Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL LAYAR TERKEMBANG

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Prosa Fiksi

Dosen pengampu: Dr.Agus Hamdani, M.Pd.

Disusun oleh:

Ina Nuryina (17212016)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL BAHASA DAN SASTRA

INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA

GARUT

2018
Abstrak

Citra perempuan dalam karya sastra Indonesia (terutama novel) dipresentasikan

sebagai makhluk yang lemah, emosional, dan bergantung pada laki-laki.

Gambaran tersebut melekat pada diri perempuan seolah-olah hal itu merupakan

kodrat, takdir yang sudah digariskan. Realitas tersebut memberikan konsekuensi

bahwa perempuan yang rasional dan tegas, misalnya, dipandang sebagai

penyimpangan. Oposisi citra perempuan rasional-emosional dideskripsikan secara

jelas dalam novel Layar Terkembang. Berkaitan dengan hal itu, tulisan ini

bertujuan mendeskripsikan citra tokoh perempuan utama novel tersebut. Dengan

menggunakan analisis kritik sastra feminis, citra perempuan dipresentasikan

sebagai (1) perempuan emosional (yang ditunjukkan oleh tokoh Maria) dan (2)

perempuan rasional (yang ditunjukkan oleh tokoh Tuti).

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dewasa ini, perbincangan gender berkembang cukup pesat dan mendapat

perhatian yang serius dari para pakar ilmu pengetahuan, khususnya kaum
sosiolog. Animo yang cukup besar itu ditandai oleh adanya kesadaran bahwa

sebab-sebab ketidakadilan sosial juga dapat dijelaskan dari hubungan antara laki-

laki dan perempuan. Persoalan gender adalah persoalan relasi jenis kelamin.

Ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya dualisme:

perempuan “berbeda” dengan laki-laki. Berbagai persepsi dan pandangan para

tokoh mengukuhkan dualisme itu. Mereka menganggap bahwa perempuan adalah

makhluk ciptaan kedua, tidak lebih cerdas, lemah, emosional, pasif, dan subjektif.

Oposisi laki-laki dengan perempuan dinyatakan seperti jiwa dan tubuh, pikiran

dan hasrat, manusia dan hewan, orang merdeka dan budak. Secara biologis,

Patrick Geddes (Synnott, 2003:103) menjelaskan bahwa laki-laki didominasi oleh

sesuatu yang aktif, energik, dan fungsi selular katabolik, sedangkan perempuan

dikuasai oleh sesuatu yang konservatif, pasif, dan fungsi-fungsi anabolik sehingga

laki-laki lebih aktif, energik, bernafsu, dan berubah-ubah, sedangkan perempuan

lebih pasif, konservatif, lamban, dan stabil. Setiap karya sastra merupakan produk

dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosio-kultural. Ia

merupakan objek kultural yang rumit, yang merefleksikan kondisi sosial

sastrawannya (Wolheim dalam Sumardjo, 1999:16). Karya sastra dapat merekam

pemikiran para sastrawannya terhadap masalah-masalah manusia dan masyarakat

pada suatu zaman tertentu, yang secara sadar atau tidak sadar, “merekam” fakta

objektif lingkungan hidupnya (Sumardjo, 1999:198). Fakta-fakta sosial yang

terekam oleh karya sastra tidak disalin begitu saja, tetapi dimodifikasi dengan

cara-caranya tersendiri. Harry Levin (1973:67) memandang karya sastra tidak

merefleksikan realitas, tetapi membiaskannya atau mungkin mengubahnya


menjadi “bentuk” yang berbeda. Sastra menganalisis “data” kehidupan sosial,

menginterpretasikannya, dan mencoba menentukan sifat-sifat esensialnya untuk

mentransmisikannya ke dalam teks (James dalam Zeraffa, 1973: 36). Respons

sastra bersifat khas: respons metaforis dan imajinatif. Dalam pentransmisian itu,

selain melalui refleksi, sastrawan juga melukiskan fakta-fakta sosio-kultural

melalui refraksi (pembelokan). Sastra tidak semata-mata melukiskan kenyataan,

tetapi mengubahnya sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitas

sastrawannya. Sastrawan memberi makna melalui fakta yang diciptakannya

dengan bebas, tetapi tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam kerangka konvensi

yang tersedia baginya, baik konvensi bahasa, konvensi sastra, maupun konvensi

sosio-budaya. Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif.

Alternatif terhadap kenyataan hanya mungkin dapat dibayangkan berdasarkan

pengetahuan terhadap kenyataan itu sendiri (Teeuw, 1984: 248). Di sinilah,

persoalan relasi asimetris antara laki-laki dan perempuan diangkat dan

dipresentasikan karya sastra (dalam hal ini novel) lewat mediasi para tokoh.

Sebagai salah satu genre karya sastra, novel Layar Terkembang menyajikan isu-

isu perempuan yang sangat kental bahkan sebagian ahli sastra menyebut novel ini

sebagai novel yang sarat tendensius: memperjuangkan emansipasi wanita.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini berupaya untuk menjawab

pertanyaan berikut. Bagaimanakah citra perempuan rasional dan emosional

dipresentasikan dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana?


B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan citra perempuan rasional dan

emosional dipresentasikan dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir

Alisjahbana.

BAB II

Kajian Pustaka dan Metode

1. Kajian Pustaka

1.1 Pengertian Fenimisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman, berarti perempuan

(tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan

(jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male

dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah, masculine

dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis cultural). Dengan kalimat lain,

male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada


jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (shelden, 1986), jadi tujuan feminis

adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang luas, feminis

adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang

dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,

baik dalam politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dari

ungkapkan teori diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan feminisme

dilakukan untuk mencari keseimbangan gender. Gerakan feminisme adalah

gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan

perempuan, dan phalogosentrisme.

1.2 Sejarah Feminisme

Dalam sejarah ada banyak sumber tentang gerakan perempuan dalam

memperjuangkan haknya, tetapi yang paling sering menjadi rujukan adalah

gerakan yang berkembang pada abad 15 – 18 M di Eropa. Pergerakan paling awal

yang ditemukan adalah oleh Christine de Pizan yang menulis tentang

ketidakadilan yang dialami perempuan. Kemudian pada abad ke 18, pergerakan

yang cukup signifikan mulai tumbuh. Dua tokoh utama pergerakan ini adalah

Susan dan Elizabeth. Mereka ketika itu telah berhasil memperjuangkan hak

politik, yaitu hak untuk memilih bagi perempuan. Kemudian memasuki abad ke

19, dengan dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de

Condoracet, gerakan ini terus berkembang hingga sampai ke negara-negara

penjajahan Eropa, secara bersamaan, gerakan mereka disebut sebagai “Universal

Sisterhood”.
Dalam perkembangannya, ada tiga gelombang pergerakan feminisme, yaitu :

1. Gelombang Pertama (Suara Perempuan)

Gelombang pertama atau yang sering disebut dengan gelombang suara perempuan

pertama kali dipelopori oleh aktivis sosialis Charles Fourier tahun 1837. Pada

gelombang ini pergerakan yang awalnya berpusat di Eropa pindah ke Amerika

dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku berjudul The Subjection Of

Women (1869) karya Joh Stuart Mill. Perjuangan kaum wanita dalam menuntu

revolusi sosial dan politik terhadap hak perempuan mulai memuahkan hasil

sekitar tahun 1830 – 1840. Seiring dengan pemberantasan praktek perbudakan,

hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan.

2. Gelombang Kedua

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya negara-

negara baru setelah mereka terbebas dari penjajahan bangsa eropa, gerakan

feminisme mencapai puncaknya. Mereka mulai menyuarakan hak suara

perempuan dalam hak suara parlemen (pihak yang ikut menjalankan sistem

pemerintahan). Peningkatan dan semangat kaum perempuan dalam

memperjuangkan haknya memuncak pada awal tahun 1970. Tokoh utama yang

sering dikaitkan dengan gerakan feminisme gelombang kedua ini adalah para

feminis Perancis, seperti Helene Cixous (Yahudi kelahiran Algeria yang menetap

di Perancis) dan Julia Kristeva (Orang Bulgaria yang menetap di Perancis).


Tujuan utama gerakan feminisme kedua adalah untuk menuntuk kebebasan bagi

wanita yang sering dipandang rendah dan diperlakukan dengan tidak layak.

3. Gelombang Ke Tiga

Gelombang ketiga ini berkaitan dengan gelombang kedua. Pada gelombang

ketiga, feminis lebih berfokus untuk mendapatkan posisi dalam sistem

pemerintahan negaranya. Mereka beranggapan bahwa bidang politik merupakan

tempat yang harus memiliki perwakilannya agar hak-hak wanita dapat terus

dijaga. Hingga sekarang, feminisme masih ada dan aktif dalam

mengkampanyekan berbagai isu sosial seperti pornografi, hak reproduksi,

kekerasan terhadap perempuan atau hak-hak legal perempuan. Kaum Feminis juga

ikut terlibat dalam memperjuangkan gerakan sosial yang serupa seperti gerakan

kaum lesbian dan gay.

1.3 Jenis-jenis Feminisme

Feminisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, antara lain sebagai

berikut.

a. Feminisme Liberal

Sesuai dengan namanya, feminisme jenis ini menganut paham liberalisme, yaitu

mementingkan kebebasan. Mereka menyatakan “semua manusia, laki-laki dan

perempuan diciptakan seimbang, serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan


antara satu dengan lainnya”. Tokoh utama gerakan feminisme liberal adalah Mary

Wollstonecraft yang menulis buku berjudul “Vindication of Right of Woman”.

Dalam bukunya ia menyebutkan bahwa pria dan wanita mempunyai nalar yang

sama, oleh karena harus terjadi persamaan terhadap perlakuan dan hak keduanya.

Dalam sejarahnya, gerakan feminisme liberal lebih memfokuskan terhadap

perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan

laki-laki.

b. Feminisme Marxis (Komunis)

Feminisme Marxis muncul karena menganggap bahwa ketertinggalan perempuan

disebabkan karena kapitalisme dalam sebuah negara. Kapitalisme sendiri adalah

paham yang menyatakan individu dapat memperkaya dirinya sebanyak mungkin.

Kaum Feminisme Marxisme memandang hal ini sebagai ketidakadilan bagi

perempuan. Mereka beranggapan bahwa laki-laki mengontrol program produksi,

sehingga mereka memiliki kedudukan lebih tinggi dalam masyarakat. Karena

kedudukannya lebih tinggi, kaum laki-laki sering menindas perempuan yang

secara “lebih lemah”. Tujuan utama feminis marxis adalah menghapuskan sistem

kapitalis.

c. Feminisme Sosialis

Feminisme Sosialis muncul karena kritik terhadap feminisme marxis. Kaum

Feminisme Sosialis menganggap bahwa kapitalisme bukanlah pusat dari

permasalahan rendahnya kedudukan sosial wanita, alasannya “Bahkan sebelum


kapitalisme muncul, kedudukan wanita sudah dianggap lebih rendah”. Tujuan

utama feminisme sosialis adalah untuk menghapuskan sistem kepemilikan dalam

struktur sosial. Contohnya, mereka tidak setuju dengan hukum yang melegalisir

kepemilikan pria atas harta dalam sebuah perkawinan.

d. Feminisme Radikal

Paham ini muncul pada pertengahan abad 19 yang menawarkan ideologi

“Perjuangan Separatisme Perempuan”. Dalam hal ini mereka menuntut kesamaan

kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam setiap struktur sosial, Contohnya

dalam keluarga. Feminisme radika lebih berfokus memperjuang hak perempuan

dalam aspek biologis (nature). Tetapi dalam perkembangannya feminisme ini

menjadi ekstrim, mereka mulai memusatkan perhatian hanya kepada perempuan.

Laki-laki dianggap tidak memberikan kontribusi positif, mulai muncul anggapan

bahwa perempuan harusnya dapat melakukan apapun sesuai kehendak mereka.

e. Feminisme Anarkis

Feminisme anarkis juga merupakan salah satu paham feminisme ekstrim. Mereka

menganggap bahwa negara dan laki-laki merupakan pusat segala permasalah yang

dialami kaum perempuan. Oleh karena itu tujuan feminisme anarkis adalah untuk

menghancurkan negara dan kaum lelaki serta mewujudkan mimpi supaya

perempuan memegang kekuasaan tertinggi dalam struktur sosial.

f. Feminisme PostModern
Feminisme Post modern merupakan feminisme yang mulai terlihat

perkembangannya saat ini. Feminisme postmodern merupakan gerakan feminisme

yang anti dengan sesuatu dengan sifat absolut dan anti dengan otoritas. Tokoh

feminisme postmodern menghindari adanya suatu kesatuan yang membatasi

perbedaan. Artinya, kaum feminis boleh menjadi apapun yang mereka inginkan,

dan tidak ada rumus “feminis yang baik”. Namun demikian, kaum feminisme

postmodern memiliki tema atau orientasi dalam pergerakakannya. Mereka

menyebutkan bahwa seksualitas dikonstruksikan (dibangun) oleh bahasa.

Kehidupan manusia terbentuk karena bahasa, maka lewat bahasa pula kita dapat

mengatasi ketidakadilan terhadap perempuan. Bahasa yang dimaksud disini

adalah argumen, opini, tulisan, dll.

2. Metode

Metode penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif. Menurut Moleong (2012:11) dalam metode deskriptif data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Dengan demikian,

laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran

penyajian laporan tersebut. Data yang berupa kutipan yang telah diperoleh perlu

dideskripsikan dan dipaparkan apa adanya sehingga pada akhirnya akan diketahui

tentang fenimisme yang terdapat dalam novel “ Layar Terkembang “ .

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah peneliti langsung berhadapan dengan sastra

sebagai sumber data, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan dalam bentuk
kata-kata maupun kalimat dan tidak berbentuk angka-angka atau mengadakan

perhitungan, bertujuan untuk menemukan teori dilapangan secara deskriptif

dengan menggunakan metode berfikir induktif.

BAB III

Hasil dan Pembahasan

Citra perempuan dalam novel Layar Terkembang tampak dengan jelas pada

gagasan atau pikiran dan tindakan Tuti dan Maria yang menjadi figur dalam novel

ini. Meskipun secara biologis kedua perempuan kakak beradik ini dekat, mereka

memiliki pandangan yang amat jauh. Maria bersifat emosional, sedangkan Tuti

bertindak rasional. Ini terlihat dari deskripsi teks terhadap Maria. Maria

merupakan gadis yang mudah dikuasai oleh perasaannya. Sifat-sifat Maria

tersebut ditandai dengan percakapannya yang selalu tidak menunjukkan

keseriusan dan topik yang dibicarakan selalu melompat-lompat. Ia digambarkan

sebagai gadis yang dikuasai oleh dorongan-dorongan alamiah yang murni,

dikuasai oleh perasaan yang muncul secara spontan dengan pertimbangan-

pertimbangan yang tidak jelas. Ia gadis yang mudah kagum, yang mudah memuji

dan memuja. Kegembiraan dan kesedihan muncul dengan cepat "berselisih di


mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra-mesranya, dan

sebentar berderau gelaknya yang segar oleh kegembiraan hatinya yang remaja"

(Alisjahbana, 2000:2-3). Di samping itu, ia adalah gadis yang mudah beradaptasi,

mudah menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya, Maria kecewa

setelah tahu bahwa dirinya dan kakaknya adalah pengunjung pertama di Gedung

Akuarium, Pasar Ikan (Alisjahbana, 2000:2). Di gedung tersebut mereka bertemu

dengan Yusuf seorang mahasiswa kedokteran, yang pada masa itu lebih dikenal

dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Sejak pertemuan tersebut antara Maria dan

Yusuf timbul kontak batin. Sifat emosional itu menemukan jejaknya yang

semakin kuat ketika ia berpisah dengan kekasihnya Yusuf. Ketika jarak geografis

menghambat pertemuan mereka, ketika Yusuf pulang liburan ke Martapura,

Palembang untuk mengunjungi orang tuanya, persahabatan itu tetap terjalin.

Keduanya melakukan penerobosan persatuan mereka melalui mediasi surat

(Alisjahbana, 2000:51). Akan tetapi, penerobosan yang mereka lakukan tetap saja

tidak mampu mereduksi gejolak jiwa masing-masing. Penerobosan itu hanya bisa

menciptakan persatuan semu, menciptakan kenangan-kenangan dan kerinduan

yang harus segera terlampiaskan. Sementara laki-laki itu mengalami kegelisahan,

melalui mediasi surat, Maria menceritakan kesepiannya semenjak ditinggal Tuti

karena mengikuti Kongres Perempuan di Solo dan meminta dirinya datang

menemuinya di Bandung. Bagi Maria sendiri, komitmennya untuk menjadi istri

Yusuf berarti kesediaannya untuk mengabdi dan melayani Yusuf dengan seluruh

totalitas jiwanya. Ia tidak takut dijadikan hamba sahaya. Ia menyerahkan seluruh

nasib hidup dan kehidupannya kepada Yusuf (Alisjahbana, 2000:72). "Ah, engkau
hendak mengatur-atur orang pula, saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati

daripada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya.

Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya

percaya kepadanya dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya

itu" (Alisjahbana, 2000: 71).

Kondisi dan keadaan adiknya yang inferior, yang bergantung kepada laki-laki,

yang akses-aksesnya untuk memasuki wilayah publik dibatasi, dikritik oleh Tuti.

Di samping memiliki kesadaran untuk menyetarakan status, fungsi, dan peran

dirinya dengan laki-laki, Tuti telah "melompati" ruang domestik, bergerak dan

berjuang dalam wilayah publik. Ia juga mempunyai kesadaran untuk

memberdayakan kaumnya dan menunjukkan diri bahwa perempuan memiliki

kemampuan berperan di ruang public. Misalnya, memberdayakan kaum

sesamanya dengan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangannya tentang relasi

gender, tentang kemajuan perempuan melalui organisasi Putri Sedar. Sebagai

produk perempuan yang sadar gender, Tuti tidak puas ruang geraknya hanya

terbatas dalam wilayah domestik. Seperti kaum laki-laki, ia memiliki kewajiban

untuk memajukan nasib bangsanya, terutama nasib kaum perempuan yang

totalitas pikiran, pandangan, kehendak, dan hidupnya bergantung kepada laki-laki.

Perempuan dalam masyarakatnya, menurut Tuti, hanya dijadikan abdi, hamba

sahaya, dan budak yang bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, tanpa

memiliki hak. Perempuan hanya "dijadikan perhiasan, dipuja selagi disuka, tetapi

dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya"

(Alisjahbana, 2000:35). Kehendak perempuan dikontrol, dibatasi, dan tidak diberi


kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki wilayah publik. Itulah yang

menjadi alasan Tuti memutuskan tunangannya, Hambali, yang "hendak mengatur

hidupnya, yang tidak pernah memahami perjuangannya sebagai ketua organisasi

Putri Sedar cabang Jakarta (Alisjahbana, 2000:76). Dalam konteks ini, Tuti

meyakini bahwa hubungan suami istri bukan merupakan relasi yang asimetris:

pemimpin-dipimpin/atasan bawahan, melainkan lebih merupakan hubungan mitra.

Tentu saja, ini bertentangan dengan pandangan Sigmund Freud yang secara tegas

menyebut perempuan normal sebagai perempuan yang narsisme (cinta diri

sendiri), pasivitas (sikap pasrah), dan masokisme (menikmati penderitaan) (Freud,

1960: 98-99). Sebagai aktivis organisasi perempuan Putri Sedar, pikiran,

pandangan, serta citra Tuti sebagai perempuan yang memiliki harga diri

menemukan bentuknya yang sempurna pada saat melihat sikap ketergantungan,

"penghambaan" adiknya kepada Yusuf. Sebagai pejuang kesetaraan laki-laki dan

perempuan, Tuti tidak senang dan memprotes sikap adiknya yang

memperturutkan perasaan dengan "menggantungkan dan memasrahkan hidupnya"

kepada laki-laki tersebut. Ia memberikan saran agar adiknya bersikap rasional

sekaligus mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan. Perempuan

diciptakan bukan sebagai pengabdi, pelayan laki-laki karena pengabdian

menunjukkan hubungan yang timpang. Menurut Tuti, hubungan suami istri bukan

hubungan majikan-buruh, Tuanhamba, atau pemimpin-yang dipimpin, melainkan

hubungan suami-istri adalah hubungan mitra, hubungan kesetaraan yang diikat

oleh perasaan saling mencintai, menyayangi, dan menghargai. Tujuan hidup

perempuan bukan semata-mata menjadi istri dan ibu rumah tangga, melainkan
kaum perempuan berperan serta memasuki dunia publik untuk memajukan

bangsanya. Kedudukan perempuan harus sejajar dengan laki-laki, yang memiliki

kemauan dan kehendaknya sendiri tanpa bergantung kepada laki-laki

(Alisjahbana, 2000:40). Tuti menganggap sikap demikian itu telah menempatkan

perempuan pada posisi sebagai hamba sahaya laki-laki (Alisjahbana, 2000:67).

Perempuan menjadi takluk, bergantung, inferior, dan tidak memiliki otonominya

di hadapan laki-laki. Bagi Tuti, persatuan cinta kasih bukanlah legitimasi sikap

perlindungan laki-laki (suami) kepada perempuan (istri), melainkan sikap

apresiatif laki-laki terhadap perempuan sebagai manusia yang cakap dan memiliki

independensi (Alisjahbana, 2000:68). Pikiran dan pandangan Tuti dipaparkan oleh

teks sebagai berikut.

"Bukan maksud saya supaya engkau berbohong dan pura-pura tiada cinta

kepadanya. Tidak sekali-kali. Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa

cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu

kepadanya. Terlampau engkau nyatakan bahwa hidupmu amat bergantung

kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau tiada dengan dia. Sifat

perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka kedudukan perempuan

sangat nista dalam perkawinan" (Alisjahbana, 2000:71).

Saran Tuti tidak ditanggapi adiknya bahkan timbul pertentangan antara keduanya.

Pertentangan itu menimbulkan pertengkaran (Alisjahbana, 2000:70-71). Namun,

pertengkaran itu tidak berlanjut karena masing-masing menarik diri untuk kembali

kepada citra dirinya masing-masing. Tuti akhirnya membiarkan Maria dengan

kemauannya sendiri. Begitu pun, Maria menganggap dirinya tidak membutuhkan


nasihat dan tidak mau urusannya dicampuri oleh Tuti (Alisjahbana, 2000:72).

Pada titik ini, Tuti dan Maria “berdiri” pada karakter dan sikapnya masing-

masing, yaitu rasionalitas dan emosionalitas. Maria berkukuh pada keyakinannya

bahwa peran perempuan melayani laki-laki. Sebaliknya, Tuti pun tetap pada

pandangannya bahwa perempuan memiliki otonomi untuk bertindak dan peran-

perannya tidak direduksi sebagai pelayan laki-laki semata. Akan tetapi, melihat

kedekatan Maria-Yusuf yang membahagiakan, Tuti yang semula asyik dengan

citra dirinya, diam-diam mengalami beban psikis yang seolah-olah ditarik ke luar

mengikuti citra diri adiknya. Dengan bantuan dirinya sendiri, ia mencoba

mempertahankan citra dirinya, tetapi perlawanannya sia-sia belaka. Mula-mula

perempuan itu ditarik oleh bayangan pertengkaran dengan adiknya (“sampai kini

masih pedih hatinya ditusuk oleh ucapan Maria yang pedas-pedas itu. Ia tidak

memahami sikap adiknya yang menjadi ‘bayang-bayang Yusuf,’ yang

menghambakan dirinya kepada laki-laki itu”) (Alisjahbana, 2000:74—75).

Kemudian, ia terpesona oleh pemandangan alam yang ada di luar kamarnya yang

gelap (“dari jendela, matanya melayang ke luar, kepada pohon mangga yang

besar, yang berat, dan lebar mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana sini

nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rapat-rapat,

terang putih rupanya di antara bayang-bayang daun yang hitam”) (Alisjahbana,

2000:78). Selanjutnya, perempuan itu terbuai oleh suara alunan musik, seperti

“riak air di teluk yang jauh, memuncak menjadi imbauan putus, turun sebagai

empasan ombak yang letih di pantai yang rata, mendorong dan melanda, tiada

tertahan-tahan” (Alisjahbana, 2000:78). Bahkan, ketika Tuti melihat bayangan


adiknya dan Yusuf yang sedang bermesraan di luar kamarnya, perempuan itu

terperangkap oleh citra diri adiknya. Ia mencoba menolak "kodratnya" sebagai

perempuan dan bertahan pada citra dirinya, tetapi ia merasa gagal, kalah. "Kalah

oleh tenaga asli alam, yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam,

dengan perhitungannya yang nyata." (Alisjahbana, 2000:81). Kekalahan Tuti

berarti mulai meleburnya citra dirinya ke dalam citra adiknya. Ia mulai bersatu

dengan nuansa-nuansa perasaan: pemandangan alam dan musik. Namun,

kecenderungan tersebut masih berupa proses. Pergulatan tarik-menarik dua citra

yang bergejolak dalam diri Tuti terus berlangsung. Hal demikian, misalnya,

terjadi ketika perayaan kelulusan Maria dari sekolah, keberhasilannya

mendapatkan pekerjaan, dan pertunangannya dengan Yusuf yang dilakukan oleh

istri Parta, bibinya. Dalam peristiwa itu, berkali-kali Parta dan istrinya berusaha

menarik citra dirinya. Tuti sendiri tampak berada pada posisi yang lemah, tidak

kuasa melawan walaupun ia masih tetap bertahan. Beban psikis itu berlangsung

cukup lama. Hal ini disebabkan oleh sikap Tuti yang terus mempertahankan

keyakinan dirinya. Penolakan lamaran Supomo terhadap dirinya menunjukkan

bahwa ia masih mencoba bertahan pada keyakinannya, pada citra dirinya.

Walaupun Supomo adalah laki-laki yang baik hati, lemah lembut, dan sopan

dalam pergaulan, Tuti tetap menolaknya karena "kalau ia menjadi istrinya, maka

perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk

melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian, dan ini merendahkan

perkawinan" (Alisjahbana, 2000:123). Tuti "takut" kesediaan dirinya untuk

menjadi istri Supomo hanya disebabkan oleh "pelarian dari kengerian perasaan
kesepian seorang perempuan yang merasa umurnya amat cepat bertambah tinggi"

(Alisjahbana, 2000:126), yang sekaligus akan menghancurkan ideologi yang

selama ini diperjuangkannya. Proses unifikasi citra itu, bagi Tuti, tidak hanya

dapat dicapai dengan perkawinannya dengan Supomo. Apalagi, laki-laki itu bukan

laki-laki yang turut berperan dalam pergerakan pembangunan bangsanya, bukan

seorang laki-laki yang diidealkan oleh Tuti. Apa yang dilakukan Tuti seolah-olah

melepaskan atribut, “kodrat” perempuan yang selama ini distereotipkan oleh

masyarakat bahwa perempuan dikuasai oleh aspek emosional. Pada tataran ini,

Tuti dideskripsikan teks sebagai perempuan yang tidak memiliki aspek-aspek

emosional. Padahal, pandangan seperti ini keliru dan sama kelirunya dengan

keyakinan bahwa perempuan hanya dikuasai oleh sifat emosional. Pada

peristiwaperistiwa selanjutnya, teks “mendudukkan” posisi yang proporsional:

menyatunya rasionalitas dan emosionalitas. Proses unifikasi dua poros rasional

dan emosional (intuitif) pada diri Tuti mulai tampak sejak Maria, adiknya

terserang penyakit malaria dan "diasingkan" ke rumah sakit di Pacet. Ketika

Maria terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan, ketika ia terus

berjuang untuk mendapatkan kembali kesehatannya, ketika itu pula Tuti dan

Yusuf mulai saling mendekatkan diri satu sama lain: berjalan-jalan bersama

menghabiskan masa libur mereka. Dengan alam pegunungan, dengan

kedekatannya dengan Yusuf, Tuti telah mengenal "dunia baru". Ia akhirnya

merasakan "betapa setimbang pendirian hidupnya, betapa lapang perasaan dan

pikirannya untuk menghargai keindahan dan kebenaran dalam berbagai

penjelmaan. Dialah yang memperlihatkan segala keadaan dan kejadian di dunia


dalam perhubungannya yang lebih besar dan mulia" (Alisjahbana, 2000:151). Tuti

mengalami transformasi menjadi "manusia baru" yang tidak hanya meyakini citra

dirinya, kemampuan dirinya sendiri, ketajaman otaknya, tetapi ia juga

mempercayai bahwa di balik semua itu tersembunyi kekuatan di luar dirinya.

Selain sebagai arena pertentangan, perjuangan, dan pertarungan kodrat manusia,

Tuti meyakini bahwa hidup di dunia pun merupakan persatuan keindahan. Dalam

persatuan itu bukanlah lenyap perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi

lebih mulia, sebab ia terlangsung bukan semata-mata karena berebut pengaruh

atau kekuasaan, tetapi seperti kodrat alam yang selalu mencari kesetimbangan

yang lebih tinggi derajatnya dalam susunan keindahan persatuannya"

(Alisjahbana, 2000:151).

Kesadaran sebagai "manusia baru" tidak serta merta mereduksi citra rasional Tuti

dan tujuan hidupnya untuk memajukan kaum perempuan. Walaupun bagi Tuti ada

perbedaan jasmani dan sifat-sifat antara laki-laki dan perempuan, ia menunjukkan

bahwa persamaan di antara keduanya amat banyak. Ia mengkritik orang yang

lebih menekankan perbedaan itu sehingga kaum perempuan dibatasi aksesnya ke

wilayah publik sekaligus digiring untuk bekerja di ruang domestik: mengurus

rumah tangga dan mendidik anak. Kondisi tersebut mengakibatkan perempuan

(istri) tidak mandiri atau bergantung kepada laki-laki (suami). Bagi Tuti, sosok

perempuan seperti Ratna adalah "salah satu tipe perempuan baru yang pergi

dengan suaminya yang dicintainya ke tempat-tempat yang jauh terpencil mencari

nafkah dan bersama-sama dengan itu bergerak membawa sinar zaman baru
kepada mereka yang berabad-abad terselimut dalam gelap gulita yang tebal"

(Alisjahbana, 2000:158). Ratna bersama suaminya, Saleh, mengajar dan mendidik

perempuan-perempuan desa di tempat tinggalnya. Begitu pun, melalui tulisan-

tulisannya pada majalah Widuri dan Dunia Istri, ia berusaha mengubah pola pikir'

masyarakat terhadap kedudukan, fungsi, dan peran perempuan dalam

pembangunan bangsanya.

Kesimpulan

Citra rasionalitas dan emosionalitas dipresentasikan oleh dua tokoh utama

perempuan dalam novel “Layar Terkembang” yaitu Tuti dan Maria. Maria adalah

tokoh perempuan yang merupakan representasi sifat emosional, sedangkan Tuti

merupakan tokoh perempuan wakil rasional. Tokoh Tuti digambarkan seorang

wanita yang teguh dan mempunyai banyak kegiatan. Ia merupakan seorang aktivis

yang selalu berprinsip. Penggambaran yang dilakukan oleh pengarang pada tokoh

ini adalah untuk menjelaskan mengenai bagaimana wanita yang sudah

terpengaruh oleh kehidupan luar, tetapi ia masih tunduk pada laki-laki. Pengarang

menggambarkan tokoh Maria sebagai seorang wanita yang lemah dan penurut

dengan laki-laki. Ia lebih memiliki jiwa wanita dunia timur. Ia tidak begitu

terpengaruh dunia luar, sehingga ia lebih berwatak lembut.


Referensi

http://ekookdamezs.blogspot.com/2012/06/pengertian-feminisme-dan-macam-

macam.html

https://relasigenderblog.wordpress.com/2014/11/29/teori-teori-feminisme/

https://forum.teropong.id/2017/10/12/pengertian-feminisme-sejarah-ciri-ciri-jenis-

kelebihan-dan-kekurangan-feminisme/

Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang”


karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan
penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-
kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti
dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada
pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-
haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain
yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur,
juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf,
Maria, dan Tuti.

Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk
memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita
tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora
Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam
berbagai organisasi kepemudaan.

Ada beberapa bentuk emansipasi yang digambarkan oleh Sutan Takdir


Alisyahbana dalam novelnya, di antaranya aktivitas perempuan dalam sebuah
organisasi atau perkumpulan, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja,
menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana mestinya,
dan lain-lain. Hal-hal inilah yang diperjuangkan oleh Tuti sebagai pelopor
emansipasi wanita pada masanya.

Dalam hal berorganisasi, eksistensi kaum perempuan cukup diperhitungkan.


Kaum perempuan dapat menjabat sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah
perkumpulan seperti yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui
tokoh Tuti dalam novel “Layar Terkembang”. Bahkan, tokoh Tuti digambarkan
sebagai representasi kaum perempuan yang menginginkan kebebasan berdiri
sendiri menentukan nasibnya.

Kaum perempuan dalam novel “Layar Terkembang” sangat berpedoman dan


bercermin pada kegigihan sosok Tuti. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti
selalu mendapat sambutan hangat dari pendengarnya. Pidato-pidato yang
disampaikan oleh Tuti pada forum-forum atau rapat maupun kongres tidak jarang
membakar semangat kaum perempuan untuk berjuang menuntut haknya sebagai
manusia.

Pada setiap kesempatan menyampaikan pidato, Tuti selalu menyinggung


persoalan perempuan. Tuti selalu menggambarkan kondisi perempuan yang hitam
dan kelam, bahkan lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan
manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri,
hidup sendiri, melainkan hanya sebagai hamba sahaya. Perempuan hanya budak
yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki yang seakan tidak
mempunyai hak.

Dalam novel ini juga, tergambar pula pandangan Sutan Takdir Alisyahbana dalam
menyikapi hubungan suami-istri dalam keluarga. Hal ini dapat kita lihat dari
keteguhan hati dan sikap Tuti yang menginginkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni saling menghargai. Tuti tidak
ingin menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki.

Dua tokoh utama wanita yang bersaudara dalam novel ini mempunyai perbedaan
sifat dan perilaku yang memperkuat kesan perjuangan menuntut emansipasi
wanita yang dilakukan oleh Tuti. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada
kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang
dicintai. Tuti adalah seorang wanita modern yang aktif dalam berorganisasi dalam
perkumpulan perempuan, bahkan menjabat sebagai ketua. Dia selalu memikirkan
nasib kaum perempuan yang menurutnya sangat tertindas. Sedangkan adiknya,
Maria, tidak aktif sama sekali selain organisasi di sekolah.

Novel “Layar Terkembang” mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan


permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada
tahun 1920-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan
tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya
berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas
masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk
dibicarakan sampai saat ini.

Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu


dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat
dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan
tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel “Layar Terkembang
ditulis di era 1920-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini,
mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara
kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki
pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan
memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan
mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang
mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya
sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada
umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang
kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya, wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan


kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas
menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam novel “Layar
Terkembang”). Gambaran wanita tidak lagi pesimis yang digambarkan adalah
wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang
mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi
wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di
Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia
khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke
dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran
seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun
orang lain.

Kehadiran novel ini pada masanya merupakan dorongan bagi kaum perempuan
untuk memperjuangkan haknya, karena adanya asumsi dalam masyarakat pada
masa itu kaum perempuan hanya bertugas membina rumah tangga. Akan tetapi,
Sutan Takdir Alisyahbana membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa
yang terjadi pada perjalanan karier Tuti.

Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang meletakkan perempuan mampu tampil


di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja.
Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang
menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas
menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berikut ini akan disajikan beberapa kutipan penggalan novel “Layar Terkembang”
karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengindikasikan adanya bentuk emansipasi
wanita yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya.

Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang
dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik
memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri
Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang
pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu
kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tidada
pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain
yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk
menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar
dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan
bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai
kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia
yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.
(Layar Terkembang, 2002:8)

Dari kutipan penggalan novel di atas, dapat kita lihat sosok Tuti yang termasuk
seorang aktivis organisasi perempuan yang menggambarkan emansipasi wanita.
Bahkan Ia mendapat kesempatan untuk membacakan pidato pada sebuah kongres
organisasi yang diadakan di Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh
perempuan yang lain pada masa itu.

“Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-
mana,” ujar Yusuf pula. “Zus masuk Putri Sedar jugakah?”
“Ah tidak,” jawab Maria. “Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak
masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah
lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang
ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan
baru.”
“Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita?
Keputrian Pemuda Baru, misalnya, baik benar bagi gadis-gadis yang masih
sekolah.”
“Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa
sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai.”
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya
lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak.
Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja?
Apa-bila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan
canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan
pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama
untuk kepentingan orang banyak.”
(Layar Terkembang, 2002:15)

Dalam kutipan penggalan novel di atas, dihadirkan sosok laki-laki yang


mendukung keaktifan perempuan pada organisasi. Dalam percakapannya dengan
Maria (adik Tuti), Yusuf berusaha memengaruhi Maria agar mau bergabung
dengan perkumpulan pemuda menjadi anggota atau pengurus. Yusuf menganggap
bahwa perkumpulan merupakan tempat belajar selain di sekolah.

“Sedikit hari lagi tiba libur…” kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya
sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada
alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada
sambungannya, maka katanya. “Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk
ujian lima belas hari lagi.”
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
“Jadi, Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan?”
“Ya,” Maria mengangguk.
“Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika
sudah ujian itu nanti?”
“Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus
maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi
rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru.”
“Menjadi guru? Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita.
Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insaf merasa
menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya megucapkan
selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran
dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu
mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu…”
(Layar Terkembang, 2002:17)

Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi
guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria
ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus
urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja.
Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-
anak bangsa yang cerdas dan pintar.

Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu,
memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga
gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu
kedengaran pula teriak orang, “Hidup Tuti! Hidup Tuti!” tiada berhenti-henti.

Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di
hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah
berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memcahkan bunyi tepukan itu
sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.

Dalam sepi yang sepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah,


“Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang
sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita
bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan
datang. Janganlah sekali-kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang
demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan
yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.


“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai
manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan
kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan
perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari
kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.
(Layar Terkembang, 2002:34-40)

Kutipan penggalan novel di atas menggambarkan tekad Tuti yang merupakan


representasi semangat perempuan yang ingin menuntut emansipasi. Kaum
perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam pergaulan di masyarakat.
Dalam pidatonya, Tuti menguraikan kondisi perempuan yang tertindas dan selalu
berada di bawah perintah kaum laki-laki. Perempuan seakan tidak boleh bersuara
dan berkehendak. Namun, Tuti berusaha mengajak kaum perempuan untuk
bangkit dan mengejar hak-haknya sebagai manusia yang tiada berbeda dengan
kaum laki-laki. Bahkan Tuti beranggapan bahwa bangsa ini hanya akan berubah
jika derajat kaum perempuan dikembalikan sebagaimana mestinya.

Setelah Rukmanah turun, duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak
muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal
hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar
kepada perempuan yang bangun tinggi hari.”
“Ah, dalam libur, apa salahnya!” kata Yusuf.
“Apa salahnya? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa
bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik.”
(Layar Terkembang, 2002:55)

Tuti memperlihatkan kejengkelannya pada adiknya Maria yang terlambat bangun.


Bahkan Tuti mendebat Yusuf yang seakan mentolerir sikap Maria. Tuti
beranggapan bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk itulah yang selama ini
menyebabkan perempuan dipandang sebelah mata.
Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan
kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba
menyambuk ingatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti
akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat
tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-
bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki
serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama
menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena
penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada
boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan
sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak
demikian, perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan
daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya
…. Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur
hidupnya.
(Layar Terkembang, 2002:75-76)

Tuti menyesalkan sikap adiknya, Maria, yang seakan menghambakan dirinya pada
laki-laki. Maria sudah menggantungkan hidupnya pada Yusuf yang sangat ia
cintai. Tuti menginginkan percintaan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni
sama-sama menghargai. Itulah sebabnya Tuti memilih memutuskan percintaannya
dengan Hambali karena ia merasa Hambali hendak mengatur hidupnya. Bahkan,
Tuti lebih memilih tiada bersuami jika tidak saling menghargai hak masing-
masing.

…. Sekali-sekali ada juga kecewa hatinya menginsafkan betapa lambatnya


berubah pekerti kaum perempuan yang dipimpinnya dan betapa kuatnya berurat-
berakar berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang turun-temurun. Sampai
sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya
bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani
menanggung jawab akan segala perbuatannya.
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam
kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan
bekerja.
(Layar Terkembang, 2002:137-138)

Tuti merasa kecewa melihat kondisi perempuan yang sangat sulit diubah
pekertinya. Tuti pun merasa sangat susah menembus kuatnya adat dan kebiasaan
yang telah dianut turun-temurun. Namun, Tuti tetap berusaha memperkuat dirinya
dan menenamkan keyakinan pada dirinya.

Anda mungkin juga menyukai