TEMBANG CIANJURAN:
Relasi Makna Budaya Pantun Sunda
Pendahuluan
Pada awal perumusannya tembang Cianjuran merujuk pada seni tembang Jawa yang
disebut macapat dengan sastra lagu berbentuk pupuh.1 Namun seiring dengan proses
kreatifitas seni yang terus dilakukan oleh seniman-senimannya, tembang Cianjuran
akhirnya menyesuaikan dengan lingkungan budaya Sunda sendiri dengan memasukan
unsur-unsur seni pantun2 baik penggunaan sastra lagu, unsur-unsur musikal, instrumen
(kecapi) sekaligus dengan pola tabuhannya.
Dalam lingkup budaya orang Sunda, seni pantun dipandang sebagai media
presentasional nilai-nilai kehidupan masyarakat Sunda buhun (lama/kuna), sebuah
generasi masyarakat ‘tempo doeloe’ yang mewariskan makna-makna budaya kepada
generasi-generasi berikutnya. Makna budaya yang dimaksud di sini adalah isian atau
bobot yang terkandung dari segala aktifitas budaya manusia yang dapat memberikan
stimulus ke pencerahan hidup, dan menimbulkan kesadaran baru atas perenungan
terhadap tingkah laku kemanusiaan (humanism behavior), tingkah laku religi (spiritual
behavior), dan tingkah laku sosial (social behavior).3
Seiring dengan perubahan dan pekembangan budaya masyarakat Sunda, saat ini seni
pantun sering disajikan bukan pada waktu yang bertepatan dengan suatu upacara saja.
1
bentuk puisi yang terikat oleh aturan guru lagu dan guru wilangan. Guru lagu adalah ketentuan dalam
menggunakan bunyi akhir (pengaturan bunyi vokal a, i, u, e, o, dan konsonan) setiap baris atau kalimat
lagu (pedotan) dalam bait-bait pupuh, sedangkan guru wilangan adalah ketentuan dalam menggunakan
jumlah suku kata dalam setiap baris atau kalimat lagu, serta jumlah baris dalam setiap bait suatu pupuh.
Pupuh yang dikenal di wilayah Sunda terdiri dari 17 lagu.
2
Dalam budaya Sunda pantun adalah seni pertunjukan berupa teater tutur yang membawakan cerita yang
dilagukan/dinyanyikan dengan diiringi kecapi (kecapi pantun), syair-syairnya berbentuk puisi Sunda
Lama, sedangkan yang semakna atau sejenis dengan pantun Melayu disebut sisindiran. Disebut teater
tutur, sebab dalam pertunjukannya hanya dilakukan dan dituturkan oleh seorang pencerita (juru pantun)
yang lakon-lakonnya banyak mengisahkan tentang kerajaan-kerajaan Sunda Lama serta pahlawan-
pahlawan mitos kerajaan Sunda zaman Hindu-Budha. (baca: Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak
Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun, 2003, p.19).
3
Donald Walters, Crises in Modern Thought (Solutions to the Problem of Meaninglessness), Terjemahan,
Jakarta: Gramedia, 2003.
1
Seminar Musik Nusantara
Pantun dapat disajikan kapan, dimana, dan dalam situasi apapun, yang penting
bagaimana pertunjukannya itu mampu memberikan hiburan dengan tetap menampilkan
kebiasaan, ciri dan karakteristiknya sebagai kesenian Sunda yang sarat dengan nilai-
nilai filosofis-religius dan mitis. Salah satu kebiasaan yang masih tetap dilakukan juru
pantun dalam setiap pertunjukan misalnya selalu menyediakan sesaji (sajen) yang
jumlahnya selalu tujuh baik jenis maupun rupanya, ada parukuyam (dupa kemenyan),
ada rajah bubuka (do’a/mantram pembuka) dan rajah penutup (do’a/mantram penutup).
Ini menandakan bahwa pertunjukan pantun saat ini masih tetap mempertahankan nuansa
atau aspek ritual meskipun tidak sedetail dan selengkap ketika zaman masyarakat Sunda
Buhun.
Penilaian musik dan cerita pantun sebagai presentasi estetik yang mengandung atau
bersumber dari nilai-nilai filosofis-mitis-religius masyarakat Sunda Lama itu, oleh
kaum bangsawan (menak) Sunda yang berada di lingkungan pendopo kabupaten
Cianjur, telah dijadikan sebagai rujukan dalam merumuskan suatu jenis seni vokal yang
sekarang disebut tembang Cianjuran. Dengan demikian karakteristik tembang
Cianjuran yang berkembang saat ini selain terkait dengan tembang macapat Jawa
(pupuh) juga dengan seni pantun Sunda yang mempunyai kekhasan tersendiri. Di dalam
tembang Cianjuran, warna seni pantun Sunda ini menjadi salah satu gaya menyanyi
yang disebut wanda papantunan.
Dalam naskah Siksa Kandang Karesian (1518 M), seni pantun telah ada sejak zaman
kerajaan Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi, sehingga cerita-
ceritanya banyak menggambarkan kisah-kisah pada zaman kerajaan tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya cerita-cerita pantun kian bertambah dan bervariasi seperti
adanya cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Dengdeng
Pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, dan sebagainya. Dari
banyak cerita pantun yang tersebar di masyarakat sebagaian besar mengisahkan tentang
para anak/keturunan raja Prabu Siliwangi dari zaman kerajaan Pajajaran. Bagi
masyarakat Sunda saat ini, pantun adalah interpretasi dari mitos-mitos yang dianggap
mempunyai ajaran-ajaran filosofis-religius, etik dan estetik Sunda Lama yang dapat
2
Seminar Musik Nusantara
Pertunjukan pantun merupakan perpaduan antara upacara, seni musik, dan seni sastra.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda buhun yang berkebudayaan agraris, seni pantun
disajikan dalam melengkapi upacara yang berhubungan dengan budidaya pertanian
tanaman padi,4 ritus inisiasi,5 upacara untuk menyambut kelahiran bayi, upacara
sunatan atau perkawinan, serta dalam berbagai upacara meruat seperti ngaruat budak
nunggal (meruat anak tunggal) yang lahir pada bulan-bulan yang dikeramatkan seperti
bulan sapar, mulud, atau bulan suro, meruat serampa (empat anak laki-laki) dan
serimpi (empat anak putri), meruat pandawa (lima anak lelaki) dan pandawi (empat
anak putri), meruat budak nanggung bugang (seorang anak yang mempunyai kakak dan
adik yang telah meninggal dunia), meruat rumah baru dan lama, tanah, desa, panenan
padi, serta benda-benda keramat yang dianggap dapat memberikan ketentraman hidup
bagi pemiliknya.
Dalam setiap penyajian seni pantun selalu diawali dengan mantra-mantra yang ditandai
dengan pembacaan rajah bubuka (mantram pembuka) lengkap dengan uborampe
(property) upacara seperti dupa dan sesaji. Rajah adalah semacam mantra-mantra
terdiri dari beberapa syair dalam bahasa Sunda Buhun, berisikan do’a yang dinyanyikan
atau dituturkan oleh Juru Pantun sebagai syarat ketika akan memulai pertunjukan.
Rajah bertujuan untuk meminta maaf atau ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan semoga roh-roh para leluhur atau roh halus yang dikeramatkan tidak menjadi
murka serta memberikan ijin atas kelancangannya memaparkan cerita atau riwayat
leluhur yang keramat tersebut. Selain itu, rajah dianggap mempunyai kekuatan magis
yang dapat digunakan sebagai penolak bala, sehingga diharapkan dapat mencegah
masuknya roh-roh jahat yang akan mengganggu jalannya pertunjukan atau upacara
ritual yang segera akan di langsungkan.6
Cerita-cerita yang dibawakan dalam pertunjukan pantun merupakan karya sastra berupa
paduan antara bentuk prosa dan puisi. Bentuk prosa terdapat pada tutur juru pantun
ketika mengucapkan narasi atau dialog-dialog antar tokoh dalam suatu cerita dengan
4
Kesuburan pertanian padi tidak terlepas dari adanya sukma atau roh suci yang mengelola kesuburannya,
sukma tersebut dipersonifikasikan sebagai Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci Sang Hiang Sri. Menurut
beberapa ahli bahasa Sunda Kuna, kata pantun juga mempunyai pengertian padi, maka petunjukan
pantun berhubungan dengan simbol kesuburan pertanian.
5
Berhubungan dengan simbol-simbol perjalanan rokhani manusia menuju pada tataran kedewasaan dan
kematangannya. Dari berbagai ritus inisiasi yang terdapat di masyarakat Sunda, pertunjukan pantun hadir
dalam upacara untuk menetapkan pergantian atau peralihan kedudukan seseorang dari tingkatan yang satu
ke tingkatan yang lain seperti dari anak-anak menjadi remaja, dari gadis menjadi istri, dari hidup menjadi
mati, dan sebagainya.
6
Ma’mur Danasasmita, Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama, Bandung: STSI Press, 2001, 139-142.
3
Seminar Musik Nusantara
gaya bertutur seperti orang berbicara, sesekali dialog-dialog itu diucapkan dengan gaya
menyanyi. Sedangkan bentuk puisi terdapat pada bagian-bagian ketika Ki Juru Pantun
sedang melukiskan atau mendeskripsikan situasi adegan per adegan. Pelukisan secara
puitis yang sering muncul berulang-ulang dalam berbagai cerita berkisar mengenai
Raja yang kaya dan bijaksana, negara yang subur-makmur aman dan tentram, Putri
yang cantik, pangeran tampan yang berbudi luhur atau sebaliknya yang berwatak
buruk, senjata-senjata pusaka yang sakti, dan sebagainya.
Narasi, dialog, maupun deskripsi cerita yang dibawakan dengan gaya bertutur maupun
gaya menyanyi selalu diiringi dengan musik kecapi sebagai instrumen pokok. Setiap
petikan kecapi memiliki tehnik permainan yang beragam, sehingga dapat
menghantarkan pada suasana musikal yang berbeda-beda tergantung suasana apa yang
hendak atau sedang dibangun oleh juru pantun. Kemahiran juru pantun dalam memetik
kecapi berdasarkan pada kemampuannya dalam berekspresi dan berkreasi ketika
membangun atau menggambarkan suasana-suasana kegembiraan, kesemarakan,
ketenangan, romantisme, kesedihan, kelucuan, ketegangan, dan lain-lain. Dari hasil
kreasinya tersebut, seorang juru pantun dapat memainkan pola-pola petikan kecapi yang
kaya dan variatif, sampai akhirnya ia dapat menemukan ciri-khas dan gayanya sendiri
yang berbeda dengan juru pantun lainnya.
6
Saleh Danasasmita, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, sebuah terjemaahan,
Bandung: Pengembangan Permusiuman Jawa barat, 1981.
7
R.M.A. Kususmadinata, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, (Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1960).
4
Seminar Musik Nusantara
8
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Sunda Cianjuran”, dalam Jurnal MMI, th II no.2,
1991, 121.
9
Sesuai dengan namanya, rarancagan berasal dari tembang rancag buhun yang terdapat di Cianjur pada
masa Wiratanu IV.
10
Enip Sukanda, Tembang Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan Perkembangannya, Bandung: ASTI,
1984, 28.
11
Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung: Pustaka Buana, 1984, 29.
5
Seminar Musik Nusantara
ekspresi-estetik ekspresi-estetik
masyarakat Sunda masyarakat Sunda
buhun/lama,agrari kiwari,
s bangsawan
6
Seminar Musik Nusantara
mekanisme yang utuh. Hilang satu unsur saja kemungkinan tidak akan dapat
membentuk karakteristik sebuah lagu gaya papantunan. Ciri khusus dari lagu
papantunan ini terdapat pada unsur-unsurnya yang terdiri dari lagu/vokal, lirik dan
musik (petikan kecapi) yang bernuansakan pantun Sunda. Gaya papantunan dalam
tembang Cianjuran (banyak juga yang menyebut gaya Pajajaran karena lirik lagu-
lagunya sebagian besar bertemakan tentang kisah-kisah kerajaan Pajajaran) merupakan
stilisasi warna dan gaya vokal pantun Sunda dengan mengolah kembali ornamentasi
vokal pantun menjadi lebih halus (lemes).
Lirik pantun dapat dikatakan sebagai syair (rumpaka) berbentuk puisi Sunda
Lama. Salah satu ciri yang menonjol adalah bentuknya yang bebas dengan struktur
pengkalimatan yang kaya (terikat) dengan purwakanti 12, struktur bunyi terdiri atas
delapan suku kata pada setiap baris. Lagu-lagu (lirik dan vokal) papantunan bersumber
dari lagu-lagu pokok (panganteb) juru pantun yang kemudian diolah menjadi lagu-lagu
tembang Cianjuran. Yang dimaksud lagu-lagu panganteb juru pantun yaitu lagu-lagu
khusus yang dibawakan juru pantun dalam menggambarkan berbagai suasana adegan
cerita pantun yang dibawakan.
Lagu-lagu pokok (panganteb) juru pantun, liriknya biasanya bertemakan atau
melukiskan tentang Kerajaan Pajajaran, puji-pujian terhadap kepribadian para
bangsawan Pajajaran yang kuat pendiriannya, satria, perkasa, rendah hati, lembut,
bijaksana, serta tetap selalu berusaha menyembunyikan kepandaiannya.13 Sosok tokoh-
tokoh dalam cerita pantun semisal dalam lakon Mundinglaya di Kusumah diungkapkan
lewat bait-bait syair yang sebagian besar diambil dari naskah asli sastra pantunnya
sendiri. Kaitan antara tema lirik lagu tembang dengan isi cerita dalam pantun,
misalnya dalam lagu mupu kembang (Canjuran) mengambil dari Cerita Mundinglaya di
Kusumah yang melukiskan kecantikan, kelembutan dan, keagungan putri Dewi Asri,
serta romantika percintaan sang putri dengan kekasihnya. Pada lagu rajamantri,
melukiskan gambaran batin Dewi Rajamantri. Pada lagu pangapungan melukiskan
Raden Mundinglaya yang sedang mengangkasa menuju langit ke tujuh, menembus
Jabaning Langit (langit rohani) untuk mencari azimat berupa Lalayang Salaka domas
yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat kerajaan Pajajaran.14
5 5 5 5 5 54 5 45 2
Pa---ja---ja---ran ka---ri nga----------ran
(Kerajaan Pajajaran kini tinggal nama)
2 15 5 5434 5 1 2 15 5 22215
Pang------ra-------ngo-------------geus na---rik ko----lot
(Gunung Pangrango sudah semakin kelihatan menua)
12
yaitu dengan keterpaduan, harmonisasi bunyi antara dua suku kata atau lebih dalam kata atau ucapan
yang beda, baik bunyi vokal maupun konsonan (Puisi Mantra sunda, 1970).
13
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti,
Bandung: Yayasan Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
14
Depdikbud, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.
7
Seminar Musik Nusantara
5 5 5 5 5 45 5 45 123-
Man-----da-----la-----wa------ngi nga-----leu-----ngit
(Gunung Mandalawangi menghilang)
3- 3- 2 12 2 2 2 2123 3345 5 5
Nya da-----------yeuh geus ja--di leu--------weung
(Dan kota sudah menjadi hutan lagi)
2 1 5 5 5 5 5 5
Na----ga----ra geus la---was pin----dah
(Negara sudah lama pindah)
5 5 5 5 4 5 5 5
Sa----bu----rak----na Pa----ja----ja----ran
(setelah runtuhnya Pajajaran)
3- 3-2 1221 2 2 2 12 3 3
Di gu------nung gu-----mu------ruh, su-----wung
(Gunung-gunung tak indah lagi)
3 32 2 2 2 12 234 5 45 43 34 5 5 5
Geus ti----lem jeung na--------ga-------------ra----na
(Bersamaan musnahnya negara/Pajajaran)
Selain contoh lagu atau lirik tersebut di atas, masih banyak lagu dan lirik yang
intinya/isinya dicuplik dari cerita-cerita pantun Sunda seperti cerita Putri Tejamantri,
Dewi Asri, Raden Mundinglaya di Kusumah, dan lain-lain. Gaya bahasanya berupa
puisi kauger (terikat), puisi merdika (bebas), atau berupa rangkaian bahasa/kalimat yang
murwakanti. Judul lagu tembang Cianjuran yang dicuplik dari cerita pantun Sunda
8
Seminar Musik Nusantara
tersebut pada dasarnya merupakan intisari dari setiap adegan/babak dari sebuah cerita
pantun.
Salah satu anggapan dari para tokoh mengenai kenapa lirik-lirik tembang
Cianjuran banyak mengambil dari lirik-lirik cerita pantun yang pada umumnya selalu
menggambarkan tentang masa-masa kejayaan Pajajaran, pada dasarnya adalah sebagai
ungkapan dan renungan terhadap nilai-nilai budaya dari suatu generasi (Sunda Lama),
untuk tetap dilestarikan dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya salah
satunya melalui penciptaan seni tembang Cianjuran.15 Syair lagu-lagunya dapat
memberikan gambaran bahwa masih adanya kerinduan dan kenangan orang Sunda
terhadap kerajaan yang pernah hadir dalam sejarah wilayah dan budayanya. Pada setiap
akan menyanyikan lagu-lagu jenis papantunan dan jejemplangan selalu diawali dengan
kalimat yang menyiratkan adanya kerinduan dan kenangan tersebut. Seperti bait atau
kalimat pendek: “Daweung menak Pajajaran”, yang artinya “mari kita merenungkan
sejenak tentang menak-menak di Pajajaran”. Kalimat lain: “Mukakeun panto
bongongong jalan gede sasapuan, sok emut jaman kapungkur jaman Pajajaran murba”
, artinya “Apabila pintu dibuka lebar-lebar, terlihatlah jalan yang besar dan bersih,
suka teringat jaman dahulu ketika masa jayanya kerajaan Pajajaran”.
Pelog degung : da mi . . . na . ti la . . . da
15
Saini KM, ibid, 42.
9
Seminar Musik Nusantara
1 2 . . . 3 . 4 5 . . . 1
100 400 200 100 400
Slendro : 1 . .2. . 3 . 4 . .5 . . 1
250 250 200 250 250
10
Seminar Musik Nusantara
‘tradisi’ inilah kita akan dapat dilihat kedudukan, otoritas, status sosial, filosofis-religius
dan sistem kepercayaan individu atau suatu kelompok orang/masyarakat.
Sebagian besar produk budaya (seni) masa lalu pada umumnya tercipta, dijalin,
dan selalu berhubungan dengan aspek kepercayaan dan mitos, di dalamya terkandung
makna-makna filosofis-religius akan totalitas hidup dan kehidupan. Ketika sebuah
komunitas masyarakat mencoba membentuk jati diri lewat lingkungan tempat
tinggalnya, maka di situlah beragam proses penciptaan seni budaya terjadi dan dibentuk
sesuai dengan tatacara, adat, kepercayaan/religi yang berlaku. Hasil dari semua proses
penciptaan seni budaya (kesenian) itu di kemudian hari mampu memberi arti terhadap
kedudukan, status sosial, serta dapat menguatan identitas budaya daerah dan
masyarakatnya. Maka kehadiran seni budaya di masyarakat diibaratkan sebagai
‘pendamping’ dalam membangun spirit kehidupan religiusitas maupun sosial.
Ketika seni tercipta dalam lingkungan masyarakat non bangsawan misalnya
kesenian rakyat, akan tampak sebagai sebuah perwujudan budaya masyarakat yang
bersahaja. Cirinya adalah, bahwa nilai-nilai budaya yang terjalin merupakan refleksi
dari cara hidup sehari hari yang didukung oleh mitos-mitos yang melingkupinya.
Namun apabila kesenian itu hadir sebagai tanda dalam menguatkan status sosial
individu maupun sebuah komunitas masyarakat “ekslusif”, maka yang terdapat adalah
satu wujud kesenian yang ekslusif pula. Fenomena seperti itu sering kita temukan pada
jenis-jenis kesenian yang datang atau tercipta di lingkungan kaum bangsawan/keraton
yang dikatagorikan sebagai kesenian yang memiliki cita rasa tinggi dengan lebih
mementingkan kekuatan bentuk, struktur, teknik yang rumit, proses pembelajarannya
yang khusus, serta nilai-nilai yang didukung dapat bersifat profan maupun bersifat
sakral. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa kesenian yang tercipta dilingkungan
keraton, pada dasarnya bentuk dan makna-makna filosofisnya berakar dari nilai-nilai
budaya masyarakat yang ada di luar tembok keraton.17 Seperti halnya tembang
Cianjuran yang material seninya dirumuskan dari seni pantun yang isinya banyak
merepresentasikan nilai-nilai kehidupan dan makna budaya masyarakat Sunda buhun
(Sunda Lama) yang agraris.
CERITA TEMBANG
PANTUN CIANJURAN
mencerminkan spirit
ke-Sunda-an
sakral (filosofis-religiusitas, profan
etik, estetik, dan
status sosial sesuai
17
ruang-lingkup
Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, budaya
1977, 260, 312.
Sunda)
11
Seminar Musik Nusantara
Keterkaitan antara pantun Sunda dan tembang Cianjuran dalam ruang yang
lebih besar, oleh masyarakat tembang Cianjuran diasumsikan karena terdapatnya suatu
relasi antar makna dimana nilai dan fungsi kedua jenis kesenian tersebut mempunyai
hubungan dan keterkaitan dengan citra kehidupan suatu zaman, dari masyarakat Sunda
buhun (lama/kuna) ke Masyarakat Sunda kiwari (saat ini).
Jika melihat awal proses penciptaan dan perkembangannya, penciptaan tembang
Cianjuran penekanannya lebih mengutamakan visi spiritual, dan penguatan status sosial
kaum menak Sunda. Artinya ia merupakan hasil dari sebuah proses pemahaman yang
mengacu pada keagungan tradisi masyarakat bangsawan Cianjur, masyarakat peodal,
dan masyarakat yang cenderung patuh pada doktrin (tatanan sosial, nilai-nilai religi,
estetik dan etik), keterampilan, serta pengetahuan budaya yang seiring dengan segala
aktifitas generasi atau masyarakatnya waktu itu. Generasi pertamanya memandang
bahwa nilai-nilai yang ada dalam kesenian ini harus dipahami, dihayati, dan dirasakan
dengan sikap hormat, sebagai sebuah penghargaan yang langsung diterapkan dan
diaflikasikan dengan menjadikanya sebagai miliknya sendiri yang harus dijaga dan
dirawat dalam lingkungan sosialnya.18
Syair-syair tembangnya memiliki kandungan makna yang dalam, sehingga
memerlukan tingkat penghayatan yang tinggi. Lagu-lagunya bersifat sekar daria (lagu
serius) dan lebih bersifat kanggo renungkeuneun (untuk kontemplasi). Gaya
melagukanya bersifat ‘ngagalindeng’ (mendayu-dayu, mengalir) menggambarkan
suasana hati dalam untaian suara/nada yang penuh ornamen, maka dalam praktek
menembangnya harus dinyanyikan dengan baik dan dihayati dengan baik pula, agar
dapat menghantarkan kearah perenungan yang dalam. 19 Seseorang ketika sedang
tembang sekar daria, lebih mengutamakan pada usaha merepresentasikan bentuk
keindahan musik/lagu dan menangkap makna teks nyanyian, dan dua hal inilah oleh
masyarakat tembang Cianjuran sering disebut usaha menuju dangiang Cianjuran (jiwa
lagu).20
Melalui bentuk musiknya yang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi –
berhubung berhubungan dengan teknik oleh vokal–, lagu-lagu tembang Cianjuran
harus memiliki jiwa atau daya bathin sehingga dapat memposisikan juru tembang
maupun pendengarnya berada pada sebuah dimensi perenungan, pengkayaan bathin,
dan pengalamannya sebagai manusia yang berada pada nilai-nilai filosofis dan tatanan
Kabudayan Urang Sunda. Seorang juru tembang dalam membawakan lagu-lagu
Cianjuran tidak hanya dituntut menguasai lirik, lagu dan musiknya saja, namun lebih
dari itu ia harus mampu menyentuh batin pendengarnya. Kenapa demikian, karena
karakter dari lagu-lagu tembang Cianjuran lebih banyak memberikan tekanan untuk
18
William, Sean, “The Urbanization of Tembang Sunda an Aristocratic Musical Genre of West Java
Indonesia”, Wasingthon Univercity, 1990. 28.
19
Wahyu Wibisana, Mencari Ciri-Ciri Mandiri dalam Tembang Sunda, Bandung: Pancaniti, 1976, 8.
20
Yang saya ketahui dari para juru pantun Sunda ketika memberi wejangan, Dangiang adalah sifat suci
para kadewan (para dewa) yang memiliki pancaran (wibawa) dan kekuatan (kesaktian), yang menuntun
manusia ke arah pencerahan jiwa dan kesempurnaan hidup. Dalam naskah/cerita pantun Sunda tersirat
bahwa pada masyarakat Sunda Lama, Dangiang menjadi sebuah konsep filosofis-religius yang oleh
sebagian masyarakat Sunda kiwari (saat ini) masih dipertahankan, terutama di masyarakat pedesaan yang
masih kental dengan unsur-unsur budaya hindu-isme (Sumarta, wawancara, Sumedang, 20 November
2004).
12
Seminar Musik Nusantara
13
Seminar Musik Nusantara
menyumbangkan andil dan memberikan peranan dalam menjaga dan melestarikan nilai-
nilai budaya masa lampau, meskipun di sisi lain telah terjadi pergeseran dan
pendangkalan makna seni karena lebih mementingkan nilai harfiah bukan filosofinya.22
Sebagai seni yang berakar dari generasi pantun, tembang Cianjuran dapat
menghantarkan seseorang untuk menghayati dan merepresentasikan spirit Ke-Sunda-
annya, yaitu hal-hal yang terkait dengan cara pandangnya dalam menilai sikap, fungsi,
dan kedudukan dirinya untuk tetap menjadi bagian yang integral dalam ranah budaya
sendiri. Melalui Cianjuran, orang Sunda dapat mengemukakan dan menghadirkan
kembali peristiwa-peristiwa masa lampau (isi cerita-cerita pantun) untuk dihayati,
dialami, dan disaksikan sendiri tanpa harus merepresentasikannya kedalam suasana dan
bentuk upacara ritual. Maka mereka berusaha untuk memanifestasikannya lewat
berbagai cara, misalnya dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan proses pembelajaran dan penyajiannya.
Sementara itu bagi kaum bangsawan, tembang Cianjuran telah menjadi cultural
identity para menak Sunda yang melestarikan pewarisan nilai-nilai dan makna
kebudayaan Urang Sunda Buhun. Bahkan dianggap bahwa pantun dan tembang
Cianjuran adalah interpretasi dari mitos-mitos yang dianggap mempunyai ajaran etika-
religius yang dapat memperkuat dan menumbuhkan nilai-nilai kerohanian, serta
berfungsi sebagai alat penyebaran kepercayaan yang berisikan informasi atau
pengetahuan mengenai asal-usul jagat raya, tentang dunia atas yang gaib, dunia tengah
(dunia manusia) yang nyata dan dunia bawah (alam kesadaran manusia) yang samar-
samar. Kekuatan pantun ada dalam cerita-ceritanya yang disusun berdasarkan alam
pikiran mitis-religius masyarakat Sunda Lama yang maknanya hanya dapat dipahami
melalui lakon-lakon yang tertulis maupun ketika menyimak ceritanya lewat juru pantun.
Sedangkan kekuatan tembang Cianjuran ada pada kerumitan musik dan karakteistik
bahasanya yang halus mengandung inti sari cerita-cerita pantun., dan para tokoh
mengatakan bahwa Cianjuran tercipta sebagai seni “masa kini” yang mewarisi nilai-
nilai budaya masa lalu (Sunda buhun) yang karakteristiknya terformat dari lingkup
lembaga kebangsawanan (menak) Sunda.
22
Kusumah, Ahmad R., Orsinalitas Rumpaka dina Tembang Sunda Kiwari, (Tasik: Madina,
1994), 14.
14
Seminar Musik Nusantara
SUMBER BACAAN
15
Seminar Musik Nusantara
NARA SUMBER
Drs. Enip Sukanda: tokoh/praktisi, pengamat, dan dosen mata kuliah tembang
Cianjuran di STSI Bandung. Wawancara tanggal 21 Juli 2004.
Sumarta, 76 Tahun, Juru Pantun,Sumedang. Wawancara tanggal 20 N0vember 2004.
Tembang macapat atau pupuh menjadi populer sekali dalam sastra sunda pada
abad ke 19 hingga 20. Banyak sekali karya tulis atau karya sastra yang lahir dalam
bentuk tembang pendek (terdiri dari beberapa bait pupuh), maupun tembang panjang
yang disebut wawacan (berupa cerita yang disusun dalam bentuk puisi dengan
menggunakan bermacam-macam pupuh). Wawacan ini mula-mula menyebar dan masuk
ke kalangan para menak yang ditulis dengan menggunakan aksara Sunda-Jawa,
bahasanya Sunda bercampur Jawa. Sesudah itu menyebar di kalangan pesantren yang
ditulis dengan aksara Arab pegon, dan akhirnya menyebar di masyarakat ramai setelah
ditulis dengan aksara Latin sehingga banyak orang yang membaca dan mencetaknya. 4
Pada perkembangan selanjutnya bentuk tembang ini mengalami perubahan yang
signifikan, wawacan yang pada awalnya sepenuhnya mengacu pada bentuk tembang
macapat Jawa, pada akhirnya menyesuaiakan dengan pola dan lingkungan kebudayaan
masyarakat Sunda sendiri.
4
Yus Rusyana, Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, (Bandung: Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, 1989), 38.
16
Seminar Musik Nusantara
Mengenai sejarah Tembang Cianjuran sebelum 1900 tidak begitu jelas, namun
yang pasti bahwa kesenian ini lahir di daerah Cianjur dari golongan kaum ningrat Sunda
(para menak). Tembang Cianjuran digolongkan sebagai bentuk karawitan halus
(lemes) yang sampai sekarang jenis seni karawitan ini masih digemari oleh masyarakat
Jawa Barat khususnya dari golongan kelas menengah ke atas yang mempunyai tingkat
pendidikan memadai. Kenapa demikian, ada beberapa alasan, kemungkinan karena
syairnya (guguritan) tidak begitu mudah dimengerti, juga karena faktor musiknya yang
sangat rumit dibandingkan dengan jenis Karawitan lain.9
Sebelum Cianjur resmi menjadi sebuah kabupaten, budaya tembang sudah
dikenal oleh masyarakat Cianjur terutama oleh pemimpin pertama masyarakat Cianjur
pada saat itu yang bernama Wiratanu I (kira-kira tahun 1677) yang lebih dikenal
dengan sebutan Dalem Cikundul. Selanjutnya pada masa Cianjur diperintah oleh
Wiratanu II (1692-1707) yang lebih dikenal dengan Dalem Tarikolot atau Dalem
Pamoyanan, ada seorang seniman putra pedaleman yang sering mantun (membawakan
seni pantun) yang bernama Raden Candramanggala, yang selanjutnya dianggap sebagai
leluhur para juru pantun di daerah Cianjur. Dengan demikian dapat diduga bahwa pada
saat Wiratanu II ini seni pantun dan seni tembang telah dikenal secara luas di
lingkungan pendopo Kabupaten Cianjur. 10
Perhatian para menak Cianjur tehadap kesenian terutama seni tembang dan seni
pantun baru tampak ketika Cianjur diperintah oleh Bupati Enoh (Wiratanu VI) pada
tahun 1776-1813. Pada masa ini seni tembang rancag buhun hidup dan berkembang
dengan baik. Tembang rancag buhun adalah tembang berbentuk pupuh yang lagunya
dipengaruhi oleh macapat Jawa. Pada waktu Cianjur diperintah oleh Bupati
Prawiradireja I, kira-kira tahun 1813-1833, seni tembang rancag buhun tersebut
dipadukan dengan seni beluk yang kemudian menjadi seni tembang beluk. 11
Puncak dari seni Tembang Cianjuran atau pada waktu itu disebut Seni
Mamaos, berlangsung ketika Cianjur di bawah pemerintahan Bupati R.A.A.
Koesoemaningrat pada tahun 1834-1864. Ia sebagai seorang bupati Cianjur yang sangat
mumpuni dalam mencipta lagu mamaos, dan ketika mencipta tersebut ia selalu tinggal
di sebuah bangunan yang bernama Pancaniti, maka ia pun terkenal dengan sebutan
Dalem Pancaniti. Selain itu Dalem Pancaniti aktif mengumpulkan para seniman untuk
diajak bekerja sama dalam mengolah dan membuat karya seni khususnya Seni tembang
Cianjuran (seni mamaos). Pada masa Dalem Pancaniti inilah Seni Tembang Cianjuran
lahir, berdasarkan atas ketekunan Dalem dan para seniman yang terus meramu dari
unsur-unsur seni pantun, tembang rancag buhun, wayang golek, degung, beluk,
pupuh, dan sebagainya.
Pada masa Dalem Pancaniti seni mamaos (tembang Cianjuran) hanya ada di
dalam kalangan menak atau kaum ningrat di lingkungan kabupaten Cianjur semata,
9
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Cianjuran”, dalam Jurnal Masyarakat
Musikologi Indonesia, tahun II no. 2 1991, 121.
10
Enip Sukanda, Tembag Sunda Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan perkembangannya,
(Bandung: ASTI, 1984), 18.
11
Ibid, hal :23. Beluk adalah nyanyian bertempo bebas yang bernada-nada tinggi (meluk), dengan syair
yang terikat oleh pola pupuh seperti kinanti, asmarandana, sinom, dandanggula, dsb. Biasanya
disajikan sebagai sarana hiburan dan syukuran atas lahirnya seorang bayi.
17
Seminar Musik Nusantara
meskipun ada satu dua orang dari kalangan rakyat biasa seperti Bapak Aen dan Ma’ing
Buleng, itupun karena mereka dianggap sudah menjadi keluarga Bupati dikarenakan
oleh kemampuannya dalam menciptakan lagu-lagu Tembang Cianjuran. Para Juru
Mamaos pada masa pemerintahan Dalem Pancaniti terdiri dari kaum pria dari kalangan
menak, mereka di antaranya Rd. Natawiredja, Rd. Adinegara, Rd. Habib, dan Rd.
Suriakusumah.
Setelah Dalem Pancaniti mangkat pada taun 1864 dan kedudukannya digantikan
oleh putranya yang bernama Raden Alibasyah atau yang sering disebut R.A.A.
Prawiradiredja II (1864-1910). Seperti halnya Dalem Pancaniti, Prawiradiredja II sangat
besar perhatiannya terhadap seni Sunda, hal ini dibuktikan dengan dijalinnya hubungan
dan kerjasama dengan beberapa seniman pedaleman (seniman dari golongan menak)
maupun seniman dari kalangan masyarakat biasa, untuk membantu mengolah seni
Sunda terutama tembang Cianjuran. Para seniman yang dipercaya tersebut yaitu Rd.
Ece Madjid Natawiredja, Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan Mohammad Asikin.
Dan pada masa inilah tembang Cianjuran mulai menyebar ke luar pendopo kabupaten
Cianjur.12
Pada masa pemerintahan Prawiradiredja II seni tembang Cianjuran mengalami
kemajuan yang cukup pesat terutama dalam garapan musikalnya, penyebarannya, serta
munculnya lagu-lagu baru yang diciptakan oleh para seniman tembang Sunda yang
berada di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Tembang Cianjuran bukan lagi menjadi
bagian serta milik para menak saja tetapi sudah menjadi bagian dari semua golongan
masyarakat pada umumnya. Selain itu para juru mamaos (penembang) mulai dilakukan
oleh para wanita, yang sebelumnya terbiasa dilakukan oleh kaum pria yang berdomisili
di lingkungan pendopo kabupaten saja. Tercatat sebagai juru mamaos wanita pertama di
kalangan para menak yaitu Raden Siti Saroh,13 dan selanjutnya bermunculan para
penembang (juru tembang ) wanita dan menjadi terkenal di masyarakat Sunda, mereka
adalah Raden Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.14
Sebagai ibu kota Karesidenan Priangan, Kabupaten Cianjur sering sekali
dikunjungi oleh para tamu, dan para Bupati dari daerah yang lain, sehingga pada
kesempatan-kesempatan yang resmi maupun tidak resmi, tembang Cianjuran sering
disuguhkan atau dipertontonkan kepada para tamu tersebut. Banyak para tamu terutama
para Bupati yang tertarik serta berminat dan meminta untuk diajarkan tembang
Cianjuran di daerahnya. Dari peristiwa seperti inilah penyebarannya mulai merambat
ke beberapa daerah Priangan lainnya, meskipun masih terbatas hanya dalam lingkungan
para menak Sunda. Keterlibatan Rd. Ece Madjid, Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan
Mohammad Asikin dalam menyebarkan tembang Cianjuran ke luar daerah, menjadi
awal dari proses penyebaran lebih luas yang mencangkup seluruh wilayah di tanah
Sunda.
Selanjutnya mengapa dinakaman ‘Cianjuran’, ‘Tembang Sunda’, dan
‘Tembang Cianjuran’. Ada seorang pujangga Sunda yaitu M.A. Salmun yang bereaksi
terhadap penggunaan istilah-istilah ini. Bahwa istilah Cianjuran didapat pada waktu
untuk kepentingan siaran di NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij)
Bandung. Pada tahun 1932 keadaan siaran-siaran radio di Jawa Barat belum mapan.
Salah satu yang terbesar pada saat itu adalah NIROM. Pada acara-acara yang
12
Ibid, hal: 15.
13
Ibid, hal: 30-31.
14
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat, (Bandung: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Jawa Barat, 2003), 48.
18
Seminar Musik Nusantara
Selain bertemakan tentang masa-masa keemasan kerajaan Pajajaran, juga banyak syair-
syair dalam lagu-lagu Tembang Cianjuran yang melukiskan tentang keindahan dan
kesuburan tanah Pasundan. Keindahan alam priangan memberikan inspirasi bagi para
seniman untuk menciptakan lagu-lagu dan syair tembang yang melukiskan keindahan
pemandangan laut dengan ombaknya, hijaunya bukit-bukit dan gunung-gunung, sungai,
sawah, serta penduduknya yang ramah dan bersahaja. Salah satu syair lagu yang
terkenal seperti yang diciptakan oleh Rd. Ece Madjid yang berjudul Laut Kidul dalam
bentuk pupuh sinom, yang melukiskan keindahan dan keganasan laut di wilayah pesisir
selatan tanah Sunda.
15
Apung S. Wiraatmaja, Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda,
(Bandung: Purnama Sari, 1964), 84.
16
Ibid., hal: 88.
19
Seminar Musik Nusantara
20
Depdikbud, “ Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian”, (Jakarta: Direktorat Kesenian, ), 119.
20