 th – 10 th 22 19,47%
Lebih dari 10 th 70 61,95%
Pengalaman:
Kurang dari 3 th 16 14,16%
3 th – 6 th 30 26,55%
Lebih dari 7 th 67 59,29%
Dari Tabel Profil Responden di atas, dapat dilihat bahwa responden yang berpartisipasi
dalam penelitian ini antara laki-laki dan perempuan hampir berimbang yaitu laki-laki
sebanyak 59 responsen (52,21%) dan perempuan sebanyak 54 responden (47,79%)
dengan umur berkisar lebih dari 40 tahun sebanyak 60 responsen (53,10%). Tingkat
pendidikan sebagian besar responden adalah sarjana (S1), yaitu sebanyak 53 responden
(46,90%), mayoritas responden dengan jabatan lainnya (bendahara pengeluaran,
bendahara penerimaan, sekretaris jurusan, kepala laboratorium, staf dan pembuat daftar
gaji (PDG) sebanyak 31 responden (27,43%) dengan masa kerja lebih dari 10 tahun dan
pengalaman lebih dari 7 tahun terkait proses penyusunan anggaran. Dari 113 responden
sebagian besar dari fakultas yaitu sebanyak 77 responden (68,14%).
Statistik Deskriptif
Statisitk deskriptif digunakan agar dapat memperoleh gambaran atau deskripsi
suatu data yang dilihat dari nilai minimum, maksimum, rata-rata (mean), dan deviasi
standar dari masing-masing variabel penelitian. Penelitian ini dilakukan agar dapat
memudahkan pembaca dalam memahami data dari penelitian tersebut. Berikut hasil
pengolahan dari variabel-variabel yang digunakan:
Tabel Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Std.
N Range Minimum Maximum Mean Deviation
Partisipasi
113 10.0 40.0 29.248 5.0595
Anggaran 30.0
Komitmen
113 23.0 50.0 39.549 5.8048
Organisasi 27.0
Kinerja
113 33.0 75.0 56.982 7.2420
Anggaran 42.0
Valid N
113
(listwise)
Sumber: data primer diolah, 2018
Berdasarkan Tabel Statistik Deskriptif di atas berikut penjelasan statistik
deskriptif masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
1. Variabel Partisipasi Anggaran (X) memiliki jumlah sampel (N) sebanyak 113;
digunakan 8 pertanyaan; nilai range 30,0; nilai minimum 10,0; nilai maksimum
40,0; nilai rata-rata 29,248; dan standar deviasi 5,0595.
2. Variabel Komitmen Organisasi (Z) memiliki jumlah sampel (N) sebanyak 113;
digunakan 10 pertanyaan; nilai range 27,0; nilai minimum 23,0; nilai maksimum
50,0; nilai rata-rata 39,549; dan standar deviasi 5,8048.
3. Variabel Kinerja Anggaran (Y) memiliki jumlah sampel (N) sebanyak 113;
digunakan 15 pertanyaan; nilai range 42,0; nilai minimum 33,0; nilai maksimum
75,0; nilai rata-rata 56,982; dan standar deviasi 7,2420.
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Std.
Model B Error Beta t Sig.
1 (Constant) 16.444 3.088 5.325 .000
Partisipasi
.477 .105 .333 4.523 .000
Anggaran
Komitmen
.672 .092 .539 7.322 .000
Organisasi
a. Dependent Variable: Kinerja Anggaran
Sumber: data primer diolah, 2018
Dari hasil output Tabel Hasil Uji Regresi Linear Berganda (Pengaruh Partisipasi
Anggaran dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Anggaran) menunjukkan nilai
koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,615 berarti kinerja anggaran dapat dijelaskan
oleh variabel partisipasi anggaran dan komitmen organisasi sebesar 61,5 %, sedangkan
sisanya yaitu 39,5 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Maka diperoleh
persamaan regresi linear berganda:
Y = β0 + β1 X1 + β2X2 + ε
Y = 16,444 + 0,477 X1 + 0,672X2 + ε
Dari persamaan di atas, maka masing-masing variabel dapat diinterprestasikan
sebagai berikut:
1. Nilai konstanta persamaan di atas adalah 16,444 menunjukkan jika semua variabel
inpenden dianggap konstan atau nol maka nilai dari kinerja anggaran adalah sebesar
16,444.
2. Jika partisipasi anggaran naik 1% maka kinerja anggaran akan mengalami kenaikan
sebesar 0,477 dengan asumsi bahwa nilai variabel lain dianggap konstan.
3. Jika komitmen organisasi naik 1% maka kinerja anggaran akan mengalami
kenaikan sebesar 0,672 dengan asumsi bahwa nilai variabel lain dianggap konstan.
Dengan demikian, Kombinasi kesesuaian antara partisipasi anggaran dan
komitmen keorganisasian yang berorientasi pada individu merupakan kesesuaian terbaik
yaitu faktor komitmen organisasi memenuhi prasyarat kondisional atau efektif dari
partisipasi anggaran yang dapat meningkatkan kinerja anggaran.
Berdasarkan hasil pengujian Tabel Hasil Uji Signifikansi Parsial (Uji-t) di atas,
maka diperoleh nilai t hitung untuk variabel Partisipasi Anggaran dengan signifikansi =
0,000 < 0,05, maka H1 diterima dan H0 ditolak. Hal ini untuk hipotesis 1 (H1) yang
menyatakan bahwa Partisipasi Anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap
Kinerja Anggaran diterima.
ANOVAa
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression .857 1 .857 .109 ,742b
Residual 874.864 111 7.882
Total 875.721 112
a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi
b. Predictors: (Constant), Partisipasi Anggaran
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Std.
Model B Error Beta t Sig.
1 (Constant) 2.994 1.556 1.924 .057
Partisipasi
.017 .052 .031 .330 .742
Anggaran
a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi
ANOVAa
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 5.963 1 5.963 .761 ,385b
Residual 869.758 111 7.836
Total 875.721 112
a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi
b. Predictors: (Constant), Kinerja Anggaran
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Std.
Model B Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.684 2.098 .803 .424
Kinerja
.032 .037 .083 .872 .385
Anggaran
a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi
dilakukan oleh Adi Wiratno, W. N. dan N. K. P. (2016), Budiman, C., Sari, R. N., &
Ratnawati, V. (2014), Utama, E. Y., & Rohman, A. (2013), Mohd Noor, I. H., &
Othman, R. (2012), dan Indarto, S. L., & Ayu, S. D. (2011).
Berdasarkan Tabel Hasil Uji Residual Variabel Moderasi menunjukkan koefisien
parameter yang dimiliki Komitmen Organisasi dalam memoderasi Partisipasi Anggaran
terhadap Kinerja Anggaran adalah positif dan tidak signifikan yaitu koefisien regresinya
bernilai positif yaitu 0,32 dan nilai signifikan sebesar 0,385 > 0,05 (tidak signifikan).
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Komitmen Organisasi tidak memperkuat atau
memperlemah hubungan variabel independen terhadap variabel dependen. Jadi,
walaupun seorang individu dalam organisasi memiliki komitmen organisasi yang tinggi
belum tentu dapat memoderasi hubungan partisipasi dalam proses penyusunan anggaran
terhadap kinerja anggaran tinggi, hal ini karena adanya tekanan dari level atas serta
persaingan dari rekan kerja dan konflik kepentingan, faktor ini dianggap sebagai
penyebab tidak terjadinya hubungan moderasi. Untuk itu diperlukan peningkatan
komitmen, etos kerja, dan kualitas sumber daya manusia (dosen dan tenaga
kependidikan).
Dengan demikian hipotesis 2 (H2) yang menyatakan komitmen organisasi
memoderasi hubungan partisipasi anggaran terhadap kinerja anggaran ditolak. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wulandari, D. E., & Riharjo, I. B. (2016),
Yogantara, Komang Krishna., & Wirakusuma, M. G. (2013), dan Susanti, V. A. (2004).
Tabel Ringkasan Hasil Penelitian dan Pembahasan
No Uraian Hasil
1. Uji Instrumen:
- Uji Validitas Indikator-indikator pertanyaan dari variabel
partisipasi anggaran (X), komitmen organisasi
(Z), dan kinerja anggaran (Y) yang diajukan
peneliti terhadap responden valid karena nilai
rhitung > rtable.
- Uji Reliabilitas Nilai cronbachs alpha untuk semua variabel
reliabel berada di atas 0,6 atau cronbachs alpha
> 0,6
2. Uji Regresi Linear Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen
Berganda Organisasi Terhadap Kinerja Anggaran)
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R
Square) sebesar 0,615 berarti kinerja anggaran
dapat dijelaskan oleh variabel partisipasi
anggaran dan komitmen organisasi sebesar 61,5
%, sedangkan sisanya yaitu 38,5 % dijelaskan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis 113 kuesioner yang berisi pendapat
atau persepsi dari beberapa unit kerja yang terdiri atas pejabat, pegawai dan dosen
yang terlibat dalam penyusunan anggaran di lingkungan Universitas Sriwijaya.
2. Hasil hipotesis 1 (H1) menunjukkan bahwa partisipasi anggaran secara positif
signifikan mempengaruhi kinerja anggaran. Dengan demikian penelitian
mendukung hipotesis 1, yang berarti dengan adanya keterlibatan dalam penyusunan
anggaran akan mendorong setiap level jabatan yang ada di Universitas Sriwijaya
untuk bertanggung jawab terhadap masing-masing tugas yang diembannya
sehingga para pejabat dari level atas sampai level bawah akan meningkatkan
kinerjanya agar mereka dapat mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan
dalam anggaran.
3. Hasil hipotesis 2 (H2) menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak memperkuat
atau memperlemah hubungan partisipasi anggaran terhadap kinerja anggaran di
Universitas Sriwijaya. Jadi, walaupun seorang individu di Universitas Sriwijaya
Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang
mungkin mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya penelitian dilakukan dengan cara
menyebar kuesioner yang dibagikan secara sampel pada pejabat, pegawai, dan dosen di
lingkungan Universitas Sriwijaya sehingga data yang dianalisis dalam penelitian ini
menggunakan instrumen yang berdasarkan persepsi jawaban responden.
Implikasi Teoritis
Dilihat dari nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,615 berarti kinerja
anggaran dapat dijelaskan oleh variabel partisipasi anggaran dan komitmen organisasi
sebesar 61,5 %, sedangkan sisanya yaitu 38,5 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
diteliti. Sehingga penelitian selanjutnya dapat memperluas model yang dikembangkan
dalam penelitian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi anggaran
terhadap kinerja anggaran. Variabel lain yang diprediksi dapat dimasukkan dalam
model ini adalah kompetensi sebagai variabel moderasi.
Implikasi Praktis
Partisipasi anggaran merupakan keterlibatan seluruh level dalam instansi untuk
melakukan kegiatan dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam anggaran.
Dengan adanya keterlibatan tersebut akan mendorong setiap level jabatan untuk
bertanggung jawab terhadap masing-masing tugas yang diembannya sehingga para
pejabat dari level atas sampai level bawah akan meningkatkan kinerjanya agar mereka
dapat mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan dalam anggaran. Sehingga
Universitas Sriwijaya dapat mengukur kinerja anggaran dalam mewujudkan anggaran
berbasis kinerja (performance based-budgeting).
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis memberikan saran agar partisipasi
anggaran dapat benar-benar diterapkan pada proses penyusunan anggaran yang akan
ditetapkan untuk suatu satuan kerja dan lebih banyak mengakomodasi usulan dan
masukan dari pejabat, pegawai, dan dosen di lingkungan Universitas Sriwijaya
meskipun tetap memperhatikan ketersediaan dana, rasionalitas, dan skala prioritas.
Mengedepankan kompetensi jabatan sesuai dengan salah satu 10 program unggulan
Universitas Sriwijaya guna mempercepat pencapaian Universitas Sriwijaya menuju
“World Class University” yang tertuang dalam Renstra Universitas Sriwijaya 2016-
2020 butir ke-3 yaitu “peningkatan komitmen, etos kerja, dan kualitas sumber daya
manusia (dosen dan tenaga kependidikan)” dan butir ke-4 yaitu “penempatan personal
pada jabatan yang sesuai dengan kompetensi, etos kerja, dan berkeadilan melalui
penerapan sistem “reward and punishment””. Serta melakukan peningkatan kinerja
unit kerja melalui penataan fungsi dan sistem kerja, peningkatan kenyamanan kerja,
peningkatan kapasitas kerja, dan kualitifikasi tenaga kependidikan.
Daftar Pustaka
Adi Wiratno, W. N. dan N. K. P. (2016). Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial Dengan Komitmen Organisasi, Motivasi Dan Struktur Desentralisasi
Sebagai Variabel Pemoderasi. Ekobis, 16(1), 150–166.
Anggarini, Yunita dan Puranto, Hendra, B., (2010). Anggaran Berbasis Kinerja
Penyusunan APBD Secara Komprehensif, UPP STIM YKPN, Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Ayu, Y., & Putri, N. (2013). Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial Dengan Job Relevant Information Sebagai Variabel Moderating (Studi
Empiris Pada Rumah Sakit Milik Pemerintah Daerah Di Kabupaten Jember).
Artikel Ilmiah Mahasiswa, (23).
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. (2008). Pengukuran Kinerja. Jakarta: Suatu
Tinjauan pada Instansi Pemerintah. (Halaman : 14-19)
Bahri, Erlinda. (2010). Analisis Kajian Konsep Pelayanan Publik pada Instansi
Pemerintah Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik BPFE UGM, Volume 1l
Nomor 1 . 2159-2177.
Baron, R.M. and Kenney, D.A. 1986. The Moderator-mediator variable distinction in
social psychological research: Conceptual, strategic, and statistical considerations.
Journal of Personality and Social Psychology, 51: 1173-1182.
Biduri, S. (2011). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial Dengan Variabel Pemoderasi Gaya Kepemimpinan Dan Komitmen
Organisasi Pada Pemkab Lamongan. JAMBSP, 8(1), 41–56.
Pendahuluan
Pentingnya peranan perencanaan pembangunan menjadibagian yang tak
terhindarkan sebagai suatu kebutuhan untuk menyusun rancangankebijakan, program
dan kegiatan yang secara konsisten menuju pada cita-citayang disepakati bersama.
Sementara itu perencanaan pembangunan bidang pendidikan dalam bentuk program,
kebijakan maupun kegiatan akan tinggalsebagai dokumen yang sia-sia jika tidak
dikaitkan dengan penganggarannya, inidisebabkan karena anggaran merupakan bagian
yang sangat penting untukmerealisasikan rencana dan target-target pembangunan yang
telah ditetapkansebelumnya. Namun di sisi lain, keterbatasan anggaran semakin
menuntut adanya perencanaan yang optimal agar pemanfaatan sumber daya yang
tersedia benar-benar dilakukan secara efektif dan efisien (Mulyati, 2010).
Tinjauan Pustaka
Perencanaan
Perencanaan adalah kegiatan masyarakat atau lembaga yang sungguh-sungguh
untuk mengembangkan strategi yang optimal untuk mencapai serangkaian tujuan-tujuan
yang diinginkan. Pengertian perencanaan didefinisikan secara berbeda-beda, dalam
pengertian yang paling sederhana, perencanaan sebenarnya adalah cara “rasional” untuk
mempersiapkan masa depan (Mahi, 2017).
Menurut Djunaedi (2000 dalam Muhi, 2017), keragaman model perencanaan
yang ada dalam praktek saat ini antara lain: (1) perencanaan komprehensif
(comprehensive planning); (2) perencanaan induk (master planning); (3) perencanaan
strategis (strategic planning); (4) perencanaan ekuititi (equity planning); (5)
perencanaan advokasi (advocacy planning); dan (6) perencanaan inkremental
(incremental planning). Secara formal, perencanaan (kota) di Indonesia saat ini
mengikuti corak perencanaan komprehensif.
Perencanaan merupakan cara organisasi menetapkan tujuan dan
sasaranorganisasi. Perencanaan meliputi aktivitas yang sifatnya strategik, taktis,
danmelibatkan aspek operasional. Proses perencanaan juga melibatkan aspekperilaku,
yaitu partisipasi dalam pengembangan sistem perencanaan, penetapantujuan, dan
pemilihan alat yang paling tepat untuk memonitor perkembanganpencapaian tujuan.
Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnyaunderfinancing atau
overfinancing yang akan mempengaruhi tingkat efisiensi danefektifitas anggaran.
Keadaan seperti ini menyebabkan banyak layanan publikdijalankan secara tidak efisien
dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhanpublik, sementara dana pada anggaran
yang pada dasarnya merupakan dana publikhabis dibelanjakan seluruhnya. Dalam
jangka panjang, kondisi seperti inicenderung memperlemah peran pemerintah sebagai
stimulator,fasilitator,koordinator, dan entrepreneur dalam pembangunan (Mardiasmo,
2004).
Penganggaran
Istilah anggaran atau penganggaran (budgeting) sudah tidak asing lagi bagi
mereka yang biasa berkecimpung dalam organisasi, termasuk organisasipemerintahan.
Sebagai bagian dari fungsi perencanaan, sebagian besar organisasimodern sudah
terbiasa melakukan perencanaan, termasuk perencanaan keuangan(anggaran). Saat ini,
organisasi pemerintahan memberikan perhatian yangsemakin besar dalam bidang
penganggaran. Selain itu, minat publik semakinmeningkat pula pada proses
pertanggungjawaban dan penyelenggaraanpemerintah daerah semenjak berlangsungnya
era otonomi daerah. Dengan kondisiini pemahaman pada konsep anggaran daerah
(APBD) semakin menjadi kebutuhan. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran
banyak dikaitkandengan bagaimana arah dan alokasi APBD dibuat serta bagaimana
pelaksanaannya di lapangan.
Welsch, et al(2000) mendefinisikan anggaran adalah keuntungan dari
perencanaan dan pengawasan harus bersifat sistematis dan formal untuk menyelesaikan
fungsi perencanaan, kordinasi dan tanggung jawab pengawasan dari manajemen. Uraian
tersebut di dukung oleh pendapat Mardiasmo (2004;62), anggaran sektor publik
merupakan suatu rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana
perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter.Pelaksanaan kegiatan
hendaknya dilakukan melalui perencanaan yang cermat. Anggaran adalah salah satu
dari berbagai rencana yang disusun serta berperan penting, anggaran dapat membantu
perencanaan, pengkoordinasian, dan, pengawasan guna mencapai tujuan. Menurut
Halim(2012), anggaran dapat diartikan sebagai rencana kegiatan yang diwujudkan
dalam bentuk financial, meliputi usulan pengeluaran yang diperkirakan untuk satu
periode waktu, serta usulan caracara memenuhi pengeluaran tersebut.
Metode Penelitian
Dengan memperhatikan pokokpermasalahan dan tujuan penelitian, maka
pendekatan dan desain yang akandigunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan perpaduanantara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Konsistensi
adalah kesesuaian atau kecocokan antara dokumen perencanaan dan penganggaran
terhadap program dan kegiatan yang disusun sebelum dan sesudah pengesahan anggaran
dari sisi keselarasan program dan kegiatan.Matriks Konsolidasi Perencanaan dan
Penganggaran (MKPP) adalah alat bantu untuk pengumpulan data dan informasi dengan
mencocokkan untuk program dan kegiatan secara menyeluruh antara dokumen
perencanaan dan penganggaran.Data Primer, yaitu : objekyang diteliti adalah dokumen-
dokumen perencanaan dan penganggaran yang dimilikioleh pemerintah daerah
khususnya Dinas Pendidikan Kota Bengkulu khususnya tahun 2014–2016.Data
Kerangka Analisis
FAKTA HARAPAN
Adanya kecenderungan perencanaan dan Adanya kekonsistenan antara peren-
penganggaran di bidang pendidikan yang canaan dan penganggaran bidang pen-
tidak konsisten terhadap dokumen peren- didikan dalam rangka mencapai sasaran
canaan dan penganggaran. pembangunan bidang pendidikan.
ANALISIS KONSISTENSI
Rekomendasi Kebijakan
3 Persentase
Konsistens
Tingkat
Konsistensi i
No. Uraian Konsistens
(%)
i
Tida
Ya
k
1. Program RPJMD Tahun 2013
– 2018 dengan ;
- RKPD Tahun 2014 ( 9 Sangat
9 0 100
program ) Baik
- RKPD Tahun 2015 ( 12
9 3 75 Baik
program )
- RKPD Tahun 2016 ( 14
8 6 42,85 Sedang
program )
Konsistensi rata – rata RKPD 72,62 Baik
belum selaras terhadap RPJMD 2013 – 2018 , dengan masih banyak kegiatan di RKPD
yang tidak tercantum di RPJMD 2013 – 2018 karena tidak mempedomani RPJMD
2013 – 2018 Kota Bengkulu.
3
Persentase
Tingkat
Konsistens
No. Uraian Konsistensi Konsistens
i
i
(%)
Ya Tidak
1. Program RPJMD Tahun 2013 –
2018 dengan ;
- Renstra Tahun 2013 – 2018 (9 Sangat
9 0 100
prog) Baik
2. Kegiatan RPJMD Tahun 2013 –
2018 dengan ;
- Renstra Tahun 2013–2018 (129 12 Sangat
6 95,35
keg) 3 Baik
Sumber : Hasil Penelitian, 2018
Jika dilihat dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa proses penyusunan Renstra Dinas
Pendidikan Kota Bengkulu tahun 2013 – 2018 telah mengacu terhadap RPJMD Kota
Bengkulu dengan sangat baik. Akan tetapi Perencana pada Dinas Pendidikan
melaksanakan proses penyusunan kegiatan Renstra masih belum sepenuhnya mengacu
pada RPJMD, karena ada kegiatan baru yang muncul di dokumen Renstra. Proses dan
mekanisme penyusunan rancangan Renstra pada Dinas Pendidkan Kota Bengkulu pada
dasarnya memiliki unsur kesamaan dalam proses dan mekanisme penyusunan
rancangan awal RPJMD yakni menemukan ”benang merah” antara visi, misi Kepala
Daerah terpilih dengan hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
pada periode sebelumnya.
Konsistensi Persentase
Tingkat
Konsistens
No. Uraian Tida Konsistens
Ya i
k i
(%)
1. Program Renstra Tahun 2013 –
2018 dengan ;
- Renja Tahun 2014 ( 12
8 4 66,67 Baik
program )
- Renja Tahun 2015 ( 12
9 3 75 Baik
program )
- Renja Tahun 2016 ( 14
8 6 57,14 Sedang
program )
Kosistensi rata – rata Renja 66,27 Baik
Pada tahun 2016, konsistensi kegiatan di Renja terhadap Renstra adalah 62,86 %
(tingkat konsistensi baik), Renstra memuat 129 kegiatan dan Renja memuat 134
kegiatan. Dari 134 kegiatan tersebut terdapat 88 kegiatan yang sama dengan Renstra
sedangkan 52 kegiatan tidak terdapat di Renstra.Konsistensi rata – rata program Renja
terhadap Renstra sebesar 66,27 % (tingkat konsistensi baik). Konsistensi rata – rata
kegiatan Renja terhadap Renstra sebesar 64,02 % (tingkat konsistensi baik).
Dilihat dari uraian di atas menunjukkan bahwa penyusunan perencanaan dalam
Renja dan Renstra Dinas Pendidikan Kota Bengkulu belumsepenuhnya konsisten dan
berkesinambungan. Hal ini terlihat pada adanya program yang adadalam Renja tetapi
tidak terdapat di dalam Renstra Tahun 2013 – 2018,begitu juga dengan banyaknya
kegiatan dalam Renja yang muncul begitu sajapadahal sebelumnya tidak direncanakan
dalam Renstra Dinas Pendidikan.
3
Persentase
Konsistens Tingkat
Konsistens
No. Uraian i Konsistens
i
i
(%)
Tida
Ya
k
1. Dokumen PPAS Tahun 2015
dengan ;
- Program RKA Tahun 2015(12 Sangat
prog) 12 0 100 Baik
- Kegiatan RKA Tahun 2015(88 Sangat
keg) 88 0 100 Baik
Konsistensi rata – rata program Renja terhadap Renstra sebesar 100 % (tingkat
konsistensi sangat baik). Konsistensi rata – rata kegiatan Renja terhadap Renstra sebesar
100 % (tingkat konsistensi sangat baik).Dilihat dari uraian di atas menunjukkan bahwa
penyusunan perencanaan dalam RKA dan PPAS Dinas Pendidikan Kota Bengkulu
sepenuhnya sudah sangat baik, terlihat dari konsistensi yang sangat tinggi. Semua
program yang ada di PPAS juga terdapat dalam RKA, begitu juga dengan kegiatan yang
ada di RKA juga terdapat di dalam PPAS. Dengan demikian dalam melaksanakan
penyusunan RKA sudang sangat mengacu kepada dokumen PPAS Dinas Pendidikan.
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa dalam Pada Tahun 2014, konsistensi program
DPA terhadap Renstra adalah 81,82 % (tingkat konsistensi sangat baik), Renstra
memuat 9 program dan DPA 2014 memuat 11 program. Dari 11 program tersebut
terdapat 9 program yang sama dengan Renstra sedangkan 2 program tidak terdapat di
Renstra, yaitu:
Dilihat dari uraian di atas menunjukkan bahwa penyusunan perencanaan dalam
DPA dengan Renstra Dinas Pendidikan Kota Bengkulu belumsepenuhnya konsisten dan
berkesinambungan. Hal ini terlihat pada adanya program yang adadalam DPA tetapi
tidak terdapat di dalam Renstra Tahun 2013–2018 ,begitu juga dengan banyaknya
kegiatan dalam DPA yang muncul padahal sebelumnya tidak direncanakan dan
dicantumkan dalam Renstra Dinas Pendidikan.
Tabel 7.Rekapitulasi Perhitungan Konsistensi Program dan Kegiatan Renja Tahun 2014
s.d 2016 dengan DPA Tahun 2014 s.d 2016
3
Persentase
Konsistens Tingkat
No. Uraian Konsistensi
i Konsistensi
(%)
Ya Tidak
1. Program dan kegiatan Renja 2014
dengan ;
- Program DPA Tahun 2014(11
prog) 11 0 100 Sangat Baik
- Kegiatan DPA Tahun 2014(89 keg) 89 0 100 Sangat Baik
Dengan demikian persentase konsistensi yang sangat baik pada tabel di atas
dapat dilihat bahwa proses penyusunan DPA Dinas Pendidikan Kota Bengkulu sudah
mengacu pada dokumen Renja, tetapi masih belum sepenuhnya konsisten. Karena masih
ada kegiatan yang ada di DPA 2016, tetapi tidak ada di dalam Renja 2016, ini
menunjukkan belum sepenuhnya penyusunan DPA 2016 berpedoman pada Renja 2016
Dinas Pendidikan Kota Bengkulu.
Implikasi Strategis
Implikasi strategis yang dapat dilakukan dalam rangka perbaikan proses
penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran di Dinas Pendidikan adalah
sebagai berikut:
1. Perubahan Peraturan terkait perencanaan dan penganggaran.
Perubahan peraturan perundang–undangan dan peraturan turunannya sering
terjadi setelah dokumen perencanaan dan penganggaran telah ditetapkan atau terjadi
pada tahun berikutnya, jika ini dikaitkan dengan dokumen perencanaan jangka
panjang (RPJMD dan Renstra). Salah satu solusi dari permasalahan ini bisa dengan
melakukan Renstra perubahan, hal ini bisa dilakukan karena memang ada aturannya.
Tapi selama ini perubahan Renstra tidak pernah dilakukan, sehingga tiap tahun
tingkat konsistensi perencanaan jangka pendek (RKPD dan Renja) terus menurun
terhadap dokumen perencanaan jangka panjang (RPJMD dan Renstra).
2. Kebijakan Pimpinan.
Kebijakan pimpinan yang meminta suatu program dan kegiatan untuk
dimasukkan di dokumen perencanaan tahunan, karena dianggap program dan
kegiatan tersebut penting, padahal program dan kegiatan tersebut tidak tercantum di
dalam dokumen (RPJMD dan Renstra). Langkah strategis yang dilakukan adalah
melakukan koordinasi intensif ke OPD teknis, seperti Bapelitbang dan Inspektorat
Daerah guna mendiskusikan tentang usulan program dan kegiatan yang disampaikan
oleh pimpinan. Agar mendapat masukan, saran dan pertimbangan hukum secara
rinci terhahap usulan tersebut.
3. Proses Pergantian Pejabat.
Adanya pergantian pejabat (mutasi) dari pejabat eselon dua sampai ke eselon
empat di Dinas Pendidikan juga menyebabkan terjadinya ketidakkonsistenan di
perencanaan dan penganggaran, karena biasanya pejabat yang baru sering membuat
dan mengusulkan kegiatan – kegiatan baru untuk perencanaan kegiatan di tahun
berikutnya, dan kegiatan tersebut sering tidak tercantum pada dokumen RPJMD dan
Renstra Dinas Pendidikan. Sebaiknya kepala daerah dalam proses pergantian pejabat
memperhatikan masa bakti pejabat di posisi tersebut, karena dengan masa kerja
yang masih baru juga akan mempengaruhi kemampuan dalam memahami tupoksi
dalam jabatan tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan kompetensi dan latar
belakang pendidikan pejabat yang akan diletakkan dalam jabatan tertentu di Dinas
Pendidikan.
4. Koordinasi Internal dan Eksternal.
Koordinasi yang terjadi di internal Dinas Pendidikan sudah berjalan, akan
tetapi masih belum efektif. Pengawasan pejabat/atasan langsung sangat dibutuhkan
agar proses koordinasi dalam rangka penyusunan perencanaan pada Dinas
Pendidikan ke depannya lebih efektif dan maksimal, sehingga dapat menghasilkan
dokumen perencanaan yang handal. Koordinasi eksternal, yang melibatkan lintas
OPD harus ditingkatkan lagi, serta fungi pengawasan perangkat daerah yang selama
ini belum maksimal kinerja harus ditingkatkan lagi, agar ketidakkonsistenan
perencanaan dan penganggaran dapat diminimalisir sedini mungkin.
5. Peningkatan SDM Perencanaan.
Peningkatan kualitas SDM Dinas Pendidikan, terutama di bidang
perencanaan hendaknya pada masa mendatang dapat menjadi perhatian serius dari
pemerintah daerah Kota Bengkulu. Selain karena bidang pendidikan adalah
program prioritas pemerintah juga karena alokasi dana yang diangggarkan di Dinas
Pendidikan cukup besar, sehingga dibutuhkan tenaga perencanaan yang berkualitas
agar dapat menerjemahkan visi dan misi Pemerintah Daerah ke dalam bentuk
program dan kegiatan yang bermuara kepada peningkatan kualitas pendidikan di
Kota Bengkulu.
6. Pergantian Staf Perencanaan.
Pergantian staf bagian perencanaan yang kurang mempertimbangkan
kemampuan staf dalam memahami dan menguasai alur – alur dalam proses
penyusunan juga sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari penyusunan dokumen
perencanaan. Staf merupakan ujung tombak perencanaan, karena mereka yang
menguasai seluruh proses perencanaan. Dari hasil peneltian ini dapat diketahui
bahwa staf perencanaan idealnya dapat mengalami pergantian setelah minimal 5
tahun bekerja di bidang perencanaan.
7. Memaksimalkan program dan kegiatan yang sudah ada di dokumen RPJMD dan
Renstra.
Dari hasil penelitian ini dapat di lihat bahwa masih banyak kegiatan yang
ada di dokumen perencanaan jangka menengah (RPJMD dan Renstra) yang tidak
pernah terealisasi pelaksanaannya dari tahun pelaksanaan 2014 sampai dengan
2016. Seharusnya dalam penyusunan dokumen perencanaan tahunan, harus
berpatokan pada RPJMD dan Renstra. Memaksimalkan kegiatan yang ada di
Kesimpulan
Tingkat konsistensi antara dokumen perencanaan dan penganggaran adalah; (1)
Konsistensi program yang ada pada RKPD terhadap program RPJMD adalah sebesar
76,11% dengan tingkat konsistensi baik, akan tetapi terjadi penurunan tingkat
konsistensi program dari Tahun 2014 sampai dengan 2016. Konsistensi kegiatan yang
ada pada RKPD terhadap kegiatan RPJMD adalah sebesar 71,39% dengan tingkat
konsistensi baik, akan tetapi juga terjadi penurunan tingkat konsistensi kegiatan dari
Tahun 2014 sampai dengan 2016.Ketidakkonsistenan tertinggi pada program dan
kegiatan RKPD terhadap RPJMD adalah pada Tahun 2016, yaitu program sebesar
57,15% dan kegiatan sebesar 40,85%, (2) Konsistensi program yang ada pada Renstra
terhadap program RPJMD adalah sebesar 100 %dengan tingkat konsistensi sangat baik.
Konsistensi kegiatan yang ada pada Renstra terhadap kegiatan RPJMD adalah sebesar
95,35% dengan tingkat konsistensi sangat baik.Ketidakkonsistenan pada program dan
kegiatan Renstra terhadap RPJMD sangat rendah, yaitu kegiatan hanya sebesar 4,65%,
(3) Konsistensi program yang ada pada Renja terhadap program Renstra adalah sebesar
66,27% dengan tingkat konsistensi baik, akan tetapi terjadi penurunan tingkat
konsistensi program dari Tahun 2014 sampai dengan 2016. Konsistensi kegiatan yang
ada pada Renja terhadap kegiatan Renstra adalah sebesar 66,02% dengan tingkat
konsistensi baik, akantetapi juga terjadi penurunan tingkat konsistensi kegiatan dari
Tahun 2014 sampai dengan 2016.Ketidakkonsistenan tertinggi pada program dan
kegiatan Renja terhadap Renstra adalah pada Tahun 2016, yaitu program sebesar
42,86% dan kegiatan sebesar 37,14%, (4) Konsistensi program yang ada pada RKA
terhadap program PPAS adalah sebesar 100% dengan tingkat konsistensi sangat baik.
Konsistensi kegiatan yang ada pada RKA terhadap kegiatan PPAS adalah sebesar
100% dengan tingkat konsistensi sangat baik.Konsistensi program dan kegiatan pada
RKA terhadap PPAS adalah sebesar 100% dengan tingkat konsistensi sangat baik,
(5) Konsistensi program yang ada pada DPA terhadap program Renstra adalah sebesar
73,70% dengan tingkat konsistensi baik, akan tetapi terjadi penurunan tingkat
konsistensi program dari Tahun 2014 sampai dengan 2016. Konsistensi kegiatan yang
ada pada DPA terhadap kegiatan Renstra adalah sebesar 63,45% dengan tingkat
konsistensi baik, akantetapi juga terjadi penurunan tingkat konsistensi kegiatan dari
Tahun 2014 sampai dengan 2016.Ketidakkonsistenan tertinggi pada program dan
kegiatan DPA terhadap Renstra adalah pada Tahun 2016, yaitu program sebesar 35,71%
dan kegiatan sebesar 38,13%, (6) Konsistensi program yang ada pada DPA terhadap
program Renja adalah sebesar 100% dengan tingkat konsistensi sangat baik. Konsistensi
kegiatan yang ada pada DPA terhadap kegiatan Renja adalah sebesar 99,26% dengan
tingkat konsistensi sangat baik.Ketidakkonsistenan pada program dan kegiatan DPA
terhadap Renja sangat rendah, yaitu kegiatan hanya sebesar 2,22%.
Kebijakan strategis yang dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan pada khususnya
dan Pemerintah Kota Bengkulu pada umunya adalah; (1) Perubahan peraturan,
perubahan peraturan perundang–undangan dan peraturan turunannya sering terjadi,
salah satu solusi dari permasalahan ini bisa dengan melakukan Renstra perubahan, hal
ini bisa dilakukan karena memang ada aturannya, (2) Kebijakan pimpinan, langkah
strategis yang dilakukan adalah melakukan koordinasi intensif ke OPD teknis, seperti
Bapelitbang dan Inspektorat Daerah guna mendiskusikan tentang usulan program dan
kegiatan yang disampaikan oleh pimpinan, (3) Proses pergantian pejabat, sebaiknya
kepala daerah dalam proses pergantian pejabat memperhatikan masa bakti pejabat di
posisi tersebut, (4) Koordinasi internal dan eksternal, Pengawasan pejabat/atasan
langsung sangat dibutuhkan agar proses koordinasi dalam rangka penyusunan
perencanaan pada Dinas Pendidikan ke depannya lebih efektif dan maksimal, (5)
Peningkatan SDM perencanaan, peningkatan kualitas SDM Dinas Pendidikan, terutama
di bidang perencanaan hendaknya pada masa mendatang dapat menjadi perhatian serius
dari Pemerintah Daerah Kota Bengkulu, (6) Pergantian staf perencanaan, pergantian staf
bagian perencanaan yang kurang mempertimbangkan kemampuan staf dalam
memahami dan menguasai alur – alur dalam proses penyusunan juga sangat
berpengaruh terhadap hasil akhir dari penyusunan dokumen perencanaan, (7)
Memaksimalkan program dan kegiatan yang sudah ada di dokumen RPJMD dan
Renstra, memaksimalkan kegiatan yang ada di dokumen tersebut pada saat perumusan
dan penyusunan dokumen perencanaan tahunan. Agar tidak lagi ditemukan kegiatan
yang tercantum di dokumen RPJMD dan Renstra, tetapi tidak pernah direalisasikan di
dalam penganggaran dan pelaksanaannya, (8) Penggunaan sistem perencanaan dan
penganggaran yang berbasis e-planning dan e-budgeting, penerapan sistem ini bisa
menekan kemungkinan terjadinya program dan kegiatan muncul di tengah jalan
pelaksanaan.
Daftar Pustaka
Aslim, E.G., & Bilin, N.2017. Optimal Fiscal Decentralization: Redistribution And
Welfare Implications. Economic Modelling, 61,224–234.
Bastian, I. 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di
Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.
Bastian, I. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BPFE.
Bhattacharyya, S. 2017. Resource Discovery and The Politics Of Fiscal
Decentralization. Journal of Comparative Economics, 01, 1–17.
Burin, F.D. 2015. Analisis Konsistensi Perencanaan Dan Penganggaran Daerah.
Ekonomika-Bisnis, 6 (2),177-188.
Darlina, M. 2016. Analisis Perencanaan dan Penganggaran Pada Dinas Pendidikan
Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah. 3
(4).257-268.
Dharmanegara, I.B.A. 2010. Penganggaran Perusahaan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Halim, A. 2012. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta :
Salemba Empat
Budi Hartoyo
Mahasiswa PS Magister Manajemen, Unversitas Bengkulu 1)
Abstract: The purpose of this research was to describe the service quality on electronic
self-identity card and family identity card. The sample of this research was the 307
people who received the service of Department of Population and Civil Registration of
Seluma. This research was a survey research with descriptive qualitative analysis
method where the data research were obtained from questionnaires and in-depth
interview and from the archives of documents or reports owned by Department of
Population and Civil Registration of Seluma. Based on the results, it was found out
that: to improve the service quality of the making of electronic self-identity card and
family identity card, it needed (1) Easy, efficient, and consistent requirements (2) Not
convoluted service procedure, easy to understand and easy to implement (3)
Standardized time of service according to the standardization specified (4)
Implementer good competency (5) Implementer good behaviour (6) The exact notice of
service (7) Good complaint, input, and sugesstion handling.
Pendahuluan
Kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang semakin berkualitas
dari aparat pemerintah sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Perkembangan ini
tidak lepas dari pengaruh kemajuan dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Menurut Tjandra (2005: 10-11) hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan
prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah
sebagai abdi masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 44 Tahun 2011 tentang pedoman penilaian penyelenggaraan
pelayanan publik pemerintahan kabupaten/kota dinyatakan bahwa dengan kewenangan
yang dimiliki, pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota wajib
meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerahnya masing-masing. Percepatan
peningkatan kualitas pelayanan publik pada pemerintah kabupaten/kota memerlukan
komitmen yang kuat, kreativitas, inovasi, dan terobosan dari bupati/walikota dan
seluruh jajarannya dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang pelayanan publik.
Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dengan ditetapkan
adanya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan pelayanan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) online yang mencantumkan Nomor
Induk Kependudukan (NIK). Pelayanan Administrasi Kependudukan harus
dilaksanakan oleh satu instansi yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, dalam
hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Berdasarkan data tentang Perkembangan PelayananKTP-el Kabupaten Seluma
Per 30 November 2016 yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Seluma, terdapat jumlah penduduk yang wajib KTP sebanyak 147.018 Jiwa.
Dari jumlah tersebut, hanya 122.238 Jiwa atau 83,14% yang sudah rekam KTP,
sehingga menyisakan 24.783 Jiwa atau 16,86% Penduduk yang wajib KTP yang belum
rekam KTP. Fakta ini mengidentifikasi bahwa penyelenggaraan pelayanan KTP di
Kabupaten Seluma masih di bawah capaian secara nasional dan belum tercapai sesuai
target yang diberikan yaitu menyelesaikan perekaman hingga 30 November 2016.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih
dihadapkan pada beberapa masalah mengenai pelayanan publik. Masalah tersebut yaitu
seperti pelayanan publik yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya
manusia yang belum memadahi (Wahyuni, 2008). Hal ini juga terlihat dari masih
banyaknya pengaduan dari masyarakat atau keluhan dari masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Peningkatan kualitas pelayanan merupakan isu yang
sangat penting karena tuntutan masyarakat terus menerus terhadap kualitas pelayanan
semakin besar sementara praktek penyelenggara pelayanan tidak mengalami perubahan
yang berarti. Masyarakat setiap waktu menuntut pelayanan publik yang terjadi selama
ini masih berbelit-belit, tidak jelas atau kurang transparansi dan lambat (Dwiyanto,
2008).
Beberapa penelitian sebelumnya yang mengangkat penelitian yang sama, yaitu
Penelitian Bondan (2005) yang berjudul “Analisis Kualitas Pelayanan Masyarakat di
Kantor-kantor Lurah se-Kotamadya Jakarta Timur.” Hasil penelitiannya menyatakan
dari kelima dimensi yang diukur, diperoleh hasil tingkat kepuasan secara berurutan
sebagai berikut: Empathy, Responsiveness, Assurance, Reliability dan terakhir
Tangibilitymasih memiliki nilai kepuasan yang negatif demikian juga tingkat kepuasan
indikator variabel semuanya memiliki tingkat kepuasan negatif, Rossa (2008) yang
bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui tingkat kualitas pelayanan di Kantor
Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan menyimpulkan bahwa berdasarkan perhitungan
statistik kelima dimensi kualitas pelayanan dapat diasumsikan bahwa pelanggan
menyatakan cukup puas terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh kantor
Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan. Sementara itu Reza (2014)menemukan kualitas
pelayanan memiliki pengaruh positif dalam kepuasan masyarakat. Sedangkan
Puspitasari (2016) dalam penelitiannya menemukan kelima belas variabel yaitu
Penataan ruangan, penampilan petugas, sarana prasarana, kesediaan petugas, kelancaran
komunikasi, pemberian solusi, kepastian jadwal, kejelasan inforrmasi, kecepatan proses,
keramahan petugas, kemampuan petugas, tanggung jawab, perhatian petugas, keadilan
perlakuan dan keamanan dankenyamanan sebagai penentu terhadap kualitas pelayanan
publik, yangakan berpengaruh terhadap kepuasan masyarakat.
Tinjauan Pustaka
1. Pelayanan Publik
Menurut Wasistiono (2001) pelayanan publik adalah pemberian jasa oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada
masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau
kepentingan masyarakat. Agar masyarakat tetap terpercaya pada pelayanan pemerintah
dan pemerintah mampu berkompetisi dengan swasta, maka pemerintah harus
mendorong penerapan perubahan dan berupaya mencapai kesempurnaan organisasi.
Sedangkan menurut Mahmudi (2010), pelayanan publik adalah: Segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, dinyatakan pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
2. KualitasPelayanan Publik
Tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan sesuai dengan keinginan
masyarakat atau pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas/mutu
pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Menurut
Dwiyanto (1995), bahwa kualitas pelayanan adalahkemampuan organisasi pelayanan
publik untuk memberikan pelayanan yang dapat memuaskan para pelanggan, baik
melalui layanan teknis maupun layanan administrasi.
Kualitas pelayanan publik menurut Mahmudi (2010: 228) adalah asas pelayanan
publik yang perlu diperhatikan oleh instansi penyedia layanan publik. Asas pelayanan
publik tersebut diantaranya adalah Transparansi, Akuntabilitas, Kondisional,
Partisipatif, Tidak diskriminatif (kesamaan hak), dan kesinambungan hak dan
kewajiban.Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, dinyatakan pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.Dimensi variabel kualitas pelayanan Menurut Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun
2014dimensi variabel kualitas pelayanan adalah sebagai berikut: 1) Persyaratan, 2)
Prosedur, 3) Waktu Pelayanan, 4) Biaya/Tarif, Pelaksana, 5)Produk Spesifikasi Jenis
Pelayanan, 6) Kompetensi 7) Perilaku Pelaksana, 8) Maklumat Pelayanan 9) Penangan
Pengaduan, Masukan dan Saran.Dalam penelitian ini dimensi biaya/tarif tidak
digunakan karena menurut UU No 24 tahun 2013 biaya pembuatan KTP-el dan Kartu
Keluarga di gratiskan. Sedangkan dimensi Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan, dalam
penelitian sudah menggunakan jenis pelayanan yang khusus yaitu pelayanan KTP-el
dan Kartu Keluarga.
Metode Penelitian
Populasi dan sampel penelitian ini adalah masyarakat yang menerima layanan
pembuatan KTP-el dan Kartu Keluarga di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Seluma. Metode Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.
dengan kriteria sebagai berikut: 1) Responden mengurus KTP dalam waktu 1 (satu)
tahun terakhir; 2) Responden berusia diatas 25 tahun.Sampel yang digunakan sebanyak
307 orang di Kabupaten Seluma. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuisioner
dan wawancara. Metode pengumpulan data adalah metode survey yakni peneliti
mengumpulkan data dengan menyebarkan kuisioner dengan menyerahkan langsung
kuisioner kepada responden penelitian.
dipahami oleh masyarakat dan persyaratan pelayanan hanya dibatasi padahal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk layanan serta adanya penyederhanaan
persyaratan dalam pembuatan, penerbitan dan penggantian KTP-el yang tidak merubah
elemen data kependudukan cukup dengan cara menunjukkan fotocopy Kartu Keluarga
tanpa perlu surat pengantar dari RT, RW, dan kelurahan/kecamatan.
Aspek prosedur masuk dalam kategori mudah dengan nilai rata-rata 4,04. Hasil
ini menunjukkan bahwa dalam rangka memberikan pelayanan pembuatan KTP-el dan
Kartu Keluarga yang berkualitas telahtersedianya SOP (Standar Operasional
Prosedur) yangmengatur tentang teknis dalam pelaksanaan pelayanan publik pada
Dinas Kependudukandan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma, mudah dipahami dan
cenderung tidakberbelit-belit, hal ini karena adanya proses pengajuan terhadap
pengadministrasian dimaksud yang harus dipenuhi berupa persyaratan tertentu untuk
menerbitkan Kartu Keluarga dan KTP-el.
Aspek waktu pelayanan masuk dalam kategori sesuai dengan nilai rata-rata 3,77.
Hasil ini menunjukkan bahwa dalam rangka memberikan pelayanan pembuatan KTP-el
dan Kartu Keluarga yang berkualitas telah didukung oleh waktu pelayanan yang sesuai
dengan waktu yang dijanjikan, adanya kejelasan dan kepastian jangka waktu
penyelesaian, adanya keterbukaan informasi waktu penyelesaian serta pelaksanaan
pelayanan dapat diselesaikan tepat pada waktu yang ditentukan.Waktu penyelesaian
pembuatan KTP-el dari perekaman sampai dengan penerbitan KTP-el dapat di selesai
dalam satu hari terhitung sejak dipenuhi semua persyaratan, kecuali memang ada
kendala teknis seperti data ganda atau habisnya bahan baku pembuatan. Hal ini berarti
pelayanan pembuatan KTP-el dan Kartu Keluarga di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma ada kepastian waktu tunggu dan waktu proses.
Aspek kompetensi masuk dalam kategori berkompetensi dengan nilai rata-rata 3,96.
Kompetensi aparatur pelayanan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Seluma mengacu pada Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
“Kompetensi petugas pemberi pelayanan; kompetensi harus ditetapkan dengan tepat
berdasarkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan”.
Peningkatan kompetensi aparatur yang terukur dan terarah sesuai dengan kebutuhan
tugas dan tanggung jawab organisasi pelayanan publik. Untuk itu perlu didukung
dengan penganggaran yang memadai.Dinas Kependukakan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Seluma telah memberikan pelayanan pembuatan KTP-el dan Kartu Keluarga
secara berkualitas yang didukungan oleh pegawai yang memiliki keterampilan
administrasi, manajerial, teknis dan sosial. Hal ini juga didukung dengan pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan bagi pegawai yang melakukan pelayanan pembuatan
KTP-el dan Kartu Keluarga serta penyediaan reward bagi petugas yang melakukan
perekaman data keliling secara konsisten.
Aspek perilaku pelaksana masuk dalam kategori baik dengan nilai rata-rata 3,84.
Aparatur pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi serta kedisiplinan,
kesopanan dan keramahan dalam menjalankan tugasnya, tentu memiliki akuntabilitas
dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang dilayani.Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dari aspek perilaku pelaksana dengan
menerapkan konsep internal merketing yaitu dengan memberikan Tambahan Perbaikan
Penghasilan (TPP) sesuai dengan Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Pemberian Tambahan Perbaikan Penghasilan Bagi Aparatur Sipil Negara di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Seluma, adapun tujuan pemberian TPP adalah untuk: a)
Meningkatkan disiplin pegawai; b) Meningkatkan kinerja pegawai; c) Meningkatkan
kualitas pelayanan; dan d) Meningkatkan kesejahteraan pegawai.
Aspek maklumat pelayanan masuk dalam kategori sesuai dengan nilai rata-rata
3,57.Maklumat pelayanan yang sesuai apabila sanggup menyelenggarakan pelayanan
sesuai dengan standar pelayanan, dipublikasikan secara jelas dan luas agar publik
mengetahuinya sehingga dapat melakukan pengawasan sosial terhadap pelaksanaannya
dilapangan.Untuk memberikan pelayanan pembuatan KTP-el dan Kartu Keluarga yang
berkualitas diperlukan keamanan, kenyamanan dan memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat.
Aspek penanganan pengaduan, saran dan masukan masuk dalam kategori baik
dengan nilai rata-rata 3,92. Hasil ini menunjukkan bahwa penanganan pengaduan, saran
serta masukan dapat mendukung kualitas pelayanan pembuatan KTP-el dan Kartu
Keluarga. Pelayanan yang berkualitas juga dapat diwujudkan dengan berusaha
membantu dalam memecahkan suatu masalah yang dimiliki oleh masyarakat dengan
menyediakan saranan dan prasarana misalnya adanya kotak pengaduan, menerima dan
menyelesaikan pengaduan masyarakat serta meninjaklanjuti sebagai langkah upaya
perbaikan pelayanan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma.
Kesimpulan
Kualitas pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan Kartu Keluarga di
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma didukung dari aspek
persyaratan dapat dikatakan sangat sesuai, karena adanya kejelasan persyaratan teknis
dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dari aspek prosedur dapat dikatakan mudah, karena adanya penyederhanaan
prosedur sesuai dengan SE Mendagri Nomor 471/1768/SJ, dari aspek waktu pelayanan
dapat dikatakan sesuai karena ada kepastian waktu tunggu dan waktu proses yang sesuai
dengan standarisasi, dari aspek kompetensi pelaksana dapat dikatakan kompeten karena
petugas pelaksana yang memiliki kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap sesuai dengan tugas dan/atau fungsi jabatannya, dari aspek
perilaku pelaksana dapat dikatakan baik karena petugas pelaksana yang memiliki sikap
ramah, sopan santun dan tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan, dari
aspek maklumat pelayanan dapat dikatakan sesuai karena mampu memberikan rasa
aman dan kepastian hukum dengan teknis pelaksanaan dan legalitas pada jenis produk
layanan, dari aspek penanganan pengaduan, saran dan masukkan dapat dikatakan baik,
karena telah tersedianya wadah untuk menyalurkan pengaduan, saran dan masukan dari
masyarakat.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan penelitian ini, maka disarankan hal-hal
sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan pembuatan KTP-el dan Kartu Keluarga di
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kabupaten Seluma melalui aspek
waktu penyelesaian dengan cara menggunakan jaringan internet dengan kapasitas
yang besar sehingga bisa menimimalisir keterlambatan penyelesaian disebabkan
oleh gangguan jaringan, menggunakan generator untuk mengantisipasi
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2002). ProsedurPenelitian: SuatuPendekatanPraktek.Jakarta:
RinekaCipta.
Azizzadeh, F., Khalili, K., & Soltani, I. (2013). Service quality measurement in the
public sector(ilam province post office case studies). International Journal of
Economics, Finance and Management, 2, 114-120
(2006). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
(2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
(2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2013). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
(1993). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia Nomor: 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan
Publik.
(2003). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia Nomor: KEP/63/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
(2004). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
(2004). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia Nomor: KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparasi
dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
(2014). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor: 16 Tahun 2014 tentang
Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
Wahyuni, Wijayanti Sri. (2008). Inovasi Pada Sektor Pelayanan Publik. Jurnal
Administrasi Publik. 4, 39-50.
Wasistiono, Sadu. (2001). Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah.
Sumedang: Alqoprint.
Werts, C .E., Linn, R. L., & Joreskog, K.G.(1974).Intra class reliability estimates:
Testing structural assumptions. Educational and Psychological Measurement,
34, 25–33.
Zeithaml, Valerie A., Parasuraman A., & Berry, Leonard. (1990). Delivery Quality
Service. London: Coolier Macmillan Publisher.
Zeithaml, Valerie A., &Bitner, (1990). (DiterjemahkanolehPurwoko) The Concept of
Customer Satisfaction.USA: The McGraw-Hill Companies Inc.
Zeithaml, Valerie A., & Bitner. (2000). Service Marketing: Integration Customer Focus
Across The Firm. USA: The McGraw-Hill. Inc.
Zeithaml, Valerie A., &Bitner, (2003). Service Marketing.First edition. USA: McGraw-
Hill Companies Inc.
Pendahuluan
Salah satu prasyarat untuk dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara (pusat dan daerah) adalah dengan melakukan reformasi
dalam penyajian laporan keuangan, yakni pemerintah harus mampu menyediakan semua
informasi keuangan relevan secara jujur dan terbuka kepada publik, karena kegiatan
pemerintah adalah dalam rangka melaksanakan amanat rakyat. Penganggaran,
pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengemanan, pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtangan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian barang milik daerah merupakan salah satu dasar masalah yang sering
terjadi dalam laporan keuangan atas pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
karena kurangnya informasi yang dihasilkan dan kesalahan dalam penyajian laporan
pertanggungjawaban.Menyikapi berbagai persoalan-persoalan tentang pengolaan
Barang Milik Daerah dimana salah satu bagian dari Pengelolaan Keuangan Daerah
maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Marry (2005: 5), mengaakan bahwa manajemen adalah seni dalam
menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Management is the art of getting things done
through people. Kemudian McHugh (2005: 45) mengatakan bahwa Manajemen adalah
sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan sebuah tujuan organisasi melalui
rangkaian kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian orang-orang serta sumber daya organisasi lainnya.Selanjunya Terry
(1992: 19), mengatakan bahwa manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja,
yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah
tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Menurut Hasibuan
(2005: 25), manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya
manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Hasibuan (2005: 16), juga mengatakan bahwa manajemen pada
umumnya dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian,
pengendalian, penempatan, pengarahan, pemotivasian, komunikasi, pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi dengang tujuan untuk
mengkoordinasikan beragai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sehingga akan
dihasilkan suatu produk atau jasa secara efisien. Menurut Hasibuan (2005: 39),
manajemen adalah usaha mencapai tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan
demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang
meliputi perencanaa, pengorganisasian, penempatan, pengarahan, dan pengendalian.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Siregar (2004: 561), yang
menyatakan bahwa manajemen aset daerah dinyatakan sebagai rangkaian kegiatan dan
tindakan terhadap barang daerah yang meliputi perencanaan, penentuan kebutuhan,
penganggaran, standarisasi barang dan harga, pengadaan, penyimpanan, penyaluran,
inventarisasi, pengendalian, pemeliharaan, pengamanan, pemanfaatan, perubahan status
hukum serta penatausahaannya.Kemudian Siregar (2004: 561), Manajemen Aset Daerah
dinyatakan sebagai rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang
meliputi perencanaan, penentuan kebutuhan, penganggaran, standarisasi barang dan
harga, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, inventarisasi, pengendalian, pemeliharaan,
pengamanan, pemanfaatan, perubahan status hukum serta penatausahaannya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penghapusan diartikan sebagai
sebuah proses, cara, perbuatan menghapuskan, peniadaan, pembatalan dan sebagainya.
Sedangkan Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Definisi Penghapusan
Barang Milik Daerah terdapat dalam ketentuan umum Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik daerah dari daftar barang dengan
menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola
Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab
administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Dengan demikian pengertianpenghapusan adalah proses kegiatan yang bertujuan
untuk menghapus/ meniadakanbarang-barang dari daftar inventaris BMD berdasarkan
asas pengelolaan BMD.Penghapusan dimaksud bertujuan untuk membebaskan tanggung
jawab pengelolaanbarang milik negara yang berada pada Pengguna Barang dan/atau
Kuasa PenggunaBarang dan/atau Pengelola Barang baik secara administratif maupun
fisik.Penghapusan Barang Milik Daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
merupakankegiatan akhir dari pelaksanaan pengelolaan Barang Milik Daerah, sebagai
upayauntuk membersihkan pembukuan dan laporan Barang Daerah dari catatan
atasBarang Milik Daerah yang sudah tidak berada dalam penguasaan
PengelolaBarang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dengan selalu
Tinjauan Pustaka
Beberapa hasil penelitian terhadulu mengenai penghapusan Barang Milik
Daerah (BMD) yang telah dilakukan oleh beberapa orang terdahulu adalah sebagai
berkut: 1) Penelitian yang dilakukan oleh Al-Hasni (2012) dengan judul Evaluasi
Sistem dan Prosedur Penghapusan Barang Milik Daerah di Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan sistem dan prosedur
penghapusan barang milik daerah Kabupaten Lombok Tengah telah sesuai dengan PP
No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan Permendagri
No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Namun
demikian dalam pelaksanaannya belum optimal karena penatausahaan aset daerah tidak
tertib dan informasi mengenai sejarah aset tidak utuh, sehingga proses penghapusan aset
daerah tidak berjalan optimal. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, yaitu, Sumber
Daya Manusia (SDM), perbedaan kepentingan, perbedaan persepsi terhadap kebijakan,
tidak berjalannya fungsi kontrol/pengawasan, dan kurangnya koordinasi antar elemen
terkait. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2013) dengan judul Penghapusan
dan Pelaksanaan Lelang Barang Milik Perseroan Terbatas Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk., Cabang Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan
penghapusan barang. dilakukan melalui tahap-tahap; penelitian terhadap barang
dan apabila terus dibiarkan tentunya akan menjadi permasalahan yang sangat serius.
Misalnya:
1. Pada proses penghapusan barang pada tahun 2014 sebanyak 4 berkas tidak
dilengkapi dengan dokumen berupa pertimbangan dan alasan penghapusan
Barang Milik Daerah (BMD).
2. Pada tahun 2015 masih ada 2 berkas penghapusan barang yang tidak dilengkapi
dengan tahun perolehan, kode barang, kode register, nama barang, jenis,
identitas, kondisi, lokasi, nilai buku dan/atau nilai perolehan
3. Pada tahun 2015 penelitian lapangan (on site visit) guna memastikan kesesuaian
antara barang milik daerah yang menjadi objek peraturan perundang-undangan
dengan barang milik daerah yang menjadi objek permohonan penghapusan juga
masih belum begitu dilaksanakan sehingga pada saat proses penghapusan barang
tersebut tidak dipastikan terlebih dahulu kesesuaiannya.
4. Proses penghapusan Barang Milik Daerah (BMD) tersebut memakan waktu
lebih dari 1 bulan, bahkan ada yang mencapai waktu 6 bulan sejak tanggal
persetujuan dari Bupati
Beberapa fenomena tersebut menjadi masalah yang cukup serius untuk perlu
dilakukannya perhatian dan perlu untuk dilakukannya suatu tindakan yang tepat dalam
mengatasi masalah yang demikian. Barang-barang yang telah masuk kedalam daftar
barang yang akan dihapus dalam surat persetujuan penghapusan Barang Milik Daerah
pada dasarnya merupakan barang-barang yang tidak layak digunakan baik karena
barang tersebut mengalami kerusakan maupun karena terdapat suatu peristiwa yang
mengakibatkan perlu dihapuskannya barang tersebut dari daftar barang, sehingga
apabila tetap berada dalam daftar barang akan membebani biaya operasional atau biaya
perawatan, terutama terhadap barang-barang yang bergerak.Untuk itu penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai manajemen aset daerah terkait dengan
penghapusan barang milik daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepahiang
maka dari itu penulis ingin menuangkan kedalam bentuk penelitian yang berjudul
“analisis pelaksanaan penghapusan barang milik daerah di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Kepahiang .” Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka pokok
masalah yang akan diambil dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana:
1. Permohonan penghapusan Barang Milik Daerah
2. Penerbitan surat persetujuan penghapusan barang
3. Penghapusan barang milik daerah dari Daftar Pengelola Barang
4. Penghapusan barang milik daerah dari Daftar Barang Milik Daerah.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif
dan pada umumnya penelitian jenis ini berbentuk studi kasus (Bungin, 2009:68). Tujuan
metode penelitian iniadalah untuk menggambarkan dan meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi bahkan berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat
sebagai objek penelitian. Dari uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode
kualitatif adalah sebuah metode penelitian yang memaparkan seluruh fakta dan
peristiwa lapangan dan merupakan serangkaian penelitian yang mencoba untuk
mengedepankan proses dengan harapan akan memperoleh hasil penelitian akurat dan
bukan rekayasa semata. Dengan demikian, fokus pada penelitian ini adalah mengenai
pemaparan seluruh fakta dan peristiwa dilapangan secara kualitas mengenai
penghapusan Barang Milik Daerah (BMD) di Kabupaten Kepahiang.
Pada tahun 2015 pengajuan permohonan penghapusan Barang Milik Daerah yang
diajukan oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten
Kepahiang sebanyak 18 74 BMD yang akan dihapus, hal ini dapat dibuktikan pada
Usulan Penghapusan Aset BMD yang ditujuan kepada Sekretaris Daerah Selaku
Pengelola Barang Daerah Nomor: 800/788/DPPKAD/KPH/2015 tanggal 4 September
2015. Ditahun yang sama pengajuan permohonan penghapusan Barang Milik Daerah
yang diajukan oleh BAPPEDA Kabupaten Kepahiang sebanyak 74 BMD yang akan
dihapus, hal ini dapat dibuktikan pada Usulan Penghapusan BMD BAPPEDA
Kabupaten Kepahiang Tahun 2015 yang ditujuakn kepada Bapak Buptai Kepahiang Cq.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kepahiang Nomor: 028/889.C/A/2015 tanggal 28
September 2015. Pada tahun yang sama Badan Penanggulangan Bencana Daerah
mengajukan Usulan Penghapusan BMD pada BPBD Kabupaten Kepahiang yang
ditujukan kepada kepada Bapak Buptai Kepahiang Cq. Sekretaris Daerah Kabupaten
Kepahiang Nomor: 560/363/BPBD-Kph/2015 tanggal 26 Agustus 2015, usulan tersebut
memuat penghapusan sebanyak 12 BMD yang akan dihapus. Inspektorat Kabupaten
Kepahiang pada tahun 2015 juga mengajukan permohonan penghapusan Barang Milik
Daerah dengan Nomor: 028/1234/ITKAB-KPH/2015 Perihal Usulan Penghapusan
BMD pada inspektorat Kabuaten Kepahiang Tahun 2015 tanggal 10 September 2015
yang ditujukan kepada Buptai Kepahiang Cq. Sekretaris Daerah Kabupaten Kepahiang.
Kemudian pada tahun 2016 pengajuan permohonan penghapusan Barang Milik
Daerah di Kabupaten Kepahiang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah tang ditujukan kepada Bupati Kepahiang Cq. Sekretaris Daerah Kabupaten
Kepahiang dengan Nomor: 028/970/A/2016 Perihal Tindak Lanjut Aset Lainnya
(BMD) BAPPEDA Kabupaten Kepahiang tahun 2016 tanggal 31 November 2016.
Rekap seluruh BMD yang dihapus pada tahun 2016 terdapat dalam lampiran (SK Bupati
Kepahiang Nomor 028-391 tahun 2016 Tentang Penghapusan Barang Milik Daerah
Daftar Aset Lain-Lain dari Daftar Inventaris Barang Pada SKPD, Kantor, Badan, Se
Kabupaten Kepahiang.
b. Penerbitan surat persetujuan penghapusan barang
Data barang milik daerah yang disetujui untuk dihapuskan, selalu dilengkapi
sekurang-kurangnya meliputi kode barang, kode register, nama barang,
spesifikasi/identitas teknis, kondisi, jumlah, nilai buku, dan/atau nilai perolehan, namun
ada beberapa kelengkapan yang kurang pada data barang milik daerah yang disetujui
utuk dihapuskan, hal ini dibuktikan pada laporan hasil penelitian BMD yang akan
dilakukan penghapusan dari daftar aset lainnya per-SKPD/UPB tahun 2016 di Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (bukti terlampir) didalam laporan
tersebut belum dilengkapi dengan nilai buku dan/atau nilai perolehan dan kode register.
Tidak dilengkapinya nilai buku dan/atau nilai perolehan serta kode register berarti
proses penghapusan Barang Milik Daerah tersebut tentunya sudah tidak sejalan dengan
Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah dan apabila kekurangan ini tidak segera
diperbaiki maka akan berakibat fatal terhadap pelaksanaan penghapusan Barang Milik
Daerah khususnya di Kabupaten Kepahiang.Setiap penghapusan Barang Milik Daerah
yang dilakukan di Kabupaten Kepahiang selalu dilengkapi dengan nama barang, hal ini
dapat dibuktikan pada laporan hasil penelitian BMD yang akan dilakukan penghapusan
dari daftar aset lainnya per-SKPD/UPB tahun 2016 di Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (bikti terlampir). Selanjutnya pengelola barang di
Pemerintah Kabupaten Kepahiang selalu melaporkan pelaksanaan penghapusan kepada
Bupati. Hal ini dapat dibuktikan pada laporan yang ditujukan kepada Bupati Kepahiang
yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepahiang
dengan Nomor: 028/970/A/2016, Perihal: tindak lanjut aset lainnya (BMD) BAPPEDA
Kabupaten Kepahiang tahun 2016. (bukti terlampir). Kemudian dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten Kepahiang dengan Nomor:
560/363/BPBD-Kph/2015, Hal: usulan penghapusan BMD pada BPBD Kebupaten
Kepahiang. (bukti terlampir). Pada penghapusan barang milik daerah di Kabupaten
Kepahiang selalu dilaksanakan setelah dilakukan penelitian data dan dokumen Barang
Milik Daerah. Penelitian data dan dokumen Barang Milik Daerah tersebut sudah
dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah terdapat dalam
lampiran, contohnya pada lampiran terdapat laporan hasil penelitian BMD yang akan
dilakukan penghapusan dari daftar aset lainnya per-SKPD/UPB tahun 2016 yang
dimiliki oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten
Kepahiang. Dalam laporan hasil penelitian BMD yang akan dilakukan penghapusan dari
daftar aset lainnya per-SKPD/UPB tahun 2016 Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kepahiang tersebut terdapat nama barang, kode
barang, kode lokasi, merk/type, dokumen kepemilikan, tahun pembelian, jumlah barang,
hasil penelitian, dan rekomendasi untuk pemusnahan. Kemudian penghapusan barang
milik daerah di Kabupaten Kepahiang selalu dilaksanakan setelah dilakukan penelitian
lapangan (on site visit), jika diperlukan, guna memastikan kesesuaian antara barang
milik daerah yang menjadi objek peraturan perundang-undangan dengan barang milik
daerah yang menjadi objek permohonan penghapusan.
IMPLIKASI STRATEGIS
Implikasi strategis pada penelitian ini adalah langkah yang dilakukan sebagai upaya
pembenahan mengenai permasalahananalisa pelaksanaan Penghapusan Barang
Milik Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepahiang. Dari hasil
penelitian ini dapat dilihat bahwa tanggapan responden mengenai pelaksanaan
Penghapusan Barang Milik Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Kepahiang sudah berjalan dengan cukup baik, namun ada beberapa permasalahan
dalam proses penghapusan Barang Milik Daerah di Kabupaten Kepahiang,
diantaranya pada saat mengajukan permohonan penghapusan barang milik daerah
dari Pengelola Barang kepada Bupati, data Barang Milik Daerah yang dimohonkan
untuk dihapuskan masih ada yang belum dilengkapi dengan nilai buku dan/atau nilai
perolehan dan kode register, hal ini dapat dibuktikan pada laporan hasil penelitian
BMD yang akan dilakukan penghapusan dari daftar aset lainnya per-SKPD/UPB
tahun 2016 di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (bukti
KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penghapusan Barang Milik Daerah di
Daftar Pustaka
Arikunto. Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Rhineka Cipta. Jakarta.
Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif. Kencana: Jakarta.
Hasibuan, Malayu, S.P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara:
Jakarta.
Mahmudi. (2010). Manajemen Kinerja Sektor Publik. UPP AMP YKPN: Yogyakarta.
Marry. (2005). Pengantar Manajemen Perusahaan. CV. Alfabeta. Bandung.
McHugh. (2005). Pengantar Bisnis. Salemba Empat: Jakarta.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Nasution. (2007). Methode Research (Penelitian Ilmiah). PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
Siregar, Doli D. (2004). Manajemen Aset (Strategi Penataan Konsep
PembangunanBerkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala daerah
sebagaiCEO’s pada Era Globalisasi dan Otonomi Daerah). PT GramediaPustaka
Utama: Jakarta.
Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Administrasi. PT. Alphabeta: Bandung.
Terry. (1992). Prinsip-prinsip Manajemen. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Pendahuluan
Penyelenggaraan pelayanan publik dengan menerapkan system e-government,
dalam memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, memiliki keuntungan,
terwujudnya pelaksanaan pelayanan yang lebih transparan, efisien dan efektif. Sistem
pemerintah berbasis teknologi informasi tersebut, dapat memberikan pelayanan yang
terjangkau dan memperluas akses bagi masyarakat untuk memperoleh kemudahan
informasi sehingga akuntabilitas pemerintah dapat meningkat dalam urusan-urusan
pemerintahan khususnya mengenai penyelenggaraan pelayanan publik.
Salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan transparansi publik adalah dengan
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-government. Contoh penyelenggaraan pelayanan publik di Pemerintahan
dalam bentuk e-government adalah penerapan sistem informasi yang disebut e-
procurement.
Penerapan e-procurement dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Presiden RI
Nomor 106 Tahun 2007 tentang Pembentukan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah) yang melaksanakan pengembangan dan perumusan kebijakan
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Melalui lembaga inilah tersusun rumusan Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang
menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang terbuka
untuk mengurangi praktik KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme). Wujud nyata praktik yang
baik tersebut adalah Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan
Pengadaan Secara Elektronik yang menegaskan bahwa Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota membentuk satu LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat
Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik, dan Inpres
Nomor 17 Tahun 2011 yang menegaskan setidaknya 75% belanja Kementerian/Lembaga
dan 40% belanja Pemerintah Daerah wajib menggunakan e-procurement.
Pentingnya e-procurement dilatarbelakangi oleh tingginya praktik korupsi di area
pengadaan barang dan jasa (PBJ) Lembaga pemerintah. Indonesia Procurement Watch
menyatakan 70% praktik korupsi bersumber dari ranah PBJ, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Hal ini menjadi lebih menarik lagi ketika postur APBN 2013 menunjukkan nilai
PBJ sebesar Rp. 370 triliun (Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK], 2017).
Data yang dirilis oleh KPK sepanjang tahun 2008-2017 menunjukkan besarnya
keterlibatan penyelenggara negara sebagai aktor atau pelaku kasus tindak pidana
korupsi proyek-proyek pemerintah (lihat Tabel 1). Adapun variasi kasus yang termasuk
dalam grand corruption atau menjadi perhatian publik adalah penyuapan dan pengadaan
barang dan jasa di lingkungan penyelenggaraan negara, menyusul kemudian kasus yang
masuk dalam kategori biasa seperti penyalahgunaan anggaran dan pungutan dalam
pelayanan publik, diikuti kasus perizinan dan tindak pidana penyucian uang.
PERKARA 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Pengadaan Barang/Jasa 2 12 8 14 18 16 16 10 8 9 15 14 14 7
Perijinan 0 0 5 1 3 1 0 0 0 3 5 1 1 1
Penyuapan 0 7 2 4 13 12 19 25 34 50 20 38 79 16
Pungutan 0 0 7 2 3 0 0 0 0 1 6 1 1 0
Penyalahgunaan Anggaran 0 0 5 3 10 8 5 0 3 0 4 2 1 1
TPPU 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7 5 1 3 2
Merintangi Proses KPK 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0
JUMLAH 2 19 27 24 47 37 40 39 49 70 58 57 99 27
Sumber: Anti Corruption Clearing House (ACCH)-KPK, 30 Mei 2017
Selain itu, hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan metode Potential
Fraud Analysis (PFA), menemukan potensi kecurangan yang paling tinggi, adalah Provinsi
Bengkulu dengan 15,4 poin, Sumatera Selatan nilainya 15,1 poin, dan disusul oleh
Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Lampung (Pedomanbengkulu.com, 2017).
Untuk itu, kebijakan dan sistem penanganan yang efektif perlu disiapkan, seperti
pengembangan sistem e-procurement yang terbukti mampu menghemat penggunaan
anggaran biaya pengadaan barang/jasa sebesar 10,14 persen di 2015 dan 9,26 persen di
2016 (Suwastika, 2017).
Namun, pengembangan sistem yang kapabel harus memenuhi enam pilar, yaitu
people, process, technology, strategy, governance dan organizational interface. Pada
kenyataannya, pembangunan kompetensi SDM tidak segencar upaya membangun sistem
teknologi dan aturan yang ada (KPK, 2017). Dengan demikian, kesenjangan digital
merupakan tantangan untuk menyukseskan e-procurement sebab belum semua pengguna
atau penyedia barang/jasa menguasai teknologi elektronik sehingga diperlukan waktu untuk
beradaptasi dan persiapan yang lebih optimal (Nightisabha, 2010). Hal ini terlihat pada
indikasi rendahnya pemahaman teknis anggota ULP/Pokja ULP dalam penggunaan aplikasi
SPSE, meskipun sudah mendapatkan pelatihan. Kondisi ini menyebabkan sebagian
ULP/Pokja ULP menyerahkan teknis operasi aplikasi kepada pihak lain di luar keanggotaan
ULP. Hal ini menyebabkan access control terhadap data/informasi lelang menjadi lemah,
dan memungkinkan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang (Arumsari, et
al., 2017).
Isu lain terkait implementasi e-procurement adalah pemutakhiran aplikasi sistem
informasi berdampak langsung pada perilaku pengguna yang dituntut secara mandatori
cepat beradaptasi dengan sistem yang baru. Hal ini dapat memicu perilaku penggunaan
yang tidak sesuai dengan keinginan organisasi (Jogiyanto dan Abdillah, 2011). Untuk itu,
perlu upaya pengarahan motivasi dan perilaku penggunaan dalam menerima sistem
teknologi informasi. Salah satu upaya tersebut adalah dengan meningkatkan kemampuan
adaptasi pengguna terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya pasca penerapan
sistem informasi baru (Tyre dan Orlikowski, 1994; Orlikowski, 1996; Beaudry dan
Pinsonneault, 2005; Fadel, 2012). Teori coping menjadi dasar membangun model
konseptual terintegerasi yang dapat menghubungkan apropriasi perilaku-perilaku dan hasil-
hasildari adaptasi pengguna. Model konseptual ini disebut dengan model penyelesaian
masalah adaptasi pengguna (Coping Model of User Adaptation atau CMUA) (Beaudry dan
Pinsonneault, 2005; Lazarus dan Folkman, 1984).
Model CMUA menghubungkan penilaian terhadap konsekuensi kejadian
teknologi informasi yang diharapkan, penilaian pengguna atas kendali/kendali terhadap
situasi dengan perilaku adaptasi pengguna yang selanjutnya berkonsekuensi pada
outcomes yakni efisiensi dan efektifitas individual, meminimalkan konsekuensi-
konsekuensi negatif dari kejadian teknologi informasi, dan mengembalikan stabilitas
emosional personal (Beaudry dan Pinsonneault, 2005). Dalam penelitian ini infusi
sistem informasi merupakan outcomes dari pemanfaatan TI secara penuh (Cooper dan
Zmud, 1990). Besaran infusi yang diperoleh oleh organisasi dan individual, tergantung
pada tingkatan integrasi (Fadel, 2011).
Model CMUA telah diuji oleh studi-studi empiris terdahulu. Fadel (2012)
menemukan penilaian kesempatan berpengaruh positif pada perilaku adaptasi berfokus
masalah dan perilaku adaptasi berfokus emosi dalam penggunaan Electronic Medical
System (EMS) pada departemen Campus Health (CH) di perguruan tinggi. Studi
Sigalotang, et al. (2014) dalam penggunaan sistem Enterprise Resource Planning (ERP)
pada kantor PT. PLN Wilayah Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara dan Astriana
(2015) dan Astriana, et al. (2015) di sistem informasi akuntansi berbasis akrual
(SAIBA) pada Satker Lembaga Administrasi Negara (LAN), juga menemukan hal yang
sama. Dengan demikian, model CMUA relevan dikembangkan di konteks penggunaan
sistem mandatori sejenis, seperti di sistem e-procurement.
Penelitian ini meneliti variabel yang sama dengan penelitian Astriana, et al.
(2015) dengan model CMUA yang dikemukakan oleh Beaudry dan Pinsonneault
(2005). Berbeda dengan penelitian Astriana, et al. (2015), penelitian ini dengan objek
penelitian penggunaan sistem informasi pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-
procurement) atau Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) pada instansi
pemerintah yaitu Pemerintah Kota Bengkulu pada Bagian Pembangunan, tepatnya
Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Bengkulu. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh penilaian (appraisal) dari
pengguna terhadap infusi sistem informasi (Infusion IS) melalui aktivitas adaptasi
pengguna dalam merespon IS (Adaptive Acts in Response to the IS) terhadap
pengimplementasian sistem informasi SPSE. Keberadaan SPSE menuntut pengguna
mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam terkait siklus pengadaan barang dan jasa
baru, hubungan apropriasi dan infusi teknologi informasi dalam pemanfaatan teknologi
informasi, dan dampaknya terhadap kinerja individual. Dalam hal ini, apropriasi teknologi
informasi didefinisikan sebagai proses coping yang bertujuan meningkatkan derajat infusi
teknologi informasi yang didefinisikan sebagai tingkat integrasi teknologi informasi ke
dalam sistem kerja, kebiasaan, dan kompetensi pengguna.
Sementara Fadel (2011) mengemukakan dalam konsep infusi sistem informasi
pengguna sistem informasi akan mengubah lingkungannya untuk mengintegrasikan secara
penuh fitur-fitur teknologi ke dalam tugas-tugas rutin yang akan berdampak positif terhadap
level infusi sistem informasi.
Kerangka Analisis
Berdasarkan konsep-konsep diatas maka dapat disusun kerangka analisis penelitian
seperti gambar berikut:
Penilaian
H1
Kesempatan
Adaptasi Berfokus
H2 Masalah H7
Penilaian H3 Infusi Sistem
Ancaman Informasi
H4
Adaptasi Berfokus
H5 H8
Emosi
Penilaian
H6
Sekunder
dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara menyebar kuesioner secara self-
administered atau email kepada seluruh responden, selama Mei-Juni 2018.
Pengujian instrumen penelitian ini menggunakan dua metoda, yaitu uji validitas dan
uji reliabilitas. Pengujian instrumen dilakukan melalui data sampel sampel dalam pra survei.
Uji validitas terdiri atas validitas kualitatif, yaitu validitas tampang dan uji validitas isi dan
validitas konstruk, yaitu validitas konvergen dan validitas diskriminan. Penelitian ini
menggunakan pertimbangan panel pakar, partisipan dan telaah sejawat untuk validitas
kualitatif sedangkan uji validitas konstruk menggunakan metoda Partial Least Square
(PLS) dengan bantuan aplikasi piranti lunak SmartPLS versi 3.0.
tinggi daripada konstruknya dibandingkan loading di konstruk yang lain. Berikut disajikan
nilai cross loading indikator dengan konstruk dalam model yang terlihat pada Tabel 4.
Pembahasan
Penelitian ini menemukan Penilaian Kesempatan berpengaruh positif pada adaptasi
berfokus masalah.Penilaian kesempatan merupakan penilaian pengguna terhadap kejadian-
kejadian teknologi informasi yang dipersepsikan mempunyai konsekuensi-konsekuensi
positif. Temuan ini mengindikasi bahwa kemampuan sistem SPSE dalam menyediakan
konsekuensi-konsekuensi positif, seperti mendukung tugas pengguna. Sistem SPSE yang
berbasis internet menyebabkan proses dan pengiriman informasi yang lebih cepat dalam
bentuk media aanwijzing dan klarifikasi secara online dapat mempercepat respon terhadap
pertanyaan dan klarifikasi lelang. Aplikasi SPSE juga mengurangi biaya penguna dan
penyedia barang/jasa karena persyaratan lelang berupa hard copy hanya diminta kepada
pemenang di akhir proses lelang.
Menurut CMUA, pengguna pertama kali terlibat dalam penilaian utama (primary
appraisal) saat pengguna menilai apakah peristiwa teknologi informasi merupakan
kesempatan atau ancaman. Sistem informasi menjadi penilaian kesempatan yang timbul
dari keyakinan bahwa sistem informasi akan membawa konsekuensi positif (Beaudry dan
Pinsonneault, 2005). Jika pengguna melihat sistem informasi secara positif maka pengguna
akan melakukan usaha perilaku adaptif untuk menghadapi situasi, dengan cara
mengantisipasi kebutuhan untuk belajar keterampilan baru, mengatasi kesulitan, dan
beradaptasi pada prosedur kerja.
Perilaku adaptif pengguna dalam menghadapi situasi akibat implementasi sistem
SPSE ini merupakan upaya adaptasi berfokus masalah. Perilaku adaptasi berfokus masalah
bertujuan untuk mengelola kejadian yang mengganggu dengan mengubah aspek eksternal
dari situasi seperti tekanan lingkungan, hambatan, sumber daya, atau prosedur (Lazarus and
Folkman, 1984). Upaya yang dilakukan panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa untuk
mengubah aspek eksternal dari situasi akibat implementasi sistem SPSE adalah dengan
mewujudkan manfaat yang diharapkan pengguna dari sistem informasi, misalnya upaya
mengubah kebiasan kerja disesuaikan dengan prosedur-prosedur yang harus dilakukan
pengguna dalam mengikuti pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement).
Dengan demikian perilaku adaptasi yang berfokus masalah ini dapat menyebabkan tindakan
yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam menggunakan sistem
informasi, yang cenderung mempengaruhi kinerja pengguna secara positif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan premis mendasar dari model penyelesaian
masalah adaptasi pengguna(Coping Model of User Adaptation atau CMUA) oleh Beaudry
dan Pinsonneault (2005) yang menyatakan bahwa pengenalan dari suatu teknologi atau
modifikasi dari suatu teknologi yang sudah ada dapat membawa perubahan-perubahan baru
yang dipersepsikan dan dapat memperbaiki gangguan-gangguan di organisasi-organisasi.
menggunakan aplikasi SPSE dan pernah mengikuti sosialisasi SPSE. Artinya dengan
kemampuan yang dimiliki pengguna SPSE akan mampu mengatasi konsekuensi-
konsekuensi negatif yang dirasakan terkait dengan peristiwa tekonologi informasi.
Namun, adaptasi berfokus masalah dapat diarahkan ke penanganan isu-isu yang
berhubungan dengan kegiatan teknologi informasi secara langsung. Upaya yang dapat
dilakukan pengguna dengan cara mengadaptasi sistem kerja, teknologi, dan diri sendiri
seperti mengembangkan standar-standar baru pada perilaku, meningkatkan minat
menggunakan teknologi informasi, dan mencari pelatihan untuk meningkatkan diri.
Sistem SPSE yang bersifat mandatory menuntut pengguna menggunakan
teknologi informasi SPSE dalam melakukan proses pengadaan barang/jasa secara
elektronik. Panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa yang tidak mempunyai
kemampuan dalam mengoperasikan sistem SPSE tentunya secara alamiah akan
terseleksi dari sistem pengadaan.
Menurut Fadel dan Brown (2010) persepsi ancaman sangat dipengaruhi oleh
sejauhmana pengguna merasakan sistem informasi menjadi sulit digunakan. Hal ini
berarti LPSE Kota Bengkulu dapat mengurangi persepsi ancaman dengan memastikan
dukungan yang disediakan untuk membantu pengguna mengatasi pada masalah
penggunaan sistem informasi. Selain itu, seharusnya secara periodik dilakukan
monitoring sistem dan koordinasi dengan pengembang di LKPP Pusat untuk
mengantisipasi adanya anomali dan berbagai ancaman serangan. Dengan demikian
diharapkan upaya dalam mengatasi kesulitan dalam penggunaan sistem SPSE akan
mempengaruhi usaha-usaha adaptasi berfokus masalah.
Penelitian ini juga menemukan penilaian ancaman berpengaruh positif pada
adaptasi berfokus emosi. Artinya, semakin mengancam penilaian yang dihasilkan oleh
aplikasi SPSE maka akan meningkatkan adaptasi berfokus emosi pengguna aplikasi SPSE
yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu. Sistem SPSE dipersepsikan pengguna
sistem SPSE memberikan keuntungan dalam proses pengadaan barang/jasa diantaranya
kemudahan dalam penggunaannya, menghemat biaya administrasi pengadaan dan biaya
penggunaan bahan pakai habis (alat tulis kantor), serta mempercepat proses pengadaan.
Namun,pengguna juga merasakan aplikasi sistem SPSE sebagai ancaman ketika
pihak-pihak tertentu ingin mengambil manfaat dari sistem SPSE untuk kepentingan
tertentu. Secara teknis aplikasi SPSE sudah dilengkapi keamanan jaringan berupa piranti
keras dan piranti lunak canggih penangkal serangan seperti firewalls, anti virus, Intrution
Detection System (IDS) and Intrusion Prevention System (IPS), dan lain sebagainya. Akan
tetapi, keamanan jaringan yang menjadi komponen terlemah adalah manusia (Indrajit,
2011). Karena tidak ada sistem yang berjalan tanpa interaksi manusia.
Pada aplikasi SPSE interaksi manusia terjadi antara penyedia, kelompok kerja unit
layanan pengadaan (Pokja ULP), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan admin Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Strategi menyerang komponen terlemah ini terbukti
lebih mudah dan efektif yang digunakan oleh hacker untuk memperoleh informasi tentang
targetnya, dengan cara meminta informasi itu langsung kepada korban atau pihak lain yang
mempunyai informasi itu. Hacker tidak perlu bersusah payah menembus keamanan sistem
untuk mendapatkan informasi, tetapi cukup memanfaatkan kelemahan manusia seperti
kelalaian, keingintahuan, kecerobohan, ketidaktahuan, ketidakwaspadaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu hendaknya LPSE Kota Bengkulu selaku pengelola e-procurement membina
pegawai-pegawai yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sistem SPSE melalui
prosedur yang jelas dari rekruitmen, pemindahan dan penghentian pegawai, melatih
pemahaman pegawai terhadap keamanan sistem, dan memberi perhatian terhadap pegawai
yang merasa tidak puas terhadap organisasi karena hal ini bisa mengarah pada tindakan-
tindakan negatif. Menurut Beaudry dan Pinsonneault (2005), menyatakan bahwa ketika
individu menilai kejadian teknologi informasi sebagai ancaman (threat), upaya mereka akan
sebagian besar berorientasi untuk mengurangi tekanan emosional dan mengurangi
konsekuensi negatif yang dirasakan terkait dengan peristiwa tersebut.
Kemudian hasil analisis ini menemukan bahwa variabel penilaian sekunder tidak
berpengaruh positif terhadap variabel adaptasi berfokus masalah. Hal ini mengindikasi
bahwa peningkatan penilaian sekunder pengguna terhadap aplikasi SPSE tidak
mempengaruhi peningkatan perilaku adaptasi berfokus masalah.
Penilaian sekunder terkait dengan tingkat kemampuan kendali seorang individu
terhadap sistem informasi SPSE dengan sumber-sumber daya tertentu yang tersedia bagi
mereka. Sumber-sumber daya yang dimiliki pengguna sistem SPSE pada LPSE Kota
Bengkulu dalam mengaplikasikan SPSE didukung oleh mempunyai pengetahuan yang
cukup dalam mengaplikasikan sistem SPSE karena mayoritas pengguna pernah mengikuti
sosialisasi SPSE dan telah lama menggunakan aplikasi SPSE. Pengetahuan yang diperlukan
menggunakan aplikasi SPSE seperti kemampuan komputer umum dan penggunaan aplikasi
internet. Selain itu pengguna memiliki kendali dalam menggunakan sistem SPSE yaitu
memiliki pemahaman tentang pengetahuan prosedural dalam mengaplikasikan SPSE seperti
pemahaman terhadap prosedur kerja menggunakan aplikasi SPSE serta aturan main
pengadaan barang/jasa tentang tata cara penawaran yang baik dan benar dalam tender.
Selanjutnya, pengguna sistem SPSE memiliki sumber daya untuk menggunakan
SPSE didukung dari kemampuan penyedia barang/jasa melakukan tugas terkait pelelangan
elektronik, mulai dari pendaftaran, dokumen pengadaan, unggah dokumen penawaran,
sampai sanggah-menyanggah untuk paket yang diikuti oleh penyedia. Oleh karena itu
penyedia seharusnya menyiapkan sumber daya manusia yang melek komputer dan internet
plus fasilitas jaringan internet dengan koneksi memadai untuk mengakses SPSE. Selain itu
peningkatan kemampuan pengguna seharusnya didukung juga pemahaman terhadap aturan
berkenaan dengan tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 beserta perubahannya.
Temuan ini mengindikasi adanya otonomi pekerjaan oleh pengguna yang cukup
dalam implementasi sistem SPSE. Namun di sisi lain,kendali terhadap teknologi itu
sendiri, pengguna merasa bahwa mereka tidak mempunyai banyak pengaruh terhadap
fitur-fitur dan fungsi-fungsi dari sistem SPSE yang diterapkan oleh Pemerintah Kota
Bengkulu yang sudah bersifat mandatory. Hal ini berarti tersedianya sumber-sumber
daya yang dimiliki pengguna sistem SPSE tidak akan berpengaruh terhadap perilaku
adaptasi berfokus masalah.
Lebih lanjut, penelitian ini menemukan pengaruh negatif penilaian sekunder
adaptasi berfokus emosi. Hal ini berarti semakin baik penilaian sekunder pengguna pada
aplikasi SPSE maka tingkat adaptasi berfokus emosi pengguna akan semakin menurun.
Penilaian sekunder merupakan persepsi pengguna terhadap seberapa besar kendali
yang dimilikinya terhadap kejadian teknologi informasi dari opsi-opsi adaptasi mereka
dengan sumber daya tertentu yang tersedia bagi mereka (Lazarus dan Folkman, 1984).
Penilaian sekunder dilakukan pada kendali terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan
seberapa jauh pengguna mempunyai otonomi yang cukup terhadap pekerjaannya, kendali
terhadap diri sendiri yaitu berhubungan dengan apakah pengguna merasa dapat
mengadaptasi dirinya sendiri ke lingkungan yang baru, serta kendali terhadap teknologi
berhubungan dengan seberapa banyak pengaruh yang dirasakan oleh pengguna terhadap
fitur-fitur dan fungsi-fungsi dari teknologi informasi selama pengembangannya atau
penggunaannya. Sementara sumber daya yang tersedia bagi pengguna terdiri dari faktor
eksternal, seperti waktu atau peralatan, dan faktor internal seperti pengetahuan,
kemampuan, atau otonomi.
Hasil penelitian ini mendukung model yang dikemukakan oleh Beaudry dan
Pinsonneault (2005) yang menyatakan upaya adaptasi berfokus emosi (emotion-focused
adaptation) berpengaruh ketika seorang individu merasa bahwa mereka memiliki sedikit
atau tidak ada kendali.
Panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa tidak mampu menampik adanya dilema
dalam proses pengadaan barang/jasa yang akan mempengaruhi emosional mereka. Sebagai
contoh, pengadaan barang/jasa sebagian mengandung dimensi prosedural yang ketat namun
justru sebagian besar dimensinya adalah teknis. Banyak proses pengadaan yang secara
prosedural tepat dan sesuai, namun secara teknis belum tentu tepat dan benar. Harga yang
murah menjadi tidak bermakna bila kontrak pengadaan menghasilkan barang/jasa yang
tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, penawaran dalam lelang harus
dipastikan sesuai dengan persyaratan kebutuhan sebagaimana dituangkan dalam dokumen
lelang sebagai spesifikasi atau persyaratan teknis.
Untuk tercapainya tujuan tersebut, lebih lanjut harus dipastikan bahwa penyedia
akan mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai kontraknya. Pelaku usaha harus memenuhi
persyaratan untuk dapat menandatangani kontrak sebagai penyedia barang/jasa. Penyedia
barang/jasa harus memiliki pengalaman yang sesuai, kemampuan keuangan maupun
personil yang memadai, sehingga pekerjaan dapat dilakukan sesuai kontrak. Dalam hal ini,
Panitia Pengadaan dan PPK harus menetapkan persyaratan kualifikasi (aspek kompetensi)
dan calon penyedia harus dipastikan memenuhi persyaratan kualifikasi yang dibutuhkan
untuk melaksanakan pekerjaan (kontrak). Dengan demikian, walaupun barang yang
ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan harganya murah namun ditawarkan oleh peserta
lelang yang tidak memiliki kompetensi dan kemampuan, penawaran ini tidak dapat
dimenangkan dan menandatangani kontrak. Baik persyaratan teknis maupun persyaratan
kualifikasi sifatnya harus dipenuhi dan tidak boleh ditawar. Satu saja unsur teknis dan
kualifikasi tidak terpenuhi maka penawaran dianggap tidak memenuhi syarat. Oleh karena
itu seharusnya LPSE Kota Bengkulu meningkatkan pemahaman pengguna aplikasi SPSE
pada prosedural dan teknis proses pengadaan barang/jasa sehingga tidak adanya
pemahaman yang berbeda antara panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa terhadap
aturan-aturan yang mengatur prosedural dan teknis pengadaan tersebut.
Dengan semakin tersedianya sumber-sumber daya yang dimiliki pengguna
terhadap pengunaan sistem informasi SPSE, maka akan mengurangi tekanan emosional
pengguna. Artinya semakin meningkat penilaian sekunder terhadap aplikasi SPSE yang
diterapkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu maka akan semakin menurun adaptasi
berfokus emosi pengguna terhadap aplikasi SPSE.
Pengujian hipotesis ketujuh dalam penelitian ini menemukan adaptasi berfokus
masalah berpengaruh positif terhadap infusi sistem informasi. Artinya semakin baik
perilaku adaptasi berfokus masalah yang dihasilkan oleh aplikasi SPSE maka pengguna
akan meningkatkan infusi sistem informasi SPSE.
Tingkat pendidikan panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa pada LPSE Kota
Bengkulu mayoritas sarjana (S-1) dan dominan berusia diatas 40 tahun, mengindikasi
bahwa pengguna sistem SPSE telah memiliki sejumlah kualitas positif yang dibawa ke
dalam pekerjaan, yaitu pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, komitmen
terhadap mutu, dan tingkat pengunduran diri yang rendah karena usia berkaitan erat dengan
tingkat kedewasaan dan kematangan seseorang dalam berpikir. Dengan kondisi ini
pengguna sistem SPSE dinilai mampu mengelola kejadian yang mengganggu akibat
implementasi sistem SPSE dengan cara mengubah aspek eksternal dari situasi seperti
tekanan lingkungan, hambatan, sumber daya, atau prosedur.
Pengguna sistem SPSE beradaptasi dengan aplikasi SPSE yang diterapkan oleh
Pemerintah Kota Bengkulu mengarah pada penanganan isu-isu yang berhubungan dengan
kegiatan teknologi informasi secara langsung, yaitu dilakukan dengan cara mencari
informasi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai sistem SPSE pada
rekan-rekan kerja, bagian teknologi informasi, dan mengkonsultasikan sistem SPSE kepada
helpdesk yang tersedia.
Sementara, peran spesialis TI dalam meningkatkan adaptasi pengguna terhadap
SPSE kurang dimanfaatkan pengguna sistem SPSE, dikarenakan minimnya spesialis TI
dalam lingkup pekerjaan mereka dan belum berkembangnya jasa konsultan atau tenaga ahli
yang menguasai bidang infrastruktur teknologi informasi. Oleh karena, peranan LPSE Kota
Bengkulu diharapkan proaktif menjembatani kebutuhan panitia pengadaan dan penyedia
barang/jasa dalam upaya meningkatkan pemahaman pengguna aplikasi SPSE.
Menurut Fadel (2011), dalam proses infusi sistem informasi, pengguna akan
mengubah lingkungannya untuk mengintegrasikan secara penuh fitur-fitur teknologi ke
dalam tugas rutin yang akan berdampak positif terhadap level infusi sistem informasi. Oleh
karena itu upaya meningkatkan infusi sistem informasi terhadap implementasi aplikasi
SPSE dapat melalui pengintegrasian fitur-fitur yang terdapat pada web LPSE Kota
Bengkulu ke dalam tugas pengguna sistem SPSE.
Sistem informasi memberi dampak positif bagi pengguna jika pengguna
memanfaatkan sistem dan sistem tersebut bersesuaian dengan tugas-tugas pengguna
(Goodhue dan Thompson, 1995). Dengan demikian semakin besar manfaat yang dirasakan
pemakai sistem SPSE maka akan meningkatkan infusi sistem informasi melalui
kemampuan sistem SPSE mendukung pekerjaan pemakai dan integrasi sistem ke dalam
pekerjaan pada level tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku adaptasi berfokus
masalah memiliki peranan penting dalam peningkatan infusi sistem informasi pemakai
aplikasi SPSE.
Hasil analisis lain dari penelitian ini adalah tidak ditemukan adanya pengaruh
adaptasi berfokus emosi terhadap infusi sistem informasi. Temuan ini mengindikasi bahwa
adaptasi berfokus emosi yang diberikan oleh pengguna aplikasi SPSE tidak menyebabkan
peningkatan infusi sistem informasi SPSE. Temuan ini menunjukkan bahwa pengguna
sistem SPSE cukup mampu beradaptasi dengan konsekuensi-konsekuensi dari kejadian
teknologi informasi dengan berupaya mengurangi ketegangan emosional akibat penerapan
aplikasi SPSE yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu. Upaya yang dilakukan
pengguna aplikasi SPSE adalah meminta dukungan moral dari rekan-rekan, anggota
keluarga, dan atasan, selanjutnya memotivasi diri sendiri dengan berpikiran positif terhadap
aplikasi SPSE dan mencoba menikmati proses dalam penerapan aplikasi SPSE.
Adaptasi berfokus emosi oleh pengguna sistem SPSE diarahkan mengubah persepsi
pengguna terhadap suatu situasi yaitu implementasi sistem SPSE yang diterapkan oleh
Pemerintah Kota Bengkulu. Melalui proses adaptasi berfokus emosi, pengguna SPSE
melakukan fokus pendekatan pada kejadian-kejadian sistem SPSE sehingga pengguna dapat
mengintegrasikan sistem tersebut dan memanfaatkannya secara mendalam dan
komprehensif dalam sistem kerja individual yang kemudian akan meningkatkan level infusi
sistem informasi. Namun upaya adaptasi berfokus emosi ini tidak mempengaruhi
peningkatan infusi sistem informasi. Hal ini dapat disebabkan adanya upaya pengguna
mencoba meminimalkan belajar dan menggunakan sistem informasi akibatnya pengguna
sistem SPSE terlibat dalam penggunaan yang dangkal dan hanya menghasilkan sedikit
manfaat dalam kinerjanya. Perilaku pengguna sistem SPSE yang berorientasi pada
penghindaran, seperti melakukan apapun untuk menghindari menggunakan SPSE,
mempertimbangkan absen sementara dari pekerjaan, dapat menyebabkan tingkat infusi
sistem informasi yang lebih rendah.
Seseorang yang memiliki persepsi manfaat yang tinggi dalam arti pekerjaan selesai
lebih cepat, kinerja meningkat, produkvitas meningkat, bekerja lebih efektif, menjadikan
pekerjaan lebih mudah dan secara keseluruhan bermanfaat maka akan termotivasi untuk
menggunakan sistem tersebut sehingga mampu meningkatkan performa kerjanya, dan
merasa bahwa harapan mereka terhadap sistem tersebut terpenuhi sehingga mereka akan
puas ketika menggunakan sistem tersebut (Davis, 1989). Kelemahan-kelemahan dari
aplikasi SPSE menyebabkan pengguna merasa tidak puas. Alasan lain yang menyebabkan
kualitas sistem tidak berpengaruh terhadap kepuasaan pengguna adalah penggunaan
aplikasi SPSE yang bersifat wajib (mandatory) bagi penggunanya. Meskipun sistem
aplikasi SPSE secara teknis memiliki kekurangan yang menyebabkan ketidakpuasan
penggunanya tetapi mereka tetap wajib menggunakannya
Adapun kelemahan-kelemahan dari aplikasi SPSE yang digunakan panitia
pengadaan dan penyedia barang/jasa, yaitu ketika servernya down dan website tidak bisa di
akses dalam waktu sekian jam, berimbas pada penyedia tidak bisa meng-upload dokumen
penawaran dan jika telah melewati batas waktu yang tender ditentukan berakibat penyedia
gagal mengikuti tender. Selain itu terkadang pertanyaan penyedia saat aanwidjzing tidak
semuanya mendapat jawaban dari panitia, sehingga hal ini merepotkan penyedia karena
sedikit saja kesalahan pada dokumen tender bisa dijadikan senjata ampuh oleh panitia untuk
menggugurkan penawaran penyedia. Oleh karena itu diharapkan pentingnya
menyempurnakan tender online melalui perbaikan maintenance supaya server tidak sering
down karena jika server sampai down akan berimbas pada web tidak dapat diakses.
Implikasi Strategis
Secara praktis, temuan ini menegaskan perlunya pemangku kepentingan, yaitu
pemerintah daerah mendukung tugas pengguna dan mengembangkan kemampuan
pengguna sehingga mampu meningkatkan adaptasi berfokus masalah dalam bentuk
penanganan gangguan-gangguan teknis dan mengoptimalkan pengendalian organisasi
melalui pemisahan tugas dan tanggung jawab yang tegas dalam bagian-bagian pengelola
data dan sistem. Selain itu pengendalian keamanan fisik juga perlu dilakukan untuk
menjaga keamanan terhadap perangkat keras, perangkat lunak dan manusia dalam
organisasi. Selain itu, pemerintah daerah perlu melibatkan pengguna dalam proses
pengembangan sistem untuk meningkatkan ownership pengguna, sosialisasi, optimasi
peranan helpdesk dalam membantu pengguna mengatasi masalah-masalah penggunaan
sistem, dan memberi otonomi pekerjaan yang cukup.
Penutup
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh penilaian
(appraisal) dari pemakai terhadap infusi sistem informasi (Infusion IS) melalui aktivitas
adaptasi pemakai dalam merespon IS (Adaptive Acts in Response to the IS) terhadap
pengimplementasian sistem informasi SPSE. Keberadaan SPSE menuntut pemakai
mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam terkait siklus pengadaan barang dan jasa
secara elektronik sehingga sangat diharapkan pemakai mempunyai kemampuan adaptasi
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan penelitian ini, maka diberikan saran-
saran sebagai berikut:
1) Peningkatan penilaian kesempatan pemakai sistem informasi SPSE terhadap
adaptasi berfokus masalah dapat dilakukan dengan cara peningkatan pengendalian
keamanan sistem melalui upaya melakukan update secara berkala terhadap
software maupun hardware pada sistem informasi SPSE.
2) Peningkatan penilaian kesempatan terhadap adaptasi berfokus emosi dapat
dilakukan melalui evaluasi secara berkala terhadap penerapan aplikasi SPSE
sehingga dapat diketahui efektivitas aplikasi tersebut karena aplikasi ini sangat
bermanfaat untuk penetapan kebijakan tata kelola dan pengembangan aplikasi
SPSE.
3) Peningkatan penilaian ancaman terhadap adaptasi berfokus masalah dilakukan
dengan peningkatan kemampuan helpdesk dalam mengatasi masalah penggunaan
aplikasi SPSE.
4) Peningkatan penilaian ancaman terhadap adaptasi berfokus emosi dengan cara tidak
memindahtugaskan para petugas yang bertanggung jawab dalam proses pengadaan
barang dan jasa secara elektronik, karena kompleksitas dalam penggunaan aplikasi
SPSE memerlukan petugas yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
memadai di bidang pengadaan barang dan jasa dan teknologi informasi.
5) Peningkatan penilaian sekunder pemakai sistem informasi SPSE terhadap adaptasi
berfokus masalah dengan cara mewajibkan Penyedia Barang/Jasa untuk mengikuti
bimbingan teknis pengadaan barang/jasa agar memahami aturan dalam pengadaan
barang/jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden 54 Tahun 2010 serta
perubahannya.
6) Peningkatan penilaian sekunder pemakai sistem informasi SPSE terhadap adaptasi
berfokus emosi melalui sosialisasi, training of trainer (TOT), pelatihan, dan
simulasi penggunaan aplikasi SPSE agar meningkatkan pemahaman pemakai
terhadap prosedural dan teknis pengadaan barang/jasa.
7) Peningkatan adaptasi berfokus masalah terhadap infusi sistem informasi SPSE
melalui upaya membangun komunikasi yang intens antara LPSE Kota Bengkulu
dengan pengguna aplikasi SPSE untuk menjembatani penanganan terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam penggunaan aplikasi SPSE.
8) Peningkatan adaptasi berfokus emosi terhadap infusi sistem informasi SPSE dapat
dilakukan dengan cara perbaikan rutin maintenance aplikasi SPSE sehingga web
LPSE Kota Bengkulu mudah diakses dan mampu dimanfaatkan secara mendalam
dan komprehensif dalam sistem kerja pemakai aplikasi SPSE.
DAFTAR PUSTAKA
Anti-Corruption Clearing House (ACCH) KPK (2017, Mei 30). Diakses dari
http://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi/.
Arumsari, Totok, Iswahyudi, Mucharor, & Akib. (2017, September 12). Audit Atas
Pelaksanaan Lelang Secara Elektronik dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah. Diakses dari http://www.bpkp.go.id/investigasi/berita/
read/13521/0/AUDIT-ATAS-PELAKSANAAN-LELANG-SECARA-
ELEKTRONIK-DALAM-PENGADAAN-BARANG-DAN-JASA-
PEMERINTAH.bpkp.
Astriana. (2015). Pengaruh Penilaian terhadap Infusi Sistem Informasi Akuntansi
Berbasis Akrual melalui Perilaku Adaptasi Pengguna pada Lembaga
Administrasi Negara. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 21, No. 2, Hal. 70-78.
Astriana, Pontoh, G.T. & Syamsuddin. (2015). Pengaruh Penilaian terhadap Infusi
Sistem Informasi Akuntansi Berbasis Akrual melalui Perilaku Adaptasi
Pengguna. Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia (SESINDO) 2-3
November 2015, Hal. 47-54.
Beaudry, A. & Pinsonneault, A. (2000). Information Technology and Individual
Performance: A Coping Based Model of the Appropriation Process. In
Proceedings of ASACIFSAM, Canada, Hal. 1-11.
Beaudry, A. & Pinsonneault, A. (2005). Understanding User Responses to Information
Technology: A Coping Model of User Adaptation. Journal of MIS Quarterly,
Vol. 29, No. 3, Hal. 493-524.
Chin, W.W. (1998). The Partial Least Squares for Structural Equation Modelling. in G.
A. Marcoulides (Ed.), Modern Methods for Business Research, London:
Louis, M.R., & Sutton, R. I. (1991). Switching Cognitive Gears: From Habits of Mind
to Active Thinking. Human Relations, Vol. 44, Hal. 55-76.
Lyytinen, K. & Rose, G.M. (2003). The Disruptive Nature of Information Technology
Innovations: The Case of Internet Computing in Systems Development
Organizations. MIS Quarterly, Vol. 27, No. 4, Hal. 557-596.
Nightisabha, I.A. (2010). Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang/Jasa pada
Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap Implementasi Sistem E-Procurement.
Tesis Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Orlikowski, W.J. (1996). Improvising Organizational Transformation Over Time: A
Situated Change Perspective. Information System Research, Vol. 7, No. 1,
Hal. 63-92.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Nomor 106, (2007).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Nomor 54,
(2010).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Nomor 04,
(2015).
Peraturan Kepala LKPP Layanan Pengadaan Secara Elektronik, Nomor 2, (2010).
Provinsi Bengkulu Tertinggi Potensi Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa. (2017, Mei
30). Diakses dari http://pedomanbengkulu.com/2017/05/provinsi
bengkulutertinggipotensi korupsipengadaanbarangdanjasa/.
Seddon, P.B. & Kiew, M.Y. (1996). A Partial Test and Development of the DeLone and
McLean Model of IS Success. Australian Journal of Information System, Vol. 4,
No. 1, Hal. 90-109.
Salisbury, W.D., Chin, W.W., Gopal, A., & Newsted, P.R. (2002).. Research Report:
Better Theory Through Measurement-Developing a Scale to Capture Consensus
on Appropriation. Information Systems Research, Vol. 13, No. 1, Hal. 91-103.
Sigalotang, W.A., Pontoh, G.T. & Damayanti, R.A. (2014). Mediasi Infusi Sistem
Informasi atas Pengaruh Pemanfaatan Sistem Informasi Terhadap Kinerja
Pengguna Enterprise Resource Planning (ERP). Seminar Nasional Akuntansi 17
Mataram, Lombok.
Stone, A.A., Kennedy-Moore, E., Newman, M.G., Greenberg, M. & Neale, J.M. (1992).
Conceptual and Methodological Issues in Current Coping Assessments. in
Personal Coping: Theory, Research, and Application, B. N. Carpenter (Ed.),
Praeger, Westport, CT, Hal. 15-29.
Suwastika, P. (2017, Mei 6). E-Procurement Perhemat Anggaran. Diakses dari
http://ppm-manajemen.ac.id/blog/artikel-manajemen-10/post/eprocurement-
perhemat-anggaran-353.
Tyre, M.J. & Orlikowski, W.J. (1994).Windows of Opportunity: Temporal Patterns of
Technological Adaptation in Organizations.Organization Science, Hal. 98-118.
Venkatesh, V., Morris, M.G., Davis, G.B., & Davis, F.D. (2003). User Acceptance of
Information Technology: Toward a Unified View. MIS Quarterly, Vol. 27, No.
3, Hal. 425-478.
Abstract: The objective of this research is to analyze the influence of the role clarity,
work stress and individual characteristics to the Religious Ministry Official performance
at Lubuklinggau regency. This study used 82 employees of Religious Ministry of
Lubuklinggau regency as the sampel which was defined by applying a cencus tecnique.
This research uses a questionnaire technique to collect the primary data. Before being
used as the main instrument, the questionnaire has been tested to define its validity and
reliability. The test result showed that the instrument was capable to use in real study
because the condition of validity and reliabity were fullfiled. The data is analyzed by
using a scoring technique and some statististic test, among others are regression and
determinat coefficient anyalisis as well as F tets and t test. Based on the scoring
technique, it is found out that (1) the religious ministry official performance at
Lubuklinggau regency was in “good enough” category, (2) the official has clearly
understood the role should be performed, (3) the official of the religious ministry at
Lubuklinggau regency experienced the high work stress in taking their duties and (4)
the official has showed a good enough individual characteristics in running the task
given by the organization. Statistically, the regression analysis generated a form Y =
0,666X1 - 0,151 + + e. This result means that role clarity and individual
characteristics has a positive correlation to the employee performance in which the
clearer role and the better characteristic are going to increase the employee
performance. Meanwhile, the work stress negatively correlates to the employee
performance in which the higher stress the employee gets, the worse their work
performance views. The determinant coefficient result which symbolized by was 0,529.
It means that 52,9% of the employee perfprmance was influenced by role clarity, work
stress and individual characateristics, the rest was influenced by other factors that are
not investigared in this study The t test analysis result was 8,306 for the role clarity, -
1,673 for the works stress and 3,464 for the individual caharactteristics. This result
shows that role clarity and individual characteristics positively and significantly affect
to the employee performance. Meanwhile, the work stress negatively but not
significantly affects to the work performance. The F test result was 31,341 and it means
that simultanously the role clarity, work stress and individual characteristics influenced
the employee performance. The implication of the study was that the less understanding
about the role by the employee is going to bear the work stress and it needs the better
individual characteristics to handle the work stress. If this condition was able tobe
handled by the organization, it is going to have good impact to the employee
performance. Based on the result of the study, it is suggested that the organization
should have clearly described the the tasks to the employee, made use of work stress
management and given guideness to the employee to improve their individual
caharateristics.
Pendahuluan
Organisasi pemerintahan pada dasarnya bukanlah organisasi yang statis.
Organisasi pemerintahan akan terus mengalami perubahan karena unsur-unsur yang
membentuk organisasi tersebut juga ikut mengalami perubahan. Dalam konteks
organisasi publik, perubahan eksternal yang saat ini direspon adalah tuntutan akan
demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Berdasarkan kenyataan ini maka organisasi pemerintahan dituntut
mampu menampilkan kinerja yang benar-benar baik. Untuk menjawab tuntutan
tersebut, peranan kinerja sumber daya manusia pemerintahan, dalam hal ini adalah
Pegawai Negeri Sipil, menjadi hal yang paling penting.
Tetapi pada kenyataannya, bukan rahasia lagi bahwa kinerja sumber daya
manusia pemerintahan masih menjadi sorotan negatif dari masyarakat dan bahkan dari
kalangan pemerintahan sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (dalam cnnindonesia.com, 2016) bahwa
kinerja PNS semakin memburuk meskipun anggarannya setiap tahun terus mengalami
kenaikan. Diakui oleh Menteri PAN dan RB bahwa banyak keluhan masyarakat terkait
perilaku PNS yang malas, berkinerja rendah, dan tidak disiplin. Hasil survey yang
dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
menunjukkan bahwa hanya 40% PNS yang kinerjanya sesuai harapan (dan dimuat
dalam beritapns, 2016).
Rendahnya kinerja sumber daya manusia pemerintahan, dalam hal ini Pegawai
Negeri Sipil, tidak lepas dari penyakit-penyakit yang muncul didalam diri para pegawai.
Hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (2012:221) bahwa patologi dalam birokrasi
bersumber pada lima masalah pokok dan dari kelima penyebab patologi kinerja aparatur
pemerintah tersebut, empat diantaranya bersumber dari karakter individu dan satu
bersumber dari bagaimana situasi internal organisasi.
Situasi internal organisasi, termasuk organisasi pemerintahan, yaitu dimana
sebuah organisasi mengelola sumber dayanya, termasuk sumber daya manusia.
Pengelolaan sumber daya manusia ditujukan agar mampu menampilkan kinerja yang
produktif sesuai dengan tujuan organisasi. salah satu upaya manajemen adalah dengan
menyusun suatu deskripsi tugas agar individu dalam organisasi memiliki peran yang
jelas. Dengan adanya kejelasan peran maka setiap pegawai akan merasa adanya
tanggungjawab atas ketercapaian hasil pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Robbins (2013:794-798) bahwa salah satu faktor organisasional yang dapat memberikan
dampak terhadap kinerja karyawan atau pegawai adalah tuntutan peran. Menurut
Robbins (2013:794-798), tuntutan peran adalah suatu keadaan di mana tugas yang harus
dilakukan oleh karyawan tidak sesuai dengan jabatan yang didudukinya. Penjelasan ini
mengindikasikan bahwa kejelasan peran pegawai sepenuhnya sangat tergantung pada
bagaimana organisasi mendeskripsikan, mendistribusikan dan memberikan umpan balik
atas tugas yang diberikan kepada para pegawai.
Artinya, ketika organisasi tidak mampu mendeskripsikan, mendistribusikan dan
memberikan umpan balik atas tugas yang diberikan kepada para pegawai dengan baik
kepada para pegawai, atau sebaliknya jika pegawai tidak dapat memahami deskripsi,
tujuan yang harus dicapai dan tidak mampu menerima umpan balik atas hasil kerja
maka salah satu dampak yang muncul dalam organisasi adalah ketegangan atau stres
kerja. Shervani (dalam Rahardjo, 2011: 81) menyatakan bahwa ketika para pekerja
kurang memiliki kejelasan peran, mereka cenderung mengalami ketegangan kerja atau
stres kerja.
Tinjauan Pustaka
Kinerja Pegawai
Moeheriono (2010:61) menjelasakn bahwa kinerja (performance) merupakan
suatu tindakan proses atau cara bertindak atau melakukan fungsi organisasi. Selanjutnya
Moeheriono juga menyatakan bahwa kinerja berasal dari kata “to perform” dengan
beberapa entries, yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry of a
execute), (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to
discharge of fulfill; as vow, (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggungjawab
(to execute or complete an understaking), (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh
seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine). Berkenaan dengan
sebuah organisasi, Uha (2013:211) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja
perseorangan dalam sebuah organisasi.
Secara umum, Uha (2013:211-212) menyimpulkan bahwa kinerja adalah hasil
kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai
dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan
organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
moral dan etika. Saputri (2016:5) menyatakan kinerja adalah hasil kerja baik secara
kualitas maupun kuantitas yang telah dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada pegawai dalam periode waktu
tertentu.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja atau performance
merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan
dan tugas tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan atau kinerja sumber daya manusia
adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang
dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Untuk itu, perlu adanya manajemen
kinerja guna menjamin mutu kinerja pegawai atau karyawan dalam mendukung kinerja
organisasi.
Selanjutnya, Uha (2013:214) menyebutkan bahwa terdapat faktor internal dan
eksternal terhadap hasil pekerjaan atau kinerja pegawai dalam sebuah organisasi. Faktor
internal terdiri atas kecerdasan, keterampilan, kestabilan emosi, motivasi, persepsi
peran, kondisi keluarga, kondisi fisik seseorang dan karakteristik sekelompok kerja serta
lainnya. Adapun pengaruh eksternal terdiri atas peraturan ketanagakerjaan, keinginan
pelanggan, pesaing, nilai-nilai sosial, serikat buruh, kondisi ekonomi, perubahan lokasi
kerja dan kondisi pasar. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap
orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya
dalam perusahaan (Prestyo, 2013:5).
Hasibuan (2007: 94) menyatakan bahwa kinerja merupakan gabungan tiga faktor
penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas
penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi pekerja. Apabila kinerja tiap
individu atau karyawan baik, maka diharapkan kinerja perusahaan akan baik pula.
Julvia (2016:60) juga menyebutkan kinerja karyawan yang baik selalu memberikan
kontribusi positif. Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan
tugas serta kemampuan untuk mencapai tugas yang ditetapkan (Yasa, 2017:41-42)
Dari beberapa faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua aspek
umum yang menjadi faktor yang mempenagruhi kinerja pegawai yaitu faktor internal
antara lain: kemampuan intelektualitas, disiplin kerja, kepuasan kerja dan motivasi
karyawan dan faktor eksternal meliputi gaya kepemimpinan, lingkungan kerja,
kompensasi dan sistem manajemen yang terdapat di perusahaan tersebut.
Untuk dapat menentukan tingkatan kinerja seorang pegawai dalam organisasi,
khususnya organisasi pemerintahan, dapat digunakan 5 indikator yang diungkapkan
oleh Uha (2013:244) yaitu:
a. Pelayanan
Indikator pelayanan menunjukkan seberapa besar pelayanan yang diberikan
kepada pengguna produk organisasi.
b. Ekonomis
Indikator ini menunjukkan apakah biaya yang digunakan lebih murah daripada
yang direncanakan. Ekonomis adalah sejauh mana organisasi sektor publik dapat
meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari
pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Indikator ekonomis merupakan
indikator tentang penggunaan input. pertanyaan yang diajukan adalah “apakah
organisasi telah mengeluarkan biaya secara ekonomis?”.
c. Efisiensi,
Efisiensi menunjukkan perbandingan hasil yang dicapai dengan pengeluaran.
d. Efektivitas
Prinsip efektivitas menunjukkan hasil yang seharusnya dengan hasil yang
dicapai. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, dimana efektivitas
diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output, kebijakan, dan prosedur organisasi
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara sederhana efektivitas merupakan
perbandingan outcome dengan output. Efektivitas menunjukkan kesuksesan atau
kegagalan dalam pencapaian tujuan. Ukuran efektivitas merupakan refleksi output.
e. Equity
Prinsip equity menunjukkan tingkat keadilan potensial dan kebijakan yang
dihasilkan. Perasaan adil atau tidak adil diperoleh dengan cara membandingkan apa
yang diperoleh dirinya dengan orang lain yang memiliki situasi pekerjaan yang
setara.
Kejelasan Peran
Robbins dan Judge (2013: 277) menjelaskan bahwa peran adalah seperangkat pola
perilaku yang dikaitkan dengan seseorang yang menempati posisi tertentu dalam
masyarakat atau kelompok tertentu. Peran akan dapat dilaksanakan dengan baik jika
masing-masing individu dapat memilih satu peran dan memainkannya secara teratur dan
Stres Kerja
Menurut Sasono (2004:47), stres kerja bisa dipahami sebagai keadaan dimana
seseorang menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak bisa atau belum bisa dijangkau
oleh kemampuannya. Suwatno & Priansa (2016: 255), selanjutnya menjelaskan bahwa
stres kerja adalah suatu kondisi dimana terdapat satu atau beberapa faktor di tempat
kerja yang berinterkasi dengan pekerja sehingga mengganggu kondisi fisiologis dan
perilaku.
Konsep diatas memberikan makna umum bahwa stres kerja merupakan keadaan
pegawai dalam menghadapi permasalahan, tekanan dan beban pekerjaan yang harus
diselesaikan. Kemampuan seseorang dalam menghadapi stres kerja sangat berbeda satu
dengan lainnya. Kemampuan ini tergantung pada kemampuan respon fisik yang dimiliki
individu.Oktavia (2015:3) berpendapat bahwa stres kerja merupakan seseorang yang
mengalami kondisi ketegangan sehingga mempengaruhi emosi, proses berpikir dan
kondisi seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal.
Andre memiliki pendapat yang berbeda tentang stres kerja. Andre (2008:112)
berpendapat bahwa stres kerja adalah respon fisik dan emosional berbahaya yang terjadi
ketika persyaratan pekerjaan tidak sesuai kemampuan pekerja, sumber daya, atau
kebutuhan. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa stres kerja adalah suatu masalah umum
dan mahal di tempat kerja, yang menyentuh pekerja. Hampir sama dengan pendapat
Andre & Luthans (2011:181) berpendapat bahwa bahwa stres kerja didefinisikan
sebagai sebuah respon adaptif (tanggapan penyesuaian) dimediasi oleh perbedaan
individu dan atau proses psikologi, sebagai akibat dari aksi lingkungan, situasi atau
peristiwa yang menyebabkan tuntutan fisik dan atau psikologi secara berlebihan
terhadap seseorang.
Konsep yang dikemukakan oleh Andre & Luthan adalah konsep stres kerja
ditinjau dari kemampuan individu dalam mengahadapi tekanan dalam pekerjaan.
Kemampuan tersebut dalam bentuk respon fisik dan respon adaptif. Robbins & Judge
(2013: 601) membagi tiga jenis konsekuensi yang ditimbulkan oleh stres kerja:
a. Gejala fisiologis
Stres kerja dapat menciptakan penyakit-penyakit dalam tubuh yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah, sakit kepala, jantung berdebar, bahkan hingga
sakit jantung.
b. Gejala psikologis
Gejala yang ditunjukkan adalah ketegangan, kecemasan, mudah marah,
kebosanan, suka menunda dan lain sebagainya. Keadaan stres seperti ini dapat
memacu ketidakpuasan.
c. Gejala perilaku
Stres kerja yang dikaitkan dengan perilaku dapat mencakup dalam perubahan
dalam produktivitas, absensi, dan tingkat keluarnya karyawan. Dampak lain yang
ditimbulkan adalah perubahan dalam kebiasaan sehari-hari seperti makan, konsumsi
alkohol, gangguan tidur dan lainnya
kerja yang muncul. Tahapan kemampuan individu dalam menghadapi stres kerja
bedasarkan konsep yang dikemukakan oleh Gaol yaitu (1) kecemasan, (2) perlawanan
dan (3) kelelahan.
Karakteristik Individu
Karakteristik individu merupakan karakter seorang individu yang mempunyai
sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Rahman (2013:77), karakteristik individu
adalah ciri khas yang menunjukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif,
kemampuan untuk tetap tegar menghadapi tugas sampai tuntas atau memecahkan
masalah atau bagaimana menyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan
yang mempengaruhi kinerja individu. Handayati (2016:132) menyatakan karakteristik
individu adalah perbedaan individu dengan individu lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa faktor individu atau
individual characteristics (karakteristik individu) adalah karakter seorang individu atau
ciri-ciri seseorang yang menggambarkan keadaan individu tersebut yang sebenarnya
dan membedakannya dari individu yang lain.
Karakteristik individu mencakup sejumlah sifat dasar yang melekat pada
individu tertentu. Menurut Rahman (2013:77), karakteristik individu mencakup sifat-
sifat berupa kemampuan dan keterampilan; latar belakang keluarga, sosial, dan
pengalaman, umur, bangsa, jenis kelamin dan lainnya yang mencerminkan sifat
demografis tertentu; serta karakteristik psikologis yang terdiri dari persepsi, sikap,
kepribadian, belajar, dan motivasi. Lanjutnya, cakupan sifat-sifat tersebut membentuk
suatu nuansa budaya tertentu yang menandai ciri dasar bagi suatu organisasi tertentu
pula.
Berdasarkan semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek
karakteristik individu meliputi:
a. Kepribadian
Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007:74), kepribadian seseorang ialah
seperangkat karakteristik yang relatif mantap, kecenderungan dan perangai yang
sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan oleh faktor-faktor sosial,
kebudayaan, dan lingkungan. Menurut Gibson (2001:70), kepribadian ialah pola
perilaku dan proses mental yang unik, yang mencirikan seseorang. Dari beberapa ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa, kepribadian adalah seperangkat karakteristik yang
relatif mantap, kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor
keturunan dan oleh faktor-faktor sosial, kebudayaan, dan lingkungan.
b. Persepsi
Menurut Thoha (2012:141-142), persepsi pada hakikatnya adalah proses
kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang
lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan
penciuman. Menurut Robbins (2013:175), persepsi adalah sebuah proses dimana
individu mengatur dan menginterpretasikan kesan sensori mereka guna memberikan
arti bagi lingkungan mereka. Menurut Gibson (2001:56), persepsi adalah proses
kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia
sekitarnya. persepsi mencakup kognisi (pengetahuan). Persepsi mencakup penafsiran
obyek, tanda, dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu
pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau menginterpretasikan terhadap apa yang
dilihat, didengar, atau dirasakan oleh indra yang dapat mempengaruhi tingkah laku
dan pembentukan sikap, pendapat individu tersebut.
c. Kemampuan
Menurut Gibson (2001:54), kemampuan adalah sifat yang dibawa lahir atau
dipelajari yang memungkinkan seseorang menyelesaikan pekerjaannya. Selanjutnya
Sofyandi dan Garniwa, Menurut Wahjono (2010:56-58), seluruh kemampuan
seorang individu pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat factor: (1) kemampuan
intelektual yaitu, kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas
mental berpikir, menalar, dan memecahkan masalah. Tujuan dimensi yang paling
sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung,
pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif,
visualisasi ruang, dan ingatan (memori) dan (2) kemampuan fisik, yaitu kemampuan
melakukan tugas yang menuntut stamina (daya tahan), ketangkasan fisik, dan
kekuatan.
d. Kebutuhan
Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertanganan
yang dialami antara suatu kenyataan dengan dorongan yang ada didalam diri. Setiap
pekerjaan pasti memiliki motiv tertentu, salah satunya adalah terpenuhinya
kebutuhan individu. Apabila kebutuhannya terpenuhi maka individu tersebut akan
menunjukkan kinerja yang baik sebagai manifestasi rasa puasnya, dan begitu pula
sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan adalah hasrat atau keinginan
manusia untuk memiliki dan menikmati kegunaan barang atau jasa yang dapat
memberikan kepuasan bagi jasmani dan rohani demi kelangsungan hidup.
e. Kepercayaan
Menurut Robbins (2013:136), tim yang berkinerja tinggi dicirikan dengan
adanya kepercayaan yang tinggi antar sesama anggota yakni, para anggota percaya
akan integritas, karakter dan kemampuan satu sama lain.
f. Pengalaman kerja
Menurut Rofi (2012:5-6) bahwa pengalaman kerja adalah sesuatu atau
kemampuan yang dimiliki oleh para karyawan dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman
kerja adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu baik dari pendidikan formal
atau non formal yang dapat mempengaruhinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa
pengalaman kerja merupakan suatu bagian yang penting dalam proses
pengembangan keahlian seseorang, tetapi hal tersebut juga tergantung pada
pendidikan serta latihan. Melalui pengalaman kerja tersebut seseorang secara sadar
atau tidak sadar belajar, sehingga akhirnya dia akan memiliki kecakapan teknis, serta
keterampilan dalam menghadapi pekerjaan. Selain itu dengan pengalaman dan
latihan kerja yang dilakukan oleh karyawan, maka karyawan akan lebih mudah
dalam menyelesaikan setiap pekerjaan yang dibebankan.
Berdasarkan konsep-konsep ini maka dapat disusun kerangka analisis penelitian
seperti gambar berikut:
Gambar 1.
Kerangka Analisis Pengaruh Kejelasan Peran, Budaya Organisasi, dan Karakteristik
Individu terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Kementerian Agama Kota
Lubuklinggau
Pengembangan Hipotesis
Pengaruh Kejelasan Peran terhadap Kinerja Pegawai
Robbins (2013:277) bahwa salah satu faktor organisasional yang dapat
memberikan dampak terhadap kinerja karyawan atau pegawai adalah tuntutan peran.
Tuntutan peran ini dapat berupa kelebihan peran atau terjadinya ambiguitas peran.
Kelebihan peran dapat terjadi apabila karyawan dituntut untuk melakukan lebih
daripada tanggung jawabnya. Sedangkan ambiguitas peran dapat terjadi apabila tugas
dan tanggung jawab yang diberikan tidak jelas serta karyawan tidak dapat mengerti
dengan pasti tentang apa yang harus dikerjakan. Khoirina (2013:52) menyatakan
kejelasan peran dapat memperkuat kinerja pegawai sehingga sesuai dengan tujuan dan
sasaran dalam menyelesaikan pekerjaan. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa
kejelasan peran pegawai sepenuhnya sangat tergantung pada bagaimana organisasi
mendeskripsikan, mendistribusikan dan memberikan umpan balik atas tugas yang
diberikan kepada para pegawai.
Ha1: Kejelasan peran berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja
pegawai.
adalah untuk merangsang sehat yang mendorong para karyawan untuk menanggapi
tantangan pekerjaan (Noviansyah & Zunaida, 2011:46). Nur, IL.et al (2016: 5) juga
menyatakan bahwa stres sering diartikan sebagai kondisi tegang yang tidak
menyenangkan, kaena seseorang secara subjektif merasa ada sesuatu yang
membebaninya.
Siagian (1989:305) mengemukakan bahwa stres yang tidak teratasi dapat
berakibat pada apa yang dikenal dengan “Burnout”, suatu kondisi mental dan emosional
serta kelelahan fisik karena stres yang berlanjut dan tidak teratasi. Jika hal ini terjadi,
dampaknya terhadap prestasi kerja akan bersifat negatif.
Ha2: Stres Kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja
pegawai.
minat, inteligensi, pendidikan, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan dan kedua
adalah faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antara
tenaga kerja dengan atasan maupun sesama pegawai.
Dari penjelasan As’ad dapat diambil suatu simpulan bahwa faktor psikologis juga
merupakan factor karakter individu. Hal ini juga berhubungan dengan stress kerja
pegawai. Kondisi psikologis pegawai akan sangat menentukan kemampuan individu
untuk mengatasi tekanan kerja (stress kerja yang muncul). Semakin mampu pegawai
mengatasi stress kerja, akan membuat kinerja mereka semakin baik.
Umar (dalam Noviansyah & Zunaidah, 2011:46) berpendapat bahwa terdapat
hubungan langsung antara stres kerja dan kinerja karyawan, sejumlah besar penelitian
telah menyelidiki pengaruh stres kerja dengan kinerja disajikan dalam model stres –
kinerja (hubungan U terbalik) yakni hukum Yerkes Podson (Mas’ud dalam Noviansyah
& Zunaidah, 2011:46). Pola U terbalik tesebut menunjukkan pengaruh tingkat stres
(rendah – tinggi) dan kinerja (rendah – tinggi). Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga
tidak ada dan kinerja cenderung menurun.
Ha4: Kejelasan peran, stress kerja dan karakteristik individu
berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja pegawai.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei. Analisis regresi linear berganda
digunakan menganalisis pengaruh variabel bebas (independen) terhadap variabel terikat
(dependen).
Dengan melihat hasil hitung pada Tabel 5 dapat disusun persamaan regresi linear
berganda berikut:Y = 0,666X1 - 0,151 + + e. Dari hasil persamaan ini dapat
dijelaskan bahwa koefisien regresi variable kejelasan peran ( ) sebesar 0,666
menunjukkan kejelasan peran berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai, artinya
semakin jelas pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau memahami
perannya akan semakin meningkatkan kinerja mereka. Selanjutnya, koefisien regresi
variable stress kerja ( ) sebesar -0,151 menunjukkan stress kerja berpengaruh negative
terhadap kinerja pegawai. Artinya semakin tinggi stress kerja yang dialami oleh
pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau akan semakin menurunkan
kinerja mereka. Kemudian diketahui koefisien regresi variable karakteristik individu
( ) sebesar 0,307 menunjukkan karakteristik individu berpengaruh positif terhadap
kinerja pegawai. Hal ini memberikan makna bahwa semakin baik karakteristik pegawai
Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau akan semakin meningkatkan kinerja
mereka. Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa variable kejelasan peran merupakan
variable yang paling dominan dalam memberikan pengaruh terhadap kinerja pegawai
Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau.
Berikut adalah hasil hitung uji koefisien determinasi untuk mengetahui besaran
pengaruh variabel-variabel beas terhadap variabel terikat:
Tabel 6: Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Mod R R Adjusted Std. Error Change Statistics
el Squar R Square of the R F Change df1 df2 Sig. F
e Estimate Square Change
Change
a
1 .739 .547 .529 .29086 .547 31.341 3 78 .000
a. Predictors: (Constant), Karakteristik Individu, Kejelasan Peran, stres Kerja
b. Dependent Variable: Kinerja
Sumber: hasil kuesioner, data diolah 2017.
Dari analisis juga diperoleh nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,739,
artinya hubungan kompetensi, kompensasi dan etos kerja dengan kinerja pegawai sangat
2
erat. Sedangkan nilai Adjusted determinasi (Adjusted R ) = 0,529 artinya bahwa variasi
peningkatan atau penurunan kinerja Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota
Lubuklinggau sebesar 0,529 dapat dijelaskan oleh kejelasan peran, stres kerja dan
karakteristik individu dan sementara sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
Untuk mengetahui pengaruh simultan variabel kejelasan peran, stress kerja dan
karakteristik individu terhadap kinerja pegawai digunakan uji F dengan hasil berikut:
.5 .0 .4
Kejelasa .06 8.3 .66
3 .666 0 0
n Peran 4 06 1
3 0 5
- -
- .0
stres .1 .07 .2 .02
-.151 1.6 9
Kerja 1 1 5 2
73 8
8 9
Karakteri .3 .0 .1
.10 3.4 .57
stik 6 .307 0 5
5 64 4
Individu 4 1 5
a. Dependent Variable: Kinerja
Hasil analisis regresi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa variabel kejelasan peran
memiliki nilai t hitung sebesar 8,306 dengan p-value sebesar 0,000. Jika dibandingkan
dengan nilai Alpha sebesar 0,05 maka p-value 0,000 < nilai Alpha 0,05. Hasil ini
memberikan simpulan bahwa variabel kejelasan peran berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau.
Dari hasil analisis data dengan regresi ditemukan variabel stress kerja memiliki nilai t
hitung sebesar -1,673 dengan p-value sebesar 0,098. Jika dibandingkan dengan nilai
Alpha 0,05 maka p-value 0,098 > nilai Alpha 0,05. Hal ini memberikan simpulan bahwa
stress kerja berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kinerja pegawai Kantor
Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Selanjutnya hasil analisis data dengan regresi
menunjukkan variabel karakteristik individu memiliki nilai t hitung sebesar 3,464
dengan p-value sebesar 0,001. Jika dibandingkan dengan nilai Alpha sebesar 0,05 maka
p-vakue < nilai Alpha 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa karakteristik individu
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai Kantor Kementerian
Agama Kota Lubuklinggau.
Implikasi Strategis
Kejelasan peran memberikan pengaruh dan signifikan terhadap kinerja pegawai
pada Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Hal ini bersesuaian dengan
tanggapan responden yang secara umum menyatakan bahwa pegawai pada Kantor
Kementerian Agama Kota Lubuklinggau dengan jelas memahami peranan mereka
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hasil ini berimplikasi pada organisasi dalam
beberapa hal yaitu:
a. Job design atau rancangan kerja. Job design yang baik adalah menyertakan deskripsi
yang detil dan jelas sehingga mudah dipahami oleh pegawai.
b. Prosedur kerja. Prosedur kerja yang baik adalah prosedur yang disusun secara
bersama-sama dengan semua pegawai sehingga prosedur kerja sesuai dengan
masing-masing bidang. Prosedur kerja juga dibuat secara tertulis dan disahkan secara
resmi oleh kepala atau pimpinan dan disosialisasikan kepada semua pegawai.
c. Tujuan umum organisasi. Tujuan umum organisasi yang baik adalah tujuan yang
dapat dijadikan acuan tujuan-tujuan kerja yang ditetapkan pada masing-masing
bidang. Selain itu, tujuan juga harus dapat diukur ketercapaiannya dan dapat
dijadikan tolok ukur penetapan tujuan berikutnya.
Kemampuan pegawai untuk memahami peran yang harus dijalankan sesuai
dengan tugas dan fungsi sebenarnya dapat menekan munculnya masalah dalam
pekerjaan dan secara tidak langsung juga dapat menekan sumber-sumber timbulnya
stres kerja pegawai. Meskipun stres kerja dalam penelitian ini tidak memberikan
pengaruh dan tidak signifikan terhadap kinerja pegawai pada Kantor Kementerian
Agama Kota Lubuklinggau, beberapa implikasi berkaitan dengan hasil penelitian ini
perlu menjadi perhatian pemegang kebijakan pada Kantor Kementerian Agama Kota
Lubuklinggau, yaitu:
a. Kecemasan yang muncul akibat adanya tekanan dalam pekerjaan dapat dikurangi
dengan adanya fasilitasi pimpinan dalam pemecahan masalah yang muncul dalam
pekerjaan sehingga terciptanya rasa aman dan nyaman pegawai dalam melaksanakan
tugas.
b. Pimpinan dalam organisasi memberikan bantuan kepada pegawai dalam menekan
munculnya penyebab-penyebab stres kerja karena salah satu sumber stres kerja
adalah lingkungan organisasi itu sendiri.
c. Pimpinan mengupayakan agar stres kerja tidak berlarut lama yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pegawai. Jika hal ini terjadi maka organisasi juga
yang akan merasakan dampak karena pegawai tidak akan produktif sesuai dengan
tuntutan organisasi.
Meskipun organisasi sudah berusaha membantu pegawai mengatasi stres yang
muncul dengan manajemen stres kerja yang baik, tetap saja semua kembali kepada
masing-masing individu atau tergantung pada bagaimana karakteristik indivdu dari
masing-masing pegawai. Artinya karakteristik individu sangat menentukan kemampuan
pegawai dalam memahami peran dan menekan stres kerja yang muncul.
Karakteristik individu juga menjadi salah satu aspek atau variabel yang diteliti dan
hasilnya adalah karakteristik indvidu berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Implikasi hasil
penelitian berkaitan dengan pengaruh indivisu terhadap kinerja pegawai yaitu:
a. Meskipun kepribadian pegawai adalah ciri khas yang dibawa oleh pegawai tetapi
pada prinsipnya secara perlahan kepribadian dapat dibentuk dan diarahkan guna
pencapaian tujuan organisasi sehingga perlu adanya upaya mendidik dari pimpinan
kepada para pegawai ketika memberikan tugas-tugas kepada pegawai.
b. Persepsi yang muncul dalam diri pegawai salah satunya dibentuk dari bagaimana
organisasi memperlakukan pegawai sehingga pimpinan organisasi perlu menjaga
hubungan baik dengan pegawai karena dampak dari persepsi yang salah juga
membentuk sikap yang salah dari pegawai.
c. Kemampuan sebagai salah satu unsur pembentuk karakteristik pegawai dalam
melaksanakan pekerjaan harus terus ditingkatkan karena semakin baik kemampuan
pegawai berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Strategi yang dapat
dilakukan untuk menigkatkan kemampuan pegawai adalah dengan melibatkan
pegawai dalam pekerjaan atau tugas yang selalu menantang dan berbeda karena hal
ini akan memperkaya pengalaman kerja pegawai.
Penutup
Kesimpulan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kejelasan peran, stres
kerja dan karakteristik individu terhadap kinerja pegawai pada Kantor Kementerian
Agama Kota Lubuklinggau, baik secara parsial maupun secara simultan. Berdasarkan
pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan pada bagian sebelumnya
dapat disusun simpulan penelitian sebagai berikut:
a. Kejelasan peran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada
Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Artinya semakin baik pegawai
memahami peran yang harus dilaksanakan, secara signifikan meningkatkan kinerja
pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau.
b. Stress kerja berpengaruh negatif atau tidak baik tetapi tidak signifikan terhadap
kinerja pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Artinya jika stress
kerja meningkat akan menurunkan kinerja pegawai, tetapi penurunan kinerja
pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau tidak signifikan.
c. Karakteristik individu berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai
Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau. Artinya, semakin baik karakteristik
inidividu pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau akan secara
signifikan meningkatkan kinerja pegawai Kantor Kementerian Agama Kota
Lubuklinggau.
d. Kejelasan peran, stress kerja dan karakteristik individu secara bersamaan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai Kantor Kementerian
Agama Kota Lubuklinggau. Artinya, jika secara bersamaan kejelasan peran, stress
kerja dan karakteristik individu mengalami peningkatan, secara signifikan juga akan
meningkatkan kinerja pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau.
Saran
Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini yaitu:
a. Kepada Pimpinan Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau hendaknya (1)
melakukan rapat atau pertemuan rutin dan berkala dengan pegawai. Dengan rutinitas
pertemuan pimpinan dapat menyampaikan secara detil peran pegawai berkaitan
dengan tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.
Dengan cara berkala pimpinan dapat terus mengevaluasi peningkatan kemampuan
pegawai dalam memahami peran yang harus dijalankan, memberikan umpan balik
atas peningkatan dan kemampuan pemahaman peranan pegawai sangat disarankan,
(2) memberikan pekerjaan yang bersifat menantang atau belum pernah dikerjakan
oleh pegawai. Pada awalnya pekerjaan ini akan memberikan tekanan kepada
pegawai, tetapi jika pimpinan mampu memberikan motivasi, tekanan ini akan
menjadi motivasi dan jangan lupa untuk memberikan reward kepada pegawai yang
mampu mengatasi tantangan tersebut dan (3) sesering mungkin melakukan kegiatan
out bond yang melibatkan semua pegawai. Out bond akan menciptakan rasa
kebersamaan dalam tantangan. Kegiatan konkrit lain untuk membentuk karakter
positif pegawai adalah dengan melakukan simulasi pemecahan masalah yang
melibatkan semua pegawai. Mengundang pakar dapat sangat membantu dalam
kegiatan simulasi tersebut.
b. Bagi Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Lubuklinggau hendaknya (1) dapat
terus meningkatkan kemampuan memahami peranan mereka dalam organisasi sesuai
dengan tugas dan fungsi, (2) memanfaatkan tekanan kerja menjadi sebuah motivasi
dan tantangan guna pencapaian kinerja yang lebih baik dan (3) meningkatkan
kualitas probadi dengan cara menumbuhkan rasa ikhlas dalam bekerja dan (4)
menumbuhkan dan melaksanakan prinsip bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah
pengabdi masyarakat.
c. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian yang
memiliki kesamaan permasalahan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dengan penelitian kualitatif diharapkan akan memberikan jawaban yang lebih detil
Daftar Pustaka
Andre, R. 2008. Organizational Behavior: an introduction to your life in organizations.
New Jersey: Pearson Education.
Ardana. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
As’ad, M, 2008. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Astianto, A. 2014. Pengaruh Stres Kerja dan Beban Kerja terhadap Kinerja Karyawan
PDAM Surabaya. Jurnal Ilmu & Riset Manajemen, 3(7).
beritapns.com/2016/09/inilah-data-hasil-survei-kinerja-pns.html (diakses tanggal 3 Mei
2017).
cnnindonesia.com/ekonomi/20160607150019-78-136426/menteri-pan-rb-kinerja-pns-
makin-buruk-anggaran-naik-terus/(diakses tanggal 2 Mei 2017).
Gaol, BTL. 2016. Teori Stres: Stimulus, Respond an Transaksional. Buletin Psikologi I,
24(1), 1 – 11.
Gibson, D. 2012. Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Edisi Keduabelas. Jakarta:
Erlangga.
Hasibuan, MP. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Handayati, R. 2016. Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Kinerja Karyawan di
Bank Jatim Cabang Lamongan. Jurnal Penelitian Ekonomi dan Akuntansi,
1(2),127-139.
Julvia, C. 2016. Pengaruh Stres Kerja dan Konflik Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, 16(1), 60.
Khoirina, S. 2013. Pengaruh Sistem Pengukuran dan Kejelasan Peran Terhadap Kinerja
Karyawan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 4(2), 52.
Luthans, F. 2011. Perilaku Organisasi: Pendekatan Berbasis Bukti. Jakarta: Rineka
Cipta.
Moeheriono. 2010. Pengkuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Bogor : Ghalia Indonesia.
Munandar, AS. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia
(UIPress).
Noviansyah & Zunaidah, 2011. Pengaruh Stres Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan PT Perkebunan Minanga Ogan Baturaja, 9(18), 46.
Nur, IR. et al. 2016. Pengaruh Konflik Peran, Ambiguitas Peran dan Stres Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Manajemen, 8(1), 5.
Prawirohardjo, H. 2012. Pengaruh Kejelasan Peran, Motivasi Kerja dan Nilai-Nilai
Budaya Organisasi terhadap Efektivitas Pelaksanaan Tugas Karyawan. Efektif
Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 3(1), 47 – 56.
Purnomo, R & Lestari, S. 2010. Pengaruh Kepribadian, Self-Efficacy, dan Locus Of
Control terhadap Persepsi Kinerja Usaha Skala Kecil dan Menengah. Jurnal
Bisnis dan Ekonomi, 17(2), 144-160.
Prasetyo, SA. 2013. Pengaruh Pemahaman Konflik dan Stres Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT. Citra Alam Abadi Surabaya. Jurnal Ilmu & Riset
Manajemen, 2 (9),5.
Prawiroharjo, H. 2012. Pengaruh Kejelasan Peran, Motivasi Kerja dan Nilai-Nilai
Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Tugas Karyawan. Efektif
Jurnal Bisnis dan Ekomoni, 3(1), 47-56.