Anda di halaman 1dari 11

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI

TAFSIR KESETARAAN GENDER

Zahrina Ghassani Amalina

Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia

*)Korespondensi
: zahrina.ghassani97@gmail.com

Abstract

Keywords : equality, feminism ,gender, hermeneutics, interpretation, women .

Abstrak

Kaum feminis muslim sekarang sering sekali mebicarakan tentang kesetaraan gender. Hukum Islam sering kali
disangkut pautkan dengan permasalahan kesetaraan gender,dimana para penggagas dan pendukung kesetaraan
gender merasa kurang adil dengan hukum Islam yang memposisikan pria dan wanita berbeda. Perbedaan itu
nampak pada pembebanan adzan,shalat Jum’at ,jumlah kambing saat aqiqah,merawat anak dan lain sebagainya.
Di artikel ini mencoba mengelaborasi sejumlah reintepretasi Al-Qur’an model Hermenuetika versi kaum wanita
dan sejarah ideologi feminisme serta ketidaktepatan penggunaan tafsir hermeneutika. Feminisme terbentuk dari
ideologi kebencian sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan kaum wanita saat peradaban Brat-Kristen di
masa lalu. Dalam tradisi Barat-Kristen terdapat metode tafsir Hermeneutika yang menganggap teks Bible bukan
sebagai wahyu.Kondisi ini sengat bertentangan dengan tradisi Islam, dalam agama Islam teks Al-Qur’an adalah
wahyu dan bukan produk budaya.Agama Islam sangat memuliakan kaum wanita,bahkan disebut bahwa syurga
berada di bawah telapak kaki seorang ibu.Perbedaan peran pria dan wanita dalam Islam bertujuan agar saling
bekerja sama dan melengkapi demi tewujudnya kebahagiaan dunia akhirat.

Kata kunci : feminisme ,gender, hermeneutik , kesetaraan,perempuan,tafsir.

1. Pendahuluan

Di negara Barat di peraya sebagai awal mula isu kesetaraan gender berasal, padangan negatif
terhadap wanita yang terjadi di negara Barat inilah yang menjadi permulaan isu tersebut. Cara
pandang masyarakat di negara Barat tentang kesetaraan gender ini di latar belakangi oleh sejarah di
negara Barat sendiri dimana pada masa lalu terdapat kisah yang sangat kejam terhadap para wanita.
Kaum wanita di anggap “sebelah mata” (misogyny) dan juga berbagai anggapan buruk lain
(stereotype) dimana itu semua adalah citra negatif yang dilekatkan pada para kaum wanita di negara
Barat. Permasalahan inilah yang memulai berbagai macam tindakan perlawanan dari para penggerak
kesetaraan gender disana. Mereka memfokuskan semua perhatian akan ketidakadilan yang diderita
oleh para kaum wanita di negara Barat yang mana akibat dari hukum semena-mena yang diciptakan
oleh para kaum pria.

Masalah kesetaraan gender ini banyak memunculkan berbagai tindakan yang dinilai tidak adil
dan diskriminatif terhadap kaum wanita di negara Barat. Permasalahan ini dimulai ketika di dalam
proses sosial, perbedaan gender antara pria dan wanita ini harusnya setara tetapi mengalami peralihan
dimana para kaum pria ini jadi lebih mendominasi daripada kaum wanita. Seiring berjalannya waktu,
dominasi kaum pria ini mulai mendapatkan pengakuan yang sah dari nilai-nilai sosial, agama, dan
hukum yang ada di masyarakat saat itu. Dominasi akan kaum wanita tersebut tertularkan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi. Permasalahan yang semakin panjang inilah yang kemudian
membentuk sebuah faham dimana para pria dapat menguasai dan menjadi sangat berpengaruh di
dalam semua sektor kehidupan (faham patriarkal). Kaum wanita pun sebenarnya tidak hanya berdiam
diri saja, mereka perlahan-lahan mengambil hak-hak yang seharusnya mereka peroleh yang selama ini
didominasi oleh para kaum pria. Perjuangan para kaum wanita untuk mengembalikan hak-hak mereka
ini yang kemudian kita kenal sebagai gerakan Feminisme.
Gerakan feminisme yang mengusung pengembalian hak-hak kaum wanita dari ketertindasan
dan mengeluarkan kaum wanita dari dominasi faham patriarkal ini, mau tidak mau mulai
menyinggung ranah kritik teologis yang kemudian dengan sangat cepat menyebar ke berbagai agama
di dunia. Dengan mulai disangkut pautkannya masalah kesetaraan gender ini dengan ranah agama
membuat hal ini menjadi tambah rumit. Hal ini membuat tradisi dan khazanah keagaaman menjadi
harus dikaji ulang. Isu ketidakadilan gender yang tadinya hanya dilakukan oleh kaum liberlisme
kristen, namun secara perlahan tapi pasti ikut mempengaruhi Islam. Hal ini menyebabkan para
muslimah (feminis muslim) yang terlibat dalam wacana kesetaraan gender berlomba-lomba
melakukan perombakan terhadap konsep-konsep Islam tentang wanita, dan kemudian disesuaikan
dengan nilai-nilai modern yang berlaku sekarang. Dalam pandangan para feminis muslim, nilai-nilai
modern yang saat ini berlaku di lingkungan masyarakat muslim sebagian besar berpedoman pada
nilai-nilai faham patriarkal sehingga mereka merasa perlu untuk membuat tandingannya sesuai
dengan prespektif dan kepentingan para kaum wanita.
Di bawah bendera feminisme, kaum wanita berusaha agar sebisa mungkin mereka bisa setara
degan kaum pria. Hal ini tidak terpaku hanya pada kaum feminis liberalisme kristen, tetapi juga oleh
para feminis muslim yang sudah mulai terpengaruh oleh virus feminisme. Para feminis muslim ini
menganggap emansipasi wanita menjadi tolak ukur kesetaraan dengan kaum pria. Dalam pandangan
para feminis baik muslim dan non muslim, pria merupakan entitas yang suka menerabas tanpa pamit
ruang publik dan sekaligus sebagai kekuatan tersendiri dalam menempatkan diri sebagai kekuatan
sosial yang berdiri di atas wanita secara sosial. Hal inilah yang memunculkan pandangan bahwa
wanita terkesan bernilai rendah di hadapan pria, sedangkan pria terkesan sangat superior.
Para feminis muslim ini memiliki semangat yang tidak kalah besar dengan para feminis
lainnya, yaitu berjuang melawan sistem dan konstruk sosial yang dilandasi seksisme dan patriarkisme.
Namun, para feminis muslim ini terlena dan entah secara sadar atau tidak mereka meniru metode
penafsiran Bible dari kalangan feminis liberalis kristen. Mereka banyak mempertanyakan hukum-
hukum Islam yang mereka anggap tidak adil dan merendahkan wanita, misalkan saja kenapa
perempuan tidak dibebani kewajiban adzan, shalat Jumat, menyembelih dua kambing saat aqiqah?,
tetapi malah diberi kewajiban untuk menyusui dan merawat anak. Mereka menuntut adanya
reintepretasi al-Qur’an versi kaum wanita.
Bahkan para feminis muslim ini menuduh bahwa para mufassir dan para ulama pria telah
menyusun sebuah tafsir kitab fiqih yang menyimpang dari konsep kesetaraan gender. Tuduhan itu
sudah jelas sangat tidak benar. Dengan menuduh para kaum pria memiliki niatan jahat untuk
melestarikan dominasi terhadap kaum wanita saja sudah merupakan tuduhan yang subjektif. Padahal,
sepanjang sejarah juga terdapat banyak ulama-ulama wanita dalam beragai macam bidang yang
memiliki pendapat tidak jauh berbeda dari pendapat para ulama pria.
Saat ini, kaum feminis menilai positif wanita berada dalam suatu sistem yang diskriminatif,
alias tertindas. Penilaian ini didasarkan pada realita bahwa posisi kaum wanita di masyarakat tertindas
oleh suatu sistem dan struktur gender. Mereka menganggap sebab utama proses ketidakadilan tersebut
bersumber pada ideologi yang didasarkan kepada keyakinan agama. Para kaum wanita beranggapan
mereka menjadi korban ketidakadilan di dalam berbaai aspek kehidupan dimana hal itu dikukuhkan
oleh suatu tafsiran sepihak dan diwujudkan oleh budaya syari’at yang berjalan dalam masyarkat. Jadi,
para fminis ini ingin setiap penafsiran yang mengabaikan kesetaraan gender menurut pandangan
mereka harus dirombak.

2. Landasan Teori

Dalam prespektif Barat yang menyebautkan wacana kesetaraan gender antara kaum pria dan
wanita dalam persenan adil sama rata (50/50) sangat tidak sesuai dengan Al-Qur’an, walaupun
terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang kesetaraan keduanya dalam Al-Qur’an. Bagi kaum
feminis kesetaraan gender yang mereka suarakan merupakan ideologis marxis,dimana kaum pria
sebegai penindas dan kaum wanita yang tertindas.Dengan ideologi seperti itu,para kaum feminis
muslim akan terus-menerus mencari dasar-dasar Islam yang sesuai dengan cita-cita atas kepentingan
kaum feminis sendiri,bukan sesuai dengan cita-cita Islam itu sendiri.Cita-cita kaum feminis yaitu
mewujudkan kesetaraan gender domestik maupun publik antara kaum pria dan kaum wanita harus
sama (50/50) .

Kesetaraan gender yang disuarakan oleh kaum feminis menggambarkan pemahaman konsep
‘gender equality ’ para kaum feminis muslim bukan berasal dari Islam. Hal ini disebabkan oleh cara
berfikir kaum feminis yang telah terpengaruh oleh worldview yang bukan Islam. Apabila kaum
feminis berfikir secara worldview Islam ,yang menganut konsep-konsep tentang
tuhan,kenabian,wahyu,manusia,ilmu dan kebenaran maka penafsiran-penafsiran yang bias akan
menjadi sebuah keserasian, sebagaimana para ulama Islam terdahulu.

Keserasian dalam agama Islam seumur Islam itu sendiri,dari zaman jahiliyah Islam telah
mewariskan kebebasan kaum manusia dari ketidakaadilan hingga saat ini. Islam telah memberikan
kesamaan anatara kaum pria dan kaum wanita tanpa adanya perbedaan. Hukum yang dibebankan pada
kaum pria juga dibebankan kepada kaum wanita kecuali dalil syar’i yang mengkhususkan salah
satunya, karena Islam adalah asas persamaan dalam hak maupun kewajiban. Hanyalah tabi’at
penciptaanya yang menjadikan pembeda antara keduanya. Kaum pria sesuai dengan
tabi’atnya,begitupula dengan kaum wanita sesuai tabi’atnya.

Cara berfikir masyarakat akan beruah seiring berubahnya zaman dan struktur sosial dalam
masyarakat. Tuntutan yang diberikan oleh masyarakat modern tentunya sangat berbeda dengan
tuntutan yang diberikan oleh masyarakat tradisional. Akibat dari perubahan sosial itu dapat
mengakibatkan perubahan cara berfikir masyarakat, yang mana juga dapat merubah makna kesetaraan
gender dalam Islam menjadi kesetaraan mutlak menurut pandangan Barat. Dalam Islam para kaum
pria dan wanita telah terbebaskan dari ketidakadilan, tapi mereka taqlid buta ke Barat. Mereka hanya
butuh kembali ke Islam dengan hukum-hukum syari’at tanpa menolak ataupun merubahnya.

2.1. Validitas Konsep Gender Equality

Kaum feminis muslim yang menggagas konsep gender equality –seperti Musdah
Mulia,Amina Wadud ,dan sebagainya- konsep ini merupakan konsep yang berasal dari ideologis
Marxis dimana tidak menerima perbedaan antaran kaum pria dan wanita secara fitriah maupun
jasadiah. Jika ditela’ah kaum feminis itu densiri tidak konsisten dalam menyikapi pembedaan
antara kaum wanita dan pria.

Kaum feminis tidak memprotes diskriminasi gender dalam hal olahraga contohnya, tetapi
mendiskriminasi dalam hal ibadah. Kaum pria dan kaum wanita jelas memang berbeda dalam hal
olahraga. Dalam berbagai cabang olahraga dibedakan antara kelompok pria dan kelompok
wanita,seprti dalam olah raga gulat,sepak bola,tinju,basket,bulu tangkis,dan sebagainya. Para
kaum feminis menerima akan diskriminasi ini dan tidak meminta adanya kesetaraan bagi kaum
wanita dalam hal olahraga ini. Tapi dalam hal ibadah seperti shaf shalat yang harus dibelakang
kaum pria,jumlah kambing saat aqiqah yang lebih sedikit mereka meuntut akan kesetaraan bagi
kaum wanita.

Aapabila dalam menafsirkan teks Al-Qur’an mengikuti standart konsep kesetaraan


gender equality, maka akan terjadi perombakan secara besar-besaran atas hukum Islam. Buku
bertajuk Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang di
terbitkan oleh Tim Pengerusutamaan Gender Department Agama Republik Indonesia pada tahun
2004. Para cendekiawan dari kalangan Muslim yang mempunyai perhatian terhadap masalah
gender equality dan berada di bawah naungan Departemen Agama mengeluarkan legal draft yang
sangat kontroversial menjadikan buku ini sebagai perdebatan yang sangat hebat di Indonesia.

Terdapat beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi hebat di antaranya: Pertama,


(pasal 3 ayat 1) asas perkawinan adalah monogami, dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami)
adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, (pasal 7 ayat
1) batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun .Perkawinan yang dilakukan oleh
pria dan wanita di bawah usia tersebut –meskipun keduanya sudah baligh– tetap dinyatakan
tidak sah. Ketiga, (pasal 54) perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan
orang non muslim disahkan. Keempat, (pasal 7 ayat 2) calon suami atau istri dapat mengawinkan
dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat,
dan rashid/rashidah. Kelima, (pasal 9) ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya
suami- istri . Keenam, (pasal 88 ayat 7(a)) masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi
juga untuk pria. Masa iddah bagi pria adalah seratus tiga puluh hari. Ketujuh, (pasal 59) talak
tidak dijatuhkan oleh pihak pria, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang
Pengadilan Agama. Kedelapan, (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan) bagian waris anak , wanita
dan pria adalah sama.

Kesetaraan gender merupakan salah satu agenda penting dari Liberalisasi Islam. Seperti
yang ditulis oleh Budhy Munawar-Rachman, agenda-agenda Islam Liberal dalam masalah
kesetaraan gender adalah: (1) Menciptakan kondisi perempuan yang memiliki kebebasan
memilih (freedom of choice) atas dasar hak-haknya yang sama dengan kaum pria, (2) Wanita
tidak dipaksa menjadi ibu rumah tangga, dimana ditekankan bahwa inilah tugas utamanya
(bahkan kodrat) sebagai perempuan.
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal.” (QS. Al-Hujuraat:13).
Berdasarkan ayat di atas (dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan ayat di atas),
sangat jelas bahwa Islam dalam teks Al-Qur’an mengangkat derajad manusia, tidak ada
perbedaan antara yang satu dengan yang lain, pria ataupun wanita kecuali dalam ketaqwaan
kepada sang pencipta. Hal ini juga menegaskan bahwa, sistem relasi antara kaum pria dan kaum
wanita dimasyarakat sesuai dengan norma ajaran Islam. Maka, berkaitan dengan ini, masalah
ketimpangan gender yang sering dianggap sebagai permasalahan sebenarnya telah selesai,
karena bagaimanapun, ketimpangan gender yang sedang marak saat ini sudah tidak dianggap
menjadi masalah dalam Islam. Justru agama Islamlah yang mengangkat kaum perempuan
sesuai dengan fungsi serta perannya.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Prinsip-prinsip kaum feminis

Para kaum feminis menerapkan kaidah-kaidah prinsip tafsir sendiri,karena mereka


menganggap penafsiran dalam Al-Qur’an itu tidak adil terhadap kaum wanita. Contohnya
adalah seperti Nasaruddin Umar telah merumuskan beberapa langkah metodologis tafsir
kesetaraan dalam menafsirkan Al-Qur’an pada saat (Argumen Kesetaraan Gender dalam
Prespektif Al-Qur’an, 2011). Nasaruddin Umar menekankan kontekstualisasi ijtihad atas teks
dengan mengedepankan komitmen rasionalitas, berbeda dengan para jumhur ulama yang
melakukan penggalian makna teks terlebih dahulu kemudian kontekstualisasi makna tersebut.
Sedangkan kaum feminis menekankan bahwa teks harus tunduk pada budaya atau konteks.
Bagi kaum feminis ,mereka memandang bahwa teks Al-Qur’an setara dengan teks naskah
lainya. Dan ditempatkan sebagai respon terhadap kondisi masyarakat kala itu, maka sifatnya
kontekstual dan tidak memiliki makna kesucian. Alasannya ada (asbab al-nuzul) alias ada
sebab-sebab diturunkannya Al-Qur’an ,tidak turun dalam ruang hampa. Budaya dan konteks
yang mempengaruhi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Padahal menurut jumhur
ulama, tidak sampai 30% ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul (Makna Khalil al-
Kattani, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 2007).
Para feminis dalam menggali instibat hukum teks (Usul Fiqh )berpedoman pada kaidah
ushuliyah yang mengakatan “Al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafdz ” ,artinya
perintah itu adanya karena sebab khusus, bukan karena kata-kata umum. Untuk menggali
hukum teks, maka harus melihat dalam kontkes apa dan bagaimana teks itu turun terlebih
dahulu , bukan melihat teks itu sebagai perimtah yang berlaku umum. Para feminis itu temporal
dan tidak universal, karena belum tentu teks yang telah diturunkan masih sesuai dengan zaman
setelahnya.

Padangan Nasruddin Umar yang menyatakan bahwa bahasa Arab merupakan media
patriarki dari firman-Nya. Pandangannya ini menjadikan humanisme sebagai landasan
tafsirnya, Ini membuktikan bahwa paham relativisme dan humanisme sangat mempengaruhi
paham kesetaraan gender. Dengan cara pandang seperti ini, mereka telah merubah pradigma
syari’ah dengan menghilangkan peran Tuhan dalam bentuk syar’iah. Kaum feminis
menganggap bahwa syari’ah adalah konstruksi manusia yang dipengaruhi oleh budaya, yang
sama saja dengan perturan lainnya yang dibuat oleh manusia. Pandangan seperti itu dapat
berdampak menghilangnya spirit penghambaan terhadap Tuhan, karena dalam Islam syari’ah
merupakan jalan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan.
Dekonstruksi syari’ah dilakukan dengan mempersoalkan mashlahah dalam syariat yang
dianggap bias. Mashlahah adalah bentuk finalitas tujuan dari deretan panjang proses
pewahyuan dan pembentukan syariat dalam Islam yang tertuang dalam maqashid al-syariah.
Mereka berpandangan bahwa maqashid al-syariah yang tertuang dalam tafsir tidak mengandung
maslahah bagi perempuan. Karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk
menciptakan maslahah pada umat manusia (humanisme), maka maqashid al-syariah itu lebih
utama dari syari’ah. Dengan argumentasi ini, mereka memunculkan sebuah kaidah ushuliyah
baru yaitu, “ai ‘ibratu laisat bi khusus al-sabab wa la bi ‘umum al-lafazd wa innama bi al-
maqashid” ,artinya perintah itu bukan karena sebab khusus dan bukan karena kata-kata umum,
karena ada tujuan syariah.
Metodologi instibat hukum (Usul Fiqih) yang ada saat ini, dianggap tidak relevan dan
bersifat subyektif-ideologis, sehingga memerlukan metodologi yang lebih obyektif. Salah satu
pendekatan yang dianggap obyektif adalah pendekatan sejarah. Menurut Muhammad Syahrur,
(al-kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah, 1992) “Penerapan ayat-ayat hukum pada alam
realitas adalah aplikasi relatif-historis. Dengan demikian gugurlah qiyas dan tetaplah ijtihad
terhadap ayat-ayat hukum. Prinsipnya adalah akal dan kesesuaian ijtihad dengan realitas
objektif”.
3.2. Problem pentafsir kaum feminis tentang poligami

Para feminis liberal banyak menentang dan juga ingin menghapus berbagai syari’at Islam
seperti poligami,warisan,kepemimpinan,saksi,dan lain sebagainya. Penulis hanya menjelaskan
dari persoalan poligami,karena poligami paling banyak dipermasalahkan saat ini. Dalam
pandangan Siti Musdah Mulia (Islam Menggugat Poligami, 2004) menjelaskan bahwa poligami
telah menjadi lembaga penindas nomor wahid sekaligus tempat pelecehan martabat kaum
perempuan. Bahkan poligami merupakan institusi perbudakan bagi kaum Hawa. Berbagai
permasalahan dan penderitaan yang dialami kaum hawa yang dimadu, telah mematri
kecurigaan terhadap syariat yang satu ini. Beberapa penelitian yang telah mereka lakukan
tetang poligami selalu memperlihatkan ketimpangan dan permasalahan yang komplek terhadap
pelaku poligami tersebut. Banyak dampak buruk ataupun permasalahan yang terjadi akibat
adanya poligami seperti kasus istri pertama terlantar, anak – anak tidak terurus, persoalan
ekonomi yang labil dan lain sebagainya. Karena hal ini para feminis banyak yang menolak
poligami bahkan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang terlarang dalam agama. Para
feminisme menyuarakan bahwa poligami harus dihapus layaknya perbudakan, karena
mudaharatnya lebih besar dari manfaatnya.
Menurut Al-Frauqi, (‘Ailah, masa depan kaum wanita, 1997), poligami bukan suatu
keharusan dan buka pula praktik universal. Ia tidak sebagai suatu kewajiban bagi setiap laki-
laki muslim apalagi berlaku umum. Pologami adalah sebuah solusi antisifatif ketika perkawinan
monogamy sedang tidak memadai menjadi asas perkawinan dalam suatu kondisi dan situasi
tertentu. Keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan dikendalikan oleh manusia seperti
ledakan jumlah perempun, masalah kemandulan, mengidap penyakit verginitas dan lain
sebagainya, poligami dapat menjadi solusi antisipatif bagi masyarakat. Dalam aplikasinya pun
seorang poligamis harus memenuhi berbagai persyaratan syar’I seperti adil, shaleh, takwa dan
lain sebagainya harus dijunjung tinggi. Adapun kemudharatan yang timbul dalam poligami
disebabkan oleh syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Dan islam tidak memikul tanggung
jawab terhadap orang-orang yang tidak benar dalam berpoligami.
Hukum dari poligami itu flesibel, karena Jumhur ulaman melihatnya dengan berbagai
sudut padang. Maksud dari Flesibilitas ini adalah sewaktu-waktu poligami itu diperbolekan atau
tidak tergantung kondisi dan persyaratan yang melekat padanya. Poligami sebagaimana
pandangan Yusuf al-Qardhawi (marakidz al-mar’ah fi al-hayati al-islamiyah. Perempuan dalam
perspektif islam, 2006), poligami bias dihukum mubah, makruh bahkan haram. Jadi, poligami
tetap menjadi salah satu syariat yang mendatangkan maslahat jika dalam implementasinya
sesuai dengan kaidah syariat itu sendiri yang disertai dengan keharusan memenuhi syarat-syarat
khusus untuk berpoligami.

4. Simpulan
4.1. Simpulan
Dapat disimpulakan dari paparn diatas bahwa masih banyak terjadi kesalpahaman kaum
feminis muslim tentang kesetaraan gender terhadap teks Al-Qur’an. Teks dalam Al-Qur’an
yang berkaitan dengan peran dan eksistensi wanita dalam pandangan Islam. Dimulai dengan
pertanyaan mendasar tentang penciptaan kaum pria dan kaum wanita ,yang kemudian
menimbulkan polemik tentang eksistensi dan peran keduanya. Peran keduanya dalam
masyarakat, kluarga,dan juga hak-hak dalam kehidupan.
Para kaum feminis dipengaruhi oleh banyak hal dalam menafsirkan teks Al-Qur’an yang
berkaitan dengan kesetaraan gender. Faktor pengaruh itu berawal dari perbedaan penafsiran di
kalangan ulama, latar belakang mereka sendiri ,baik dalam aspek pendidikan,sosial,maupun
budaya dan juga latar belakang organisasi mereka masing-masing. Faktor terpenting adalah
pengaruh dari pemikiran kaum feminis Barat tentang kedudukan kaum wanita di mata mereka.
Para kaum feminis meluncurkan tuduhan bahwa adanya kepentingan dibalik penafsiran
teks Al-Qur’an dalam Islam. Tuduhan bahwa segala bentuk tafsiran keagamaan merupakan
salah satu betuk diskriminasi terhadap kaum wanita, karena dalam penafsiran kaum wanita
selalu berada di bawah kaum pria. Dan masih banyak lagi tuduhan maupun serangan yang
sejenis, yang ditujukan kepada ulama Islam dengan berdiri di bawah naungan kaum feminisme,
yang juga berusaha melakukan pendekatan dekonstruktif dalam menafsirkan syari’at Islam
seputar kesetaraan gender.
Yang dilakukan kaum feminis muslim merupakan salah satu bentuk ketidakpahaman
mereka terhadap Islam, ini disebabkan oleh pemikiran Barat yang mempengaruhi mereka.
Seperti Fatimah Mernissi yang akhirnya menolak hadis sahih ketika mempermasalahkan
validitas hadis. Dan juga seperti yang dilakukan Riffat Hasan, yang menolak keabsahan hadis
hanya karena diriwayatkan oleh seorang sahabat, yang menurutnnya “anti perempuan” , dan
ternyata tidak terbukti. Ataupun para feminis lainnya, yang mempermasalahkan keadilan
kesetaraan gender dalam hal warisan dan sebagainya. Hanya karena dalil-dalil tersebut
dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, kepentingan perempuan dan lainnya.
4.2. Saran
Bagi para kaum feminis seharusnya berfikkir secara ‘worldview Islam’, bukan
worldview Barat seperti yang biasanya mereka lakukan. Pasti terdapat banyak perbedaan dalam
memahami kesetaraan gender itu sendiri, karena memang sejarah kaum wanita dalam Islam dan
Barat sangat berbeda. Bila kesetaraan gender menganut sudut pandang Barat pasti akan banyak
didapatkan ayat-ayat ataupun hadis yang seakan-akan memberikan makna diskriminasi
terhadap kaum wanita. Tetapi apabila kesetaraan gender menganut sudut pandang Islam secara
proposional, maka tidak akan terdapat makna dari ayat-ayat ataupun hadis yang
mendiskriminasi kaum wanita. Meskipun ada perbedaan,perbedaan peran pria dan wanita
dalam Islam bertujuan agar saling bekerja sama dan melengkapi demi tewujudnya kebahagiaan
dunia akhirat. Dengan kata lain, kesetaraan yang ada dalam Islam merupakan kesetaraan yang
menunjukkan keserasian antara kaum pria dan kaum wanita. Keserasian yang dibangun di atas
syari’at, bersandar pada asas kemitraan, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak
mengandung persaingan.

5. Daftar Pustaka

Abdu l Ghafur, Waryono.Tafsir Sosial;Mendia logkan Teks dengan Konteks.Yogyakarta: el-Saq


Press,2005

Abdul Kodir, Faqihuddin Bergerak Menuju Keadilan;Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan.


Bergerak Menuju Keadilan; Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan. Jakarta Rahima,2006

Ailah, ( masadepan kaumwanita, 1997)

Azhami, MusÏaf. The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative
Study with the Old and New Testament. Leicester:UK IslamicAcademy. 2003.

Azizi, Qodridkk. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005

Bahtiar Efendi dkk, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2002)

Cook, Michael. The Koran: A very Short Introduction. Oxford,UK: Oxford UniversityPress. 2000.

Departmen Agama R.I.al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : CVAtlas, 2000

DVD al-Maktabahal-Syamilah.Al-Qur’an waTafsiruhu. Solo Ridwana Press,2004.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk. Dekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender DalamIslam.
Yogyakarta: PustakaPelajar,2002
Fakih, Mansoer dkk. Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya :
Risalah Gusti, 1996

Ghafur ,Waryono Abdul(ed.).Isu Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasardan Menengah.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri. 2003.

Groenen,C.PengantarkedalamPerjanjianBaru. Yogyakarta:Kanisius.1984.

Held, Robert.Inquisition.Florence: Bilingual Publishers. 1985.

Hesselgrave, DavidJ. &Rommen, Edward . Kontekstualisasi :Makna, Metode dan Model. Jakarta :
BPK Gunung Mulia. 2004.

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta:
LKIS, 2007)

Kung , Hans .The Catholic Church: A Short HIstory. New York: Modern Library. 2003.

Makna Khalil al-Kattani, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 2007.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Bandung: Mizan. 1999.

Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2005.

Muhammad Syahrur, (al-kitabwa al-Qur’an, Qira’ahMu’ashirah, 1992)

Mulia, Musdah. MuslimahReformis. Bandung: Mizan. 2005.

Mernissi, Fatima.Wanita di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994

Nasaruddin Umar misalnya, dalam (ArgumenKesetaraan Gender dalamPrespektif Al-Qur’an, 2011)

Rachman, Budhy Munawar. “ Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”,
dalam Rekonstruksi Metodologis WacanaKesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSWIAIN
Sunan Kalijaga, McGil l-ICIHEP, Pustaka Pelajar, 2002.

Ramli, M.Idrus(ed.). Menguak Kebatilandan Kebohongan Sekte FK3. Pasuruan: Rabithah Ma’ahid
Islamiyah Cabang Pasuruan. 2004.

Rokhmadi. “Perempuan Memberi Mahar Nikah. ”Jurnal Justisia.Edisi 28 Th XIII.2005. Semarang:


Fakultas Syariah IAIN.

Shalahuddin, Henri. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta : KMKI.2012. Siti Musdah
Mulia (Islam Menggugat Poligami, 2004)
Sitompul, A.A. danBeyer, Ulrich. Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta:BPK GunungMulia. 2005.

Tim Penulis Pusta Studi Wanita. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita UINS yarif
Hidayatullah.2003.

Trible, Phyllis (et.al.). Feminist Aproachesto TheBible. Washington: Biblical Archeology


Society.1995.

Umar, Nasarudi, dkk. Bias Jender Dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002

Wadud, Amina. Quran MenurutPerempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi. terj. Abdullah
Ali. Jakarta : Serambi. 2001.

Yusuf al-Qardhawi (Perempuan dalam perspektif islam, 2006)

Anda mungkin juga menyukai