Anda di halaman 1dari 10

Asal-Usul dan Sejarah Suku Anak Dalam Jambi

Oleh : Muzaiin Arfa Satria

1. Sebutan Diri
Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut
diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Anak
Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut
orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Dalam percakapan antar warga
masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi
kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat Kubu kau.!.
sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah sanak, yaitu cara memanggil seseorang yang
belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah nco
yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)
Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif,
kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru
dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang primitif. Di kemudian
hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila
berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan
terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)
2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam
cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam
(Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi
dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang
Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam
berasal dari tiga keturunan:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib Soetomo
yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah
gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu
dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang
putri yang cantik. Putri itu mengajak kawin Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata

bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : Potonglah sebatang
kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya
dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin.
Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian
keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu
Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang
Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak
sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat
kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak
menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di
sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak
Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah
Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang
Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang
lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan
berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba).
Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba
dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.
Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan
Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan
mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal
di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah
karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan
kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka
(Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa
penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan
sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan
diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari
Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina
Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal
usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi,
yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air
Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua
kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat
yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa
Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang.
Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi
berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid
(campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.
Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir pada tahun
1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang.
Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam

dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang
membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan
Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).
Lebih lanjut tentang asal-usul Suku Anak-Dalam ini juga dimuat pada seri profil
masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh
Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung dipimpin oleh Rangkayo Hitam.
Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari
Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan
Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan kembali
sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh, harus
melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari
lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah
habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke
Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk
mempertahankan diri hidup didalam rimba.
Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan jauh ke
dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin terpencil, keturunan mereka
menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.
Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo, April
2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba merupakan kelompok melayu
tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di
Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak
pedalaman. Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat
lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000 sebelum
masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang
dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba
sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam
hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba mempraktekan silent trade mereka
melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka
meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu auf
Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli
Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto
melayu (melayu tua) yang ada di Semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu
muda.
Daftar Pustaka :

Depsos RI. 1990, Data dan Informasi Pemberdayaan Masyarakat Terasing. Jakarta
________. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani,
Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.
Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi,
Jambi.
Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta
Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di
Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi
Ruliyanto, Agung. 2002, Majalah Tempo 18 April 2002, Jakarta
Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing
Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.
Selasa, 29 Oktober 2013 KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU KUBU NAMA : JUMIATI /A /
SR Suku kubu dikenal dengan suku anak dalam atau orang rimba adalah salah satu suku bangsa
minoritas yang hidup dipulau sumatera tepat nya di provinsi jambi sumatera selatan. dan ada
juga suku kubu menetap diprovinsi riau tepat diprovinsi indra giri hulu. Kebanyakan dari
masyarakat suku kubu itu bertempat tinggal di provinsi jambi. Menurut tradisi suku anak dalam
merupakan orang maalau sesat, dan meninggalkan keluarga dan lari kehutan rimba disekitar air
hitam. mereka menyebutnya moyang segayo. Sedangkan tradisi lain mengatakan suku kubu
berasal dari pegaruyung, sumatera barat yang berimigrasi mencari sumber-sumber penghidupan
yang lebih baik . Ini diperkuat kenyataan adat suku anak dalam punya kesamaan bahasa dan adat
dengan suku minang kabau seperti sistem matrilineal. Secara garis besar di jambi suku anak
dalam ini mereka hidup dalam tiga wilayah ekologis yang berbeda, yaitu orang kubu yang
diantara provinsi jambi, taman nasional bukit, taman nasional bukit 12, dan wilayah selatan
provinsi jambi. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan aninisme, tetapi ada juga beberapa
puluh keluarga suku kubu yang pindah keagama islam. Dan sejak ratusan tahun yang lalu, suku
kubu tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Dan mereka
hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ketempat lain nya.
Tujuannya bisa jadi "melanggun" atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh,
dan membuka ladang baru. Dan mereka tinggal di pondok-pondok yang disebut sesudungon,
bangunan kayu hutan berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdanng benai. Beberapa dari
masyarakat suku kubu yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya,
namun ada sebagian besar masih tinggal dihutan dan menegakkan hukum adat sebagaimana
nenek moyang dahulu. Karakteristik dan kultur suku kubu Ciri-ciri fisik dan non fisik : suku
kubu termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia
proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak

kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan daun sirih. Sedangkan ciri-ciri
fisik nya yang menonjol dari suku kubu adalah gigi yang tidak terawat dan bewarna kecokelatan.
Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta
rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja. Sedangakan penampilan
dalam sehari-harinya mereka memakai pakaian lawat untuk laki-laki yang terbuat dari kain
sarung, sedangkan untuk perempuan memakai kain sarung yang dikaitkan sampai dada. Hutan
bagi suku kubu adalah segalanya. Ia tidak hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi juga
sebagai wahana kehidupan sosial budaya mereka. Oleh karena itu, mereka mengembangkan
berbagai pranata yang mengatur kelestarian hutan. Sebab hutan sangat erat kaitannya dengan jati
diri mereka. Mereka mengidentikan diri dengan "orang rimba" atau "anak dalam". Oleh karena
itu, jika ada anggota kelompoknya yang menyimpang dari ajaran-ajaran atau budaya nenek
moyangnya, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai "orang dusun", " orang kampung" atau "
orang terang" dan karenanya harus kelua dari hutan. Dalam mempertahan kan hidupnya mereka
memanfaat kan apa yang tersedia di hutan, seperti meramu, memburu, dan membuka ladang
dengan sistem berpindah-pindah. Jenis-jenis mata pencarian masyarakat suku kubu : a. Meramu
Meramu adalah mencari dan mengumpulkan hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung,
getah damar, getah jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo.
Caranya dengan beranjau, yaitu berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan. Menemukan
sesuatu yang dicari, apakan itu getah melabui,getah jelutung, dan atau rotan adalah sesuatu yang
sangat erat kaitannya dengan tuah (keberuntungan). Hal ini disebabkan banyaknya jenis pohon,
segingga seringkali menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat). Relatif sulit dan atau mudahnya
menemukannya itulah yang kemudian membuah kan adanya semacam kepercayaan bahwa
pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib. Berkinang atau berimbo biasanya dilakukan
secara berkelompok dan biasanya dilakukan oleh laki-laki. Apabila didalam hutan ada yang
terpisah atau tertinggal , maka orang yang ada didepan akan memberi tanda dengan
menancapkan sebatang kayu yang pada bagian atasnya dibelah dan diselipkan ranting. Cara yang
mereka lakukan dalam mengambil atau mengumpulkan berbagai macam getah tidak jauh
berbeda dengan pengumpulan getah karet, yaitu ditoreh sedemikian rupa sehingga getahnya
keluar dan ditampung pada suatu tempat biasanya tempurung kepala). Sedangkan, cara mereka
mengambil rotan adalah dengan menariknya. Dalam hal ini batang rotan yang telah dipotong
pangkalnya ditarik melalui cabang pepohonan. Ini dimaksud agar ruas dan cabang-cabang
kecilnya tertinggal atau jatuh karena tergesek cabang pepohonan, sehingga tidak banyak tenaga
yang harus dikeluarkan pada saat membersihkannya. b. Berburu Senjata yang mereka gunakan
dalam berburu adalah tombak. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki. Pertama, tombak yang
panjang nya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya berberangko(diberi
sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsongsong. Cara menggunakan adalah
dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemperkan (dengan satu tangan) ke sasaran.
Kedua, tombaknya yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada
semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam ( bentuknya lebih lebar dan lebih pendek
daripada tombak jenis pertama). Cara menggunakan nya addalah tangankanan memegang
pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan kearah sasaran (arahnya
selalukearah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya
terbuat dari kayu tepis. Kayu ini disamping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok
untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan untuk berburu baby hutan,
kera, rusa, dan kijang. Untuk berburu sebagai binatang tersebut biasannya mereka pergi
kedaerah-daerahsumberair, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban

(minum). Selain tombak mereka juga menggunakan batang pohonyang berukuran sedang dan
berat (garis tengahnya kurang lebih 30 cm ), khususnya untuk menangkap gajah. c. Menangkap
ikan Kegiatan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah
menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam disungai, dengan peralatamn
pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka
nubo yaitu menggunakanracun dari akar-akar nubo. Caranya akar-akar tersebut dimasukkan ke
sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan demikian,tinggal mengambil dan
memasukkan ke dalam sebuah wadah yang disebut dukung atau ambung. d. Berladang Sistem
perladangan yang diterapkan oleh orang kubu adalah berpindah-pindah. Ada 3 faktor yang
menyebabkan mereka melakukan perpindahan , yaitu: pergantian musim, semakin langkanya
binatang buruan dan hasil sumber hutan lainnya , dan semakin tidak suburnya tanah garapan.
Selain itu, kematian juga merupakan faktor yang pada gilirannya membuat mereka berpindah
tempat. Hal ini yang erat dengan kepercayaan bahwa kematian adalah sesuatu yang dapat
menimbulkan kesialan bagi kelompoknya. Untuk menghidari hal itu, maka mereka melakukan
perpindahan. Dan perpindahan yang disebabkan oleh adanya kematian disebut melangun.
Berladang adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti dilakukan secara bertahap dan
berkesinambunggan. Ada empat tahap yang mereka lalui dalam penggarapan sebuah ladang.
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan kecil,semak belukar,
dan mengumpulkan tebasan ketengah areal yang akan dijadikan sebagai ladang. Kemudian,
membiarkannya selama kurang lebih dua minggu (14 hari) agar tebasan menjadi kering. Tahap
pertama ini sering disebut sebagai menebas. Tahap kedua adalah penebangan pepohonan.
Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan beliung. Jika pohon yang akan ditebang
relatif besar, maka penebangan dilakukan pada bagian atas pohon dengan yang lingkarannya
relatif lebih kecil ketimbang bagian bawah pohon.caranya adalah dengan mendirikan semacam
panggung, sehingga mudah melakukannya. Tahap ketiga adalah penanaman bibit, sistem yang
digunakan adalah tugal, dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil
yang kira-kira panjang nya 1,5 meter yang salah satu ujung nya runcing dengan tongkat itu
mereka bergerak kedepan, membuat lubang-lubang yang dangkal. Sementara dengan jumlah
yang sama, perempuan mengikutunya sambil menebarkan bibit. Tahap keempat dilakukan secara
menuai. Tahap ini dilakukan setelah padi menguning ( kurang lebih setelah berumur lima bulan ).
Caranya , padi yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai (aniani). Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum disimpan dalam lubung, padi
tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa tahan lama (pepeng). Proses perkawinan suku kubu : 1.
Perkenalan Perkawinan suku masyarakat kubu juga didahului oleh pertemuan antara dua remaja
yang berlainan jenis. Pertemuan yang kemudian membuat mereka saling kenal dan saling tertarik
ini bisa terjadi diladang, syngai, hutan, atau dipesta perkawinan. Jika dalam pertemuan tersebut
keduanya sepakat maka pihak orangg tua akan memberitahukan pada tetua tengani (orang-orang
tua yang berpengalaman jika mereka sepakat, maka peminangan dapat dilakukan. 2. Peminangan
dan pertunangan Peminanangan pada dasarnya adalah suatu kegiatan untuk membicarakan
kemungkinan adanya suatu perkawinan. Kegiatan ini suku disebut sebagai "moro". Untuk itu
ayah sang pemuda menemui ayah sang gadis untuk memastikan apakah anak laki-lakinya yang
dapat ditunangkan dengan anag gadisnya. Jika dalam pembicaraan itu ke dua nya sepakat, maka
mereka menemui tetua tegani terdekat. Kemudian, mereka menentukan kapan pertunangan
dilakukan. Maka pihak laki-laki datang kerumah pihak keluaga perempuan dengan membawa
bawaan yang terdiri atas, pakaian perempuan seperti, sirih pinang selengkapnya, dan selemakselemak (beras dan lauk pauk). Dengan dditerimanya bawaan tersebut berarti sepasang remaja

yang berlainan jenis telah bertunangkan menurut adat mereka. Ada beberapa alasan yang
mendasari mengapa masa pertunangan mereka berlangsung dalam waktu relatif lama, yaitu umur
dan kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk memenuhi persyaratan upacara perkawinan yaitu
mas kawin yang berupa kain panjang atau sarung sejumlah 140 buah, selemak manis bahan
makanan yang berupa ubi dan beras, lauk pauk yang berupa daging binatang buruan, dan yang
lain yang mesti diserah kan. 3. Upacara perkawinan Sebelum upacara perkawinan (akad nikah)
dilaksanakan pihak keluarga laki-laki menyiapakan dan menyerahkan semua persyaratan yang
diminta oleh pihak keluarga perempuan. Persyaratan itu tidak hanya mas kawin dan selemak
manis, tapi masih banyak yang lainnya yaitu seekor ayam burago pikatan (ayamyang digunakan
untuk memburu ayam hutan), seekor anjing yang mau ( anjing yang pandai mengiring dan atau
menangkap biayawak ,baby hutan, dan sepotong kain yang bagus. Dalam persyaratan ini
dipenuhi, maka perkawinan bisa dilaksanakan akan tetapi, jika tidak bisa dipenuhi maka
perkawinan ditanguhkan atau dibatal kan. Dan system perkawinan masyarakat kubu ini, juga
dicermati mengandung nilai-nilai yang tidak hanya dapat dijadikan sebagai acuan bagi keluarga
baru dalam menjalani kehidupan bersamanya, tetapi juga dalam masyarakat umum. DAFTAR
PUSTAKA : Muchlas, Munawir. 1975, SedikitTentangKehidupanSukuAnakDalam (Orang
Kubu) di Provinsi Jambi, KanwilDepsosProvinsi Jambi, Jambi. Soetomo, Muntholib, 1995,
Orang Rimbo :KajianStruktural-FungsionalMasyarakatTerasing Di MakekalProvinsi Jambi,
UniversitasPadjajaran, Bandung. http://arfaangel.blogspot.com/2008/07/asal-usul-dan-sejarahsuku-anak-dalam.html http://jambicrew.blogspot.com
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Senin, 28 Oktober 2013 KEBUDAYAAN SUKU KUBU Ibrahim Gani/SR/A Suku Kubu atau
juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa
minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi. Mereka tersebar secara
mengelompok di daerah pedalaman hutan pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam
wilayah provinsi Jambi, yakni : Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan Batanghari. Suku Kubu
termasuk ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi manusia pertama dari proto melayu.
Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, lakilaki dan perempuan dewasa banyak makan sirih. Sejarah Suku Kubu atau Suku Anak Dalam
masih penuh dengan misteri, karena tidak ada yang dapat memastikan asal-usul mereka. Hanya
beberapa teori dan carita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menceritakan sejarah
mereka. Secara lisan Suku Kubu selalu diturunkan oleh leluhur. Tengganai Ngembar (80),
pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas
Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia
memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.Yang pertama, leluhur mereka adalah orang
Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman
Nasional Bukit Barisan. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sedangkan versi kedua,
penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari
sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak
kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan
antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan
budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang
Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah
Minang. Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah

daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di
Jambi bagian barat. Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau pindah ketika ada warga
meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondokpondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap
daun serdang benal. Mereka juga berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan dan meramu hasil
hutan di sekelilingnnya. Kehidupan mereka terganggu dengan hilangnya sumber daya hutan yang
ada di Jambi dan proses marginalisasi yang di lakukan oleh pemerintah dan suku bangsa yang
dominan. Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya
hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di
hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan
mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Hasil survei Kelompok
Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di
Taman Nasional Bukit Barisan ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian
dinyatakan kawasanTaman Nasional Bukit Barisan, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu
Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59
kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan
kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan
hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Selain di Taman Nasional Bukit Barisan,
kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat
di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran
anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir,
Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak
Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar
1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum
rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh
dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di
salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan
Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib,
diturunkan sampai enam generasi ke bawah. Menurut Johan Weintre, salah seorang peneliti
antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua
belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan
perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola,
sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan
Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah,
mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah
terpencil. Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya.
Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah
Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten
Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan
menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang
Sriwijaya.Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang
sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh
para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Orang Rimba

memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba
sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat,
yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai
sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan
bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain: 1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo 3.Yang tersurat dan tersirat 4.Mengaji di atas surat 5.Banyak daun
tempat berteduh 6.Meratap di atas bangkai 7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit
di ubah ) 8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat
yang dipakai). 9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat
yang kita junjung, kita menyesuaikan diri) 10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa
dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki laki atau Bapak ) 11.Titian galling
tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil) Seloko-seloko adat ini menurut mereka
tidak hilang dan tidak pernah berubah. Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah
cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci 80 tahun lebih. Selain itu Suku Kubu juga
memiliki kebudayaan lain, yaitu besale. Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun
demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada
Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale
dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut
dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia
ghaib/arwah. Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale
merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk
menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses
pengobatan. Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama
hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas
dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak
ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat
dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber
air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka
memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan. Dalam pengelolaan
sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh
Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi
penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan
mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan
pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap.
Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi
mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi
belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan
tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian,
duku, rambutan dan lain-lain. Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya
bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat,
manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan
bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup
dan tidak berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika
khusus. Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan
terhadap dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka juga mempercayai roh roh

sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan
kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika
mereka melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang memiliki kepercayaan
Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hidup beranyam kuaw,
bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah
yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu. Atinya: Mereka (Suku Anak
Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah
beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka
telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan
sebagai pengganti kambing atau kerbau. Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka
persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh
Tumenggung Njawat " Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk
kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo". Artinya: Jika Warga Suku
Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan
menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan. Kepercayaan tradisional Suku
Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat
animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempattempat tertentu yang dikeramatkan. Budaya suku anak dalam itu ketika seorang anggota
keluarganya meninggal dunia, itu merupakan peristiwa yang menyedihkan, terutama pihak
keluarganya. Mereka yang berada disekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap
bahwa tempat tersebut tempat sial.kepercayaan tersebut bermula di dahulu kala semenjak mereka
tinggal di dalam hutan. Pada umumnya mereka percaya terhadap dewa-dewa, istilah ethnik yakni
dewo-dewo.mereka yang percaya roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib.sisitim kekerabatan
orang rimba tidak boleh menyebut nama-nama mereka, dan tidak boleh juga menyebut orang
yang telah meninggal dunia.sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran.kebudayaan suku anak
dalam ini sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat modern seperti sekarang ini. DAFTAR
PUSTAKA Dian Prihatini, 2007. "Kebudayaan Suku Anak Dalam", Yogyakarta. http ://uunhalimah.blogspot.com/2008/06/asal-usul-orang-kubu-provinsi-jambi.html http
://id.wikepedia.org/wiki/Suku Kubu
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Anda mungkin juga menyukai