PENDAHULUAN
Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati
masyarakat pencinta kesusastraan Bali, sehingga keberadaannya masih tetap hidup seiring
dengan perkembangan zaman.Kidung termasuk ke dalam Sekar Madya yang tidak hanya sebagai
hiburan, tetapi lebih umum digunakan sebagai pengantar dalam upacara yadnya (Tinggen, 1982:
35).Kidung pada umumnya menggunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang
digunakan di dalam lontar/cerita panji atau malat.Istilah bahasa Jawa Pertengahan merupakan
istilah yang menggambarkan bahwa bahasa Jawa Pertengahan merupakan bentuk bahasa pada
akhir zaman Hindu-Jawa dan suatu peralihan antara bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa
nilai keindahan yang sejajar dengan karya-karya sastra terkenal lainnya. Pada sisi lain Kidung
mengandung nilai-nilai filsafat yang tinggi dan juga sarat akan makna.
Agastia (1994: 8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-
kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu
dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi
tertentu (misalnya bunyi a, i, u). Sekalipun kidung adalah kata Jawa asli, tetapi isinya banyak
mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan musik
Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama.Secara lebih spesifik, kidung di Bali memiliki
bagian-bagian: (1) pangawit yaitu pembuka, (2) pamawak yaitu bagian yang pendek, (3) panama
yaitu bagian yang panjang, dan (4) pangawak yaitubagian utama dari kidung.Ditinjau dari segi
metrum yang digunakan, karya sastra kidungdapat dibedakan menjadi dua, yaitu karya sastra
kidung yang menggunakan metrum macapat dan karya sastra kidung yang menggunakan metrum
lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu Dharmagita. Pengklasifikasian ini
Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka yang diangkat sebagai objek penelitian
adalah karya sastra Kidung.Adapun naskah Kidung yang akan dijadikan objek penelitian disini
ketuhanan yang tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya, setiap upacara yadnya tertentu pasti
terbuka/renggang, celah. Sayap burung yang patah ditengah-tengah bisa dikatakan Cowak atau
sama seperti gigi yang tidak rapat satu sama lainnya juga dikatakan Cowak. Jadi kata Cowak
berarti celah, terbuka/renggang. Kemudian kalau dihubungkan judul dengan isi lontarKidung
Cowak tampak tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam lontarKidungCowaksama sekali tidak
ada menyinggung atau menyebutkan tentang celah yang terbuka, gigi ataupun sayap burung.
Dengan demikian jelas bahwa kata Cowak sebagai nama karya sastra tidaklah nama yang
sebenarnya menurut arti kata. Pengertian kata Cowak lebih mengarah pada pengertian mengenai
makna. Dalam karya sastra Bali ada kecenderungan pengarang untuk membuat judul atau nama
tidak menggunakan nama atau arti kata yang sebenarnya, tetapi sering menggunakan nama
samaran atau kata-kata dalam arti kias (Agastia, 1994: 21). Kata cowak memiliki arti kias yang
berarti kesuñatan (kekosongan), yang merupakan sinar pikiran yang mulia (ketuhanan).
Kidung Cowakmerupakan karya sastra yang sangat terkenal di kalangan pecinta maupun
peneliti karya sastra besar di Bali.Keberadaannya begitu diminati, sehingga muncul pemikiran
bahwa karya sastra tersebut pernah diteliti sebagai bahan skripsi.Cowak merupakan sebuah karya
sastra kidung, akan tetapi pada naskah yang terdapat di UPT Lontar Fakultas Sastra dan Budaya,
cowak ditulis dengan judul Geguritan Cowak. Hal itu kemungkinan terjadi karena kesalahan
dalam pengidentifikasian pada saat penyalinan naskah tersebut.Selain itu apabila ditinjau dari
jenis tembangyang digunakan teks KC tergolong kidung, karena menggunakan kata puh(bukan
puh).Puhbiasanya digunakan dalam karya sastra kidung, sedangkan dalam karya sastra geguritan
biasanya menggunakan puh.Jika kemudian kidung tersebut menjadi berbeda-beda, bukan tidak
mungkin itu adalah sebuah transformasi/inovasi dari penyalin naskah tersebut.Sehingga ada
kerajaan Gelgel oleh Pedanda Sakti Telaga yang lebih dikenal dengan sebutan Ida Sakti Ender,
disebut “Ender” karena penampilannya yang nyentrik serta perilakunya yang urakan namun sakti
mandraguna.Konon pengetahuannya melebihi para pendeta pada zamannya, tetapi beliau tidak
sudi menjadi pendeta. Daripada duduk bersila dengan mengucapkan mantra-mantra suci seperti
umumnya pendeta, beliau memilih berjalan mengelilingi pulau, melihat, mendengar, dan
merasakan. Beliau tidak terobsesi untuk membebaskan diri dari suka dan duka, atau tawa dan
tangis, tetapi berusaha menerima keduanya apa adanya (Palguna, 2007: 132).
bahasanya lugas, dan gayanya sinis.Puh demung mengulas tentang kritik-kritik serta sindiran
yang disampaikan dalam kehidupan para pendeta, yang secara tidak langsung mengulas bahwa
segala tindakan dan tingkah laku semua manusia berawal dari pikiran. Sedangkan puh
adrimengulas tentang bagaimana cara bertingkah laku dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dalam kidungtersebut juga diulas bagaimana keadaan jiwa setelah kematian yang dikarenakan
sifat-sifat dari manusia semasa hidup yang tidak mampu menjalankan sifat-sifat dharma.Dalam
ulasannya tersebut dijelaskan bahwa jiwa/roh sebenarnya adalah perwujudan dari diri
sendiri.Hanya diri sendirilah yang mampu membantu diri sendiri dalam keadaan apapun.Sebuah
jiwa dalam perwujudan orang tua diceritakan sedang memberikan nasehat (tutur) tentang sebuah
tempat yang paling dekat dengan diri, yaitu pikiran itu sendiri.Musuh terbesar di dalam hidup
manusia adanya di dalam diri sendiri dan senjata yang mampu melawan musuh tersebut adanya
juga di dalam diri.Di dalamnya juga diulas tentang konsep karma phala dan rwa bhineda.Teks
KC memakai bahasa Bali lumrah (kepara) yang dalam pemakaiannya banyak menggunakan
bahasa kiasan sehingga setiap bait puhnya mengandung suatu makna yang padat.Teks KC
menggunakan bahasa Bali yang tidak baku (Bali dialek). Padanan katanya susah ditemukan
dalam kamus, sehingga susah memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca. Hal ini harus benar-benar diteliti agar dipahami maksud dan makna yang ingin
diungkapkan pengarang.Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji teks/naskah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini
Tujuan merupakan sesuatu yang hendak dicapai dalam setiap penelitian.Secara garis
besar penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan ini
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan secara lebih luas
mengenai struktur yang membentuk karya sastra tradisional Bali khususnya KC agar dapat
diketahui secara luas oleh masyarakat pecinta dan penikmat karya sastra tradisional Bali.
Disamping itu melalui penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat bagi perkembangan karya sastra pada masa yang akan datang.
mempunyai dua hal, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan (secara teoretis) dan membantu
mengatasi, memecahkan, serta mencegah masalah yang ada pada objek yang diteliti. Penelitian
yang dilakukan terhadap karya sastra tradisional Bali khususnya kidungdiharapkan mampu
memberikan manfaat.Adapun manfaat penelitian ini antara lain, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis.
melestarikan serta memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan karya sastra yang
lainnya pada masa mendatang, khususnya yang mencakup konsep, teori, dan metode.Dengan
adanya penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah sumber bacaan dan acuan bagi
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar dapat
mengetahui, memahami struktur serta analisis semiotik dalam KC.Selain itu agar masyarakat
mampu mengaplikasikan nilai-nilai dan amanat yang terkandung dalam KC, berkaitan dengan
kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali.Disamping itu dapat meningkatkan pengetahuan
dan kecintaan masyarakat terhadap karya sastra kidung dan secara sadar ikut serta dalam
pelestariannya.