Penulis:
Nandi Saefurrohman
(nandisaefurrohman@yahoo.com)
1
Jatisobo, artinya ada pohon jati yang bayangannya terlihat seba (narak, sowan) atau
dapat dilihat di berbagai tempat. Pohon tersebut oleh Kyai Khatib Imam ditebang untuk
dijadikan sebagai bahan kayu dalam pembuatan Masjid yang jika diamati arsitekturnya
bergaya mesjid alun-alun Surakarta Hadiningrat. Di belakang mesjid merupakan tempat
pemakaman Kyai Khatib Imam, putra, cucu, serta keturunannya. Masjid Agung ini sudah
berumur kira-kira 250 tahun dan sekarang sudah dilaporkan/tercatat di Dinas Purbakala
kabupaten Sukoharjo.
2
Sebagai pendiri komunitas masyarakat Jatisobo dan sebagai seorang ulama
Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Kyai Imam selalu menekankan kepada anak-cucunya
tentang kesungguhan dalam menjalankan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Ketika
membangun kampung yang diawali dengan membangun Pondok Pesantren dan Mesjid,
Kyai Imam selalu mengajarkan prinsip-prinsip spiritualitas dan keagamaan salah satunya
dengan pendekatan fatwa. Warga masyarakat yang bedomisili secara turun-temurun,
menjadikan fatwa-fatwa (amanat, wejangan) yang di anjurkan Kyai Imam sebagai sesuatu
aturan sentral yang tak tertulis. Mereka percaya siapa saja yang melanggar anjuran-
anjuran tersebut, selain melanggar adat juga diyakini akan membawa malapetaka bagi
keluarga, diri sendiri, bahkan pada situasi kampungnya sendiri.
Hal ini tercermin dalam larangan terhadap warga keturunan langsung untuk tidak
menabuh, membunyikan, atau menanggap seni gamelan pada setiap bentuk upacara
apapun, terutama dalam setiap upacara pernikahan dan khitanan. Selain fatwa-fatwa
yang berhubungan langsung dengan ajaran syariat dan aqidah Islam, ada juga fatwa-
fatwa yang isinya untuk memperbolehkan dan tidak diperbolehkan melakukan sesuatu
tindakan yang dianggap merugikan atau tidak bemanfaat bagi kehidupan masyarakat
khususnya di Jatisobo. Kenyataannya, segala sesuatu tindakan atau kegiatan yang
dilakukan setiap warga yang berhubungan dengan ritual, sosial dan budaya selalu
diputuskan dengan pertimbangan-pertimbangan terhadap adanya fatwa-fatwa tersebut.
Salah satu cerminan sikap dalam mentaati fatwa sebagai wujud dalam menjungjung
tinggi nila-nilai religiusitas yang dibangun oleh Kyai Khatib Imam yaitu masih
berlangsungnya tradisi upacara ritual kirab manten (arak manten).
3
Upacara atau resepsi pernikahan di kampung Jatisobo biasa dilakukan pada siang
hari atau malam hari. Setelah melaksanakan akad nikah di rumah hajatan, serta
serangkaian upacara adat/tradisional pada acara pernikahan yang lajim dalam adat Jawa
seperti Panggih, Sungkeman, dan sebagainya, maka kedua pengantin dipersiapkan untuk
melakukan prosesi arak manten yaitu sebuah perjalanan keliling kampung menuju masjid
Agung Jatisobo. Tetapi apabila ijab Kabul atau akad nikah akan dilaksanakan di Mesjid,
prosesi biasanya dilaksanakan setelah akad nikah selesai dan kedua pengantin diarak
menuju rumah hajatan. Mengenai jarak yang harus ditempuh tidak menjadi persoalan,
karena letak Mesjid berada di tengah-tengah kampung. Dari ujung utara kampung kearah
Mesjid kira-kira satu kilometer, dari ujung selatan kampung ke arah Mesjid kira-kira tiga
perempat kilometer, dari ujung barat dan ujung timur kampung ke arah Mesjid kira-kira
setengah kilometer.
4
Setelah sampai di halaman masjid, rombongan pengantin disambut oleh sesepuh
sebagai Imam Masjid yang sekaligus akan pemandu upacara berikutnya. Imam Mesjid
selanjutnya menanyakan apakah akad nikah atau ijab kabul sudah dilangsungkan di
rumah atau mau di Mesjid. Jika akad nikah mau dilaksanakan di Mesjid, beliau langsung
mempersilahkan kedua pengantin dan rombongan untuk memasuki sebuah ruangan
khusus untuk selanjutnya menunggu acara akad nikah dilaksanakan. Namun apabila akad
nikah sudah dilaksanakan di rumah hajatan, beliau hanya menyampaikan beberapa
amanah dan wejangan serta makna dan falsafah yang terkandung dari adat istiadat atau
upacara tersebut kepada kedua pengantin. Setelah Imam Mesjid menyampaikan
beberapa hal, maka dengan diiringi rebana dan Sholawat Nabi selanjutnya kedua
pengantin diharuskan untuk mengeliling halaman Masjid Agung sebanyak tiga sampai
sembilan putaran. Selama mengelilingi Masjid, pengantin serta para pengiring
membacakan Tahlil dan Takbir. Setelah mengelilingi Mesjid selesai dilaksanakan,
rombongan prosesi ini diijinkan kembali oleh sesepuh Mesjid untuk kembali ke rumah
hajatan. Sama seperti pada saat berangkat, kerdua pengantin beserta seluruh rombongan
prosesi kembali berjalan kaki menuju tempat hajatan dengan tetap diringi terbangan-
hadrah Mesjid serta alunan Sholawat Nabi. Sementara itu ditempat hajatan sudah
bersiap berjejer para penyambut rombongan prosesi dengan berpakaian adat Jawa yang
lengkap.
5
orang terhormat dan terpandang jangan melupakan orang tua, saudara, kerabat, dan
tetangga, sambutlah mereka-mereka itu dengan sapaan ramah dan senyuman yang indah
karena mereka itu sesungguhnya adalah yang mejadikannya berhasil. Seperti ketika
waktu melangsungkan pernikahan, dengan senyum dan sapaannya mereka turut
mendo’akan, mengantarkan, mengiringi, memayungi, mendukung perjalanan menuju ke
tempat yang paling mulya (Mesjid). Intinya adalah, setelah berumah tangga dan jika
dianugrahi kemulyaan dunia tidak diperbolehkan untuk menyombongkan diri, seperti
ketika berada di dalam Mesjid semua manusia derajatnya sama dihadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan adat-istiadat dan tradisi-tradisi
masyarakat Jawa pada umumnya, warga kampung Jatisobo menjadikan tradisi arak
manten dalam urutan tata cara yang disesuaikan dengan sendi-sendi kehidupan religius-
spiritual Islam, namun juga nampak dipengaruhi dengan hal-hal yang berbau mitos,
antara yang ditabukan dan yang disyahkan. Analoginya semuanya demi kepentingan
dalam mempertahankan eksistensi ikatan primordialisme, keutuhan dan persatuan
warga, serta menjaga dan melindungi lingkungan kampung dari pengaruh-pengaruh luar.
Dari yang sudah diuraikan pada tulisan ini, maka minimal kita bisa mengetahui
bagaimana sosok sebuah masyarakat kampung atau desa mampu mempertahankan
tradisinya yang cenderung kokoh dan statis. Masyarakat Jatisobo memandang bahwa
kehadiran sebuah “kebiasaan” adat-istiadat sebagai warisan leluhur yang turun-temurun
harus dipertahankan kelangsungannya. Di satu sisi dapat mencerminkan sikap yang ta’at
dan patuh terhadap apa yang sudah menjadi ketentuan yang diberlakukan oleh
leluhurnya, pada sisi yang lain mereka mempertahankan tradisi ini sebagai sesuatu yang
dapat menguatkan ikatan keluarga, memperjelas dan mengetahui silsilah (garis
keturunan) yang setiap saat terus bergenerasi.
6
7