Anda di halaman 1dari 14

Dalam bahasan perspektif perempuan dalam politik dikenal pemahaman tentang

perspektif feminism. Di antaranya feminisme liberal, sosialis, radikal dan Marxist.


Coba perdebatkan pemahaman feminisme liberal dan sosialis. Gunakan referensi
buku dari Rosemarie Tong. Berikan analisis saudara

Satu kutipan paling membekas dari Rosemarie Tong tentang studi feminisme adalah
bahwasanya meskipun mempunyai permulaan, tetapi pemikiran feminis hampir tidak
akan mempunyai kesudahan sehingga memungkinkan setiap perempuan berdialektika
dengan isu dan pemikirannya sendiri. Feminisme sendiri dapat diformulasikan secara
umum sebagai bentuk perjuangan atau ideologi yang menuntut hak-hak kaum
perempuan agar setara dengan laki-laki, menyuarakan perlawanan atas ketertindasan
perempuan, serta menekankan keberadaan perempuan dalam ranah publik yang selama
ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki (Abbas, 2020).

Terminologi feminisme sendiri dapat digunakan untuk menggambarkan gerakan politik,


budaya, atau ekonomi yang memiliki satu tujuan akhir, yaitu untuk menegakkan
persamaan hak, kesetaraan akses, dan perlindungan hukum bagi perempuan (Sun,
2023). Pengkonstruksian feminisme juga dilibatkan atas dasar teori, filosofi politik,
hingga sosiologi yang berkaitan dengan isu gender yang menganjurkan kesetaraan
gender bagi perempuan dan mengkampanyekan hak dan kepentingan perempuan.

Namun, pada hakikatnya, studi feminisme tidak langsung berbentuk seperti yang
dijumpai pada masa kini. Mary Wollstonecraft, kemudian menjadi nama yang
dipandang oleh mayoritas sejarawan sebagai pendiri feminisme melalui karyanya yang
berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1972 (Falco, 1996). “A
Vindication of the Rights of Woman” yang terbit pada tahun 1792 dianggap sebagai
sebuah karya klasik feminisme rasionalis yang menjadi risalah paling awal dan
terpenting yang menganjurkan kesetaraan bagi perempuan.

Adapun, argumentasi kunci dari Wollstonecraft dalam esainya tersebut adalah bahwa
kemampuan nalar dan rasionalitas ada pada semua umat manusia dan oleh karenanya,
perempuan harus diperbolehkan memberikan kontribusi yang setara kepada masyarakat.
Untuk berkontribusi setara dengan laki-laki, Wollstonecraft menggarisbawahi
bagaimana perempuan harus juga mendapat pendidikan yang setara dengan laki-laki.

1
Apabila perempuan tidak diberi kesempatan ini, dapat dikatakan secara gamblang
bahwa kemajuan sosial dan intelektual akan terhenti.

Ruang lingkup dari argumentasi yang disampaikan oleh Mary Wollstonecraft tersebut
menyiratkan akan penggabungan nilai liberalisme dari John Locke dan "humanisme
sipil" dari Republikanisme (Tong, 2019). Mary Wollstonecraft mengeksplorasi
kebutuhan perempuan akan pendidikan perempuan yang harus setara dengan laki-laki,
kemandirian ekonomi (baik menikah atau tidak), dan representasi wakil perempuan
sebagai warga negara di institusi pemerintahan.

Dalam penegasan aspek liberalismenya, Wollstonecraft mendedikasikan sebagian besar


argumennya untuk menunjukkan bagaimana kesenjangan sosial dan politik mendistorsi
kasih sayang alami perempuan dan mencegah mereka memenuhi kewajiban mereka
dalam memberikan perawatan secara efektif (Engster, 2001). Pada tingkat yang paling
dasar, misalnya, ketidaksetaraan pendidikan yang diberikan kepada sebagian besar
perempuan membuat pikiran mereka terperangkap pada sebuah keadaan masa kecil
yang abadi. Dunia perempuan seolah dibatasi hanya sekedar dunia rumah tangga.
Ketidaksetaraan hukum yang berbasis gender menempatkan perempuan di posisi
subordinat, melakoni pekerjaan domestiknya, dan dipaksa mengubur mimpi-mimpinya.

Oleh karenanya, esai yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft ketika dirinya merespons
karya anti-revolusioner Edmund Burke (misalnya, Reflections on the Revolution in
France) ini kemudian sering dianggap sebagai landasan gerakan hak-hak perempuan
modern di dunia Barat. Dan, narasi liberalisme yang kental pada rumusan klasik
feminisme dari esai Mary Wollstonecraft ini kemudian menjadikan aliran feminisme
liberal sebagai gagasan pioner dalam histori studi feminisme. Ditambah lagi, sebagian
besar teori feminis kontemporer yang bermunculan mendefinisikan dirinya sebagai
reaksi terhadap feminisme liberal tradisional. Hal ini menjadikan liberalisme adalah
tempat yang tepat untuk memulai kajian pemikiran feminisme.

Bergantung pada momen sejarah, budaya, dan negara, makna feminisme di berbagai
belahan dunia kemudian memiliki sebab dan tujuan yang berbeda. Hal inilah yang
kemudian menjelaskan bagaimana seiring perkembangannya, feminisme liberal tidak
hanya mendapat dukungan, melainkan juga mendatangkan kontra dan antitesis terhadap

2
ide liberalisme yang diusungnya. Kehadiran aliran feminisme baru, seperti feminisme
radikal, anarkis, marxisme, sosialis, post-colonial, post-modern, dan lain sebagainya,
seperti manifestasi dari ketidaksetujuan terhadap pandangan feminisme yang telah ada
sebelumnya. Rosemarie bahkan menggambarkan kerangka berpikir para feminis
dicirikan dengan sifatnya yang interdisipliner dan saling terkait.

Salah satu terobosan paling signifikan dalam histori feminisme adalah kritik feminisme
sosialisme terhadap feminisme liberal. Ketika hak individu dalam sistem kapitalisme
dipandang sebagai sistem yang mencakup hubungan pertukaran sukarela melalui
kacamata feminisme liberal, kaum sosialis menggambarkan kapitalisme sebagai
hubungan kekuasaan yang timpang. Mereka berpendapat bahwa sistem kapitalisme
sebagai sumber utama ketidaksetaraan gender, dimana sistem memanfaatkan pekerja
perempuan dan menghasilkan eksploitasi yang signifikan (Armstrong, 2020). Sebelum
masuk lebih lanjut mengenai perdebatan antara feminisme liberal dan sosialisme
sebagai dua identitas yang dapat dikatakan paling berpengaruh pada pemikiran
feminisme modern saat ini, introduksi terkait kedua pendekatan yang saling antagonis
itu sendiri perlu digali lebih lanjut.

Pertama, feminisme liberal. Prinsip terutama dalam feminisme liberal bertumpu pada
kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk
berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Begitupun dengan
manfaat signifikan yang akan diperoleh oleh masyarakat apabila kekuatan rasional
perempuan diakui setara dengan laki-laki, seperti yang ditulis oleh John Stuart Mill
dalam bukunya yang berjudul “The Subjection of Women”, adalah: terciptanya warga
negara yang berjiwa publik bagi masyarakat itu sendiri, tersedianya pasangan yang
intelektual untuk para suami, peningkatan kemampuan masyarakat untuk menyediakan
pelayanan berbasis kemanusiaan, hingga peningkatan kebebasan para perempuan itu
sendiri (Tong, 2009).

Namun, dalam aktualisasinya, feminisme liberal menyoroti permasalahan yang terletak


pada produk kebijakan negara yang bias gender. Maka dari itu, feminisme liberal turut
mengusung konsep pemisahan intervensi negara atas bidang publik dan sektor privat
dalam kehidupan perempuan. Di ranah publik, perempuan harus mempunyai
kesempatan yang sama besarnya untuk berhasil di bidang sipil dan ekonomi, seperti

3
halnya laki-laki. Kesetaraan gender, tegas para feminis liberal, mengharuskan negara
dalam membuat butir hukum yang adil dan memastikan bahwa tidak ada satupun
peserta perempuan dalam kompetisi pasar untuk mendapatkan barang dan jasa
masyarakat yang secara sistematik dirugikan.

Pola pikir dari arus feminisme liberal yang terus berkembang hingga abad ke-20
tersebut bukan tanpa melalui kontra dari pihak masyarakat lain. Gagalnya feminisme
liberal dalam mengurai sumber permasalahan perempuan sehingga cenderung
menganggap perempuan “hanya perlu” dibekali saja dengan pendidikan dan ekonomi
merupakan kritik terutama yang datang. Dalam artian lain, aspek-aspek seperti
penyebab kemiskinan struktural yang berasal dari kapitalisme, ide patriarki yang masih
mengakar kuat di konstruksi budaya-sosial masyarakat, hingga perbedaan mendasar
antara perempuan satu sama lainnya (perempuan kulit putih-kulit hitam, perempuan
kelas atas-kelas bawah, perempuan bangsawan-rakyat biasa), sama sekali tidak
mendapat porsi dalam permasalahan perempuan berdasarkan kacamata feminisme
liberal (Schwartzman, 2006).

Variabel-variabel yang tidak terlihat dalam studi feminisme liberal tersebut kemudian
turut menjadi fundamental dalam pengkonstruksian ide feminisme sosialis. Pada
umumnya, feminisme sosialis berangkat dari realita dimana pekerjaan rumah tangga
dipandang sebagai pekerjaan perempuan dalam masyarakat kapitalis (Tong, 2009).
Banyak pihak feminis yang bertentangan dengan liberalis kemudian menyimpulkan
bahwa pekerjaan rumah tangga diberikan kepada perempuan di seluruh lapisan
masyarakat hanya karena semua perempuan berasal dari kelas jenis kelamin yang sama,
yaitu jenis kelamin kedua (perempuan), yang ada untuk melayani jenis kelamin pertama
(laki-laki).

Subordinasi perempuan bukanlah hal yang alami secara biologis dan bukan merupakan
pemberian Tuhan; sebaliknya, hubungan kelas dalam kapitalisme justru memaksakan
hierarki gender yang mendasari penindasan terhadap perempuan. Para feminis yang
bertentangan dengan liberalis ini memandang keluarga patriarki sebagai bagian integral
dari kapitalisme, dan dengan demikian merupakan tempat penindasan yang harus
dihancurkan. Sebagai alternatif, hubungan kerja yang sarat akan kekeluargaan berbasis
gender perlu lebih disosialisasikan.

4
Para feminis yang memutuskan bahwa kelas jenis kelamin perempuan dan juga kelas
ekonomi berperan dalam opresi terhadap perempuan ini mulai menyebut diri mereka
sebagai feminis sosialis atau feminis materialis (Tong, 2009). Salah satu tujuan awal
dari kelompok ahli teori feminis sosialis yang terus berkembang ini adalah untuk
mengembangkan teori yang cukup kuat dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme dan
patriarki menjadi kekuatan dominan yang bersekutu untuk menindas perempuan.

Yang membedakan feminis sosialis dengan marxis ditekankan oleh Iris Marion dalam
konsep pembagian pekerjaan (division of labor). Sebagai satu konsep untuk mengubah
teori feminisme marxis ke dalam teori feminisme sosialis, analisis berdasarkan konsep
pembagian pekerjaan mempunyai keuntungan lebih khas dibandingkan dengan analisis
berdasarkan konsep kelas. Sementara analisis kelas bertujuan untuk melihat sistem
produksi sebagai satu kesatuan dengan fokus perhatian pada alat dan hubungan
produksi, dengan menggunakan istilah-istilah yang umum, maka analisis pembagian
kerja memberikan perhatian pada orang- orang sebagai individu yang menghasilkan
sesuatu di masyarakat (Sunarto, 2000: 46-47).

Adapun, hasil dari upaya feminisme sosialis dalam mengupas hubungan patriarki yang
nonmaterialis dengan kapitalisme yang materialis bersifat ekonomik (hasil dari
perubahan-perubahan yang dibuat dalam cara-cara produksi yang melintasi ruang dan
waktu), biososial (hasil dari saling memengaruhi antara aspek biologis wanita dan
lingkungan sosial), dan ideologis (hasil dari gagasan-gagasan di masyarakat tentang
cara kaum wanita berhubungan dengan kaum lelaki).

Mengacu pada eksplanasi masing-masing pemahaman dari feminisme liberal dan


sosialisme, penulis kemudian membingkai bahwa feminisme bukanlah sebuah ideologi
yang monolitik dan bahwa semua feminis tidak “cukup” mempunyai satu pemikiran
yang sama. Hadirnya feminisme liberalis dan sosialis tersebut menandai berbagai
pendekatan, perspektif, dan kerangka kerja yang digunakan oleh kedua feminis untuk
memberikan penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan dan solusi yang
mereka usulkan untuk menghilangkan penindasan tersebut. Jika feminisme liberal
berfokus pada hak individu dan kesempatan yang sama, feminisme sosialis berusaha
untuk mensintesis tentang ketidaksetaraan gender yang beriringan dengan reproduksi
sosial dan ekonomi. Lain halnya dengan feminis liberal yang berangkat dari opresi

5
perempuan dari diskriminasi, feminis sosialis menekankan lebih jauh mengenai
diskriminasi yang dialami perempuan berkutat pada peran kapitalisme dan patriarki
dalam membentuk kehidupan perempuan

Meskipun feminisme liberal mungkin memiliki beberapa kekurangan dalam detail


mengenai akar penindasan maupun penjelasan struktural yang mendukung akses
pendidikan dan ekonomi yang menjangkau perempuan, feminisme liberal dapat
dikatakan cukup berhasil dalam memberikan pijakan bagi rekonstruksi ide feminisme
selanjutnya. Perempuan berhutang banyak kepada feminis liberal atas landasan hak-hak
sipil, pendidikan, pekerjaan, dan reproduksi yang mereka nikmati saat ini. Mereka juga
berhutang budi kepada para feminis liberal karena telah menyediakan keleluasaan untuk
berekspresi lebih nyaman di ranah publik dan mengklaim bahwa ranah tersebut tidak
kalah dengan wilayah laki-laki.

Klaim feminisme sosialis yang kemudian muncul di permukaan tidak hanya bersifat
menentang feminisme liberal, melainkan juga turut “menambahkan” kerangka kerja dari
teori feminisme yang telah disusun. Feminisme sosialis tidak sepenuhnya ditujukan
untuk menentang liberal, tetapi mereka berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan
feminisme liberal masih belum cukup untuk mencapai kesetaraan gender yang
sebenarnya. Hak pilih perempuan, studi koedukasi, dan kebijakan tindakan afirmatif
mungkin mengubah cara “feminitas” diungkapkan, tetapi praktik-praktik ini tidak dapat
secara signifikan mengubah status perempuan secara keseluruhan. Maka dari itu, aspek
reproduksi sosial dan ekonomi yang saling berkaitan kemudian ditambahkan ke dalam
penjelasan mengenai akar penyebab ketidaksetaraan gender oleh feminis sosialis.

Pada akhirnya, meskipun kedua perspektif feminis tersebut tidak bisa mutlak diputuskan
mana yang benar dan mana yang salah, perdebatan antar keduanya mengindikasikan
bahwa selalu ada ruang untuk pertumbuhan, perbaikan, pertimbangan ulang, dan
perluasan bagi para pemikir feminis yang diiringi dengan dinamika isu perempuan
kontemporer. Menjadi tantangan besar bagi feminisme kontemporer untuk
mendamaikan tekanan terhadap keberagaman dan perbedaan dengan tekanan terhadap
integrasi dan kesamaan. Ruang-ruang diskusi yang dihadirkan oleh perbedaan paham
feminis inilah yang kemudian juga menyadarkan masyarakat akan alasan mengapa

6
perempuan di seluruh dunia merupakan “jenis kelamin kedua” dan bagaimana cara
mengubah keadaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas. (2020). “Dampak Feminisme Pada Perempuan”. Al-Wardah: Jurnal Kajian


Perempuan, Gender, dan Agama, Vol. 14 (2).

Armstrong, E. (2020). “Marxist and Socialism Feminism”. Study of Women and


Gender: Faculty Publications, Smith College, Northampton, MA.

Engster, D. (2001). “Mary Wollstonecraft’s Nurturing Liberalism: Between an Ethic of


Justice and Care”. The American Political Science Review, Vol. 95(3), 577–588.
Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3118234

Falco, M. J.. (1996). “Feminist Interpretations of Mary Wollstonecraft”. University


Park, PA: The Pennsylvania State University Press, Hypatia, Vol. 12(1), 179-182.

Schwartzman, L. H. (2006). “Challenging Liberalism: Feminism as Political Critique”.


Penn State University Press. https://doi.org/10.5325/j.ctt7v3df

Sunarto. (2000). “Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-anak”. Jakarta:


Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta Ford Foundation.

Tong, R. (2009). “Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (3rd


Edition)”. Colorado: Westview Press.

Dalam praktik politik, isu besar yang terjadi selama ini dalam konflik bersenjata
seperti di Rohingya, Uighur, Palestina. Perempuan dan anak2 menjadi korban
kolateral di occupied territory. Bagaimana issue tentang perempuan dan anak2
dalam konflik bersenjata tersebut. Gunakan perspektif demokrasi dan justice

Transfigurasi yang terjadi secara tiba-tiba, termasuk berakhirnya Perang Dingin dan
kemunculan globalisasi memberi momentum tersendiri bagi peningkatan studi resolusi
konflik. Salah satu pemicunya adalah fakta bahwa tatanan dunia berikutnya bukan
hanya soal ancaman ketidakstabilan, tetapi juga kondisi yang sangat sarat dengan

7
konflik internal maupun internasional. Peluang konflik ini akhirnya menstimulasi
eskalasi rancangan kerja konseptual dan teoritis dalam studi konflik serta resolusinya di
abad ke-21.

Seiring berkembangnya dinamika isu-isu yang beriringan dengan bahaya konflik di


dunia modern, seperti isu lingkungan, kemanusiaan, hukum, minoritas, salah satu subjek
yang belakangan ini juga menjadi sorotan dalam berlangsungnya konflik adalah gender.
Perang dan konflik, yang mencakup bentrokan sengit antara dua kelompok, turut perlu
dikaji melalui kacamata gender. Adapun, konsep kekerasan berbasis gender
(gender-based violence) sendiri menjadi pendahuluan penting sebelum mendalami
kondisi perempuan dalam zona konflik. Kekerasan berbasis gender pertama kali
didefinisikan pada tahun 1970-an sebagai kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki
terhadap perempuan serta dapat menjadi sarana untuk mempelajari pola pengalaman
individu dan cara masyarakat melegitimasi penggunaan kekerasan berdasarkan kriteria
identitas gender (Stark & Ager, 2011). Ini adalah pemahaman tentang peran tradisional
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan dalam kultur sosial masyarakat, dimana
perempuan dijadikan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku.

Selama perang dan konflik, perempuan kerap dihadapkan pada berbagai bentuk
kekerasan, dan pada tingkat yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini juga
dibuktikan oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yang
merilis pernyataan bahwa selama masa pengungsian dan krisis, ancaman kekerasan
berbasis gender meningkat secara signifikan terhadap perempuan maupun anak
perempuan (Garcia, 2022). Dengan kata lain, terdapat aspek-aspek spesifik gender
dalam kekerasan terkait konflik, baik di wilayah konflik itu sendiri maupun di tempat
dimana masyarakat yang terkena dampak sedang mencari perlindungan.

Kekerasan berbasis gender dapat mencakup kerugian seksual, fisik, mental, dan
ekonomi yang ditimbulkan di depan umum atau secara pribadi. Hal ini juga mencakup
ancaman kekerasan, pemaksaan, dan manipulasi. Selain itu, bentuk paling kejinya bisa
berwujud kekerasan pasangan intim, kekerasan seksual, pernikahan anak, mutilasi alat
kelamin perempuan, bahkan pembunuhan atau genosida. Maka dari itu, dalam konteks
konflik, kekerasan berbasis gender yang dilakukan menunjukkan apa yang disebut
dengan ‘kejahatan demi kehormatan’. Label ini digambarkan oleh para pakar dan analis

8
kebijakan sebagai penggunaan dan maksud dari kekerasan ini didominasi oleh tujuan
kekerasan sebagai senjata perang, dimana kekerasan berbasis gender merupakan cara
untuk mempermalukan dan menurunkan moral musuh, baik secara individu maupun
komunitas (Baaz & Stern, 2013).

Kekerasan yang terjadi kemudian mengakibatkan ruang gerak perempuan di tengah


zona konflik semakin mengecil dan terbatas akibat perbedaan norma dan tradisi yang
dianut oleh kelompok atau negara berkonflik. Konsekuensinya adalah bagaimana
persentase jumlah korban perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki di tengah
konflik yang berlangsung (Samuel, 2001). Fenomena ini pun mayoritas dapat dijumpai
di negara-negara miskin yang memiliki komposisi buruk antara institusi yang rapuh,
kesenjangan, diskriminasi, dan konflik sosial. Faktor-faktor ini, bersama dengan
faktor-faktor lain seperti intensitas bencana alam, krisis pangan, meningkatnya ancaman
akibat perubahan iklim, terorisme, dan tingginya jumlah pengungsi, membentuk lanskap
internasional yang baru.

Lebih lanjut, eksplanasi mengenai kekerasan berbasis gender dalam perang ini dapat
dilihat dari konflik kemanusiaan di Uighur, Rohingya, dan Palestina. Tiga wilayah
tersebut dapat dikatakan sebagai negara-negara dengan ketidaksetaraan gender yang
tinggi. Ini menyebabkan budaya kekerasan dan norma gender yang negatif mungkin
lebih diterima dan normalisasi penciptaan lingkungan di mana kekerasan terhadap
perempuan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Dalam mengelaborasi konflik di
ketiga negara dengan perempuan sebagai “korban” terutamanya setiap perang
berlangsung, dimensi demokrasi dan keadilan merupakan fundamental penting yang
perlu menjadi urgensi untuk resolusi konflik di masa mendatang.

Contoh pertama dari fenomena kekerasan gender dalam konflik bersenjata yang
berlangsung dapat ditemukan di konflik suku Uighur dan China. Pada tahun 1945, Etnis
Uighur sempat melakukan upaya memisahkan diri dari Tiongkok dengan mendirikan
Republik Turkistan Timur (East Turkestan Republic), tetapi upaya tersebut digagalkan
oleh pasukan militer Partai Komunis Tiongkok yang berhasil menguasai kembali
wilayah Xinjiang. Sejak saat itu, telah terjadi konflik berkepanjangan antara Pemerintah
Tiongkok dengan militan Uighur yang kerap melakukan serangan teroris di berbagai
kota di Provinsi Xinjiang. Untuk menekan agresi dari militan yang dilabeli "kelompok

9
ekstrimis dan teroris" tersebut, Pemerintah Tiongkok melaksanakan berbagai kebijakan,
seperti pengawasan dan penangkapan orang-orang yang dianggap separatis, melarang
kegiatan keagamaan beserta penggunaan berbagai atributnya, hingga melancarkan
kebijakan untuk menekan pertumbuhan penduduk melalui pemberlakuan sterilisasi
paksa.

Federasi Internasional Ginekologi dan Kebidanan (International Federation of


Gynecology and Obstetrics), biasa disebut FIGO, telah membuat definisi dan pedoman
pelaksanaan sterilisasi (Dickens, 2011: 88). Secara umum, sterilisasi dapat diartikan
sebagai proses untuk mengurangi kemampuan seseorang untuk bereproduksi. Dalam
pelaksanaan sterilisasi pun, persetujuan dari orang yang akan dilakukan sterilisasi
menjadi hal yang utama dan persetujuan dari orang tersebut tidak dapat diwakilkan oleh
siapapun.

Adapun, sterilisasi paksa dapat diartikan sebagai metode yang dilakukan untuk
mengontrol fertilitas seseorang tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut. Selama
bertahun-tahun, pemerintah Tiongkok telah mengeluarkan kebijakan yang menentukan
bahwa perempuan yang telah memiliki 3 anak harus disterilisasi. Bagi masyarakat yang
melanggar kebijakan tersebut maka harus membayar denda sebesar kurang lebih 2500
dolar amerika. Sebagai akibat dari pengimplementasian kebijakan tersebut, angka
pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut menurun sebesar 84% sejak tahun 2015.
Sedangkan pada tahun 2019, angka kelahiran di Xinjiang menurun sebesar 24%.
Pendistribusian IUD secara masal ini mendukung rencana Pemerintah Tiongkok untuk
mengurangi pertumbuhan penduduk Etnis Uighur sebesar 85-95% dari angka
pertumbuhan rata-rata selama 20 tahun belakangan ini (Salsabila, 2020).

Upaya represi akibat terorisme militan Uighur yang dilakukan oleh Pemerintah
Tiongkok telah membatasi hak asasi dari masyarakat, khususnya perempuan Etnis
Uighur, dalam berkeluarga dan menentukan kesehatan seksual dan reproduksinya.
Merupakan hak bagi setiap orang untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan
dengan kesehatan seksual dan reproduksi mereka, termasuk untuk melakukan sterilisasi
atau tidak. Ditinjau dari perspektif demokrasi, sterilisasi yang dilakukan secara paksa
dan tanpa adanya persetujuan dari orang yang disterilisasi jelas merupakan sebuah
bentuk pelanggaran terhadap nilai HAM yang meliputi pelanggaran hak untuk

10
mendapatkan kesehatan, hak atas informasi, hak privasi, hak memiliki keturunan, hak
berkeluarga, serta hak untuk terbebas dari diskriminasi. Lebih spesifik lagi, kebebasan
dari sterilisasi paksa juga menjadi bagian dari hak reproduksi seseorang yang sudah
seharusnya mendapat keadilan lanjut di proses hukum.

Masih dengan tema sentral dimana perempuan menjadi korban mayoritasnya, konflik
bersenjata yang sarat akan pertikaian etnis di Rohingya juga melibatkan kekerasan
perempuan selama berlangsung. Ketika konflik Rohingya kembali pecah pada tahun
2012, dilaporkan bahwa aparat keamanan Myanmar terlibat dalam aksi pembunuhan,
pemerkosaan, dan penangkapan massal warga Rohingya (Ullah, 2016). Dengan
perempuan dan anak sebagai mayoritas korban, status mereka sebagai perempuan, tanpa
kewarganegaraan dan bagian dari minoritas etno-religius, membuat mereka rentan
terhadap berbagai kekerasan seksual.

Lantas, bagaimana respons Myanmar dalam melihat kasus diskriminasi rasial yang
akhirnya juga mencakup konflik kemanusiaan berbasis gender? Pemerintah Myanmar
dan aparat negara setempat mengklaim bahwa Rohingya adalah imigran ilegal sehingga
konflik suku Rohingya diabaikan oleh pemerintah. Hal ini kemudian dijadikan
justifikasi pengucilan suku Rohingya dan pembiaran terhadap pelanggaran HAM
terhadap mereka. Kasus kekerasan terhadap perempuan yang “dibiarkan” oleh Myanmar
telah menunjukkan indikasi ketidakpatuhan negara tersebut terhadap konvensi
internasional terkait HAM yang telah diratifikasinya. Lebih mirisnya lagi, Myanmar
sebenarnya sudah meratifikasi beberapa konvensi internasional terkait HAM, termasuk
Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination against Women
(Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan).

Menilik apa yang telah dialami oleh perempuan dan minoritas suku Rohingya, terbukti
juga bahwa unsur ketidakadilan menjadi urgensi yang perlu diperjuangkan bagi
pemenuhan hak-hak perempuan dan suku Rohingya yang tertindas. Ruang perlindungan
yang tersedia bagi pengungsi Rohingya di wilayah-wilayah Myanmar dan negara
tetangganya menjadi sangat tidak stabil karena keengganan Myanmar untuk
menandatangani Konvensi 1951 dan kurangnya kerangka hukum nasional di sebagian
besar negara-negara Asia Tenggara (Nanulaitta, 2016). Ditambah lagi, negara sudah

11
seharusnya bertanggung jawab dalam menunjukkan willingness and ability untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM nasional yang terjadi.

Terakhir, senada dengan apa yang dialami oleh berbagai perempuan Uighur dan
Rohingya, hal serupa turut dialami oleh perempuan-perempuan di Palestina. Kuatnya
konstruksi norma gender berdasarkan nilai agama cenderung menunjukkan perbedaan
yang jelas antara peran laki-laki dan perempuan di rumah-rumah Palestina. Laki-laki
dipandang sebagai pelindung dan kepala rumah tangga, sedangkan perempuan dikaitkan
dengan pekerjaan rumah tangga. Dalam kasus Wilayah Pendudukan Palestina,
ketidaksetaraan gender telah meningkat seiring berjalannya waktu dengan munculnya
konsep-konsep yang lebih tradisional (seperti aturan agama dan kesukuan) yang
semakin berpengaruh.

Di Wilayah Pendudukan Palestina, hanya ada sekitar 12% perempuan usia kerja yang
benar-benar bekerja di luar rumah pada tahun 1999 (ILO, 2020). Selain itu, wilayah
Pendudukan Palestina memiliki tingkat pengangguran perempuan tertinggi di dunia,
yaitu hanya 19% perempuan usia kerja yang bekerja. Meskipun penduduknya
mempunyai kualifikasi tinggi, faktor ini belum cukup untuk meningkatkan angka
lapangan kerja. Angka-angka ini kemudian mencerminkan hambatan-hambatan yang
telah mempengaruhi perempuan dalam situasi pra-konflik. Masalah-masalah seperti
kurangnya pendidikan dan keterampilan, terbatasnya kesempatan dan norma-norma
sosial yang konservatif telah melimitasi dunia perempuan hanya berkutat di rumah.

Dengan kentalnya histori keagamaan di Palestina yang cukup mengekang gerak


perempuan, penempatan curfew di Palestina oleh Israel juga menambah masalah
kebebasan pada perempuan disana. Curfew diberlakukan untuk beberapa alasan, yaitu
untuk memulihkan ketertiban, untuk melakukan penangkapan, untuk mencegah adanya
gangguan saat pelaksanaan penghancuran rumah, atau untuk menemukan senjata.
Pembatasan kebebasan bergerak juga mempersulit wanita dalam keadaan ini.

Dampak proporsional yang diakibatkan oleh konflik berkepanjangan dengan Israel juga
paling dirasakan oleh perempuan Palestina. Perempuan di Palestina ini berada di bawah
tekanan yang jauh lebih besar, karena pembatasan kebebasan bergerak secara efektif
memisahkan mereka dari keluarga asal. Perempuan tidak memiliki siapapun untuk

12
mendukung mereka dalam situasi stres emosional bahkan dalam kondisi ekstrem
kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, perempuan yang tinggal di Tepi Barat, tetapi
alamatnya terdaftar di Gaza, akan dihadapi oleh dilema dari diri sendiri untuk tidak
meninggalkan rumahnya atau kotanya karena takut ditangkap, diusir dari Tepi Barat,
dan dipisahkan dari anak-anaknya dan keluarga barunya (Holt, 2003). Tidak sampai
disana juga, Pemberdayaan Wanita dari Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza
telah menunjukkan peningkatan dramatis dalam kekerasan terhadap wanita, termasuk
inses dan pemerkosaan.

Akumulasi dari beban yang dipukul perempuan Palestina dari rasa takut hidup di bawah
pendudukan serta praktik diskriminatif yang dilakukan oleh tentara Israel jelas
menyambung pada aspek demokrasi dan keadilan yang sebelumnya telah dibahas.
Lagi-lagi, kelalaian negara dalam mengkonsolidasi gagasan HAM ke dalam keseharian
politik menjadi masalah yang perlu dibenahi. Dalam tataran internasional, persamaan
derajat antara laki-laki dan perempuan juga merupakan prinsip hukum yang tidak bisa
diabaikan. Adanya pembatasan gerak, pemerkosaan, kekerasan seksual, ancaman, dan
sebagainya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Mengatasi kekerasan berbasis gender di zona konflik memerlukan tantangan dan


perubahan sikap budaya terhadap gender. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan,
peningkatan kesadaran, dan promosi kesetaraan gender dan hak-hak perempuan di
semua lapisan masyarakat. Apabila komponen budaya dalam konflik bersenjata menjadi
faktor terutama menurut banyak orang, penegakan hukum yang jauh dari impunitas
untuk menggapai keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM perlu digalakkan
kembali. Harapan penulis ke depannya adalah upaya pencegahan konflik, pembangunan
perdamaian, dan pemulihan pasca-konflik bisa dimanifestasikan, mengingat hal ini juga
penting untuk mengatasi akar penyebab kekerasan berbasis gender dan mendorong
ruang aman yang konsisten bagi perempuan di seluruh dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Baaz, M. E., & Stern, M. (2013). Sexual violence as a weapon of war?: Perceptions,
prescriptions, problems in the Congo and beyond. Bloomsbury Publishing.

13
Dickens, B. (2011). “Female contraceptive sterilization”. International Journal of
Gynecology and Obstetrics, Vol. 115, pp. 88.

Finnegan, C. (2020). “The Uyghur Minority in China: A Case Study of Cultural


Genocide, Minority Rights and the Insufficiency of the International Legal Framework
in Preventing State-Imposed Extinction”. Laws 9, Vol. 1 (6).

Garcia, C. (2022, 25 Mei). Gender-based violence in times of war and armed conflicts.
Published by Institut du genre en géopolitique.

Holt, M. (2003). Palestinian Women, Violence, and the Peace Process. Development in
Practice, 13(2/3), 223–238. http://www.jstor.org/stable/4029594

ILO. (2020). “Impact of the COVID-19 Pandemic on the Labour Market in the
Occupied Palestinian Territory”. Lebanon: International Labour Organization.

Nanulaitta, H.D., Baadila, E., & Tahamata, L.C. (2021). Perlindungan Hak Asasi
Manusia Bagi Perempuan Kaum Minoritas Perspektif Hukum Internasional. TATOHI:
Jurnal Ilmu Hukum, 1(9), 848 – 861.

Salsabila, E. (2020). STERILISASI PAKSA OLEH PEMERINTAH TIONGKOK


TERHADAP PEREMPUAN ETNIS UIGHUR: PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI
MANUSIA INTERNASIONAL. Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 1, hlm: 1-16.

Samuel, K. (Ed.) (2001). “Gender difference in conflict resolution: The case of Sri
Lanka”. SAGE Publications Ltd.

Stark, L & Ager, A. (2011). “A systematic review of prevalence studies of gender-based


violence in complex emergencies”. Trauma, Violence, & Abuse, 12(3), pp.127-134.

Ullah, A. K. M. Ahsan. (2016). “Rohingya Crisis in Myanmar: Seeking Justice for the
‘Stateless”. Journal of Contemporary Criminal Justice 32, no. 3: 285–301.

U. N. H. C. R. Gender-based Violence.

14

Anda mungkin juga menyukai