Anda di halaman 1dari 7

FEMINISME

A. DEFINISI FEMINISME
Feminisme lahir pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang
berjudul A room of One’s Own tahun 1929. Secara etimologis feminis berasal dari kata femme, berarti
perempuan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, sebagai kelas sosial. Dalam buku
Encyclopedia of feminism, yang ditulis Lisa Tuttle pada tahun 1986, feminisme dalam bahasa inggrisnya
feminism, yang berasal dari bahasa latin femina, memiliki arti sifat keperempuanan. Istilah dari feminis
adalah gerakan kaum perempuan menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial
pada umumnya. Jadi Feminisme merupakan gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum wanita dan pria.1, sehingga feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan
dibanding laki-laki di masyarakat.2
Dalam ajaran Islam telah menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan,
sebagaimana firman Allah swt Q.S Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
Disisi lain, Islam tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tingkatan taqwa
tetapi secara keseluruhan bagi yang bertaqwa dan beramal sholeh. Hal ini dapat dilihat pada Q.S Al
Baqarah ayat 228 yang artinya : ...”Dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan
kewajiban mereka”..
Dengan demikian, adanya gerakan feminis bukanlah gerakan yang semata-mata menyerang laki-laki,
melainkan merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, serta citra patriakal bahwa
perempuan itu pasif, bergantung (tidak mandiri), dan inferior. Gerakan feminsime menjunjung tinggi
dukungan pada kaum perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang sama atau sederajat dengan kaum laki-
laki.3

1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Ed. 3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2003).
2
Arimbi Hp and R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Cet. 1. (Jakarta : Sukaluyu,
Bandung: DebtWATCH Indonesia ; Institut Perempuan, 2004).
3
Ida Hidayatul Aliyah, Siti Komariah, and Endah Ratnawaty Chotim, “Feminisme Indonesia dalam Lintasan Sejarah,”
TEMALI : Jurnal Pembangunan Sosial 1, no. 2 (October 1, 2018): 140–153.
B. SEJARAH FEMINISME

Kemunculan Feminisme di Negara Barat

Feminisme Berawal dari Mary Wollsstone yang menulis buku dengan judul “The Vindication
Gelombang 1 of The Right of Woman”, untuk menyuarakan hak-hak pendidikan bagi perempuan.
Kemudian dilanjutkan oleh Hariet & John Stuart Mill, yang menyuarakan
1792 kesempatan bekerja bagi perempuan dan hak dalam hubungan pernikahan. Akhir
Gel 1 ditandai adanya perolehan hak politik bagi perempuan (Amandemen ke- 19
Konstitusi Amerika Serikat 1920)
Feminisme Ditandai munculnya Feminine Mystique (Freidan, 1963), National Organization for
Gelombang 2 Woman (NOW, 1966), dan kelompok - kelompok Conscious Raising (CR, akhir
tahun 1960). Gel ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan atas diskriminasi
1960 kehidupan yang dialami perempuan: reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan
seksual, seksualitas perempuan, dan masalah domestisitas. Ada 2 kelompok /
aliran: golongan kanan (aliran cenderung liberal), golongan kiri (aliran lebih
radikal). Gelombang ini berakhir pada tahun 1975 – 1980 an, namun dianggap
hanya memperjuangkan wanita kulit putih dan kaum heteroseksual sehingga masih
ada kritisi yang akhirnya membentuk gerakan radikal
Feminisme Feminisme berkembang secara divergen dan bersamaan dengan lahirnya
Gelombang 3 postfeminisme yang kontroversial. Berbagai kritik dalam Fem Gel 2 mendorong
(Postfeminisme) terjadinya pendefinisian kembali :
- Konsep 1, Fem Gel 2 bersifat rasis dan etnosentris yang hanya mewakili
1975 - 1980 an perempuan kulit putih kelas menengah dan memarginalkan perempuan
dari kelompok lain;
- Konsep 2, Fem Gel 2 belum sepenuhnya menyuarakan isu “sexual
difference”;
- Konsep 3, dikotomi antara feminisme gel 3 dan postfeminsime dalam
perkembangan feminisme pasca gel 2 merupakan salah satu permasalahan
mendasar yang dialami, mengenai penamaan perkembangan feminisme
pasca 1970.
Fem Gel 3 dianggap sebagai perkembangan yang didominasi dunia barat (kultur/
budaya populer) serta berkomitmen untuk merangkul aliran – aliran feminis yang
berbeda.
Kemunculan Feminisme di Indonesia

Feminisme hadir di Indonesia sejak adanya penerapan politik etis pada masa Belanda. Dengan
adanya politik etis, dibuka lah sekolah-sekolah Belanda untuk elit pribumi dan para ningrat, namun
disayangkan hanya para pemuda Indonesia yang dapat memasuki sekolah tersebut, diantaranya : Sekolah
Rakyat, HIS, MULO, HBS, sekolah dokter (STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool). Hingga pada akhir
abad 20, RA Kartini mempelopori dibukanya sekolah untuk mendidik wanita. Kemudian lahir pula
organisasi perempuan yang pertama, yaitu Poetri Mardika pada tahun 1912. Setelah itu, muncullah
perkumpulan perempuan lainnya bernama Putri Sejati dan Wanita Utama.

Kemudian tahun 1920 muncullah Organisasi Sarekat Rakyat yang menyuarakan peningkatan upah
dan kondisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Dilanjut pada tahun 1928-1930 muncul beberapa
organisasi yang menyuarakan reformasi pendidikan dan perkawinan, penghapusan perdagangan perempuan
dan anak. Kemudian, pada masa pendudukan Jepang (1942) dibentuk organisasi Fujinkai, yang
memperjuangkan pemberantasan buta huruf dan berorientasi pada pekerjaan sosial. Organisasi wanita
berangsur-angsur hancur pada tahun 1950, disamping itu muncullah GERWANI (Gerakan Wanita
Indonesia). Organisasi ini menyuarakan sukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran
perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosek bagi
kaum perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogami.

Kemunculan Feminisme dalam Islam

Pada tahun 1990-an, para tokoh muslim banyak yang merespon gerakan feminisme atas keresahan
mereka terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Dalam Islam gerakan ini dipelopori oleh
beberapa tokoh diantaranya Amina Wadud, Fatimah Mernissi, dan Leila Ahmed. Meskipun memiliki
kesamaan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun feminisme Islam tidak setuju dengan
pandangan feminis dari Barat. Feminisme dalam Islam fokus memperjuangkan keadilan hak dan
kewajibannya di masyarakat dan agar tidak didiskriminasi oleh kaum laki-laki.

Gerakan ini berkembang pesat seiring dengan banyaknya tokoh feminis muslim yang menuliskan
pemikirannya melalui buku, yang kemudian dipelajari oleh banyak kalangan dan menyebar luas ke
berbagai negara. Beberapa diantaranya adalah Amina Wadud “Qur’an and Woman: Rereadingthe Sacred
Text from a Woman’s Perspective”, Fatimah Mernissi “Woman and Islam: An Historical and Theological
Enquiry”, Asghar Ali Engineer “Rights of Woman in Islam”, Fatima Seedat “Feminisme Islam dan Islam
Feminis”, dan masih banyak lagi karya dari tokoh feminis muslim yang hingga sekarang ini masih terus
digunakan sebagai acuan dalam penelitian maupun pembelajaran khususnya dalam bidang perempuan dan
kesetaraan gender.

Namun, sebenarnya dengan adanya Islam itu sebagai bentuk menjunjung martabat perempuan dan
memberikan kebebasan kepada perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki
terutama diruang publik. Namun, memang masih banyak oknum yang kurang memahami mengenai dalil-
dalil dalam Al-Qur'an yang dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi perempuan.

C. PENGALAMAN PEREMPUAN
Seorang perempuan kerap mengalami ketidak adilan, hal ini bermula pada cara pandang yang
negatif dari masyarakat terhadap lima pengalaman perempuan secara biologis, yang nantinya akan
membentuk lima cara pandang pengalaman sosial perempuan. Secara biologis sendiri, lima pengalaman
tersebut yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Dari kelima pengalaman biologis
perempuan ini pastilah disertai dengan rasa sakit bahkan sangat sakit. Pengalaman ini memiliki durasi yang
berbeda-beda, mulai dari hanya beberapa jam; harian (melahirkan); mingguan (menstruasi); bulanan
(hamil); bahkan tahunan (menyusui). Sungguh begitu istimewanya perempuan, karena pengalaman ini
merupakan suatu kodrat yang telah diberikan oleh Allah kepada hambanya (perempuan).
Lima pengalaman ini tidaklah dialami oleh laki-laki. Tentu hal ini akan berdampak pada cara
pandang dan perilaku dalam kehidupan sosial perempuan, karena perempuan juga memiliki lima
pengalaman sosial diantaranya, subordinasi ialah salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting dan yang
lainnya lebih rendah, seperti perempuan lebih rendah dari laki-laki, selanjutnya stereotipe atau pelabelan
yang mana menimbulkan kerugian dan ketidakadilan, lalu ada marginalisasi yang biasa disebut
peminggiran, dimana perempuan merasa dipinggirkan dan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol
terhadap sumber daya. Beban ganda (double burden) pada perempuan, yaitu pembagian peran antara
domestik dan publik tanpa pembagian peran yang adil dengan laki-laki, dan yang terakhir ada violence atau
kekerasan. Perlunya perhatian khusus agar kelima pengalaman sosial ini tidak dialami oleh perempuan.
Dari sepuluh pengalaman diatas laki-laki meskipun tidak mengalaminya dan merasakan sakitnya, haruslah
ada pertimbangan dalam konsep kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan agama maupun kebijakan negara.

D. PERAN FEMINISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam dua
tahun ini terus bergerak, bersinergi, dan berkolaborasi melakukan upaya pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan pendidikan. Salah satunya, dengan mendorong perguruan tinggi
untuk membentuk satuan tugas (Satgas) PPKS yang sejalan dengan mandat Permendikbudristek Nomor 30
Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Upaya tersebut terus didorong mengingat kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan
tinggi masih mengkhawatirkan. Berdasarkan data laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan,
sepanjang tahun 2015-2021, dari total 67 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan,
35 diantaranya terjadi di perguruan tinggi.
Sebagaimana disampaikan oleh Nadiem Anwar Makarim dalam penuturannya di berbagai media
bahwa, satgas di perguruan tinggi merupakan salah satu inovasi terpenting dalam pencegahan
kekerasan seksual. Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami
juga menyampaikan, saat ini keseluruhan dari 125 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia yang terdiri
dari 76 PTN Akademik dan 49 PTN Vokasi telah membentuk Satgas PPKS. Adapun pelaksanaan satgas
kekerasan seksual juga diatur dalam Pasal 23 hingga Pasal 37 pada Bab IV tentang Satuan Tugas
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Satgas juga diatur lebih lengkap dalam Pasal 38 hingga
Pasal 46 pada Bab V tentang Mekanisme Penanganan Kekerasan Seksual oleh Satuan Tugas. Satgas
khusus juga dibentuk dalam merelokasi, serta merekonstruksi kemungkinan terjadi kasus kekerasan
seksual di lingkungan kampus. Satgas ini yang kemudian akan menjadi kepanjangan tangan dari
pelaksanaan Permendikburistek PPKS untuk menjadi langkah tegas jika ada kasus yang terjadi dari
pihak kampus.

Lalu, apakah satgas PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah berjalan


maksimal?

Pada realitanya, masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan
tinggi. Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020) menyebutkan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan
terhadap perempuan meningkat 792%. Dalam Catatan Tahunan terbaru (2022), kekerasan terhadap
perempuan mencapai 338.496 laporan, dan kekerasan seksual berjumlah 4.660 kasus. Dari data tersebut,
kampus menempati posisi puncak dengan 27% laporan. Data ini tentu saja adalah data gunung es, sebab
hanya mendata yang melapor. Laporan WHO (2022) menyebutkan, bahwa 9 dari 10 korban kekerasan
seksual tidak melapor. Artinya, jika laporan WHO dipakai dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual
boleh jadi sepuluh kali lipat dari laporan yang ada. Data ini tentu akan lebih kompleks jika kita
mempertimbangkan bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan dewasa, namun juga anak-
anak, laki-laki, dan penyandang disabilitas.

Ada tiga tantangan utama mengapa pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pendidikan
tinggi relatif stagnan :

a) Pertama, insan kampus masih memandang persoalan kekerasan seksual semata-mata urusan
kesusilaan. Kampus masih berlindung di balik menara gading, dengan berdasarkan pada asumsi,
bahwa semua akademika memiliki moralitas yang paripurna. Jika seorang dosen dilaporkan melakukan
kekerasan seksual terhadap mahasiswa bimbingan, maka yang terjadi adalah si mahasiswa akan
dipindahkan ke dosen pembimbing lain. Argumentasinya sederhana: karena laporan yang ada tidak
dianggap sebagai kekerasan seksual, namun sebagai pelanggaran etika dan kesusilaan, maka solusinya
absurd: pisahkan saja si dosen dan si mahasiswa. Masalah selesai.
b) Kedua, diskursus tentang kekerasan seksual seringkali dibenturkan pada satu frasa fundamental:
persetujuan. Persetujuan seringkali disalahartikan menjadi suka-sama-suka. Jika dosen A memeluk
mahasiswa B, dan si mahasiswa B tidak menolak, maka hal itu dianggap suka-sama-suka, bukan
kekerasan seksual.
c) Ketiga, kampus masih memandang bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu
rumit dan membutuhkan banyak biaya. Asumsi ini tidak sepenuhnya keliru, sebab secara regulasi,
memang harus dibuat Tim Satuan Tugas PPKS sebagai badan khusus yang menangani kekerasan
seksual di kampus. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh kampus. Tahap awal yaitu membuka
rekrutmen tim panitia seleksi Satgas PPKS. Selanjutnya, dilakukan rekrutmen terbuka calon Satgas
PPKS, kemudian diadakan uji publik calon, dan calon terpilih nantinya akan disahkan oleh rektor. Satu
hal yang harus diingat, baik pansel maupun Satgas harus berisikan dosen, tenaga pendidik, dan
mahasiswa. Alasan ketiga elemen ini harus hadir, sebab kekerasan seksual membutuhkan komitmen
dan tanggungjawab semua pihak.

Ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh kampus. Langkah paling optimal adalah dengan
mengintegrasikan persoalan kekerasan seksual ke dalam struktur kurikulum. Setiap kampus dipastikan
memiliki mata kuliah wajib universitas, fakultas maupun prodi, di mana isu kekerasan seksual dapat masuk.
Misalnya dalam mata kuliah agama atau kewarganegaraan. Persoalan kekerasan seksual dapat
diIntegrasikan ke dalam level kemahasiswaan, melalui BEM atau Himpunan Mahasiswa. Mahasiswa dapat
didorong untuk secara terbuka mendiskusikan kekerasan seksual dan membedah regulasi yang ada,
misalnya diskusi tentang UU TPKS dan lain sebagainya, dan dapat pula melalui materi dalam PMB. Di
level dosen dan tenaga pendidik, pembahasan terkait kekerasan seksual dapat dilakukan dalam forum yang
diikuti oleh semua dosen dan tendik, misalnya dalam rapat persiapan kuliah atau rapat evaluasi semester.
Selain persoalan kekerasan seksual yang diintegrasikan dalam struktur kurikulum, hal ini juga dapat
dilakukan dengan memaksimalkan Satgas yang dibentuk oleh pihak kampus. Seperti mengadakan
penyuluhan secara menyeluruh setiap 3/6 bulan sekali, dan perguruan tinggi memberikan sanksi tegas soal
kekerasan seksual agar pelaku merasa jerah serta meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual. Hal ini
karena kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, dan akan menjadi sangat egoistik jika kampus
merasa bersih dari kekerasan seksual, dan karenanya merasa dapat jalan sendiri tanpa bantuan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Heri Junaidi dan Abdul hadi : “Gender Dan Feminisme Dalam Islam” jurnal Muwazah,
Vol 2 No 2 tahun 2020
Ihda Haraki,: Feminis Dalam Perspektif Islam: Telaah Ulang Ayat-Ayat Kesetaraan Gender .
IAIN Madura , tahun 2018
Sri Hidayati Djoeffan, ”Gerakan Feminisme Di Indonesia : Tantangan Dan Strategi Mendatang”
Mimbar. No. 3, Juli – September 2001, 286-290.
Gadis Arivia dan Nur Iman Subono, “Seratus Tahun Feminisme di Indonesia”
(FES Indonesia, 2017), 6-20
Tuttle L, Encyclopedia of Feminism, London, Arrow Books, 1986, hal. 349
Nindi Alfizahrin, dkk, "Feminisme Dalam Islam Menurut Pandangan Tokoh Muhammadiyah Dan
Nahdlatul Ulama Di Kota Ambon"
Jurnal Al-Muqaranah, Vol. 1, No.1, September 2022, 16-19.
Shofy Maulidya Fatihah. (2021). “Urgensi Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Pendidikan”. Diakses pada 20 Mei 2016 dari https://www.wartacakrawala.com/urgensi-satgas-
pencegahan-kekerasan-seksual/
Khaerul Umam Noer. “Jalan Panjang Kampus Merdeka Dari Kekerasan Seksual”. Diakses pada 20 Mei
2016 dari https://umj.ac.id/opini/jalan-panjang-kampus-merdeka-dari-kekerasan-seksual/

Anda mungkin juga menyukai