Anda di halaman 1dari 5

Tafsir Feminis Sebagai Stimulator Demarjinalisasi Kaum Perempuan

Oleh:

Renanda Ardi Rifkan Pratama


Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Gmail: Genggong1999@gmail.com

Abstrak

Tafsir feminis lahir dari pembacaan kritis hubungan relasi antara laki-laki dan perempuan
yang terdapat bias atau ketimpangan diantara keduanya. ketidak-seimbangan itu terdapat pada
pemberian ruang terhadap salah satunya, dalam hal ini adalah perempuan. Perempuan selalu
menempati posisi yang marjinalitatif dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga yang terjadi
adalah penyempitan ruang hak bagi kaum perempuan. Tafsir feminis hadir dalam semangat
egaliter berdasar pada normativitas-ideal nilai moral al-Qur’an yang tidak membedakan antara
keduanya (laki-laki dan perempuan). Kesadaran penuh berdasarkan realitas sejarah bahwa dunia
penafsiran didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga berimplikasi pada ketidak-utuhan dalam
kerja interpetatif ayat yang membicarakan antara perempuan dan laki-laki. Budaya patriarkal
sangat kental dalam tafsir-tafsir yang ada, khususnya pada era klasik. Dari situlah kemudian
terjewantahkan dalam praktik nyata sosialnya. Tidak heran apabila terjadi bias keadilan gender
tersebut yang lalu merebak dan mengakar di tengah masyarakat. Al-Qur’an tidak sedikit pun
meligitimasi keunggulan laki-laki terhadap perempuan. Yang menyebabkan adanya ketidak-
adilan tersebut datangnya dari tafsir, yang tiada lain adalah sebuah kumpulan perspepsi patriaki.
Eksistensi feminisme sendiri ialah ruh pergerakan yang mengusung isu gender ketidak-adilan
yang dialami perempuan di segala bidang. Baik menyangkut politik, domestik, atau pun di raung
ruang publik seperti kerja. Tafsir feminis hadir untuk merekonstruksi pemahaman akan
kesetaraan tersebut. Beberapa teks ayat al-Qur’an menyangkut relasi laki-laki dan perempuan
dalam pembacaan yang penuh kekurangan berusaha disempurkan lagi oleh jenis tafsir ini.
Asumsi yang menjadi prinsip utama adalah bahwa perempuan tidak semestinya selalu
diposisikan sebagai makhluk yang lemah bahkan hina. Laki-laki dan perempuan sama-sama
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perlu untuk dicarikan titik temu di
antara keduanya. Sekiranya bagaimana perempuan dan laki-laki saling berkolabarasi. Paradigma
yang dipakai dalam tafsir ini adalah analisis gender. Secara kodrat keduanya memang berbeda
dan tidak dapat dirubah karena itu memang sunnatullah. Akan tetapi jika berbicara mengenai
gender itu adalah hasil dari konstrusi sosial yang kapan saja dan di mana saja dapat
diperjuangkan dan dirubah.

Kata Kunci

Tafsir Feminis, Gender, Paradigma Tafsir Feminis


Pendahuluan

Dalam sejarah penjang kehidupan manusia tidak disangsikan lagi bahwa posisi perempuan
selalu menempati bagian keterpurukan. Dalam artian wanita selalu dieksploitasi, dipinggirkan,
ditekan ruang geraknya, bahkan juga acap mengalami tidak kriminal. Mulai dari kekerasan
seksual, perdagangan wanita, pelecehan seksual. Di media masa berita baik media eloktrinik atau
onlin sering ditemukan kekerasan terhadap perempuan. Tidak melihat melulu terarah pada
perempuan dewasa, kanak-kanak pun juga mengalami yang serupa. Kekerasan semacam sudah
merebak di seantero dunia. Tidak terkecuali daerah yang ditahbiskan sebagai daulah islamiyah
seperti Saudi Arabia dan Malaysia (Eni Zulaiha, 2016: 17).

Jika flash back pada masa sebelum Islam datang, di Arab sana budaya yang mewarnai
adalah patriarki. Perempuan tidak menemukan ruang haknya untuk mengaktualisasikan diri.
Bahkan, sebagian dari suku Arab klasik menganggap kehadiran wanita sebagi aib sehingga
muncullah tradisi buruk penguburan anak perempuan hidup-hdup. Hal semacam ini adalah
kelaziman dan tidak tabu bagi mereka. setelah lama perempuan dalam tekanan tidak adilan,
Islam datang sebagai agama yang sangat berpengaruh dan berjasa dalam membebaskan kaum
wanita dari ketermarjinalannya. Yang awalnya budaya patriarkis bergeser menjadi budaya
kesetaraan dan berperadaban (Nurrochman, 2014: 268).

Pada era pasca-al-Qur’an turun semua tindakan yang memojokkan dan mempersempit hak
perempuan ditengarai bersumbur dari pemahaman terhadap tafsir yang bernuansa kental patriarki
sehingga kemudian terjewantahkan dalam bentuk budaya dan baku serta terus menerus
ditunaikan. Berangkat dari persepsi itulah kemudian banyak bermunculan para penafsir feminis
kontemporer yang visinya adalah menggeser paradigma tafsir patriarki menjadi corak tafsir yang
bernilai keadilan bagi penempatan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada ayat-ayat
yang berbicara tentang peran dan status wanita dan perempuan. Pada masa klasik dulu domain
penafsiran seraya ekslusif bagi mufassirin laki-laki. Maka kemudian di era kontemporer ini,
ekslusifitas itu sudah tidak berlaku lagi dan terus-menerus diantisipasi. Muncullah para mufassir
yang ditabalkan sebagai pejuang keadilan gender seperti, Riffat Hasan, Fatima Mernissi dan
Amina Wadud Muhsin (Nurrochman, 2014: 269) Berangkat dari penjelasan di atas bahwa
diskriminasi terhadap perempuan diakibatkan oleh tafsir yang bias keadilan dan penuh akan nilai
subjektif patriarki – yang tidak memberikan porsi sama sekali untuk perempuan
mengaktualisasikan ekspresi dirinya (Atik Wartini, 2013: 475).

Pendekatan yang digunakan dalam tafsir feminis sama seperti yang digunakan tafsir
kontemporer pada umumnya. Sebagaimana tafsir kontemporer, tafsir feminis adalah sebuah kerja
interpretasi ayat demi ayat yang disesuaikan dengan kondisi koteks zaman. Tradisi semacam ini
persis dengan spirit tajdid yaitu suatu usaha penyelarasan antara konteks kehidupan kini dengan
doktrin agama melalui cara menakwilkan ulang ayat-ayat (normativitas-doktrin) agama berdasar
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (Eni Zulaiha, 2016: 23). Artinya
tafsir semacam ini bersifat open mainded serta dinamis. Menerima sebuah perubahan jika
dibutuhkan.

Semua kitab tafsir memiliki paradigmanya tersendiri. Perbedaan dari seluruh karya tafsir
yang ada terletak pada model paradigmanya. Begitu dengan tafsir fiminis. Ia memiliki paradigma
khasnya tersendiri yang tak banyak berbeda dengan kerangka tafsir kontemporer. Adapun
paradigma tersebut terdiri dari tiga ciri bagian: pertama: memperlihatkan elan al-Qur’an sebagai
kitab petunjuk bagi umat manusia. Kedua, kajiannya menitik beratkan pada aspek epistimologis-
metodologis – yang melahirkan sebuah pembacaan kritis terhadap pesan yang berada di balik
pesan yang disampaikan teks. Dari pola seperti diharapkan melahirkan hasil yang produtif bukan
repetitif. Ketiga, berbeda dengan tafsir klasik linier-atomistik, tafsir feminis menggunakan
paradigma hermeneutik. Dengan model tafsir bernuansakan hermeneutik, tafsir kontemporer
khususnya tafsir feminis selamat dari belenggu sektarianisme. Tafsir feminis ini diyakini
keilmiahannya sebab dinamis dan selalu menerima untuk dikritisi oleh para akdemisi. Sehingga
konsekuensi logisnya adalah tafsir yang dinamis seperti ini dipastikan selamat dari fanatisme
madzhab. Para mufassir feminis dan kontemporer juga kritis terhadap karya tafsir klasik yang
tidak kompatibel dengan konteks kekinian (Eni Zulaiha, 2016: 23-24).

Hermeneutik sendiri memiliki andil yang sangat bermanfaat bagi kemajuan tradisi tafsir.
Setidaknya, hermeneutik memiliki tiga peran sentral dalam penafsiran teks al-Qur’an. Yaitu,
mempertenyakan dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan, selanjutnya bagaimana tata bahasa
teks atau ayat yang digunakan, dan yang terakhir mencari makna terdalam dan universal yang
dikandung oleh teks. Sehingga nyatalah bahwa al-Qur’an memang kitab rahmah bagi seluruh
alam (Nurrocman, 2014: 269).
Menyoal istilah fiminis, ia berasal dari bahasa latin yaitu fimina yang jika ditranskripsikan
dalam bahasa Inggris menjadi feminine. Kemudian mendapat tambahan isme yang dikenal
sebagai sufiks pembentuk nomina – jadilah sebuah kata feminisme (Mansyuri, 2006: 14). Kata
feminisme adalah sebuah gerakan berpaham keperempuanan yang mempropagandakan isu-isu
gender terkait emansipasi kaum perempuan. Tujuannya adalah supaya perempuan diperlakukan
secara adil dan kembali mendapatkan hak-haknya dari berbagai sektor kehidupan seperti,
domestik, politik, publik-sosial, pendidikan bahkan ekonomi. Sehingga nanti sampai pada tahap
akhir yaitu sexual equality. Istilah ini baru muncul pada tahun 1895 (Eni Zulaiha, 2016: 18-19).

Sejarah munculnya feminis itu di Amerika pada akhir abad 19 atau awal abad 20. Pada
awalnya gerakan feminsme ini concern pada penggapaian hak memilih (the right to vote). Namu
setelah impian itu tercapai pada tahun 1920 gerakan ini sempat fakum. Barulah bangkit lagi pada
kisaran tahun 1960. Pada saat bangkitnya gerakan ini, sempat membuat takjub masyarakat sebab
gagasan-gagasan yang dijunjung merupakan hal baru, yaitu berupa spirit untuk mendorong
kesadaran perempuan akan peran-perannya yang tanpa meraka rasakan pernah dirampas dan
secara otomatis menciptakan posisi yang subordinatif-marginalitatif bagi kaum perempuan itu
sendiri (Eni Zulaiha, 2016: 19) Di Indonesia sendiri berkembangnya gerakan feminisme dicatat
pada tahun 1980-an dengan sederet aktifnya anatara lain, Herawati, Wardah Hafizh, Marwah
Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi (Darlis, 2015: 187).

Kesimpulan

Tafsir feminis ini bersendikan semangat emansipasi gender, konteksnya adalah perempuan
yang telah lama mengalami tindak tidak adilan. Paradigma yang digunakan juga sama persis
dengan tafsir kontemporer yang ada, yaitu hermeneutik. Terlepas dari banyaknya kalangan
mufassirin Islam yang menolaknya. Ayat yang menjadi fokus pembahasannya adalah yang
berhubungan dengan relasi perempuan dan laki-laki yang dinilai sarat dengan nuansa patriarki.
Yang menjadi tujuan besar orientasi tafsir ini adalah merekonstruksi ulang pola budaya yang
selalu mengenyampingkan perempuan bahkan melecehkannya dalam tindakan nyata.
Daftar Pustaka

Eni Zulaiha, Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis , Al-
Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1, Juni 2016.

Mansyuri, Feminisme dan Tafsir Feminis; Sebuah Pemetaan Awal, Surabaya, 2006.

Nurrochman, al-Qur'an dan Isu Kesetaraan Gender: Membongkar Tafsir Bias Gender, Menuju
Tafsir Ramah Perempuan, Wahana Akademika, Vol. 1 No. 2, 2014.

Darlis, Feminisme Qur’ani : Tafsir Ayat Wanita Karir, Musawa, Vol. 7 No.2 Desember 2015.

Wartini, Atik, Tafsir feminis m.Quraish shihab: Telaah ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-
misbah, PALASTREN, Vol. 6, No. 2, Desember 2013.

Anda mungkin juga menyukai