Anda di halaman 1dari 38

KAMIS, 11 NOVEMBER 2010

Kearifan Lokal Suku Samin di Kabupaten Pati Jawa Tengah


PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten
Pati-Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di
Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian.
Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar
karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga
ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan Ajaran Samin.
Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi
VII DPR.
Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil
Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau
dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena
dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa
Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung. Singkatnya,
pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah
mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 km selatan pusat
pemerintahan Kabupaten Pati, tanggal 7 September 2008 lalu. Hasil pertemuan itu adalah
Sonny Keraf meminta kepada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup
menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta
menyelami inspirasi warga setempat.
Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan
warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup
sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah
terjaga. Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno, mengungkapkan alasan penolakan warga
bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan
mereka. Akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil, pada tanggal 26 Juli 2009,
Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo memutuskan membatalkan rencana pembangunan
pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati.
Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak keunikan lain
apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup mereka. Dulu, jaman kolonial, para
Sedulur Sikep dicap sebagai subversif oleh Pemerintah Kolonial karena menolak
membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik
yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan Wong Samin. Kini oleh para
pemodal PT.Semen Gresik para Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap
sebagai provokator karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal para Sedulur
Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan active non violence orisinil
yang khas Indonesia melawan penjajahan.
Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya,
maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang
selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata
pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki makna budaya
dan sejarah bagi masyarakat sedulur sikep yang memiliki ekologi kultural nya sangat
berelasi dengan lingkungan (gunung). Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat
Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan
kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di
pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat
dengan pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi

dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut
terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.
Di sekitar situs Watu Payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah
pewayangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebagainya. Kemudian di
sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat Watu Kembar yang berisikan
tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang
dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian
runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar. Selain kisah pewayangan juga terdapat situs
yang memiliki kaitannya dengan Angling Dharma di sekitar lereng pegunungan Kendeng
Sukolilo, kemudian ada Gua Jolotundo yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan
Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam Syeh Jangkung yang dianggap
sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati.
Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para
penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak
peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural
dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah
pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini
terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjung yang hadir di beberapa situs Watu
Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.
Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah
pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan
yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki
kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif ekologi sosial,
mitologi lokal tersebut mereduksi alam menjadi bahasa masyarakat (kebudayaan) yang
berbasis lokalitas. sehingga menjadikan lingkungan (pegunungan) bukan saja memiliki
kekuatan ekologi pertanian (mata pencaharian), namun juga terdapat kekuatan budaya
yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti Sahabat Sikep adalah kelompok masyarakat yang
berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas
masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah daerah dan kota
antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Samin Surosentiko adalah pencetus gerakan sosial
ini. Dia lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia
mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang
bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai
Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten
Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Samin
wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatera Barat
pada tahun 1914.
Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah dan mencintai
keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas banyaknya nasib rakyat yang
sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat
untuk membayar pajak. Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil
dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami amin yang artinya rakyat
sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah yang berani untuk membiayai masyarakat
miskin dengan caranya sendiri.
Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi
berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan

rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya
yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
tersendiri.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan
alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal
ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan
apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan
kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaikbaiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya
berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi
dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah
agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu
jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif
luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana
dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar
mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang
ternak berada di luar di samping rumah.
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih
desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi
manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu
kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi
tersebut secara sederhana.
Sumber : http://triligayanti.blogspot.com/2010/11/kearifan-lokal-suku-samin-dikabupaten.html

Judul : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten


Blora Jawa Tengah
Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
Halaman : xiii + 164
Isi :

Masyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus


yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang
berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Identitas itu
menunjukkan karakter dan perlengkapan mereka sesuai dengan
ajaran saminisme yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu
terutama di kalangan generasi tua. Mereka merasakan kebenaran
dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran peninggalan Samin
Surontiko sebagai suatu pandangan hidup yang sangat berguna.
Sikap perbuatan warga Samin selalu diikuti bukti-bukti nyata dan
konsekuen sesuai dengan ajaran yang diterima. Simbol identitas
masyarakat Samin antara lain terlihat pada pakaian yang dipakai

dan juga bahasa. Mereka tidak mengenal tingkataan bahasa Jawa,


jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka
menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi
sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Pakaian orang Samin
biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna
hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita
bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah
tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari
pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan
orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden
Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan
terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan
rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa
oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya
perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya
orang tua pengantin.
Pokok ajaran Samin Surontiko adalah
1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin
tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin
tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang
penting adalah tabiat dlam hidupnya.
2. Jangan menggangu orang, jangan bertengkar, jangan suka
irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan sombong
4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab
hidup=roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Roh orang
yang meninggal tidaklah meninggal hanya menanggalkan
pakaiannya
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena
dalam perdagangan ada unsur ketidakjujuran. Juga tidak
boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan Wong


Samin sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu
dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak,
sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan
sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan
perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para
pengikut saminisme lebih suka disebut Wong Sikep, artinya orang
yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi
baik dan jujur.
Ajaran saminisme tersebar antara lain di daerah Blora, Kudus, Pati,
Rembang dan Bojonegara. Penelitian yang ditulis dalam buku ini
mengambil masyarakat Samin di desa Sumber, kecamatan
Kradenan, kabupaten Blora, Jawa Tengah. Berdasarkan sikap dan
perbuatan ada dua aliran Samin yaitu Samin Lugu dan Samin
Sangkak. Samin Lugu adalah Samin murni bersikap sabar tidak
pernah gentar sedikitpun, tidak pernah mendendam dan membalas
dendam, segala sesuatu mereka hadapi dengan tenang. Mereka
mempercayai hukum karma setiap orang akan menerima akibat
perbuatannya. Samin Lugu juga disebut Jomblo-Ito artinya lahirnya
bodoh dan tidak mengerti tetapi batin hatinya suci dan murni
laksana emas. Samin Sangkak adalah Samin pemberani, bila
mendapat lawan akan menangkis untuk melindungi diri sendiri.
Mereka mudah menaruh curiga terhadap orang yang belum dikenal,
suka membantah dengan alasan yang kurang masuk akal. Tetapi
keduanya mempunyai perasaan dan budi yang halus. Menghadapi
mereka yang penting adalah kejujuran.
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan
dengan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan
dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu
mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah
kakek atau nenek.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif,
mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu)
secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai
dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak
berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri,

artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani


tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam
pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka
hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau.
Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau
tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu
deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi.
Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga
bambu. Di daerah penelitian jarang ditemui rumah berdinding batu
bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan,
kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan
masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur
dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan
biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di
luar di samping rumah.
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara
lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada
sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat.
Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu
kehamilan, kelahiran, kitanan, perkawinan dan kematian. Mereka
melakukan tradisi tersebut secara sederhana. Hubungan
ketetanggaan baik sesama Samin maupun masayarakat di luar
Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan
hubungan kekerabatan masyarakat Saminmemiliki tradisi untuk
saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai
hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi
tidak urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengruhi mereka.
Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian,
alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain. Yang
perlu dijaga agar tidak hilang adalah nilai-nilai positif atau kearifan
lokal pada masyarakat Samin tersebut misal kejujuran dan
kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan
saling menolong yang masih tinggi.
Sumber : http://www.tembi.org/perpus/2004_12_perpus01.htm

Lindungi Perkimpoian Adat Samin


KUDUS, KOMPAS - Pemerintah perlu melindungi perkimpoian adat
masyarakat Samin atau Sedulur Sikep, pengikut Samin Surosentiko.
Perkimpoian adat Samin kerap mendatangkan kontroversi, dianggap tidak
sah secara hukum, dan belum diakui penuh pemerintah.
Seruan itu mengemuka dalam bedah buku Nihilisme Peran Negara, Potret
Perkimpoian Samin di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus,
Jawa Tengah, Selasa (5/4). Seminar dalam rangka Dies Natalis Ke-14 STAIN
itu menghadirkan pembicara pengamat kebijakan publik Kudus, Zamhuri,
serta penulis buku dan peneliti masyarakat Samin, Moch Rosyid.
Zamhuri mengatakan, masyarakat kerap menganggap masyarakat Samin
sebagai sekelompok orang yang berperilaku menyimpang dari tatanan
masyarakat pada umumnya. Anggapan itu berlaku pula pada perkimpoian
orang Samin yang dinilai tidak sah karena tak mencatatkan administrasi
perkimpoian ke pemerintah dan negara.
Anggapan dan pandangan itu keliru. Masyarakat Samin justru hidup
memegang nilai-nilai kehidupan, seperti tidak membenci sesama dan selalu
menganggap setiap orang sebagai sedulur atau saudara, katanya.
Menurut Zamhuri, pemerintah mengakui perkimpoian adat Samin,
sebagaimana pengakuan terhadap perkimpoian penganut kepercayaan.
Pengakuan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
Artinya, ujar Zamhuri, meski tak tercatat dalam administrasi kependudukan,
secara hukum perkimpoian orang Samin adalah sah karena dijamin UU.
Saya berharap pemerintah benar-benar mengakui sepenuhnya perkimpoian
masyarakat Samin sehingga mereka dapat tercatat di administrasi
kependudukan, kata Zamhuri.
Kearifan lokal
Moch Rosyid mengemukakan, perkimpoian adat Samin semestinya dilihat
sebagai salah satu kekayaan kearifan lokal Indonesia sehingga perlu
dilindungi.
Perkimpoian orang Samin, seperti semangat perkimpoian pada umumnya,
menuntut pasangan yang menikah untuk setia sehidup semati, mempererat

persaudaraan antarkeluarga, dan mendidik anak menjadi mulia.


Secara tidak langsung, perkimpoian adat Samin yang ketat menjunjung
kesetiaan mengkritik potret perkimpoian dan kehidupan suami istri pada era
sekarang ini. Pasangan hidup begitu mudahnya bercerai, menelantarkan
anak, dan berselingkuh.
Jangan sampai masyarakat Samin dan ajaran-ajarannya, terutama tentang
perkimpoian, hilang ditelan zaman akibat pandangan buruk masyarakat dan
kebijakan pemerintah, kata Moch Rosyid. (HEN)
Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7815242

Ajaran Samin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala
luar, tapi sumbernya masih belum jelas karena tak
memiliki kutipan pada kalimat. Mohon tingkatkan kualitas artikel ini
dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetil bila perlu.
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914),
adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan
terhadapkapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19
di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai
perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan
digunakan untuk perluasan hutan jati.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Asal ajaran Saminisme
2 Tokoh perintis ajaran Samin
3 Daerah penyebaran dan para pengikut
ajaran Samin

4 Wong Sikep
5 Konsep ajaran Samin
6 Pokok-pokok ajaran Saminisme
7 Kitab Suci Orang Samin
8 Riwayat hidup Samin
9 Sikap Orang Samin
10 Bahasa Orang Samin
11 Pakaian Orang Samin
12 Sistem kekerabatan
13 Pernikahan bagi orang Samin
14 Sikap terhadap lingkungan
15 Pemukiman
16 Upacara dan tradisi
17 Masyarakat Samin saat ini
18 Referensi
19 Lihat pula
20 Pranala luar
[sunting]Asal

ajaran Saminisme

Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda
yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat
terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang
menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
tersendiri.
[sunting]Tokoh perintis ajaran Samin

Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba
disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam.
Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat Samin meliputi; ide terbentuknya
masyarakat Samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber
ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawanan orang Samin,
pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin
saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, ritus perkawinan orang
Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya,
perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisan ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena
sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan orang Samin tidak
beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir, dan anti kemajuan. Karena penulis
khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering
dipertontonkan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat Samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003),
film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah
Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan
Sosiologi & Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual
Kyai Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati
Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki
kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan
viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah
(demi kemenangan akhir), dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul
melihat realitas yang terjadi, yaitu banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana
Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan
rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan
perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga
menghimpun para berandalan di Rajegwesi dan Kanner yang di kemudian hari
menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal
oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami
amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan
langkah memberandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.
Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga
melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan

transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah di pendopopendopo pemerintahan desa. Isi ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan
Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi;
jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan
jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun, akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko dicekal oleh Belanda dan ia
dibuang ke Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan
seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang
ditulisnya juga disita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan
kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan
generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai
Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam
dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini
secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin.
Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu
dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan
kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang
mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial
dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa
perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara
tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaga untuk negeri, menjegal peraturan
agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo,
gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk kraman
brandalan sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang
menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hindhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai
Samin yang ditulis dalam bahasa Jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional
(tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari
lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan
ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara Hindhu Budha. Namun pada
perjalanannya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari
ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga
patut dicatat, orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.

Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) di antaranya di


Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara
(Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah
ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna
menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa
pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan
perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu
di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta, dan sebagainya.
Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan menyinggung banyak pihak yang
menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui
bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa dan menjadi penghuni
kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan
upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai
Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek)
yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata
pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa, dan antarwarga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang ditambah dengan
dialek setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian
yang polos dan jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin
selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak pernah menyimpan makanan
yang dimilikinya. Pengetahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik,
mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar
ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan,
rasa sosial, kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya, dalam
menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan
perilaku menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang digunakan
orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat
dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara
hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin
Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain
itu, di Klapa Duwur (Blora), Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep,

mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama
formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi
(sang Hyang Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat
kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara
keseimbangan batin di kalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencitacitakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit
putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin
yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan
pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia
pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca
semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam
memandang sebuah reailtas yang ada.
[sunting]Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa
lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan
Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa
Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang
memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indi (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi
Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999),
jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar
di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang
terbanyak di Tapelan.
[sunting]Wong Sikep

Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan
untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat
pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep
berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong
Samin' yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai
kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan
oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).
[sunting]Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:

tidak bersekolah,

tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan
di kepala mirip orang Jawa dahulu,

tidak berpoligami,

tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,

tidak berdagang.

penolakan terhadap kapitalisme.

Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :
Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup
Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga
Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal
yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan
Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak.
Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
[sunting]Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:

Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membedabedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau
membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.

Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan
suka mengambil milik orang.

Bersikap sabar dan jangan sombong.

Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama


dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh
orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan
pakaiannya.

Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati.
Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan
terdapat unsur ketidakjujuran. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam
bentuk uang.

[sunting]Kitab Suci Orang Samin


Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang
Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang
terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh
Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan
merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis
dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun
sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren.
Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare
dieling-eling. Trokali dilakoni."
[sunting]Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden
Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko
sebab Samin adalah sebuah nama yang bernapas wong cilik. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti diRajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran
Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil
di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.

Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah


Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang
menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menganggap sepi ajaran
tersebut, hanya dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh
temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang
tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat
mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar
5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu
Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah
menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap
oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta 8 pengikutnya, Samin lalu
dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin.
Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya
di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada
pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar
Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko, dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran
Samin di kawasanKajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di
daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan
pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan
dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang kepada petugas
pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas
menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan
segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin
misalnya di daerah Purwodadi dan diBalerejo, Madiun, sudah tidak lagi
menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah lainnya.

Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur,
mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa
dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro, juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan
tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan
pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat.
Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin.
Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah
kolonial menguap dan terhenti.
[sunting]Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap
menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya,
ketika menikah mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA)
atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.
[sunting]Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa
yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
[sunting]Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah,
berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala.
Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di
bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
[sunting]Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama.
Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas
setelah Kakek atau Nenek.

Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin
dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat
Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga
mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
[sunting]Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu
merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan
Atmaja (U)Tama (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan
mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : Sejak
Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan
bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan
hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai
berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa

Terjemahan

Saha malih dadya garan,

"Maka yang dijadikan pedoman,

anggegulang gelunganing
pembudi,

untuk melatih budi yang ditata,

palakrama nguwoh mangun,

pernikahan yang berhasilkan bentuk,

memangun traping widya,

membangun penerapan ilmu,

kasampar kasandhung dugi


prayogntuk,

terserempet, tersandung sampai kebajikan


yang dicapai,

ambudya atmaja 'tama,

bercita-cita menjadi anak yang mulia,

mugi-mugi dadi kanthi.

mudah-mudahan menjadi tuntunan."

[sunting]Sikap terhadap lingkungan


Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah
mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup
sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri,
artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka
tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa
yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu
penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis
atau tidak tergantung pada pemakainya.
[sunting]Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumahrumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu
terutama kayu jatidan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata.
Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan
ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas,
kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya
digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di samping rumah.
[sunting]Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih
desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi
manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur
hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka
melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
[sunting]Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat
ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta
menggunakan peralatrumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.
[sunting]Referensi

Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora


Jawa Tengah

Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk

Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta

Halaman : xiii + 164

astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil
KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi
Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes
[sunting]Lihat pula

Sedulur Sikep

[sunting]Pranala luar

(Indonesia) Samin : Melawan penjajah dengan jawa ngoko

(Indonesia) Masyarakat Samin dan Anarkisme

(Indonesia) Warna-warni Para "Sedulur Sikep" - Kompas, Rabu, 26 Oktober


2005

(Indonesia) Jabat Erat Sedulur Sikep - Kompas Cyber Media 30 Januari 2006

(Indonesia) Samin: Melawan penjajah dengan Jawa Ngoko - Intisari Edisi Juli
2001

Kategori:
Budaya Jawa
Suku bangsa di Indonesia
Suku bangsa di Jawa Tengah
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Senin, 25 Agustus 2008
Suku Samin
Asal Mula Timbulnya Nama "Samin"

Menurut sesepuh Samin, Harjo Kardi istilah Samin berarti " tiyang sami-sami amin",
maksudnya kelompok orang yang senasib dan sepenanggungan. Munculnya nama
Samin berasal dari gerakan Saminisme yang dipimpin oleh gerombolan rampok yang
dipimpin oleh Surowidjojo atau Raden Suratmoko yang lahir tahun 1840. Raden
Surowidjojo ini anak seorang bupati Suromoto. Ia merasa prihatin melihat bangsanya
dipaksa membayar pajak dengan kekerasan oleh pemerintah kolonial, sedangkan
penarik pajak tersebut tidak lain adalah kaum pribumi yang bekerja pada pemerintah
kolonial. Pajak yang harus dibayar pada para petani cukup tinggi, jika ia tidak dapat
membayar sebagai gantinya para petani itu harus menyerahkan harta bendanya berupa
ternak, makanan pokok, maupun barang keperluan rumah tangga. Melihat perilaku
bangsa pribumi yang menjadi antek Belanda, Raden Surowidjojo pergi ke Kadipaten
dan bergabung dengan gerombolan perampok. Gerombolan perampok itu bernama
Tiyang sami-sami amin. Kemudian disingkat menjadi Samin.
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan "Wong Samin", sebab
sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang
tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah
ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya
tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut Saminisme lebih suka disebut
"Wong Sikep", artinya orang yang bertanggung jawab, sebutan untuk orang yang
berkonotasi baik dan jujur.
Ajaran Samin
Paham Saminisme dinamakan "Agama Nabi Adam". Ajaran Saminisme yang
terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan,
kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.
Ajaran Samin ada 3 yaitu:
1. Angger-angger pangucap (hukum bicara)
2. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk)
3. Angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai 6 ajaran yaitu :
1. Tidak bersekolah
2. Tidak memakai peci, tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang diikatkan dikepala
mirip orang Jawa zaman dahulu.
3. Tidak berpoligami
4. Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut

5. Tidak berdagang
6. Penolakan terhadap kapitalisme.
Bahasa
Inti dari gerakan Samin adalah melalui bahasa Jawa ngoko kasar dan sering disertai
samepa(perumpamaan). Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang
digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan
Masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya.
Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu
mengenal hubungan darah atau generasi lebih keatas setelah kakek atau nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin masyarakat diluar Samin terjalin dengan
baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin
memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai
hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu
merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan anak
yang mulia (atmaja (u)Tama). Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang
pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih
demikian : "sejak nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama. Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah
kami jalani berdua". Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun
yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Kesenian
Upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain, nyadran (bersih desa)
sekaligus menguras sumber iar pada sumur tua yang banyak memberi manfaat pada
masyarakat. Tradisi slamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu, kehamilan,
kelahiran, khitan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara
sederhana.
Adapun kesenian mereka yaitu, tari tayup, dan wayang tengul. Tari tayup merupakan
tari pergaulan yang populer bagi masyarakat Bojonegoro dan sekitar. Tarian ini
biasanya dilakukan oleh pria dengan diiringi gamelan dan tembang-tembang Jawa yang
dilantunkan oleh Waranggono yang syairnya syarat dengan petuah dan ajaran. Wayang

tengul adalah kesenian wayang khas Bojonegoro dalam bentuk 3 dimensi dengan
diiringi gamelan pelog atau slendro.
Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat Samin sekarang ini adalah petani. Pandangan terhadap
lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam misalnya, mengambil kayu
secukupnya saja tidak pernah mengeploitasi. Hal ini sama sesuai dengan pikiran
masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan, dan apa adanya. Tanah
bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi kehidupan bagi mereka. Sebagai
petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.
Ilmu Pengetahuan
Pandangan terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam misalnya,
mengambil kayu secukupnya saja tidak pernah mengeploitasi. Hal ini sama sesuai
dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan, dan apa
adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi kehidupan bagi
mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.
Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya
berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari
isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Teknologi
Masyarakat Samin dikenal dengan keluguan, kejujuan dan apa adanya, tidak berbuat
aneh-aneh dan selalu mentaati peraturan. Pakaian orang Samin biasanya terdiri dari
baju lengan panjang tidak memakai kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat
kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya memakai lengan panjang, berkain sebatas
dibawah tempurung lutut atau diatas mata kaki. Sekalipun masyarakat Samin berusaha
mempertahankan tradisi namun tidak urung pengaruh kemajuan zaman juga
mempengarui mereka. Misalnya, pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian,
alat rumah tangga dari plastik, aluminium, dan lainnya. Yang diharapkan tidak hilang
terpupus zaman adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal yang telah ada pada
masyarakat Samin tersebut, misalnya kejujuran, dan kearifan dalam memakai alam,
semangat gotong-royong dan saling menolong yang masih tinggi.

Referensi
Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah; Dra Titi
Mumfangati, dkk; Penerbit Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
Sumber: http://ragambudayanusantara.blogspot.com/2008/08/sukusamin.html
Tentang Masyarakat Samin
Written on May-22-09 12:06am - [Edit] From: sawali.us
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914),
adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan
terhadapkapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19
di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai
perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan
digunakan untuk perluasan hutan jati.
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda
yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat
terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya
yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaankebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba
disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam.
Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya
masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber
ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin,
pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin
saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang
Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya,
perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena
sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak

beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis
khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering
dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003),
film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah
Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan
Sosiologi & Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual
Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati
Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki
kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan
viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah
(demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul
melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana
Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan
rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan
perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga
menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari
menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal
oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami
amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan
langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.
Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga
melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan
transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopopendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan
Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi;
jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan
jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan
dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan
seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang
ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan
kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan
generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai
Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam
dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini
secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin.

Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu
dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan
kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang
mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial
dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa
perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara
tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal
peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut
Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk
kraman brandalan sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu
adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai
Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional
(tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari
lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan
ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada
perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari
ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga
patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan
religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan
(bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes),
Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini
merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna
menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa
pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan
perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu
di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya.
Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang
menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui
bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi
penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum
perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang
kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan

sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar
ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan
dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang
polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu
menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang
dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka
menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu
kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa
sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam
menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan
perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan
orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat
dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara
hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin
Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain
itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep,
mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama
formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi
(sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat
kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara
keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencitacitakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit
putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin
yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan
pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia
pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca
semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam
memandang sebuah reailtas yang ada.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan
kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro,Jawa Timur. Gerakan ini lantas
dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai daripantai utara Jawa sampai ke

seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar
perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa
Klopodhuwur di Blora danDesa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang
memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samindi Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indi (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah [[Tradisi
Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999),
jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar
di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan
yang terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan Wong Samin sebab
sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang
tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah
ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya
tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut Saminisme lebih suka
disebut Wong Sikep, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang
yang berkonotasi baik dan jujur.
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:

tidak bersekolah,
tidak memakai peci, tapi memakai iket, yaitu semacam kain yang diikatkan
di kepala mirip orang Jawa dahulu,
tidak berpoligami,
tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
tidak berdagang.
penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :
Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup
Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga
Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal
yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan

Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak.


Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:

Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membedabedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci
agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.
Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan

suka mengambil milik orang.


Bersikap sabar dan jangan sombong.
Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama

dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang
yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati.

Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan


ada unsur ketidakjujuran. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam
bentuk uang.
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang
Saminjuga memiliki kitab suci. Kitab suci itu adalah Serat Jamus
Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat
Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip,
dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis
dalam bentuk puisi tembang, yaitu
suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun
sebuah negara batinyang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren.
Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah Lakonana sabar trokal. Sabare
dieling-eling. Trokali dilakoni.
Riwayat Hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden
Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko

sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai
Ketidi Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di
Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung)
pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang
menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran
tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh
temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang
tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat
mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar
5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu
Adildengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah
menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap
oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya,
Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang,Sumatra Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin.
Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya
di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada
pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar
Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran
Samin di kawasanKajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di
daerah Jatirogo,Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan
pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan
dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak,
Iki duwite sopo? (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas

menjawab, Yo duwitmu (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan
segera memasukkanuang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin
misalnya di daerahPurwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi
menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur,
mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa
dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan
tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar
dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra
Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut
Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin
terhadap pemerintah kolonialmenguap dan terhenti.
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap
menilaipemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika menikah,
mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau
di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ Sikep sangat jujur dan polos tetapi kritis.
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa
yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah,
berwarnahitam. Laki-laki memakai ikat kepala.
Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di
bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan
kekerabatanJawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama.
Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas
setelah Kakek atauNenek.

Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin
dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat
Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga
mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu
merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan
Atmaja (U)Tama (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan
mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : Sejak
Nabi Adampekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan
bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan
hanyaorang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai
berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa
Saha malih dadya garan,

Terjemahan
Maka yang dijadikan pedoman,

anggegulang gelunganing
pembudi,

untuk melatih budi yang ditata,

palakrama nguwoh mangun,

pernikahan yang berhasilkan bentuk,

memangun traping widya,

membangun penerapan ilmu,

kasampar kasandhung dugi


prayogntuk,

terserempet, tersandung sampai kebajikan


yang dicapai,

ambudya atmaja tama,

bercita-cita menjadi anak yang mulia,

mugi-mugi dadi kanthi.

mudah-mudahan menjadi tuntunan.

Sikap terhadap lingkungan


Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkanalam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah

mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup
sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri,
artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka
tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa
yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musimsaja yaitu
penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis
atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumahrumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu
terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata.
Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan
ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas,
kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya
digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara
lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua
yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan
dengan daur hidup yaitu kehamilan,kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian.
Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
Masyarakat Samin saat ini
Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi namun tidak urung
pengaruh kemajuan zaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya
pemakaian traktor dan pupukkimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah
tangga dari plastik, aluminium dan lain nya. Yang diharapkan tidak hilang terpupus
zaman adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal yang telah ada pada masyarakat
Samin tersebut, misal kejujuran dan kearifannya dalam memakaialam,
semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.
Referensi

Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora


Jawa Tengah
Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
Halaman : xiii + 164

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Sumber:
http://www.zimbio.com/member/sawali/articles/6379709/Tentang+Masyaraka
t+Samin
Masyarakat Adat Kampung Pulo
This entry was posted on 11 Januari 2012, in bepergian. Bookmark
the permalink. Tinggalkan komentar

Indonesia dengan berbagai


macam ragam budaya di setiap daerahnya, memilik kekhasan budaya yang
unik dan tidak akan ditemui di negara lain di dunia. kekhasan budaya ini
berakar dari tradisi lokal sejak berabad-abad lampau yang dipegang teguh
hingga sekarang sehingga menjadi kearifan lokal yang berharga.
ada beberapa contoh beberapa masyarakat adat yang senantiasa menjaga
kearifan lokal yang turun temurun tersebut. contoh yang paling terkenal
adalah Kaum Baduy di Banten, lalu ada Suku Boti di NTT, sub suku Samin di
perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur, Suku Mentawai di Sumatera Barat,
Masyarakat Adat Kampung Naga di Tasikmalaya dan lain sebagainya.
di Garut pun terdapat satu kampung adat yang masih memegang teguh adat
dan menjalankan kearifan lokal tersebut sampai sekarang, namanya
Masyarakat Adat Kampung Pulo. lokasinya ada di pulau kecil di Situ
Cangkuang, Garut. Situ ini terletak di Kecamatan Leles, bisa dicapai 1, 5 jam
perjalanan dari Bandung atau 30 menit dari Garut.
untuk mencapai kawasan ini sangat mudah bisa ditempuh dari ruas jalan
utama Garut Bandung, begitu sampai di Alun-alun Leles terdapat jalan

masuk menuju Situ Cangkuang. kira-kira 15 menit dari alun-alun Leles bisa
ditemui Situ Cangkuang.

untuk menikmati Situ, bisa dengan rakit-rakit yang sudah tersedia disana
dan bisa langsung menyeberang ke Pulau untuk menuju Kampung Adat Pulo.
sebenarnya selain Kampung Adat, terdapat juga sebuah candi yang diberi
nama Candi Cangkuang.

tak jauh dari Candi


inilah terletak Kampung Adat Pulo. di Kampung adat ini berjajar 6 rumah
dan 1 masjid berfondasi batu dengan konstruksi kayu, berdinding bambu
dan beratap genting tanah liat. ada 6 rumah disini yang tersusun berhadaphadapan, semua rumah disini dicat dengan warna putih, seragam. dibagian
tengah perkampungan terdapat masjid kecil yang digunakan sebagai tempat
ibadah masyarakat adat. posisi rumah adat di Kampung Pulo tergambar
seperti di bawah ini, nomor 1 adalah rumah kuncen, dan nomor 7 adalah
masjid, sedangkan sisanya adalah rumah yang dihuni masyarakat adat
Kampung Pulo dan jumlah rumah disini tidak boleh ditambah dan dikurangi.

sumber gambar : http://mediabidan.com/pemukiman-tradisional-kampungpulo-kabupaten-garut/

menurut sejarah, penduduk kampung ini dahulunya beragama Hindu.


kemudian di abad 16 seorang prajurit Kerajaan Mataram Islam dibawah
pimpinan Sultan Agung datang ke kampung ini setelah kalah saat menyerbu
Batavia. karena malu kepada Sultan Agung maka prajurit itu tidak kembali
ke Mataram den memilih menetap disini. prajurit tersebut kelak menjadi
leluhur Kampung Pulo dan dikenal dengan nama Embah Dalem Arief
Muhammad.
disini Embah Arief Muhammad kemudian menyebarkan agama Islam hingga
akhir hayatnya. di akhir hayatnya Embah Arief Muhammad meninggalkan 6
orang anak, yang lalu disimbolkan menjadi jumlah rumah di Perkampungan
ini. aturan yang berlaku di Kampung ini pun berkaitan dengan banyaknya
rumah yang terdapat disini. aturan adat menyatakan bahwa mereka yang
tinggal di rumah ini tidak boleh melebihi 6 kepala keluarga. lalu ada aturan
bagi lelaki yang sudah menikah, mereka harus meninggalkan rumah dan
kawasan kampung Pulo ini. selain itu ada beberapa aturan adat yang harus
dipatuhi, diantaranya tidak boleh memelihara binatang berkaki empat serta
masih banyak aturan aturan lainnya.
mungkin dulu saat menyebarkan Islam disini, Embah Dalem Muhammad
menggunakan metode yang sama dengan Sunan Kalijaga, karena di
Kampung Adat ini walaupun 100 % beragama Islam namun masih ada ritual
ritual adat yang mirip dengan ritual adat agama Hindu.

Bagi saya dengan kekayaan berupa kearifan lokal ini, Kampung Pulo bisa
tetap kukuh di tengah terpaan jaman yang kian maju. Keteguhan
memegang adat adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak tergantikan.
tambahan referensi : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/destdet.php?id=28&lang=id

Sumber: http://efenerr.wordpress.com/2012/01/11/kampung-pulo/

Anda mungkin juga menyukai