Lebih dari itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal, keberadaaan ide demokrasi yang
berintikan ide sekularisasi dan kebebasan di negeri-negeri kaum muslimin juga telah menjadi lahan
subur bagi tumbuh dan berkembangnya ide-ide feminisme tersebut. Apalagi ide ini telah dikemas
sedemikian rupa sehingga tidak sedikit kaum muslimin yang terkecoh, bahkan terjebak untuk ikut
mempropagandakan ide-ide tadi ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka ada
yang berani ikut-ikutan menuduh bahwa konsep-konsep ajaran agama (terutama Islam)-lah yang
berperan melembagakan supremasi laki-laki atas kaum perempuan. Sebut saja, misalnya konsep
Islam tentang hak waris, nasab dan hak perwalian, masalah nusyuz dan poligami, masalah
menutup aurat dan berjilbab, masalah kepemimpinan pria dalam rumah tangga dan dalam
kekuasaan, dan sebagainya. Dan faktanya konsep-konsep inilah yang banyak mendapat sorotan
dari kaum feminis (termasuk yang menamakan diri feminis muslim/ah), yang kemudian
memunculkan sikap penolakan, baik secara “halus” yang diwujudkan dalam bentuk tawaran untuk
melakukan interpretasi dan reaktualisasi, ataupun dengan cara “kasar” yakni dengan menuntut
dilakukannya upaya rekonstruksi terhadap nash-nash yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
tersebut.