Anda di halaman 1dari 20

Seminar Musik Nusantara

TEMBANG CIANJURAN:
Relasi Makna Budaya Pantun Sunda

Oleh: Nandi Saeffurrohman

Pendahuluan

Pada awal perumusannya tembang Cianjuran merujuk pada seni tembang Jawa yang
disebut macapat dengan sastra lagu berbentuk pupuh.1 Namun seiring dengan proses
kreatifitas seni yang terus dilakukan oleh seniman-senimannya, tembang Cianjuran
akhirnya menyesuaikan dengan lingkungan budaya Sunda sendiri dengan memasukan
unsur-unsur seni pantun2 baik penggunaan sastra lagu, unsur-unsur musikal, instrumen
(kecapi) sekaligus dengan pola tabuhannya.

Dalam lingkup budaya orang Sunda, seni pantun dipandang sebagai media
presentasional nilai-nilai kehidupan masyarakat Sunda buhun (lama/kuna), sebuah
generasi masyarakat ‘tempo doeloe’ yang mewariskan makna-makna budaya kepada
generasi-generasi berikutnya. Makna budaya yang dimaksud di sini adalah isian atau
bobot yang terkandung dari segala aktifitas budaya manusia yang dapat memberikan
stimulus ke pencerahan hidup, dan menimbulkan kesadaran baru atas perenungan
terhadap tingkah laku kemanusiaan (humanism behavior), tingkah laku religi (spiritual
behavior), dan tingkah laku sosial (social behavior).3

Pantun Sunda disajikan sebagai media dalam upacara-upacara ritual di masyarakat


Sunda Lama. Musiknya dipandang sebagai bentuk musik ‘tempo doeloe’ yang sarat
dengan nuansa dan warna musik arkhais. Musikalitas dan teknik permainan instrumen
yang bisa dikatakan ‘sederhana’, menyimpan kekuatan dan konsistensi sebagai musik
bernuansa ritual yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Karakteristik
musiknya yang khas sangat nampak ketika juru pantun memulai memadukannya
dengan struktur cerita pantun yang banyak mengangkat tema-tema seputar kerajaan-
kerajan dan kehidupan masyarakat pedesaan zaman Sunda Lama, atau mengenai
lingkungan dan alam pada zaman tersebut.

Seiring dengan perubahan dan pekembangan budaya masyarakat Sunda, saat ini seni
pantun sering disajikan bukan pada waktu yang bertepatan dengan suatu upacara saja.
1
bentuk puisi yang terikat oleh aturan guru lagu dan guru wilangan. Guru lagu adalah ketentuan dalam
menggunakan bunyi akhir (pengaturan bunyi vokal a, i, u, e, o, dan konsonan) setiap baris atau kalimat
lagu (pedotan) dalam bait-bait pupuh, sedangkan guru wilangan adalah ketentuan dalam menggunakan
jumlah suku kata dalam setiap baris atau kalimat lagu, serta jumlah baris dalam setiap bait suatu pupuh.
Pupuh yang dikenal di wilayah Sunda terdiri dari 17 lagu.
2
Dalam budaya Sunda pantun adalah seni pertunjukan berupa teater tutur yang membawakan cerita yang
dilagukan/dinyanyikan dengan diiringi kecapi (kecapi pantun), syair-syairnya berbentuk puisi Sunda
Lama, sedangkan yang semakna atau sejenis dengan pantun Melayu disebut sisindiran. Disebut teater
tutur, sebab dalam pertunjukannya hanya dilakukan dan dituturkan oleh seorang pencerita (juru pantun)
yang lakon-lakonnya banyak mengisahkan tentang kerajaan-kerajaan Sunda Lama serta pahlawan-
pahlawan mitos kerajaan Sunda zaman Hindu-Budha. (baca: Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak
Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun, 2003, p.19).
3
Donald Walters, Crises in Modern Thought (Solutions to the Problem of Meaninglessness), Terjemahan,
Jakarta: Gramedia, 2003.

1
Seminar Musik Nusantara

Pantun dapat disajikan kapan, dimana, dan dalam situasi apapun, yang penting
bagaimana pertunjukannya itu mampu memberikan hiburan dengan tetap menampilkan
kebiasaan, ciri dan karakteristiknya sebagai kesenian Sunda yang sarat dengan nilai-
nilai filosofis-religius dan mitis. Salah satu kebiasaan yang masih tetap dilakukan juru
pantun dalam setiap pertunjukan misalnya selalu menyediakan sesaji (sajen) yang
jumlahnya selalu tujuh baik jenis maupun rupanya, ada parukuyam (dupa kemenyan),
ada rajah bubuka (do’a/mantram pembuka) dan rajah penutup (do’a/mantram penutup).
Ini menandakan bahwa pertunjukan pantun saat ini masih tetap mempertahankan nuansa
atau aspek ritual meskipun tidak sedetail dan selengkap ketika zaman masyarakat Sunda
Buhun.

Pengaruh pantun Sunda terhadap bentuk-bentuk kesenian tradisional Sunda lainnya


semisal kesenian (teater tradisional) Longser, Ubrug, Reog, Gendhing Karesmen, dan
lain-lain, dapat diamati dari naskah-naskah dan bangunan cerita-ceritanya yang sering
mengadopsi dari cerita pantun seperti kisah Lutung Kasarung, Mundinglayadikusumah,
atau cerita tentang Ciung Wanara. Dari sisi penyajiannya, teater-teater tradisonal Jawa
Barat tersebut tatkala akan memulai pentas selalu didahului dengan mantra-mantra
yang diambil dari rajah pantun, lengkap dengan sarana upacara seperti dupa dan sesaji,
tata caranya sama dengan apa yang sudah biasa dilakukan dalam pantun ketika
mengawali pertunjukan. Secara umum pengaruh pantun terhadap teater-teater
tradisional Sunda dapat dilihat dari struktur pertunjukan cerita yang mempunyai tingkat
kemiripan yang sama dengan pertunjukan pantun. Seperti halnya dalam menyajikan
suatu lakon atau cerita selalu melalui beberapa tahapan yaitu rajah (penuturan atau
nyanyian mantra-mantra pembuka), cerita (dalam beberapa babak), serta rajah
pamunah (penuturan mantra-mantra penutup).

Penilaian musik dan cerita pantun sebagai presentasi estetik yang mengandung atau
bersumber dari nilai-nilai filosofis-mitis-religius masyarakat Sunda Lama itu, oleh
kaum bangsawan (menak) Sunda yang berada di lingkungan pendopo kabupaten
Cianjur, telah dijadikan sebagai rujukan dalam merumuskan suatu jenis seni vokal yang
sekarang disebut tembang Cianjuran. Dengan demikian karakteristik tembang
Cianjuran yang berkembang saat ini selain terkait dengan tembang macapat Jawa
(pupuh) juga dengan seni pantun Sunda yang mempunyai kekhasan tersendiri. Di dalam
tembang Cianjuran, warna seni pantun Sunda ini menjadi salah satu gaya menyanyi
yang disebut wanda papantunan.

Sekilas mengenai Pantun Sunda

Dalam naskah Siksa Kandang Karesian (1518 M), seni pantun telah ada sejak zaman
kerajaan Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi, sehingga cerita-
ceritanya banyak menggambarkan kisah-kisah pada zaman kerajaan tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya cerita-cerita pantun kian bertambah dan bervariasi seperti
adanya cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Dengdeng
Pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, dan sebagainya. Dari
banyak cerita pantun yang tersebar di masyarakat sebagaian besar mengisahkan tentang
para anak/keturunan raja Prabu Siliwangi dari zaman kerajaan Pajajaran. Bagi
masyarakat Sunda saat ini, pantun adalah interpretasi dari mitos-mitos yang dianggap
mempunyai ajaran-ajaran filosofis-religius, etik dan estetik Sunda Lama yang dapat

2
Seminar Musik Nusantara

memperkuat dan menumbuhkan kerohanian masyarakat Sunda waktu itu. Pantun


diciptakan berdasarkan alam pikiran masyarakat Sunda Lama yang bersumber dari
mitos-mitos di seputar kehidupannya, maknanya bisa kita simak dan pahami lewat isi
cerita-cerita pantun itu sendiri. Cerita dalam Pantun seolah-olah dapat mengemukakan
dan menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lampau yang mengandung
kesatuan kosmis ke masa sekarang untuk dihayati, dialami, disaksikan sendiri oleh
masyarakat sekarang. Dalam beberapa segi cerita-ceritanya dapat dinilai sebagai alat
penyebaran kepercayaan yang berisikan informasi atau pengetahuan mengenai asal-usul
dunia ini, asal-usul padi, dan tentang dunia atas yang gaib.

Pertunjukan pantun merupakan perpaduan antara upacara, seni musik, dan seni sastra.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda buhun yang berkebudayaan agraris, seni pantun
disajikan dalam melengkapi upacara yang berhubungan dengan budidaya pertanian
tanaman padi,4 ritus inisiasi,5 upacara untuk menyambut kelahiran bayi, upacara
sunatan atau perkawinan, serta dalam berbagai upacara meruat seperti ngaruat budak
nunggal (meruat anak tunggal) yang lahir pada bulan-bulan yang dikeramatkan seperti
bulan sapar, mulud, atau bulan suro, meruat serampa (empat anak laki-laki) dan
serimpi (empat anak putri), meruat pandawa (lima anak lelaki) dan pandawi (empat
anak putri), meruat budak nanggung bugang (seorang anak yang mempunyai kakak dan
adik yang telah meninggal dunia), meruat rumah baru dan lama, tanah, desa, panenan
padi, serta benda-benda keramat yang dianggap dapat memberikan ketentraman hidup
bagi pemiliknya.

Dalam setiap penyajian seni pantun selalu diawali dengan mantra-mantra yang ditandai
dengan pembacaan rajah bubuka (mantram pembuka) lengkap dengan uborampe
(property) upacara seperti dupa dan sesaji. Rajah adalah semacam mantra-mantra
terdiri dari beberapa syair dalam bahasa Sunda Buhun, berisikan do’a yang dinyanyikan
atau dituturkan oleh Juru Pantun sebagai syarat ketika akan memulai pertunjukan.
Rajah bertujuan untuk meminta maaf atau ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan semoga roh-roh para leluhur atau roh halus yang dikeramatkan tidak menjadi
murka serta memberikan ijin atas kelancangannya memaparkan cerita atau riwayat
leluhur yang keramat tersebut. Selain itu, rajah dianggap mempunyai kekuatan magis
yang dapat digunakan sebagai penolak bala, sehingga diharapkan dapat mencegah
masuknya roh-roh jahat yang akan mengganggu jalannya pertunjukan atau upacara
ritual yang segera akan di langsungkan.6

Cerita-cerita yang dibawakan dalam pertunjukan pantun merupakan karya sastra berupa
paduan antara bentuk prosa dan puisi. Bentuk prosa terdapat pada tutur juru pantun
ketika mengucapkan narasi atau dialog-dialog antar tokoh dalam suatu cerita dengan
4
Kesuburan pertanian padi tidak terlepas dari adanya sukma atau roh suci yang mengelola kesuburannya,
sukma tersebut dipersonifikasikan sebagai Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci Sang Hiang Sri. Menurut
beberapa ahli bahasa Sunda Kuna, kata pantun juga mempunyai pengertian padi, maka petunjukan
pantun berhubungan dengan simbol kesuburan pertanian.
5
Berhubungan dengan simbol-simbol perjalanan rokhani manusia menuju pada tataran kedewasaan dan
kematangannya. Dari berbagai ritus inisiasi yang terdapat di masyarakat Sunda, pertunjukan pantun hadir
dalam upacara untuk menetapkan pergantian atau peralihan kedudukan seseorang dari tingkatan yang satu
ke tingkatan yang lain seperti dari anak-anak menjadi remaja, dari gadis menjadi istri, dari hidup menjadi
mati, dan sebagainya.
6
Ma’mur Danasasmita, Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama, Bandung: STSI Press, 2001, 139-142.

3
Seminar Musik Nusantara

gaya bertutur seperti orang berbicara, sesekali dialog-dialog itu diucapkan dengan gaya
menyanyi. Sedangkan bentuk puisi terdapat pada bagian-bagian ketika Ki Juru Pantun
sedang melukiskan atau mendeskripsikan situasi adegan per adegan. Pelukisan secara
puitis yang sering muncul berulang-ulang dalam berbagai cerita berkisar mengenai
Raja yang kaya dan bijaksana, negara yang subur-makmur aman dan tentram, Putri
yang cantik, pangeran tampan yang berbudi luhur atau sebaliknya yang berwatak
buruk, senjata-senjata pusaka yang sakti, dan sebagainya.

Narasi, dialog, maupun deskripsi cerita yang dibawakan dengan gaya bertutur maupun
gaya menyanyi selalu diiringi dengan musik kecapi sebagai instrumen pokok. Setiap
petikan kecapi memiliki tehnik permainan yang beragam, sehingga dapat
menghantarkan pada suasana musikal yang berbeda-beda tergantung suasana apa yang
hendak atau sedang dibangun oleh juru pantun. Kemahiran juru pantun dalam memetik
kecapi berdasarkan pada kemampuannya dalam berekspresi dan berkreasi ketika
membangun atau menggambarkan suasana-suasana kegembiraan, kesemarakan,
ketenangan, romantisme, kesedihan, kelucuan, ketegangan, dan lain-lain. Dari hasil
kreasinya tersebut, seorang juru pantun dapat memainkan pola-pola petikan kecapi yang
kaya dan variatif, sampai akhirnya ia dapat menemukan ciri-khas dan gayanya sendiri
yang berbeda dengan juru pantun lainnya.

Sekilas mengenai Tembang Cianjuran

Meskipun belum ada penjelasan yang memastikan sejak kapan tembang


Cianjuran terbentuk, namun dapat dipastikan tembang ini diciptakan oleh para menak
(bangsawan) yang berada di lingkungan pendopo Kabupaten Cianjur. Namun dalam
Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518), disebutkan bahwa pada mulanya
semua jenis seni musik vokal/suara yang ada di wilayah Sunda disebut kawih. Seperti
dalam kutipan terjemaahan di bawah ini yang menyiratkan bahwa di dalam masyarakt
Sunda dahulu, istilah tembang belum muncul sebagai sebuah istilah yang baku dalam
olah seni musik vokal tradisional.
“Bila ingin mengetahui segala macam lagu: kawih bwatuha, kawih panjag,
kawih lalaguan, kawih panyarama, kawih sisindiran, kawih pangpeledan,
bongbongkaso, pererane, parod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan
kawih tangtug, kawih sasambatan, kawih igel-igelan, dan segala macam lagu,
tanyalah paraguna atau para ahli karawitan”.6

Namun pada perkembangan selanjutnya, seni musik vokal tradisional di Jawa


Barat pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian menurut bentuk, karakteristik, serta
tehnik melagukannya, yaitu tembang dan kawih. Menurut R. Machyar Angga
Kusumadinata, tembang adalah lagu-lagu yang tidak terikat oleh ketukan dan wiletan
(kerangka gending/perubahan irama) yang kemudian disebut sekar irama merdika
(irama tidak konstan/free meter). Sedangkan kawih yaitu lagu-lagu yang terikat oleh
ketukan dan wiletan yang kemudian disebut sekar tandak (irama konstan).7

6
Saleh Danasasmita, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, sebuah terjemaahan,
Bandung: Pengembangan Permusiuman Jawa barat, 1981.
7
R.M.A. Kususmadinata, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, (Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1960).

4
Seminar Musik Nusantara

Tembang Cianjuran digolongkan sebagai karawitan yang halus (lemes). Jenis


karawitan ini sampai sekarang digemari oleh masyarakat Jawa Barat khususnya oleh
golongan atas dan menengah. Kenapa demikian, ada beberapa alasan, kemungkinan
karena syairnya (guguritan) tidak begitu mudah untuk dapat dimengerti, juga karena
faktor musiknya yang sangat rumit dibandingkan dengan jenis karawitan lain. 8 Lagu-
lagu tembang Cianjuran terbagi menjadi dua kelompok yaitu lagu-lagu yang bermetrum
bebas (sekar irama merdika) dan lagu-lagu yang bermetrum tetap (sekar panambih).
Lagu-lagu yang bermetrum bebas masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis (wanda)
yaitu: papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan kakawen, sedangkan
yang bermetrum tetap terdiri dari lagu-lagu yang berfungsi untuk menambah atau
menyambung setelah tembang itu sendiri di nyanyikan. Dikatakan bermetrum tetap
karena lagu-lagu panambih (penambah) sangat terikat dengan irama dan struktur lagu
yang bersifat metris. Instrumen yang digunakan adalah kecapi indung (pokok), kecapi
rincik, suling dan rebab. Tangga nada atau laras menggunakan salendro, pelog, dan
madenda.
Jenis lagu Papantunan dan Jejemplangan adalah jenis lagu yang berakar dari
seni pantun Sunda. Ciri khusus dari lagu papantunan ini terdapat pada lagu/vokal, lirik
dan musik (petikan kecapi) yang bernuansakan pantun Sunda.
Pengaruh macapat Jawa yang berbentuk pupuh menjadi ciri tersendiri dalam
jenis lagu rarancagan.9 Lagu-lagunya merupakan hasil olahan dari lagu-lagu rancag
buhun yang berbentuk pupuh (kinanti, sinom, asmarandana, dandanggula), seperti lagu
sinom rancag buhun diolah menjadi lagu pangrawit, sekar gambir, sinom madenda, dan
setra dalam tembang Cianjuran.
Berkembangnya seni degung klasik dan wayang golek di Cianjur ketika di
bawah pemerintahan Bupati R.A.A. Prawiradirdja II (1864-1910), menjadi tolok ukur
terciptanya jenis lagu dedegungan dan kakawen dalam tembang Cianjuran.10 Karakter
dari lagu-lagu dedegungan ini seperti yang terdapat dalam lagu-lagu degung klasik,
melodi dan lagunya mengalir dalam nada-nada tinggi, tengahan, dan rendah. Sama
seperti pada jenis rarancagan, beberapa lagu dari jenis dedegungan ini liriknya ada
yang berbentuk pupuh, misalnya lagu sinom degung, kinanti degung, asmarandana
degung, dan sebagainya.
Dalam jenis lagu kakawen, lagu-lagunya mempunyai karakter seperti dalam
kakawen yang biasa di bawakan oleh dalang wayang golek. Kakawen berasal dari ka-
kawi-an, yang menyiratkan bahwa syair atau lirik yang dibawakan oleh para dalang
berupa bahasa yang meniru bahasa kawi (kawi adalah orang yang pandai membuat
syair), atau sering disebut sebagai bahasa yang dipakai oleh para pujangga Jawa Kuna.
Dalam paparan lain kakawen berasal dari ka-kawih-an, sedangkan kawih adalah salah
satu bentuk vocalia yang ada dalam karawitan Sunda. Jadi kakawen bisa dipahami
sebagai salah satu bentuk vokalia atau nyanyian yang sering dibawakan oleh para
dalang.11 Lagu sebrakan pelog dan sebrakan sapuratina adalah contoh lagu-lagu jenis
kakawen dalam tembang Cianjuran.

8
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Sunda Cianjuran”, dalam Jurnal MMI, th II no.2,
1991, 121.
9
Sesuai dengan namanya, rarancagan berasal dari tembang rancag buhun yang terdapat di Cianjur pada
masa Wiratanu IV.
10
Enip Sukanda, Tembang Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan Perkembangannya, Bandung: ASTI,
1984, 28.
11
Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung: Pustaka Buana, 1984, 29.

5
Seminar Musik Nusantara

Aspek-Aspek Pantun dalam Tembang Cianjuran

Selanjutnya bagaimana keterkaitan pantun dengan tembang Cianjuran. Dalam


seni tembang Cianjuran, pertunjukan cerita-cerita pantun dan unsur musikalnya telah
menjadi dasar perumusan yang terkait dengan pembentukan lagu-lagu tembang
terutama dalam jenis papantunan. Keterkaitan tersebut dapat diamati dalam tema lagu
dan syair-syair tembang, unsur musikal, serta alat musik pokok yang digunakan yaitu
kecapi.
Oleh para ahli tembang Cianjuran gaya papantunan dianggap sebagai gaya
tembang yang mempunyai kesamaan karakteristik dengan seni pantun Sunda, baik
dalam aspek lagu/lirik, maupun teknik atau pola-pola tabuhan kecapi sebagai
instrumentasi pokoknya. Pengaruh pantun semakin nampak ketika juru tembang mulai
menyanyikan sebuah lagu yang liriknya diambil dari cerita pantun seolah-olah kita
dihadapkan pada pertunjukan pantun yang sebenarnya. Maka banyak praktisi tembang
Cianjuran ketika akan menyanyikan sebuah lagu papantunan, lebih senang apabila
disebut ia akan mantun, karena akan membawakan lagu-lagu panganteb (pokok) pantun
Sunda yang banyak mengisahkan tentang kerajaan Pajajaran.

ekspresi-estetik ekspresi-estetik
masyarakat Sunda masyarakat Sunda
buhun/lama,agrari kiwari,
s bangsawan

Pantun Sunda/ Tembang


teater tutur Cianjuran

Juru pantun, musik Juru tembang, musik (kecapi


(kecapi perahu), sastra perahu/indung), sastra
(cerita-cerita babad tembang (lirik pantun, pusi
kerajaan Sunda Lama) bebas, bahasa purwakanti)

lagu-lagu panganteb Tembang gaya


juru pantun, pola distilasi
papantunan
tabuh kecapi pantun

Bentuk Lagu-Lagu Papantunan

Struktur papantunan dalam tembang Coianjuran adalah bagian-bagian atau


unsur-unsur yang sangat mengikat dalam membentuk sebuah karakteristik lagu gaya
pantun Sunda. Unsur-unsur tersebut menjadi material dasar yang berada dalam kesatuan

6
Seminar Musik Nusantara

mekanisme yang utuh. Hilang satu unsur saja kemungkinan tidak akan dapat
membentuk karakteristik sebuah lagu gaya papantunan. Ciri khusus dari lagu
papantunan ini terdapat pada unsur-unsurnya yang terdiri dari lagu/vokal, lirik dan
musik (petikan kecapi) yang bernuansakan pantun Sunda. Gaya papantunan dalam
tembang Cianjuran (banyak juga yang menyebut gaya Pajajaran karena lirik lagu-
lagunya sebagian besar bertemakan tentang kisah-kisah kerajaan Pajajaran) merupakan
stilisasi warna dan gaya vokal pantun Sunda dengan mengolah kembali ornamentasi
vokal pantun menjadi lebih halus (lemes).
Lirik pantun dapat dikatakan sebagai syair (rumpaka) berbentuk puisi Sunda
Lama. Salah satu ciri yang menonjol adalah bentuknya yang bebas dengan struktur
pengkalimatan yang kaya (terikat) dengan purwakanti 12, struktur bunyi terdiri atas
delapan suku kata pada setiap baris. Lagu-lagu (lirik dan vokal) papantunan bersumber
dari lagu-lagu pokok (panganteb) juru pantun yang kemudian diolah menjadi lagu-lagu
tembang Cianjuran. Yang dimaksud lagu-lagu panganteb juru pantun yaitu lagu-lagu
khusus yang dibawakan juru pantun dalam menggambarkan berbagai suasana adegan
cerita pantun yang dibawakan.
Lagu-lagu pokok (panganteb) juru pantun, liriknya biasanya bertemakan atau
melukiskan tentang Kerajaan Pajajaran, puji-pujian terhadap kepribadian para
bangsawan Pajajaran yang kuat pendiriannya, satria, perkasa, rendah hati, lembut,
bijaksana, serta tetap selalu berusaha menyembunyikan kepandaiannya.13 Sosok tokoh-
tokoh dalam cerita pantun semisal dalam lakon Mundinglaya di Kusumah diungkapkan
lewat bait-bait syair yang sebagian besar diambil dari naskah asli sastra pantunnya
sendiri. Kaitan antara tema lirik lagu tembang dengan isi cerita dalam pantun,
misalnya dalam lagu mupu kembang (Canjuran) mengambil dari Cerita Mundinglaya di
Kusumah yang melukiskan kecantikan, kelembutan dan, keagungan putri Dewi Asri,
serta romantika percintaan sang putri dengan kekasihnya. Pada lagu rajamantri,
melukiskan gambaran batin Dewi Rajamantri. Pada lagu pangapungan melukiskan
Raden Mundinglaya yang sedang mengangkasa menuju langit ke tujuh, menembus
Jabaning Langit (langit rohani) untuk mencari azimat berupa Lalayang Salaka domas
yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat kerajaan Pajajaran.14

Contoh tembang Cianjuran gaya papantunan yang lagu/liriknya dibuat untuk


mengenang kebesaran kerajaan Pajajaran :

1. Papatet (laras pelog), bentuk lirik puisi bebas

5 5 5 5 5 54 5 45 2
Pa---ja---ja---ran ka---ri nga----------ran
(Kerajaan Pajajaran kini tinggal nama)

2 15 5 5434 5 1 2 15 5 22215
Pang------ra-------ngo-------------geus na---rik ko----lot
(Gunung Pangrango sudah semakin kelihatan menua)
12
yaitu dengan keterpaduan, harmonisasi bunyi antara dua suku kata atau lebih dalam kata atau ucapan
yang beda, baik bunyi vokal maupun konsonan (Puisi Mantra sunda, 1970).
13
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti,
Bandung: Yayasan Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
14
Depdikbud, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.

7
Seminar Musik Nusantara

5 5 5 5 5 45 5 45 123-
Man-----da-----la-----wa------ngi nga-----leu-----ngit
(Gunung Mandalawangi menghilang)

3- 3- 2 12 2 2 2 2123 3345 5 5
Nya da-----------yeuh geus ja--di leu--------weung
(Dan kota sudah menjadi hutan lagi)

2 1 5 5 5 5 5 5
Na----ga----ra geus la---was pin----dah
(Negara sudah lama pindah)

5 5 5 5 4 5 5 5
Sa----bu----rak----na Pa----ja----ja----ran
(setelah runtuhnya Pajajaran)

3- 3-2 1221 2 2 2 12 3 3
Di gu------nung gu-----mu------ruh, su-----wung
(Gunung-gunung tak indah lagi)

3 32 2 2 2 12 234 5 45 43 34 5 5 5
Geus ti----lem jeung na--------ga-------------ra----na
(Bersamaan musnahnya negara/Pajajaran)

2. Mupu Kembang (laras pelog), bentuk puisi kauger/terikat purwakanti

Burudul menak ti kidul


(beriringan datang para bangsawan dari selatan)
Iringan para tumenggung
(iringan para tumenggung)
Candakna parabot degung
(membawa seperangkat gamelan degung)
Tutup krndang kulit lutung
(tutup kendang kulit lutung/kera hitam)
Dirarawat hoe wulung
(diikat rotan yang sudah tua)
Hoe wulung nu ti gunung
(rotan yang dari gunung)
Ditepak ku nu jarangkung
(Dimainkan oleh orang yang tinggi)

Selain contoh lagu atau lirik tersebut di atas, masih banyak lagu dan lirik yang
intinya/isinya dicuplik dari cerita-cerita pantun Sunda seperti cerita Putri Tejamantri,
Dewi Asri, Raden Mundinglaya di Kusumah, dan lain-lain. Gaya bahasanya berupa
puisi kauger (terikat), puisi merdika (bebas), atau berupa rangkaian bahasa/kalimat yang
murwakanti. Judul lagu tembang Cianjuran yang dicuplik dari cerita pantun Sunda

8
Seminar Musik Nusantara

tersebut pada dasarnya merupakan intisari dari setiap adegan/babak dari sebuah cerita
pantun.
Salah satu anggapan dari para tokoh mengenai kenapa lirik-lirik tembang
Cianjuran banyak mengambil dari lirik-lirik cerita pantun yang pada umumnya selalu
menggambarkan tentang masa-masa kejayaan Pajajaran, pada dasarnya adalah sebagai
ungkapan dan renungan terhadap nilai-nilai budaya dari suatu generasi (Sunda Lama),
untuk tetap dilestarikan dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya salah
satunya melalui penciptaan seni tembang Cianjuran.15 Syair lagu-lagunya dapat
memberikan gambaran bahwa masih adanya kerinduan dan kenangan orang Sunda
terhadap kerajaan yang pernah hadir dalam sejarah wilayah dan budayanya. Pada setiap
akan menyanyikan lagu-lagu jenis papantunan dan jejemplangan selalu diawali dengan
kalimat yang menyiratkan adanya kerinduan dan kenangan tersebut. Seperti bait atau
kalimat pendek: “Daweung menak Pajajaran”, yang artinya “mari kita merenungkan
sejenak tentang menak-menak di Pajajaran”. Kalimat lain: “Mukakeun panto
bongongong jalan gede sasapuan, sok emut jaman kapungkur jaman Pajajaran murba”
, artinya “Apabila pintu dibuka lebar-lebar, terlihatlah jalan yang besar dan bersih,
suka teringat jaman dahulu ketika masa jayanya kerajaan Pajajaran”.

Musik dan Pola Tabuhan Instrumentasi Papantunan

Kecapi sebagai instrumen pokok penyajian Tembang Cianjuran, bentuk serta


motifnya sangat mendekati dengan bentuk kecapi dalam pantun. Baik kecapi pantun
maupun kecapi Cianjuran pada dasarnya mempunyai bentuk yang sama menyerupai
perahu, meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam ukuran maupun aksesoris serta
jumlah dawai/kawat. Bentuk kecapi untuk tembang Cianjuran ukurannya lebih besar
serta jumlah dawainya lebih banyak (18 buah) dibandingkan dengan kecapi pantun yang
hanya 6-8 dawai. Dalam seni pantun, kecapi merupakan alat musik pokok selain
kadangkala disertai dengan rebab Sunda. Bentuknya mengandung aspek perlambangan
atau sebagai simbol. Bagian atas ujung kiri dan kanan kecapi perahu adalah simbol
adanya dunia atas atau dunia para dewa atau roh para leluhur (makrocosmos). Bagian
tengah sekitar posisi dawai simbol dunia tengah atau dunia manusia (mikrocosmos).
Bagian bawah seputar resonansi/ruang kosong simbol dunia bawah (alam kesadaran
manusia). Simbol-simbol tersebut terkait dengan konsep religi orang Sunda Lama/Kuna
yang dalam pantun Sunda konsep tersebut tertuang dalam bentuk dan fungsi
pertunjukannya sebagai seni untuk upacara-upacara ritual semisal slametan, nadzar,
maupun ruatan.
Tangga nada yang digunakan dalam kecapi pantun dan tembang Cianjuran
(kecapi indung) adalah tangga nada pentatonik slendro dan pelog (degung), yang dalam
penggunaannya baik pada pantun (pola adegan) maupun Cianjuran (tema/jenis lagu)
slendro dipergunakan untuk membangun suasana gembira dan chaos (tegang),
sedangkan pelog untuk membangun suasana sedih, tenang, dan agung. Susunan nada-
nada pelog-slendro (tangga nada da-mi-na-ti-la)dalam perbandingan interval sebagai
berikut:

Pelog degung : da mi . . . na . ti la . . . da

15
Saini KM, ibid, 42.

9
Seminar Musik Nusantara

1 2 . . . 3 . 4 5 . . . 1
100 400 200 100 400

Slendro : 1 . .2. . 3 . 4 . .5 . . 1
250 250 200 250 250

Dalam musik kecapi indung (Cianjuran), nada-nada tersebut dalam


penggunaannya tergantung kepada pengolahan ruang-waktu (panjang-pendek kerangka
sebuah lagu) yang di dalamnya terkait dengan pengolahan melodi, irama/ritme, tempo,
dan dinamika. Selanjutnya pengolahan tersebut menghasilkan berbagai pola/teknik
tabuhan yang pada dasarnya merunut dari pola-pola tabuhan pantun yang kemudian
diolah dan distilisasi kembali. Fungsi musikal kecapi dalam seni pantun dan tembang
Cianjuran mempunyai kesamaan yaitu sebagai musik ilustrasi (pasieupan), mengiringi
lagu atau cerita (pirigan). Biasanya tehnik tabuhan kecapi pantun sangat sederhana
tidak terlalu rumit melodinya, namun kaya akan motif-motif melodi meskipun nada-
nada setiap motif berkisar antara tiga sampai enam nada (satu oktav), hal ini
kemungkinan karena kecapi pantun hanya mempunyai 8 dawai.
Salah satu pola tabuhan kecapi pantun yang dipakai untuk mengiringi tembang
yaitu pola tabuhan yang disebut kemprangan 16. Pola tabuhan ini biasanya dalam pantun
digunakan sebagai tanda ketika juru pantun akan memulai bercerita. Teknik
kemprangan pantun menjadi lebih variatif ketika diterapkan ke dalam kecapi tembang
Cianjuran yang mempunyai 18 dawai. Yang tadinya hanya berupa satu pola tabuhan
akord (kempyung/kwint), setelah diolah terbentuklah serentetan nada-nada yang
dirangkai menjadi kesatuan melodi yang panjang dan “rumit” karena penggunaan nada-
nada dari 1 sampai 4 oktav. Namun pada intinya pola tabuhan kemprangan dalam
kecapi tembang adalah pola yang berfungsi dalam memberikan penandaan ketika lagu-
lagu gaya papantunan akan dimulai, meskipun selanjutnya dikembangkan lagi menjadi
pola-pola pirigan (mengiringi lagu).

Pantun dan Cianjuran, sebuah relasi makna budaya

Suatu seni (teks) mampu mewariskan makna-makna ‘adiluhung’ dalam


mengatur gerak langkah dan aktivitas kehidupan (konteks) suatu masyarakat. Biasanya
seni yang dicipta oleh seseorang atau tercipta di lingkungan suatu masyarakat
merupakan bentuk presentasi estetik yang selalu terkait dengan tata nilai
(kepercayaan/religi, adab/etika) yang telah disepakati dan dijadikan parameter dalam
melangsungkan tata kehidupan sehari-hari. Seni di masyarakat (mis: kesenian
tradisional), wujudnya kerap “dibaca” dan diinterpretasikan sebagai suatu aktivitas
dalam memenuhi kebutuhan ekspresi-estetik sesuai dengan tata nilai yang sudah
disepakati. Sebuah kesenian tradisional merupakan hasil dari interpretasi masyarakatnya
terhadap nilai-nilai budaya yang melingkupinya, maka selain sebagai bentuk presentasi
estetik (makna reperensial) seni tradisi mengandung makna-makna yang berhubungan
dengan ruang-lingkup budaya (makna budaya) dimana seni itu tercipta. Melalui seni
16
Dalam teknik menabuh kecapi pantun, pola ini hanya membunyikan secara bersamaan dua buah nada
menjadi akord (kempyung/kwint) misalnya nada pelog 5 dan 2.

10
Seminar Musik Nusantara

‘tradisi’ inilah kita akan dapat dilihat kedudukan, otoritas, status sosial, filosofis-religius
dan sistem kepercayaan individu atau suatu kelompok orang/masyarakat.
Sebagian besar produk budaya (seni) masa lalu pada umumnya tercipta, dijalin,
dan selalu berhubungan dengan aspek kepercayaan dan mitos, di dalamya terkandung
makna-makna filosofis-religius akan totalitas hidup dan kehidupan. Ketika sebuah
komunitas masyarakat mencoba membentuk jati diri lewat lingkungan tempat
tinggalnya, maka di situlah beragam proses penciptaan seni budaya terjadi dan dibentuk
sesuai dengan tatacara, adat, kepercayaan/religi yang berlaku. Hasil dari semua proses
penciptaan seni budaya (kesenian) itu di kemudian hari mampu memberi arti terhadap
kedudukan, status sosial, serta dapat menguatan identitas budaya daerah dan
masyarakatnya. Maka kehadiran seni budaya di masyarakat diibaratkan sebagai
‘pendamping’ dalam membangun spirit kehidupan religiusitas maupun sosial.
Ketika seni tercipta dalam lingkungan masyarakat non bangsawan misalnya
kesenian rakyat, akan tampak sebagai sebuah perwujudan budaya masyarakat yang
bersahaja. Cirinya adalah, bahwa nilai-nilai budaya yang terjalin merupakan refleksi
dari cara hidup sehari hari yang didukung oleh mitos-mitos yang melingkupinya.
Namun apabila kesenian itu hadir sebagai tanda dalam menguatkan status sosial
individu maupun sebuah komunitas masyarakat “ekslusif”, maka yang terdapat adalah
satu wujud kesenian yang ekslusif pula. Fenomena seperti itu sering kita temukan pada
jenis-jenis kesenian yang datang atau tercipta di lingkungan kaum bangsawan/keraton
yang dikatagorikan sebagai kesenian yang memiliki cita rasa tinggi dengan lebih
mementingkan kekuatan bentuk, struktur, teknik yang rumit, proses pembelajarannya
yang khusus, serta nilai-nilai yang didukung dapat bersifat profan maupun bersifat
sakral. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa kesenian yang tercipta dilingkungan
keraton, pada dasarnya bentuk dan makna-makna filosofisnya berakar dari nilai-nilai
budaya masyarakat yang ada di luar tembok keraton.17 Seperti halnya tembang
Cianjuran yang material seninya dirumuskan dari seni pantun yang isinya banyak
merepresentasikan nilai-nilai kehidupan dan makna budaya masyarakat Sunda buhun
(Sunda Lama) yang agraris.

produk budaya Sunda produk budaya Sunda


-----------relasi makna budaya--------------
buhun/kuna kiwari/saat ini
(agraris) (bangsawan)

CERITA TEMBANG
PANTUN CIANJURAN

mencerminkan spirit
ke-Sunda-an
sakral (filosofis-religiusitas, profan
etik, estetik, dan
status sosial sesuai
17
ruang-lingkup
Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, budaya
1977, 260, 312.
Sunda)

11
Seminar Musik Nusantara

Keterkaitan antara pantun Sunda dan tembang Cianjuran dalam ruang yang
lebih besar, oleh masyarakat tembang Cianjuran diasumsikan karena terdapatnya suatu
relasi antar makna dimana nilai dan fungsi kedua jenis kesenian tersebut mempunyai
hubungan dan keterkaitan dengan citra kehidupan suatu zaman, dari masyarakat Sunda
buhun (lama/kuna) ke Masyarakat Sunda kiwari (saat ini).
Jika melihat awal proses penciptaan dan perkembangannya, penciptaan tembang
Cianjuran penekanannya lebih mengutamakan visi spiritual, dan penguatan status sosial
kaum menak Sunda. Artinya ia merupakan hasil dari sebuah proses pemahaman yang
mengacu pada keagungan tradisi masyarakat bangsawan Cianjur, masyarakat peodal,
dan masyarakat yang cenderung patuh pada doktrin (tatanan sosial, nilai-nilai religi,
estetik dan etik), keterampilan, serta pengetahuan budaya yang seiring dengan segala
aktifitas generasi atau masyarakatnya waktu itu. Generasi pertamanya memandang
bahwa nilai-nilai yang ada dalam kesenian ini harus dipahami, dihayati, dan dirasakan
dengan sikap hormat, sebagai sebuah penghargaan yang langsung diterapkan dan
diaflikasikan dengan menjadikanya sebagai miliknya sendiri yang harus dijaga dan
dirawat dalam lingkungan sosialnya.18
Syair-syair tembangnya memiliki kandungan makna yang dalam, sehingga
memerlukan tingkat penghayatan yang tinggi. Lagu-lagunya bersifat sekar daria (lagu
serius) dan lebih bersifat kanggo renungkeuneun (untuk kontemplasi). Gaya
melagukanya bersifat ‘ngagalindeng’ (mendayu-dayu, mengalir) menggambarkan
suasana hati dalam untaian suara/nada yang penuh ornamen, maka dalam praktek
menembangnya harus dinyanyikan dengan baik dan dihayati dengan baik pula, agar
dapat menghantarkan kearah perenungan yang dalam. 19 Seseorang ketika sedang
tembang sekar daria, lebih mengutamakan pada usaha merepresentasikan bentuk
keindahan musik/lagu dan menangkap makna teks nyanyian, dan dua hal inilah oleh
masyarakat tembang Cianjuran sering disebut usaha menuju dangiang Cianjuran (jiwa
lagu).20
Melalui bentuk musiknya yang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi –
berhubung berhubungan dengan teknik oleh vokal–, lagu-lagu tembang Cianjuran
harus memiliki jiwa atau daya bathin sehingga dapat memposisikan juru tembang
maupun pendengarnya berada pada sebuah dimensi perenungan, pengkayaan bathin,
dan pengalamannya sebagai manusia yang berada pada nilai-nilai filosofis dan tatanan
Kabudayan Urang Sunda. Seorang juru tembang dalam membawakan lagu-lagu
Cianjuran tidak hanya dituntut menguasai lirik, lagu dan musiknya saja, namun lebih
dari itu ia harus mampu menyentuh batin pendengarnya. Kenapa demikian, karena
karakter dari lagu-lagu tembang Cianjuran lebih banyak memberikan tekanan untuk

18
William, Sean, “The Urbanization of Tembang Sunda an Aristocratic Musical Genre of West Java
Indonesia”, Wasingthon Univercity, 1990. 28.
19
Wahyu Wibisana, Mencari Ciri-Ciri Mandiri dalam Tembang Sunda, Bandung: Pancaniti, 1976, 8.
20
Yang saya ketahui dari para juru pantun Sunda ketika memberi wejangan, Dangiang adalah sifat suci
para kadewan (para dewa) yang memiliki pancaran (wibawa) dan kekuatan (kesaktian), yang menuntun
manusia ke arah pencerahan jiwa dan kesempurnaan hidup. Dalam naskah/cerita pantun Sunda tersirat
bahwa pada masyarakat Sunda Lama, Dangiang menjadi sebuah konsep filosofis-religius yang oleh
sebagian masyarakat Sunda kiwari (saat ini) masih dipertahankan, terutama di masyarakat pedesaan yang
masih kental dengan unsur-unsur budaya hindu-isme (Sumarta, wawancara, Sumedang, 20 November
2004).

12
Seminar Musik Nusantara

membangkitkan seseorang dalam menghayati dan merenungi nilai-nilai budaya Sunda


seperti yang tersirat dalam seni pantun, maka para ahli selalu mengatakan bahwa
tembang Cianjuran adalah sarana kontemplasi ketimbang hiburan.21 Namun seiring
dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang semakin cepat, telah memberi
isyarat adanya perubahan dalam setiap lingkup tata nilai. Kita menyadari bahwa setiap
terjadinya sebuah perkembangan kehidupan membawa dampak atau pengaruh yang
mengakibatkan berbagai aspek kehidupan budaya masyarakat berubah, mulai dari
perubahan dalam lingkup gagasan (idea), tindakan (activity), sampai perubahan pada
bentuk-bentuk hasil (productivity) budaya masyarakat tersebut.
Sekarang tembang Cianjuran telah menempati seluruh wilayah dalam lapisan
sosial masyarakat Sunda yang beragam. Ia tumbuh dan berkembang dari masyarakat
menak, seterusnya menyebar pada seluruh lapisan masyarakat yang lebih luas, dari
masyarakat golongan ekonomi kelas atas, sampai menengah ke bawah, baik yang ada di
perkotaan maupun di pedesaan. Ia telah memberikan fungsi dan manfaat kepada
generasi-generasi penerusnya mulai dari yang bersifat praktis dalam keseharian
(hiburan/rekreatif), sampai ke pada tatanan-ranah yang paling ideal yaitu dalam
memenuhi kebutuhan berekspresi-estetis melalui kesenian yang bercita rasa seni tinggi.
Secara kuantitas, tembang Cianjuran lebih berkembang di lingkungan
masyarakat perkotaan. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkumpulan seni mamaos
(Tembang Sunda) Cianjuran yang berdiri, baik di lingkungan masyarakat umum,
kantor-kantor swasta, maupun di instansi-instansi pemerintahan, dari golongan ekonomi
kelas bawah, menengah dan atas. Ada yang mempelajarinya secara serius sampai
memenuhi tingkat kualitas yang memadai, ada juga yang hanya sekedar untuk
menyalurkan kesenangannya semata-mata. Selain itu lahirnya para juru tembang atau
juru mamaos yang berkualitas dan terkenal di masyarakat Jawa Barat adalah mereka-
mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan. Melalui wadah perkumpulannya
mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin untuk berdiskusi dan
menyajikan tembang Cianjuran. Selain itu sering diadakannya pertemuan antar
perkumpulan, misalnya di wilayah kota Bandung mereka bertemu dalam sebuah acara
rutin yang disebut Panglawungan Mitra Tembang Sunda. Bagi mereka-mereka yang
hanya berminat dan mempelajarinya bukan untuk tujuan menjadi seorang ahli dan
mencari popularitas, sebagian besar adalah dari golongan ekonomi menengah ke atas.
Mereka sering menyelenggarakan dan mengundang secara pribadi para juru mamaos
untuk sama-sama berkumpul dan menyajikan tembang Cianjuran di rumahnya. Selain
sebagai media untuk berkomunikasi, penyajian tembang Cianjuran diduga dijadikan
sebagai instrumen atau “alat” seseorang untuk menunjukan tingkat dan kondisi
sosialnya di masyarakat terutama mereka-mereka yang masih terkait dengan silsilah
atau keturunan kaum bangsawan Sunda.
Meskipun materi dasarnya banyak mengambil unsur-unsur seni pantun, namun
dalam penyajiannya tembang Cianjuran bukan sebagai seni yang ditempatkan dalam
ruang dan suasana upacara ritual seperti halnya pantun. Dalam pergerakannya saat ini –
terutama dalam lingkup budaya kota– telah merambah pada ruang-ruang yang berbasis
komoditi-ekonomi, resepsi dan ceremonial. Kita bisa melihat pertunjukannya di ruang
loby hotel-hotel berkelas dan restoran-restoran termahal, kita bisa menyaksikannya di
“emperan toko”, kita bisa menikmatinya di rumah dari media elektronik, ditunjang pula
oleh perkembangan media rekam yang sangat menjanjikan kita untuk banyak memiliki
koleksi-koleksi rekaman audio-visual. Di satu sisi keadaan tersebut dapat
21
Enip Sukanda, diramu dari hasil wawancara, Bandung: 12 Juli 2004.

13
Seminar Musik Nusantara

menyumbangkan andil dan memberikan peranan dalam menjaga dan melestarikan nilai-
nilai budaya masa lampau, meskipun di sisi lain telah terjadi pergeseran dan
pendangkalan makna seni karena lebih mementingkan nilai harfiah bukan filosofinya.22
Sebagai seni yang berakar dari generasi pantun, tembang Cianjuran dapat
menghantarkan seseorang untuk menghayati dan merepresentasikan spirit Ke-Sunda-
annya, yaitu hal-hal yang terkait dengan cara pandangnya dalam menilai sikap, fungsi,
dan kedudukan dirinya untuk tetap menjadi bagian yang integral dalam ranah budaya
sendiri. Melalui Cianjuran, orang Sunda dapat mengemukakan dan menghadirkan
kembali peristiwa-peristiwa masa lampau (isi cerita-cerita pantun) untuk dihayati,
dialami, dan disaksikan sendiri tanpa harus merepresentasikannya kedalam suasana dan
bentuk upacara ritual. Maka mereka berusaha untuk memanifestasikannya lewat
berbagai cara, misalnya dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan proses pembelajaran dan penyajiannya.
Sementara itu bagi kaum bangsawan, tembang Cianjuran telah menjadi cultural
identity para menak Sunda yang melestarikan pewarisan nilai-nilai dan makna
kebudayaan Urang Sunda Buhun. Bahkan dianggap bahwa pantun dan tembang
Cianjuran adalah interpretasi dari mitos-mitos yang dianggap mempunyai ajaran etika-
religius yang dapat memperkuat dan menumbuhkan nilai-nilai kerohanian, serta
berfungsi sebagai alat penyebaran kepercayaan yang berisikan informasi atau
pengetahuan mengenai asal-usul jagat raya, tentang dunia atas yang gaib, dunia tengah
(dunia manusia) yang nyata dan dunia bawah (alam kesadaran manusia) yang samar-
samar. Kekuatan pantun ada dalam cerita-ceritanya yang disusun berdasarkan alam
pikiran mitis-religius masyarakat Sunda Lama yang maknanya hanya dapat dipahami
melalui lakon-lakon yang tertulis maupun ketika menyimak ceritanya lewat juru pantun.
Sedangkan kekuatan tembang Cianjuran ada pada kerumitan musik dan karakteistik
bahasanya yang halus mengandung inti sari cerita-cerita pantun., dan para tokoh
mengatakan bahwa Cianjuran tercipta sebagai seni “masa kini” yang mewarisi nilai-
nilai budaya masa lalu (Sunda buhun) yang karakteristiknya terformat dari lingkup
lembaga kebangsawanan (menak) Sunda.

22
Kusumah, Ahmad R., Orsinalitas Rumpaka dina Tembang Sunda Kiwari, (Tasik: Madina,
1994), 14.

14
Seminar Musik Nusantara

SUMBER BACAAN

Atmadibrata, Enoch, Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat,


Bandung: Pelita Masa, 1983.
Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung:
Pustaka Buana, 1984.
-----------------, Lagu Pupuh, Pengetahuan dan Notasinya,
Bandung: Pustaka Buana, 1977.
Danasasmita, Makmur, Sastra Lagu dalam Tembang Sunda,
Bandung: ASTI, 1983.
Danasasmita, Saleh, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, sebuah Terjemaahan,
Bandung: Pengembangan Permusiuman Jawa barat, 1981.
Depdikbud, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1984.
--------------, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian, 1981.
Ekadjati, Edi (ed), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti, 1984.
Endang S., Pangajaran Tembang Sunda, Bandung: Pelita Masa, 1979.
Ganjar Kurnia dan Nalan, Arthur S., Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat,
Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, 2003
Harsojo, pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1977.
Kususmadinata, R.M.A., Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, Jakarta:
Noordhoff-Kolff, 1960.
Rosidi, Ajip, Manusia Sunda: Sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan sejarah,
Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Rusyana, Yus, (ed), Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, Bandung:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.
Satjadibrata, R., Rasiah Tembang Sunda, Jakarta: Balai Pustaka, 1953.
Saini K.M, “Cianjuran, Ajakan Meditasi” ,dalam Buletin Dangiang Pancaniti,
Bandung: Yayasan Tembang Sunda Pancaniti, 1985.
Surjadi, A., Masyarakat Sunda Budaya dan Problema, Bandung: Alumni, 1985.
Sukanda,Enip,Tembang Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan Perkembangannya,
Bandung: ASTI, 1984.
Sumardjo, Jakob, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun,
Bandung: Kelir, 2003.
Wiraatmaja, Apung. S., Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda,
Bandung: Purnama Sari, 1964.
Williams, Sean, “The Urbanizaton of Tembang Sunda an Aristocratic Musical Genre
of West Java, Indonesia”, dissertation, University of Washington, 1990.
Van Zanten, Wim, “Tembang Sunda: An Ethnomusicological Study of the
Cianjuran Music in West Java”, desertasi, Universitas Leiden, 1987.

15
Seminar Musik Nusantara

--------------------- - “Ornamen Vibrato dalam Tembang Cianjuran”,


dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, tahun II no. 2 1991.

NARA SUMBER

Drs. Enip Sukanda: tokoh/praktisi, pengamat, dan dosen mata kuliah tembang
Cianjuran di STSI Bandung. Wawancara tanggal 21 Juli 2004.
Sumarta, 76 Tahun, Juru Pantun,Sumedang. Wawancara tanggal 20 N0vember 2004.

Tembang macapat atau pupuh menjadi populer sekali dalam sastra sunda pada
abad ke 19 hingga 20. Banyak sekali karya tulis atau karya sastra yang lahir dalam
bentuk tembang pendek (terdiri dari beberapa bait pupuh), maupun tembang panjang
yang disebut wawacan (berupa cerita yang disusun dalam bentuk puisi dengan
menggunakan bermacam-macam pupuh). Wawacan ini mula-mula menyebar dan masuk
ke kalangan para menak yang ditulis dengan menggunakan aksara Sunda-Jawa,
bahasanya Sunda bercampur Jawa. Sesudah itu menyebar di kalangan pesantren yang
ditulis dengan aksara Arab pegon, dan akhirnya menyebar di masyarakat ramai setelah
ditulis dengan aksara Latin sehingga banyak orang yang membaca dan mencetaknya. 4
Pada perkembangan selanjutnya bentuk tembang ini mengalami perubahan yang
signifikan, wawacan yang pada awalnya sepenuhnya mengacu pada bentuk tembang
macapat Jawa, pada akhirnya menyesuaiakan dengan pola dan lingkungan kebudayaan
masyarakat Sunda sendiri.

4
Yus Rusyana, Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, (Bandung: Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, 1989), 38.

16
Seminar Musik Nusantara

Mengenai sejarah Tembang Cianjuran sebelum 1900 tidak begitu jelas, namun
yang pasti bahwa kesenian ini lahir di daerah Cianjur dari golongan kaum ningrat Sunda
(para menak). Tembang Cianjuran digolongkan sebagai bentuk karawitan halus
(lemes) yang sampai sekarang jenis seni karawitan ini masih digemari oleh masyarakat
Jawa Barat khususnya dari golongan kelas menengah ke atas yang mempunyai tingkat
pendidikan memadai. Kenapa demikian, ada beberapa alasan, kemungkinan karena
syairnya (guguritan) tidak begitu mudah dimengerti, juga karena faktor musiknya yang
sangat rumit dibandingkan dengan jenis Karawitan lain.9
Sebelum Cianjur resmi menjadi sebuah kabupaten, budaya tembang sudah
dikenal oleh masyarakat Cianjur terutama oleh pemimpin pertama masyarakat Cianjur
pada saat itu yang bernama Wiratanu I (kira-kira tahun 1677) yang lebih dikenal
dengan sebutan Dalem Cikundul. Selanjutnya pada masa Cianjur diperintah oleh
Wiratanu II (1692-1707) yang lebih dikenal dengan Dalem Tarikolot atau Dalem
Pamoyanan, ada seorang seniman putra pedaleman yang sering mantun (membawakan
seni pantun) yang bernama Raden Candramanggala, yang selanjutnya dianggap sebagai
leluhur para juru pantun di daerah Cianjur. Dengan demikian dapat diduga bahwa pada
saat Wiratanu II ini seni pantun dan seni tembang telah dikenal secara luas di
lingkungan pendopo Kabupaten Cianjur. 10
Perhatian para menak Cianjur tehadap kesenian terutama seni tembang dan seni
pantun baru tampak ketika Cianjur diperintah oleh Bupati Enoh (Wiratanu VI) pada
tahun 1776-1813. Pada masa ini seni tembang rancag buhun hidup dan berkembang
dengan baik. Tembang rancag buhun adalah tembang berbentuk pupuh yang lagunya
dipengaruhi oleh macapat Jawa. Pada waktu Cianjur diperintah oleh Bupati
Prawiradireja I, kira-kira tahun 1813-1833, seni tembang rancag buhun tersebut
dipadukan dengan seni beluk yang kemudian menjadi seni tembang beluk. 11
Puncak dari seni Tembang Cianjuran atau pada waktu itu disebut Seni
Mamaos, berlangsung ketika Cianjur di bawah pemerintahan Bupati R.A.A.
Koesoemaningrat pada tahun 1834-1864. Ia sebagai seorang bupati Cianjur yang sangat
mumpuni dalam mencipta lagu mamaos, dan ketika mencipta tersebut ia selalu tinggal
di sebuah bangunan yang bernama Pancaniti, maka ia pun terkenal dengan sebutan
Dalem Pancaniti. Selain itu Dalem Pancaniti aktif mengumpulkan para seniman untuk
diajak bekerja sama dalam mengolah dan membuat karya seni khususnya Seni tembang
Cianjuran (seni mamaos). Pada masa Dalem Pancaniti inilah Seni Tembang Cianjuran
lahir, berdasarkan atas ketekunan Dalem dan para seniman yang terus meramu dari
unsur-unsur seni pantun, tembang rancag buhun, wayang golek, degung, beluk,
pupuh, dan sebagainya.
Pada masa Dalem Pancaniti seni mamaos (tembang Cianjuran) hanya ada di
dalam kalangan menak atau kaum ningrat di lingkungan kabupaten Cianjur semata,
9
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Cianjuran”, dalam Jurnal Masyarakat
Musikologi Indonesia, tahun II no. 2 1991, 121.
10
Enip Sukanda, Tembag Sunda Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan perkembangannya,
(Bandung: ASTI, 1984), 18.
11
Ibid, hal :23. Beluk adalah nyanyian bertempo bebas yang bernada-nada tinggi (meluk), dengan syair
yang terikat oleh pola pupuh seperti kinanti, asmarandana, sinom, dandanggula, dsb. Biasanya
disajikan sebagai sarana hiburan dan syukuran atas lahirnya seorang bayi.

17
Seminar Musik Nusantara

meskipun ada satu dua orang dari kalangan rakyat biasa seperti Bapak Aen dan Ma’ing
Buleng, itupun karena mereka dianggap sudah menjadi keluarga Bupati dikarenakan
oleh kemampuannya dalam menciptakan lagu-lagu Tembang Cianjuran. Para Juru
Mamaos pada masa pemerintahan Dalem Pancaniti terdiri dari kaum pria dari kalangan
menak, mereka di antaranya Rd. Natawiredja, Rd. Adinegara, Rd. Habib, dan Rd.
Suriakusumah.
Setelah Dalem Pancaniti mangkat pada taun 1864 dan kedudukannya digantikan
oleh putranya yang bernama Raden Alibasyah atau yang sering disebut R.A.A.
Prawiradiredja II (1864-1910). Seperti halnya Dalem Pancaniti, Prawiradiredja II sangat
besar perhatiannya terhadap seni Sunda, hal ini dibuktikan dengan dijalinnya hubungan
dan kerjasama dengan beberapa seniman pedaleman (seniman dari golongan menak)
maupun seniman dari kalangan masyarakat biasa, untuk membantu mengolah seni
Sunda terutama tembang Cianjuran. Para seniman yang dipercaya tersebut yaitu Rd.
Ece Madjid Natawiredja, Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan Mohammad Asikin.
Dan pada masa inilah tembang Cianjuran mulai menyebar ke luar pendopo kabupaten
Cianjur.12
Pada masa pemerintahan Prawiradiredja II seni tembang Cianjuran mengalami
kemajuan yang cukup pesat terutama dalam garapan musikalnya, penyebarannya, serta
munculnya lagu-lagu baru yang diciptakan oleh para seniman tembang Sunda yang
berada di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Tembang Cianjuran bukan lagi menjadi
bagian serta milik para menak saja tetapi sudah menjadi bagian dari semua golongan
masyarakat pada umumnya. Selain itu para juru mamaos (penembang) mulai dilakukan
oleh para wanita, yang sebelumnya terbiasa dilakukan oleh kaum pria yang berdomisili
di lingkungan pendopo kabupaten saja. Tercatat sebagai juru mamaos wanita pertama di
kalangan para menak yaitu Raden Siti Saroh,13 dan selanjutnya bermunculan para
penembang (juru tembang ) wanita dan menjadi terkenal di masyarakat Sunda, mereka
adalah Raden Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.14
Sebagai ibu kota Karesidenan Priangan, Kabupaten Cianjur sering sekali
dikunjungi oleh para tamu, dan para Bupati dari daerah yang lain, sehingga pada
kesempatan-kesempatan yang resmi maupun tidak resmi, tembang Cianjuran sering
disuguhkan atau dipertontonkan kepada para tamu tersebut. Banyak para tamu terutama
para Bupati yang tertarik serta berminat dan meminta untuk diajarkan tembang
Cianjuran di daerahnya. Dari peristiwa seperti inilah penyebarannya mulai merambat
ke beberapa daerah Priangan lainnya, meskipun masih terbatas hanya dalam lingkungan
para menak Sunda. Keterlibatan Rd. Ece Madjid, Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan
Mohammad Asikin dalam menyebarkan tembang Cianjuran ke luar daerah, menjadi
awal dari proses penyebaran lebih luas yang mencangkup seluruh wilayah di tanah
Sunda.
Selanjutnya mengapa dinakaman ‘Cianjuran’, ‘Tembang Sunda’, dan
‘Tembang Cianjuran’. Ada seorang pujangga Sunda yaitu M.A. Salmun yang bereaksi
terhadap penggunaan istilah-istilah ini. Bahwa istilah Cianjuran didapat pada waktu
untuk kepentingan siaran di NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij)
Bandung. Pada tahun 1932 keadaan siaran-siaran radio di Jawa Barat belum mapan.
Salah satu yang terbesar pada saat itu adalah NIROM. Pada acara-acara yang

12
Ibid, hal: 15.
13
Ibid, hal: 30-31.
14
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat, (Bandung: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Jawa Barat, 2003), 48.

18
Seminar Musik Nusantara

menyiarkan kesenian, sering digunakan istilah-istilah yang selalu saling tumpang


tindih. Seperti ketika penyiar akan menyiarkan lagu-lagu tembang Sunda tetapi yang
muncul adalah kawih roronggengan, dan sebagainya. Hal ini terjadi disebabkan karena
belum adanya istilah-istilah yang tetap untuk beberapa jenis kesenian. Melihat hal yang
demikian itu maka M.A. Salmun mengirim surat kepada NIROM yang isinya
mengusulkan agar lebih tertib dalam membawakan acara-acara kesenian terutama dalam
menggunakan istilah-istilah atau nama-nama jenis kesenian.
Atas dasar usulan itu maka ditetapkan istilah-istilah seperti “tembang Sunda’
yang dipakai untuk semua lagu warna tembang yang berada di Sunda seperti Bantenan
(dari Banten), Cirebonan (dari Cirebon), Ciawian (dari Tasikmalaya), Cigawiran (dari
Garut), Polos (dari Sumedang), Randegan (dari Ciamis), Kidung (dari Jampang).
Kemudian untuk lagu-lagu tembang yang menggunakan lagu-lagu khas Cianjur, di
sebut Cianjuran.15
Kemudian pada Musyawarah Tembang Sunda ke I yang diselenggarakan tanggal
30 sampai 31 Maret 1962 di Bandung, diputuskan bahwa istilah Cianjuran dirumuskan
dengan istilah yang lebih umum yaitu Tembang Sunda, sehingga Cianjuran menjadi
Tembang Cianjuran.16 Meskipun untuk saat ini lagu-lagu dalam Tembang
Cianjuran sudah bercampur dengan gaya lagu-lagu dari daerah lain, namun bagi
masyarakat Sunda pada umumnya, jika mendengar dan menyaksikan penyajian seni
vokal tradisional dengan diiringi dua buah instrumen kecapi (kecapi Indung dan kecapi
rincik), dan diperindah denga alunan suara suling atau rebab, maka masyarakat
menyebutnya dengan pintonan (penyajian) Tembang Cianjuran.

Selain bertemakan tentang masa-masa keemasan kerajaan Pajajaran, juga banyak syair-
syair dalam lagu-lagu Tembang Cianjuran yang melukiskan tentang keindahan dan
kesuburan tanah Pasundan. Keindahan alam priangan memberikan inspirasi bagi para
seniman untuk menciptakan lagu-lagu dan syair tembang yang melukiskan keindahan
pemandangan laut dengan ombaknya, hijaunya bukit-bukit dan gunung-gunung, sungai,
sawah, serta penduduknya yang ramah dan bersahaja. Salah satu syair lagu yang
terkenal seperti yang diciptakan oleh Rd. Ece Madjid yang berjudul Laut Kidul dalam
bentuk pupuh sinom, yang melukiskan keindahan dan keganasan laut di wilayah pesisir
selatan tanah Sunda.

15
Apung S. Wiraatmaja, Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda,
(Bandung: Purnama Sari, 1964), 84.
16
Ibid., hal: 88.

19
Seminar Musik Nusantara

yang melukiskan terbangnya Raden Mundinglaya ketika menuju ke Jabaning Langit


(langit rohani) untuk mencari Lalayang Salaka domas, azimat yang akan membawa
kesejahteraan bagi rakyat kerajaan Pajajaran. 20

20
Depdikbud, “ Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian”, (Jakarta: Direktorat Kesenian, ), 119.

20

Anda mungkin juga menyukai