Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Prosa Fiksi
Disusun oleh:
GARUT
2018
Abstrak
Gambaran tersebut melekat pada diri perempuan seolah-olah hal itu merupakan
jelas dalam novel Layar Terkembang. Berkaitan dengan hal itu, tulisan ini
sebagai (1) perempuan emosional (yang ditunjukkan oleh tokoh Maria) dan (2)
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
perhatian yang serius dari para pakar ilmu pengetahuan, khususnya kaum
sosiolog. Animo yang cukup besar itu ditandai oleh adanya kesadaran bahwa
sebab-sebab ketidakadilan sosial juga dapat dijelaskan dari hubungan antara laki-
laki dan perempuan. Persoalan gender adalah persoalan relasi jenis kelamin.
makhluk ciptaan kedua, tidak lebih cerdas, lemah, emosional, pasif, dan subjektif.
Oposisi laki-laki dengan perempuan dinyatakan seperti jiwa dan tubuh, pikiran
dan hasrat, manusia dan hewan, orang merdeka dan budak. Secara biologis,
sesuatu yang aktif, energik, dan fungsi selular katabolik, sedangkan perempuan
dikuasai oleh sesuatu yang konservatif, pasif, dan fungsi-fungsi anabolik sehingga
lebih pasif, konservatif, lamban, dan stabil. Setiap karya sastra merupakan produk
pada suatu zaman tertentu, yang secara sadar atau tidak sadar, “merekam” fakta
terekam oleh karya sastra tidak disalin begitu saja, tetapi dimodifikasi dengan
sastra bersifat khas: respons metaforis dan imajinatif. Dalam pentransmisian itu,
dengan bebas, tetapi tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam kerangka konvensi
yang tersedia baginya, baik konvensi bahasa, konvensi sastra, maupun konvensi
dipresentasikan karya sastra (dalam hal ini novel) lewat mediasi para tokoh.
Sebagai salah satu genre karya sastra, novel Layar Terkembang menyajikan isu-
isu perempuan yang sangat kental bahkan sebagian ahli sastra menyebut novel ini
A. Rumusan Masalah
Alisjahbana.
BAB II
1. Kajian Pustaka
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman, berarti perempuan
(jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male
dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah, masculine
dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis cultural). Dengan kalimat lain,
baik dalam politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dari
yang cukup signifikan mulai tumbuh. Dua tokoh utama pergerakan ini adalah
Susan dan Elizabeth. Mereka ketika itu telah berhasil memperjuangkan hak
politik, yaitu hak untuk memilih bagi perempuan. Kemudian memasuki abad ke
19, dengan dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de
Sisterhood”.
Dalam perkembangannya, ada tiga gelombang pergerakan feminisme, yaitu :
Gelombang pertama atau yang sering disebut dengan gelombang suara perempuan
pertama kali dipelopori oleh aktivis sosialis Charles Fourier tahun 1837. Pada
dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku berjudul The Subjection Of
Women (1869) karya Joh Stuart Mill. Perjuangan kaum wanita dalam menuntu
revolusi sosial dan politik terhadap hak perempuan mulai memuahkan hasil
2. Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya negara-
negara baru setelah mereka terbebas dari penjajahan bangsa eropa, gerakan
perempuan dalam hak suara parlemen (pihak yang ikut menjalankan sistem
memperjuangkan haknya memuncak pada awal tahun 1970. Tokoh utama yang
sering dikaitkan dengan gerakan feminisme gelombang kedua ini adalah para
feminis Perancis, seperti Helene Cixous (Yahudi kelahiran Algeria yang menetap
wanita yang sering dipandang rendah dan diperlakukan dengan tidak layak.
3. Gelombang Ke Tiga
tempat yang harus memiliki perwakilannya agar hak-hak wanita dapat terus
kekerasan terhadap perempuan atau hak-hak legal perempuan. Kaum Feminis juga
ikut terlibat dalam memperjuangkan gerakan sosial yang serupa seperti gerakan
1.3 Jenis-jenis Feminisme
berikut.
a. Feminisme Liberal
Sesuai dengan namanya, feminisme jenis ini menganut paham liberalisme, yaitu
Dalam bukunya ia menyebutkan bahwa pria dan wanita mempunyai nalar yang
sama, oleh karena harus terjadi persamaan terhadap perlakuan dan hak keduanya.
laki-laki.
secara “lebih lemah”. Tujuan utama feminis marxis adalah menghapuskan sistem
kapitalis.
c. Feminisme Sosialis
struktur sosial. Contohnya, mereka tidak setuju dengan hukum yang melegalisir
d. Feminisme Radikal
e. Feminisme Anarkis
Feminisme anarkis juga merupakan salah satu paham feminisme ekstrim. Mereka
menganggap bahwa negara dan laki-laki merupakan pusat segala permasalah yang
dialami kaum perempuan. Oleh karena itu tujuan feminisme anarkis adalah untuk
f. Feminisme PostModern
Feminisme Post modern merupakan feminisme yang mulai terlihat
yang anti dengan sesuatu dengan sifat absolut dan anti dengan otoritas. Tokoh
perbedaan. Artinya, kaum feminis boleh menjadi apapun yang mereka inginkan,
dan tidak ada rumus “feminis yang baik”. Namun demikian, kaum feminisme
Kehidupan manusia terbentuk karena bahasa, maka lewat bahasa pula kita dapat
2. Metode
penyajian laporan tersebut. Data yang berupa kutipan yang telah diperoleh perlu
dideskripsikan dan dipaparkan apa adanya sehingga pada akhirnya akan diketahui
sebagai sumber data, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan dalam bentuk
kata-kata maupun kalimat dan tidak berbentuk angka-angka atau mengadakan
BAB III
Citra perempuan dalam novel Layar Terkembang tampak dengan jelas pada
gagasan atau pikiran dan tindakan Tuti dan Maria yang menjadi figur dalam novel
ini. Meskipun secara biologis kedua perempuan kakak beradik ini dekat, mereka
memiliki pandangan yang amat jauh. Maria bersifat emosional, sedangkan Tuti
bertindak rasional. Ini terlihat dari deskripsi teks terhadap Maria. Maria
pertimbangan yang tidak jelas. Ia gadis yang mudah kagum, yang mudah memuji
sebentar berderau gelaknya yang segar oleh kegembiraan hatinya yang remaja"
setelah tahu bahwa dirinya dan kakaknya adalah pengunjung pertama di Gedung
dengan Yusuf seorang mahasiswa kedokteran, yang pada masa itu lebih dikenal
dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Sejak pertemuan tersebut antara Maria dan
Yusuf timbul kontak batin. Sifat emosional itu menemukan jejaknya yang
semakin kuat ketika ia berpisah dengan kekasihnya Yusuf. Ketika jarak geografis
(Alisjahbana, 2000:51). Akan tetapi, penerobosan yang mereka lakukan tetap saja
tidak mampu mereduksi gejolak jiwa masing-masing. Penerobosan itu hanya bisa
Yusuf berarti kesediaannya untuk mengabdi dan melayani Yusuf dengan seluruh
nasib hidup dan kehidupannya kepada Yusuf (Alisjahbana, 2000:72). "Ah, engkau
hendak mengatur-atur orang pula, saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati
daripada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya.
Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya
percaya kepadanya dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya
Kondisi dan keadaan adiknya yang inferior, yang bergantung kepada laki-laki,
yang akses-aksesnya untuk memasuki wilayah publik dibatasi, dikritik oleh Tuti.
dirinya dengan laki-laki, Tuti telah "melompati" ruang domestik, bergerak dan
produk perempuan yang sadar gender, Tuti tidak puas ruang geraknya hanya
sahaya, dan budak yang bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, tanpa
memiliki hak. Perempuan hanya "dijadikan perhiasan, dipuja selagi disuka, tetapi
dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya"
Putri Sedar cabang Jakarta (Alisjahbana, 2000:76). Dalam konteks ini, Tuti
meyakini bahwa hubungan suami istri bukan merupakan relasi yang asimetris:
Tentu saja, ini bertentangan dengan pandangan Sigmund Freud yang secara tegas
pandangan, serta citra Tuti sebagai perempuan yang memiliki harga diri
menunjukkan hubungan yang timpang. Menurut Tuti, hubungan suami istri bukan
perempuan bukan semata-mata menjadi istri dan ibu rumah tangga, melainkan
kaum perempuan berperan serta memasuki dunia publik untuk memajukan
di hadapan laki-laki. Bagi Tuti, persatuan cinta kasih bukanlah legitimasi sikap
apresiatif laki-laki terhadap perempuan sebagai manusia yang cakap dan memiliki
"Bukan maksud saya supaya engkau berbohong dan pura-pura tiada cinta
cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu
kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau tiada dengan dia. Sifat
Saran Tuti tidak ditanggapi adiknya bahkan timbul pertentangan antara keduanya.
pertengkaran itu tidak berlanjut karena masing-masing menarik diri untuk kembali
Pada titik ini, Tuti dan Maria “berdiri” pada karakter dan sikapnya masing-
bahwa peran perempuan melayani laki-laki. Sebaliknya, Tuti pun tetap pada
perannya tidak direduksi sebagai pelayan laki-laki semata. Akan tetapi, melihat
citra dirinya, diam-diam mengalami beban psikis yang seolah-olah ditarik ke luar
perempuan itu ditarik oleh bayangan pertengkaran dengan adiknya (“sampai kini
masih pedih hatinya ditusuk oleh ucapan Maria yang pedas-pedas itu. Ia tidak
Kemudian, ia terpesona oleh pemandangan alam yang ada di luar kamarnya yang
gelap (“dari jendela, matanya melayang ke luar, kepada pohon mangga yang
besar, yang berat, dan lebar mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana sini
nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rapat-rapat,
2000:78). Selanjutnya, perempuan itu terbuai oleh suara alunan musik, seperti
“riak air di teluk yang jauh, memuncak menjadi imbauan putus, turun sebagai
empasan ombak yang letih di pantai yang rata, mendorong dan melanda, tiada
perempuan dan bertahan pada citra dirinya, tetapi ia merasa gagal, kalah. "Kalah
oleh tenaga asli alam, yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam,
berarti mulai meleburnya citra dirinya ke dalam citra adiknya. Ia mulai bersatu
yang bergejolak dalam diri Tuti terus berlangsung. Hal demikian, misalnya,
istri Parta, bibinya. Dalam peristiwa itu, berkali-kali Parta dan istrinya berusaha
menarik citra dirinya. Tuti sendiri tampak berada pada posisi yang lemah, tidak
kuasa melawan walaupun ia masih tetap bertahan. Beban psikis itu berlangsung
cukup lama. Hal ini disebabkan oleh sikap Tuti yang terus mempertahankan
Walaupun Supomo adalah laki-laki yang baik hati, lemah lembut, dan sopan
dalam pergaulan, Tuti tetap menolaknya karena "kalau ia menjadi istrinya, maka
perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk
melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian, dan ini merendahkan
menjadi istri Supomo hanya disebabkan oleh "pelarian dari kengerian perasaan
kesepian seorang perempuan yang merasa umurnya amat cepat bertambah tinggi"
selama ini diperjuangkannya. Proses unifikasi citra itu, bagi Tuti, tidak hanya
dapat dicapai dengan perkawinannya dengan Supomo. Apalagi, laki-laki itu bukan
seorang laki-laki yang diidealkan oleh Tuti. Apa yang dilakukan Tuti seolah-olah
masyarakat bahwa perempuan dikuasai oleh aspek emosional. Pada tataran ini,
emosional. Padahal, pandangan seperti ini keliru dan sama kelirunya dengan
dan emosional (intuitif) pada diri Tuti mulai tampak sejak Maria, adiknya
berjuang untuk mendapatkan kembali kesehatannya, ketika itu pula Tuti dan
Yusuf mulai saling mendekatkan diri satu sama lain: berjalan-jalan bersama
mengalami transformasi menjadi "manusia baru" yang tidak hanya meyakini citra
Tuti meyakini bahwa hidup di dunia pun merupakan persatuan keindahan. Dalam
persatuan itu bukanlah lenyap perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi
atau kekuasaan, tetapi seperti kodrat alam yang selalu mencari kesetimbangan
(Alisjahbana, 2000:151).
Kesadaran sebagai "manusia baru" tidak serta merta mereduksi citra rasional Tuti
dan tujuan hidupnya untuk memajukan kaum perempuan. Walaupun bagi Tuti ada
(istri) tidak mandiri atau bergantung kepada laki-laki (suami). Bagi Tuti, sosok
perempuan seperti Ratna adalah "salah satu tipe perempuan baru yang pergi
nafkah dan bersama-sama dengan itu bergerak membawa sinar zaman baru
kepada mereka yang berabad-abad terselimut dalam gelap gulita yang tebal"
tulisannya pada majalah Widuri dan Dunia Istri, ia berusaha mengubah pola pikir'
pembangunan bangsanya.
Kesimpulan
perempuan dalam novel “Layar Terkembang” yaitu Tuti dan Maria. Maria adalah
wanita yang teguh dan mempunyai banyak kegiatan. Ia merupakan seorang aktivis
yang selalu berprinsip. Penggambaran yang dilakukan oleh pengarang pada tokoh
terpengaruh oleh kehidupan luar, tetapi ia masih tunduk pada laki-laki. Pengarang
menggambarkan tokoh Maria sebagai seorang wanita yang lemah dan penurut
dengan laki-laki. Ia lebih memiliki jiwa wanita dunia timur. Ia tidak begitu
http://ekookdamezs.blogspot.com/2012/06/pengertian-feminisme-dan-macam-
macam.html
https://relasigenderblog.wordpress.com/2014/11/29/teori-teori-feminisme/
https://forum.teropong.id/2017/10/12/pengertian-feminisme-sejarah-ciri-ciri-jenis-
kelebihan-dan-kekurangan-feminisme/
Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk
memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita
tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora
Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam
berbagai organisasi kepemudaan.
Dalam novel ini juga, tergambar pula pandangan Sutan Takdir Alisyahbana dalam
menyikapi hubungan suami-istri dalam keluarga. Hal ini dapat kita lihat dari
keteguhan hati dan sikap Tuti yang menginginkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni saling menghargai. Tuti tidak
ingin menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki.
Dua tokoh utama wanita yang bersaudara dalam novel ini mempunyai perbedaan
sifat dan perilaku yang memperkuat kesan perjuangan menuntut emansipasi
wanita yang dilakukan oleh Tuti. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada
kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang
dicintai. Tuti adalah seorang wanita modern yang aktif dalam berorganisasi dalam
perkumpulan perempuan, bahkan menjabat sebagai ketua. Dia selalu memikirkan
nasib kaum perempuan yang menurutnya sangat tertindas. Sedangkan adiknya,
Maria, tidak aktif sama sekali selain organisasi di sekolah.
Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki
pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan
memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan
mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang
mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya
sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada
umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang
kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.
Kehadiran novel ini pada masanya merupakan dorongan bagi kaum perempuan
untuk memperjuangkan haknya, karena adanya asumsi dalam masyarakat pada
masa itu kaum perempuan hanya bertugas membina rumah tangga. Akan tetapi,
Sutan Takdir Alisyahbana membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa
yang terjadi pada perjalanan karier Tuti.
Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang
dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik
memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri
Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang
pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu
kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tidada
pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain
yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk
menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar
dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan
bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai
kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia
yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.
(Layar Terkembang, 2002:8)
Dari kutipan penggalan novel di atas, dapat kita lihat sosok Tuti yang termasuk
seorang aktivis organisasi perempuan yang menggambarkan emansipasi wanita.
Bahkan Ia mendapat kesempatan untuk membacakan pidato pada sebuah kongres
organisasi yang diadakan di Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh
perempuan yang lain pada masa itu.
“Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-
mana,” ujar Yusuf pula. “Zus masuk Putri Sedar jugakah?”
“Ah tidak,” jawab Maria. “Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak
masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah
lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang
ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan
baru.”
“Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita?
Keputrian Pemuda Baru, misalnya, baik benar bagi gadis-gadis yang masih
sekolah.”
“Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa
sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai.”
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya
lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak.
Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja?
Apa-bila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan
canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan
pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama
untuk kepentingan orang banyak.”
(Layar Terkembang, 2002:15)
“Sedikit hari lagi tiba libur…” kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya
sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada
alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada
sambungannya, maka katanya. “Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk
ujian lima belas hari lagi.”
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
“Jadi, Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan?”
“Ya,” Maria mengangguk.
“Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika
sudah ujian itu nanti?”
“Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus
maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi
rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru.”
“Menjadi guru? Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita.
Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insaf merasa
menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya megucapkan
selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran
dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu
mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu…”
(Layar Terkembang, 2002:17)
Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi
guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria
ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus
urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja.
Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-
anak bangsa yang cerdas dan pintar.
Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu,
memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga
gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu
kedengaran pula teriak orang, “Hidup Tuti! Hidup Tuti!” tiada berhenti-henti.
…
Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di
hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah
berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memcahkan bunyi tepukan itu
sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.
…
“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai
manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan
kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan
perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari
kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.
(Layar Terkembang, 2002:34-40)
Setelah Rukmanah turun, duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak
muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal
hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar
kepada perempuan yang bangun tinggi hari.”
“Ah, dalam libur, apa salahnya!” kata Yusuf.
“Apa salahnya? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa
bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik.”
(Layar Terkembang, 2002:55)
Tuti menyesalkan sikap adiknya, Maria, yang seakan menghambakan dirinya pada
laki-laki. Maria sudah menggantungkan hidupnya pada Yusuf yang sangat ia
cintai. Tuti menginginkan percintaan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni
sama-sama menghargai. Itulah sebabnya Tuti memilih memutuskan percintaannya
dengan Hambali karena ia merasa Hambali hendak mengatur hidupnya. Bahkan,
Tuti lebih memilih tiada bersuami jika tidak saling menghargai hak masing-
masing.
Tuti merasa kecewa melihat kondisi perempuan yang sangat sulit diubah
pekertinya. Tuti pun merasa sangat susah menembus kuatnya adat dan kebiasaan
yang telah dianut turun-temurun. Namun, Tuti tetap berusaha memperkuat dirinya
dan menenamkan keyakinan pada dirinya.