Anda di halaman 1dari 7

RITUAL ARAK MANTEN

SEBUAH TRADISI TURUN TEMURUN


MASYARAKAT DESA JATISOBO-POLOKARTO-SUKOHARJO-JATENG

Penulis:
Nandi Saefurrohman
(nandisaefurrohman@yahoo.com)

Asal Mula Desa Jatisobo


Dari buah tutur para tokoh adat yang berhasil diwawancarai, mereka menuturkan
bahwa Jatisobo merupakan tanah perdikan yang dibangun oleh Kyai Khatib Imam. Beliau
adalah putra dari Kyai Muhammad Usul seorang punggawa serta ulama kerajaan
Mataram-Kartasura. Pada waktu terjadi perang Cina atau sering disebut dengan istilah
Geger Pecinan tahun 1740-1743 pada masa Paku Buwana II, banyak para punggawa
kerajaan yang melarikan diri atau menghindar dari Kotaraja sebagai akibat peperangan
antara gabungan orang Jawa dan Tionghoa dalam melawan prajurit Mataram yang
dibantu oleh VOC Belanda. Seiring dengan pekembangan dari desa tersebut maka oleh
pemerintahan Pakubuwono III, desa Jatisobo dijadikan sebagai daerah perdikan, yaitu
daerah atau tanah yang dihadiahkan Raja sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdian
seseorang terhadap kerajaan, diberikan keleluasaan untuk mengembangkan dan
mengelola wilayahnya sendiri sesuai aturan-aturan yang berlaku di kerajaan.
Pada waktu Kyai Muhammad Usul dan keluarganya pergi ke arah timur dari
Kotaraja Mataram yaitu ke sebuah desa kecil yang bernama Kedhung Gedhe, kira-kira
tujuh kilometer arah utara Pabrik Gula Tasikmadu-Karanganyar, beliau memerintahkan
putranya untuk mensiarkan agama Islam ke daerah selatan yaitu sekitar daerah Polokarto
yang temasuk wilayah Kabupaten Sukoharjo, tepatnya sepuluh kilometer dari arah kota
Karanganyar. Maka di sebuah hutan yang masih belantara dan banyak tumbuh pohon-
pohon jati di tepi sebuah sungai (sekarang disebut dengan nama sungai Samin) mulailah
Khatib Imam membabat alas/hutan untuk membangun tempat tinggal, masjid, serta
pondok pesantren yang diberi nama Pesantren Pamulangan. Tahun demi tahun pondok
pesantren semakin berkembang dan banyak santri yang datang dari segenap penjuru
wilayah seperti dari Bagelan/Banyumas, Ponorogo, Kediri, serta dari wilayah terdekat di
sekitarnya.
Nama desa atau kampung Jatisobo atau identik dengan nama Desa Jatisobo tidak
dapat dipisahkan dengan berdirinya Masjid Agung Jatisobo yang konon untuk
membangunnya membutuhkan sebatang pohon jati yang tinggi besar kurang lebih
berdiameter 1,5 m. Diceritakan bahwa nama Jatisobo sendiri berawal ketika Kyai Khatib
Imam membangun sebuah masjid. Pada waktu itu di hutan banyak tumbuh pohon-pohon
jati yang tinggi dan berdiameter besar. Terdapat satu pohon jati yang mempunyai
ketinggian dan lingkaran yang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang
lainnya, sampai-sampai –menurut cerita- bayangan dari pohon tersebut mencapai radius
lima kilometer ketika jam-jam tertentu. Karena bayangan dari pohon jati tersebut sampai
pada jarak yang jauh, maka pada saat itu Masjid tersebut di beri nama Masjid Agung

1
Jatisobo, artinya ada pohon jati yang bayangannya terlihat seba (narak, sowan) atau
dapat dilihat di berbagai tempat. Pohon tersebut oleh Kyai Khatib Imam ditebang untuk
dijadikan sebagai bahan kayu dalam pembuatan Masjid yang jika diamati arsitekturnya
bergaya mesjid alun-alun Surakarta Hadiningrat. Di belakang mesjid merupakan tempat
pemakaman Kyai Khatib Imam, putra, cucu, serta keturunannya. Masjid Agung ini sudah
berumur kira-kira 250 tahun dan sekarang sudah dilaporkan/tercatat di Dinas Purbakala
kabupaten Sukoharjo.

Tentang Masyarakat Kampung Jatisobo


Wilayah desa Jatisobo dikelilingi oleh tiga situasi sosial perkotaan yang saling
berdekatan yaitu kota Solo di sebelah barat berjarak kurang lebih 10 Km, kota
Karanganyar di sebelah utara-timur berjarak 7 Km, kota Sukoharjo di sebelah selatan
berjarak 12 Km. Sebagian besar Masyarakat desa Jatisobo adalah petani dan buruh,
sebagian kecil ada yang menjadi pedagang, pegawai swasta dan pemerintah. Sebuah
masyarakat pedusunan yang masih konsisten terhadap adat-istiadat para leluhurnya.
Kehidupan komunitas warga pada umumnya merupakan masyarakat tradisional yang
masih mempertahankan sistem kekerabatan primordialisme sebagai hal pokok dalam
mempertahankan adat-istiadat yang sudah berlangsung sekian lama. Masyarakat Jatisobo
selalu menekankan sikap hidup bersahaja dan sederhana, konsisten menjaga lingkungan,
sikap hidup bergotong royong dan senantiasa menjaga kerukunan antar warga.
Menurut penuturan beberapa narasumber, sebagian besar warga desa Jatisobo
adalah keturunan langsung dari Kyai Khatib Imam serta sebagian lagi adalah warga
pendatang. Warga Pendatang yang di maksud adalah mereka-mereka yang bukan
keturunan Kyai Khatib Imam yang membeli tanah di sana untuk membangun rumah serta
menetap di Jatisobo, atau mereka yang mendapatkan jodoh orang Jatisobo selanjutnya
menetap sebagai warga kampung. Namun demikian, mereka yang menjadi keturunan
langsungpun saat ini sudah banyak yang keluar dari wilayah Jatisobo, menyebar serta
menetap di berbagai tempat seperti Kota Solo, Semarang, Jogjakarta, Bandung, Surabaya,
Jakarta, dan daerah-daerah lainnya. Mereka yang menjadi keturunan langsung membuat
kelompok-kelompok keluarga besar sendiri sesuai dengan silsilah berdasarkan garis
keturunan dari putra-putri Kyai Khatib Imam yang pada umumnya merupakan generasi
ke tujuh, delapan dan sembilan. Mereka selalu mengadakan pertemuan yang biasanya
setahun sekali bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Pada saat itu di kampung Jatisobo
akan terlihat ramai kedatangan anggota-anggota keluarga besar tersebut dari berbagai
tempat diluar wilayah Jatisobo.
Seperti biasanya pada masyarakat Jawa di pedesaan pada umumnya, keterikatan
pada hal-hal berbau mistik, mithos, serta segala hal yang dianggap takhayul sudah
menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan dan kepercayaan mereka sehari-hari. Maka
tampak pada masyarakat tradisional desa Jatisobo, bahwa segala sesuatu tindak laku yang
terkait dengan kronologi kehidupan spiritual seperti bentuk-bentuk upacara atau ritual
apapun, adalah bagian tak terpisahkan dari adanya kepercayaan terhadap mithos yang
sudah terbangun dari generasi ke generasi. Baik generasi tua maupun muda, mereka
masih sangat menghormati para leluhurnya dengan selalu mengikuti petunjuk-petunjuk
serta keputusan yang diberikan oleh para tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai
sesepuh adat.

2
Sebagai pendiri komunitas masyarakat Jatisobo dan sebagai seorang ulama
Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Kyai Imam selalu menekankan kepada anak-cucunya
tentang kesungguhan dalam menjalankan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Ketika
membangun kampung yang diawali dengan membangun Pondok Pesantren dan Mesjid,
Kyai Imam selalu mengajarkan prinsip-prinsip spiritualitas dan keagamaan salah satunya
dengan pendekatan fatwa. Warga masyarakat yang bedomisili secara turun-temurun,
menjadikan fatwa-fatwa (amanat, wejangan) yang di anjurkan Kyai Imam sebagai sesuatu
aturan sentral yang tak tertulis. Mereka percaya siapa saja yang melanggar anjuran-
anjuran tersebut, selain melanggar adat juga diyakini akan membawa malapetaka bagi
keluarga, diri sendiri, bahkan pada situasi kampungnya sendiri.
Hal ini tercermin dalam larangan terhadap warga keturunan langsung untuk tidak
menabuh, membunyikan, atau menanggap seni gamelan pada setiap bentuk upacara
apapun, terutama dalam setiap upacara pernikahan dan khitanan. Selain fatwa-fatwa
yang berhubungan langsung dengan ajaran syariat dan aqidah Islam, ada juga fatwa-
fatwa yang isinya untuk memperbolehkan dan tidak diperbolehkan melakukan sesuatu
tindakan yang dianggap merugikan atau tidak bemanfaat bagi kehidupan masyarakat
khususnya di Jatisobo. Kenyataannya, segala sesuatu tindakan atau kegiatan yang
dilakukan setiap warga yang berhubungan dengan ritual, sosial dan budaya selalu
diputuskan dengan pertimbangan-pertimbangan terhadap adanya fatwa-fatwa tersebut.
Salah satu cerminan sikap dalam mentaati fatwa sebagai wujud dalam menjungjung
tinggi nila-nilai religiusitas yang dibangun oleh Kyai Khatib Imam yaitu masih
berlangsungnya tradisi upacara ritual kirab manten (arak manten).

Makna Ritual Kirab/Arak Manten Bagi Masyarakat Desa Jatisobo


Mengarak pengantin bagi masyarakat Jatisobo tidak terlepas dari historis-
kronologis berdirinya kampung dan masyarakat Jatisobo itu sendiri. Mereka yang masih
dalam garis keturunan Kyai Khatib Imam sangat ta’at terhadap anjuran-anjuran yang
sudah ditetapkan yang dipercaya akan memberikan berkah dan keselamatan kalau
anjuran/fatwa tersebut dilaksanakan. Sebaliknya dipercaya juga kalau anjuran tersebut
tidak dilaksanakan akan membawa malapetaka bagi diri sendiri, keluarga, dan situasi
kampung itu sendiri. Setiap anak-cucu yang masih keturunan dari kyai Imam yang
melangsungkan pernikahan, mereka diwajibkan diarak dari rumah hajatan menuju Mesjid
Agung dengan diiringi Shalawat Nabi. Anjuran ini diutamakan bagi mereka yang tetap
tinggal di kampung Jatisobo, sedangkan bagi mereka yang tinggal di tempat lain tidak
menjadi keharusan tetapi lebih baik kalau mereka melakukannya. Tradisi yang sudah
berlangsung lama ini, awal mulanya diwajibkan bagi warga yang berada pada garis
keturunan dari Kyai Imam saja, tetapi perkembangan selanjutnya mereka yang bukan
keturunannyapun dan bertempat tinggal di Jatisobo sudah menganggap sebagai
keharusan untuk melaksanakannya. Sehingga sampai sekarang kebiasaan ini sudah
merupakan tradisi atau adat-istiadat tersendiri yang memberikan warna dan ciri dari
komunitas masyarakat Jatisobo.

3
Upacara atau resepsi pernikahan di kampung Jatisobo biasa dilakukan pada siang
hari atau malam hari. Setelah melaksanakan akad nikah di rumah hajatan, serta
serangkaian upacara adat/tradisional pada acara pernikahan yang lajim dalam adat Jawa
seperti Panggih, Sungkeman, dan sebagainya, maka kedua pengantin dipersiapkan untuk
melakukan prosesi arak manten yaitu sebuah perjalanan keliling kampung menuju masjid
Agung Jatisobo. Tetapi apabila ijab Kabul atau akad nikah akan dilaksanakan di Mesjid,
prosesi biasanya dilaksanakan setelah akad nikah selesai dan kedua pengantin diarak
menuju rumah hajatan. Mengenai jarak yang harus ditempuh tidak menjadi persoalan,
karena letak Mesjid berada di tengah-tengah kampung. Dari ujung utara kampung kearah
Mesjid kira-kira satu kilometer, dari ujung selatan kampung ke arah Mesjid kira-kira tiga
perempat kilometer, dari ujung barat dan ujung timur kampung ke arah Mesjid kira-kira
setengah kilometer.

Dengan berpakaian kebesaran raja sehari (baju pengantin), kedua mempelai


diarak dipayungi payung kebesaran, paling depan berjejer kelompok Shalawatan yang
berjumlah sekitar 20 orang dengan membawa instrumen musik terbangan-hadrah,
sementara di belakangnya dua orang pembawa kembar mayang mengapit sepasang
pengantin yang selanjutnya diikuti oleh sanak-saudara, para kerabat dan sahabat.
Ditabuhi terbangan-hadrah serta puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW dalam
alunan nyanyian Sholawat Nabi (dinyanyikan kelompok terbangan-hadrah Masjid Agung),
ditaburi harumnya kembang warna-warni, serta dihiasi senyuman kekaguman dari setiap
penonton yang berjejer di tepi jalan kampung yang mengarah ke masjid Agung, maka
jadilah prosesi arak manten tersebut sebagai sebuah tontonan dan hiburan tersendiri
bagi warga kampung. Di setiap tempat yang dilewati banyak para gadis dan perjaka ikut
bergabung dengan rombongan prosesi, mereka berebut untuk mendapatkan taburan
bunga-bunga dengan harapan mendapatkan berkah untuk cepat-cepat mempunyai
pasangan hidup.

4
Setelah sampai di halaman masjid, rombongan pengantin disambut oleh sesepuh
sebagai Imam Masjid yang sekaligus akan pemandu upacara berikutnya. Imam Mesjid
selanjutnya menanyakan apakah akad nikah atau ijab kabul sudah dilangsungkan di
rumah atau mau di Mesjid. Jika akad nikah mau dilaksanakan di Mesjid, beliau langsung
mempersilahkan kedua pengantin dan rombongan untuk memasuki sebuah ruangan
khusus untuk selanjutnya menunggu acara akad nikah dilaksanakan. Namun apabila akad
nikah sudah dilaksanakan di rumah hajatan, beliau hanya menyampaikan beberapa
amanah dan wejangan serta makna dan falsafah yang terkandung dari adat istiadat atau
upacara tersebut kepada kedua pengantin. Setelah Imam Mesjid menyampaikan
beberapa hal, maka dengan diiringi rebana dan Sholawat Nabi selanjutnya kedua
pengantin diharuskan untuk mengeliling halaman Masjid Agung sebanyak tiga sampai
sembilan putaran. Selama mengelilingi Masjid, pengantin serta para pengiring
membacakan Tahlil dan Takbir. Setelah mengelilingi Mesjid selesai dilaksanakan,
rombongan prosesi ini diijinkan kembali oleh sesepuh Mesjid untuk kembali ke rumah
hajatan. Sama seperti pada saat berangkat, kerdua pengantin beserta seluruh rombongan
prosesi kembali berjalan kaki menuju tempat hajatan dengan tetap diringi terbangan-
hadrah Mesjid serta alunan Sholawat Nabi. Sementara itu ditempat hajatan sudah
bersiap berjejer para penyambut rombongan prosesi dengan berpakaian adat Jawa yang
lengkap.

Semenjak Kyai Imam membangun komunitas kampung, membangun Mesjid dan


Pesantren yang bernama Pamulangan beliau selalu mengajarkan kepada putra dan santri-
santrinya untuk tetap menjungjung tinggi, menjalankan, dan menegakkan ajaran Islam
dengan sesungguh-sungguhnya, menjaga serta memelihara lingkungan kampung dengan
suasana yang bersahaja dan Islami. Kyai Imam selalu menganjurkan kepada warganya
“dekatlah selalu dengan Mesjid, jangan jauh-jauh dengan Mesjid, jaga dan rawatlah
Mesjid, bemusyawarahlah di Mesjid, dan menikahlah / ijab Kabul di Mesjid”.
Apabila di dalami lebih jauh bahwa Mesjid merupakan sentral atau tempat untuk
beribadah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Yang Maha Tinggi, Allah SWT. Pergi ke
Mesjid untuk mengenal kebaikan, untuk belajar kebaikan, dan akan melakukan kebaikan,
pulang dari Mesjid telah mengenal kebaikan, telah melakukan kebaikan, dan telah
mempelajari kebaikan untuk selanjutnya disampaikan atau diajarkan kepada orang lain.
Makna lain yang terkandung pada prosesi mengarak manten (berjalan kaki pergi
menuju Mesjid dengan berpakaian seperti Raja dan Ratu) adalah bahwa pengantin baru
yang akan menjalani bahtera rumah tangga harus sama-sama seiring-sejalan menuju
kebaikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam meskipun banyak rintangannya, pelan-
pelan namun pasti. Sesudah berumah tangga dan kalau sampai Menjadi Raja / ratu atau

5
orang terhormat dan terpandang jangan melupakan orang tua, saudara, kerabat, dan
tetangga, sambutlah mereka-mereka itu dengan sapaan ramah dan senyuman yang indah
karena mereka itu sesungguhnya adalah yang mejadikannya berhasil. Seperti ketika
waktu melangsungkan pernikahan, dengan senyum dan sapaannya mereka turut
mendo’akan, mengantarkan, mengiringi, memayungi, mendukung perjalanan menuju ke
tempat yang paling mulya (Mesjid). Intinya adalah, setelah berumah tangga dan jika
dianugrahi kemulyaan dunia tidak diperbolehkan untuk menyombongkan diri, seperti
ketika berada di dalam Mesjid semua manusia derajatnya sama dihadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan adat-istiadat dan tradisi-tradisi
masyarakat Jawa pada umumnya, warga kampung Jatisobo menjadikan tradisi arak
manten dalam urutan tata cara yang disesuaikan dengan sendi-sendi kehidupan religius-
spiritual Islam, namun juga nampak dipengaruhi dengan hal-hal yang berbau mitos,
antara yang ditabukan dan yang disyahkan. Analoginya semuanya demi kepentingan
dalam mempertahankan eksistensi ikatan primordialisme, keutuhan dan persatuan
warga, serta menjaga dan melindungi lingkungan kampung dari pengaruh-pengaruh luar.
Dari yang sudah diuraikan pada tulisan ini, maka minimal kita bisa mengetahui
bagaimana sosok sebuah masyarakat kampung atau desa mampu mempertahankan
tradisinya yang cenderung kokoh dan statis. Masyarakat Jatisobo memandang bahwa
kehadiran sebuah “kebiasaan” adat-istiadat sebagai warisan leluhur yang turun-temurun
harus dipertahankan kelangsungannya. Di satu sisi dapat mencerminkan sikap yang ta’at
dan patuh terhadap apa yang sudah menjadi ketentuan yang diberlakukan oleh
leluhurnya, pada sisi yang lain mereka mempertahankan tradisi ini sebagai sesuatu yang
dapat menguatkan ikatan keluarga, memperjelas dan mengetahui silsilah (garis
keturunan) yang setiap saat terus bergenerasi.

Penulis: Nandi Saefurrohman


Alamat: Kauman Rt 02/03, Jatisobo, Polokarto, Sukoharjo, Jateng
e-mail : nandisaefurrohman@yahoo.com
Pekerjaan: Pendidik Seni Budaya

Menemukan https://etnis.id untuk menyalurkan hobi menulis bertema seputar budaya

6
7

Anda mungkin juga menyukai