TEORI SASTRA
Dr. La Ode Syukur, S.Pd., M.Hum.
OLEH:
A. Teori Feminisme
Feminisme (tokohnya disebut feminis) adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di
Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de
Condercet. Setelah revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis pada 1792
berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-
laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas,
menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan
pendidikan, berpolitik, hak atas milik, dan pekerjaan. Oleh karena itulah,
kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapam hukum. Pada
1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis,
Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini
berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
“perempuan sebagai subjek” (The subjection of women) pada tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.
Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor-duakan oleh kaum
laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik
khususnya (terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki). Dalam
masyarakat tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung
ditempatkan di depan, di laur rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa
dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika
Serikat dan seluruh dunia.
Feminisme mengalami perkembangan yang cukup pesat seiring dengan
munculnya aliran kritis. Pada bagian berikut memaparkan berbagai perkembangan
feminisme dalam berbagai genre pemikiran yang cukup dominan terutama dalam
aliran hukum feminis (feminist law):
1. Feminisme Liberal
Feminisme liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran
ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Feminisme liberal memiliki
pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara
kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme
negara. Pandanga dari kaum feminis liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan
“pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik
seperti membuat kebijakan disebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah
Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan hak serta
saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
2. Feminisme Radikal
Feminis radikal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa
yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang
berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu
didominasi oleh kaum pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang
bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat
didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi.
Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang
memang memiliki kendali atas negara tersebut.
3. Feminisme Post Modern
Ide Posmo (menurut anggapan mereka) ialah ide yang anti absolut dan anti
otoritas, gagalnya modernitas dan pemilihan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial.
4. Feminisme Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem
patriarki –dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera
mungkin harus dihancurkan.
5. Feminis Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsi sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitas
kelas dan cara produksi.
6. Feminisme Sosialis
Sebuah faham yang berpendapat “Tak ada sosialisme tanpa pembebasan
perempuan. Tak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”.
Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikkan.
Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan
pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan
suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
7. Feminisme Postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga
(koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatarbelakang dunia
pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih
berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
8. Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda
dengan pandangan Feminis Marxis maupun radikal. Nordic yang lebih
menganalisis feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yang
bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus
berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial
perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial
negara.
B. Ketimpangan Gender
Konsep Gender
Konsep gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller
(1968) yang menyebut pencirian manusia yang didasarkan pada faktor
sosial budaya, bukan fisik biologis. Menurut United Nation Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO, 2013), gender mengacu
pada peran tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan
keluarga, masyarakat dan budaya. Konsep gender juga mencakup
harapan yang dimiliki tentang karakteristik, bakat dan kemungkinan
perilaku laki-laki dan perempuan. Selain itu, konsep gender tidak terlepas
dari konsep kesetaraan dan keadilan gender. Tujuan dari merekontruksi
konsep gender adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender. Adanya perbedaan gender tentu mengakibatkan ketidakadilan.
Ketidakadilan tersebut bisa disimpulkan dari manifestasi ketidakadilan
tersebut yakni: Marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan
(violence) dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) atau
double burden (Fakih, 2008).
C. Teori Hegemoni
Hegemoni menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mempunyai
arti pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya suatu negara
atas negara lain (atau negara bagian). Artinya hegemoni dapat digunakan untuk
mendiskripsikan sebuah dominasi yang dilakukan oleh suatu pihak kepada pihak
lainnya, bentuk kompleksnya adalah dominasi antar pemerintah di suatu negara.
Dengan menegaskan arti kunci hegemoni dalam dinamika hubungan kekuasaan
sebuah masyarakat, Gramsci menarik perhatian pada sebuah dialektika yang
dalam marxisme klasik maupun oleh lenin tidak mendapat perhatian yang
semestinya, yaitu dialektika antara kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan yang
berdasarkan konsensus.
Hegemoni menurut Gramsci adalah ketertundukan satu pihak ke pihak
lainnya, sehingga kelas yang lebih tinggi dapat mendominasi kelas di bawahnya,
hegemoni dilakukan dengan sadar oleh satu orang ataupun kelompok kepada
kelompok lainnya. Titik awal konsep hegemoninya adalah bahwa suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan
cara kekerasan dan persuasi, hegemoni bukan hubungan dominasi dengan
menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis.
Jenis-jenis Hegemoni
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci, yaitu
hegemoni total, hegemoni yang merosot dan hegemoni yang minimum.
Pertama, hegemoni total (integral). Hegemoni integral ditandai dengan
afiliasi massa yang mendekati totalitas masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan
moral dan intelektualnya yang kokoh. Kedua, hegemoni yang merosot
(decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis
borjuis menghadapi tantangan berat. Ketiga, hegemoni minimum (minimal
hegemony). Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah
dibanding kedua bentuk hegemoni di atas. Situasi seperti inilah yang terjadi di
Italia dari periode unifikasi sampai pertengahan abad ini.
Konsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic),
negara (state), dan rakyat (civil society) (bocock, 1986). Ruang ekonomi menjadi
fundamental. Namun, dunia politik yang menjadi arena dari hegemoni, juga
menampilkan momen perkembangan tertinggi dari sejarah sebuah kelas. Dalam
hal ini, pencapaian kekuasaan negara, konsekuensi yang dibawahnya bagi
kemungkinan perluasan dan pengembangan penuh dari hegemoni itu telah muncul
secara parsial, memiliki sebuah signifikan yang khusus. Negara dengan segala
aspeknya, yang diperluas mencakup hegemoni, memberikan kepada kelas yang
mendirikannya baik prestise maupun tampilan kesatuan sejarah kelas penguasa
dalam bentuk konkret, yang dihasilkan dari hubungan organik antara negara atau
masyarakat politik dan civil society.
D. Sosiologi Sastra
Sejarah Sosiologi Sastra
Biarpun di belahan negara lain (Perancis, Jerman, Yunani) sosiologi sastra
telah berkembang luas, di Indonesia termasuk tumbuh terlambat. Sosiologi sastra
pada dasarnya selalu muncul belakangan, setelah orang mempelajari sastra secara
struktural. Sosiologi sastra muncul setelah strukturalisme merasa jenuh, atau
setidaknya telah menemui jalan buntu. Bourdieu (1992:106), seorang ahli
sosiologi Perancis, dalam Encydopedia of Sociology, misalnya, menyebutkan
hubungan antara sosiologi dan sastra sebagai pasangan yang lucu, mekanisme
yang lebih banyak dianggap sebagai skeptis. Skeptisme ini muncul tentu wajar,
sebab tokoh besar yang dikenal dengan konsep habitus tersebut, belum tergoda
memanfaatkan sember sastra sebagai informasi berharga bagi sosiologi.
Secara tradisional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiologi melukiskan kehidupan manusia dan
masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya
melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran,
intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut
Damono (1978: 6-8), apabila ada dua orang sosiologi melakukan penelitian
terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya
cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai
masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat
sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektivitas
dan kreativitas, sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang. Karya sastra
yang sama dianggap plagiat.
Wiyatmi. 2013. Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia, dalam Jurnal
Hakikat Sosiologi Sastra. Kanwa Publisher: diakses dari
https://staffnew.uny.ac.id.