Anda di halaman 1dari 18

ISU GENDER DAN SASTRA FEMINIS DALAM

KARYA SASTRA ARAB: Kajian Atas Novel


Aulad Haratina Karya Najib Mahfudz

Kelompok 9 :
- Aulia Zhahra Ladevi (1205619080)
- Raihan Fadhilah (1205619054)
- Salsabila Azzahra (1205619094)
PENDEKATAN GENDER DAN FEMINISME
Gender merupakan isu global yang menjadi bagian dari penegakan hak azasi manusia.
Kajian Gender berkembang menjadi suatu studi khusus tentang keadilan hubungan sosial
dan budaya antara laki-laki dan perempuan yang dibangun dari sejumlah teori sosiologi.
Sebagai studi interdisipliner, issu Gender bisa dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan
masyarakat, diantaranya refleksi sosial pada produk sastra. Gender menjadi salah satu issu
penting dalam kajian karya-karya sastra. Issu gender selain menjadi sorotan dalam ruang
lingkup pergaulan sosial masyarakat, juga menjadi warna dalam dunia sastra. Ketidak adilan
Gender banyak terefleksi dalam dunia sastra. Issu gender memungkinkan menjadi salah
satu kajian dalam karya-karya sastra dengan menggunakan metode kritik sastra feminis
yang diformulasikan ke dalam Pendekatan Sosiologi Sastra. Pendekatan ini menekankan
produk karya sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan realitas masyarakat dalam
suasana, tempat, dan kurun waktu tertentu.
Paham feminis lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat,
dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi
banyak segi kehidupan dan mempengaruhi pula setiap aspek kehidupan perempuan.
Sejak akhir 1960-an ketika kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan
perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun
menjadi pilihan yang menarik. Menurut Ratna (dalam Al-Ma’ruf, 2017:116), teori
feminis telah dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai alat untuk memperjuangkan
haknya, yang berkaitan dengan konlik kelas dan ras, khususnya tentang konflik
gender.

Sastra feminis menawarkan pandangan bahwa para pembaca perempuan dan


kritikus perempuan membawa peresepsi, pengertian, dugaan yang berbeda pada
pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Wawasan
mereka yang diawali oleh para pelopornya selanjutnya berkembang dalam aneka
raga segi. Jiwa analisis kritik sastra feminis adalah analisis gender. Dalam analisis
gender kritikus harus dapat membedakan konsep gender dengan seks (jenis kelamin).
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikonstruksi
secara sosial dan kultural melalui proses panjang jadi gender merupakan konstruksi
sosial-kultur yang pada dasarnya merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis
kelamin
Konsep Gender
Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat
- sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki,
yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari
suatu kelas ke kelas lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan, ketidakadilan gender termanifestasi
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi (proses pemiskinan bagi kaum perempuan),
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan
negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
Manifestasi ketidakadilan gender :
1. Gender dan Marginalisasi Perempuan 》 Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinkan
sesungguhnya banyak sekali dalam masyarakat dan Negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan
misalnya proses eksploitasi.
2. Gender dan Subordinasi 》 Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin

3. Gender dan Stereotipe Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu. Celakanya stereotype selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu
jenis stereotype itu adalah yang bersumber dari pandangan gender.

4. Gender dan Kekerasan Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasu (assault) terhadap fisik
maupun integeritas mentas psikologi seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya
berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan
oleh gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related-violence.

5. Gender dan Beban kerja Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memeliharan dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik
rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang
harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya
Konsep Feminisme
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme
tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme tidak berasal dari
sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Itu sebabnya,
tidak ada abstraksi pengertian secara spesifik atas pengaplikasian feminisme bagi
seluruh perempuan disepanjang masa.

Pengertian feminisme dapat berubah dikarenakan oleh pemahaman atau pandangan para
feminis yang didasarkan atas realita secara historis dan budaya, serta tingkat kesadaran
persepsi dan perilaku. Bahkan diantara perempuan dengan jenis-jenis yang hampir mirip
terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, sebagian
didasarkan atas alasan (misalnya akar kebudayaan) patriarkhi dan dominasi laki-laki, dan
sampai resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan,
kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender.
Model atau tipologi feminisme sebagai derivasinya :

1. Feminisme Liberal secara konsep memiliki asumsi dasar bahwa setiap manusia mempunyai
hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebasan, dan kebahagiaan.

2. Feminisme marxis/sosialis menganggap bahwa konsep kepemilikan adalah awal bencana dari
ketimpangan antara laki-laki terhadap perempuan dimana dalam institusi keluarga, isteri
dianggap sebagai milik suami. Pandangan ini bisa dipahami
sebagaimana Marx beranggapan bahwa kesadaran ditentukan oleh basis materi atau ekonomi.

3. Feminisme Radikal beranggapan bahwa ketidakadilan gender bersumber dari perbedaan
biologis antara pria dan wanita. Pintu pertama ketidakadilan gender yang melahirkan peran
gender adalah institusi keluarga.

4. Ekofeminisme lahir sebagai perkembangan terbaru dan ketidakpuasan terhadap gerakan
feminisme modern terutama feminisme liberal, dan feminisme sosialis/marxisme. Mereka
menyadari bahwa dengan masuk ke wilayah maskulin tidak akan merubah keadaan masyarakat ke
arah yang lebih baik. Maka, diskusi mereka beralih kepada bagaimana wanita dengan kualitas
femininnya dapat mengubah dunia melalui perannya sebagai ibu, pengasuh dan pemelihara
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Mereka kembali dari paradigma sosial konflik ke
paradigma fungsional struktural.
Kritik Sastra
Feminis
Kritik sastra feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra)
yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan
dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya
sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-
an

Dalam konstruksi gender, karena perempuan dianggap tekun, sabar, pendidik, dan
ramah, maka pekerjaan yang dianggap cocok bagi mereka adalah sekretaris, guru
TK, penerima tamu, bahkan juga pembantu rumah tangga. Sementara jabatan
seperti direktur, kepala sekolah, atau sopir yang memungkinkan mendapatkan gaji
lebih besar dipegang oleh para laki-laki.
KRITIK SASTRA FEMINIS
Pandangan gender juga menimbulkan subordinasi perempuan dalam hubungannya
dengan relasi gender. Karena perempuan dianggap lebih emosional, maka dianggap
tidak bisa memimpin dan karena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
Contoh subordinasi tersebut, misalnya jika dalam rumah tangga keuangan terbatas
dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak, maka anak lelaki yang
mendapatkan prioritas. Contoh lainnya, adanya anggapan bahwa semua pekerjaan
yang dikategorikan sebagai “reproduksi” dianggap lebih rendah dan menjadi
subordinasi dari pekerjaan “produksi” yang dikuasai oleh laki-laki.
Kritik sastra feminis
Kritik sastra feminis bertujuan menghapus perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan.
Tujuan dari kritik sastra feminis menghindarkan kaum laki-laki ketika menilai perempuan berperan
menjadi sosok yang dianggap lebih rendah sehingga penulis perempuan merasa diremehkan.
Walaupun demikian, dari pemikiran antara penulis perempuan terhadap kaum laki-laki telah
membuka sudut pandang lain. Salah satunya muncul istilah ecriture feminine. Atau karya tulis
perempuan dengan menekankan pada penggunaan gaya dan bahasa.

Ecriture feminine dalam kritk sastra feminis, berarti bahwa perempuan mempunyai cara
tersendiri mengekspresikan dirinya. Mengapa harus ada istilah Ecriture feminine yang sangat
berlawanan dengan cara bagaimana kaum laki-laki, tujuannya menggambarkan pandangan
perempuan melalui bahasa dan wacana. Pandangan tersebut kerapkali dihubungkan dengan
pandangan kaum feminis Perancis. Sebuah analisis penggambaran kaum laki-laki dan perempuan
oleh pengarang laki-laki ataupun perempuan dianggap penting.
Kritik sastra feminis
Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan
dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan
posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior.
Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan
jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara kultural, sebagai
hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur
ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung pengertian psikologis
kultural, seseorang tidak dilahirkan "sebagai" perempuan, melainkan
"menjadi" perempuan
Aplikasi Teori Feminisme terhadap Karya Sastra
Karya-karya sastra sering digunakan untuk mendramatisir kesalahan-
kesalahan kaum perempuan baik pada lingkungan pergaulan domestik
maupun dunia publik. Menurut Horton bahwa melalui pemikiran dan
nilai yang diungkapkan seorang pengarang ke dalam karya-karyanya
turut mempengaruhi terbangunnya suatu opini atau kesan dalam
pikiran masyarakat, termasuk dalam kaitannya dengan bias-bias jender
dan pensosialisasian nya. Bias-bias jender yang dimaksud di sini adalah
penyimpangan atau berat sebelah sehingga condong membela satu
pihak tertentu yang dalam hal ini adalah laki- laki dengan merugikan
pihak lainnya yakni kaum perempuan. Hal ini turut mendorong
terjadinya ketidakadilan atau ketimpangan dalam
Aplikasi Teori Feminisme pada Novel Aulad Haratina
Masalah feminisme dalam novel Rifa'at Sang Penebus (versi terjemah),
muncul karena adanya kesadaran para tokoh terhadap adanya bias gender
yang hidup dalam masyarakat. Seperti dalam petikan dialog ini:

Abdah menatap anaknya dengan penuh kebanggaan, "Nak, Nyonya Zakiyah istri
Khanfas telah bertandang ke sini karena suatu keperluan yang penting, aku pun
membalas kunjungan nya ke rumah nya, dia menerima kedatanganku dengan
gembira, lalu dia menceritakan punya seorang putri yang cantik jelita, namanya
Aisyah Yasaminah. Pada hari selanjut nya dia datang bersama putrinya. Setelah
diam sejurus, dia menambahkan, putrinya cantik seperti bulan "27. Paman Syafi'i
melirik putra nya dengan penuh selidik. Dia ingin mengetahui sampai seberapa jauh
cerita istri nya pada jiwa Rifa'at. Sambil mengangkat cangkir kopinya dan dan
menghirup nya dia memperhatikan anaknya. Tetapi pemuda itu seperti kebingungan.
Dalam pembicaraan yang terjadi dalam jamuan makan
antara ibunda dan Rifa'at di keluarga Jabalawy ini nampak
tokoh perempuan Aisyah dalam posisi "ditawarkan" kepada
Rifa'at. Tokoh Zakiyah sebagai ibu Yasaminah juga
menjodohkan putri nya dengan Tokoh utama (Rifa'at) yang
kemungkinan belum dikenal baik olehnya. Zakiyah hanya
berfikir melegalkan warisan yang sudah direbut dari keluarga
besar Jabalawy ini.
Aplikasi Teori Feminisme pada Novel Aulad Haratina
Dalam petikan lain nya juga terdapat indikasi yang sama:

Semua pandangan pandangan segera diarahkan kepada para pemuka dukuh itu. Tak satupun
yang berani membuka mulut. Setelah keheningan beberapa saat Khanfas berkata dengan
marah. "Apa yang terjadi di ntara kalian? Nadanya tinggi. "Yasaminah telah menodai harga diri
kami" ungkap beberapa suara serempak "Sekarang, Coba salah satu di antara kalian yang bisa
menjadi saksi bicara!"Bentak Khanfas. Seseorang yang biasa bekerja menjadi sais dokar maju
ke depan, namanya Zaitunal. Setelah sampai di depan Khanfas ia berjar Baru beberapa saat ini
aku telah melihat wanita itu keluar dari pintu belakang rumah Bayami, maka aku menikutinya
sampai di sini. Aku pun menanyainya tentang apa yang telah dikerjakan di rumah Bayumi. Saat
itu lah aku baru mengerti bahwa dia telab mabuk". Semua mendengarkan keterangan itu
dengan tenang, lalu Zaitunab meneruskan ceritanta: "Aku telah melibat mulut nya berbusa
sampai jatuh ke lantai balaman. Mulutnya bau arak yang sangat menusuk hidung. Sekarang
kalian boleh mengambil kesimpulan, kiranya apa yang dilakukan wanita edan itu di rumah
pemuka kampung nya
Pada cuplikan dialog ini pun terlihat bahwa perempuan
diposisikan pada kondisi yang buruk, tidak sama sekali
diberikan kesempatan untuk membela kehormatan dan
harga diri nya yang dijadikan tuduhan orang kampung pada
saat itu.

Anda mungkin juga menyukai