Anda di halaman 1dari 11

Fenomena Feminisme dalam Cerpen Luh Mano, Kaung Bedolot, dan Pesta

Tubuh :Konstruksi Filsafat Ilmu

Ni Made Wikandina Putri; Ni Putu Putri Prasista; Ni Wayan Widya Astuti; I Gede Doni
Suryawan
Program Magister Linguistik, Wacana Naratif
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Diskriminasi adalah suatu bentuk sikap dan perilaku yang melanggar hak asasi
manusia (Ihromi, 2007:07). Diskriminasi terhadap perempuan telah terjadi terutama dalam
kekerasan. Diskriminasi terhadap perempuan terjadi karena adanya persepsi kekuatan
perempuan di bawah laki-laki masih ada dalam berbagai aspek seperti pendidikan,
lingkungan pekerjaan, lingkungan keluarga dan sebagainya. Hal ini menjadi sebuah unsur
kebudayaan yang dimana masyarakat mempercayai kendali tunggal oleh laki-laki dalam
banyak bidang sehingga menimbulkan ketidaksetaraan kesempatan bagi perempuan untuk
maju dalam bidang-bidang tersebut. Kebudayaan inilah yang disebut budaya patriaki. Budaya
patriarki yang semakin marak di masyarakat membuat perempuan lebih rentan mendapatkan
perbuatan yang tidak mengenakkan dengan berbagai tindak kekerasan. Masalah diskriminasi
kaum perempuan tidak hanya menjadi masalah dalam realitas kehidupan, tetapi juga menjadi
isu yang tergambarkan dalam karya sastra khususnya karya sastra cerpen. Hal ini karena
karya sastra merupakan hasil dari pemikiran seorang pengarang yang dituangkan ke dalam
sebuah karya yang sering kali berisi tentang fenomena-fenomena sosial budaya. Keberadaan
karya sastra berdampingan dengan dunia realitas, maka apa yang terjadi dalam kenyataan
sering kali menjadi inspirasi bagi pengarang untuk menggambarkan kembali dalam karya
sastra yang diciptakannya.

Fenomena diskriminasi khususnya terhadap perempuan juga tergambarkan pada karya


sastra cerpen yang berjudul Luh Mano pada Kumpulan Cerpen Luh-Luh karya I Made
Suarsa dan Kaung Bedolot pada Kumpulan Cerpen Perempuan Pemuja Batu karya Gede
Aries Pidrawan. Diskriminasi pada cerpen Luh Mano terlihat dari adanya perlakuan tidak
manusiawi yang diterima oleh tokoh Luh Mano. Pada cerpen Luh Mano diceritakan bahwa
Luh Mano mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh
pangeran. Tidak hanya itu, Luh Mano juga mendapatkan tindakan pemaksaan untuk
memuaskan hasrat laki-laki yakni sang pangeran, bahkan Luh Mano tidak diberi kesempatan
untuk berbicara dengan orang tuanya. Hal ini sekaligus menandakan adanya perampasan hak
asasi manusia terhadap perempuan. Hal serupa juga terjadi pada karya sastra cerpen yang
berjudul Kaung Belodot karya Gede Aries Pidrawan.

Pada Cerpen tersebut diceritakan ada seorang gadis bernama Luh Sasih berusia 18
tahun, yang dijodohkan dengan seorang juragan kaya raya bernama Jero Rancag. Demi
menghormati ayahnya secara terpaksa Luh Sasih menerima lamaran dari Jero Rancag.
Fenomena diskriminasi pada cerpen ini terjadi ketika Luh Sasih dipaksa untuk melayani
nafsu Jero Rancag. Namun, hal menarik disajikan pengarang yang mana Luh Sasih
melakukan perlawanan dalam bentuk perdebatan yang membahas perjuangan seorang
perempuan.

Hal serupa terdapat pada cerpen Pesta Tubuh karya pengarang ternama yaitu Oka
Rusmini juga menceritakan mengenai diskriminasi terhadap kaum perempuan. Pengarang
yang getol menonjolkan fenomena-fenomena perempuan juga dituangkannya dalam cerpen
ini. Secara lebih khusus kehidupan perempuan Bali pada masa penjajahan Jepang menjadi
seting terhadap karyanya. Tokoh utama yaitu Ida Ayu Telaga adalah seorang anak perempuan
yang mengalami keganasan seksual kaum Jepang hingga berujung pada kematian. Ia bersama
anak lainnya yang berusia di bawah 15 tahun dikurung dalam kamar berukuran 3 x 4 meter
persegi. Cerpen ini diperoleh dari Buku Kumpulan Cerpen Sagra yang dikarang oleh Oka
Rusmini yang diterbitkan kembali pada tahun 2013 dengan menyajikan 13 cerpen.

Fenomena diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi pada cerpen ternyata juga
banyak terjadi di kehidupan nyata, seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
kawin paksa, hingga pemerkosaan. Fenomena tersebut seringkali menimpa kaum perempuan
yang dianggap tidak memiliki kekuatan. Contoh nyata dari fenomena diskriminasi tersebut
dapat kita lihat dari pemberitaan di media sosial, seperti misalnya kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) yang baru-baru ini hangat dibicarakan menimpa salah satu penyanyi
dangdut terkenal di Indonesia yakni Lesti Kejora. Kekerasan yang dialami oleh penyanyi
Lesti dilakukan oleh suaminya sendiri yakni Rizky Billar. Kekerasan tersebut terjadi karena
Lesti mengetahui perselingkuhan suaminya. Lesti mengalami banyak luka di sekujur
tubuhnya akibat dibanting, dipukul, hingga dicekik oleh suaminya Rizky Billar. Hal serupa
juga dialami salah satu public figure terkenal yakni Manohara Odelia Pinot yang akrab
dipanggil Mano. Mano yang kala itu berusia 17 tahun menikah dengan seorang pangeran asal
Malaysia yakni Tengku Fakhry. Kekerasan yang diterima oleh Mano juga sangat
memprihatinkan, seperti dipaksa untuk berhubungan intim oleh suaminya sewaktu haid,
disiksa dengan disundut rokok hingga dipaksa untuk hamil. Banyaknya luka sayatan pada
sekujur tubuh Manohara pada saat itu menandakan betapa tragisnya kekerasan yang diterima
oleh Manohara.

Berdasarkan fenomena-fenomena nyata yang terjadi, dengan demikian munculah


pergolakan atau perjuangan tokoh perempuan untuk mencapai kesetaraan gender akibat
adanya diskriminasi oleh kaum laki-laki. Gerakan untuk menuntut adanya persamaan hak
antara kaum perempuan dan laki-laki tersebut dikenal dengan gerakan feminisme. Dalam
kaitannya dengan karya sastra, pendekatan feminisme disebut dengan sastra feminisme. Hal
ini sejalan dengan adanya beberapa penelitian terkait dengan kajian yang sama yakni sastra
feminisme misalnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Budi Mulyadi (2018) mengenai
kajian sastra feminisme dalam cerpen “Maria”, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Heri
Isnaini (2021) mengenai kajian sastra feminisme yang terdapat dalam puisi “Sita” karya
Sapardi Djoko Damono, lalu penelitian yang dilakukan oleh Rita Nilawijaya (2021)
mengenai kajian sastra feminisme yang terdapat dalam novel “Bekisar Merah” karya Ahmad
Tohari. Ketiga acuan penelitian tersebut sama-sama mengindikasikan fenomena-fenomena
diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan sekaligus menandakan bahwa adanya
gerakan dan perjuangan tokoh perempuan untuk mencapai kesetaraan gender.

Feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2015:18).
Feminisme merupakan kesadaran terhadap ketidakadilan gender yang menimpa kaum
perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Feminisme sebagai jembatan untuk
menuntut persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Feminisme bertujuan untuk
memperoleh kesetaraan gender yang diperoleh melalui gerakan untuk menolak segala sesuatu
yang mendiskriminasi wanita.

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi wanita di
depan laki-laki dan ideologi patriaki saja, tetapi terhadap berbagai bentuk ketidakadilan
(Fakih, 1996: 99).

Berdasarkan fenomena yang terjadi pada karya sastra dapat dikaitkan ke dalam
kehidupan masyarakat saat ini, serta memberikan cerminan khususnya bagi para perempuan
di kehidupan bermasyarakat. Cerpen-cerpen ini memiliki manfaat bagi pembaca sebagai
pencerahan sekaligus pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan kawin paksa, menekan
dan menomorduakan perempuan, serta mendukung perlindungan hak asasi kaum perempuan.

Karya sastra cerpen dibedah dengan teori sastra feminis sangat menarik jika dikaitkan
dengan mengkontruksikan pemahaman filsafat ilmu kedalamnya. Oleh karena filsafat ilmu
berusaha menjelaskan masalah-masalah dimulai dari suatu konsep dan pernyataan, sehingga
dapat dinyatakan sebagai ilmiah. Hal ini juga terjadi pada karya sastra. Semua pengetahuan
yang diketahui oleh seorang pengarang merupakan wujud konkrit yang tentu dapat dilihat dan
dirasakan, sehingga mampu ia tuangkan ke dalam khazanah karya sastra. Dengan demikian,
keberadaan teori sastra feminisme dipandang sangat relevan dengan banyaknya fenomena
diskriminasi terhadap perempuan khususnya pada karya sastra, dikarenakan dapat memenuhi
ketiga kaidah hal mendasar dalam filsafat yaitu ontologis, epistemologi dan aksiologi. Ketiga
hal tersebut berkaitan dalam membangun ilmu filsafat feminisme dengan perjuangan tokoh
perempuan guna melawan penindasan, kekerasan, diksriminasi dan sebagainya.

TEORI DAN METODE PENELITIAN

Teori yang digunakan ialah pendekatan teori feminisme Sugihastuti. Sugihastuti


berpendapat bahwa feminisme adalah kesadaran akan penindasan dan pemerasan kaum
perempuan baik di sektor domestik maupun publik. Kaum perempuan sering kali mengalami
marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, dan lain sebagainya. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini menekankan pada
kualitas data bukan kuantitas data dengan cara kerja studi pustaka dan teknik hermeneutik
(penafsiran) secara logis dan bernalar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Aksiologi yang terdapat pada cerpen Kaum Bedolot dan Luh Mano menggunakan
teori Feminisme sastra jika dilihat dari fenomena yang didapat. Data yang didapat dari
feminisme sastra pada cerpen ini atas dasar kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan KDRT.
Kekerasan fisik dapat berupa pelecehan seksual. Kekerasan psikis dapat berupa penghinaan
terhadap derajat sosial dan ekonomi. KDRT dapat berupa kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga. Di sisi lain, dengan bertolak dari konsep teoretik feminisme radikal, maka
dikumpulkan berupa fenomena yang biasa ditemukan dalam masyarakat. Dapat dilihat dari
beberapa kutipan-kutipan cerpen berikut.

Cerpen Luh Mano


Kasus diskriminasi dapat ditemukan pada fenomena cerpen yang berjudul Luh Mano,
Luh Mano diceritakan seorang perempuan yang ingin dinikahi oleh laki-laki yang sudah
memiliki istri, Luh Mano dikurung dirumahnya tidak diberikan keluar dan berinteraksi
oleh siapa pun yang berada diluar, itu untuk menjaga dirinya agar tidak terlihat oleh laki-
laki lain diluar sana. Fenomena ini kerap terjadi pada kehidupan disekitar kita, dalam segi
Feminimisme kasus ini kerab kita temui. maka dari itu sebagai perempuan kita harus bisa
merubah sebuah pandangan dari segi pendidikan agar tidak mudah tertindas oleh para laki-
laki kejam diluaran sana. Berikut kutipan pada cerpen Luh Mano
“Luh Made Nori nenten kadadosang kesah sakeng kapu1111111 tren,
nenten dados mareraosan sareng anak tios,...... “
terjemahan : Luh Made Nori tidak memberikan pergi dari kaputren, tidak boleh berbicara
kepada orang lain,
Pada cerita ini tokoh Luh Made Nori mengalami diskriminasi tidak diberikan

keluar dari rumahnya dan tidak boleh berbicara dengan banyak orang. kasus

diskriminasi ini menghasilkan tingkatan hubungan antar individu yang lain dengan

masyarakat sekitar pasca konflik yang terjadi, biasanya terdapat fase adaptasi → fase

sosialisasi antar individu yang lain dan → fase pengelolaan konflik dengan cara

mengkomunikasikan konflik yang ada.


Kemudian ditemukan fenomena penindasan yang terjadi kepada kaum perempuan.
Perempuan tidak berdaya mengalami ketidakadilan dalam hidup yang pahit dan
kekecewaan mereka terhadap kaum laki-laki membuat perembuat justrus dianggap tidak
terhomat. berikut kutipan cerpen yang ditemukan pada cerpen Luh Mano
“tulung-tulung… sampunang-sampunang… wusan-wusan… sakit-
sakit.. padem tiang-padem tiang…, aduh-aduh…”.
“yadiastun Luh Mano rumasa rahat panes katandes katindes kalindes
angga lan suksma sariranyane, sakemawon ipun katon sayan moleh sayan
moglong, mapan setata kapaksa sarahina nguntal pil Cina, mangda katon
abra mawibawa,...”
terjemahan : “tolong-tolong… jangan-jangan… sudah-sudah… sakit-sakit. mati saya-
mati saya… aduh-aduh…
“walaupun Luh Mano merasa keras hampir kalah, tertindah, terlindas
badan dan tubuhnya, walaupun dia tampak terlihat badannya berisi, terlihat
gendut berisi, karena selalu terpaksa setiap hari minum obat cina, agar tampak
indah terlihat dan berwibawa.”
Luh Mano mendapatkan ketidakadilan hingga sampai mengalami kasus penindasan
seperti pada kutipan diatas, walaupun Luh Mano memiliki badan yang cukup berisi tetapi
ia mengalami suatu kekerasan fisik dan dipaksanya untuk meminum obat-obatan cinta
untuk menjaga badannya agar selalu terlihat baik dan berwibawa.

Cerpen Kaung Bedolot


Diceritakan seorang laki-laki kaya raya dengan tubuh besar yang bernama Jro Rancag
dan melamar seorang gadis bernama Luh Sasih. Jro Rancag merasa menjadi orang terkaya
sehingga dengan mudah baginya untuk memperistri wanita. Keadaan ekonomi Luh Sasih
yang serba kekurangan ditambah lagi ayah Luh Sasih sering dibantu oleh Jro Rancag.
Sehingga ayah Luh Sasih hanya bisa berpasrah atas kejadian yang terjadi kepada anaknya.
Luh Sasih dipaksa untuk melayani nafsu Jro Rancag yang dimiliki. Namun insiden
menarik diperlihatkan pada cerpen ini. Luh Sasih melakukan perdebatan singkat yang
menunjukan bentuk perlawanannya sebagai kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilihat
pada kutipan berikut:
Luh Sasih terkejut. Tubuh bulat dan berkeringat Jero Rancag berkali kali menarik
rambutnya. Melihat tubuh telanjang itu, ia seperti melihat Rahwana dengan birahi
dan amarah yang menyatu. Membucahlah kejijikan Luh Sasih.
“Apa yang kau berikan padaku Sasih? “ Jro Rancag kembali mengulang kata-kata
itu, memandang Luh Sasih penuh amarah.
“Apa yang jro rasakan, itulah yang kuberikan” Luh Sasih menjawab sekenanya.
“Aku kira kau suci Sasih. Tapi, kau tak lebih baik dari seorang pelacur.”
“Memang dari awal tidak ada yang suci Jro. Bagaimana Jro bisa bicara kesucian
sedangkan Jro sendiri memulainya dengan sesuatu yang kotor. Bagaimana pula Jro
bisa menuntut kesucian sedangkan kesucian dalam diri Jro telah Jro obral di
jalanan”
Diskriminasi yang ditunjukan pada kutipan di atas telah menjelaskan secara eksplisit
mengenai kekerasan yang di alami Luh Sasih yang menolak untuk memuaskan nafsu
daripada Jro Rancag. Kutipan cerpen di atas juga menunjukan bentuk perlawanan Luh
Sasih dengan ujaran yang secara implisit mencerminkan adanya kesetaraan gender.
Perempuan sering disebut sebagai pelacur karena tidak mampu menjaga kesucian
lahiriahnya. Namun bagaimana dengan kaum lelaki yang menikmati kesucian yang
perempuan tawarkan bahkan tidak hanya sedikit kesucian yang direnggut. Adakah bahasa
atau ungkapan yang lebih rendah dari pelacur yang bisa disematkan terhadap laki-laki
yang demikian. Perempuan secara fisik memang secara kodrati lemah, namun perjuangan
berikut juga semangat juang menjalani kehidupan tidak berbeda dengan laki-laki.
Kebebasan terhadap hak asasi juga sering menjadi terbatas bilamana ditujukan
terhadap kaum perempuan. Hak untuk memilih atau menerima tambatan hati yang akan
menjadi pasangan hidup hingga saat ini seringkali menjadi ketakutan bagi perempuan. Hal
inilah menjadi pangkal persoalan yang disajikan dalam cerpen ini. Luh Asih yang telah
memiliki ekspetasi serta mimpi akan menikahi pria yang didambakannya dan kandas
disebabkan kepatuhan terhadap orang tuanya. Meski ayah Luh Sasih juga dengan berat
hati untuk menyerahkan anaknya, namun kuatnya pengaruh Jro Rancag yang dari dahulu
senantiasa membantu ayah Luh Sasih. Sehingga hutang budi menjadi alasan yang tidak
bisa dihindarkan untuk menerima perintah dari Jro Rancag. Sekilas hal itu dapat dilihat
pada kutipan berikut:
“Di sebuah bale sakapat Luh Sasih diharuskan mengambil keputusan yang serba
sulit. Sebagai seorang perempuan, dia tentu ingin tumbuh menjadi perempuan
yang lebih dewasa sebelum akhirnya ia melabuhkan hati kepada pria idaman. Ya..
pria idaman, pria yang sesuai dengan impiannya, pria yang selama ini selalu hadir
dalam mimpi-mimpinya. Tetapi desakan orang tua mengharuskan ia mengambil
keputusan yang jauh dari harapannya.”
Pelecehan terhadap kaum perempuan tidak hanya digambarkan melalui fisik. Aspek
orientasi laki-laki yang seringkali menyamakan perempuan bagaikan barang yang mampu
melegitimasi kewibawaan laki-laki juga seringkali berdampak negatif. Jro Rancag sebagai
tokoh prontagonis pada cerpen ini, dikisahkan telah menikahi tiga perempuan sebelumnya.
Hemat Jero Rancag diungkapkan secara eksplisit kepada ayah dari Luh Sasih perihal
kegemarannya untuk menikahi banyak perempuan, hal itu dapat dilihat pada kutipan
berikut:
“Kewibawaan lelaki tereletak pada kekuasaannya pada perempuan.” Kata Jro
Rancag kepada Pan Sasih pada suatu siang.
Pan Sasih mengangguk
“Aku dengan perempuan-perempuanku seperti seorang saudagar yang di setiap
bagian tubuhnya dipenuhi gelantungan emas. Aku akan menjadi fokus
pandangan. Setiap langkahku akan diperhatikan. Perempuan-perempuan akan
berebut dalam khayal, mencipta imajinasi dirangkul oleh saudagar. Sedangkan,
laki-laki yang kalah dalam persaingan, yang wibawanya mengkerut sampai di
lutut hanya bisa mengkerut”
Secara eksplisit ujaran tersebut tidak sepenuhnya bernilai negatif. Kutipan yang disajikan
tersebut pada aspek positif mencoba untuk menghargai perempuan bilamana perempuan
sesungguhnya memiliki harga diri yang mampu memberikan pengaruh kuat terhadap laki-
laki bahkan meningkatkan kewibawaan. Namun yang menjadi buruk disini bilamana
dalam proses mendapati perempuan tersebut melalui pemaksaan yang mengindikasikan
laki-laki tersebut sesungguhnya sudah tidak berwibawa dan tidak layak bersanding dengan
perempuan yang dipaksanya untuk dinikahi. Proses perkawinan adalah sesuatu yang
dianggap sakral dan perasaan atas dasar suka sama suka menjadi pertalian yang kuat
dalam hal ini. Jro Rancag melalui ujaran yang sesungguhnya dapat dipahami sebagai
rayuan penghormatan terhadap kehebatan perempuan tetapi dalam insiden berikutnya
memperlihatkan adanya pelecehan fisik berikut juga keglamoran yang dikatakan hanyalah
omong kosong belaka untuk menutupi kegemarannya dalam memenuhi nafsu birahinya.

Cerpen Pesta Tubuh


Pada cerpen ini menggambarkan kesengsaraan kehidupan perempuan akibat
penjajahan. Cerpen ini menggambarkan penderitaan anak-anak perempuan sebagai
pemuas nafsu seksual penjajah Jepang. Dalam cerpen ini, tokoh utama perempuan adalah
Ida Ayu Telaga, yang lebih dikenal dengan panggilan Dayu. Dayu diceritakan sebagai
seorang gadis muda yang harus menjalani kehidupannya di sebuah barak kecil dalam
hutan bersama gadis-gadis muda lainnya yang menjadi budak pemuas nafsu seksual laki-
laki penjajah Jepang. Meskipun telah menjadi budak nafsu sejak umur 10 tahun.
“Kami semua, anak-anak kecil yang seharusnya masih dalam dekapan ibu
bapak, sering kasihan melihat Segre. Tapi kami tidak memiliki kekuatan dan jalan
untuk mencoba keluar dari hutan mengerikan ini. Itulah penderitaan kami. Peri-
peri kecil, yang dipandang sebagai sebuah pohon di tengah hutan. Apabila terlihat
menarik, kami akan disantap secara rakus” (Rusmini, 2013:65).
Terdapat pula penggambaran tokoh perempuan bernama Wayan Darmi yang membenci
tubuhnya dan kodratnya sebagai perempuan akibat perlakuan penjajah Jepang yang
dengan sesukanya menyakiti tubuhnya baik dalam bentuk kekerasan seksual maupun
kekerasan fisik. Dalam cerpen ini, Wayan Darmi digambarkan memiliki rasa kebencian
dan penyesalan akan takdirnya yang terlahir sebagai perempuan yang pada masa itu hanya
dijadikan objek pemuas nafsu seksual para tentara Jepang.
“Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki saja. Perempuan yang
mengandungku pasti dikelilingi roh jahat. … Terkutuklah mereka yang
membuatku memiliki wujud perempuan. Terkutuklah manusia yang tidak pernah
memberiku kesempatan memilih wujudku!” (Rusmini, 2013:63).
Kekerasan secara langsung dalam bentuk kekerasan seksual juga terjadi dalam cerpen
Pesta Tubuh. Dalam cerpen tersebut kekerasan yang dilakukan secara langsung oleh
penjajah Jepang adalah dengan menjadikan para perempuan usia anak-anak menjadi
pelampiasan nafsu seksual mereka. Seperti dikisahkan dalam cerpen tersebut, para pria
penjajah berlaku semena-mena kepada perempuan tanpa memedulikan usia mereka.
“Sepuluh anak perempuan kecil dalam bilik segi empat itu terdiam. Pintu bilik
terbuka. Seorang perempuan bertubuh tambun mendelik. Seluruh bocah itu berdiri
dengan wajah batu. Terdengar pintu ditutup kasar. Malam ini, siapa yang tidak
kembali?” (Rusmini, 2013:56).
Kutipan di atas menggambarkan anak-anak perempuan yang berusia di bawah lima belas
tahun dipaksa untuk melayani para laki-laki, yaitu tentara penjajah. Mereka disekap di sebuah
bilik setiap hari sebelum diserahkan kepada penjajah untuk melayani para tentara. Para gadis
tersebut dipaksa melakukan hubungan seksual dengan sepuluh hingga lima belas laki-laki.
Hubungan seksual tersebut juga dibarengi dengan kekerasan fisik yang menyebabkan luka di
tubuh para gadis tersebut.
“Lima orang laki-laki berpakaian serdadu menyergapku. Kejadian ini terus
berulang-ulang. Sampai tak bisa kubedakan kapan aku mengalami menstruasi,
kapan tidak. Darah terus keluar dan mengering. Berpuluh-puluh tubuh
menyantapku. Berpesta di atas tubuhku yang kurus dan kecil. ... Suatu pagi,
sehabis melayani entah berapa laki-laki, aku membuka mata”(Rusmini, 2013:67).
Dari dua kutipan di atas terlihat bahwa seorang perempuan harus melayani tidak hanya
seorang laki-laki, bahkan puluhan laki-laki. Kekerasan yang terjadi secara berulang tersebut
menyebabkan pendarahan pada kelamin perempuan (vagina). Selain itu, kekerasan yang
terjadi terhadap perempuan juga menyebabkan kematian.

KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan terhadap karya sastra cerpen yang mengandung tema
gerakan sastra feminisme dengan mengakitkan filsafat ilmu kedalamnya. Maka filsafat
menelaah objek kajiannya atas tiga sudut pandang yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Berdasarkan hal tersebut ketiga aspek itu dapat dilihat sebagai berikut.
a. Ontologi
Berdasarkan pemahaman landasan ontologi maka dapat dipahami bahwa objek
fenomena-femomena sosial yang terjadi pada kehidupan nyata dan karya sastra yang
penulis baca, yaitu terdapat fenomena diskiriminasi dan penindasan terhadap kaum
wanita, selain pada karya sastra, dikehidupan nyata pun tidak jarang ditemukan kasus-
kasus seperti ini, seperti tidak membiarkan para perempuan untuk bersosialisasi
kepada masyarakat dan kasus para perempuan-perempuan dimasyarakat tidak jarang
juga ditemukan kekerasan fisik yang dialaminya.
b. Epistemologi
Landasan epistemologi merupakan pengembangan ilmu dalam titik
penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam
memperoleh kebenaran. Dengan adanya fenomena kekerasan, diskriminasi, dan
pemaksaan pada karya sastra maupun kehidupannya nyata, maka muncullah gerakan
feminisme yakni gerakan untuk memperoleh kesetaraan gender, menolak segala
sesuatu yang mendiskriminasi wanita. Maka dibuktikan bahwa sudah ada yang
mengkaji dalam kajian sastra feminisme dengan teori sastra feminisme.
c. Aksiologi
Landasan aksiologi yakni nilai. Dalam hal ini karya sastra cerpen Luh Mano, Kaung
Bedolot, dan Pesta Tubuh dengan mengedepankan nilai yang berkenaan dengan
etika perbuatan manusia dalam tindakan kekerasan, diskriminasi dan pemaksaan.
Jika ditinjau dari suatu kondisi maka ini merupakan kebermanfaatan karya sastra
cerpen-cerpen tersebut dengan mengaiktkan kontruksi filsafat ilmu memberikan
siraman jasmani maupun rohani, serta patut dijadikan cerminan bagi generasi muda
khususnya kaum perempuan yang berhak melakukan gerakan feminisme untuk
mencapai kesetaraan gender, melawan budaya patriaki, memperjuangkan hak
perempuan dalam berbagai bidang terutama pendidikan, hak di tempat kerja, dan
keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Ihromi, T. O (Ed). (2007). Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Bandung: Alumni.

Isnami, Heri. 2021. “Upacara Sati Dan Opresi Terhadap Perempuan Pada Puisi “Sita” Karya
Sapardi Djoko Damono: Kajian Sastra Feminis”. Dialektika Jurnal Bahasa, Sastra,
dan Budaya. 8 (2). Jakarta: Fakultas Sastra dan Bahasa Universitas Kristen Indonesia

Mulyadi, Budi. 2018. “Menyibak Citra Perempuan dalam Cerpen “Maria” ( Sebuah Kajian
Sastra Feminisme )”. Humanika Jurnal. 25 (2). Semarang: Program Studi Bahasa dan
Kebudayaan Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

Nilawijaya, Rita dan Awalludin. 2021. “Perspektif Gender dalam Novel Bekisar Merah
Karya Ahmad Tohari: Kajian Sastra Feminis dan Implementasinya dalam
Pembelajaran Sastra di SMA”. Silampari Bisa: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa
Indonesia, Daerah, dan Asing. 4 (2). Lubuklingau: LP4MK STKIP PGRI
Lubuklingau

Ratna, I Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penulisan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai