Anda di halaman 1dari 7

ARUS BALIK FEMINISME DI BARAT

Oleh : Husnul Khotimah


Pendahuluan
Sejak awal kemunculannya, ide feminisme senantiasa mengundang pro dan kontra. Hanya
saja, dominasi sistem kehidupan sekularistik yang melahirkan ide-ide turunan semisal liberalisme
dan egalitarisme telah memberi kondisi yang kondusif bagi perkembangan ide ini, tak terkecuali di
negeri-negeri kaum muslimin. Di samping itu, kompleksitas persoalan seputar isu disparitas gender
serta kejenuhan yang amat sangat terhadap sistem nilai yang dianggap tidak mampu mengadopsi
kepentingan perempuan, telah menjadikan kehadiran feminisme seolah menjadi ‘angin segar’ dan
sekaligus harapan bagi upaya perbaikan nasib perempuan.
Antusiasme sebagian masyarakat kaum muslimin terhadap kehadiran ide ini nampak ketika
mereka berupaya menghubungkan antara ide feminisme dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di
antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis Islam. Dalam hal ini, mereka
meyakini, bahwa memperjuangkan feminisme berarti juga memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Karena menurut mereka apa yang menjadi visi feminisme sesungguhnya juga merupakan spirit
ajaran Islam, seperti konsep kesetaraan, HAM, keadilan, dan sebagainya. Padahal, jika kita mau
jeli menilai, kita akan menemukan pertentangan yang sangat diametral antara spirit feminisme
dengan Islam, ditinjau dari sisi manapun !
Lantas mengapa feminisme demikian mudah menarik perhatian banyak orang ? Apa
sebenarnya latar belakang dan visi perjuangan feminisme ? dan benarkah feminisme merupakan
jawaban bagi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan ? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
seharusnya kita jawab secara tuntas. Yakni dengan cara melakukan kajian yang mendalam
mengenai hakekat ide feminisme itu sendiri. Sehingga, dengan cara ini kita akan mampu menilai
layak tidaknya feminisme untuk dianut dan diperjuangkan, terutama oleh kaum muslimin.

Kemunculan Feminisme, Wujud Dendam Sejarah


Diakui atau tidak, sesungguhnya ide feminisme lahir akibat rasa frustasi dan dendam
kepada sejarah (Barat) yang dianggap tidak memihak kepada perempuan. Perubahan sosial yang
terjadi di Eropa pada abad 18, dimana sistem feodalisme digantikan oleh sistem kapitalisme,
ternyata tidak serta merta mengubah kondisi kaum perempuan, yang sejak semula memang
tertindas dan tak lebih dari warga negara kelas dua. Bahkan ketika kapitalisme mampu
menancapkan kukunya dan menjadikan proses industrialisasi sebagai penyangga utama
eksistensinya, nasib kaum perempuan makin terpuruk. Hal ini dikarenakan kebijakan
pembangunan kapitalistik yang menekankan pada proses industrialisasi justru telah memberikan
pengabsahan kepada kelompok minoritas borjuis (kapitalis) yang menguasai aset-aset ekonomi
untuk menindas dan memeras keringat kaum buruh dan masyarakat kelas bawah yang sebenarnya
merupakan kelompok mayoritas. Sistem ini juga telah memberikan peluang yang besar kepada
kaum borjuis tadi untuk menyetir berbagai kebijakan yang dihasilkan oleh struktur kekuasaan demi
kepentingan bisnis-bisnis mereka. Akibatnya fenomena ‘kemiskinan’ menjadi pemandangan yang
merata menimpa mayoritas masyarakat Barat, yang mengharuskan para wanitanya pun ikut
berperan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga. Padahal pada saat yang sama mereka
harus berperan dalam sektor domestiknya.
Seiring dengan berkembangnya falsafah matelialistik yang melahirkan gaya hidup
konsumtif, serta makin terbukanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengenyam
pendidikan, menjadikan aktivitas mereka dalam bidang ekonomi tidak lagi hanya didorong oleh
faktor keterpaksaan. Bahkan kemudian para wanita ini ‘menikmati’ kondisi yang ada dan
menjadikannya sebagai sebuah keharusan, mengingat ketergantungan mereka selama ini (secara
ekonomi) kepada para suami mereka, mereka anggap sebagai salah satu faktor penyebab
munculnya penindasan dan ketidak adilan sistemik yang dialami perempuan. Hanya saja, pada
tataran praktis, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka masih terikat dengan
tanggungjawab mengurus keluarga. Sehingga mereka mulai memandang kondisi ini sebagai
sebuah ketimpangan yang harus diluruskan. Tentu saja, sudut pandang yang mereka pakai adalah
sudut pandang keperempuanan, yakni yang mengedepankan asumsi bahwa mereka adalah pihak
yang tertindas dan harus membela diri dengan berupaya mengubah konstelasi sosial politik
masyarakat agar lebih memihak pada nasib perempuan. Sudut pandang inilah yang kemudian
menjadi inti dari ide feminisme. Sedangkan perubahan masyarakat dari yang melulu
menguntungkan laki-laki (yakni masyarakat patriarkhis dalam terminologi mereka) menjadi
masyarakat yang equal/egaliter, menjadi visi perjuangan feminisme selanjutnya.
Dengan demikian, ide feminisme sebenarnya sudah lahir sejak abad 18 seiring dengan
kemunculan kapitalisme. Namun gerakannya sendiri baru muncul pada awal abad 20. Salah satu
yang menonjol adalah Women’S Lib yang berpusat di Amerika, dimana orientasi gerakannya
bersifat sosial politik dan perjuangannya dilakukan dengan melalui parlemen atau dengan cara
turun ke jalan (demonstrasi) maupun aksi pemboikotan.
Pada tahap awal, isu perjuangan yang mereka angkat adalah persamaan hak untuk
memilih, karena pada saat itu kaum perempuan disamakan dengan anak-anak di bawah umur yang
tidak boleh mengikuti pemilu. Kemudian pada tahun 1948 sejumlah wanita berkumpul di Seneca
Falls, New York untuk menuntut hak-hak mereka dan sebagai reaksi atas pelarangan begi para
wanita untuk berbicara di depan umum. Adapun tuntutan yang mereka ajukan adalah :
1. Mengubah Undang-Undang Perkawinan yang memuat aturan bahwa wanita dan hartanya
mutlak berada pada kekuasaan suaminya. UU tersebut menetapkan, walaupun seorang wanita
bekerja dan menghasilkan uang, akan tetapi uang tersebut menjadi milik suaminya. Apabila
bercerai, hak perwalian anak ada pada suami.
2. Memberi jalan untuk meningkatkan pendidikan wanita. Pada saat itu banyak hambatan yang
menghalangi wanita bisa menempuh pendidikan yang sejajar dengan laki-laki.
3. Menuntut hak wanita untuk bekerja.
4. Memberikan hak penuh untuk berpolitik.
Setelah hak untuk memilih dipenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun
1950-an. Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tidak pernah digugat
walaupun sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah. Pada tahun 1960-an feminisme
berkembang lagi di Amerika Serikat, terutama diilhami oleh buku karya Betty Freidan yang berjudul
The Feminine Mystique. Dalam buku tersebut Freidan mengatakan, bahwa peran tradisional wanita
sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya.
Sehingga wanita tidak harus kawin dan memiliki anak dan mereka dapat mengembangkan diri
menjadi apa saja seperti yang dilakukan oleh laki-laki.
Kemudian muncul buku-buku lain yang ditulis para tokoh feminis yang memberi dorongan
kepada para wanita untuk membebaskan diri dari kewajiban rumah tangga yang dianggap beban
dan mensubordinasikan wanita. Di antaranya buku Women’S Estate karya Juliet Mitcher (1971)
yang di dalam nya ditulis, bahwa wanita yang di rumah adalah the most oppressed of all people.
Sedangkan Millett dalam bukunya Sexual Politics menulis bahwa motherhood is slavery dan bahwa
institusi keluarga adalah lembaga old age evil.
Inilah sebenarnya latar belakang kemunculan ide dan gerakan feminisme di Eropa dan
Amerika. Sehingga, meski kemudian lahir dalam berbagai ragam dan bentuk, sesungguhnya inti
dari gerakan feminisme adalah pemberontakan terhadap tatanan masyarakat yang ada yang
mereka anggap bersifat patriarkis, termasuk terhadap ide-ide teologis (agama) dan institusi sosial
kultural (norma budaya) yang seringkali dituduh sebagai pangkal munculnya ketidakadilan sistemik
terhadap perempuan.
Adapun mengenai kenapa ide feminisme ini bisa merebak dan berkembang di negeri-negeri
kaum muslimin tidak lain sejalan dengan upaya sistematis yang dilakukan kaum kafir untuk
memerangi kaum muslimin dalam aspek pemikiran mereka. Dan sesungguhnya ide feminisme ini
hanyalah salah satu produk pemikiran yang sengaja disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin,
agar kaum muslimin kehilangan rahasia kekuatannya berupa pemikiran-pemikiran Islam.

Lebih dari itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal, keberadaaan ide demokrasi yang
berintikan ide sekularisasi dan kebebasan di negeri-negeri kaum muslimin juga telah menjadi lahan
subur bagi tumbuh dan berkembangnya ide-ide feminisme tersebut. Apalagi ide ini telah dikemas
sedemikian rupa sehingga tidak sedikit kaum muslimin yang terkecoh, bahkan terjebak untuk ikut
mempropagandakan ide-ide tadi ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka ada
yang berani ikut-ikutan menuduh bahwa konsep-konsep ajaran agama (terutama Islam)-lah yang
berperan melembagakan supremasi laki-laki atas kaum perempuan. Sebut saja, misalnya konsep
Islam tentang hak waris, nasab dan hak perwalian, masalah nusyuz dan poligami, masalah
menutup aurat dan berjilbab, masalah kepemimpinan pria dalam rumah tangga dan dalam
kekuasaan, dan sebagainya. Dan faktanya konsep-konsep inilah yang banyak mendapat sorotan
dari kaum feminis (termasuk yang menamakan diri feminis muslim/ah), yang kemudian
memunculkan sikap penolakan, baik secara “halus” yang diwujudkan dalam bentuk tawaran untuk
melakukan interpretasi dan reaktualisasi, ataupun dengan cara “kasar” yakni dengan menuntut
dilakukannya upaya rekonstruksi terhadap nash-nash yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
tersebut.

Arus Balik Feminisme


Jika kita telaah perkembangan feminisme dimanapun, kita akan mendapati kenyataan
bahwa feminisme tidak pernah bisa menghasilkan kebaikan apapun ! Bahkan, yang terjadi adalah
makin rusaknya tatanan masyarakat akibat rancunya relasi dan pembagian peran di antara mereka.
Feminismelah yang bertanggung jawab atas goncangnya struktur keluarga, karena ide ini telah
meracuni para wanita untuk melepaskan diri dari ikatan dan tanggungjawab kekeluargaan yang
pada akhirnya menghilangkan peran lembaga keluarga itu sendiri. Padahal kita tahu, bahwa
lembaga keluarga adalah tonggak dan asas yang pokok bagi sebuah masyarakat.
Selain itu, fakta-fakta buruk yang mewarnai masyarakat Barat (dan Amerika), seperti
merebaknya kasus-kasus perceraian, generasi ekstasi dan shabu-shabu, fenomena un-wed dan
single parrent, free sex, dan pelecehan seksual sesungguhnya menjadi bukti yang kuat bagi
kerusakan ide feminisme. Bahkan dalam bukunya “Amerika nomor 1” , L. Shapiro dengan
gamblang menulis data-data statistik mengenai fakta-fakta tadi, dimana secara keseluruhan
Amerika dan negara-negara Eropa yang menjadi pusat perkembangan ide feminisme menempati
urutan teratas dalam hal prosentase terjadinya kasus-kasus tersebut.
Oleh karena itu wajar, jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari
sebagian masyarakat yang ‘masih sadar’ atas berbagai ide yang diperjuangkan oleh feminisme.
Mereka bahkan menuduh feminisme sebagai gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di
Amerika sendiri, gerakan anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan
Kanan Baru (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League dan lain-lain.
Adapun yang menjadi inti alasan gerakan mereka adalah karena mereka memandang
bahwa pemikiran feminisme banyak yang antagonis, di antaranya : Pertama, mengenai tuntutan
kesejajaran antara laki-laki dan wanita dan bahwa sifat kewanitaan bukan bentukan alami
melainkan dibentuk oleh kebudayaan. Sehingga, dengan alasan tersebut feminis menuntut
diterapkannya pendidikan androgini agar wanita dan pria memiliki sifat yang sama. Hanya saja
faktanya banyak wanita yang terjun ke sektor publik, tapi masih mendambakan perkawinan dan
anak untuk memenuhi kebutuhan naluriahnya. Kedua, kebebasan wanita berdasar konsep
individualisme. Pada kenyataannya kebebasan yang diperjuangkan oleh kaum feminis
bertentangan dengan sifat kodrati wanita. Dimana wanita ternyata masih mendambakan
perlindungan dan komitmen dari laki-laki. Akan tetapi laki-laki sudah enggan memberikan
komitmennya karena wanita sudah dianggap super women. Dengan demikian bekerja menjadi
keharusan bagi wanita sebagai pengaman bagi dirinya. Ketiga, tentang persamaan hak menurut
undang-undang yang sampai sekarang belum ada kesepakatan karena tidak jelas batasannya.
Sayangnya, semangat penolakan terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan
dengan janji-janji manis yang ditawarkannya. Sehingga sampai saat ini mayoritas masyarakat
masih ‘betah’ untuk menjadi penganut dan pengemban ide ini di tengah masyarakat lainnya.
Apalagi kaum kafir yang menguasai akses informasi dan media massa di dunia memang memiliki
kepentingan yang kuat untuk senantiasa memblow-up ‘wajah manis’ feminisme di dunia Islam.
Sehingga keberadaan ide ini makin kukuh dan kaum muslimin merasa bertanggungjawab untuk ikut
memperjuangkannya.

Sudah Saatnya Kita Sadar !


Tentu saja kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Mengingat, begitu banyak
bahaya yang mengintai kita, terutama yang berkaitan dengan masa depan kaum muslimin.
Caranya tidak lain dengan mengajak mereka untuk melihat begitu rancu dan bahayanya pemikiran
yang ditawarkan feminisme. Misalnya saja ketika mereka mengatakan, bahwa ketidakadilan
sistemik yang menimpa wanita selama ini tidak lain adalah akibat bias gender yang melembaga
secara universal dalam struktur masyarakat yang patriarkis. Sehingga mereka pun yakin, bahwa
ketika suatu saat kita bisa memandang wanita sebagai manusia (bukan atas asas gender), maka
pembagian peran domestik versus publik pun akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang
akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap
menyalahi kodrat dan sebagainya. Padahal, secara faktual ‘obsesi’ feminisme ini sangat tidak
mungkin terwujud dan sudah melampaui batas-batas kewenangan Allah SWT dalam menetapkan
dan mengatur sesuatu. Karena mereka seolah tidak menerima, kenapa manusia harus lahir dengan
membawa kodrat kelaki-lakian dan keperempuanan.
Sementara itu, merekapun seolah membagi masyarakat ke dalam komunitas laki-laki dan
komunitas perempuan yang satu sama lain saling terpisah dan terkutubkan. Sehingga ketika
muncul persoalan-persoalan perempuan, mereka memandangnya sebagai masalah yang terpisah
dari masalah masyarakat secara keseluruhan, dimana penyelesaiannya pun harus berangkat dari
kepetingannya sendiri-sendiri. Tapi ironisnya, pada saat yang sama mereka tidak mau melihat
esensi atas fakta, kenapa harus ada laki-laki dan perempuan dalam penciptaan jenis manusia.
Akibatnya, mereka cenderung menempatkan kaum wanita sebagai pesaing bagi kaum pria,
terutama yang termanifestasi dalam tuntutan kesetaraan tanpa batas (emansipasi) yang mereka
dengung-dengungkan. Padahal Allah SWT telah memposisikan wanita dan laki-laki sebagai mitra
dalam kerjasama membangun kehidupan sesuai dengan anturan-aturan-Nya, yang dengan cara itu
kebahagiaan hakiki akan dapat diraih dan diwujudkan.
Sementara itu, terhadap fakta perbedaan ‘jenis’ wanita dan pria, mereka bersikukuh untuk
mengatakan bahwa fungsi biologis keduanya tidak boleh berpengaruh atas fungsi sosialnya.
Sehingga menurut mereka, tidak layak kalau wanita harus diberi peran yang berbeda dengan pria
hanya karena wanita mempunyai rahim !. Rupa-rupanya mereka lupa, bahwa ketika adanya rahim
wanita dianggap tidak harus menjadikan wanita hamil seperti halnya pria, maka pada saat yang
sama kaum pria yang tidak memiliki rahimpun tidak akan pernah bisa hamil, sekalipun ia sangat
ingin merasakan peran yang bisa dilakukan para wanita !
Kerancuan berpikir seperti inilah yang seharusnya diketahui, sehingga mereka tidak mudah
terjebak dalam perangkapnya. Apalagi bila ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari
pemikiran feminisme ini sangat berbahaya bagi kaum muslimin, karena standar nilai mereka tidak
lagi ke arah ‘halal-haram’ melainkan telah bergeser dari nilai-nilai normatif-kualitatif (derajat taqwa)
ke arah hitungan-hitungan kuantitatif atas seberapa banyak materi yang dihasilkan dan
dikumpulkan. Sehingga, akibat pengaruh pemikiran seperti ini, muncullah kegamangan dari para
muslimah untuk menempatkan diri pada posisi sesungguhnya, karena kondisi tadi mereka pandang
juga sebagai sebuah ketidakadilan.
Lebih lanjut, sebagian kaum muslimin ini pun kemudian percaya bahwa ide feminisme
dengan jargon emansipasinya bisa memberi solusi atas persoalan-persoalan perempuan yang
terjadi di tengah-tengah mereka. Sampai-sampai merekapun secara intens masuk pada diskursus
tentang ada tidaknya emansipasi dalam Islam atau ke dalam wacana mengenai feminisme Islami
versus feminisme Barat. Rupa-rupanya sikap ‘menerima Islam sebagai tertuduh’ dan sikap
apologetik (rendah diri) benar-benar sudah menggejala di tengah-tengah umat ini. Sehingga
rasanya ketinggalan jaman jika tidak ikut-ikutan terjun dalam berbagai polemik ini seraya mencari-
cari hujjah dari berbagai nash syara’ untuk melegitimasi pendapat mereka, yakni agar Islam
nampak sejalan dengan ide emansipasi dan feminisme. Bahkan tak tanggung-tanggung mereka
berkata, bahwa Tuhanpun ternyata sangat feminis !
Mereka tidak lagi menyadari bahaya yang mengintai di balik seruan-seruan tersebut. Dimana,
setidaknya ada 4 hal penting yang harus dicermati :
 Ide ini lahir sebagai turunan dari pemikiran sekulerisme-kapitalisme yang menafikan
kewenangan Al-Kholiq dalam mengatur kehidupan. Dan ini jelas sangat bertentangan dengan
Islam, baik dari sisi aqidah maupun syari’ahnya. Apalagi secara logika, ketika pengaturan
kehidupan diserahkan pada asas rasionalitas manusia, maka bisa dipastikan bahwa aturan
tersebut mengandung banyak cacat dan rusak.
 Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk ridla pada ide-ide
yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya, sekalipun harus sedikit demi sedikit
mengikis keyakinan mereka akan kesempurnaan aturan Islam. Atau berupaya melakukan
sinkretisme antara ajaran Islam dengan ide-ide bathil ini melalui upaya pelabelisasian ide-ide
tersebut dengan stempel Islam.
 Memunculkan ketimpangan dan kegoncangan struktur masyarakat dan keluarga, yang
fenomenanya nampak dalam maraknya kasus-kasus perceraian, dekadensi moral seperti free
sex dan perselingkuhan, anak-anak generasi ekstasi, dan sebagainya.
 Makin menjauhkan gambaran kaum muslimin akan keagungan dan keunikan masyarakat Islam
dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, seraya memadamkan cita-cita mereka
untuk hidup di dalam masyarakat Islam. Padahal, seharusnya disadari, bahwa secara politis,
negara-negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan ini sangat berkepentingan
akan berkembangnya ide-ide seperti. Ini mengingat mereka memahami sepenuhnya, bahwa
terwujudnya masyarakat Islam sesungguhnya merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan
hegemoni mereka atas dunia.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada ada satu alasanpun yang membuat kaum muslimin
harus ikut-ikutan mengadopsi ide feminisme, apalagi memperjuangkannya. Karena Islam memiliki
pandangan yang unik dan khas tentang keberadaan pria dan wanita, bagaimana hubungan
keduanya, serta mengenai bentuk kehidupan masyarakat yang ingin dibangun di atas landasan
aqidah dan aturan-aturannya. Pandangan tersebut adalah, bahwa tatkala Allah SWT menciptakan
manusia dengan jenis pria dan wanita, maka Allah telah memberikan seperangkat potensi yang
sama kepada keduanya, berupa potensi akal yang berfungsi mamahami (bukan menghukumi) serta
potensi hidup yang membuatnya bergelora (naluri dan kebutuhan jasmani), sekaligus memberikan
solusi bagaimana cara pemenuhannya dalam bentuk aturan-aturan kehidupan (ad-din).
Perangkat aturan-aturan inilah yang sebenarnya mengarahkan manusia, baik pria maupun
wanita, agar keduanya dapat terjun ke kancah kehidupan secara harmonis, penuh ketenangan dan
ketentraman. Karena aturan tersebut dibuat oleh yang Maha Menciptakan Manusia dan kehidupan
ini seluruhnya. Oleh karena itu, ketika kita melihat, bahwa adakalanya Allah SWT menetapkan
aturan yang sama antara pria dan wanita seperti kewajiban beribadah, menghiasi diri dengan
akhlaq mulia, menuntut ilmu, berda’wah dan sebagainya, dan disaat lain Allah juga kadang
membedakan hukum diantara keduanya, semisal waris, kepemimpinan, perwalian dan sebagainya,
maka semua itu harus dipandang sebagai SOLUSI atas permasalahan manusia SECARA
KESELURUHAN. Dan persamaan ataupun perbedaan ini, sama sekali tidak ada sangkutpautnya
dengan ada dan tidak adanya emansipasi dalam Islam, melainkan hanya terkait dengan pandangan
Islam yang manusiawi terhadap keberadaan sisi insaniah dan sisi kondrat jenis diantara keduanya.
Dengan kata lain, pada saat berkaitan dengan sisi insaniah manusia, maka Allah menyamakan
peran dan tanggungjawab diantara keduanya. Namun jika menyangkut aspek jenis (tabiat fitri),
maka Allah SWT memberikan aturan yang berbeda. Dan kesemuanya harus dipahami dalam
konteks bahwa aturan syara’ adalah solusi bagi problematika manusia seluruhnya.
Oleh karena itu, Islam memandang, bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan yang utuh,
yang tidak mungkin dipilah menjadi komunitas pria dan wanita, dimana satu sama lainnya saling
berebut peran dan posisi masing-masing. Justru adanya pembagian peran dan fungsi yang
landasannya aturan-aturan Allah SWT itulah yang menyebabkan pria dan wanita dapat saling
bekerja sama untuk meraih tujuan-tujuan bersama. Toh yang terpenting, dalam Islam, penilaian
prestasi tidak didasarkan pada jenis peran yang dimainkan, dan seberapa banyak materi yang
dihasilkan, melainkan diukur oleh tingkat ketaatan manusia, baik pria maupun wanita, terhadap
aturan-aturan yang sudah Allah tetapkan, apapun jenisnya. Dengan demikian, kedua-duanya
memiliki peluang yang sama untuk meraih ketinggian derajat orang-orang taqwa di sisi Allah SWT.
Tentu saja hal ini menyangkut aspek yang paling mendasar, yakni masalah aqidah. Namun
sebenarnya hanya dengan kerangka mendasar inilah kita bisa mulai melacak, dimana sebenarnya
letak akar permasalahan munculnya disharmoni hubungan antara pria dan wanita di dalam
masyarakat sekarang. Kenapa pula kaum wanita yang banyak menjadi korban ? Apakah benar
bahwa biang keladinya adalah ajaran Islam ?
Jika kita mau sedikit jujur, maka kita akan melihat, bahwa pangkal kekacauan ini
sebenarnya terkait dengan ketidakmampuan sistem yang ada dalam memecahkan persoalan-
persoalan manusia secara mendasar dan gradual. Dan ini sangat terkait dengan aturan hukum
kapitalistik yang sekuler, yang diterapkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tadi. Padahal
kita tahu, bahwa prinsip sekularisme adalah menyerahkan pengaturan kehidupan kepada asas
rasionalitas manusia. Sementara, bagaimanapun jeniusnya, manusia tidak akan mampu membuat
aturan yang sempurna dengan memberi jaminan keadilan bagi semua orang, baik laki-laki maupun
wanita tanpa kecuali, karena akal manusia sangat terbatas.
Jadi masalahnya BUKAN karena adanya pembedaan fungsi dan peran wanita dan pria
dalam masyarakat, apalagi dikait-kaitkan dengan keberadaan struktur masyarakat patriarkhi yang
salah satunya memberi peluang penuh kepada laki-laki untuk memegang tampuk kekuasaan.
Karena sebenarnya apapun peran dan fungsinya menjadi tidak lagi penting, selama pembagiannya
dilandaskan pada aturan-aturan main yang sahih, yakni yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta
dan Pengatur.
Oleh harena itu, sangat TIDAK LAYAK jika kemudian ajaran Islam dipersalahkan atas
kondisi miris yang menimpa kaum wanita saat ini. Karena faktanya aturan Islam kini tidak dipakai
sebagai aturan kehidupan. Justru aturan kapitalisme lah yang sedang mendominasi kehidupan ini
yang kemudian terbukti hanya melahirkan berbagai persoalan krusial di berbagai bidang kehidupan.
Sehingga kaum muslimin seharusnya kembali meyakini, bahwa hanya Islamlah yang bisa menjadi
solusi atas seluruh persoalan manusia dengan jalan yang sangat manusiawi dan memuliakan
manusia (baik pria maupun wanita). Hanya saja, ajaran Islam hanya bisa tegak secara purna
dalam habitatnya yang alami, yakni di dalam sebuah masyarakat Islam yang di dalamnya seluruh
interaksi yang terjadi diatur oleh aturan-aturan Islam.
Dalam konteks pembentukan masyarakat Islami inilah sebenarnya arah pemberdayaan
wanita (muslimah) menjadi relevan untuk dibahas.

Arah Pemberdayaan Wanita Muslimah


Tatkala kita sudah memahami, bahwa masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh,
maka kitapun akan memahami bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi wanita harus dipandang
sebagai masalah masyarakat yang perlu penyelesaian secara tuntas dan gradual. Caranya tidak
lain dengan menerapkan aturan kehidupan yang mampu memberi solusi tuntas atas seluruh
permasalahan yang dihadapi, yakni dengan Islam.
Untuk itu, seluruh anggota masyarakat, baik pria maupun wanita, memiliki kewajiban yang
sama untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya masing-masing untuk bekerjasama mewujudkan
tujuan tadi dengan berlandaskan pada kerangka pandang yang satu, yaitu Islam. Sehingga dalam
hal ini konsep pemberdayaan perempuan menurut Islam tidak boleh terlepas dari upaya
pemberdayaan anggota masyarakat lainnya. Karena masyarakat Islam hanya akan terwujud
melalui kerja bersama seluruh komponen masyarakat yang ada di dalamnya.
Adapun langkah pertama yang harus ditempuh dalam pemberdayaan umat ini adalah
dengan mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah mereka. Selanjutnya
mengarahkan dan menggerakkan mereka secara bersama agar senantiasa
memaksimalkan perannya dalam bidang yang boleh dia geluti berdasarkan aturan main
yang sudah disepakati, yakni Islam.
Adapun yang dimaksud dengan kesadaran politik disini adalah terwujudnya kerangka
pandang tertentu yang memandang dunia secara universal (bukan parsial). Dalam hal ini kerangka
pandang yang dimaksud adalah aqidah Islam. Sehingga, jika kesadaran politik ini sudah melekat
pada kaum muslimah dan umat pada umumnya, maka mereka akan memiliki standar yang jelas
dalam berpikir dan bersikap, termasuk ketika mereka terjun ke tengah-tengah masyarakat seraya
menularkan kekuatan mafhum yang telah mereka miliki. Dengan demikian, pada saat yang sama,
merekapun akan mampu menghadapi berbagai tantangan dan pergolakan pemikiran yang sengaja
dilancarkan musuh-musuh Islam untuk menghadang gerakan pembentukan masyarakat Islam,
termasuk ide-ide semisal feminisme itu sendiri.
Adapun jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesadaran politik seperti ini tidak
lain adalah dengan memberikan pendidikan politik sesuai dengan makna politik yang
sesungguhnya, yakni memelihara urusan umat baik di dalam negeri maupun luar negeri, baik yang
berupa pemikiran dan hukum-hukum Islam maupun telaah terhadap berbagai peristiwa politik.
Semua aspek tersebut benar-benar dijadikan rujukan dalam mensikapi dan menyelesaikan
permasalahan yang terjadi. Sehingga melalui pendidikan politik ini setiap muslimah mampu
mensikapi setiap peristiwa dengan benar dan tepat dengan kerangka pandang Islam dan sekaligus
siap bergerak menyampaikan da’wah Islam ke tengah-tengah masyarakat dengan manhaj yang
telah ditetapkan.
Hanya saja, harus benar-benar dipahami bahwa aktivitas da’wah wanita dalam fungsinya
sebagai ANGGOTA MASYARAKAT, juga harus sejalan dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya..
Dalam hal ini ketika Islam menetapkan tugas pokok wanita sebagai UMMU WA ROBBATUL BAIT
serta menetapkan kewajiban mereka sebagai HAMBA ALLAH dan sebagai ANAK, maka seluruh
kewajiban tersebut harus berjalan secara seimbang dan selaras, tanpa ada yang dilalaikan atau
diabaikan. Disinilah muslimah ditantang untuk pandai-pandai memenej waktu, disamping
memahami FIKIH PRIORITAS (Al-Aulaawiyaat)s, sehingga semua kewajiban tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik dan optimal.
Dengan demikian jelaslah, bahwa ada perbedaan diametral antara konsep pemberdayaan
wanita menurut Islam dengan versi feminisme. Dimana standar kebangkitan yang terwujud dalam
gambaran mengenai profil wanita modern yang bangkit/berdaya juga berbeda. Sosok wanita
dengan pendidikan formal tinggi, aktif dan vokal, karir bagus, kekayaan melimpah dengan bentuk
keluarga kecil yang demokratis barangkali menjadi standar penilaian profil wanita modern/bangkit
menurut versi feminis. Sementara, Islam memandang bahwa kebangkitan wanita hanyalah diukur
dengan ketinggian taraf berpikir dan bersikap mereka yang dilandaskan pada kerangka pandang
mendasar, yakni aqidah Islamiyah. Dan lebih dari itu upaya membangkitkan wanita tersebut harus
sejalan sejalan dengan kebangkitan ummat secara keseluruhan. Yakni ditandai dengan
terbentuknya kepribadian Islam mumpuni dengan kesadaran politik yang tinggi pada seluruh
anggota masyarakat. Dimana kondisi ini akan menjamin bahwa setiap anggota masyarakat akan
mampu mampu mengoptimalkan fungsi dan peran mereka masing-masing sesuai dengan ketetapan
yang telah Allah SWT berikan. Dengan demikian, terbentuknya masyarakat Islam sebagai
masyarakat yang bangkit dengan kebangkitan yang langgeng dan sahih, bukan lagi merupakan
utopi. Dimana di dalamnya, seluruh manusia akan memperoleh kembali kemuliaannya.
Sebagaimana yang pernah dibuktikan sejarah, tatkala kaum muslimin hidup didalam sebuah
masyarakat yang unik, yang kemudian melahirkan peradaban yang sangat cemerlang selama lebih
kurang 13 abad.
Hanya saja, mewujudkan cita-cita tersebut tentu membutuhkan upaya. Setidaknya, kita
semua harus memulai dengan jalan membina diri dengan Islam. Agar Islam tidak lagi menjadi
sesuatu yang asing. Dan agar gambaran kehidupan masyarakat Islam benar-benar terealisasikan
dalam benak, yang dengannya kita terdorong untuk segera mewujudkannya.
Wallahu Muwafiq ila Aqwamit-Thariq.
--------------
 Ibu Rumahtangga sekaligus aktivis pada Forum Kajian Muslimah untuk ke-Islaman
(FKMI) NURUL ILMI, Bandung.
*Disampaikan pada Seminar Muslimah : Profil dan Kebangkitan Wanita, Keputrian
UNPAD, 2 Juni 2001/9 Rabiul Awwl 1422 H.

Anda mungkin juga menyukai