Anda di halaman 1dari 2

Geguritan merupakan satu di antara wujud karya sastra tradisional Bali yang bergenre

puisi. Secara periodesasi, kesusastraan Bali diklasifikasikan menjadi dua yaitu kesusastraan Bali
purwa dan kesusastraan Bali anyar. Bentuk purwa disejajarkan maknanya dengan istilah
tradisional atau lama. Sebagai bentuk puisi tradisional, geguritan tidak luput terhadap adanya
system konvensi yang cukup ketat. Konvensi yang cukup ketat ini disebut dengan padalingsa
yang kemudian mengatur jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam tiap baris, serta
bunyi vokal yang muncul pada akhir baris (Agastia, 1980: 2). Meskipun memiliki aturan
konvensi yang cukup ketat bukan berarti konteks yang terkandung dalam geguritan cenderung
kaku bahkan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Geguritan yang mengandung
konteks menarik yakni berjudul Nyokor ring Ida Hyang Guru karya Dokter Ida Bagus Rai

Dokter Ida Bagus Rai adalah seorang pengarang geguritan yang sangat produktif pada
masanya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya karya beliau yang telah diteliti oleh penggiat
sastra. Adapun geguritan-geuritan yang dimaksud yaitu geguritan kesehatan, panca puspita,
yadnya ring kuru ksetra, dan bhagawadgita,… (Agastya, 2006: …).. Namun Geguritan Nyokor
ring Ida Hyang Guru menjadi sebuah geguritan yang luput dari jangkuan peneliti masa lalu
bahkan melalui sebuah tulisan “Tri Rakawi Usadi Desa” dinyatakan bahwa geguritan ini
merupakan karya Dokter Ida Bagus Rai yang baru ditemukan (Yasa, 2020:…). GNIHG
terkompilasi dalam naskah lontar Geguritan Kopasaman koleksi Unit Lontar Universitas
Udayana. Naskah tersebut terdiri atas dua teks geguritan, yang pertama memuat judul geguritan
Kopasaman yang dikarang oleh Ida Putu Maron dam yang kedua memuat teks GNIHG.

Pengkritik sastra yang santun merupakan sematan yang diberikan Westa kepada Dokter
Ida Bagus Rai sebab setiap karya yang beliau ciptakan selalu menyajikan pandangan moderat
terhadap fenoeman sosial. Kesantunan ditampilkan melalui diksi-diksi yang jauh dari kesan kasar
bahkan menghujat suatu komunal. Hal tersebut juga tercermin dalam GNIHG yang secara
ringkas memuat nasehat-nasehat untuk meningkatkan spiritualitas. Dalam mengalirkan
nasehatnya tersebut, Dokter Ida Bagus Rai senantiasa menyoroti fenomena sosial yang terjadi
pada masa itu bahkan masih sangat relevan bila dilihat pada era sekarang. Misalnya berikaitan
dengan pola pikir masyarkat Bali terhadap sistem kepercayaannya dan situasi multicultural.
Secara spesifik, ada empat sikap yang menjadi pusat dalam geguritan ini yaitu kawikanan
mangelingin ‘kemampuan untuk selalu sadar’, luput ring pamrih ‘tidak pamrih’, susila
‘perbuatan baik’, tresna asih ‘cinta kasih’.

Kritik sosial yang terkandung dalam GNIHG menarik untuk digali kembali. Sosiologi
sastra sebagai salah satu pendekatan sastra yang banyak digunakan tampaknya memfasilitasi
peneliti dalam membedah GNIHG dan menggali kritik yang erat hubungannya dengan situasi
masyarakat terkini. Menimbang bahwa dalam sosiologi sastra menganalisis hubungan sastra
dengan masyarakat maka satu di antara model analisis yang ditawarkan yakni menganalisis
masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Lalu menghubungkannya dengan
kenyataan yang pernah terjadi (Ratna, 2004: 339). Memanfaatkan pola pikir yang demikian maka
akan sangat tepat bilamana mengulas berbagai ungkapan yang disajikan pengarang dan
membandingkannya dengan situasi terkini yang penulis lihat sebagai sebuah kritik.

Penelitian mengenai kritik sosial terhadap karya sastra sesungguhnya sudah banyak
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai