Anda di halaman 1dari 5

Bahaya Feminisme Islam Bagi Umat dan Generasi

Najmah Saiidah

Gagasan feminisme sesungguhnya tak boleh disikapi secara abai oleh kaum muslimin di manapun.
Ini mengingat, kehadiran feminisme senyatanya telah membawa perubahan mendasar dalam
tatanan kehidupan masyarakat, yang justru lebih menguatkan proses sekularisasi di dunia Islam.
Persoalannya, jargon ‘kesetaraan jender’ dan ‘pembebasan perempuan’ yang menjadi spirit gerakan
feminisme, ternyata telah memberikan efek yang luar biasa, termasuk ke dunia Islam. Tidak sedikit
kaum muslimin yang ikut mengadopsi, bahkan mengusung ide-ide feminisme tersebut dan
beberapa kalangan menganggap bahwa feminisme ada di dalam islam dan menyebutnya dengan
istilah feminisme Islam.

Antusiasme sebagian masyarakat muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya
menghubungkan antara ide feminisme dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di antara mereka
dengan bangga menyebut diri sebagai feminis muslim. Mereka memahami bahwa apa yang
menjadi visi feminisme—seperti konsep kesetaraan gender, HAM, keadilan—sesungguhnya juga
merupakan spirit ajaran Islam. Padahal jika kita mau jeli menilai, kita akan menemukan
pertentangan yang sangat jauh antara spirit feminisme dan Islam, dari sisi manapun.

Feminisme Meracuni Perempuan dan Generasi Muslim

Jika kita telaah perkembangan ide ini di manapun, kita akan dapati kenyataan bahwa feminisme
tidak membawa kebaikan apapun. Bahkan yang terjadi adalah makin rusaknya tatanan masyarakat
akibat rancunya relasi dan pembagian peran di antara mereka. Feminismelah yang bertanggung
jawab atas guncangnya struktur keluarga. Masalahnya, ide ini telah meracuni para perempuan untuk
melepaskan diri dari ikatan dan tanggungjawab kekeluargaan yang pada akhirnya menghilangkan
peran lembaga keluarga itu sendiri. Padahal kita tahu, bahwa lembaga keluarga adalah tonggak dan
asas yang pokok bagi sebuah masyarakat.

Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai permasalahan keluarga, seperti merebaknya kasus
perceraian, generasi narkoba, fenomena single parent, free sex dan pelecehan seksual sebagai bukti
kuat rusaknya ide feminisme ini. Pada perkembangannya muncul sikap penentangan dari sebagian
masyarakat yang masih sadar atas berbagai ide yang diperjuangkan oleh feminisme. Diantaranya,
tuntutan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan jender) dan bahwa sifat
keperempuanan bukan bentukan alami tetapi dibentuk oleh kebudayaan. Selanjutnya dari ide ini
melahirkan seruan kebebasan perempuan berdasarkan konsep individualisme dan tuntutan adanya
standar persamaan hak menurut undang-undang.

Kemudian, ide feminisme ini dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan umat dari
pemahaman Islam, bahkan lebih kejam dari itu --disadari atau tidak-- mereka berupaya menjauhkan
perempuan muslim dari posisi strategisnya sebagai pendidik generasi. Artinya, upaya merusak kaum
muslimah memiliki target ideologis, yakni demi mempertahankan hegemoni kapitalisme. Salah satu
caranya adalah dengan mengekspor feminisme ke dunia Islam. Dengan feminisme, mereka
memprovokasi muslimah untuk keluar dari rumah-rumah mereka, memprovokasi muslimah untuk
menanggalkan kebanggaan menjadi ibu dan pengatur rumah suaminya, memprovokasinya untuk
membeci Islam yang ditampilkan sebagai penghambat kemajuan dan mendiskriminasi mereka.
Tidak hanya keluarga, ide feminisme juga meracuni generasi muslim. Remaja perempuan pun saat
ini telah menjadi incaran ide ini. UN Women menjelaskan bahwa pemberdayaan remaja perempuan
merupakan salah satu bentuk investasi untuk masa depan. Selain itu, hal ini dianggap sebagai
langkah yang benar dan cerdas dalam berinvestasi. UN Women menjelaskan bahwa investasi yang
dilakukan dalam pendidikan dan kesehatan remaja perempuan akan memiliki dampak positif
terhadap perekonomian. Disebutkan juga bahwa ketika remaja perempuan mampu menghasilkan
pendapatan sendiri, berarti dia telah melakukan investasi terhadap keluarganya sebesar 90%
(beijing20.unwomen.org).     

Selain melalui berbagai agenda yang digawangi oleh UN Women, kegiatan pengarusutamaan gender
di kalangan remaja perempuan dilakukan secara massif melalui lembaga pendidikan. Baik pendidikan
tingkat dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi.  Pusat Studi Gender (PSG)-LPPM UNAIR
(2015) menjelaskan bahwa pengarusutamaan gender di dunia pendidikan dilakukan melalui
pembuatan kurikulum berbasis gender. Buku pelajaran, metode pengajaran dikembangkan dengan
memperhatikan aspek kesetaraan gender. Selain itu juga mengintegrasikan gender ke dalam mata
pelajaran/kuliah, misalnya sosiologi gender, antropologi gender, gender dan psikologi, dan lain-lain.

Tampak jelas bahwa ide ini tidak hanya membahayakan umat Islam, akan tetapi juga generasi
muslim, karena saat ini sudah menyasar remaja perempuan. Tragisnya, ide ini diterima oleh
sebagian kalangan kaum muslimin dan berupaya merealisasikannya, bahkan mengkait-kaitkannya
dengan Islam, menukil beberapa nas agar bisa diterima oleh kaum muslimin. Padahal sesungguhnya
yang mereka lakukan adalah mencocok-cocokan nas dengan apa yang mereka kehendaki. Mereka
menamakan dirinya sebagai Feminis muslim.

Lalu bagaimana dengan Feminisme Islam ini ? Akankah membawa kebaikan bagi umat ? Atau malah
lebih besar bahayanya bagi umat Islam, sehingga tidak layak diperjuangkan ?

Feminisme Islam

Islam dituding sebagai agama yang tidak berpihak kepada perempuan karena sebagian aturan-
aturannya dianggap terlalu maskulin, mengekang perempuan dan menempatkan perempuan pada
posisi nomor dua. Akhirnya aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini karena
bertentangan dengan konsep kesetaraan, seperti hukum waris, poligami, kepemimpinan laki-laki
dalam keluarga, nafkah, pakaian muslimah, terlebih kepemimpinan laki-laki dalam negara yang
memang diharamkan bagi perempuan.

Untuk itu mereka menuntut dilakukannya upaya reinterpretasi atau bahkan rekonstruksi nas-nas
fikih perempuan, agar bisa lebih memberi rasa keadilan gender. Semangat ini telah mendorong
lahirnya feminisme Islam, dan pada akhirnya lahir pula para feminis muslim yang berupaya
melakukan penafsiran ulang atau lebih tepatnya penakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Mereka
menilai ahli tafsir klasik lebih memihak kaum laki-laki.

Amina Wadud Muhsin, dalam buku Perempuan di dalam al Qur’an secara tegas menolak penafsiran
yang hanya meniru mentah-mentah masyarakat muslim awal. Karena dalam pandanganya, tidak
akan pernah ada masyarakat yang persis sama dengan masyarakat lainnya. Ia mencontohkan tafsir
QS. An-Nisaa : 34, Arrijaalu qawwamuuna ‘alannisaa’ (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan),
sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, dimana pendapatan tunggal sang ayah tidak cukup
bagi kelangsungan hidup yang nyaman. Intinya, Amina menginginkan penafsiran baru yang
disesuaikan dengan dinamika masyarakat muslim sekarang.

Dalam buku Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Masdar F. Mas’udi menyoroti al-Qur’an
surat an-Nisaa ayat 11-12 yang berbunyi, ...bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan... Berkenaan dengan ayat ini, Masdar menyatakan bahwa sesuai dengan kondisi dan
stuktur ekonomi keluarga yang real waktu itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2 : 1.
Namun rumusan tersebut adalah minimal. Artinya dalam kasus-kasus tertentu, tuntutan keadilan
bisa saja menghendaki pembagian laki-laki dan perempuan bisa sama banyak atau bahkan
perempuan lebih banyak.

Tidak hanya itu, para feminis muslim sadar atau tidak, sesungguhnya mereka telah menyerang
syariat islam, tapi dibungkus dengan seruan yang nampak manis dan islami. Setidaknya itu tampak
nyata dalam konsep keluarga bahagia yang mereka propagandakan dengan mengangkat slogan ’
keluarga ideal adalah keluarga feminis’. (ibtimes.id/Nopember2020).

Poster ini mengungkapkan narasi, yang ringkasnya: keluarga feminis mendorong suami dan istri
bebas memilih peran terbaiknya, pilihan bebas tanpa paksaan. Keluarga feminis menganggap suami
atau istri  memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri, anak-anak, dan masyarakat. Dalam keluarga
feminis, suami dan istri harus saling menghormati, menyayangi, dan mendukung perkembangan diri
dan membantu kesulitan masing-masing, dengan sepadan. Dalam keluarga feminis, jika terjadi
bentrok kepentingan, maka suami dan  istri menyelesaikannya dengan cara kompromi dan negosiasi,
bukan siapa yang lebih mendominasi. Kesimpulan mereka, hakikat keluarga feminis yaitu hubungan
kesalingan (mubadalah) dan keluarga sakinah yang membahagiakan orang lain dan diri sendiri.

Konsep kesalingan atau mubadalah ini dalam penerapannya menafikan berbagai dalil yang menjadi
pengkhususan bagi perempuan, tidak hanya berkaitan dengan keluarga. Sebagai contoh ketika
membahas hadis “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudara sekandung laki-laki.”(HR Abu
Daud), dikatakan bahwa hadis ini adalah referensi dasar bagi prinsip kesederajatan laki-laki dan
perempuan. Sehingga hak mereka adalah sama, hak untuk hidup bermartabat, beragama, berpolitik,
berkeluarga, beraktivitas dalam ruang lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan.

Tampak jelas, dalil-dalil yang digunakan untuk melegalisasi feminisme Islam adalah salah tempat.
Artinya dalil-dalil yang mereka gunakan tidak layak untuk membuktikan keberadaan feminisme
dalam Islam. Konsep kesetaraan inilah sesungguhnya yang menjadi tujuan mereka agar bisa terlihat
logis dan dapat diterima oleh kaum muslimin, karenanya tidak aneh jika pada akhirnya konsep
feminisme Islam ini dijadikan kendaraan oleh musuh-musuh Islam untuk bisa menjauhkan umat
Islam dari pemahaman Islam yang lurus.

Telah sangat jelas bahwa justru ide dan konsep feminisme Islam sangat berbahaya bahkan bisa
dikatakan lebih berbahaya bagi umat Islam, terlebih bagi generasi muslim kita. Mengapa ? Karena
para feminis muslim justru semakin menjauhkan umat Islam dan diri mereka sendiri dari hukum-
hukum Islam, bahkan lebih dari itu mereka aktif mempropagandakan pemikiran yang bertentangan
dengan Islam ini ke tengah-tengah umat tanpa rasa bersalah. Bagaimana nasib generasi kita
mendatang ?
Feminisme Islam Tidak Memberikan Kebaikan bagi Umat dan Generasi

Dari pembahasan sebelumnya, maka jelaslah bahwa secara fakta, ide-ide feminisme Islam tidak
memberikan kebaikan sedikitpun, bahkan sangat berbahaya bagi umat dan generasi muslim. Karena
mereka menggunakan nas-nas baik dari Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul sebagai dalil, kemudian
mereka menakwilkannya sesuai dengan keinginan mereka padahal pendapat mereka ini
bertentangan dengan Islam. Sedangkan umat Islam yang sebagian besarnya tidak paham akan
mengira hal tersebut sesuai dengan Islam karena ada landasan dalilnya. Padahal yang demikian itu
semakin menjauhkan umat islam dari pemahaman Islam yang benar.

Setidaknya hal ini tampak nyata dalam konsep keluarga yang mereka propagandakan dengan
slogan ’ keluarga ideal adalah keluarga feminis’. Mereka mempromosikan bahwa keluarga feminis
adalah keluarga sakinah. Sepintas lalu seolah benar, pada hal hakikatnya konsep keluarga feminis
sungguh sangat bertentangan dengan konsep keluarga sakinah dalam Islam. Keluarga sakinah adalah
keluarga taat syariat Islam, sementara keluarga feminis hakikatnya adalah keluarga liberal yang
menentang Islam.

Keluarga feminis juga menetapkan jika ada bentrok kepentingan maka suami istri menyelesaikan
dengan cara kompromi dan negosiasi, bukan siapa yang lebih mendominasi dan siapa yang harus
mengalah. Ini jelas konsep yang meniadakan kepemimpinan suami dalam keluarga yang berarti
juga serangan terhadap syariat Allah Swt. sebagaimana firmanNya :

ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هّٰللا‬ ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬


ِ ‫ت لِّ ْل َغ ْي‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ّ ٰ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم ۗ فَال‬
ُ ‫صلِ ٰح‬ ٰ ‫اَل ِّرجا ُل قَوَّاموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬
َ ‫ض َل ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم عَلى بَع‬ َِ ِ َ ُ َ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka).....” (QS An Nisa 34)

Tidak hanya keluarga, ide feminisme juga menyasar kalangan generasi muslim. Remaja perempuan
pun saat ini telah menjadi incaran ide ini. Seruan perempuan mandiri dan berdaya terus digaungkan
ke semua kalangan termasuk remaja, targetnya jelas Barat memang sangat bernafsu mengeluarkan
perempuan dari habitat ternyamannya dalam rumah, merusak potensi keibuan dan pengabdiannya
dalam rumah tangga dan umat, dan menggantinya dengan peran ekonomi saja. Kondisi inilah yang
dimanfaatkan musuh Islam, memakmurkan perempuan secara materi namun menjauhkan mereka
dari tatanan syari’at.

Sejatinya, ketika perempuan didorong untuk mandiri, tidak membutuhkan siapapun bahkan
suaminya sekalipun, ternyata ini melawan fitrah. Perempuan tetap ingin dan butuh dilindungi, ingin
dijaga, mau tidak mau harus bergantung kepada laki laki, apakah suami atau walinya. Apakah
kebebasan perempuan, menjadikan ia sebagai ujung tombak ekonomi keluarga membawa
kebahagiaan ? Sama sekali tidak.

Hal ini senada dengan apa yang dilontarkan para feminis muslim, bahwa perempuan bekerja lebih
utama atau dianjurkan daripada tidak bekerja. Hal ini didasarkan kepada hadis, dari Miqdam ra.,
bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik
dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil
pekerjaan tangannya sendiri” (Sahih Bukhari). Kita bisa melihat semakin jelas targetnya adalah
mengarahkan perempuan untuk mandiri secara ekonomi dan tragisnya lagi, konsep kemandirian
perempuan versi Feminis ini mampu ‘menyeret’ generasi muslimah untuk mengadopsinya. Tidak
sedikit kaum muda muslimah meramaikan bursa kerja perempuan.

Jika kita cermati, ide feminisme Islam ini pada dasarnya tidak lepas dari pemikiran induknya yang
merupakan bagian dari rangkaian upaya sekularisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat. Ide ini
menyerukan kesetaraan perempuan dan laki-laki serta mendorong perempuan mandiri dan berdaya
secara materi. Selanjutnya ide ini meracuni para perempuan, terlebih kaum mudanya untuk
melepaskan diri dari ikatan dan tanggungjawab kekeluargaan.

Ketika kaum remaja kita, generasi muda dicekoki dengan paham kesetaraan ini terlebih lagi ada
penguatan dalil yang sesungguhnya itu hanya mencocok-cocokan saja agar sesuai dengan keinginan
mereka, wajar jika akhirnya generasi muslim kita tergiur dan terbawa arus propaganda mereka.
Tentu saja kondisi ini semakin menjauhkan generasi kita dari pemahaman Islam yang lurus.

Jelaslah bahwa ide-ide feminisme dan turunannya, termasuk feminisme Islam harus diwaspadai,
bahkan ditolak. Masalahnya, di balik mulut manisnya, jargon-jargonnya yang menggiurkan terselip
racun-racun ideologis yang sangat mematikan dan bertentangan dengan Islam. Tidak hanya akan
mengikis akidah Islam umat dan generasi muslim, akan tetapi juga berpotensi terjadinya pengabaian
sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i. Memang kita semua harus berupaya memajukan
perempuan dan generasi muslim, akan tetapi tidak dengan mengabaikan ketetapan Allah dan
RasulNya. Justru sebaliknya dengan menerapkan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Karena hanya dengan Islamlah, umat Islam seluruhnya akan berjaya. Wallahu a’lam bishawwab.

Anda mungkin juga menyukai