Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH ALIRAN HUKUM FEMINISME DAN EKSISTENSINYA DALAM

MELAWAN STEREOTIP GENDER DI MASYARAKAT

Oleh :
Kelompok 5
1. .
2. .
3. .
4. .
5. .

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MATARAM
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gender merupakan sebuah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Gender juga dapat di maknai sebagai peran dan
perilaku yang terbentuk di masyarakat melalui tahapan sosialisasi yang erat hubungannya dengan
jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Peran gender dibagi menjadi 3 yaitu, peran reproduksi,
peran produktif, dan peran sosial ke masyarakatan. Pengertian kesetaraan gender merujuk kepada
suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.
Gerakan yang memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki disebut Feminisme.
Orang yang melakukan gerakan feminisme disebut sebagai feminis.
Feminisme merupakan sebuah gerakan perempuna yang menuntut emansipasi atau
kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Definisi feminism juga bnayak di kemukakan para ahli,
misalnya Linda Gordon mendefinisikanbahwafeminisemerupakan“an analysis of women’s
subordination for the purpose of figuring out how to change it” (suatu analisis terhadap
subordinasi perempuan untuk tujuan mencari tahu bagaimana mengubahnya). Pada kesempatan
lain Gordon mendefinisikan feminisme sebagai “critique of male supremacy, formed and offered
in the light of a will to change it” (kritik atas supremasi laki-laki yang dirupakan dan di tawarkan
dalam cahaya kehendak untuk merubahnya). Pengertian serupa disampailan oleh Alison Jaggar
yang mendefiniskan feminis sebagai “mereka semua yang mengupayakan, tidak peduli karena
atas dasar apa, untuk mengakhiri subordinasi perempuan. Pada kesempatan lain feminism juga
diartikan sebagai paham atau teori yang menganut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan.
Sementara Feminist Legal Theory dalam Oxford Dictionary of Law diartikansebagai;
“A broad movement that seeks to show how conventional legal theory, far from being gender-
blind, ignores the position and perspective of women. Feminist write examine the inequalities to
be found in the criminal law (especially in rape and domestic violence), family law, contract,
tort, property, and others branches of the substantive law, including aspects of public law”.1

(Gerakan luas yang berusaha menunjukkan bagaimana teori hukum konvensional, jauh
dari buta-gender, mengabaikan posisi dan perspektif perempuan. Kaum feminist menunjukkan
kesenjangan yang dapat ditemukan dalam hukum pidana (terutama dalam pemerkosaan dan
kekerasan dalam rumah tangga), hukum keluarga, kontrak, kesalahan, properti, dan cabang-
cabang lain dari hukum substantif, termasuk aspek hukum publik). Dengan demikian feminist
1
Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, 2006, OxfordDictionary of Law. Oxford Dictionary of Law,
Sixth ed., Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds., Oxford University Press, New York. Hlm. 221
legal theory atau teori hukum feminist adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum
feminis, yaitu suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang memiliki keyakinan
dan atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidak adilan karena jenis kelaminnya dan
karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan meningkatkan otonomi perempuan dan
advokasi hak-hak perempuan.

Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan presepsi terhadap


kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas
pemikiran yang dilakukan secara intiutif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang
kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat, namun stereotip dapat
berupa prasangka positif dan juga negatif dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan
tindakan diskriminatif. Dari hasil penelitian Baron dan Byrne dalam (Riswani, 2015)
menyimpulkan bahwa stereotip gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki, yang memisahkan keduanya. Stereotip gender ini muncul disebabkan
oleh adanya warisan pemahaman dari generasi sebelumnya, pengaruh lingkungan, ataupun
stimulus dan respon yang diterima. Persoalan gender memang muncul di dalam dunia
pendidikan. Stereotip gender kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika
hendak aktif dalam “kegiatan laki- laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label
laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

Bentuk stereotip gender yaitu: (1) kultur yang menomorduakan perempuan. (2) sistem
struktur sekolah kurang memberikan kesempatan bagi perempuan. (3) lemahnya kesetaraan
gender. (4) manajemen rumah tangga belum seimbang, perempuan lebih mengalah. (5)
kesepakatan pasangan yang mengalahkan perempuan (Achmad, 2019).

Menurut teori nurture, adanya peran maskulin dan feminin pada hakikatnya adalah hasil
konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan
tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya
dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan untuk
persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan
dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” yang kemudian dikenal
dengan istilah kesamaan kuantitas (Jasaruddin dalam Nurhaliza, 2020). Maka perlu adanya
penelusuran lebih untuk mengetahui sejarah dan perkembangan feminisme dalam melawan
stereotip gender dalam kehidupan masyarakat dan menghindari adanya pengelompokkan yang
menjeneralisir pemikiran masing-masing orang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah aliran hukum feminisme ?


2. Bagaimana eksistensi hukum feminisme dalam melawan stereotip gender di masyarakat ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Aliran Hukum Feminisme

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan
berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu
dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792
berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam
realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah,
tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik,
dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki
dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali
didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.2
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang
pesat sejak publikasi John Stuart Mill, “Perempuan sebagai Subyek” (The Subjection of Women)
pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada
awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan.Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan
dinomor-duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
politik khususnya (terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki). Dalam masyarakat
tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan
terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke
seluruh dunia. Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum
perempuan memperburuk situasi.Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-praktik dan
kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta
perempuan, dan beberapa jabatan “tua” hanya dapat dijabat oleh pria. Pergerakan di Eropa untuk
“menaikkan derajat kaum perempuan” disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial
dan politik. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul
“Mempertahankan Hak-hak Wanita” (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-
prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan
terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hakhak kaum perempuan mulai diperhatikan
dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup
mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan)
universal (universal sisterhood).
2.2

2
http//id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme, tanggal, 12 mei 2012
Feminis adalah kelompok penggerak dengan pola pemikiran yang berbeda dalam konsep
kesetaraan gender. Pada akhir tahun 1960 hingga tahun 70-an kelompok aliran feminis mulai
memfokuskan perhatiannya di bidang hukum sehingga muncullah aliran feminis yang disebut
Feminist Legal Theory. Meskipun demikian aliran feminis ini dipengaruhi oleh pemikiran
sebelumnya. Hukum menjadi focus perhatian disebabkan hukum adalah alat yang legal untuk
mengesahkan dan menguatkan system patriarki. Hukum dalam suatu negara dipandang tidak
mampu mengakomodir hak-hak perempuan dan hanya menguatkan kedudukan laki-laki.
Teori hukum feminis, juga dikenal sebagai yurisprudensi feminis, adalah pandangan yang
melihat bahwa hukum berperan dalam menekankan subordinasi wanita dan berupaya untuk
mengamendemen posisi dan pendekatan hukum terhadap wanita dan gender.
Istilah yurisprudensi feminis pertama kali didengungkan di akhir tahun 1970an oleh Ann
Scales saat merencanakan Celebration 25, perayaan pada tahun 1978 menandai 25 tahun
semenjak wanita lulus dari Harvard Law School untuk pertama kalinya, dan pertama kali dimuat
pada isu pertama Harvard Women's Law Journal pada tahun yang sama. Teori ini
mengkritisi hukum di Amerika Serikat yang dinilai terlalu patriarkis dan menganggap posisi
wanita dalam masyarakat sebagai lebih rendah berdasarkan asumsi gender yang berdampak pada
putusan yang diambil oleh hakim.
Pada tahun 1984, Martha Fineman mendirikan Feminism and Legal Theory Project di
University of Wisconsin Law School untuk mengkaji hubungan antara teori dan praktik feminis
dengan hukum. Proyek ini berperan penting dalam perkembangan teori hukum feminis.
Berkembangnya teori hukum feminis juga didasari atas keperluan wanita agar bisa mapan secara
finansial. Wanita yang berkarier di bidang hukum juga memanfaatkan gagasan feminisme dan
hukum tersebut dengan tujuan mencapai kebebasan reproduktif, menghentikan diskriminasi
gender dalam hukum dan di tempat kerja, serta mengakhiri pelecehan seksual.
Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan sosial
yang dialami perempuan dalm dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa
tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-
laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen
untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki.
Perkembangan sejarah dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan
berbagai gerakan, pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi pemikiran
feminis legal theory. Gadis Arifia dalam bukunya Filsafat Berperspektif feminis, memetakan
pemikiran feminis dalam tiga gelombang besar yang masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri,
yaitu feminis gelombang pertama dimulai sejak 1800an, yang melahirkan pemikiran-pemikiran
dan aliran-aliran feminis, seperti feminis liberal, feminis radikal, serta feminis marxis dan
sosialis.nKemudian feminis gelombang kedua yang berkembang pada awal-awal tahun 1960an,
yang berorientasi pada kegiatan yang sifatnya teoritis, seperti mempengaruhi pemikiran New
Left (kiri Baru) dan melahirkan paham feminis kulturan atau eksistensialis. Feminis gelombang
ketiga merupakan paham feminis yang kemunculannya mengikuti atau bersinggungan dengan
pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti feminis postmodernisme, poskolonial, multikultur dan
global.
2.2 Eksistennsi Aliran Hukum Feminisme Dalam Melawan Stereotip Gender Dalam
Masyarakat
Adanya pelabelan secara general pada setiap jenis kelamin perempuan. Jenis
kelamin perempuan sudah otomatis menyandang label cengeng, lemah, lembut, gemulai, tidak
logis, lebih menggunakan perasaan, dan sebagainya. Disebabkan ditemukan sifatsifat tersebut
melekat pada beberapa perempuan, maka seluruh perempuan di muka bumi menyandang label
tersebut tanpa terkecuali. Tentu perbuatan mengeneralkan perempuan sangat merugikan
disebebkan tidak setiap perempuan layak menyandang label tersebut. Meskipun pada dasarnya
tidak ada yang salah sari bersifat lembut dan gemulai atau cengeng, tetapi pelabelan ini
mempengaruhi pola pikir dan cara pandang sosial pada perempuan.

Berdasarkan catatan sejarah, perempuan menempuh perjalanan yang panjang untuk


mempertahankan hidup dan eksisitensinya. Perempuan secara berangsur-angsur memperoleh
haknya yang sudah lama terkungkung. Hal hidup, hak memperoleh pendidikan, kesempatan
pengembangan ekomomi, hak kepemilikan harta, hak sebagai warga negara (politik), hak
mengemukakan pendapat, hak di mata hukum dan hak-hak lainnya yang sebelumnya hanya
dimiliki satu jenis kelamin yakni laki-laki. Tetapi perjuangan tersebut tidak mudah, berat dan
membutuhkan waktu yang lama. Setiap hak tersebut tidak datang serta merta dan seluruhnya,
tetapi bertahap. Dalam catatan sejarah, nyatanya perempuan di setiap negara situasinya sama-
sama memprihatinkan. Sebelum adanya gerakan kesetaraan gender, kesadaran perempuan, dan
pada masa jahiliyah, perempuan hampir tidak berhak hidup. Kelahiran perempuan dipandang
sebuah aib bagi keluarga (Al-Hamid, 1992). Perempuan tidak berhak mengecap pendidikan,
tidak berhak mengikuti pemilihan pimpinanan daerah atau negara, tidak dihargai di dunia
perekonomian. Parahnya perempuan dianggap sekedar pemuas seks bagi laki-laki, dapat dibakar
hidup-hidup apabila suami meninggal dunia, diperjual belikan, dipertukarkan bahkan
diperbudakkan (Fadhullah, 2000).

Isu gender yang mulai eksis di Indonesia sebelum krisis moneter melanda Indonesia pada
tahun 1997 M merupakan faktor yang menjadikan kaum perempuan pesisir seakan mendapatkan
momentum untuk lebih banyak berkiprah untuk terjun ranah publik bukan hanya di ruang
domestik saja. Isu gender pada hakikatnya lebih membuat kaum perempuan lebih percaya diri
lagi untuk bersaing dengan kaum lakilaki, selain konsep sibaliparri yang menjadi warisan
masyarakat Mandar yang digaungkan oleh kaum perempuan, gender juga memperjuangkan
persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan (Indrawati et al., 2021). Gender, selain
sebagai perbedaan jenis kelamin juga perbedaan karakter dan kedudukan yang digambarkan serta
dilekatkan pada laki-laki dan perempuan. Bias gender pada berbagai aspek telah membawa
perempuan pada situasi terkungkung tidak selayaknya manusia pada dasarnya. Perbedaan gender
berpengaruh pada hak dan kewajiban perempuan. Ini adalah bentuk kefatalan yang timbul dari
diskriminasi. Pada akhirnya secara bertahap kaum perempuan mulai menyadari bentuk
ketidakadilan yang dialami, mulailah muncul gerakan-gerakan kesetaraan gender. Gerakan
kesetaraan gender disebut feminis. Tiap feminis mengusung teori dan gerakan kesetaraan
berbeda serta tuntutan aspek yang berbeda pula. Tetapi tujuan tetap sama yakni mengangkat
harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang sebenarnya. Adapun berbagai aliran
feminis tersebut adalah:

1. Feminis Liberal Upaya untuk memperoleh hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan
mulai berkembang sejak abad 18. Meskipun gerakan keadilan ini, tepatnya pada abad 18 belum
disebut gerakan kesetaraan gender tetapi nilai yang siusung sama dengan nilai dan harapan kaum
feminis. Kesetaraan gender menurut feminis liberal adalah kesamaan hak dan kesempatan antara
laki-laki dan perempuan baik bidang pendidikan, hak politik, dalam keluarga, sosial, budaya,
ekonomi dan sebagainya. Menurut feminis liberal perempuan dan laki-laki tidak harus selalu
sama, karena pada dasarnya dalam beberapa hal memang berbeda terlebih biologis. Tetapi
mereka menilai perbedaan itu bukanlah pembenaran untuk mendiskriminasi perempuan. Mereka
juga mendukung kerjasama antara laki-laki dan perempuan untuk kesejahteraan bersama. Aliran
feminis ini dinilai sebagai gerekan kesetaraan paling moderat (Umar, 1999).

2. Feminis Radikal Feminis radikal muncul pada tahun 1960 an dengan menusung gerakan
kesetaraan ekstrim jauh dari citra feminis liberal yang mendukung kerjasama laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan tantangan pada zamannya di mana perempuan selalu menjadi korban
tindak kekerasan seksual, fisik, dan mental secara berkelanjutan dalam kelaurga, budaya dan
sosial merambah pada aspek lainnya. Kerasnya tantangan yang dihadapi perempuan saat ini
memunculkan gerakan radikal di mana laki-laki dipandang sebagai musuh perempuan. Teori
keseataraan gender dalam gerakannya adalah perempuan untuk memperoleh kembali haknya
sebagai manusia seutuhnya harus menjauh dari laki-laki, meningkatkan kualitas diri, tidak
menikah dengan laki-laki, tidak melahirkan dan mengecam Kerjasama antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan harus mampu bersaing dengan laki-laki dalam segala bidang dan bahkan
harus mengalahkan laki-laki.

3. Feminis Marxis Teori feminis Marxis diambil dari teori Karl Marx tentang status kepemilikan.
Menurut Karl Marx yang disebut dengan marxis, kepemilikan pribadi secara sepihak dapat
merugikan orang lain, terlebih dalam ranah keluarga. Pada kalangan feminis Marxis memandang
bahwa situasi di mana laki-laki sebagaimana yang berlaku di Indonesia menurut hukum keluarga
dan budaya memposisikan wanita atau istri sebagai ibu rumah tangga. Posisi di mana istri hanya
bertindak sebagai ibu rumah tangga dimana bertugas mengurus segala kepentingan rumahtangga
tanpa berkarir, maka wanita dianggap tidak bekerja atau tidak menghasilkan sesuatu yang
penting. Menarik pada pemikiran feminis Marxis berpandangan bahwa budaya kapitalis melihat
hasil hanya dari materi maka akan merugikan perempuan (Faqih, 1996).

4. Feminis Muslim dan Kesetaraan Gender Dalam Islam sendiri sudah ada gerakan bernilai
kesetaraan gender yang dilakukan Rasullah berdasarkan dalil ayat Al-Quran. Sebelumnya di
masa Arab Jahiliyah dan seluruh dunia laki-laki bebas menikah tanpa batas istri, bebas
menceraikan istri, perempuan sebagai pemuas sex, terjadi pembunuhan bayi perempuan,
perempuan lebih rendah dari budak lakilaki, perempuan tidak berhak atas warisan. Kemudian
setelah kehadiran Islam, oleh Rasulullah semua hal itu dihapus. Secara bertahap perempuan
dihargai dan diayomi. Perempuan memiliki hak menentukan siapa suaminya, perempuan berhak
menolak calon, perempuan berhak atas nafkah bahkan setelah bercerai, perempuan berhak
mengajukan cerai, perempuan bebas menjalani kehidupan bahkan di masa Rasulullah perempuan
memiliki hak dalam bidang sosial, ekonomi, dan hukum secara setara berdasarkan keseimbangan
relasi (Faris, 2014).

4. Feminis Muslim dan Kesetaraan Gender Dalam Islam sendiri sudah ada gerakan bernilai
kesetaraan gender yang dilakukan Rasullah berdasarkan dalil ayat Al-Quran. Sebelumnya di
masa Arab Jahiliyah dan seluruh dunia laki-laki bebas menikah tanpa batas istri, bebas
menceraikan istri, perempuan sebagai pemuas sex, terjadi pembunuhan bayi perempuan,
perempuan lebih rendah dari budak lakilaki, perempuan tidak berhak atas warisan. Kemudian
setelah kehadiran Islam, oleh Rasulullah semua hal itu dihapus. Secara bertahap perempuan
dihargai dan diayomi. Perempuan memiliki hak menentukan siapa suaminya, perempuan berhak
menolak calon, perempuan berhak atas nafkah bahkan setelah bercerai, perempuan berhak
mengajukan cerai, perempuan bebas menjalani kehidupan bahkan di masa Rasulullah perempuan
memiliki hak dalam bidang sosial, ekonomi, dan hukum secara setara berdasarkan keseimbangan
relasi (Faris, 2014). Konsep kesetaraan gender dalam Islam adalah relasi dan kerjasama, yaitu
antara laki-laki dan perempuan dua manusia yang tidak dapat saling melepas diri saling
membutuhkan dalam segi aspek apapun. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut dijadikan alasan untuk saling melengkapi dan
terbangunnya relasi yang baik antara laki-laki dan perempuan (Umar, 1999). Umar (1999)
mengemukakan kesetaraan gender dalam kandungan ayat al-Quran berikut: (1) Laki-laki maupun
perempuan adalah seorang hamba yang derajat ketaqwaan tidak didasarkan pada jenis kelamin
(Qs. al-Zariyat ayat 56 dan QS. AlHujurat ayat 13); (2) Khalifah di muka bumi tidak hanya
ditujuan pada laki tetapi juga perempuan (Qs. Al-An’am ayat 165); (3) Laki-laki dan perempuan
menerima perjanjian primordinal Qs. Al-A’Raf ayat 172); (4) Laki-laki dan perempuan memiliki
peran yang sama dalam kisah kosmis penciptaan manusia hingga turunnya adam dan hawa ke
bumi. Pada setiap ayat menuturkan “huma” atau dua orang, bukan seorang saja; (5) Baik laki-
laki maupun perempuan berpotensi dalam meraih prestasi yang sama berdasarkan usahanya
masing-masing (Qs.Al-Imran ayat 195. Qs. An-Nisa ayat 124, Qs. An-Nahl ayat 97, Qs. Ghafir
ayat 40). Selanjutan di kahidupan modern muncullah feminis muslim mengusung kesetaraan
gender berdasarkan masanya, berdasakan zamannya. Beberapa di antaranya adalah Qasim Amin
(Mesir), Amina Wadud (Malaysia), Fatimah Mernissi, dan masih banyak lainnya.

Feminis Jurisprudence muncul pada akhir tahun 1960 mengikuti pergerakan kaum feminis
Amerika. Kemunculan feminis jurispruden merefleksikan ketertarikan feminis di bidang hukum.
Hal ini disebabkan teori-teori hukum, system hukum, dan pemberlakuan hukum dalam suatu
negara tidak berwawasan perempuan. Sehingga tidak ada hukum yang membicarakan hak
perempuan. Hukum adalah aspek negara yang harus lebih diperhatikan terlebih
menghubungkannya dengan teori kesetaraan gender. Hukum diakui sebagai alat yang sangat kuat
sebagai ketentuan yang legal. Dengan kaidah hukum atau hukum bersifat maskulin, patriarki,
tidak berwawasan gender tentu akan menempatkan perempuan pada posisi terbelakang tidak
berkembang. Terlebih legalitas hukum yang tidak mengcover hak perempuan merugikan secara
langsung dan parahnya berkekuatan hukum merendahkan kaum perempuan (Weisberg, 1993).

Weisberg kemudian mengemukakan beberapa teori Feminist Legal Theory yang dipengaruhi
aliran feminis sebelumnya: (1) Menurut Feminist Legal Theory negara, hukum, dan masyarakat
berperan penting dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender atau malah sebaliknya.
(2).Penganut aliran feminis yang notabene adalah perempuan merasa tidak terlindungi dengan
system hukum yang diberlakukan, karena kerapkali terjadi perubahan struktur hukum maupun
struktur sosial di dalam suatu komunitas global ataupun hubungan antara teori dan praktek yang
terjadi, yang dielaborasikan dalam suatu kasus tertentu denagn efek tertentu; (3) Kelompok FLT
berasumsi bahwa hukum adalah produk idiologi tertentu, yakni idiologi yang dianut kaum laki-
laki. Sehingga hukum yang lahir seksis, bias gender. Hukum adalah cerminan laki-laki, hukum
adalah untuk mempertahankan sifat maskulin laki-laki. Meskipun tujuan Feminis aliran ini
adalah guna memperkukuh kedudukan perempuan dalam negara, sosial, ekonomi, politik, dan
lain sebagainya melalui hukum, tetapi kelompok ini menentang adanya hukum khusus
perempuan, di mana hukum memperlakukan perempuan secara khusus. Ketentuan demikian
hanya akan membuat perempuan kembali pada titik rendah bahkan dinilai lemah (Luhulima,
2007). Contoh, ketentuan yang menyebutkan bahwa perempuan harus dilindungi oleh laki-laki.
Menurut aliran ini, seseorang tidak seharusnya dilindungi hanya berdasarkan alasan jenis
kelamin. Tetapi seharusnya dasar sesame kemanusiaan yang artinya laki-laki dan perempuan
samasama saling melindungi. Tetapi metode netralisasi yaitu penyamaan secara rata dalam
hukum juga tidak dibenarkan, yakni menganggap bahwa laki-laki dan perempuan sama
seutuhnya dalam aspek dan perlakuan. Malah demikian hanya akan merugikan perempuan.
Contoh: Dalam tatanan Lembaga, badan usaha, perusahaan, dan apapun sistem kerja setiap jenis
kelamin disamakan, sehingga ibu yang baru melahirkan dipaksa masuk kerja, ibu menyusui tidak
memiliki tempat untuk khusus menyusui.
KESIMPULAN

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang memperjuangkan emansipasi atau


persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria tanpa adanya diskriminasi. Marry
Wallstonecraff dalam bukunya "The Right of Woman" pada tahun 1972 mengartikan Feminisme
merupakan suatu gerakan emansipasi wanita, gerakan dengan lantang menyuarakan tentang
perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Inti dari
Feminisme adalah bagaimana perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-
laki dalam mengembangkan diri. Hal ini bisa diartikan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan
pendidikan. Berikut adalah beberapa alasan betapa pentingnya Feminisme.

Feminisme memiliki akar kefilsafatan setidaknya sejak berkembangan abad pencerahan.


Realitas ketidak-setaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan telah
menjadi titik tolak munculnya berbagai gugatan pemikiran yang bermuara pada tuntutan
terhadap kesetaraan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan latar belakang filsafat,
telah mengkibatkan kajian terhadap feminism berkembang tidak linear. Aliran pemikiran
feminisme misalnya dikaitkan dengan pemikiran liberal, pemikiran radikal, pemikiran post-
kolonial, pemikiran anarkis, pemikiran marxis, pemikiran sosialis, pemikiran muslim dan juga
pemikiran filsafat yang berkembang di Nordic. Pertemuan antara aliran pemikiran tersebut
dengan feminism memberikan warna yang bervariasi terhadap feminism

Hakikat hukum dalam pandangan penganut Feminisme legal theory tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh budaya patriarki, gender, termasuk agama yang secara turun-temurun diyakini sebagai
kebenaran terhadap pemaknaan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini konstruksi
gender. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum l a k i-l a k i ma u p u n p e r emp u a n y a n g
dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2016). Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-
sifat tersebut sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang memiliki sifat emosional, lemah
lembut, dan keibuan dan ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Penerimaan realitas
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam mitos-mitos seperti itu adalah realitas yang terkristal
dan diterima seperti seolah-olah benar oleh masyarakat, padahal sejatinya tidak begitu.

Anda mungkin juga menyukai