Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati

masyarakat pencinta kesusastraan Bali, sehingga keberadaannya masih tetap hidup seiring

dengan perkembangan zaman.Kidung termasuk ke dalam Sekar Madya yang tidak hanya sebagai

hiburan, tetapi lebih umum digunakan sebagai pengantar dalam upacara yadnya (Tinggen, 1982:

35).Kidung pada umumnya menggunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang

digunakan di dalam lontar/cerita panji atau malat.Istilah bahasa Jawa Pertengahan merupakan

istilah yang menggambarkan bahwa bahasa Jawa Pertengahan merupakan bentuk bahasa pada

akhir zaman Hindu-Jawa dan suatu peralihan antara bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa

Modern pada abad-abad kemudian(Zoetmulder, 1983: 28-29).Kidung juga mengandung nilai-

nilai keindahan yang sejajar dengan karya-karya sastra terkenal lainnya. Pada sisi lain Kidung

mengandung nilai-nilai filsafat yang tinggi dan juga sarat akan makna.

Agastia (1994: 8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-

kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu

dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi

tertentu (misalnya bunyi a, i, u). Sekalipun kidung adalah kata Jawa asli, tetapi isinya banyak

mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan musik

Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama.Secara lebih spesifik, kidung di Bali memiliki

bagian-bagian: (1) pangawit yaitu pembuka, (2) pamawak yaitu bagian yang pendek, (3) panama
yaitu bagian yang panjang, dan (4) pangawak yaitubagian utama dari kidung.Ditinjau dari segi

metrum yang digunakan, karya sastra kidungdapat dibedakan menjadi dua, yaitu karya sastra

kidung yang menggunakan metrum macapat dan karya sastra kidung yang menggunakan metrum

tengahan.Dalam perkembangan selanjutnya, kidung diklasifikasikan masuk ke dalam sub ruang

lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu Dharmagita. Pengklasifikasian ini

bertujuan untuk memudahkan dalam mempelajarinya berdasarkan beberapa persamaan maupun

perbedaan dengan nyanyian yang lainnya.

Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka yang diangkat sebagai objek penelitian

adalah karya sastra Kidung.Adapun naskah Kidung yang akan dijadikan objek penelitian disini

adalah KidungCowak (selanjutnya disingkat dengan KC ). Kidung merupakan nyanyian

ketuhanan yang tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya, setiap upacara yadnya tertentu pasti

menggunakan gegendingan (kidung)tertentu pula.Cowak dalam bahasa Bali berarti

terbuka/renggang, celah. Sayap burung yang patah ditengah-tengah bisa dikatakan Cowak atau

sama seperti gigi yang tidak rapat satu sama lainnya juga dikatakan Cowak. Jadi kata Cowak

berarti celah, terbuka/renggang. Kemudian kalau dihubungkan judul dengan isi lontarKidung

Cowak tampak tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam lontarKidungCowaksama sekali tidak

ada menyinggung atau menyebutkan tentang celah yang terbuka, gigi ataupun sayap burung.

Dengan demikian jelas bahwa kata Cowak sebagai nama karya sastra tidaklah nama yang

sebenarnya menurut arti kata. Pengertian kata Cowak lebih mengarah pada pengertian mengenai

makna. Dalam karya sastra Bali ada kecenderungan pengarang untuk membuat judul atau nama

tidak menggunakan nama atau arti kata yang sebenarnya, tetapi sering menggunakan nama

samaran atau kata-kata dalam arti kias (Agastia, 1994: 21). Kata cowak memiliki arti kias yang

berarti kesuñatan (kekosongan), yang merupakan sinar pikiran yang mulia (ketuhanan).
Kidung Cowakmerupakan karya sastra yang sangat terkenal di kalangan pecinta maupun

peneliti karya sastra besar di Bali.Keberadaannya begitu diminati, sehingga muncul pemikiran

bahwa karya sastra tersebut pernah diteliti sebagai bahan skripsi.Cowak merupakan sebuah karya

sastra kidung, akan tetapi pada naskah yang terdapat di UPT Lontar Fakultas Sastra dan Budaya,

cowak ditulis dengan judul Geguritan Cowak. Hal itu kemungkinan terjadi karena kesalahan

dalam pengidentifikasian pada saat penyalinan naskah tersebut.Selain itu apabila ditinjau dari

jenis tembangyang digunakan teks KC tergolong kidung, karena menggunakan kata puh(bukan

puh).Puhbiasanya digunakan dalam karya sastra kidung, sedangkan dalam karya sastra geguritan

biasanya menggunakan puh.Jika kemudian kidung tersebut menjadi berbeda-beda, bukan tidak

mungkin itu adalah sebuah transformasi/inovasi dari penyalin naskah tersebut.Sehingga ada

penambahan puh berbeda pada bait-bait berikutnya.Kidung Cowakdiciptakan pada zaman

kerajaan Gelgel oleh Pedanda Sakti Telaga yang lebih dikenal dengan sebutan Ida Sakti Ender,

disebut “Ender” karena penampilannya yang nyentrik serta perilakunya yang urakan namun sakti

mandraguna.Konon pengetahuannya melebihi para pendeta pada zamannya, tetapi beliau tidak

sudi menjadi pendeta. Daripada duduk bersila dengan mengucapkan mantra-mantra suci seperti

umumnya pendeta, beliau memilih berjalan mengelilingi pulau, melihat, mendengar, dan

merasakan. Beliau tidak terobsesi untuk membebaskan diri dari suka dan duka, atau tawa dan

tangis, tetapi berusaha menerima keduanya apa adanya (Palguna, 2007: 132).

KidungCowak merupakan kidungdalam bentuk tutur yang isinya mengandung sindiran,

bahasanya lugas, dan gayanya sinis.Puh demung mengulas tentang kritik-kritik serta sindiran

yang disampaikan dalam kehidupan para pendeta, yang secara tidak langsung mengulas bahwa

segala tindakan dan tingkah laku semua manusia berawal dari pikiran. Sedangkan puh

adrimengulas tentang bagaimana cara bertingkah laku dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dalam kidungtersebut juga diulas bagaimana keadaan jiwa setelah kematian yang dikarenakan

sifat-sifat dari manusia semasa hidup yang tidak mampu menjalankan sifat-sifat dharma.Dalam

ulasannya tersebut dijelaskan bahwa jiwa/roh sebenarnya adalah perwujudan dari diri

sendiri.Hanya diri sendirilah yang mampu membantu diri sendiri dalam keadaan apapun.Sebuah

jiwa dalam perwujudan orang tua diceritakan sedang memberikan nasehat (tutur) tentang sebuah

tempat yang paling dekat dengan diri, yaitu pikiran itu sendiri.Musuh terbesar di dalam hidup

manusia adanya di dalam diri sendiri dan senjata yang mampu melawan musuh tersebut adanya

juga di dalam diri.Di dalamnya juga diulas tentang konsep karma phala dan rwa bhineda.Teks

KC memakai bahasa Bali lumrah (kepara) yang dalam pemakaiannya banyak menggunakan

bahasa kiasan sehingga setiap bait puhnya mengandung suatu makna yang padat.Teks KC

menggunakan bahasa Bali yang tidak baku (Bali dialek). Padanan katanya susah ditemukan

dalam kamus, sehingga susah memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang

kepada pembaca. Hal ini harus benar-benar diteliti agar dipahami maksud dan makna yang ingin

diungkapkan pengarang.Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji teks/naskah

ini disamping karena belum ada yang mengkajinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini

dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah struktur yang membentuk KidungCowak?

2) Bagaimanakah makna KidungCowak?


1.3 Tujuan

Tujuan merupakan sesuatu yang hendak dicapai dalam setiap penelitian.Secara garis

besar penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan ini

memiliki kedudukan yang sama penting, karena keduanya saling berkaitan.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan secara lebih luas

mengenai struktur yang membentuk karya sastra tradisional Bali khususnya KC agar dapat

diketahui secara luas oleh masyarakat pecinta dan penikmat karya sastra tradisional Bali.

Disamping itu melalui penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan yang

bermanfaat bagi perkembangan karya sastra pada masa yang akan datang.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui struktur yang membangunKidung Cowak.

2) Untuk mengetahui makna Kidung Cowak.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuan. Manfaat penelitian

mempunyai dua hal, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan (secara teoretis) dan membantu

mengatasi, memecahkan, serta mencegah masalah yang ada pada objek yang diteliti. Penelitian

yang dilakukan terhadap karya sastra tradisional Bali khususnya kidungdiharapkan mampu
memberikan manfaat.Adapun manfaat penelitian ini antara lain, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya,

melestarikan serta memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan karya sastra yang

lainnya pada masa mendatang, khususnya yang mencakup konsep, teori, dan metode.Dengan

adanya penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah sumber bacaan dan acuan bagi

peneliti-peneliti karya sastra Kidung berikutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar dapat

mengetahui, memahami struktur serta analisis semiotik dalam KC.Selain itu agar masyarakat

mampu mengaplikasikan nilai-nilai dan amanat yang terkandung dalam KC, berkaitan dengan

kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali.Disamping itu dapat meningkatkan pengetahuan

dan kecintaan masyarakat terhadap karya sastra kidung dan secara sadar ikut serta dalam

pelestariannya.

Anda mungkin juga menyukai